Anda di halaman 1dari 3

LAPORAN NOTULENSI PBL PERTEMUAN 1

KELOMPOK DISKUSI 4

Pemimpin Diskusi: Poppy Hairunnisa (032011133003)


Notulensi: Alvin Juliansyah (032011133110)
Anggota:
1. Nurmalika Syamsani Husnatullah (032011133171)
2. Diah Ayu Wulandari (032011133024)
3. Muhammad Akbar (032011133235)
4. Arya Alfiansyah (032011133250)
5. Gammazaki Wahyudi (032011133177)
6. Nisfa Salsadillah (032011133128)
7. Samuel Andersen Baladika Nababan (032011133258)
8. Nabil Arijala Survito Alham (032011133206)

POKOK PEMBAHASAN:
-Fakta Hukum
-Isu Hukum
- Dasar Hukum
-Rekomendasi dan Solusi
-Kesimpulan

A. Fakta Hukum

- Aditya mengawini Rihana pada tahun 1995, dua tahun setelahnya ia kawin dengan Sulikha
namun perkawinan dengan istru keduanya tidak bertahan
- Aditya berencana untuk mempersunting seorang wanita bernama Herliana sebagai istri ketiga
- Rihana berencana membatalkan perkawinan Aditya dengan Herliana
lama

B. Isu Hukum

1. Sahkah perkawinan yang dilakukan raditya dengan istri ketiga nya yaitu Herlina?

Jawaban isu hukum, dalam kasus ini dapat ditemukan bahwa Aditya menikah dengan
Herlina ini tidak dapat disahkan mengapa demikian karena tidak mendapat persetujuan oleh
Rihana selaku istri pertama. karena tidak adanya izin dari pihak isteri pertama, sehingga
rihana berhak untuk menggugat Aditya pada pengadilan agama dengan legal standing Pasal 5
UU Perkawinan dan juga pasal 279 KUHP. Dan juga Aditya ini telah melanggar Pasal 4 Ayat
(2) UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 istri Aditya ini tidak cacat dan memiliki keturunan
serta dapat menjalankan kewajiban dalam permasalahan ini terkesan Aditya memiliki hasrat
yang lebih.
Namun, apabila kita melihatnya dari sisi agama maka pernikahannya sah, namun apabila
kita melihat dari sisi agama maka pernikahan ini tidak sah. Hal ini mengacu pada pasal 3 ayat
(2) dan di kasus ini hanya satu pihak yang menghendaki adanya suatu pernikahan lagi jadi
pernikahan ini tidak sah karena tidak memenuhi pasal itu.
2. Apakah Dasar Hukum yang relevan dengan kasus Aditya tersebut?

a. Pasal 4 Ayat (2) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang dimana Aditya ini
seharusnya tidak boleh menikah lagi karena seorang istri tersebut masih dapat
menjalankan kewajibannya dan tidak cacat
b. Pasal 22 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang dimana itu diatur tentang
pembatalan perkawinan
c. Pasal 5 Ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenai keabsahan perkawinan,
menurut pasal 5 UU Perkawinan apabila seorang suami hendak beristeri lebih dari
satu maka suami tersebut wajib mengajukan permohonan ke pengadilan dengan
menyertakan syarat seperti surat persetujuan dari isteri pertama. jadi Aditya ini
dianggap telah melanggar hokum sehingga Sanksi hukum yang bisa dikenakan
kepada aditya yang menikah lagi tanpa izin dari istri pertama (terdahulu) adalah Pasal
279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan acaman pidana maksimal
5 sampai 7 tahun penjara.
d. Pasal 9 Ayat UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenai tali perkawinan yang
mengacu pada Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal
15 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

C. Rekomendasi dan Solusi

Langkah hukum yang dapat ditempuh oleh Herlina dengan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan sesuai pasal 24 uu perkawinan yang berbunyi Barang siapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan
dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) untuk pengajuannya sesuai dengan pasal 25 uu
perkawinan dapat diajukan di daerah perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua
suami isteri
Apabila kita mengacu pada pasal 22 UU Perkawinan maka tata cara yang dilakukan
Rihana untuk membatalkan pernikahan adalah dengan mencari bukti. Sebagaimana kita ketahui
bahwaa pernikahan antara aditya dan Herlina adalah siri dan tidak tercatat di buku nikah. Buku
nikah ini dapat dijadikan barang bukti untuk melakukan pembatalan nikah.
Rekomendasi, seharunya rihana ini dapat menggugat ke pengadilan agar dapat
mendapatkan hasil yang sesuai dengan ketentuan yang ada.
Jika mengalami masalah Suami atau istri ternyata masih terikat pernikahan dengan orang
lain tanpa sepengatahuannya. (Pasal 24 UU No. 01 tahun 1974) di atas dan ingin mengajukan
pembatalan pernikahan, berikut tata cara yang bisa dilakukan seperti dilansir dari situs LBH
APIK:

1. Datang ke Pengadilan Agama (PA) bagi yang Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi
non-muslim di kawasan tempat tinggal Anda atau pasangan. Pembatalan pernikahan tidak
hanya bisa dilakukan oleh Anda dan pasangan tapi juga orangtua kedua belah pihak. (UU
No.7/1989 pasal 73)

2. Kemudian mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan.
(HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1))

3. Kemudian membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus.


Berdasarkan keterangan dari PA Depok, biaya perkara sebesar Rp 391 ribu.

4. -Pihak-pihak yang bersangkutan harus datang menghadiri sidang di pengadilan


berdasarkan surat panggilan dari pengadilan. Akan tetapi dapat diwakilkan oleh kuasa
hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan
28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125)

5. Pihak-pihak yang bersangkutan secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan
kebenaran dari isi permohonan pembatalan perkawinan di muka sidang pengadilan
berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak,
persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268).
Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.

6. Kemudian suami atau istri atau keduanya menerima salinan putusan PN atau PA yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

7. Baru setelah menerima akta pembatalan, sebagai pemohon segera meminta penghapusan
pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor
Catatan Sipil (KCS).

D. Kesimpulan

Sehingga yang dimaksud dengan asas monogami yang bersifat relatif Berarti tidak
diberlakukan secara mutlak, Dengan kondisi dimana kedua belah pihak berkenan untuk sang
suami melakukan poligini sesuai dengan syarat yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 dan pasal 5
UU perkawinan
Pernikahan yang dilakukan Aditya dinyatakan bersalah karena tidak memakai perizinan
dari istrinya yang pertama yakni rihana sehingga dapat digugat ke pengadilan agama, lalu untuk
pernikahannya ini bisa dikatakan tidak sah menurut negara namun sah menurut agama
Aditya dalam hal ini karena dalam menjalani pernikahan untuk istri ke 3 tidak
mendapatkan persetujuan oleh istri pertama yaitu Rihana yang dimana itu telah dijelaskan dalam
Pasal 4 Ayat (2) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.Pernikahan dikatakan tidak sah dan dapat
dibatalkan demi hukum sebab tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku pada Undang-
Undang perkawinan yaitu alasan dalam pasal 4 ayat (2) dan syarat komulatif pasal 5 Ayat (1).

Anda mungkin juga menyukai