Anda di halaman 1dari 3

Resume Materi Kelima

Hukum Perdata
Nama : Alivia Adzhani (2202026146)
Kelas HPI C-2

Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami dan Istri, dan Harta Benda dalam
Perkawinan

Perjanjian perkawinan, menurut undang-undang harus diadakan sebelum pernikahan


dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris.
❖ Pengertian Perjanjian Perkawinan
R. Subekti memberikan pengertian bahwa perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian
mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau
pola yang diterapkan oleh Undang-Undang (R. Subekti, 1994:9).

Perjanjian perkawinan hanya mengatur terkait harta kekayaan suami istri dalam perkawinan
saja, di mana dalam perjanjian perkawinan tersebut calon suami atau calon istri dapat menyatakan
kehendak mereka terhadap harta perkawinan, apakah mereka akan bersepakat untuk menyatukan
harta mereka atau mereka melakukan penyatuan harta hanya secara terbatas atau mereka
memutuskan untuk tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan yang mereka
jalani.

Bentuk perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 147 KUHPer dengan tegas menentukan
bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman pembatalan.
Syarat ini dimaksudkan agar:

a. Perjanjian perkawinan tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang kuat.
b. Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami istri atas harta benda
mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai akibat yang luas
c. Dalam perjanjian itu suami istri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi
harta peninggalan anak-anak mereka
d. Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung
hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungannya.
e. Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan
yang berlaku dalam suatu negara asing.
f. Janji itu tidak boleh dibuat dengan kata-kata umum bahwa kedudukan mereka akan
diatur oleh hukum adat dan sebagainya.

Suatu perjanjian perkawinan saat ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, hal
ini disebabkan adanya 3 proses yaitu:

1. Proses Individualistis: Proses individualistis ialah proses kemandirian untuk membedakan


harta yang didapat oleh suami istri masing-masing.
2. Proses Kapitalistik: Bahwa calon suami istri tersebut adalah laki-laki dan perempuan yang
akil (berakal), balig (dewasa), merdeka dan tidak dipaksa, baik yang belum pernah menikah
ataupun sudah pernah menikah, telah bersepakat untuk membuat perjanjian perkawinan
mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
3. Proses Aktualisasi: Proses aktualisasi ialah proses untuk mengemukakan keinginan dari
pribadi masing-masing suami istri terhadap kelangsungan mengenai harta yang dia peroleh

❖ Hak dan Kewajiban Suami Istri dan Harta Benda dalam Perkawinan

"Pada dasarnya harta suami dan istri terpisah baik harta bawaannya masing-masing atau harta
yang diperoleh salah seorang dari mereka sebagai hadiah atau warisan sesudah mereka terikat
dalam perkawinan."

Selanjutnya Sujuti Thalib, menjelaskan bahwa dilihat dari sudut asal usulnya, harta suami
istri itu dapat di golongkan dalam 3 (tiga) golongan yaitu :

a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik yang
berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut harta
bawaan.
b. Harta masing-masing suami istri yang dimiliki sesudah mereka berada dalam hubungan
perkawinan, tetapi yang diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau
warisan untuk masing-masing.
c. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam perkawinan atau usaha mereka atau
usaha salah seorang dari mereka atau disebut harta pencaharian.

Dalam pasal 35 UU No 1 Tahun 1974 dapatlah diambil pengertian bahwa :

1. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Apabila
kalimat ini ditafsirkan, maka semua harta pendapatan yang diperoleh baik secara bersama-
sama maupun perorangan secara otomatis akan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Apabila suami dan istri yang memiliki harta
bawaan, hadiah atau warisan secara ikhlas untuk menjadikan harta bersama, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa cara memperoleh harta bersama di dalam suatu perkawinan
menurut UU No. 1 Tahun 1974 yaitu :
a. Harta yang diperoleh dengan usaha bersama atau perseorangan selama perkawinan
berlangsung secara otomatis menjadi harta bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri yang kemudian menjadi harta bersama.
Hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami dan istri yang atas kerelaan
pihak yang memiliki barang-barang tersebut diterapkan menjadi harta bersama.

Menurut UU No. 1 tahun 1974 bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau
warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
(pasal 35 [1-2]). Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 [1-2]). Bila perkawinan
putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud
dengan ‘hukumnya’ masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Anda mungkin juga menyukai