Landasan hukum perkawinan yang menjadi pegangan dan berlaku bagi semua warga negara Indonesia harus sesuai
dengan landasan filsafat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Agar tercipta tertib hukum dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia maka diterbitkanlah Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang bertujuan mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan
kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai.
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975
tanggal 1 April 1975, maka UU no. 1 tahun 1974 berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975. Undang-undang ini
bersifat nasional, unikum, karena sebelum lahirnya undang-undang ini terdapat berbagai macam peraturan
perkawinan yang pernah berlaku di Indonesia, dan yang terbaru adalah UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebelum berlakunya UU no. 1 tahun 1974, terdapat dalam hukum perkawinan sebagai berikut :
a. Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum adat mereka. Dalam hal ini orang-orang Islam berlaku
hukum perkawinan menurut agama Islam. Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen tunduk pada
Staatsblad 1933 no. 74 (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia / HOCI)
b. Bagi orang-orang Arab dan lain-lain bangsa Timur Asing yang bukan Tionghoa berlaku Hukum Adat
mereka.
c. Bagi orang-orang Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek.
d. Bagi orang-orang Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetboek dengan sedikit kekecualian, yaitu yang mengenai
hal pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan dilakukan.
e. Dalam hal perkawinan campuran pada umumnya berlaku hukum dari suami (Peraturan Perkawinan
Campuran diatur dalam Regeling op de gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 no. 158).
DASAR-DASAR PERKAWINAN
1. Lembaga Pertunangan
2. Pengertian Perkawinan
3. Sahnya perkawinan
4. Asas Monogami
LEMBAGA PERTUNANGAN
Peristiwa pertunangan bukan lembaga yang wajib diikuti, tetapi tumbuh sebagai perkembangan hukum.
Kesepakatan ini didahului dengan lamaran yaitu permintaan atau tawaran yang dilakukan oleh pihak lelaki
kepada pihak perempuan.
Bagaimana sifat hukum dan akibat hukum pertunangan ini? Menurut Wiryono Prodjodikoro, suatu
persetujuan dirasakan baru mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan jika diadakan suatu
“tanda” sebagai bukti adanya persetujuan, berwujud suatu barang atau sejumlah uang yang diberikan
pihak lelaki kepada pihak perempuan atau kedua belah pihak saling memberikan secara timbal balik.
Pertunangan tidak berarti peristiwa ini mesti disusul dengan perkawinan. Jadi pemaksaan untuk kawin
tidak ada sebagai akibat pertunangan.
Akibat putusnya pertunangan, apa yang pernah diberikan sebagai tanda pertunangan harus
dikembalikan atau berlipat ganda dari apa yang diberikan. Sedangkan pihak yang lain tidak memenuhi
janji, tanda pertunangan tidak perlu dikembalikan.
Pertunangan adalah lembaga kesepakatan untuk melangsungkan perkawinan, jika pertunangan putus,
maka janji yang tidak dipenuhi dapat disebut wanprestasi, yang dapat dituntut ke pengadilan.
Ketentuan yang mengatur tentang acara yang mendahului perkawinan diatur dalam KUHPerdata pasal 58,
ini hanya berlaku bagi mereka yang tunduk pada hukum BW, yaitu orang-orang Tionghoa dan Eropa
(warga negara) dan tidak berlaku bagi orang-orang warga negara Indonesia.
Menurut Islam, sebelum perkawinan dilangsungkan ada langkah pendahuluan yang disebut Khithbah
(peminangan). Pengertian khitab artinya lamaran untuk menyatakan permintaan perjodohan dari seorang
laki-laki kepada seorang perempuan. Melamar seperti ini, dibolehkan dalam Islam baik terhadap gadis
maupun janda yang telah habis masa iddahnya (Al Baqarah 235). Syarat wanita yang bisa dipinang, yaitu:
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syari yang menyebabkan laki-laki dilarang
memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita tersebut haram dini kahi selamanya
(masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
2. Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseorang meminang pinangan
saudaranya.
PENGERTIAN PERKAWINAN
• Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1)”.
• Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2, “ Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
• Menurut Prof. Subekti, SH, “Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk waktu yang lama”.
• Menurut Prof. MR. Paul Scholten, “Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.
• Dalam keputusan perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban
serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim.
• Akad nikah tersusun daripada sighot (susunan kata) yang berisi :
Ijab, yakni penyerahan dari pihak pertama. Perkataan dari pihak pertama : “Saya nikahkan engkau dengan
anak saya bernama … dengan mas kawin”
Qobul, yakni penerimaan dari pihak kedua atas perkalian nikah yang dimaksud. Perkataan dari pihak kedua
: “saya terima nikah … dengan mas kawin … tunai / utang”.
SAHNYA PERKAWINAN
ASAS MONOGAMI
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami, yaitu suatu perkawinan antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai isteri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
• Undang-undang ini membuka kemungkinan seorang pria mempunyai lebih seorang isteri (poligami)
dengan alasan-alasan yang kuat dan diterima oleh hukum.
• Harus diperoleh izin dari isteri pertama atau isteri-isteri yang lain dan dikehendaki oleh pihak-pihak jika
izin-izin itu tidak diberikan oleh isteri atau isteri-isterinya maka si suami harus memperoleh izin dari hakim
pengadilan dengan mengajukan permohonan disertai alasan-alasan yang kuat dan dalam undang-undang
disebutkan alasan-alasan itu :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
b. isteri mendapat cacat badaniah atau berpenyakit tidak dapat disembuhkan ,
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Persetujuan tidak diperlukan jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian (contoh : gila), atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
sekurang- kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya (itikad jahat istri menyakiti batin
suaminya, dll) yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat [2] UU Perkawinan).
Adanya kepastian bahwa si suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Adanya jaminan bahwa si suami akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anak mereka,
diantaranya :
a) Tidak meninggalkan isteri tuanya yang bergantung (An Nisa ayat 129).
b) Jangan mencari soal buat menyusahkannya (An Nisa ayat 34).
c) Pergaulilah isteri-isterimu dengan baik (An Nisa ayat 19).
d) Jangan tidak memberi rezeki kepada mereka dan jangan diurungkan sukatan serta timbangan tetapi berilah
mereka hak mereka (Hud ayat 84)
Agama Kristen dan Katolik melarang untuk berpoligami. Agama Kong Fu Tsu dan Hindu Bali, tidak melarang
berpoligami. Kecuali bagi orang Tionghoa yang beragama Kong Fu Tsu, orang-orang ini dilarang berpoligami
bukan karena agama mereka melarangnya, akan tetapi oleh Undang-Undang Hukum Perdata
BAB 2
SYARAT MATERIIL
Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 seperti
yang diatur dalam pasal 6 sampai dengan Pasal 12 adalah sebagai berikut:
1. Adanya Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
2. Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);
3. Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 19 tahun, kecuali ada
dispensasi dari pengadilan (Pasal 7);
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan keluarga atau darah yang
tidak boleh kawin (Pasal 8);
5. Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain dan calon mempelai pria juga
tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain, kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk
poligami (Pasal 9);
6. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin
kembali (untuk ketiga kalinya) (Pasal 10);
7. Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang berstatus janda (Pasal 11);
SYARAT FORMIL
Syarat-syarat formal berhubungan dengan tata cara perkawinan, dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan Perundang-undangan sendiri.
Syarat formal yang berhubungan dengan tata cara perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.
2. Pengumuman untuk melangsungkan perkawinan.
3. Calon suami isteri harus memperlihatkan akta kelahiran
4. Akta yang memuat izin untuk melangsungkan perkawinan dari mereka yang harus memberi izin atau akta
dimana telah ada penetapan dari pengadilan.
5. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus memperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau dalam
hal ini memperlihatkan surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat Nikah.
6. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa pencegahan.
7. Dispensasi untuk kawin, dalam hal dispensasi diperlukan.
Pegawai pencatatan nikah harus melakukan penelitian terhadap surat-surat yang diajukan calon mempelai laki-laki
maupun perempuan, sebelum akad nikah dilangsungkan, surat-surat tersebut berkaitan dengan perkawinan yang
akan dilangsungkan, yang harus diteliti, seperti :
1. Keterangan lurah/kepala desa yang menyatakan identitas : nama, tempat dan tanggal lahir, nama orang tua.
2. Keterangan mengenai nama agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal dan nama serta tempat
tinggal orang tua calon mempelai.
3. Izin tertulis dari orang tua atau/izin pengadilan jika para calon belum mencapai umur 21 tahun.
4. Izin isteri atau izin pengadilan bagi calon suami yang hendak kawin lagi.
5. Dispensasi pengadilan atau pejabat yang ditunjuk bagi calon mempelai di bawah umur untuk kawin.
6. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau surat cerai.
7. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan/Keamanan atau Panglima TNI apabila
seorang calon mempelai atau kedua-duanya anggota Tentara Nasional Indonesia.
8. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah satu
calon mempelai atau kedua-duanya tidak dapat menghadiri sendiri atau ada alasan yang penting,
sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara
Pengajuan Perkawinan, Perceraian, Dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik
Indonesia Dalam mengajukan permohonan izin kawin bagi pegawai negeri pada Polri harus memenuhi
persyaratan umum dan khusus.
BAB 3
PERJANJIAN PERKAWINAN
PENGERTIAN
• Perjanjian perkawinan menurut pasal 29 UU Perkawinan, ialah perjanjian lebih sempit, oleh karena hanya
meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overeenkomsten). Dan pada
perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet alleen” (perikatan
yang bersumber pada undang-undang). Hal ini jelas karena dari memorinya dikatakan perjanjian ini tidak
termasuk perjanjian ta’liq at talaq (talaq yang digantungkan).
• Setelah akad nikah selesai, maka mempelai laki-laki membaca janji “penggantungan talaq”. Janji tersebut
sudah dicetak pada surat nikah yang ditetapkan oleh Menteri Agama dalam model A2. (Peraturan Menteri
Agama tanggal 23 Juni 1955 nomor 1 tahun 1955).
• Janji perkawinan dalam pasal ini, tentunya adalah janji perkawinan selain janji penggantungan talaq,
misalnya seperti “perjanjian pisah harta”.
• Istilah perjanjian yang dipakai di sini adalah istilah yang lebih luas dari pada sekedar kesanggupan atau
kata sepakat (overeenkomsten).
PENGERTIAN
• Pengertian “perjanjian” saja diartikan sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara
kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau
tidak untuk melakukan suatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.
• Dalam perjanjian tersebut para pihak dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan berupa:
1. Bersepakat menyatukan harta mereka;
2. Melakukan penyatuan harta terbatas saja;
3. Tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan mereka.
Perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan diselenggarakan. Perjanjian bersifat notariil maupun di bawah
tangan dan harus memuat :
1. Atas persetujuan / kehendak bersama
2. Secara tertulis
3. Kemudian disahkan oleh pegawai pencatat nikah
4. Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan / kepatutan.
Perjanjian itu berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan dilekatkan pada akta surat nikah dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dengan surat nikah.
Setelah perkawinan berlalu, jika ada kehendak untuk merubah perjanjian perkawinan tersebut selama perkawinan
berlangsung, maka perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah. Kecuali ada persetujuan kedua belah
pihak dan perubahan itu tidak merugikan kepentingan pihak ketiga.
Jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHPer, larangan tentang isi perjanjian dengan undang-
undang perkawinan nasional (Undang-undang No. 1 tahun 1974), diatur agak lengkap :
a. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (139 KUHPer).
b. Perjanjian tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPer diberikan kepada suami
selaku kepala rumah tangga (140 ayat 1 KUHPer).
c. Dalam perjanjian suami dan isteri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi budel
tinggalkan anak-anak mereka (pasal 141 KUHPer).
d. Dalam perjanjian ini tidak boleh ditentukan bahwa dalam hal campur harta, apabila milik bersama itu
dihentikan, si suami atau si isteri akan membayar hutang yang melebihi perimbangan dan keuntungan
bersama (pasal 142 KUHPer).
e. Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam
suatu negara asing (pasal 143 KUHPer).
SIGAT TA’LIK
بسم ﷲ الرحمن الرحيم
Pada hari ini ……….. tanggal …………. Saya ……………. Bin................berjanji dengan sepenuh hati bahwa saya
akan mempergauli istri saya bernama …………. Binti....................dengan baik (mu’asayarah bil ma’ruf) menurut
ajaran Islam.
Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sigat ta’lik sebagai berikut
: Apabila saya :
1. Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut.
2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya.
3. Menyakiti badan atau jasmani istri saya; atau
4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,
dan karena perbuatan saya tersebut istri saya tidak rida dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka
apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian istri saya membayar Rp. 10.000 (sepuluh ribu
rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, jatuhlah talah saya satu kepadanya.
Apabila ada pencegahan perkawinan, maka Pegawai Pencatat Perkawinan tidak boleh melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan, bahkan Pegawai Pencatat Perkawinan tidak boleh melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat
(1), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 12 Undang-undang meskipun tidak ada pencegahan perkawinan, yaitu bilamana:
1. Calon mempelai belum mencapai usia 19 tahun;
2. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita berhubungan darah keluarga yang tidak boleh
kawin;
3. Calon mempelai masih terikat perkawinan dengan pihak lain;
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk kedua
kalinya, sedangkan agamanya dan kepercayaannya melarang kawin untuk ketiga kalinya;
5. Perkawinan yang akan dilangsungkan tidak memenuhi prosedur (tata cara) yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pencegahan dilakukan dengan mengajukan permohonan melalui pengadilan agama dalam daerah hukum di
mana perkawinan akan dilangsungkan dan memberitahukan kepada pegawai pencatatan nikah (pencatatan sipil
atau kantor urusan agama) sebelum ada keputusan pengadilan tentang permohonan itu tidak dicabut maka
perkawinan belum dapat dilangsungkan.
Adapun proses pencegahan adalah sebagai berikut :
a. Pemberitahuan kepada PPN (Pegawai Pencatat Nikah) setempat.
b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai
Jika perkawinan ditolak calon mempelai dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memberikan
keputusan tentang penolakannya tersebut, dengan dilampiri surat keterangan penolakan. Pengadilan dapat
memberikan keputusan berupa: Menguatkan penolakan atau Memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan,
sedangkan acara yang dipakai oleh pengadilan ialah acara singkat (kort geding ex pasal 283, 293, r.v.) ,
Note : Pasal 283 RV
Dalam hal-hal yang benar-benar sangat mendesak, pemanggilan dapat diperintahkan pada hari dan jam,
termasuk hari Minggu, yang ditentukan oleh ketua bagi setiap perkara atas permohonan secara lisan oleh pihak
yang berkepentingan. Dalam hal ini ketua dapat memerintahkan agar persidangan diadakan di rumah yang
berkepentingan. (RO. 29; Rv. 17, 22, 285, 293, 348, 442, 599, 659, 668, 669-80, 676, 682, 688, 720 dst., 884.)
Larangan perkawinan antara dua orang dikarenakan hubungan darah menurut undang-undang meliputi :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang;
6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
LARANGAN PERKAWINAN
1. Bilamana antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan terdapat hubungan keluarga
dekat, baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, juga dalam hubungan garis
keturunan menyamping dan hubungan semenda.
2. Demikian juga bila terdapat hubungan susunan, yakni susunan orang tua, anak susunan dan lain-lain
3. Derajat mempelai laki-laki lebih rendah daripada derajat mempelai wanita.
4. Seorang isteri nikah lagi dalam waktu iddah.
5. Seorang suami yang telah beristeri empat nikah dengan isteri ke lima.
6. Seorang isteri bersuami nikah lagi dengan laki-laki lain.
7. Pelanggaran larangan nikah mut’ah
8. Oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Bila salah satu dari larangan tersebut dilanggar, maka perkawinan batal sejak semula atau perkawinan fasid.
Nikah mut’ah ialah nikah yang diberi batas waktu, baik waktu yang telah ditetapkan (satu hari, satu minggu, satu
bulan, satu tahun) maupun yang belum ditetapkan (untuk sementara waktu). Perkawinan yang demikian tidak sah,
melanggar tujuan perkawinan, yakni mendapat keturunan yang sah dengan mendirikan rumah tangga yang damai
dan teratur.
PEMBATALAN PERKAWINAN
1. Pengertian
2. Sebab Pembatalan
3. Akibat Pembatalan
4. Gugurnya Pembatalan
PENGERTIAN
Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang
pengertian batal (nietig) tersebut.
Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai).
Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard,
sedang absolut nietig adalah kebatalan mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan.
Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini, berarti dapat difasidkan, jadi relatif nietig. Jadi perkawinan
dapat dibatalkan berarti suatu perkawinan sudah terjadi dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi
syarat- syarat untuk melangsungkan pernikahan.
SEBAB PEMBATALAN
AKIBAT PEMBATALAN
Bagaimana ketatnya pengawasan kemungkinan terjadi perkawinan yang dilarang oleh hukum dapat saja terjadi.
Sudah selayaknya perkawinan itu dapat dibatalkan oleh karena tidak ada manfaatnya. Adanya larangan soal
pembatalan dapat diajukan lewat pengadilan, agar suatu perkawinan tertentu sah atau batal.
Dalam hukum Islam dan hukum Adat tidak ada ketentuan yang pasti, siapakah yang dapat memohon keputusan
dari pengadilan tersebut. Juga tidak ada ketentuan yang pasti, apakah pemutusan pengadilan, bahwa suatu
perkawinan adalah sah akan mempunyai kekuatan berlaku surut atau tidak. Artinya apakah dengan putusan
pengadilan itu dianggap seolah-olah sama sekali tidak terjadi perkawinan, ataukah perkawinan yang dinyatakan
batal itu, harus disamakan dengan suatu perkawinan yang terputus secara talaq. Sehingga akibat hukum yang
terjadi sebelum putusan itu, tetap dipertahankan, seperti misalnya, kalau sudah ada anak dari perkawinan itu,
maka anak tersebut tetap merupakan anak sah dari suami isteri.
Keraguan semacam itu terjadi juga di kalangan orang-orang beragama Hindu dan umumnya di seluruh Indonesia.
Lain halnya dengan pengaturan mengenai orang-orang Indonesia asli Kristen dan orang-orang Tionghoa dan
Eropa. Bagi orang-orang Indonesia asli Kristen dalam hal ini diatur secara panjang lebar dalam pasal 36 sampai
pasal 94 dari Staatsblad 1933 No. 74 tentang Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia Java Minahasa Ambonia.
Undang-undang perkawinan di Indonesia menganut sistem pembatalan relatif. Pihak yang dapat mengajukan
pembatalan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan isteri, suami atau
isteri, pejabat yang berwenang dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut.
Ordonansi tersebut dengan UU No. 1 tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 36 ini, ternyata menganut
sistem bahwa suatu perkawinan, yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang tetapi hal ini mula-mula tidak
diketahui oleh yang berkepentingan tetap merupakan perkawinan sehingga dibatalkan oleh hakim, jadi tidak
dengan sendirinya batal (van rechtiswege nietig).
GUGURNYA PEMBATALAN
Hak mengajukan pembatalan gugur, disebabkan :
a. Dalam hal pelanggaran prosedural jika mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan kedua
mempelai dapat memperlihatkan akta perkawinan dibuat oleh pegawai pencatat pihak yang berwenang
telah diperbaharui.
b. Dalam hal pelanggaran materiil jika ancaman telah berhenti atau jika salah sangka di antara suami isteri
telah disadari keadaannya, tetapi dalam tempo 6 bulan setelah perkawinan itu ternyata masih tetap sebagai
suami isteri.
Contoh : Putusan Pengadilan Agama Wonosobo No. 1175/Pdt.G/2011/PA.Wsb
• Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah karena pernikahan antara Pemohon dan Termohon
terjadi karena dijodohkan oleh orangtua Pemohon dan dipaksa untuk segera menikah.
• Pemohon menyebutkan bahwa ia tidak mengenal Termohon secara baik sehingga Pemohon tidak mencintai
Termohon.
• Pemohon mau menikah dengan Termohon karena rasa takut dan ingin mengabdi kepada orangtua Pemohon.
• Setelah menikah Pemohon dan Termohon tinggal bersama di rumah orangtua Termohon selama 2 minggu,
kemudian pisah sampai sekarang (saat permohonan ini) sudah 1 tahun.
• Atas permohonan tersebut, Hakim memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon dan membatalkan
pernikahan Pemohon dan Termohon
BAB 5
PUTUSNYA PERKAWINAN
Istilah “putus” perkawinan dapat diganti istilah lain (ander woord) yaitu “penghentian” atau “pecah” perkawinan,
tiga istilah tersebut mempunyai pengertian (makna) sama. “Pecah” menurut kamus berarti terbelah menjadi
beberapa bagian; retak atau rekah; bercerai-berai; sedang “putus” berarti tidak berhubungan lagi; berpisah, selesai
atau rampung dan “henti” berarti stop, tidak boleh jalan.
ALASAN PERCERAIAN
• Istilah alasan-alasan perceraian tidak sama dengan istilah sebab-sebab perceraian. Kata “alasan” berasal
dari kata “alas” yang berarti dasar atau fondamen, sedang “sebab-sebab” perceraian, berarti “lantaran”
/ lantaran apa yang menyebabkan sesuatu terjadi, “apa asal muasalnya” ; “apa permulaannya”.
• Alasan perceraian disebutkan dalam undang-undang secara limtatife, artinya selain alasan-alasan yang
disebut dalam undang-undang, bukan merupakan alasan perceraian. Dengan demikian alasan lain tidak bisa
diajukan sebagai dasar gugatan.
ALASAN PERCERAIAN
• Alasan perceraian itu ditentukan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak, suami atau isteri, berbuat zinah, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya,
sehingga perbuatan itu sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah, karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
fungsinya
sebagai suami / isteri.
f. Antara suami isteri, terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran yang tidak ada harapan akan
hidup rukun kembali dalam rumah tangga.
KHI
Selain yang tersebut di atas terdapat 2 alas an perceraian:
g. Suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah tangga.
PROSES PERCERAIAN
Permohonan perceraian dapat diajukan :
Bagi mereka yang beragama Islam dapat diajukan ke pengadilan agama.
a. Bila suami yang mengajukan perceraian, permohonan diajukan kepada pengadilan, yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (pasal 66 UU No. 7 tahun 1989) dengan memberikan
alasan-alasan mengapa ia hendak menceraikan isterinya. Untuk permohonan itu ia harus melampirkan
beberapa surat keterangan dari lurah, surat nikah, dan saksi-saksi dari keluarga atau orang yang terdekat
dengan pemohon dan termohon.
b. Bila isteri yang mengajukan perceraian, permohonan diajukan kepada pengadilan, yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (pasal 73 UU No. 7 tahun 1989) pada prinsipnya sama
dengan sarana, surat nikah, surat dan bukti yang harus dibawa isteri yang hendak menceraikan suaminya,
seperti diuraikan tersebut di atas.
• Bagi yang bukan beragama Islam, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau
kuasanya di pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan
diajukan ke pengadilan di tempat kediaman penggugat, jika alamat tergugat tidak jelas atau tidak
diketahui.
• Bilamana tergugat berada di luar negeri, maka gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat.
Pengadilan akan menyampaikan gugatan itu kepada tergugat (PP 9/75, pasal 20 ayat 3) melalui
Perwakilan RI di luar negeri itu.
• Apabila orang itu telah meninggalkan rumah selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin suami
atau isteri yang ditinggalkan itu, maka gugatan perceraian diajukan di tempat kediaman penggugat
(Pasal 21 ayat 2).
• Jika perselisihan yang terus menerus, antara suami isteri tidak dapat diharapkan rukun kembali,
maka gugatan perceraian diajukan di tempat kediaman tergugat.
• Gugatan perceraian dengan alasan bahwa suami atau isteri itu mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau
lebih, diajukan di tempat kediaman penggugat dengan memperlihatkan putusan dari pengadilan
tersebut (Pasal 23).
Gugatan cerai harus disertakan sebagai bukti : akte perkawinan, akte kelahiran anak, saksi dari keluarga penggugat
atau orang-orang yang dekat dengan suami
MASA IDDAH
Pengertian Masa Iddah
• KBBI mendefinisikan iddah atau idah sebagai masa tunggu bagi perempuan yang berpisah dengan suami,
baik karena ditalak maupun bercerai mati.
• Abdul Qadir Mansyur mengartikan masa iddah sebagai masa penantian seorang perempuan yang diceraikan
atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir dari masa iddah ini menurut Mansyur ditentukan dengan proses
melahirkan, masa haid atau masa suci, atau dengan bilangan bulan.
• KHI mengartikan iddah sebagai masa tunggu. Pemberlakukan masa iddah berdasarkan jatuhnya putusan
pengadilan atau tanggal kematian suami.
Lama Masa Iddah
• Masa iddah bagi perempuan yang cerai mati (suami meninggal) adalah 130 hari.
• Masa iddah bagi perempuan yang bercerai dalam kondisi masih haid adalah tiga kali suci dengan waktu
sekurang-kurangnya 90 hari.
• Masa iddah bagi perempuan yang bercerai dan tidak lagi haid adalah 90 hari.
• Masa iddah bagi perempuan yang dalam kondisi hamil adalah hingga melahirkan.
HAK BERDAMAI
• Berdamai lagi, atau verzoening (Bahasa Belanda) dalam UU Peradilan Agama No. 7 tahun 1969, tidak
diatur. Jika dilihat dari Staatsblad 1933 – 74 berlaku bagi orang-orang Indonesia asli Kristen, pada
dasarnya undang-undang menghendaki bahwa hakim berusaha supaya seberapa boleh dan isteri
akan berdamai lagi. Jika berhasil, maka tidak ada lagi perkara di muka pengadilan. Konsekuensi berdamai
lagi antara suami atau isteri, mereka tidak dapat meminta perceraian lagi berdasarkan suatu peristiwa yang
terjadi sebelum ada perdamaian, tetapi yang diketahui oleh mereka pada saat diadakan perdamaian, maka
perceraian tidak boleh diucapkan oleh hakim.
• Dalam sistem KUHPerdata hal verzoening di antara suami dan isteri ini adalah suatu kejadian yang
pokoknya terjadi sebelum dimulai pemeriksaan di muka pengadilan, yakni sebelum hakim memberi
izin kepada suami atau isteri untuk mengajukan gugatan bercerai (pasal 831 BW) dan Reglement
Burgerlijke Rechtsvordering. Dan kejadian perdamaian ini untuk menentang perceraian. Dalam pasal 216
BW dikatakan bahwa dengan adanya peristiwa berdamai lagi gugurlah hak tuntut untuk bercerai.
• Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mengatur hal berdamai lagi, dan bagaimana seharusnya,
hal ini diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, setelah mendengarkan keterangan kedua belah pihak
suami dan isteri.
AKIBAT HUKUM
Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan hukum keluarga maupun dalam hukum
kebendaan serta hukum perjanjian. Akibat pokok dari perceraian adalah bahwa bekas suami dan bekas isteri,
kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.
1) Janda dan duda
Janda (bekas isteri) tidak dapat segera kawin kembali dengan pria lain, kecuali bekas suaminya, sebelum habis
masa tunggu selama 3 (tiga) bulan suci (iddah), yaitu sekurang-kurangnya setelah 90 hari setelah bercerai.
Apabila janda itu sedang dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu itu ditetapkan sampai ia melahirkan
anaknya. Duda (bekas suami) tidak ada waktu tunggu. Apabila ada perceraian, maka bapak atau ibu adalah
wali dari anak- anak di bawah umur 18 tahun tersebut. Siapa yang menjadi wali dari masing-masing anak
ditetapkan oleh hakim.
2) Pemeliharaan Anak
• Kewajiban memelihara dan mendidik anak tidak sama dengan kewajiban menjadi seorang wali dari anak-
anak. Baik bekas suami maupun bekas isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
berdasarkan kepentingan anak. Perwalian anak-anak ditetapkan oleh hakim dan tidak bersifat abadi.
Perwalian atau voogdij ialah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta benda anak yang belum
dewasa, jika anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya.
• Kekuasaan wali mencakup terhadap pribadi anak tersebut dan harta benda anak yang bersangkutan.
Kewajiban wali terhadap anak yang berada dalam kekuasaannya adalah (a) mengurus anak tersebut
berikut hartanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu; (b) membuat
daftar inventaris atas harta bendanya sejak ia menerima jabatan sebagai wali, dan mencatat semua
perubahan harta benda anak tersebut; (c) bertanggung jawab atas harta benda serta kerugian akibat
kelalaian dan kesalahan dalam pengurusan; (d) tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang yang dimiliki anak itu kecuali untuk kepentingan anak tersebut
menghendakinya.
• Perwalian dapat diperoleh karena beberapa sebab : karena ditunjuk orang tua sebelum ia meninggal dunia
dengan surat wasiat atau dengan pesan di hadapan dua orang saksi. Juga berdasarkan keputusan
pengadilan, karena salah satu atau kedua-duanya orang tua melalaikan kewajiban terhadap anak dan
berkelakuan buruk.
3) Harta Benda Bersama
• Harta benda bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung disebut gono-gini, harus dibagi dua
antara suami dan isteri, apabila mereka bercerai.
• Harta bawaan atau harta asal dari suami atau isteri tetap berada di tangan pihak masing-masing. Apabila
bekas suami atau bekas isteri tidak melaksanakan hal tersebut di atas, maka mereka dapat digugat melalui
pengadilan negeri di tempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.
BAB 6
PENGERTIAN
Setelah perkawinan berlangsung, suami isteri mempunyai beban yang diletakkan oleh undang-undang, yaitu
memikul kewajiban yang luhur, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang atau sama dalam
kehidupan rumah tangga. Dan dalam pergaulan hidup dalam masyarakat, mereka tidak boleh diizinkan saling
mengekang, menghalangi satu sama lain. Mereka berhak untuk melakukan perbuatan hukum
Dalam UUP, ketentuan tentang hak dan kewajiban suami isteri dirumuskan dalam Pasal 30 yang rumusannya:
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat.
Hak dan kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan masyarakat diatur pada Pasal 31
1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Kewajiban Suami dan Istri dalam rumah tangga diatur pada Pasal 33 dan 34, yaitu :
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu
kepada yang lain.
Pasal 34
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan.
Pasal 78:
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,
(2) Rumah kediaman ditentukan bersama oleh suami isteri
2. Kedudukan Suami Isteri (Pasal 79).
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga d a n pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Suami adalah kepala keluarga, dan isteri adalah ibu rumah tangga.
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
Kewajiban Suami (Psl.80).
(1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, mengenai urusan rumah tangga yang
penting diputuskan oleh suami isteri b e r s a m a.
(2) Suami wajib melindungi isteri dan memberi segala keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuan
(3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isteri, memberi kesempatan belajar pengetahuan, dst.
(4) Sesuai dgn penghasilan suami menanggung:
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
c. biaya pendidikan bagi anak.
Kewajiban suami pada ayat (4) huruf a dan b mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
Isteri dapat membebaskan suami dari kewajiban sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
Kewajiban tersebut gugur apabila isteri nusyuz.
Tempat Kediaman (Pasal 81)
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih
dalam iddah.
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak
Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anak, menyimpan harta kekayaan menata
alat r.t.
Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dgn. kemampuannya, disesuaikan dgn. keadaan
lingkungan.
Pasal 83
Isteri wajib berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam
Menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknya. Pasal 84
1. Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibannya, kecuali dengan alasan yang sah.
2. Selama isteri nusyuz suami tidak wajib memberikan nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
memberi biaya rumah tangga, perawatan dan pengobatan , kecuali kepentingan anak.
3. Kewajiban suami terhadap isteri berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz
4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah
Suatu perselisihan suami isteri adalah terjadinya perselisihan yang tidak termasuk perkara-perkara nikah, talaq,
rujuk, perceraian, ta’liq, mas kawin, keperluan kehidupan isteri dan lain-lainnya.
Misalnya seperti perselisihan antara suami-isteri yang kediamannya tidak kumpul satu rumah tangga, biarpun
mereka belum bercerai, tentang soal anak-anak mereka harus dipelihara oleh siapa di antara mereka, juga
perselisihan tentang taat/tidaknya seorang isteri.