Anda di halaman 1dari 12

PERBANDINGAN HUKUM

PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN DI BEBERAPA NEGARA

Dalam sistem hukum yang terbanyak, apa yang dinamakan perkawinan


adalah perkawinan perdata, artinya syarat-syarat untuk sahnya perkawinan
ditetapkan oleh hukum perdata, dan bukan oleh agama yang bersangkutan.

Perkawinan antara pria dan wanita merupakan pranata hukum yang


terdapat di semua sistem hukum di dunia ini, bahkan saat ini terdapat desakan-
desakan dari kaum liberal agar hukum mengakui perkawinan satu jenis, yakni
antara pria dengan pria (bagi kaum homoseksual) atau antara wanita dengan
wanita (bagi kaum lesbian). Amerika Serikat adalah salah satu negara yang
melegalkan hubungan pasangan sesama jenis kelamin.

Dalam Hukum Romawi yang dikenal dengan perkawinan de facto, dimana


dua orang yang berlainan jenis sudah hidup bersama layaknya suami isteri,
secara hukum mereka dianggap sudah melakukan perkawinan, asalkan kedua
belah pihak terdapat kehendak (animus atau affektio maritalis) bahwa mereka
memang melakukan ikatan perkawinan dan kehidupan bersama yang
permanen.

I. Menurut sistem Hukum Inggris

Istilah marriage dalam hukum Inggris disebutkan Lembaga perkawinan.

Hukum Inggris seperti juga hukum Anglo Saxon lainnya, mengharuskan


adanya deklarasi oleh para pihak untuk melakukan perkawinan, sama seperti
halnya dengan hukum Islam bahwa deklarasi tersebut disebut “ijab Kabul” untuk
melakukan akad nikah.

Peraturan yang mengatur perkawinan cukup banyak, tetapi tidak akan


ditemukan konsep secara teoritis mengenai perkawinan. William A. Haviland
memberi pengertian tentang Perkawinan sebagai berikut: Pernikahan adalah
kesatuan sosial atau kontrak hukum antara orang yang disebut sebagai

1
pasangan yang menetapkan hak dan kewajiban antara suami isteri, suami isteri
dan anak-anaknya, dan suami isteri dan mertua mereka.

Syarat sahnya perkawinan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan

Calon suami isteri harus mengajukan permohonan pemberitahuan


perkawinan kepada Kantor Catatan Sipil, yang memuat beberapa hal: nama
calon pengantin, usia yang akan menikah, status perkawinan, alamat, pekerjaan,
kebangsaan, tempat yang akan digunakan untuk melangsungkan pernikahan,
kedua calon mempelai harus tinggal di sebuah distrik tempat akan dilakukan
pendaftaran setidak-tidaknya sudah tinggal 7 hari sebelum dilangsungkan
pemberitahuan perkawinan;

2. Syarat pokok untuk melangsungkan perkawinan.

Para pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus dari lawan jenis
yaitu laki-laki dan perempuan, berusia 18 tahun, calon suami isteri tidak terikat
dalam keluarga terdekat, calon suami isteri yang belum berusia 18 tahun, yaitu
antara 16 tahun dan 18 tahun harus mendapat persetujuan tertulis dari orang
tua atau walinya, disaksikan oleh 2 orang petugas, yaitu notaris atau konsuler.

Dalam perjanjian pernikahan dikenal istilah marriage agreement, yaitu


perjanjian yang dibuat antara orang-orang yang sudah menikah atau antara
orang-orang yang berencana untuk menikah. Bentuk perjanjian bersifat tertulis,
dan hal-hal yang diatur di dalamnya: pihak yang bertanggung jawab untuk
mengelola dan memiliki properti, utang selama perkawinan, ha-hal yang
berkaitan dengan keuangan, jika hubungan dengan perkawinan telah berakhir,
perawatan anak setelah perkawinann orang tuanya putus.

Mengenai pembatalan perkawinan atau disebut nullity, ada beberapa syarat


yang membatalkan perkawinan, sebagai berikut:

1. Mereka dilarang melangsungkan perkawinan karena kedekatan hubungan;

2. Salah satu pihak berusia di bawah 16 tahun;

3. Para pihak telah menikah dengan mengabaikan persyaratan tertentu untuk


pembentukan perkawinan;
2
4. Pada saat pernikahan, salah satu pihak sudah melakukan pernikahan yang
sah dengan orang lain;

5. Para pihak bukan masing-masing pria dan wanita;

6. Salah satu pihak pada saat pernikahan tidak berdomisili di Inggris dan Wales;

7. Ketidakmampuan salah satu pihak dalam melaksanakan perkawinan;

8. Pernikahan belum disempurnakan, karena penolakan disengaja responden


untuk mewujudkan sesuatu hal;

9. Perkawinan yang dilaksanakan didasarkan adanya paksaan, kesalahan, dan


tidak sehat mentalnya;

10. Pada saat pernikahan salah satu pihak menderita sakit jiwa;

11. Pada saat perkawinan responden adalah penderita penyakit kelamin;

12. Pada saat perkawinan salah satu pihak telah dihamili oleh beberapa orang
lain, selain pemohon.

Mengenai putusnya perkawinan atau disebut divorce adalah berakhirnya


atau putusnya perkawinan yang disebabkan oleh:

1. Salah satu pihak telah melakukan perzinahan;

2. Salah satu pihak berperilaku buruk terhadap pasangannya;

3. Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya dalam jangka waktu minimal 2
tahun sebelum gugatan diajukan;

4. Salah satu pihak juga meninggalkan pihak lainnya selama 5 tahun.

II. Menurut sistem Hukum Indonesia

Di Indonesia ketentuan perkawinan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974


dan secara khusus mengatur juga berbagai peraturan pelaksanaannya.

Menurut Pasal 1 UU No. 1 Th 1974 bahwa definisi Perkawinan sebagai


berikut: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara pria dengan

3
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.

Jika melihat definisi tersebut di atas, terdapat 2 unsur dalam konsep


perkawinan, yaitu:

1. Adanya ikatan, artinya sebagai penyatu dari 2 pasangan yang berbeda jenis
antara laki-laki dan wanita, sedangkan penyatuan meliputi penyatuan lahir
dan batin yang menjadi subyek dari ikatan tersebut adalah laki-laki dan
wanita;

2. Adanya tujuan dari perkawinan tersebut, yaitu untuk membentuk keluarga


yang bahagia dan kekal yang dapat terpenuhinya kebutuhan jasmani dan
rohani.

Syarat sahnya perkawinan ditentukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.


Syarat tersebut dibagi menjadi 2, yaitu:

1). Syarat internal, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan
perkawinan, yaitu:

a). Persetujuan dari kedua belah pihak yang akan melangsungkan


perkawinan;

b). Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai usia 21 tahun;

c). Laki-laki berusia 19 tahun dan wanita 16 tahun, tetapi ada pengecualian
dispensasi dari pengadilan atau dari Camat atau Bupati;

d). Kedua belah pihak tidak memiliki hubungan perkawinan;

e). Wanita yang menikah untuk kedua kalinya harus melewati masa tunggu
(iddah), sedangkan bagi wanita yang putus perkawinan karena
perceraian, masa iddahnya 90 hari dan masa iddah karena kematian
adalah 130 hari.

2). Syarat eksternal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas dalam
pelaksanaan perkawinan, meliputi:

4
a). Mengajukan laporan kepada P3NTR (Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan
rujuk);

b). Pengumuman yang ditandatangani oleh pegawai pencatat yang

memuat:

(1) nama, usia, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari


calon mempelai dan dari orang tua calon, serta disebutkan pula nama
isteri atau suami yang terdahulu;

(2) hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan dilangsungkan.

Apabila syarat materiel dan formal dapat dipenuhi oleh kedua calon
mempelai, maka perkawinan tersebut dapat dilangsungkan.

Perkawinan dikatakan sah, apabila memenuhi beberapa hal berikut:

1. dilangsungkannya perkawinan menurut hukum agama/kepercayaannya


masing-masing;

2. dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU


Nomor 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa:

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama;

2. wanita yang dinikahi ternyata diketahui masih menjadi isteri orang lain;

3. Wanita yang dinikahi masih dalam masa iddah;

4. Perkawinan melanggar batas usia perkawinan;

5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak;

6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pembatalan perkawinan diajukan ke pengadilan agama di wilayah tempat


tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pembatalan
5
perkawinan tidak akan memutus hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya.

Dalam Pasal 38 dikatakan bahwa putusnya perkawinan dapat dibedakan


menjadi 3 macam, yaitu:

1. Kematian

2. Perceraian

3. Putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan dalam perceraian disebabkan karena 2 hal, yaitu:

1. Talak, yaitu ikrar suami di hadapan pengadilan agama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan;

2. Berdasarkan gugatan perceraian, yaitu perceraian yang disebabkan adanya


gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak.

Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan, yaitu berakhirnya


perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

Di dalam praktek di Indonesia tidak dikenal Lembaga “pisah meja dan ranjang”
secara resmi, berhubung penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, tetapi
mengenal sistem cerai (talak) yaitu talak I, talak II dan talak III. Jika talak III telah
dilakukan, kedua pasangan tersebut tidak boleh bersatu lagi, kecuali jika masing-
masing pihak terutama isteri sudah melakukan perkawinan dengan orang lain,
yang kemudian bercerai lagi.

Hukum di Indonesia, melalui undang-undang perkawinannya memperbolehkan


laki-laki menikah lebih dari satu orang, tetapi dengan persyaratan yang cukup
ketat, yaitu:

1. mengajukan permohonan ke pengadilan untuk beristeri lebih dari satu

2. Harus mendapat persetujuan dari isteri lama

3. Adanya kemampuan finansial dari suami

4. Adanya jaminan bahwa suami dapat berlaku adil


6
5. Memenuhi salah satu atau lebih dari syarat-syarat sebagai berikut:

- Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

- Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

- Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

III. Menurut sistem Hukum Rusia

Dalam Bahasa Rusia istilah perkawinan disebut dengan epak. Perkawinan


dirumuskan dalam Pasal 12 ayat 1 The Family Code of the Russian Federation
No.223 Tahun 1995 yang berbunyi: “ kesepakatan suka rela antara laki-laki dan
wanita yang dibuat dalam rangka memasuki perkawinan dan mencapai atau
mewujudkan maksud dan telah mencapai umur yang telah ditentukan dalam
undang-undang Rusia.

Familiy Code of Russia, terdiri atas 8 syarat, yaitu:

1. Ketentuan Umum;

2. Perkawinan dan pembatalan perkawinan;

3. Hak dan kewajiban dari pasangan suami isteri;

4. Hak dan kewajiban orang tua dan anak;

5. Pemberian nafkah pada anggota keluarga;

6. Cara membesarkan anak yang tidak berada di bawah asuhannya;

7. Penerapan hukum keluarga dalam hubungannya dengan warga negara asing


dan warga negara Rusia;

8. Kesimpulan.

IV. Menurut Hukum Amerika Serikat

Dalam hukum AS istilah perkawinan disebut dengan marriage, wedding,


atau matrimony.
7
Dalam UU Act section 3 huruf a Defense of Marriage Act 1996 disebutkan
bahwa Perkawinan merupakan hubungan yang sah antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang selanjutnya disebut suami isteri dari yang berbeda
jenis kelaminnya, yaitu laki-laki dan perempuan bukan jenis yang sama.

Amerika melegalkan hubungan pasangan sesama jenis dan


memperbolehkan pasangan sesama jenis itu untuk melangsungkan perkawinan.

Persyaratan untuk melakukan perkawinan ditentukan dalam sec.2001


sampai dengan 2.405 Familiy Code, yaitu:

1. Validity of marriage, yaitu syarat

yang berkaitan dengan keabsahan perkawinan. Ada 7 syarat yang


menjadikan sahnya perkawinan, yaitu:

a. Consent, yaitu persetujuan dari kedua belah pihak untuk dapat me-
langsungkan perkawinan;

b. Age, yaitu berusia 18 tahun. Setiap negara bagian memiliki hukumnya


masing-masing dalam hal usia perkawinan, seperti 18 tahun, 19 tahun
dan 21 tahun. Apabila calon mempelai kurang dari usia yang ditentukan,
mereka harus meminta persetujuan dari orang tuanya;

c. Capasity, yaitu kemampuan untuk melangsungkan perkawinan adalah


orang yang sudah dewasa yang telah berusia 18 tahun;

d. Between close relatives, yaitu perkawinan yang dilarang karena adanya


hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara calon mempelai,
seperti
orang tuanya, cucu anak, kakek, paman, bibi atau keponakan.

2. Formalities of marriage, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan


pengumuman unuk melangsungkan perkawinan.

Tentang Pembatalan Perkawinan disebut juga annulment. Pembatalan


perkawinan dilakukan di pengadilan yang diajukan oleh salah satu pihak disertai
dengan alasan-alasan yang kuat.

Ada 9 alasan terjadi pembatan perkawinan, yaitu:

8
1. Pembatalan perkawinan bagi mereka yang telah berusia 18 tahun dan
dapat
diajukan kepengadilan dengan alasan: usia dari salah satu pihak pada saat
perkawinan kurang dari 18 tahun, tidak ada persetujuan dari orang tua,
tidak ada perintah dari pengadilan.

2. Pembatalan perkawinan yang tidak dapat diajukan oleh orang tuanya atau
walinya karena anak tersebut telah berusia 18 tahun;

3. Pembatalan perkawinan terhadap anak di bawah umur atas dasar kebijakan


oleh pengadilan;

4. Suami tidak berdaya, lemah syahwat, atau tidak bertenaga untuk


melakukan
hubungan intim dengan isterinya;

5. Perkawinan yang didasarkan pada penipuan, paksaan atau kekuatan dari


pihak lain untuk melangsungkan perkawinan;

6. Salah satu pihak tidak memiliki kemampuan mental untuk menyetujui


perkawinan atau upacara dalam perkawinan tersebut;

7. Perceraian yang dilakukan secara sembunyi;

8. Terjadi pelanggaran pada saat pelaksanaan upacara perkawinan;

9. Salah satu pihak meninggal dunia.

Ada 7 alasan untuk pembubaran atau putusnya perkawinan, sebagai


berikut:

1. Terjadi perselisihan atau konflik yang terus menerus antara pasangan


suami isteri dan tidak ada harapan untuk didamaikan;

2. Kekejaman atau penganiayaan yang dilakukan salah satu pihak terhadap


pihak lainnya;

3. Perbuatan perzinahan yang dilakukan oleh salah satu pihak;

4. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perkawinan;

9
5. Tindakan yang dilakukan oleh salah satu pihak dengan cara meninggalkan
pihak lain selama 1 tahun tanpa izin;

6. Tindakan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri dengan tidak


memberikan biaya hidup selama 3 tahun;

7. Alasan untuk dilakukan gugat cerai oleh salah satu pihak karena sakit jiwa
atau penyakit yang tidak mungkin disembuhkan.

Selanjutnya, tentang apakah seorang suami boleh beristeri lebih dari satu
orang. Hukum di dunia ini sangat menggantungkan dirinya pada agama
mayoritas yang dianut oleh masyarakatnya. Dalam negara-negara mayoritas
penduduknya beragama Islam, maka sesuai ajaran Islam seorang laki-laki boleh
berpoligami, yaitu memiliki isteri sampai empat orang dalam waktu yang
bersamaan, sedangkan bagi agama lain poligami umumnya dilarang.

Menurut catatan sejarah, meskipun hukum pada jaman Yunani Kuno tidak
secara eksplisit melarang poligami, kebiasaan dan pandangan hidup orang-
orang Yunani menganggap tercela jika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu
isteri. Ahli filsafat PLATO dalam bukunya “Hukum” (law) dengan tegas
mengecam poligami, meskipun tercatat dalam sejarah bahwa raja-raja Romawi
memiliki wanita lebih dari seorang dalam istananya yang semuanya dijadikan
isterinya. Hanya saja, hanya keturunan dari satu isteri yang dapat dianggap
sebagai putra mahkota yang akan menggantikan raja tersebut kelak. Bahkan
seorang filofof besar yaitu SOCRATES sendiri memiliki dua orang isteri.
Tampaknya pada jaman Romawi dapat dimengerti jika seorang laki-laki kawin
dengan seorang isteri, tetapi mengharapkan anaknya dari perempuan yang lain.

Bagi mereka yang beragama Katolik, tidak dibenarkan cerai hidup (bercerai,
tetapi masing-masing pihak masih hidup), hukum dari agama lain
memungkinkan Lembaga cerai hidup tersebut. Umumnya hukum diberbagai
negara memperbolehkan (bukan mewajibkan) “PISAH MEJA DAN RANJANG”
(scheiding van tafel en bed) sebelum mereka benar-benar bercerai. Hal tersebut
merupakan jalan keluar bagi umat Katolik, dimana mereka tidak bercerai, tetapi
hidup secara terpisah. Diharapkan pada masa tersebut mereka saling introspeksi
diri dan memikirkan akibat-akibat negatif dari perceraian tersebut, sehingga
memungkinkan mereka untuk kembali bersatu.

10
Apakah perceraian dibolehkan jika kedua belah pihak sepakat untuk bercerai
meskipun tanpa alasan yang logis?

Karena ikatan perkawinan bukan kontrak biasa, melainkan merupakan ikatan


kontrak bernuansa sakral, maka pemutusan perkawinan tersebut tidak
diperkenankan, karena tanpa ada alasan-alasan perceraian yang diperkenankan
oleh hukum masing-masing negara. Alasan-alasan tersebut berbeda dari satu
negara dengan negara lainnya, meskipun alasan-alasan tersebut dapat dengan
mudah dielakkan dalam praktek dengan berbagai macam cara.

UU Nomor 1 Tahun 1974 mempersyaratkan alasan perceraian bahwa antara


suami isteri tersebut tidak dapat hidup secara rukun lagi sebagai suami isteri
karena hal-hal sebagai berikut:

1. Salah satu pihak melakukan zina, mabuk, madat, judi dan lain-lain yang sukar
disembuhkan

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar
kemampuannya

3. Selama dalam iktan perkawinan, salah satu pihak mendapatkan hukuman


perjaraminimum 5 (lima) tahun

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang


berbahaya bagi pihak lainnya

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan
tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami/isteri

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran dan tidak dapat
diharapkan untuk hidup rukun lagi sebagai suami isteri.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak


membenarkan perceraian hanya karena ada kesepahaman antara para pihak
saja, tetapi harus ada alasan yang kuat untuk itu.

11
Code Civil Perancis membenarkan perceraian hanya karena ada kesepakatan
antara suami isteri tanpa ada alasan yang logis, asalkan suami sudah mencapai
usia minimal 25 (dua puluh lima) tahun dan isteri minimal berusia 21 (dua puluh
satu) tahun dan mereka telah melaksanakan perkawinan minimal 2 (dua) tahun.

Hal tersebut di atas juga diperbolehkan oleh hukum Belgia dengan syarat
suami dan isteri minimal berusia 23 (dua puluh tiga) tahun.

KUHPerdata Jepang juga membolehkan perceraian dengan persetujuan


kedua belah pihak, bahkan tanpa syarat sama sekali.

REFERENSI:

1. Dr. Munir Fuady, SH., MH., LLM - Perbandingan Hukum Perdata

2. Prof. R. Subekti, SH - Perbandingan Hukum Perdata

3. Dr. H. Salim HS, SH., MS - Perbandingan Hukum Perdata

Erlies Septiana Nurbani, SH., LLM Comparative Civil Law

4. Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si - Perbandingan Hukum Perdata

Dewi Mayaningsih, SH., MH & Ai Wati S.Sy.

12

Anda mungkin juga menyukai