Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974. kemudian bagi orang yang beragama Islam
berlaku juga Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai
pelengkap dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Lebih legas lagi Kompilasi Hukum Islam (Inpers No.1 Tahun 1991),
menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang
kuat (mistaqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah. Fikih islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam
perkawinan.
Akibatnya tidak di temukan kosa kata pencegahan dalam fikih islam. Berbeda dengan
pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih islam dan kata batal itu sendiri berasal dari
bahasa arab. Dalam makalah ini membahas mengenai PUTUSAN Nomor 91 /Pd t .G / 2 0
11 / PA .Sgu tentang Pembatalan Pernikahan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pembatalan pernikahan yang diajukan Penggugat dikabulkan ?
2. Apa pembatalan Pernikahan penggugat sudah sesuai dengan yang diatur dalam Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 ?

1
BAB II
PEMBATALAN DAN KAWIN PAKSA

2.1 Pengertian Pembatalan Perkawinan


Pembatalan berasal dari kata batal yang artinya tidak berlaku, tidak sah, dan
pembatalan yaitu proses untuk menyatakan sesuatu hal yang dianggap tidah sah (bata).
Sedangkan pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila salah satu
pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami maupun istri atau salah satu
rukun atau syarat perkawinan tidak terpenuhi.
Pembatalan perkawinan di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada
Pasal 22 apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Pembatalan perkawinan diatur dalam UUP pada Bab IV, Pasal 22-28. Pasal 22
menyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syatrat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Di dalam penjelasannya kata
“dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau tidak batal, bila mana ketentuan
hukum agamanya tidak menentukan lain. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam diatur
pada Bab XI, Pasal 70 76.
 Langkah –langkah pembatalan perkawinan meliputi:
a) Pendaftaran Perkara,
b) Penunjukan Majelis Hakim,
c) Pemanggilan Pihak-pihak,
d) Sidang Pertama,
e) Tahap Jawab-berjawab,
f) Tahap Pembuktian,
g) Tahap Penyusunan Konklusi,
h) Musyawarah Majelis Hakim,
i) Pengucapan Keputusan.

2
Selain langkah-langkah tersebut pihak Penggugat mengajukan alat bukti berupa
surat dan seorang saksi. Sementara itu perkawinan yang batal dan tidak sah menimbulkan
akibat hukum dalam perkawinan tersebut. Maka akibat hukum dalam pembatalan tersebut
akta nikah yang bersangkutan tidak berkekuatan hukum lagi. Dengan adanya putusan
pembatalan perkawinan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka perkawinan
tersebut putus sebagaimana terdapat dalam pasal 28 ayat 1 dan 2 (a) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.
 Sedangkan landasan hukum yang dipakai dalam pengambilan putusan
pembatalan perkawinan meliputi:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197.
b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
c) Al-Qur’an.
d) Hadits.
e) Kompilasi Hukum Islam.

2.2 Pihak-Pihak Yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan


Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ini, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 hanya menentukan bahwa permohonan pembatalan dapat
diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya
yang meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal istri, suami atau istri
(Pasal 38 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975). Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor. 1
Tahun 1974 yang menjadi pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan
adalah :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
2. Suami atau istri artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari
suami atau istri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat
mengajukan pembatalan perkawinan.
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
4. Pejabat pengadilan.
Sedangkan dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

3
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau
istri
2. Suami atau istri
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-
undang
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang- undangan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Dapat disebutkan juga bahwa barang siapa yang karena perkawinan tersebut
masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan tersebut, dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.

2.3 Alasan Pembatalan Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 26 dan 27 diatur mengenai
alasan-alasan pembatalan perkawinan.
Pasal 26 menyebutkan :
1. Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat diminta pembatalannya
oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa
dan suami atau istri.
2. Hal untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1)
pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

4
Selanjutnya Pasal 71 KHI diaturbmengenai suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.


Seorang laki-laki jika ingin melakukan pernikahan untuk yang kedua kalinya maka
laki-laki tersebut haruslah meminta izin dari istri yang pertama, dan meminta izin
dari Pengadilan Agama jika tidak ada dari kedua belah pihak tersebut, maka
pernikahan yang dilakukan oleh laki- laki tersebut tidak sah.
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
lain yang mafqud (hilang).
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Yaitu jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16
(enam belas)
5. tahun. Jika kedua belah pihak belum mencapai umur yang di atur undang-undang
maka kedua belah pihak dapat meminta izin ke Pengadilan Agama.
6. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.
7. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Dari ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur oleh Pasal 70-71 KHI terikat bahwa
perkawinan yang batal dan pernikahan yang dapat dibatalkan adalah perkawinan yang melanggar
larangan perkawinan, sebagai mana yang diatur oleh Pasal 39 KHI. Sementara ketentuan Pasal
72 KHI sama dengan ketentuan Pasal 27 UUP.

Pembatalan perkawinan sebagai salah satu upaya pemutusan perkawinan adalah menjadi
wewenang dan tanggung jawab badan peradilan, mengingat akibat yang yang ditimbulkan tidak
hanya menyangkut suami isteri saja, tetapi juga termasuk keturunan dan pembagian harta
kekayaan hasil perkawinan. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan kepengadilan agama
diwilayah tempat perkawinan itu dahulunya dilangsungkan atau kepengadilan agama yang

5
mewilayahi tempat tinggal suami istri yang bersangkutan atau ke pengadilan agama yang
mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami

BAB III
ANALISIS Putusan Nomor 91 /Pd t .G / 2 0 11 / PA .Sgu

3.1 Hasil Penelitian


Hasil Penelitian yang diperoleh berdasarkan pada putusan Pengadilan Agama Sanggau
dengan Nomor 91 /Pd t .G / 2 0 11 / PA .Sgu tentang pembatalan perkawinan sebagai
berikut:

1. Subyek Hukum
a) Pihak Penggugat
Nama : Eliza Binti Arpan Umur 18 Tahun, Agama Islam, Pendidikan SD,
Pekerjaan mengurus rumah tangga, bertempat tinggal di Dusun Semerangkai, RT
02, Desa Semerangkai, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Selanjutnya
Disebut Penggugat
b) Pihak Tergugat
 Nama : Erik Sanjaya Bin Gusti Mustafa , umur 26 Tahun , Agama Islam,
Pendidikan STM, Pekerjaan karyawan PTPN XIII Rimba Belian, Bertempat
tinggal di Dusun Semerangkai, RT I, Desa Semerangkai, Kecematan Kapuas,
Kabupaten Sanggau, Selanjutnya disebut Tergugat I.
 Nama : Arpan Bin Jaiz Umur 49 Tahun, Agama Islam, Pendidikan SD,
Pekerjaan Karyawan PTPN XIII Rimba Belian, Bertempat tinggal di Dusun
Semerangkai, RT 02, desa Semerangkai, Kecamatan Kapuas, Kabupaten
Sanggau Tergugat II.
2. Kronologi Perkara
 Bahwa Penggugat dengan Tergugat I adalah suami istri , menikah pada tangga l
18 Desember 2010 yang tercatat pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Kapuas ,
Kabupaten Sanggau , sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor 19/19 / I / 2 0 1 1
tertanggal 9 Januari 2011 dengan wali nasab.

6
 Bahwa setelah menikah Penggugat dengan Tergugat I tinggal dirumah Tergugat II
hingga bulan Februari 2011, dan sekarang Penggugat tetap tinggal di rumah
Tergugat II, sedangkan Tergugat I pulang ke rumah orang tua Tergugat I
sebagaimana alamat di atas.
 Bahwa, rumah tangga Penggugat dengan Tergugat I tidak rukun sejak awal
pernikahan dikarenakan pernikahan tersebut paksaan dari Tergugat II.
 Bahwa, perkawinan Penggugat dan Terguggat I tersebut terdapat larangan atau
tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan karena ada paksaan dari
Penggugat.
3. Dasar pengajuan Gugatan oleh Penggugat untuk Pembatalan Pernikahanya :
1. Karena pernikahan antara Penggugat dan tergugat dipaksa oleh Tergugat II yang
tidak lain adalah ayah kandung dari penggugat
2. Serta pada bulan Mei 2010 Penggugat diusir oleh ibu Penggugat bahkan tidak
akan diakui sebagai anak karena tidak mau menikah dengan Tergugat I bahkan
Ibu Penggugat mengancam akan melakukan bunuh diri.
3. Bahkan untuk urusan pernikahan seperti mengurus administrasi pernikahanya
semua diurus oleh Tergugat I.
4. Yang menjadi alasan Tergugat II menikahkan Penggugat dengan Tergugat I
karena Tergugat I sudah memiliki pekerjaan tetap, padahal sudah ditegaskan oleh
Penggugat bahwa Penggugat tidak mencintai Tergugat I, sehingga saat
pelaksanaan tunangan Penggugat Mogok Makan Selama 3 hari

3.2 Yang Berhak Membatalkan Perkawinan.


Mengenai orang-orang atau pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan diatur dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
2. Suami atau isteri.
3. Pejabat yang berwenang mengawasi jalannya perkawinan menurut undang-undang.
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

7
Pada Pasal 74 ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan bahwa pembatalan
perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan dan permohonan pembatalan
perkawinan itu diajukan oleh para pihak yang mengajukan pada Pengadilan daerah yang
hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami
isteri.
Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk permohonan yang bersifat
kontensius (sengketa Sehingga dapat lebih jelas dalam melangsungkan
pembatalan perkawinan yaitu sama halnya dengan cara gugatan perceraian yang diatur
secara terperinci dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975. Sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan
perkawinan itu.

3.3 Pernikahan Paksa Dalam UU No. 1 Tahun 1974


Secara hukum, kawin paksa adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa didasari
atas persetujuan kedua calon mempelai, hal ini bertentangan dengan pasal 6 ayat 1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai
salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya setiap orang bisa dengan bebas
memilih pasangannya sendiri untuk hidup berumah tangga dalam membangun
perkawinan.
Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang Perkawinan, bisa
dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak harus patuh
pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh
orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya,
walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, Undang-
Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat
mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan
untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.

3.4 Analisis Permasalahan

8
Dalam posita yang dikemukakan oleh Penggugat dapat disipulkan bahwa Penggugat
dalam mengajukan gugatan pembatalan nikah dengan alasan yang pada pokoknya bahwa
pernikahan Penggugat dan tergugat I dikarenakan Paksaan dari Tergugat II dan Ibu
Penggugat yang sudah meninggal dunia. Bahkan Tergugat I tidak mengetahui jika
penggugat dipaksa menikah dengan tergugat I yang juga tidak keberatan atas gugatan yang
diajukan oleh Penggugat. Yang pada akhirnya Tergugat II mengatakan bahwa benar jika
pernikahan antara Penggugat dan Tergugat I terjadi karena adanya pemaksaan karena alasan
bahwa Tergugat I sudah memiliki pekerjaan.
Dari sekian banyak pemaparan serta alasan alasan Penggugat mengajukan Gugatan
pembatalan pernikahan ke Pengadilan Agama Sanggau serta pemaparan saksi dari Kelurga
Penggugat maupun saksi ahli di depan persidangan yang memberi keterangan serta
mendukung dalil gugatan Penggugat sehingga telah memenuhi syarat Formil dan materil
sebagai saksi dan oleh Majelis Hakim menerima kesaksian tersebut untuk dijaikan alat bukti
yang sah untuk menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat.
Maka jika didasakan pada fakta-fakta diatas walau pelaksanaan pernikahan sudah
sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 91) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 akan
tetapi telah terjadi cacat hukum karena adanya paksaan yang dilakukan Tergugat II terhadap
Penggugat untuk menikahi Tergugat I hanya karena ada Tergugat sudah memiliki pekerjaan.
Maka dari itu Majelis berkesimpulan bahwa gugatan penggugat telah cukup alasan
untuk melakukan pembatalan nikah sesuai dengan maksud pasal 27 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 71 huruf (f) dan 72 ayat (1) Inpres Nomor 1 Tahun 1991
Tentang Kompilasi Hukum Islam sehingga Gugatan Penggugat patut untuk dikabulakan.
Untuk itulah Akta Nikah Nomor 19/19/I/20011 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau tidak mempunyai kekuatan hukum.
Didasarkan pasal pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah kepututsan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Dan pasal 28 Ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap anak yang akan
dilahirkan dari perkawinan tersebut.

9
BAB IV
PENUTUP

3.4 Kesimpulan

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah


dilangsungkan akan nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah
pembatalan setelah perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat
yang tidak terpenuhi menurut pasal 22 undang-undang perkawinan. Namun, bila rukun yang
tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Suatu perkawinan dapat batal demi
hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya
pembatalan perkawinan:
1. Pelanggaran prosudural perkawinan. Contonya, tidak terpenuhinya syarat-syarat
wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosudural lainnya.
2. pelanggaran terhadapa materi perkawinan. Contonya, perkawinan yang
dilangsungkan dibawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan
istri.
Jadi, aturan-aturan perkawinan yang secara garis besar termuat di dalam rukun dan syarat-
syaratnya merupakan pagar yang membatasi setiap orang untuk melakukan perkawinan
terlarang. Seorang laki-laki yang akan menikah dengan seorang perempuan terlebih dahulu harus
memeriksa apakah antara dirinya dan perempuan itu terdapat factor-faktor penghalang
(muwani’) atau tidak, rukun dan syaratnya terpenuhi dan urusan administrative yang lengkap.
Disamping itu posisi saksi menjadi sangat menentukan.

10

Anda mungkin juga menyukai