Anda di halaman 1dari 5

NAMA : RAI BASTANTA TARIGAN

NPM : 20021117045
MATA KULIAH : HUKUM ADAT LANJUTAN
DOSEN : Prof. Rosnidar Sembiring
HARI/TANGGAL : SELASA. 16 FEBRUARI 2021
WAKTU : 17.00 – selesai
KELAS : SORE

1. Hukum Perkawinan
Pengertian : suatu proses yang sudah melembaga, yang mana laki-laki dan
perempuan memulai dan memelihara hubungan timbal balik yang merupakan
dasar bagi suatu keluarga. Hal ini akan menimbulkan hak dan kewajiban baik
di antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-anak kemudian
dilahirkan.
Dasar Hukum Perkawinan :
 UUD 1945 Pasal 28B Ayat 1, yang mengatur hak seseorang untuk
melakukan pernikahan dan melanjutkan keturunan. Adapun bunyi dari
Pasal 28B Ayat 1 adalah “Setiap orang berhak membentuk keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”
 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, yang mulai berlaku efektif
sejak tanggal 1 Oktober 1975 adalah merupakan salah satu bentuk
unifikasi dan kodifikasi hukum di Indonesia tentang perkawinan
beserta akibat hukumnya.
 Kompilasi Hukum Islam melalui instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1
Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 dan diantisipasi secara Organik oleh
keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Terdapat nilai – nilai hukum Islam di bidang perkawinan, hibah,
wasiat, wakaf, dan warisan. Yang berkaitan dengan perkawinan
terdapat dalam buku I yang terdiri dari 19 bab dan 170 pasal (Pasal 1
sampai dengan pasal 170).
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Asas Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu melengkapi, agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan materil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan karena hukum dari agama yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan
oleh pengadilan.

2. Undang-undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Pokok Perkawinan :


 Perkawinan diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
tahun
 Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orangtua pihak pria atau wanita
dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat
mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
 Pemberian dispensasi oleh pengadilan sebagimana dimaksud pada ayat
(2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan
 Ketentuan mengenai keadaan seseorang atau kedua orangtua calon
mempelai sebagaimana dimaksud dakam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4)
berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi kententuan
sebagimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (6).

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 :


 Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
 Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
 Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
 Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
 Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di
antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini.
 Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

3. Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak seragam dan tidak konsekuen


dalam memberikan putusan tentang hak-hak anak angkat sebagai ahli waris
dari orangtua angkatnya demikian pula janda, Hal ini dapat dibuktikan melalui
keputusan keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana
diuraikan di bawah ini:
1.      Keputusan MA No.54 K/Sip/ 1952 memutuskan bahwa:
Di Batak Toba tidak mengenal/ mempunyai adanya harta bersama (harta
Serikat).
2.      Keputusan MA No.82 K/Sip/ 1957 Dalam perkara di Bandung
diputuskan bahwa anak angkat hanya berhak atas harta gono gini orang tua
angkatnya, sedangkan harta pusaka (barang asal) kembali kepada warisan
keturunan Darah,  jadi tidak jatuh kepada anak angkat ataupun anak pungut.
3.      Keputusan MA No.820 K/Sip/ 1957 memutuskan bahwa :
 Anak angkat tidak berhak atas harta asal dari orangtua angkatnya.
4.      Keputusan MA No.54 K/Sip/ 1958 memutuskan bahwa: Janda hanya
berhak untuk menikmati harta warisan suami (Batak).
5.      Keputusan MA No.298 K/Sip/ 1958 memutuskan bahwa:
Janda dapat menguasai semua harta gono gini kalau tidak ada anak.
6.      Keputusan MA No.320 K/Sip/ 1958 memutuskan bahwa:
Janda di daerah Tapanuli mewarisi harta pencarian suami
7.      Keputusan MA No.416 K/Sip/ 1958, Mengalami perubahan di mana
perkara yang terjadi di Sumatera Timur, keputusan tersebut berpedoman
kepada adat Sumatera Timur,yaitu anak angkat tidak berhak mewarisi harta
peninggalan orang tua angkatnya, tetapi hanya dibenarkan menerima hibah,
selama hidup anak angkat.
 
Pertimbangan MA:
Hukum Islam tidak mengenal anak angkat, tetapi di dalam kompilasi hukum
Islam mengenal adanya anak angkat sebagai ahli waris (pasal 171 bagian h)
dan juga terdapat di dalam undang-undang peradilan agama: No.7 tahun 1989.
8.      Keputusan MA No.37  K/Sip/ 1959 memutuskan bahwa:
Anak angkat hanya berhak atas harta pencarian orang tua angkatnya.
9.      Keputusan MA No.179  K/Sip/ 1961 memutuskan bahwa:
Persamaan hak mewarisi anak laki-laki dan anak perempuan pada masyarakat
Batak.
10.  Keputusan MA No.45  K/Sip/ 1963  memutuskan bahwa:
Duda tidak berhak mewarisi harta dari istrinya.
11.  Keputusan MA No.100  K/Sip/ 1967 memutuskan bahwa:
Janda adalah ahli waris bersama-sama dengan anak-anaknya.
12.  Keputusan MA No.358  K/Sip/ 1971 memutuskan bahwa:
Hilang hak janda untuk mewarisi apabila dia kawin lagi.
13.  Keputusan MA No.997  K/Sip/ 1972 diputuskan bahwa:
Anak angkat berhak atas harta gono-gini dan harta bawaan orang tua
angkatnya.
14.  Keputusan MA No.210  K/Sip/ 1973  menyatakan bahwa:
Keabsahan seorang anak angkat tergantung kepada upacara adat, yang
dilaksanakan tanpa menilai secara objektif, realita, dan keberadaan anak
angkat dalam kehidupan orang tua angkatnya.
15.  Keputusan MA No.281  K/Sip/ 1973  memutuskan bahwa:
Anak angkat baru dinyatakan ahli waris kalau pengangkatannya sah dan
dilakukan melalui upacara adat dan dibarengi dengan pengumuman.
16.  Keputusan MA No.622  K/Sip/ 1973 memutuskan bahwa:
Janda boleh jual harta warisan kalau benar-benar untuk kepentingan anak-anak
yang belum dewasa.
17.  Keputusan MA No.829  K/Sip/ 1973 memutuskan bahwa:
Gugur hak menguasai dan menikmati harta asal istri, jika duda kawin lagi
18.  Keputusan MA No.930  K/Sip/ 1973 memutuskan bahwa:
Kalau anak angkat diambil dari keluarga dekat, tidak perlu upacara adat dan Ia
merupakan ahli waris dari orangtua angkatnya.
19.  Keputusan MA No.988  K/Sip/ 1973 memutuskan bahwa:
Santai dan menikmati harta bawaan istri selama hidup.
20.  Keputusan MA No.808  K/Sip/ 1974 memutuskan bahwa:
Semua harta yang dapat dibuktikan bahwa harta itu diperoleh selama
perkawinan berlangsung, walaupun harta/barang itu terdaftar atas nama suami
atau istri, dinyatakan sebagai harta bersama suami istri.
21.  Keputusan MA No.901  K/Sip/ n 1974 memutuskan bahwa:
Istri kedua dan anak-anak dari istri kedua hanya berhak atas harta bersama
pada perkawinan kedua.
22.  Keputusan MA No.681  K/Sip/ 1975 memutuskan bahwa:
Janda beroleh ¾ bagian harta, karena anak hanya satu (seorang).
23.  Keputusan MA No.912  K/Sip/ 1975 memutuskan bahwa:
Tidak sah pengangkatan anak jika tidak di lakukan melalui upacara adat
walaupun anak itu sudah di pelihara dan tinggal bersama sejak kecil.
24.  Keputusan MA No.1002  K/Sip/ 1976 memutuskan bahwa:
Janda dan anak angkat berhak atas harta bersama, sedangkan harta asal
kembali ke asal (tali darah).
25.  Keputusan MA No.849  K/Sip/ 1979 memutuskan bahwa:
Pengangkatan anak salah satu syarat upacara tidak lagi dipedomani, sejak
tahun 1976, ditegaskan bahwa anak yang di ambil sejak bayi di lahirkan dan
pemeliharaannya dilakukan secara terus menerus sampai besar dan di
kawinkan, sah sebagai anak angkat, meskipun tidak melalui upacara adat.
26.  Keputusan MA No.741  K/Sip/ 1985 memutuskan bahwa:
Istri kedua tidak berhak atas harta bersama pada perkawinan pertama, karena
harta itu adalah bahagian anak-anak dari perkawinan pertama dan istri
pertama.
27.  Keputusan MA No.3190  K/Sip/ 1985 memutuskan bahwa:
Janda berhak penuh atas harta asal dan harta gono-gini jika tanpa anak.
28.  Keputusan MA RI No.3832  K/Sip/ 1985 memutuskan bahwa:
a.      Prinsip tentang anak angkat:
MA memutuskan bahwa anak angkat mempunyai kedudukan yang sama
dengan janda dan anak kandung yaitu sebagai ahli waris.
b.      Jika anak angkat bersekutu dengan janda, anak kandung berhak atas
harta gono-gini, besarnya bagian anak angkat adalah sama dengan bagian anak
kandung dan janda.
c.      Anak angkat mewarisi seluruh harta gono-gini, bila tidak ada anak
kandung dan janda.
29.  Keputusan MA No.3293  K/Sip/ 1986 memutuskan bahwa:
Harta pencarian (gono-gini), janda berhak menguasai dan menikmati sampai ia
meninggal dunia.
30.  Keputusan MA No.246  K/Sip/ 1990,  memutuskan bahwa:
Di nganjuk seorang anak angkat dilihat dari kenyataan yaitu apabila anak
angkat dipelihara sejak ia bayi, dikhitankan, dikawinkan, disahkan oleh orang
tua angkatnya, maka ia berhak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya,
terhadap harta bersama (gono-gini).
31.  Keputusan MA No.281  K/Sip/ 1993,  bahwa pengangkatan anak sah
mana kala di penuhi beberapa syarat, dan harus di barengi dengan upacara
“Widi Widina” (upacara peras) di hadiri oleh pendeta, di saksikan Pengetua
Adat, Clan Suku, Kepala Desa, serta di umumkan di depan ulama.
32.  Keputusan MA No.912 K/Sip/ 1995, bahwa tanpa upacara adat tidak sah
pengangkatan anak, meskipun anak itu sejak kecil dipelihara, dikawinkan oleh
orang tua angkatnya.

Anda mungkin juga menyukai