Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

DIAN AMANDA PUTRI 4-A4

Hukum Perkawinan& Kekeluargaan


Perkawinan akan menimbul hubungan hukum antara :
1. Suami dengan isteri
2. Orang tua dan anak-anak mereka (dengan lahirnya anak-anak),
3. Mereka (orang tua & anak-anak) dengan harta kekayaan (dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan).

Landasan hukum perkawinan yang menjadi pegangan dan berlaku bagi semua warga negara Indonesia harus sesuai
dengan landasan filsafat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Agar tercipta tertib hukum dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia maka diterbitkanlah Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang bertujuan mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan
kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai.

Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975
tanggal 1 April 1975, maka UU no. 1 tahun 1974 berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975. Undang-undang ini
bersifat nasional, unikum, karena sebelum lahirnya undang-undang ini terdapat berbagai macam peraturan
perkawinan yang pernah berlaku di Indonesia, dan yang terbaru adalah UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sebelum berlakunya UU no. 1 tahun 1974, terdapat dalam hukum perkawinan sebagai berikut :
a. Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum adat mereka. Dalam hal ini orang-orang Islam berlaku
hukum perkawinan menurut agama Islam. Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen tunduk pada
Staatsblad 1933 no. 74 (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia / HOCI)
b. Bagi orang-orang Arab dan lain-lain bangsa Timur Asing yang bukan Tionghoa berlaku Hukum Adat
mereka.
c. Bagi orang-orang Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek.
d. Bagi orang-orang Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetboek dengan sedikit kekecualian, yaitu yang mengenai
hal pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan dilakukan.
e. Dalam hal perkawinan campuran pada umumnya berlaku hukum dari suami (Peraturan Perkawinan
Campuran diatur dalam Regeling op de gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 no. 158).

Asas-asas yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :


a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b. Suatu perkawinan adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu,
c. Asas monogami. Asas ini ada kekecualian, apabila dikehendaki oleh yang pihak-pihak yang bersangkutan,
karena hukum dan agama mengizinkan dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
pengadilan.
d. Prinsip calon suami harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,
e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-
undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah
tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

DASAR-DASAR PERKAWINAN
1. Lembaga Pertunangan
2. Pengertian Perkawinan
3. Sahnya perkawinan
4. Asas Monogami
LEMBAGA PERTUNANGAN

 Peristiwa pertunangan bukan lembaga yang wajib diikuti, tetapi tumbuh sebagai perkembangan hukum.
Kesepakatan ini didahului dengan lamaran yaitu permintaan atau tawaran yang dilakukan oleh pihak lelaki
kepada pihak perempuan.
 Bagaimana sifat hukum dan akibat hukum pertunangan ini? Menurut Wiryono Prodjodikoro, suatu
persetujuan dirasakan baru mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan jika diadakan suatu
“tanda” sebagai bukti adanya persetujuan, berwujud suatu barang atau sejumlah uang yang diberikan
pihak lelaki kepada pihak perempuan atau kedua belah pihak saling memberikan secara timbal balik.
Pertunangan tidak berarti peristiwa ini mesti disusul dengan perkawinan. Jadi pemaksaan untuk kawin
tidak ada sebagai akibat pertunangan.
 Akibat putusnya pertunangan, apa yang pernah diberikan sebagai tanda pertunangan harus
dikembalikan atau berlipat ganda dari apa yang diberikan. Sedangkan pihak yang lain tidak memenuhi
janji, tanda pertunangan tidak perlu dikembalikan.
 Pertunangan adalah lembaga kesepakatan untuk melangsungkan perkawinan, jika pertunangan putus,
maka janji yang tidak dipenuhi dapat disebut wanprestasi, yang dapat dituntut ke pengadilan.
 Ketentuan yang mengatur tentang acara yang mendahului perkawinan diatur dalam KUHPerdata pasal 58,
ini hanya berlaku bagi mereka yang tunduk pada hukum BW, yaitu orang-orang Tionghoa dan Eropa
(warga negara) dan tidak berlaku bagi orang-orang warga negara Indonesia.

 Menurut Islam, sebelum perkawinan dilangsungkan ada langkah pendahuluan yang disebut Khithbah
(peminangan). Pengertian khitab artinya lamaran untuk menyatakan permintaan perjodohan dari seorang
laki-laki kepada seorang perempuan. Melamar seperti ini, dibolehkan dalam Islam baik terhadap gadis
maupun janda yang telah habis masa iddahnya (Al Baqarah 235). Syarat wanita yang bisa dipinang, yaitu:
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syari yang menyebabkan laki-laki dilarang
memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita tersebut haram dini kahi selamanya
(masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
2. Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseorang meminang pinangan
saudaranya.

PENGERTIAN PERKAWINAN

• Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1)”.
• Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2, “ Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
• Menurut Prof. Subekti, SH, “Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk waktu yang lama”.
• Menurut Prof. MR. Paul Scholten, “Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.
• Dalam keputusan perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban
serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim.
• Akad nikah tersusun daripada sighot (susunan kata) yang berisi :
 Ijab, yakni penyerahan dari pihak pertama. Perkataan dari pihak pertama : “Saya nikahkan engkau dengan
anak saya bernama … dengan mas kawin”
 Qobul, yakni penerimaan dari pihak kedua atas perkalian nikah yang dimaksud. Perkataan dari pihak kedua
: “saya terima nikah … dengan mas kawin … tunai / utang”.
SAHNYA PERKAWINAN

Perkawinan dianggap sah , jika diselenggarakan :


 Menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Secara tertib menurut hukum Syari’ah (bagi yang beragama Islam), sahnya suatu perkawinan apabila ada : calon
suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab dan kabul.
 Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh pegawai pencatatan nikah (pasal 2)
a. Pencatatan perkawinan yang perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
(Nikah, Talak dan Rujuk).
b. Pencatatan perkawinan yang perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama
Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil.

ASAS MONOGAMI

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami, yaitu suatu perkawinan antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai isteri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

• Undang-undang ini membuka kemungkinan seorang pria mempunyai lebih seorang isteri (poligami)
dengan alasan-alasan yang kuat dan diterima oleh hukum.
• Harus diperoleh izin dari isteri pertama atau isteri-isteri yang lain dan dikehendaki oleh pihak-pihak jika
izin-izin itu tidak diberikan oleh isteri atau isteri-isterinya maka si suami harus memperoleh izin dari hakim
pengadilan dengan mengajukan permohonan disertai alasan-alasan yang kuat dan dalam undang-undang
disebutkan alasan-alasan itu :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
b. isteri mendapat cacat badaniah atau berpenyakit tidak dapat disembuhkan ,
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
 Persetujuan tidak diperlukan jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian (contoh : gila), atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
sekurang- kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya (itikad jahat istri menyakiti batin
suaminya, dll) yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat [2] UU Perkawinan).

 Adanya kepastian bahwa si suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
 Adanya jaminan bahwa si suami akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anak mereka,
diantaranya :
a) Tidak meninggalkan isteri tuanya yang bergantung (An Nisa ayat 129).
b) Jangan mencari soal buat menyusahkannya (An Nisa ayat 34).
c) Pergaulilah isteri-isterimu dengan baik (An Nisa ayat 19).
d) Jangan tidak memberi rezeki kepada mereka dan jangan diurungkan sukatan serta timbangan tetapi berilah
mereka hak mereka (Hud ayat 84)

Agama Kristen dan Katolik melarang untuk berpoligami. Agama Kong Fu Tsu dan Hindu Bali, tidak melarang
berpoligami. Kecuali bagi orang Tionghoa yang beragama Kong Fu Tsu, orang-orang ini dilarang berpoligami
bukan karena agama mereka melarangnya, akan tetapi oleh Undang-Undang Hukum Perdata

BAB 2

AKAD DAN WALI DALAM PERNIKAHAN


 Syarat Perkawinan
 Surat yang terkait dengan perkawinan
 Akad Nikah
 Wali Dalam Pernikahan
SYARAT PERKAWINAN
Di samping ketentuan-ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, undang-undang perkawinan
menentukan syarat-syarat perkawinan, sebagai berikut :
Syarat perkawinan dibagi menjadi dua (2) yaitu:
a. Syarat materiil
Adalah syarat yang melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, dan disebut juga syarat
subyektif.
b. Syarat formal
Adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga syarat
obyektif.

SYARAT MATERIIL
Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 seperti
yang diatur dalam pasal 6 sampai dengan Pasal 12 adalah sebagai berikut:
1. Adanya Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
2. Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);
3. Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 19 tahun, kecuali ada
dispensasi dari pengadilan (Pasal 7);
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan keluarga atau darah yang
tidak boleh kawin (Pasal 8);
5. Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain dan calon mempelai pria juga
tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain, kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk
poligami (Pasal 9);
6. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin
kembali (untuk ketiga kalinya) (Pasal 10);
7. Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang berstatus janda (Pasal 11);

SYARAT FORMIL
Syarat-syarat formal berhubungan dengan tata cara perkawinan, dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan Perundang-undangan sendiri.
Syarat formal yang berhubungan dengan tata cara perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.
2. Pengumuman untuk melangsungkan perkawinan.
3. Calon suami isteri harus memperlihatkan akta kelahiran
4. Akta yang memuat izin untuk melangsungkan perkawinan dari mereka yang harus memberi izin atau akta
dimana telah ada penetapan dari pengadilan.
5. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus memperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau dalam
hal ini memperlihatkan surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat Nikah.
6. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa pencegahan.
7. Dispensasi untuk kawin, dalam hal dispensasi diperlukan.

SURAT YANG TERKAIT DENGAN PERKAWINAN

Pegawai pencatatan nikah harus melakukan penelitian terhadap surat-surat yang diajukan calon mempelai laki-laki
maupun perempuan, sebelum akad nikah dilangsungkan, surat-surat tersebut berkaitan dengan perkawinan yang
akan dilangsungkan, yang harus diteliti, seperti :

1. Keterangan lurah/kepala desa yang menyatakan identitas : nama, tempat dan tanggal lahir, nama orang tua.
2. Keterangan mengenai nama agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal dan nama serta tempat
tinggal orang tua calon mempelai.
3. Izin tertulis dari orang tua atau/izin pengadilan jika para calon belum mencapai umur 21 tahun.
4. Izin isteri atau izin pengadilan bagi calon suami yang hendak kawin lagi.
5. Dispensasi pengadilan atau pejabat yang ditunjuk bagi calon mempelai di bawah umur untuk kawin.
6. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau surat cerai.
7. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan/Keamanan atau Panglima TNI apabila
seorang calon mempelai atau kedua-duanya anggota Tentara Nasional Indonesia.
8. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah satu
calon mempelai atau kedua-duanya tidak dapat menghadiri sendiri atau ada alasan yang penting,
sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara
Pengajuan Perkawinan, Perceraian, Dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik
Indonesia Dalam mengajukan permohonan izin kawin bagi pegawai negeri pada Polri harus memenuhi
persyaratan umum dan khusus.

Persyaratan umum meliputi:


1. surat permohonan pengajuan izin kawin;
2. surat keterangan N1 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai nama, tempat, dan tanggal lahir, agama,
pekerjaan, tempat kediaman dan status calon suami/istri;
3. surat keterangan N2 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai asal usul yang meliputi nama, agama,
pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua/wali;
4. surat keterangan N4 dari kelurahan/desa sesuai domisili, mengenai orang tua calon suami/istri;
5. surat pernyataan kesanggupan dari calon suami/istri untuk melaksanakan kehidupan rumah tangga;
6. surat pernyataan persetujuan dari orang tua, apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, maka
persetujuan diberikan oleh wali calon suami/istri;
7. surat keterangan pejabat personel dari satuan kerja pegawai negeri pada Polri yang akan melaksanakan
perkawinan, mengenai status pegawai yang bersangkutan perjaka/gadis/kawin/duda/janda;
8. surat akta cerai atau keterangan kematian suami/istri, apabila mereka sudah janda/duda;
9. surat keterangan dokter tentang kesehatan calon suami/istri untuk menyatakan sehat, dan khusus bagi calon
istri melampirkan tes urine untuk mengetahui kehamilan;
10. pas foto berwarna calon suami/istri ukuran 4 cm x 6 cm, masing-masing 3 lembar, dengan ketentuan:
a. bagi perwira berpakaian dinas harian dengan latar belakang berwarna merah;
b. bagi Brigadir berpakaian dinas harian dengan latar belakang berwarna kuning;
c. bagi PNS Polri berpakaian dinas harian dengan latar belakang berwarna biru; dan
d. bagi calon suami/istri yang bukan pegawai negeri pada Polri berpakaian bebas rapi dengan latar
belakang disesuaikan dengan pangkat calon suami/istri;
11. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi calon suami/istri yang bukan pegawai negeri.

Persyaratan khusus meliputi:


1. calon suami/istri yang beragama Katholik, melampirkan surat permandian atau surat keterangan
yang sejajar dan tidak lebih dari 6 (enam) bulan;
2. calon suami/istri yang beragama Protestan melampirkan surat permandian/baptis dan surat sidi;
3. bagi pegawai negeri pada POLRI pria yang kawin dengan WNA wajib memenuhi persyaratan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dan bagi Polwan dan PNS wanita bersedia berhenti dari
dinas aktif.
4.
Pengertian Akad Nikah
• Akad nikah terdiri dari dua kata, yaitu kata akad dan kata nikah. Kata akad artinya janji, perjanjian;
kontrak. Sedang nikah yaitu ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan
ajaran agama.
• Kompilasi Hukum Islam Bab I pasal 1 (c) yang berbunyi: Akad nikah adalah rangkaian ijab yang
diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua
orang saksi.
• Akad nikah ialah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri
mereka dalam ikatan perkawinan. Dengan pernyataan ini berarti kedua belah pihak telah rela dan sepakat
melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan
dengan aturan-aturan dalam berumah tangga.
Pelaksanaan Akad Nikah Menurut KHI
• Pasal 27 berbunyi : “Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu”.
• Pasal 28 berbunyi: “Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan.
Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.”
• Pasal 29 berbunyi:
1) Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
2) Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon
mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah
untuk mempelai pria.
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak
boleh dilangsungkan.
• Pasal 17 ayat (3) berbunyi :”Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan
dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti”.

Pelaksanaan akad nikah menurut Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975


• Berbunyi: “perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan
oleh pegawai pencatat nikah”.
• Tata cara pelaksanaan pekawinan dilakukan menurut ketentuan hukum agama dan kepercayaannnya dan
dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat serta dihadiri dua orang saksi.

Syarat-syarat ijab-qabul dalam akad nikah adalah:


1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria.
3) Menggunakan kata-kata: nikah atau tazwij atau terjemah dari kata-kata nikah dan tazwij.
4) Antara ijab dan qabul bersambungan.
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6) Orang yang berkait dengan ijab-qabul itu tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
7) Majelis ijab-qabul itu harus dihadiri minimal empat orang, yaitu: calon memperlai pria atau wakilnya, wali
dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.
Wali Nikah
• Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya.
• Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim,
aqil dan baligh.
• Wali nikah terdiri dari :
1. Wali nasab;
2. Wali hakim.
WALI NASAB
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
1. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
2. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki
mereka.
3. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan
laki-laki mereka.
4. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki
mereka.
WALI NASAB
• Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali,
maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita.
• Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah
kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
• Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-
sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang
lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
• Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh
karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser
kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya.
Wali Hakim
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada
putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

BAB 3
PERJANJIAN PERKAWINAN

PENGERTIAN
• Perjanjian perkawinan menurut pasal 29 UU Perkawinan, ialah perjanjian lebih sempit, oleh karena hanya
meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overeenkomsten). Dan pada
perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet alleen” (perikatan
yang bersumber pada undang-undang). Hal ini jelas karena dari memorinya dikatakan perjanjian ini tidak
termasuk perjanjian ta’liq at talaq (talaq yang digantungkan).
• Setelah akad nikah selesai, maka mempelai laki-laki membaca janji “penggantungan talaq”. Janji tersebut
sudah dicetak pada surat nikah yang ditetapkan oleh Menteri Agama dalam model A2. (Peraturan Menteri
Agama tanggal 23 Juni 1955 nomor 1 tahun 1955).
• Janji perkawinan dalam pasal ini, tentunya adalah janji perkawinan selain janji penggantungan talaq,
misalnya seperti “perjanjian pisah harta”.
• Istilah perjanjian yang dipakai di sini adalah istilah yang lebih luas dari pada sekedar kesanggupan atau
kata sepakat (overeenkomsten).

PENGERTIAN
• Pengertian “perjanjian” saja diartikan sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara
kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau
tidak untuk melakukan suatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.
• Dalam perjanjian tersebut para pihak dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan berupa:
1. Bersepakat menyatukan harta mereka;
2. Melakukan penyatuan harta terbatas saja;
3. Tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan mereka.

KAPAN PERJANJIAN DISELENGGARAKAN

Perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan diselenggarakan. Perjanjian bersifat notariil maupun di bawah
tangan dan harus memuat :
1. Atas persetujuan / kehendak bersama
2. Secara tertulis
3. Kemudian disahkan oleh pegawai pencatat nikah
4. Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan / kepatutan.

Perjanjian itu berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan dilekatkan pada akta surat nikah dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dengan surat nikah.
Setelah perkawinan berlalu, jika ada kehendak untuk merubah perjanjian perkawinan tersebut selama perkawinan
berlangsung, maka perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah. Kecuali ada persetujuan kedua belah
pihak dan perubahan itu tidak merugikan kepentingan pihak ketiga.

ISI PERJANJIAN PERKAWINAN


• Materi yang diatur dalam perjanjian perkawinan tergantung pada pihak-pihak calon suami–calon isteri, asal
tidak bertentangan dengan hukum/undang-undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan.
• Perjanjian ini biasanya berisi janji tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Jadi berada di lapangan ruang lingkup hukum kebendaan. Lazimnya berupa perolehan harta kekayaan
terpisah, masing-masing pihak memperoleh apa yang diperoleh atau diperdapat selama perkawinan.
• Luas berlakunya perjanjian perkawinan bersisi dua (twee zijding), (1) berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. (2) juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini
tersangkut.
• Meskipun perjanjian ini bersifat contracteer vrijheid (asas kebebasan berkontrak), perjanjian ini tidak
boleh membatasi hak dan kewajiban peserta perjanjian, yakni suami dan istri, karena hal tersebut akan
merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHPer, larangan tentang isi perjanjian dengan undang-
undang perkawinan nasional (Undang-undang No. 1 tahun 1974), diatur agak lengkap :
a. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (139 KUHPer).
b. Perjanjian tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPer diberikan kepada suami
selaku kepala rumah tangga (140 ayat 1 KUHPer).
c. Dalam perjanjian suami dan isteri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi budel
tinggalkan anak-anak mereka (pasal 141 KUHPer).
d. Dalam perjanjian ini tidak boleh ditentukan bahwa dalam hal campur harta, apabila milik bersama itu
dihentikan, si suami atau si isteri akan membayar hutang yang melebihi perimbangan dan keuntungan
bersama (pasal 142 KUHPer).
e. Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam
suatu negara asing (pasal 143 KUHPer).

PERJANJIAN PERKAWINAN menurut KHI


 Berdasarkan Pasal 45 KHI, Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1) Taklik talak; 2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
 Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam
taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-
sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
 Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian
tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan meliputi
percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan Islam.
 Perjanjian pemisah harta bersama tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga.

SIGAT TA’LIK
‫بسم ﷲ الرحمن الرحيم‬
Pada hari ini ……….. tanggal …………. Saya ……………. Bin................berjanji dengan sepenuh hati bahwa saya
akan mempergauli istri saya bernama …………. Binti....................dengan baik (mu’asayarah bil ma’ruf) menurut
ajaran Islam.

Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sigat ta’lik sebagai berikut

: Apabila saya :
1. Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut.
2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya.
3. Menyakiti badan atau jasmani istri saya; atau
4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,

dan karena perbuatan saya tersebut istri saya tidak rida dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka
apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian istri saya membayar Rp. 10.000 (sepuluh ribu
rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, jatuhlah talah saya satu kepadanya.

PERKEMBANGAN PERJANJIAN KAWIN


Pasal 29 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi, tujuan Perjanjian Kawin :
1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka
tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak
terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono-gini.
2. Atas utang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan
bertanggung jawab sendiri-sendiri.
3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya
(suami/istri).
4. fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan
hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

PERKEMBANGAN PERJANJIAN KAWIN


• Perjanjian Kawin harus memenuhi Pasal 29 ayat 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “Perjanjian tersebut
tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”.
• Dalam UU Perkawinan disyaratkan Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau saat digelar perkawinan.
• Tapi oleh MK, hal itu diubah dengan memperbolehkan Perjanjian Kawin juga bisa dibuat setelah
menjadi pasangan suami istri (pasutri), hal ini disebabkan pada kenyataannya ada fenomena suami istri
yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan
selama dalam ikatan perkawinan.

PERKEMBANGAN PERJANJIAN KAWIN


• MK memutuskan konstitusional bersyarat pada pasal yang dimaksud. Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan yang
berbunyi:
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Harus dimaknai : “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

PERKEMBANGAN PERJANJIAN KAWIN


• Pasal 29 ayat 3 yang awalnya berbunyi:
“Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”.
Harus dimaknai: “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain
dalam Perjanjian Perkawinan”.
• Pasal 29 ayat 4 yang awalnya berbunyi:
“Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak
ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.
Harus dimaknai: “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau
perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.
BAB 4

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN


1. Pencegahan Perkawinan
2. Larangan perkawinan

• Pencegahan perkawinan berarti perbuatan menghalang-halangi, merintangi, menahan, tidak menurutkan


sehingga perkawinan tidak berlangsung. Pasal 13 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu
"perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan
perkawinan ".
• Pihak-pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai;
2. Saudara dari salah seorang calon mempelai;
3. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
4. Wali dari salah seorang calon mempelai;
5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
6. Pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Suami atau isteri dari salah seorang calon mempelai;
8. Pejabat yang ditunjuk.

Apabila ada pencegahan perkawinan, maka Pegawai Pencatat Perkawinan tidak boleh melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan, bahkan Pegawai Pencatat Perkawinan tidak boleh melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat
(1), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 12 Undang-undang meskipun tidak ada pencegahan perkawinan, yaitu bilamana:
1. Calon mempelai belum mencapai usia 19 tahun;
2. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita berhubungan darah keluarga yang tidak boleh
kawin;
3. Calon mempelai masih terikat perkawinan dengan pihak lain;
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita satu sama lain telah bercerai untuk kedua
kalinya, sedangkan agamanya dan kepercayaannya melarang kawin untuk ketiga kalinya;
5. Perkawinan yang akan dilangsungkan tidak memenuhi prosedur (tata cara) yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.

Pencegahan dilakukan dengan mengajukan permohonan melalui pengadilan agama dalam daerah hukum di
mana perkawinan akan dilangsungkan dan memberitahukan kepada pegawai pencatatan nikah (pencatatan sipil
atau kantor urusan agama) sebelum ada keputusan pengadilan tentang permohonan itu tidak dicabut maka
perkawinan belum dapat dilangsungkan.
Adapun proses pencegahan adalah sebagai berikut :
a. Pemberitahuan kepada PPN (Pegawai Pencatat Nikah) setempat.
b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai

Jika perkawinan ditolak calon mempelai dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memberikan
keputusan tentang penolakannya tersebut, dengan dilampiri surat keterangan penolakan. Pengadilan dapat
memberikan keputusan berupa: Menguatkan penolakan atau Memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan,
sedangkan acara yang dipakai oleh pengadilan ialah acara singkat (kort geding ex pasal 283, 293, r.v.) ,
Note : Pasal 283 RV
Dalam hal-hal yang benar-benar sangat mendesak, pemanggilan dapat diperintahkan pada hari dan jam,
termasuk hari Minggu, yang ditentukan oleh ketua bagi setiap perkara atas permohonan secara lisan oleh pihak
yang berkepentingan. Dalam hal ini ketua dapat memerintahkan agar persidangan diadakan di rumah yang
berkepentingan. (RO. 29; Rv. 17, 22, 285, 293, 348, 442, 599, 659, 668, 669-80, 676, 682, 688, 720 dst., 884.)
Larangan perkawinan antara dua orang dikarenakan hubungan darah menurut undang-undang meliputi :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang;
6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

LARANGAN PERKAWINAN
1. Bilamana antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan terdapat hubungan keluarga
dekat, baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, juga dalam hubungan garis
keturunan menyamping dan hubungan semenda.
2. Demikian juga bila terdapat hubungan susunan, yakni susunan orang tua, anak susunan dan lain-lain
3. Derajat mempelai laki-laki lebih rendah daripada derajat mempelai wanita.
4. Seorang isteri nikah lagi dalam waktu iddah.
5. Seorang suami yang telah beristeri empat nikah dengan isteri ke lima.
6. Seorang isteri bersuami nikah lagi dengan laki-laki lain.
7. Pelanggaran larangan nikah mut’ah
8. Oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Bila salah satu dari larangan tersebut dilanggar, maka perkawinan batal sejak semula atau perkawinan fasid.
Nikah mut’ah ialah nikah yang diberi batas waktu, baik waktu yang telah ditetapkan (satu hari, satu minggu, satu
bulan, satu tahun) maupun yang belum ditetapkan (untuk sementara waktu). Perkawinan yang demikian tidak sah,
melanggar tujuan perkawinan, yakni mendapat keturunan yang sah dengan mendirikan rumah tangga yang damai
dan teratur.

LARANGAN PERKAWINAN (HINDU BALI)


• Sejak zaman kerajaan hingga tahun 1951 berlaku larangan perkawinan dengan istilah Asu Pundung
dan Alangkahi Karang Hulu, yakni suatu larangan perkawinan antara perempuan yang berkasta
lebih tinggi dengan laki-laki dengan kasta yang lebih rendah (Nyerod). Awalnya hukuman bagi
pasangan yang melanggar adalah hukuman mati dengan ditenggelamkan hidup-hidup di laut dengan memberi
pemberat pada tubuh korban (hukuman Lebok atau Labuh Batu). Melalui Paswara Residen Bali dan
Lombok Tahun 1910, hukuman Lebok diganti dengan pembuangan seumur hidup (Selong) di luar Bali.
Pada tahun 1927 melalui Paswara Residen Bali dan Lombok Nomor 352 JI.C.2 tertanggal 11 April 1927,
hukuman diperingan menjadi hukuman buang selama 10 tahun di wilayah Bali.
• Larangan perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu telah dihapus melalui Keputusan DPRD
Bali Nomor 11 Tahun 1951. Fakta sosial mencerminkan masih dianutnya nilai dan sikap demikian, antara
lain masih dilakukannya upacara Patiwangi bagi perempuan triwangsa yang kawin Nyerod. Upacara
Patiwangi yang berarti menggugurkan keharuman atau kehormatan, bermakna simbolik menurunkan
kasta perempuan yang kawin Nyerod, sehingga menjadi sederajat dengan kasta suaminya, tidak
sederajat lagi dengan kasta keluarga asalnya. Penurunan derajat kewangsan (kasta) ini, menjadi persoalan
jika perempuan tersebut kemudian bercerai dengan suaminya. Kemana perempuan itu pulang? Pasamuan
Agung III Majelis Desa Pakraman Bali dengan tegas memutuskan bahwa upacara Patiwangi tidak
dilaksanakan lagi terkait dengan upacara perkawinan karena bertentangan dengan hak asasi
manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan dalam keluarga, baik
selama perkawinan maupun sesudah perceraian.

Perkawinan Yang Dilarang Adat Batak Toba


Dalam perkawinan adat Batak Toba juga ada aturan-aturan tertentu yang harus ditaati, dan hukumannya sangat
tegas. Dibeberapa daerah aturan yang berlaku yang dilaksanakan oleh penatua masing-masing daerah berbeda, ada
yang dibakar hidup-hidup, dipasung, dan buang atau diusi dari kampung serta dicoret dari tatanan silsilah keluarga.
Berikut ini 5 Larangan dalam Perkawinan Adat Batak Toba:
1. Namarpandan, padan/ikrar janji yg sudah ditetapkan oleh marga-marga tertentu, dimana antara laki-laki
dan perempuan tidak bisa saling menikah yang padan marga. Misalnya : Hutabarat & Silaban Sitio;
Manullang & Panjaitan ; Sinambela & Panjaitan ;Sibuea & Panjaitan Sitorus & Hutajulu (termasuk
Hutahaean, Aruan) ; Sitorus Pane & Nababan ; Naibaho & Lumbantoruan ; Silalahi & Tampubolon ;
Sihotang & Toga Marbun (termasuk Lumbanbatu, Lumbangaol, Banjarnahor) ; Manalu & Banjarnahor ;
Simanungkalit & Banjarnahor
; Simamora Debataraja & Manurung ; Simamora Debataraja & Lumbangaol ; Nainggolan & Siregar ;
Tampubolon & Sitompul ; Pangaribuan & Hutapea ; Purba & Lumbanbatu ; Pasaribu & Damanik ; Sinaga
Bonor Suhutnihuta & Situmorang Suhutnihuta
2. Namarito (ito), atau bersaudara laki-laki dan perempuan khususnya oleh marga yang dinyatakan sama
sangat dilarang untuk saling menikahi.
3. Dua Punggu Saparihotan, Tidak diperkenankan perkawinan antara saudara abang atau adik laki-laki
marga A dengan saudara kakak atau adik perempuan istri dari marga A tersebut (2 orang kakak beradik
kandung memiliki mertua yang sama).
4. Pariban Na So Boi Olion, Jika ibu yang melahirkan ibu kita ber marga A, perempuan bermarga A baik
keluarga dekat atau tidak, tidak diperbolehkan saling menikah.
5. Marboru Namboru/ Nioli Anak Ni Tulang, Larangan berikutnya adalah jika laki-laki menikahi boru (anak
perempuan ) dari Namboru kandung dan sebaliknya, jika seorang perempuan tidak bisa menikahi anak laki-
laki dari Tulang kandungnya.

PEMBATALAN PERKAWINAN

1. Pengertian
2. Sebab Pembatalan
3. Akibat Pembatalan
4. Gugurnya Pembatalan

PENGERTIAN

Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang
pengertian batal (nietig) tersebut.

 Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai).
 Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard,
 sedang absolut nietig adalah kebatalan mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan.

Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini, berarti dapat difasidkan, jadi relatif nietig. Jadi perkawinan
dapat dibatalkan berarti suatu perkawinan sudah terjadi dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi
syarat- syarat untuk melangsungkan pernikahan.

• Pembatalan nikah menjadi salah satu alasan putusnya perkawinan.


• Pembatalan nikah hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.
• Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
menyatakan batalnya perkawinan dimulai setelah kekuatan putusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
• Pada pembatalan nikah, pernikahan dianggap tidak pernah ada sejak awal

SEBAB PEMBATALAN

Ada dua sebab pembatalan pernikahan, yaitu :

a) Pelanggaran prosedural perkawinan Misalnya :


 Syarat-syarat wali nikah tidak dipenuhi;
 Tanpa dihadiri oleh saksi-saksi pada saat berlangsungnya perkawinan,
 Diselenggarakan oleh pegawai yang tidak berwenang

b) Pelanggaran materi perkawinan Misalnya :


 Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman;
 Jika perkawinan berlangsung, terjadi salah sangka mengenai diri calon suami atau isteri.

AKIBAT PEMBATALAN

Bagaimana ketatnya pengawasan kemungkinan terjadi perkawinan yang dilarang oleh hukum dapat saja terjadi.
Sudah selayaknya perkawinan itu dapat dibatalkan oleh karena tidak ada manfaatnya. Adanya larangan soal
pembatalan dapat diajukan lewat pengadilan, agar suatu perkawinan tertentu sah atau batal.

Dalam hukum Islam dan hukum Adat tidak ada ketentuan yang pasti, siapakah yang dapat memohon keputusan
dari pengadilan tersebut. Juga tidak ada ketentuan yang pasti, apakah pemutusan pengadilan, bahwa suatu
perkawinan adalah sah akan mempunyai kekuatan berlaku surut atau tidak. Artinya apakah dengan putusan
pengadilan itu dianggap seolah-olah sama sekali tidak terjadi perkawinan, ataukah perkawinan yang dinyatakan
batal itu, harus disamakan dengan suatu perkawinan yang terputus secara talaq. Sehingga akibat hukum yang
terjadi sebelum putusan itu, tetap dipertahankan, seperti misalnya, kalau sudah ada anak dari perkawinan itu,
maka anak tersebut tetap merupakan anak sah dari suami isteri.

Keraguan semacam itu terjadi juga di kalangan orang-orang beragama Hindu dan umumnya di seluruh Indonesia.

Lain halnya dengan pengaturan mengenai orang-orang Indonesia asli Kristen dan orang-orang Tionghoa dan
Eropa. Bagi orang-orang Indonesia asli Kristen dalam hal ini diatur secara panjang lebar dalam pasal 36 sampai
pasal 94 dari Staatsblad 1933 No. 74 tentang Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia Java Minahasa Ambonia.

Undang-undang perkawinan di Indonesia menganut sistem pembatalan relatif. Pihak yang dapat mengajukan
pembatalan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan isteri, suami atau
isteri, pejabat yang berwenang dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut.

Ordonansi tersebut dengan UU No. 1 tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 36 ini, ternyata menganut
sistem bahwa suatu perkawinan, yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang tetapi hal ini mula-mula tidak
diketahui oleh yang berkepentingan tetap merupakan perkawinan sehingga dibatalkan oleh hakim, jadi tidak
dengan sendirinya batal (van rechtiswege nietig).

GUGURNYA PEMBATALAN
Hak mengajukan pembatalan gugur, disebabkan :
a. Dalam hal pelanggaran prosedural jika mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan kedua
mempelai dapat memperlihatkan akta perkawinan dibuat oleh pegawai pencatat pihak yang berwenang
telah diperbaharui.
b. Dalam hal pelanggaran materiil jika ancaman telah berhenti atau jika salah sangka di antara suami isteri
telah disadari keadaannya, tetapi dalam tempo 6 bulan setelah perkawinan itu ternyata masih tetap sebagai
suami isteri.
Contoh : Putusan Pengadilan Agama Wonosobo No. 1175/Pdt.G/2011/PA.Wsb
• Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah karena pernikahan antara Pemohon dan Termohon
terjadi karena dijodohkan oleh orangtua Pemohon dan dipaksa untuk segera menikah.
• Pemohon menyebutkan bahwa ia tidak mengenal Termohon secara baik sehingga Pemohon tidak mencintai
Termohon.
• Pemohon mau menikah dengan Termohon karena rasa takut dan ingin mengabdi kepada orangtua Pemohon.
• Setelah menikah Pemohon dan Termohon tinggal bersama di rumah orangtua Termohon selama 2 minggu,
kemudian pisah sampai sekarang (saat permohonan ini) sudah 1 tahun.
• Atas permohonan tersebut, Hakim memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon dan membatalkan
pernikahan Pemohon dan Termohon

BAB 5

PUTUSNYA PERKAWINAN
Istilah “putus” perkawinan dapat diganti istilah lain (ander woord) yaitu “penghentian” atau “pecah” perkawinan,
tiga istilah tersebut mempunyai pengertian (makna) sama. “Pecah” menurut kamus berarti terbelah menjadi
beberapa bagian; retak atau rekah; bercerai-berai; sedang “putus” berarti tidak berhubungan lagi; berpisah, selesai
atau rampung dan “henti” berarti stop, tidak boleh jalan.

Perkawinan dapat putus karena :


a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan

ALASAN PERCERAIAN
• Istilah alasan-alasan perceraian tidak sama dengan istilah sebab-sebab perceraian. Kata “alasan” berasal
dari kata “alas” yang berarti dasar atau fondamen, sedang “sebab-sebab” perceraian, berarti “lantaran”
/ lantaran apa yang menyebabkan sesuatu terjadi, “apa asal muasalnya” ; “apa permulaannya”.
• Alasan perceraian disebutkan dalam undang-undang secara limtatife, artinya selain alasan-alasan yang
disebut dalam undang-undang, bukan merupakan alasan perceraian. Dengan demikian alasan lain tidak bisa
diajukan sebagai dasar gugatan.

TALAK (menurut KHI


Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan. Beberapa Macam Talak:
• Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri
dalam masa iddah.
• Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah (talak yang terjadi qabla al dukhul; talak
dengan tebusan atau khuluk; talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama).
Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak
dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan
orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan habis masa iddahnya.

ALASAN PERCERAIAN
• Alasan perceraian itu ditentukan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak, suami atau isteri, berbuat zinah, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya,
sehingga perbuatan itu sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah, karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
fungsinya
sebagai suami / isteri.
f. Antara suami isteri, terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran yang tidak ada harapan akan
hidup rukun kembali dalam rumah tangga.
KHI
Selain yang tersebut di atas terdapat 2 alas an perceraian:
g. Suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah tangga.
PROSES PERCERAIAN
Permohonan perceraian dapat diajukan :
Bagi mereka yang beragama Islam dapat diajukan ke pengadilan agama.
a. Bila suami yang mengajukan perceraian, permohonan diajukan kepada pengadilan, yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (pasal 66 UU No. 7 tahun 1989) dengan memberikan
alasan-alasan mengapa ia hendak menceraikan isterinya. Untuk permohonan itu ia harus melampirkan
beberapa surat keterangan dari lurah, surat nikah, dan saksi-saksi dari keluarga atau orang yang terdekat
dengan pemohon dan termohon.
b. Bila isteri yang mengajukan perceraian, permohonan diajukan kepada pengadilan, yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (pasal 73 UU No. 7 tahun 1989) pada prinsipnya sama
dengan sarana, surat nikah, surat dan bukti yang harus dibawa isteri yang hendak menceraikan suaminya,
seperti diuraikan tersebut di atas.

• Bagi yang bukan beragama Islam, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau
kuasanya di pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan
diajukan ke pengadilan di tempat kediaman penggugat, jika alamat tergugat tidak jelas atau tidak
diketahui.
• Bilamana tergugat berada di luar negeri, maka gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat.
Pengadilan akan menyampaikan gugatan itu kepada tergugat (PP 9/75, pasal 20 ayat 3) melalui
Perwakilan RI di luar negeri itu.
• Apabila orang itu telah meninggalkan rumah selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin suami
atau isteri yang ditinggalkan itu, maka gugatan perceraian diajukan di tempat kediaman penggugat
(Pasal 21 ayat 2).
• Jika perselisihan yang terus menerus, antara suami isteri tidak dapat diharapkan rukun kembali,
maka gugatan perceraian diajukan di tempat kediaman tergugat.
• Gugatan perceraian dengan alasan bahwa suami atau isteri itu mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau
lebih, diajukan di tempat kediaman penggugat dengan memperlihatkan putusan dari pengadilan
tersebut (Pasal 23).
Gugatan cerai harus disertakan sebagai bukti : akte perkawinan, akte kelahiran anak, saksi dari keluarga penggugat
atau orang-orang yang dekat dengan suami

MASA IDDAH
Pengertian Masa Iddah
• KBBI mendefinisikan iddah atau idah sebagai masa tunggu bagi perempuan yang berpisah dengan suami,
baik karena ditalak maupun bercerai mati.
• Abdul Qadir Mansyur mengartikan masa iddah sebagai masa penantian seorang perempuan yang diceraikan
atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir dari masa iddah ini menurut Mansyur ditentukan dengan proses
melahirkan, masa haid atau masa suci, atau dengan bilangan bulan.
• KHI mengartikan iddah sebagai masa tunggu. Pemberlakukan masa iddah berdasarkan jatuhnya putusan
pengadilan atau tanggal kematian suami.
Lama Masa Iddah
• Masa iddah bagi perempuan yang cerai mati (suami meninggal) adalah 130 hari.
• Masa iddah bagi perempuan yang bercerai dalam kondisi masih haid adalah tiga kali suci dengan waktu
sekurang-kurangnya 90 hari.
• Masa iddah bagi perempuan yang bercerai dan tidak lagi haid adalah 90 hari.
• Masa iddah bagi perempuan yang dalam kondisi hamil adalah hingga melahirkan.
HAK BERDAMAI
• Berdamai lagi, atau verzoening (Bahasa Belanda) dalam UU Peradilan Agama No. 7 tahun 1969, tidak
diatur. Jika dilihat dari Staatsblad 1933 – 74 berlaku bagi orang-orang Indonesia asli Kristen, pada
dasarnya undang-undang menghendaki bahwa hakim berusaha supaya seberapa boleh dan isteri
akan berdamai lagi. Jika berhasil, maka tidak ada lagi perkara di muka pengadilan. Konsekuensi berdamai
lagi antara suami atau isteri, mereka tidak dapat meminta perceraian lagi berdasarkan suatu peristiwa yang
terjadi sebelum ada perdamaian, tetapi yang diketahui oleh mereka pada saat diadakan perdamaian, maka
perceraian tidak boleh diucapkan oleh hakim.
• Dalam sistem KUHPerdata hal verzoening di antara suami dan isteri ini adalah suatu kejadian yang
pokoknya terjadi sebelum dimulai pemeriksaan di muka pengadilan, yakni sebelum hakim memberi
izin kepada suami atau isteri untuk mengajukan gugatan bercerai (pasal 831 BW) dan Reglement
Burgerlijke Rechtsvordering. Dan kejadian perdamaian ini untuk menentang perceraian. Dalam pasal 216
BW dikatakan bahwa dengan adanya peristiwa berdamai lagi gugurlah hak tuntut untuk bercerai.
• Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mengatur hal berdamai lagi, dan bagaimana seharusnya,
hal ini diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, setelah mendengarkan keterangan kedua belah pihak
suami dan isteri.

AKIBAT HUKUM
Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan hukum keluarga maupun dalam hukum
kebendaan serta hukum perjanjian. Akibat pokok dari perceraian adalah bahwa bekas suami dan bekas isteri,
kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.
1) Janda dan duda
Janda (bekas isteri) tidak dapat segera kawin kembali dengan pria lain, kecuali bekas suaminya, sebelum habis
masa tunggu selama 3 (tiga) bulan suci (iddah), yaitu sekurang-kurangnya setelah 90 hari setelah bercerai.
Apabila janda itu sedang dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu itu ditetapkan sampai ia melahirkan
anaknya. Duda (bekas suami) tidak ada waktu tunggu. Apabila ada perceraian, maka bapak atau ibu adalah
wali dari anak- anak di bawah umur 18 tahun tersebut. Siapa yang menjadi wali dari masing-masing anak
ditetapkan oleh hakim.
2) Pemeliharaan Anak
• Kewajiban memelihara dan mendidik anak tidak sama dengan kewajiban menjadi seorang wali dari anak-
anak. Baik bekas suami maupun bekas isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
berdasarkan kepentingan anak. Perwalian anak-anak ditetapkan oleh hakim dan tidak bersifat abadi.
Perwalian atau voogdij ialah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta benda anak yang belum
dewasa, jika anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya.
• Kekuasaan wali mencakup terhadap pribadi anak tersebut dan harta benda anak yang bersangkutan.
Kewajiban wali terhadap anak yang berada dalam kekuasaannya adalah (a) mengurus anak tersebut
berikut hartanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu; (b) membuat
daftar inventaris atas harta bendanya sejak ia menerima jabatan sebagai wali, dan mencatat semua
perubahan harta benda anak tersebut; (c) bertanggung jawab atas harta benda serta kerugian akibat
kelalaian dan kesalahan dalam pengurusan; (d) tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang yang dimiliki anak itu kecuali untuk kepentingan anak tersebut
menghendakinya.
• Perwalian dapat diperoleh karena beberapa sebab : karena ditunjuk orang tua sebelum ia meninggal dunia
dengan surat wasiat atau dengan pesan di hadapan dua orang saksi. Juga berdasarkan keputusan
pengadilan, karena salah satu atau kedua-duanya orang tua melalaikan kewajiban terhadap anak dan
berkelakuan buruk.
3) Harta Benda Bersama
• Harta benda bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung disebut gono-gini, harus dibagi dua
antara suami dan isteri, apabila mereka bercerai.
• Harta bawaan atau harta asal dari suami atau isteri tetap berada di tangan pihak masing-masing. Apabila
bekas suami atau bekas isteri tidak melaksanakan hal tersebut di atas, maka mereka dapat digugat melalui
pengadilan negeri di tempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.

4) Isteri Tidak Mempunyai Mata Pencaharian


Apabila bekas isteri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-hari, maka bekas suami harus
memberikan biaya hidup sampai bekas isterinya itu kawin lagi dengan pria lain.

Surat Keputusan Pengadilan Sebagai Bukti Adanya Nikah


• Jika surat nikah hilang, sedang kantor urusan agama atau kantor catatan sipil tidak dapat memberikan
duplikat surat nikah, karena aktanya hilang atau tidak diketemukan lagi karena musnah, maka suami atau
isteri dapat meminta ke pengadilan agama atau negeri, supaya menyatakan berdasarkan bukti-bukti,
saksi- saksi bahwa suami isteri betul-betul bernikah satu sama lain.
• Juga pengadilan dapat meminta kepastian tentang sah atau tidaknya perkawinan suami isteri yang kedua-
duanya telah meninggal dunia, jika diperlukan untuk menyelesaikan suatu hal.
• Departemen Agama pada tanggal 10 September 1959 Nomor F/II/12060 mengeluarkan surat edaran bahwa
pengadilan agama berwenang memberikan pernyataan sah tidaknya nikah (sebagai pengganti surat nikah),
jika nikah itu dahulu dilakukan menurut hukum syari’ah Islam, tetapi kemudan suami isteri berpindah ke
agama lain. Dalam hal ini pengadilan tidak mengesahkan pengadilan suami isteri itu, setelah pindah agama,
tetapi pernyataan itu semata-mata merupakan bukti administratif tentang adanya pernikahan sah yang
dahulu dilakukan secara syari’ah Islam. Jadi mengenai keadaan suami isteri masih memeluk agama Islam.

BAB 6

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM


ISLAM UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINANKOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

PENGERTIAN
Setelah perkawinan berlangsung, suami isteri mempunyai beban yang diletakkan oleh undang-undang, yaitu
memikul kewajiban yang luhur, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang atau sama dalam
kehidupan rumah tangga. Dan dalam pergaulan hidup dalam masyarakat, mereka tidak boleh diizinkan saling
mengekang, menghalangi satu sama lain. Mereka berhak untuk melakukan perbuatan hukum

MENURUT HUKUM ISLAM


1) Hak dan kewajiban suami istri bersama
a. Halal saling bergaul (Q.S.4:23).
b. Hak saling mewaris(Q.S.4:12).
c. Sah menasabkan anak kepada suami.
d. Pergaulan suami istri yang baik,tenteram, cinta mencintai dan santun menyantuni (Q.S.4:19)
dan (Q.S.30:21)
e. Saling menjaga rahasia masing-masing (Q.S.4:31)

2) Hak isteri kepada suami


Hak yang bersifat kebendaan:
a. Hak menerima mahar (Q.S. 4:4)
b. Hak atas nafkah (Q.S.2:233; Q.S.65:7)
c. Hak atas tempat kediaman (Q.S.56:6)
Hak yang bersifat bukan kebendaan (ruhiyah)
a. Agar suami menggauli isterinya dengan baik (Q.S.4:19)
b. Agar suami menjaga dan memelihara isterinya (Q.S.66:6)
c. Apabila suami mempunyai isteri lebih dari seorang , maka hendaknya ia berlaku adil terhadap para isterinya
(Q.S4:3)

3). HAK SUAMI TERHADAP ISTERI


a. Taat dan patuh (Q.S.4:34)
b. Mengurus dan mengatur rumah tangga dengan baik termasuk memelihara dan mendidik anak (Q.S.4:34)
MENURUT UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (UUP)

Dalam UUP, ketentuan tentang hak dan kewajiban suami isteri dirumuskan dalam Pasal 30 yang rumusannya:
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat.

 Hak dan kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan masyarakat diatur pada Pasal 31
1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

 Tempat kediaman diatur dalam Pasal 32, yaitu :


1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Kewajiban Suami dan Istri dalam rumah tangga diatur pada Pasal 33 dan 34, yaitu :
 Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu
kepada yang lain.
 Pasal 34
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Hak dan Kewajiban Suami Isteri, (Psl 77 dan 78).


Pasal 77:
(1) Suami isteri memikul kewajiban menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, s e t i a dan saling memberi bantuan,
(3) Suami isteri wajib mengasuh dan memelihara anak-anak, mengenai pertumbuhan jasmani, ruhani,
pendidikan agama,
(4) Suami isteri wajib memlihara kehormatan
(5) Jika suami isteri melalaikan kewajiban dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama

Pasal 78:
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,
(2) Rumah kediaman ditentukan bersama oleh suami isteri
2. Kedudukan Suami Isteri (Pasal 79).
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga d a n pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Suami adalah kepala keluarga, dan isteri adalah ibu rumah tangga.
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
Kewajiban Suami (Psl.80).
(1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, mengenai urusan rumah tangga yang
penting diputuskan oleh suami isteri b e r s a m a.
(2) Suami wajib melindungi isteri dan memberi segala keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuan
(3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isteri, memberi kesempatan belajar pengetahuan, dst.
(4) Sesuai dgn penghasilan suami menanggung:
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
c. biaya pendidikan bagi anak.
 Kewajiban suami pada ayat (4) huruf a dan b mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

 Isteri dapat membebaskan suami dari kewajiban sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
 Kewajiban tersebut gugur apabila isteri nusyuz.
 Tempat Kediaman (Pasal 81)
 Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih
dalam iddah.
 Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak
 Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anak, menyimpan harta kekayaan menata
alat r.t.
 Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dgn. kemampuannya, disesuaikan dgn. keadaan
lingkungan.

Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih dari Seorang (Pasal 82)


1. Wajib memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut
besar kecilnya jumlah keluarga, kecuali jika ada perjanjian perkawinan
2. Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isteri dalam satu tempat kediaman

Kewajiban Isteri (Pasal 83 dan 84

Pasal 83
 Isteri wajib berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam
 Menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknya. Pasal 84
1. Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibannya, kecuali dengan alasan yang sah.
2. Selama isteri nusyuz suami tidak wajib memberikan nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
memberi biaya rumah tangga, perawatan dan pengobatan , kecuali kepentingan anak.
3. Kewajiban suami terhadap isteri berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz
4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah

PERSELISIHAN SUAMI ISTERI

Suatu perselisihan suami isteri adalah terjadinya perselisihan yang tidak termasuk perkara-perkara nikah, talaq,
rujuk, perceraian, ta’liq, mas kawin, keperluan kehidupan isteri dan lain-lainnya.

Misalnya seperti perselisihan antara suami-isteri yang kediamannya tidak kumpul satu rumah tangga, biarpun
mereka belum bercerai, tentang soal anak-anak mereka harus dipelihara oleh siapa di antara mereka, juga
perselisihan tentang taat/tidaknya seorang isteri.

Anda mungkin juga menyukai