Anda di halaman 1dari 12

PENGATURAN HUKUM MENGENAI SUAMI MEMBERIKAN HADIAH

RUMAH BESERTA TANAH SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG


TERMASUK HARTA BERSAMA ATAU BUKAN

MAKALAH

Disusun Oleh :
SAKA PUTRA GRAH HUTAMA
E2B023013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TENKNOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
MAGISTER KENOTARIATAN
PURWOKERTO
2023
1

A.Kronologis Hukum

Seorang suami bernama Ali menikahi istri pertamanya yang bernama


Nona pada tahun 2000, kemudian dari penikahannya menghasilkan empat
orang anak bernama Tono, Toni, Tini, dan Tina. Kemudian Ali pada tahun
2005 menceraikan Istri pertamanya. 10 tahun kemudian Ali menikahi seorang
gadis desa bernama Moana. Sebelum melangsungkan pernikahan dengan
Moana, karena bentuk cintanya ali kepada Moana, Ali memberikan sebuah
mobil kepada Calon Istri keduanya. Pada tahun akhir tahun 2017, untuk
merayakan Hari Pernikahannya, Ali menghibahkan sebuah rumah berlantai 5
beserta tanah untuk istri kedunya. Rumah berlantai 5 dan tanah tersebut
diatasnamakan Moana Istri keduanya dan dibuatkan akta hibah dihadapan
Notaris A. Pada Tahun 2020 Ali meninggal dunia karena kecelakaan pesawat,
alhasil Moana menjadi seorang janda ditinggal meninggal dunia oleh
suaminya. Pada saat Ali masih hidup, Ali dan Moana selama perkawinannya
memliki sebuah apartemen mewah. kemudian karena mengetahui Ali telah
meninggal dunia, Anak-anaknya Ali dari Istri Pertama dan Nona Istri Pertama
mengajukan gugatan ke pengadilan kepada Moana menuntut pembagian harta
peninggalan yang ditinggalkan oleh Ali semasa hidupnya. Anak-anaknya Ali,
mengetahui bahwa Ali pernah membelikan Rumah berlantai 5 beserta tanah
dan Mobil kepada Istri keduanya, oleh sebab itu Anak-anaknya Ali dari hasil
perkawinan antara Ali dengan Istri pertama meminta pembagian harta tersebut.

B.Hubungan Hukum

Hubungan hukum antara pemberi hibah dan penerima hibah adalah


hubungan hukum karena adanya perjanjian dimana pemberi hibah sebagai
debitor dan penerima hibah sebagai kreditor. Hibah adalah hubungan hukum
yang sepihak, artinya pemberi hibah memberikan hibah pada penerima hibah
secara cuma-cuma tanpa ada imbalan apapun dari penerima hibah. Penerima
hibah bisa berasal dari para waris/ waris itu sendiri.
Dalam KUH Perdata hibah diatur dalam titel X buku III yang dimulai
dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693. Menurut pasal 1666 BW, hibah
2

dirumuskan sebagai berikut: “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si


penghibah, pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan hibah itu” dari rumusan tersebut di atas, dapat diketahui
unsur-unsur hibah sebagai berikut:
a. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma-
cuma. Artinya, tidak ada kontra prestasi dari pihak penerima hibah.
b. Dalam hibah selalu disyarat bahwa penghibah mempunyai maksud
untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah.
c. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala macam harta benda
milik penghibah, baik berada berujud maupun tidak berujud, benda
tetap maupun benda bergerak termasuk juga segala macam piutang
penghibah.
d. Hibah tidak dapat ditarik kembali.
e. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.
f. Pelaksana dari penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah
meninggal dunia.
g. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris. Hibah antara suami istri
selama perkawinan tidak diperbolehkan, kecuali mengenai benda-benda
bergerak yang bertubuh harganya tidak terlampau mahal.
Dengan adanya hibah, maka akan timbul hubungan hukum antara
pemberi hibah dan penerima hibah walaupun hubungan hukum tersebut
sifatnya sepihak yang artinya si pemberi hibah hanya punya kewajiban saja
tanpa mempunyai hak, hendaknya dalam memberikan hibah pada seseorang
dilihat terlebih dahulu kepatutan dan kepantasan dari si penerima hibah untuk
menerima hibah tersebut, sehingga tidak timbul pembatalan hibah yang
menyebabkan hubungan hukum antara kedua pihak bermasalah.
Dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) harta bersama
diatur sebagai berikut :

Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang


diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam
3

ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa


mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;

Namun demikian, dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan


dinyatakan sebagai berikut :

“harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.”

Dengan demikian berdasarkan ketentuan ini, harta bersama adalah semua


harta yang diperoleh suami dan istri di dalam masa perkawinannya, dan tidak
termasuk harta bawaan, hibah, dan warisan (kecuali diperjanjikan lain di dalam
Perjanjian Perkawinan). Didalam penjelasan Pasal 35 Undang-Undang
Perkawinan bahwa harta bersama adalah berkaitan dengan putusnya ikatan
perkawinan, yang pembagiannya menurut hukumnya masing-masing.
Sedangkan menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, yang
dimaksud hukumnya masing-masing antara lain hukum agama, hukum adat,
dan hukum lainnya.
Pada sisi lain, sebagai perbandingan, di dalam Pasal 119 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur bahwa: Sejak saat
dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama
menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu,
selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah tanpa suatu
persetujuan antara suami isteri.
Pada umumnya, hukum Islam tidak diatur mengenai harta bersama.
Pengaturan mengenai harta bersama diatur di dalam adat dan kebiasaan.
Namun, harta bersama ini tidak bertentangan dengan nash Al-Quran karena
tidak ada nash yang mengharamkan atau melarang adanya harta bersama. Hal
ini disebabkan tidak ada nash yang menyebutkan bahwa harta yang diperoleh
suami selama perkawinan menjadi hak milik suami saja, begitu pula
4

sebaliknya. Itulah sebabnya ada pengaturan di dalam KHI mengenai harta


bersama.
Ada beberapa syarat sebuah harta dikatakan sebagai harta bersama, yaitu:
1) ditentukan pada saat pembelian barang tersebut. Akan tetapi,
persoalannya adalah bahwa dalam pembelian harta tersebut tidak
mempermasalahkan apakah suami atau istri yang membeli, atau harta
tersebut harus terdaftar dengan nama siapa dan dimana harta itu
terletak. Lain halnya apabila barang yang dibeli menggunakan harta
pribadi suami, maka barang tersebut bukanlah termasuk harta
bersama.
2) ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan
barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli setelah
proses perkawinan terhenti.
3) ditentukan oleh keberhasilan dalam membuktikan dalam persidangan
bahwa harta sengketa atau harta yang digugat benar-benar diperoleh
selama perkawinan berlangsung, dan uang yang digunakan untuk
membeli harta tersebut bukan berasal dari harta pribadi.
4) ditentukan oleh pertumbuhan atau perkembangan harta tersebut.
Definisi Hibah menurut Pasal 171 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam
yaitu pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian untuk dimiliki
ini berakibat hukum bahwa harta yang dihibahkan akan menjadi milik orang
yang diberikan hibah tersebut. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah
orang tua kepada anaknya (lihat Pasal 212 KHI). Hibah suami terhadap istri
menjadikan harta tersebut menjadi milik istri. Setiap harta pribadi (bawaan)
memang menjadi hak milik masing-masing, namun dapat dikecualikan jika ada
perjanjian lain yang dibuat misalkan pemberian dari suami kepada istri.
Didalam Al-Quran Hibah dijelaskan secara ekplisit, yaitu dalam Al-
Quran Surat Ali Imran ayat 92 memiliki arti sebagai berikut:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
5

Hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad dari hadits Khalid bin ''Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda
yang artinya sebagai berikut:

"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena


mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia
menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi
Allah kepadanya".
Di dalam Islam, tidak dibenarkan mengambil kembali hibah (pemberian
yang telah diberikan kepada orang lain kecuali hibah orangtua kepada anak).
Hal ini didasarkan pada hadits Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’
(mengambil kembali, ed) di dalam hibah itu haram, sekalipun hibah itu terjadi
di antara saudara atau suami isteri, kecuali bila hibah itu hibah dari orang tua
kepada anaknya, maka ruju’-nya diperbolehkan berdasarkan hukum ketentuan
ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An-
Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-Tarmidzi dan dia mengatakan bahwa hadis ini
hasan lagi shahih.

Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:

"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau


menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali
pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada
anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian
kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka
dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia
muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali”.
Secara hukum Islam, harta yang sudah dihibahkan tidak boleh
dimintakan kembali. Bahkan larangan ini sampai pada diumpamakan dengan
anjing yang memakan muntahannya sendiri. Artinya, meminta sesuatu yang
sudah dihibahkan terlarang dalam Islam.
Lain hal dengan Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1678 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHperdata), pada ayat (1), menyatakan
secara tegas tentang pelarangan penghibahan di antara suami istri selama
perkawinan masih berlangsung. Dalam kaitannya dengan pasal ini, ayat (2)
memberikan pengecualian yaitu terhadap hal penghibahan kecil-kecilan
6

mengenai barang-barang yang bergerak yang berwujud yang tidak tinggi


harganya kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan si penghibah. Dari
kedua ayat tersebut dapat terlihat jelas bahwa masalah penghibahan ini sangat
berkaitan dengan penghibahan yang dilakukan dalam suatu ikatan perkawinan
tertentu. Artinya ketentuan yang dimaksud dalam pasal ini tidak berlaku bagi
penghibahan yang dilakukan tidak dalam ikatan perkawinan.

C.Norma Hukum
Istilah norma berasal dari bahasa Yunani nomos atau norm dalam bahasa
Inggris yang berarti model, peraturan atau standar perilaku. Dalam bahasa Arab
berarti kaidah, sedangkan dalam bahasa Indonesia seting disebut pedoman,
patokan atau aturan.1 Norma atau kaidah itu memberi ancangan atau arahan
pada manusia untuk bertindak dan sebagai pegangan dalam bertingkah laku.
Soedjono Dirdjosisworo menjelaskan pengertian norma adalah sebagai
berikut ;
“Norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia
di tengah pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat
atau penggal-pengal aturan yang bersifat erintah dan anjuran serta
larangan-larangan. Ketentuan larangan-larangan untuk perbuatan-
perbuatan yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan dapat
membahaakan kehidupan bersama, sebaliknya perintah-peritah adalah
ditujukan agar dilakukan perbuatan-perbuatan yang dapat memberi
kebaikan bagi kehidupan bersama.2”

Hukum positif adalah sebuah tatanan normatif yang mengatur sikap


tingkah laku manusia dalam cara tertentu (cara yang khusus dan spesifik).
Norma adalah sebuah pernyataan mengenai yang seharusnya (ought
proposition) yang menyatakan bukan apa yang tidak dan apa yang dilakukan
atau wajib dilakukan, tetapi apa yang seharusnya ada dan dilakukan dalam

1
Budi Pramono, Kompetensi Mengadili Tindak Pidana Umum Yang Dilakukan Oleh Prajurit
Tentara Nasional Indonesia, Surabaya, Untag Press (Disertasi), 2012, hal. 254.
2
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Raja Grasindo Persada, 2010, hal. 37.
7

kondisi-kondisi tertentu. Keberadaannya bermakna validitasnya, dan hal ini


merujuk pada hubungan dengan sistem norma di mana norma yang
bersangkutan menjadi salah satu norma dalam sistem tersebut. Norma tidak
dapat dibuktikan ada secara faktual tetapi bahwa ia muncul dari norma-norma
yang lainnya dan karena itu norma tersebut valid.3
Norma hukum ada berbagai macam jenisnya, ada banyak macam hukum
yang kita kenal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum ini
antara lain adalah hukum acara (hukum formil), hukum pidana, hukum perdata,
hukum agama, hukum internasional, dan lain sebagainya. Dari berbagai macam
hukum tersebut, hukum pidana dan perdata adalah yang paling banyak kita
temui dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa jenis hukum yang penting untuk diketahui, antara lain (a)
Hukum Acara yaitu hukum yang mengatur tentang penuntutan, pemeriksaan,
dan pemutusan suatu perkara. Hukum acara terbagi dua, yaitu hukum acara
pidana dan hukum acara perdata; (b) Hukum pidana adalah hukum mengenai
kejahatan, pelanggaran, atau tindakan kriminal beserta sanksi-sanksinya.
Contohnya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang mengatur
tentang hukum pidana; dan (c) Hukum perdata adalah hukum yang mengatur
tentang hak harta benda dan hubungan antarindividu dalam masyarakat, hukum
ini biasa disebut hukum privat atau hukum public, hukum perdata diatur dalam
KUH Perdata. Salah satu Pasal yang terdapat didalam KUH Perdata yaitu Pasal
1666 sampai dengan Pasal 1693 mengatur mengenai ketentuan hibah.
Tujuan norma hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dan
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, melalui
upaya penciptaan kepastian hukum. Contohnya adalah norma hukum yang
mengatur mengenai ketentuan hibah yang dilakukan oleh sepasang suami istri
adalah ketentuan Pasal 1678 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHperdata), dimana pada ayat (1), menyatakan secara tegas tentang
pelarangan penghibahan di antara suami istri selama perkawinan masih
berlangsung. Dalam kaitannya dengan pasal ini, lalu pada ayat (2) memberikan
pengecualian yaitu terhadap hal penghibahan kecil-kecilan mengenai barang-
3
Antonius Cahyadi dan E. Fernandi M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 81.
8

barang yang bergerak yang berwujud yang tidak tinggi harganya kalau
dibandingkan dengan besarnya kekayaan si penghibah.

D.Pertanyaan Hukum
1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap suami yang menghibahkan rumah
dan tanah kepada istri pada saat perkawinan berlansung?
2. Apakah anak dan mantan istri berhak mendapatkan bagian warisan dari
harta hibah rumah tersebut?
E.Jawaban Hukum
1. Pengaturan Hukum Terhadap Suami Yang Menghibahkan
Rumah Dan Tanah Kepada Istri Pada Saat Perkawinan
Berlansung
Masalah penghibahan antara suami istri dalam ikatan perkawinan,
tidak diatur dalam undang-undang perkawinan sehingga ketika terjadi suatu
perkara atau masalah terkait dengan hal ini, pasal-pasal terkait yang terdapat
dalam KUHPerdata dapat dipergunakan. Pengertian hibah bila merujuk pada
Pasal 1666 KUHPerdata, dapat dipahami sebagai suatu perjanjian dengan
mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan
tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si
penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Dari pasal ini dapat terlihat
unsur "perjanjian" yang mengisyaratkan suatu penghibahan hanya dapat
dilakukan dalam sebuah ikatan perjanjian antara si penghibah dan pihak-
pihak yang menerima hibah. Selain itu juga terdapat unsur "harta benda"
yang merujuk pada benda-benda yang dimiliki si penghibah yang dapat
dihibahkan, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak
(KUHPerdata, Pasal 1667 ayat (1)).
9

Dalam kaitannya dengan penghibahan antara suami istri dalam ikatan


perkawinan, segala bentuk perjanjian pemberian harta benda secara cuma-
Cuma dari suami kepada istri dan sebaliknya tidak berlaku selama ikatan
perkawinan tersebut masih berlangsung. Dengan demikian sebelum
perkawinan berlangsung atau sesudah perkawinan berakhir penghibahan
harta benda diperbolehkan untuk dilakukan. Hal ini mengingat harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (UU No. 1/1974,
Pasal 35 ayat (1)). Sementara harta bawaan dari masing masing suami dan
isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing- masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain (Pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan).

Terkait dengan kepemilikan harta benda inı, Pasal 119 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberi kemungkinan kepada
calon suami istri untuk mengatur harta yang akan dibawa dalam
perkawinan, menyimpang dari prinsip pokok yang terkandung dalam
ketentuan tersebut, yaitu harta yang dibawa oleh calon suami istri dalam
perkawinan mereka itu, harus menjadi satu harta campuran bulat.
Penyimpangan dimaksud harus dituangkan dalam perjanjian yang disebut
dengan perjanjian perkawinan (Pasal 139 KUHPerdata) dapat dirumuskan
secara tegas tentang adanya penyimpangan itu, dan dapat disimpulkan dari
maksud diadakannya perjanjian tersebut (Pasal 153 KUHPerdata) Hal ini
dipertegas oleh undang-undang perkawinan pada Pasal 29 yang mengatur
mengenai ketentuan tentang perjanjian perkawinan yaitu :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut
2. Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
10

3. Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan


dilangsungkan.
4. Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat
diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Bila merujuk pada ketentuan pada Pasal 1678 KUHperdata yang
menyatakan tentang pelarangan penghibahan di antara suami istri selama
perkawinan masih berlangsung dan perjanjian perkawinan baik yang diatur
dalam KUHperdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka dapat terlihat bahwa penyimpangan terhadap ketentuan
pada Pasal 1678 dapat dilakukan. Hal ini mengingat pada Pasal 29 ayat (1)
dinyatakan bahwa perjanjian tertulis dapat diajukan "pada waktu"
perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama.
Penyimpangan terhadap ketentuan mengenai pelarangan penghibahan
di antara suami istri selama perkawinan masih berlangsung dapat dilakukan
ketika sebelumnya telah ada perjanjian perkawinan yang mengatur
mengenai masalah penghibahan harta benda. Terlebih bila harta benda yang
dihibahkan tersebut adalah harta bawaan suami atau istri yang bukan
termasuk dalam harta bersama yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung. Dengan adanya ketentuan yaitu selama perkawinan
dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga (Pasal 29 ayat (4)), maka ketika dalam perjanjian
perkawinan, masalah penghibahan antara suami istri selama berlangsungnya
perkawinan telah ditentukan boleh dilakukan, membuat penghibahan
tersebut dapat dilakukan.
Jika penjelasan diatas dikaitkan dengan kronologis hukum,
penghibahan yang dilakukan oleh ali yaitu menghibahkan rumah berlantai 5
beserta tanah kepada istri keduanya pada saat perkawinannya masih berlaku,
maka penghibahan tersebut dilarang dan akta hibah yang dibuat dihadapan
notaris/PPAT tersebut patut dikatakan batal demi hukum, karena Ali telah
menyalahi Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1678 Kitab Undang-
11

Undang Hukum Perdata (KUHperdata), pada ayat (1), menyatakan secara


tegas tentang pelarangan penghibahan di antara suami istri selama
perkawinan masih berlangsung.

2. Anak Dan Mantan Istri Berhak Mendapatkan Bagian


Warisan Dari Harta Hibah Rumah Tersebut.
Berdasarkan pembahasan pertama, Akta Hibah yang batal demi
hukum akibat Ali menghibahkan Rumah berlantai 5 beserta tanah kepada
istri keduanya dengan tujuan untuk merayakan hari pernikahannya, maka
Rumah berlantai 5 beserta tanahnya menjadi harta bersama bukan menjadi
harta pribadi Moana (Istri Kedua). Sehingga dapat dikatakan Tono,Toni,
Tini dan Tina yang merupakan anak dari hasil perkawinan dengan istri
pertamanya yaitu Nona, maka anak-anaknya berhak mendapatkan bagian
warisan rumah berlantai 5 besera tanah tersebut, akan tetapi untuk mantan
istri pertamanya tidak berhak menikmati harta tersebut, karena rumah
berlantai 5 beserta tanah bukan merupakan harta bersama antara Nona (Istri
pertama) dengan Ali.

F. Kesimpulan
Ketentuan Pasal 1678 KUH Perdata mengenai larangan penghibahan
saat perkawinan berlangsung dapat simpangi jika sebelumnya ada perjanjian
perkawinan yang isinya memperbolehkan dilakukannya penghibahan pada saat
perkawinan berlangsung. Sehingga jika dalam perkawinan antara Ali dan
Moana sebelumnya ada perjanjian perkawinan tersebut maka penghibahan
yang dilakukan oleh Ali kepada Istri keduanya diperbolehkan dan harta
hibahnya berupa rumah berlantai 5 beserta tanah bukan termasuk harta bersama
melainkan harta pribadi milik Moana (Istri Kedua).

Anda mungkin juga menyukai