Anda di halaman 1dari 71

Syarat Sahnya Suatu Perkawinan : UU, Adat

& Agama.

Sahnya perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 harus memenuhi beberapa syarat
diantaranya, yaitu :
Pasal 2 ayat 1 dan 2
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh
dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan
(4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam
Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Sahnya perkawinan menurut Hukum Perdata, yaitu :

Sahnya Perkawinan

Menurut Pasal 2 UU No.I/1974 sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum


masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1).

Ayat 2 mengatakan:

 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan dengan yang berlaku


Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan di Indonesia itu sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Perkawinan itu dinyatakan sah apabila menurut agama,
baru setelah itu dicatat berdasarkan peraturan yang berlaku. Bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan secara Islam harus dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), sedang mereka yang
melangsungkan perkawinan di luar agama islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.

Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu sebaiknya yaitu dilakukan
dulu pencatatan di Kantor Catatan Sipil, baru dilakukan secara agama kalau mau. Menurut Pasal
26 KUHPerdata perkawinan itu hanya dipandang dalam hubungan-hubungan perdata; artinya
undang-undang menyatakan bahwa suatu perkawinan itu sah, apabila memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam KUHPerdata sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidaklah
diperhatikan/dikesampingkan.

Sahnya perkawinan menurut hukum adat :


1. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat

Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada
umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat
bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka
perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat. Kecuali bagi mereka yang belum menganut
agama yang diakui pemerintah, seperti halnya mereka yang masih menganut kepercayaan agama
lama (kuno) seperti ‘sipelebegu’ (pemuja roh) di kalangan orang Batak.
Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut masyarakat adat
belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat yang bersangkutan. Misalnya di
Lampung, walaupun sudah terlaksana perkawinan yang sah menurut agama, tetapi apabila
mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugrug adat) Lampung, berarti mereka
belum diakui sebagai warga kekerabatan adat.
Upacara meresmikan masuk menjadi warga adat ini merupakan upacara perkawinan adat.
Misalnya di Lampung, Tulang-bawang upacara perkawinan adat ini dilaksanakan dengan acara
‘mosok-majew’ (menyuap mempelai) dengan tindih sila. Upacara mosok ini dipimpin oleh tua
adat wanita, biasanya isteri atau penyimbang (pemuka adat) dan dibantu oleh beberapa wanita
sehingga juru bicara dan pembawa syair perkawinan.
Jelas bahwa di dalam KUHPerdata, perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan
dengan mengabaikan keagamaan dimana hal ini bertentangan dengan falsafah Negara Indonesia,
sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan menyangkut masalah
perkawinan yang merupakan sakramen dimana berhubungan erat dengan agama sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/batin tetapi juga unsur batin/rohani yang
mempunyai peranan penting. Jadi terlihatlah disini perbedaan pengertian perkawinan menurut
KUHPerdata dan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dimana perkawinan menurut KUHPerdata
hanya sebagai “Perikatan Perdata” sedangkan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tidak
hanya sebagai ikatan perdata, namun juga merupakan “Perikatan Keagamaan”. Hal ini dapat
dilihat dari tujuan perkawinan yang dijelaskan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun1974 bahwa
perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan tersebut berbeda dengan BW yang
diumumkan oleh Maklumat tanggal 30 April 1987 dan berlaku di Indonesia sampai Tahun 1974.

Sahnya perkawinan menurut Hukum Agama :

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM AGAMA ISLAM

1) jika diselenggarakan ditempat mempelai, atau dimasjid, atau dikantor agama.


2) melaksanakan akad nikah yang berupa ijab (serah) yang diucapkan wali catin, dan kabul
(terima) yang diucapkan oleh catin pria.
3) wali nikah catin wanita:
4) bapak dari mempelai wanita
5) saudara laki-laki mempelai wanita, kakek, paman, saudara sepupu laki-laki yang kesemuanya
masih mempunyai hubungan darah.
6) wali hakim
7) lafaz akad nikah (ijab dan kabul) harus diucapkan dengan jelas dan lantang.
8) dihadapan dua orang saksi sah.

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT AGAMA KRISTEN/KHATOLIK

Suatu perkawinan sah apabila syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi dan


perkawinannya dilaksanakan dihadapan pastur atau imam dengan mengucapkan janji bersatu
dengan dihadirioleh 2 (dua) orang saksi.

Syarat-syarat perkawinan menurut hukum agama kristen/khatolik:


1. kedua mempelai harus sudah dibaptis
2. telah melewti sakramen
3. kesepakatan kedua mempelai (tidak dipaksa untuk menikah)
4. tidak ada kekeliruan tentang diri orangnya
5. untuk pria minimal 16 tahun dan wanita minimal 14 tahun.
6. salah satu atau kedua calon pengantin tidak terikat perkawinan sebelumnya
7. perkawinan dilakukan dengan diteguhkannya dihadapan pastur/pendeta.

Persamaan :

 Perkawinan menurut UUP dan KUHPerdata sama-sama mengandung unsur


perikatan/ikatan antara seorang pria dan seorang wanita.

 Untuk syarat sahnya perkawinan UUP dan BW dalam pelaksanaannya sama-sama harus
dicatatkan ke pencatat sipil setelah pelaksanaan perkawinan dilakukan.

 Untuk sahnya perkawinan menurut UUP dan Hukum Adat dalam pelaksanaan sama-sama
menurut agama dan kepercayaaan masing-masing.

 Untuk sahnya perkawinan menurut UUP dan Agama Islam harus menurut agama dan
kepercayaan masing-masing maksudnya setiap orang yang akan melaksanakan
perkawinan harus dengan agama dan kepercayaan yang sama. Kalau dengan agama
kristen tidak ada persamaan dimana agama kristen tidak mengatur tentang perkawinan
tidak seagama.

 Sahnya perkawinan menurut Hukum Adat dan KUHPerdata tidak ada persamaan hanya
saja perbedaan diman adat tidak melihat perkawinan harus di catatkan dalam catatan sipil
namun dalam bw perkawinan haru dicatat. Hukum Adat dengan Agama islam sama-sama
harus sesuai dengan ajaran agama kepercayaan masing-masing.
Pengangkatan Anak di Singapura

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang

Perbandingan hukum adalah suatu metode yang bermaksud memperbandingkan untuk


mengungkap unsur-unsur perbedaan & persamaan dari objek yang diperbandingkan yang
berupa sistem hukum atau lembaga hukum tertentu.
Dalam hal ini kami membandingkan dalam bidang pengangkatan anak. Karena
pentingnya lembaga pengangkatan anak itu, maka masing-masing negara memiliki
pengaturan yang meliputi berbagai segi mengenai pengangangkatan anak. Dalam hukum
nasional Indonesia, hukum positif yang berlaku pada saat ini mengenai pengangkatan
anak diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979
tentang Pengankatan Anak; Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak; Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahn 1979; Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak; Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak; Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Anak; Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak; dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
No.110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
Pengangkatan anak di Singapura pada dasarnya telah memiliki perundang-undangan
sejak tahun 1939 yaitu Ordinance 18 of 1939. Saat ini, pengaturan pengangkatan anak
berpedoman pada Adoption of Children Act berdasarkan bab IV Primarily Legislation
(“Act”).
Berdasarkan perundang-undangan tersebut, latar belakang pengangkatan anak juga
semata-mata untuk kepentingan dan kesejahteraan anak sebagaimana dicantum pada
pasal 5 huruf b “Act”.
Proses pengangkatan anak di Singapura telah difasilitasi dengan electronic filling
system (menggunakan jaringan internet) dengan menggunakan form-form baku.
Permohonan pengangkatan anak beserta lampiran-lampirannya diajukan melalui
electronic filling ke Pengadilan.
Walaupun di Singapura tidak diatur mengenai kewajiban tinggal bersama-sama untuk
menumbuhkan dan mempertebal jalinan kasih saying antara pihak yang mengangkat
dengan anak angkat yang merupakan tahap pra pengangkatan anak, namun sebelum final
hearing di Pengadilan, prosedur-prosedur yang ditempuh kompleks dan mungkin
memerlukan waktu yang lama karena perhatian Pengadilan adalah kesejahteraan anak
semata.
Proses pengangkatan anak di Singapura juga melibatkan Departemen Sosialnya
(Department of Social Welfare) untuk kepentingan anak terutama sebagai Guardian in
Adoption (GIA). Sesuai dengan pasal 10 huruf 3 “Act” tersebut bahwa Pengadilan akan
menunjuk seseorang atau badan untuk bertindak sebagai GIA untuk mewakili
kepentingan terbaik dari anak tersebut pada saat pemeriksaan (hearing) permohanan
pengangkatan anak tersebut.
II. Rumusan Masalah
1. Apa persyaratan yang dibutuhkan untuk seseorang untuk dapat mengadopsi
seorang anak di Singapura?
2. Bagaimana caranya untuk mengadopsi anak di Singapura?
III. Metode Penelitian
1. Perbandingan Hukum Umum

Perbandingan yang dilakukan terhadap sistem hukum di Indonesia dengan Singapura.

2. Perbandingan Hukum Vertical

Perbanding yang dilakukan terhadap hukum yang berlaku pada saat sebelum atau
sesudahnya.
3. Descriptive Comparative Law

Perbandingan yang dilakukan bermaksud untuk mengungkap persamaan dan perbedaan


sistem hukum yang diperbandingkan.

IV. Tujuan
a. Tujuan

1. Membantu menelusuri asal usul perkembangan konsep hukum yang sama


diseluruh dunia.
2. Mengumpulkan berbagai informasi mengenai hukum asing serta mendalami
pengalaman dalam studi asinguntuk melakukan pembaharuan hukum.
3. Memenuhi kebutuhan teoritis dan praktis.
4. Menerangkan hakikat hukum dan perkembangannya atas permasalahan yang
konkrit.
BAB II

PEMBAHASAN

I. Persyaratan
 Usia anak

Usia anak yang akan diadopsi harus di bawah 21 tahun . Ini sesuai dengan Bagian 3
(2) dari Undang-Undang Adopsi Anak.
 Status Tempat Tinggal

Status seseorang yang akan mengadopsi anak di singapura haruslah bertempat


tinggal di singapura, yaitu Warga Singapura atau Penduduk Tetap, atau punya
pekerjaan tetap, Tanggungan tetap yang dianggap oleh pengadilan keluarga (Family
Court) di Singapura. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (6) dari Adoption of children
act.
• Usia
Seseorang/pasangan yang akan mengadopsi harus berusia minimal 25 tahun dan
setidaknya 21 tahun lebih tua dari anak yang akan diadopsi. Jika seseorang/pasangan
yang akan mengadopsi berusia di bawah 25 tahun dan / atau kurang dari 21 tahun
lebih tua dari anak, adopsi dapat diizinkan jika seseorang/pasangan itu dan anak
masih punya hubungan darah, atau jika ada keadaan khusus lainnya membenarkan
adopsi . Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) huruf a (i) (ii) dari ACA.
• Maksimum perbedaan usia antara adopter dan anak
Baik suami/istri yang akan mengadopsi tidak boleh lebih dari 50 tahun lebih tua dari
anak. Sebagai orangtua angkat, Anda harus bertanggung jawab untuk memberikan
pendidikan dan melindungi kesejahteraan anak adopsi sampai dia mandiri. Anda
harus memastikan bahwa Anda memiliki sarana fisik dan keuangan untuk melihat
anak melalui perjalanan ini.
 Status pernikahan

Jika yang akan mengadopsi adalah laki-laki tunggal, maka tidak diperbolehkan
untuk mengadopsi anak gadis, kecuali ada keadaan khusus untuk membenarkan
adopsi. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 (3) dari ACA. Jika sudah menikah dan
berniat untuk mengadopsi sendiri, maka harus memperoleh persetujuan dari
pasangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 (5) dari ACA.

 Permohonan laporan studi

Jika Anda ingin mengadopsi anak asing atau anak dari MSF, Anda diminta
untuk mengajukan permohonan Laporan Studi Depan .

 Pre-adopsi Briefing
pihak yang ingin mengadopsi harus menghadiri wajib Pra-Adopsi Briefing (PAB)
sebelum Anda mengajukan permohonan untuk belajar di rumah atau memulai proses
hukum adopsi. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Pra-Adopsi Briefing .

 Dukungan dari negara asal (untuk warga non-Singapura yang ingin


mengadopsi Anak Asing)
harus mendapatkan dukungan dari negara asal seseorang yang akan mengadopsi
melalui kedutaan harus mendukung dan mengakui adopsi yang akan dilakukan. Lalu
mengirimkan surat berikut dukungan yang sudah dilengkapi dan disahkan oleh
otoritas yang relevan dari negara asal sebelum memulai pengadopsian di Singapura.

 Adopsi Pengesahan untuk Uni Eropa Nationals

Singapura perintah adopsi dilakukan pada atau setelah 3 Januari 2014 tidak akan
diakui secara otomatis di negara-negara:

· Inggris

· Wales

· Skotlandia

Irlandia Utara

Untuk Nationals Inggris:

tidak akan dapat mengadopsi anak di Singapura.

Untuk semua Warga lain dari Uni Eropa:

Sebelum mengidentifikasi anak di Singapura dan mulai pada aplikasi adopsi, orang
yang melakukan adopsi harus mengirimkan surat akhir dan disahkan dari negara.

Surat Dukungan untuk Uni Eropa warga negara (PDF) yang dikeluarkan pada 1 Feb
2014.

 Adopsi anak kedua dan selanjutnya

Sebelum mempertimbangkan mengadopsi anak lain, sangat dianjurkan


untuk memastikan bahwa anak pertama yang akan diadopsi telah disesuaikan dan
terikat dengan baik dengan keluarga dan lingkungan. Memperkenalkan anggota
baru kepada anggota keluarga pengadopsi terlalu cepat dapat menyebabkan
kebingungan dan ketidakpastian bagi anak yang diadopsi. Mungkin akan ada
pertengkaran antar saudara.
pengadopsi akan diminta untuk melakukan laporan studi rumah
kedua pada keadaan saat ini. Laporan ini menilai seberapa siap pengadopsi untuk
menjadi orang tua anak adopsi dan memperhitungkan kesejahteraan anak yang
pertama kali diadopsi, ikatan orangtua-anak dan keadaan keluarga pengadopsi
saat ini. mungkin harus menunggu setidaknya sembilan bulan dari tanggal
pengadopsi mengadopsi anak tersebut (seperti yang ditunjukkan dalam Adopsi
Order) sebelum pengadopsi dapat mendaftar untuk laporan kedua.

II. Cara mengadopsi anak di Singapura


Langkah 1 Menghadiri Pra-Adopsi Briefing

Pra-Adopsi Briefing adalah wajib. pengadopsi harus menghadiri sebelum pengadopsi


mengidentifikasi anak untuk diadopsi atau memulai proses adopsi.

Langkah 2 Adopsi Endorsement untuk Uni Eropa Nationals

Singapura perintah adopsi dilakukan pada atau setelah 3 Januari 2014 tidak akan diakui
secara otomatis di negara-negara:

· Inggris

· Wales

· Skotlandia

· Irlandia Utara

Untuk Nationals Inggris:

pengadopsi tidak akan dapat mengadopsi anak di Singapura. Kunjungi Gov.UK untuk
informasi lebih lanjut.
Untuk semua Warga lain dari Uni Eropa:

Sebelum mengidentifikasi anak di Singapura dan mulai pada aplikasi adopsi pengadopsi,
pengadopsi harus mengirimkan surat akhir yang telah disahkan.

Langkah 3 Mengidentifikasi anak untuk mengadopsi

pengadopsi dapat mengidentifikasi anak pengadopsi sendiri atau melalui MSF. Untuk
informasi lebih lanjut, silakan lihat Bagaimana cara menemukan seorang anak untuk
diadopsi.

Langkah 4 Mendapatkan Persetujuan diaktakan dari orang tua anak

pengadopsi harus mendapatkan persetujuan diaktakan dari orang tua atau dari orang-
orang berikut (jika orang tua tidak tersedia):

1. wali anak;
2. orang yang memiliki hak asuh sebenarnya anak;
3. orang yang bertanggung jawab (yaitu memiliki kewajiban) untuk mendukung
anak; atau
4. orang tua atau wali dari orang tua kandung, jika orang tua biologis di bawah 21
tahun.

Jika pengadopsi tidak dapat memperoleh persetujuan diaktakan dari orang-orang yang
relevan di bawah (1) - (4) di atas, pengadopsi dapat memohon kepada Pengadilan untuk
memiliki persetujuan mereka ditiadakan. Pengadilan dapat memutuskan untuk
membuang persetujuan jika ada keadaan khusus yang membenarkan ini

Langkah 5 Mendapatkan semua dokumen identifikasi anak

pengadopsi harus mendapatkan dan memastikan bahwa semua dokumen berkaitan


dengan identitas anak yang asli. Dokumen tersebut meliputi:
 Sertifikat kelahiran anak
 Paspor anak (jika anak adalah Resident Tetap)

Langkah 6 Siapkan rincian diperinci dari biaya yang terlibat (jika ada) dalam
memperoleh anak

Bagian 11 dari Adopsi Anak Undang-Undang membatasi pembayaran atau imbalan lain
dalam pertimbangan adopsi, kecuali dengan persetujuan dari Pengadilan.
Jika pengadopsi telah mengeeluarkan biaya selama transfer anak (misalnya apresiasi
kepada orang tua, pembayaran kepada agen untuk jasa yang diberikan atau pihak lain),
pengadilan keluarga mengharuskan pengadopsi untuk memberikan rincian jumlah,
dengan bukti asli penerimaan.

Keluarga Menerapkan untuk Adopsi ke Pengadilan

Langkah 7 Mengajukan permohonan ke Pengadilan Keluarga

Jika pengadopsi telah menyelesaikan langkah 1 sampai 5, pengadopsi dapat melanjutkan


untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Keluarga. pengadopsi dapat
melakukannya secara langsung atau melalui pengacara. Untuk informasi lebih lanjut
seperti prosedur untuk mengirimkan aplikasi dan dokumen yang diperlukan, Sebuah
Panduan Prosedural untuk Adopsi .

Langkah 8 Pengadilan menunjuk Wali-In-Adopsi untuk anak

Pengadilan akan menginstruksikan pengadopsi atau pengacaranya untuk meminta


persetujuan dari Direktur Kesejahteraan Sosial dari Kementerian Sosial dan Keluarga
Pembangunan (MSF) untuk bertindak sebagai Wali-In-Adopsi (GIA) untuk anak selama
proses adopsi. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 (3) dari ACA.
GIA memiliki tugas menjaga kepentingan anak sedang dipertimbangkan untuk
diadopsi. GIA melakukan penyelidikan sosial yang diperlukan dalam keadaan aplikasi
adopsi dan menyerahkan surat pernyataan kepada Pengadilan Keluarga. Hal ini sesuai
dengan Peraturan 7, Orde 68 dari Peraturan Pengadilan.
MSF akan meninjau permintaan Anda untuk Direktur Kesejahteraan Sosial menjadi GIA
dan mengeluarkan izin jika diterima. Bila pengadopsi telah memperoleh persetujuan dari
MSF, pengadopsi atau pengacaranya harus menyerahkannya ke Pengadilan Keluarga.
Keluarga Pengadilan kemudian akan menunjuk Direktur Kesejahteraan Sosial sebagai
GIA.

Langkah 9 Menghadiri wawancara dengan MSF

GIA akan menunjuk Petugas Kesejahteraan Anak (Cwo) dari MSF untuk melakukan
wawancara yang diperlukan mengenai keluarga dan status anak dan keadaan. pengadopsi
perlu bekerja sama dengan Cwo ditunjuk dan memberikan informasi diminta.
pengadopsi perlu untuk menghadiri semua wawancara di kantor MSF atau tempat lainnya
yang diperlukan, dan juga memungkinkan Cwo untuk mengunjungi rumah
pengadopsi. Setelah menyelesaikan investigasi, MSF akan mempersiapkan surat
pernyataan (yang merupakan penilaian terhadap aplikasi adopsi berdasarkan temuan dari
penyelidikan sosial) ke Pengadilan Keluarga.

Langkah 10 Terapkan untuk tanggal sidang

MSF akan mengirimkan surat pernyataan kepada pengadopsi atau pengacaranya ketika
selesai dan memberitahu Family Court. Anda atau pengacara Anda akan mengirimkan
affidavit ke Pengadilan Keluarga dalam waktu 2 minggu dan mengajukan permohonan
tanggal sidang.

Langkah 11 Mendengar Kasus

Pengadopsi atau pengacaranya harus hadir selama persidangan kasus ini. Pengadilan
dapat memutuskan untuk memanggil pihak lain seperti Cwo dan orang tua alami anak
untuk hadir selama persidangan.

Langkah 12 Pendaftaran atau Return anak setelah sidang Pengadilan Keluarga

Jika Pengadilan Keluarga hibah Adopsi Order, pengadilan keluarga akan


menginformasikan pendaftran Kelahiran & Kematian, Imigrasi dan otoritas pemeriksaan
(ICA) untuk penerbitan Akta Kelahiran baru bagi anak. pengadopsi atau pengacara
pengadopsi akan menerima surat dari ICA untuk mengumpulkan Akta Kelahiran. Jika
Pengadilan menolak aplikasi pengadopsi, maka harus kembali anak tsb untuk /
keluarganya dengan biaya sendiri.

ADOPTION OF CHILDREN ACT

(CHAPTER 4)

(Original Enactment: Ordinance 18 of 1939)

REVISED EDITION 1985

(30th March 1987)

An Act to make provision for the adoption of infants.

[29th December 1939]

Short title

1. This Act may be cited as the Adoption of Children Act.

Interpretation.

2. In this Act, unless the context otherwise requires —

“court” includes a judge;

“father”, in relation to an illegitimate infant, means the natural father;

“parent”, in relation to an illegitimate infant, does not include the natural father;

“Registrar”, in relation to any court, means the Registrar of that court.


[12

[9/72]

Power to make adoption orders

3. (1) Upon an application in the prescribed manner by any person desirous of being
authorised to adopt an infant who has never been married, the court may,
subject to the provisions of this Act, make an order (referred to in this Act as
an adoption order) authorising the applicant to adopt that infant.

(2) A person so authorised to adopt the infant and an infant authorised to be


adopted are referred to in this Act as an adopter and an adopted child
respectively, and infant means a person under the age of 21 years.

(3) Where an application for an adoption order is made by two spouses jointly, the
court may make the order authorising the two spouses jointly to adopt an
infant.

(4) An adoption order may be made authorising the adoption of an infant by the
mother or father of the infant, either alone or jointly with her or his spouse.

(5) Except as provided in this section, no adoption order shall be made authorising
more than one person to adopt an infant.

[2

Restrictions on making adoption orders

4. (1) An adoption order shall not be made in any case where —

(a) the applicant is under the age of 25 years; or

(b) the applicant is less than 21 years older than the infant in respect of whom the
application is made.
(2) Notwithstanding subsection (1), it shall be lawful for the court, if it thinks fit, to
make an adoption order —

(a) where the applicant is under the age of 25 years and less than 21
years older than the
(b) infant if —
(i) the applicant and the infant are within the prohibited degrees of
consanguinity; or
(ii) in other special circumstances which justify as an exceptional measure the
making of an adoption order where the applicant and the infant are not within
the prohibited degrees of consanguinity;
(b) in the case of an application by two spouses jointly where one of the spouses and
the

infant are within the prohibited degrees of consanguinity, notwithstanding that the
other

spouse is under the age of 25 years and less than 21 years older than the infant; and

(c) in the case of an application by two spouses jointly where neither spouse is within
the

prohibited degrees of consanguinity with the infant, notwithstanding that one or


both the

spouses are less than 21 years older than the infant.

[9/72]

(3) An adoption order shall not be made in any case where the sole applicant is a male
and

the infant in respect of whom the application is made is a female unless the court is
satisfied that there are special circumstances which justify as an exceptional
measure the

making of an adoption order.

(4) An adoption order shall not be made except with the consent of every person or
body who

is a parent or guardian of the infant in respect of whom the application is made or


who has

the actual custody of the infant or who is liable to contribute to the support of the
infant:

Provided that the court may dispense with any consent required by this subsection
if the court is satisfied that the person whose consent is to be dispensed with —

(a) has abandoned, neglected, persistently ill-treated the infant or cannot be found and
that

reasonable notice of the application for an adoption order has been given to the parent
or

guardian where the parent or guardian can be found;

(b) is unfit by reason of any physical or mental incapacity to have the care and control of
the

infant, that the unfitness is likely to continue indefinitely and that reasonable notice of
the

application for an adoption order has been given to the parent or guardian; or
(c) ought, in the opinion of the court and in all the circumstances of the case to be
dispensed

with, notwithstanding that such person may have made suitable initial arrangements
for the

infant by placing the infant under the care of the authorities of a children’s home, the

protector under the Children and Young Persons Act (Cap. 38) or some other person.

[9/72]

(5) An adoption order shall not be made upon the application of one of two spouses
without

the consent of the other of them:

Provided that the court may dispense with any consent required by this subsection if
satisfied that the person whose consent is to be dispensed with cannot be found or is
incapable of giving such consent or that the spouses have separated and are living apart
and that the separation is likely to be permanent.

(6) An adoption order shall not be made in favour of any applicant who is not resident
in

Singapore or in respect of any infant who is not so resident.

(7) For the purpose of subsection (6), an infant shall be deemed not to be resident in

Singapore —

(a) if he is authorised or permitted to remain in Singapore by virtue of a visit pass, a


student’s
pass or a special pass issued by the Controller of Immigration, irrespective of the
number

of occasions such a pass is issued to him or renewed; or

(b) if his presence in Singapore is unlawful under the provisions of the Immigration
Act (Cap.

133) or the regulations made thereunder.

[3

[3/85]

Matters with respect to which court to be satisfied

5. The court before making an adoption order shall be satisfied —

(a) that every person whose consent is necessary under this Act and whose consent is
not

dispensed with has consented to and understands the nature and effect of the
adoption

order for which application is made, and in particular in the case of any parent
understands

that the effect of the adoption order will be permanently to deprive him or her of
his or her

parental rights;

(b) that the order if made will be for the welfare of the infant, due consideration being
for this
purpose given to the wishes of the infant, having regard to the age and
understanding of

the infant; and

(c) that the applicant has not received or agreed to receive, and that no person has
made or

given, or agreed to make or give to the applicant, any payment or other reward in

consideration of the adoption except such as the court may sanction.

[4

Terms and conditions of order

6. The court in an adoption order may impose such terms and conditions as the court
may

think fit and in particular may require the adopter by bond or otherwise to make for
the

adopted child such provision, if any, as in the opinion of the court is just and
expedient.

[5

Effect of adoption order

7. (1) Upon an adoption order being made, all rights, duties, obligations and liabilities
of the parent or parents, guardian or guardians of the adopted child, in relation to the
future custody, maintenance and education of the adopted child, including all rights to
appoint a guardian or to consent or give notice of dissent to marriage shall be
extinguished, and all such rights, duties, obligations and liabilities shall vest in and be
exercisable by and enforceable against the adopter as though the adopted child was a
child born to the adopter in lawful wedlock, and in respect of the same matters and in
respect of the liability of a child to maintain its parents the adopted child shall stand to
the adopter exclusively in the position of a child born to the adopter in lawful wedlock:

Provided that in any case where two spouses are the adopters, such spouses shall in
respect of the matters aforesaid and for the purpose of the jurisdiction of any court to
make orders as to the custody and maintenance of and right of access to children stand to
each other and to the adopted child in the same relation as they would have stood if they
had been the lawful father and mother of the adopted child, and the adopted child shall
stand to them respectively in the same relation as a child would have stood to a lawful
father and mother respectively.

(2) (a) Where, at any time after the making of an adoption order, the adopter or the
adopted

person or any other person dies intestate in respect of any movable or


immovable

property, that property shall devolve in all respects as if the adopted person
were the

child of the adopter born in lawful wedlock and not the child of any other
person.

(b) In any disposition of movable or immovable property made, whether by


instrument

inter vivos or by will (including codicil) after the date of an adoption order —

(i) any reference (whether express or implied) to the child or children of


the adopter shall, unless the contrary intention appears, be construed
as, or as including, a reference to the adopted person;
(ii) any reference (whether express or implied) to the child or children of
the adopted person’s natural parents or either of them shall, unless the
contrary intention appears, be construed as not being, or as not
including, a reference to the adopted person; and
(iii) any reference (whether express or implied) to a person related to the
adopted
person in any degree shall, unless the contrary intention appears, be
construed as a reference to the person who would be related to him in
that degree if he were the child of the adopter born in lawful wedlock
and were not the child of any other person.
(3) Where an adopted child or the spouse or issue of an adopted child takes any
interest in

movable or immovable property under a disposition by the adopter or under any

intestacy, or where an adopter takes any interest in movable or immovable


property under

a disposition by an adopted child or the spouse or issue of an adopted child, or


under the

intestacy of an adopted child or the spouse or issue of an adopted child, any estate
or

other duty which becomes leviable in respect thereof shall be payable at the same
rate as

if the adopted child had been a child born to the adopter in lawful wedlock.

(4) For the purposes of this section, “disposition” means an assurance of any interest
in

property by any instrument whether inter vivos or by will including codicil.

(5) For the purposes of section 11 or 11A of the Civil Law Act [Cap. 43], a person
shall be
deemed to be the parent or child of the person deceased notwithstanding that he
was only

related to him in consequence of adoption; and accordingly in deducing any


relationship

which under the provisions of that section is included within the meaning of the

expressions “parent” and “child” an adopted child shall be treated as being, or as


having

been, the legitimate offspring of his adopter.

[11/1987 wef 01/05/1987]

(6) Notwithstanding anything in this section, trustees or personal representatives may


convey

or distribute any movable or immovable property to or among the persons entitled


thereto

without having ascertained that no adoption order has been made by virtue of
which any

person is or may be entitled to any interest therein, and shall not be liable to any
such

person of whose claim they have not had notice at the time of the conveyance or

distribution; but nothing in this subsection shall prejudice the right of any such
person to

follow the property, or any property representing it, into the hands of any person,
other
than a purchaser, who may have received it.

(7) Where an adoption order is made in respect of a person who has been previously
adopted,

the previous adoption shall be disregarded for the purposes of this section in
relation to the

devolution of any property on the death of a person dying intestate after the date of
the

subsequent adoption order and in relation to any disposition of property made after
that

date.

(8) For the purpose of the law relating to marriage, an adopter and the person whom
he has

been authorised to adopt under an adoption order and all children and adopted
children of

the adopter shall be deemed to be within the prohibited degrees of consanguinity;


and this

subsection shall continue to have effect notwithstanding that some person other
than the

adopter is authorised by a subsequent order to adopt the same infant.

(9) An adoption order shall not by itself affect the citizenship of the adopted child.

[6

[9/72]
Power to make interim orders

8. (1) Upon any application for an adoption order, the court may postpone the
determination

of the application and may make an interim order (which shall not be an
adoption order

for the purposes of this Act) giving the custody of the infant to the applicant for
a

period not exceeding two years by way of a probationary period upon such
terms as

regards provision for the maintenance and education and supervision of the
welfare of

the infant and otherwise as the court may think fit.

(2) All such consents as are required to an adoption order shall be necessary to an
interim

order but subject to a like power on the part of the court to dispense with any
such

consent.

[7

Power to make subsequent order in respect of infant already subject to an order

9. An adoption order or an interim order may be made in respect of an infant who has
already
been the subject of an adoption order, and, upon any application for such further
adoption

order, the adopter or adopters under the adoption order last previously made shall,
if living,

be deemed to be the parent or parents of the infant for all the purposes of this Act.

[8

Jurisdiction and procedure

10. (1) The court having jurisdiction to make adoption orders under this Act shall be
the High

Court including the Registrar thereof or, at the option of the applicant but
subject to

any rules made under this section, a District Court.

[9/72]

(2) Rules in regard to any matter to be prescribed under this Act and directing the
manner

in which applications to the court are to be made and dealing generally with all
matters

of procedure and incidental matters arising out of this Act and for carrying this
Act into

effect shall be made under section 80 of the Supreme Court of Judicature Act
and

section 69 of theSubordinate Courts Act.


Such rules may provide that all applications made under this Act be heard and
determined otherwise than in open court.

(3) For the purpose of any application under this Act and subject to any rules made
under

this section, the court shall appoint some person or body to act as a guardian in
adoption

of the infant upon the hearing of the application with the duty of safe-guarding
the

interests of the infant before the court.

[9

[42/2005 wef 01/01/2006]

Restriction on payments

11. It shall not be lawful for any adopter or for any parent or guardian except with the

sanction of the court to receive any payment or other reward in consideration of


the

adoption of any infant under this Act or for any person to make or give or agree to
make

or give to any adopter or to any parent or guardian any such payment or reward.

[10

Registration of adopted children

12. (1) Where an adoption order has been made, the Registrar of the court by which
the
adoption order was made shall forthwith send to the Registrar-General of
Births and

Deaths a notice in the form set out in the Schedule, setting out the following

particulars so far as they are known to the court:

(a) the full name of the child before the making of the adoption order;

(b) the full name of the child conferred by the adoption order;

(c) the date and place of birth of the child;

(d) the birth certificate registration number or entry number of the last
preceding

adoption or re-registration number;

(e) the sex of the child;

(f) the names of the natural or last preceding adopting parents of the child;

(g) the name or names and the occupation and address of the adopting parent
or

adopting parents;

(h) the date and country of birth, race and dialect group, nationality and
citizenship,

and Singapore identity card number of the adopting parent or adopting


parents;

(i) the maiden name of the adopting mother if she is or has been married;
(j) in the case of adoption by a single adopter, whether the adoptive parent
wishes that

the words “adoptive father” or “adoptive mother” as the case may require,
appear

on the face of any certified copy of the entry of birth of the child issued after
the

birth has been registered under this section;

(k) the date of the adoption order and a description of the court by which it was
made;

(l) such other particulars as may be required by the Registrar-General.

[9/72]

(2) (a) Where the precise date of the infant’s birth is not proved to the satisfaction of
the

court, the court shall determine the probable date of his birth and the date so

determined shall be specified in the order as the date of his birth.

(b) Where the country of birth of the infant is not proved to the satisfaction of the
court

the particulars of that country may be omitted from the order, and from the
entry in

the register maintained by the Registrar-General.

(3) Upon receipt of the form referred to in subsection (1), the Registrar-General shall
if the
birth of the adopted child has been registered in Singapore cause the entry in the
relevant

register of births to be marked with the word “Adopted”. Particulars as to the birth
of the

child shall then be registered separately substituting the name conferred by the
adoption

for the name of the child prior to adoption, and recording the name, address and

description of each adopting parent in substitution for the particulars as to the


natural or

last adopting parents.

(4) In any case where the birth of the adopted child has not been registered in
Singapore, the

Registrar-General, upon being satisfied as to the correctness of the information


supplied to

him as to the date and place of birth of the child, shall register particulars as to the
birth of

the child in accordance with the procedure in subsection (3).

(5) Where a copy of the entry as to the birth of any child to which this section relates
is

required for any purpose, the Registrar-General, subject to any regulations as to


payment

of fees as are prescribed, shall supply a copy of the last entry made pursuant
to subsection (3) omitting in the copy the word “Adopted” that appears in the
original or

former entry.

(6) No person shall be permitted to inspect any such original or former entry, or to
take a

copy of such original or former entry unless that person has certified, and the
Registrar-

General is satisfied, that the particulars recorded in the original or former entry are

material for the purpose for which the inspection is required.

(7) Where on 15th May 1972 an adoption order has already been made in respect of
an infant,

the Registrar-General shall upon application being made by either of the adopting

parents, or in the event of both adopting parents being dead, by the adopted child
register

particulars as to the birth of the child in accordance with subsection (3) and upon

registration, subsection (5)shall apply to any copy of an entry as to the birth of the

adopted child.

[9/72]

(8) The copy of the entry as to the birth of the child supplied by the Registrar-General

under subsection (5) shall have the same effect in law as a copy of any entry as to
the
birth of a child who is not adopted.

(9) Rules made by the Minister under the Registration of Births and Deaths Act (Cap.
267)

may make provision as to the duties to be performed by Registrars, Supervising


Deputy

Registrars and Deputy Registrars in the administration of this Act.

(10) The Adopted Children Register maintained under section 11 repealed by the
Adoption of

Children (Amendment) Act 1972 shall cease to be maintained and no extracts


therefrom

shall be issued except by an order of court.

[9/72*]

*
This Act came into operation on 15th May 1972.

(11) The Registrar-General shall keep such other registers and books, and make such
entries

therein as may be necessary to record and make traceable the connection between
any

entry in the Adopted Children Register previously maintained


under section 11 repealed

by the Adoption of Children (Amendment) Act 1972 and any entry in the
registers of

births made pursuant to this section, but the registers and books kept under this
subsection shall not be, nor shall any index thereof be, open to public inspection
or

search nor except under an order of court shall the Registrar furnish any person
with any

information contained in or with any copy or extract from any such registers or
books.

ADOPTIE / ADOPSI

1. Dasar hukum adopsi


Pengaturan mengenai adopsi atau pengankatan anak di Indonesia diatur dalam:

a. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengankatan
Anak;
b. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;
c. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan
SEMA Nomor 2 Tahn 1979;
d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak;
e. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
f. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak;
g. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak; dan
i. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.110/HUK/2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak.
2. Pengaturan mengenai lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum Indonesia

a. Hukum Adat

Sistem hukum Indonesia bersumber pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal
adanya pengangkatan anak,Sebagaimana hukum adat pada umumnya di Nusantara jarang
terdokumentasi secara tertulis, tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya.
Sebagai contoh salah satu bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak.
Mengangkat anak disebut “mupu anak” (Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau
“ngukut anak” (suku Sunda umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta). Orang tua angkat
umumnya bertanggung jawab terhadap anak yang diangkatnya sedangkan orang tua
kandung lepas tanggung jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun
sangat sederhana biasanya hanya keluarga yang menyerahkan dan yang mengangkat,
tetapi tetangga akan segera mengetahuinya. Adapula yang dihadiri para kerabat dari
kedua belah pihak. Pengangkatan yang menggunakan surat ditemukan hanya di dua
tempat yaitu di Meester Cornelis (Jatinegara) yang disahkan asisten wedana dan
Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala Desa.

Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang dan tunai. Terang ialah
suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan
diumumkan didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap
semua orang mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai
seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.

Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi
persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak
angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan
keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Perbedaannya didalam
hukum dat diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung
anak angkat -- biasanya berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki
kekuatan megis.
Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan
pada kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat
(keluarga yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan
kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu
kemudian menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang
mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.

-Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau
pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika
mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya

3. Kedudukan Anak Angkat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Sebagaimana dikemukakan oleh R. Soeroso, adopsi tidak diatur dalam BW hanya


pengakuan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada Buku I Bab XII Bagian III
Pasal 280 sampai dengan 289. Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di
masyarakat dan dunia peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar
kawin, tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas. Dengan demikian,
sebenarnya, BW tidak mengatur tentang pengangkatan anak sebagaimana dikenal
sekarang. Pengangkatan anak dalam istilah hukum perdata barat disebut adopsi. Sumber
hukum adopsi adalah Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917, yang
merupakan satu-satunya pelengkap bagi BW yang memang tidak mengenal masalah
adopsi. BW hanya mengatur masalah adopsi atau pengangkatan anak luar kawin. Yang
perlu dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut adalah
hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Ketentuan tentang pengangkatan anak
sebagaimana diatur dalam Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 Pasal 5 s/d Pasal 15 antara
lain:

a. Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah
dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena
pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki
sebagai anaknya.
b. Seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak
dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiyat (Pasal 5).
c. Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri
dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain
(Pasal 6).
d. Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun
lebih muda dari istri (Pasal 7 ayat (1)).
e. Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat.
f. Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 10).
g. Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara
tidak membuat akta otentik batal demi hukum (Pasal 15 ayat (2)).
Disamping itu, adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga
dapat dinyatakan batal.
h. Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak (Pasal
15 ayat (1)). Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal
1338 ayat (2) KUH Perdata (BW) yang menyatakan bahwa suatu
perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para
pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.
i. Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, secara
kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat Tionghoa agar dapat
meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai
pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki-laki

Pengangkatan Anak WNI oleh WNA Menurut SEMA No. 6 Tahun 1983

Bagi golongan penduduk Cina berdasarkan stablad 1917-129 hanya dikenal adopsi
terhadap anak laki-laki dengan motif untuk meperoleh keturunan laki-laki, tetapi setelah
yurisprudensi tetap mengangap sah pula pengangkatan anak perempuan, maka
kemungkinan untuk adopsi anak pun semakin bertambah.
Pasal 2 ayat 3 dan 4 Undang-Undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
menyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan- perlindungan
terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan
dan perkembangan dengan wajar.

Pasal 12 ayat ayat 1 dan 3 menyatakan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan
kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan diluar adat dan
kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.[6] Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak terdapat pada) staablad
tahun 1917 Nomor 129; b) UU No 1958 tentang kewarganegaraan Indonesia (lembaran
negara RI No 113 tahun 1958, tambahan lembaran negara RI tahun No 1647); c) UUNo
4 tahun 1979, tentang kesejahteraan anak (lembaran negara RI No 32, tambahan
lembaran negara RI No 3143); d) surat edaran direktur jenderal hukum dan perundang-
undangan No JHA/ I/1/2 tanggal 24 februari 1978 tentang prosedur pengangkatan anak
warganegara Indonesia oleh orang Asing; e) SEMA RI No 6 tahun 1983 tentang
penyempurnaan SEMA No 2 tahun 1979 mengenai pengangkatan anak.[7]

Dengan demikian semua peraturan yang berlaku di Indonesia ataupun nantinya kemudian
diaturlah undang-undang yang baru tentang adopsi harus lebih memperhatikan
kepentingan kesejahteraan anak.

Prosedur Pengangkatan Anak WNI oleh Orangtua Angkat WNA

Bertambahnya kemungkinan bagi warga Indonesia untuk bergaul dengan warga negara
asing dalam kenyataannya telah menimbulkan hasrat dari para WNA (Barat) unntuk
mengangkat anak, maka makin banyak pengangkatan anak-anak Indonesia oleh WNA
yang menimbulkan permasalahan pengangkatan anak antar negara (inter state) atau (inter
country) dan yang kesemuanya dimintakan pengesahannya kepada pengadilan negeri.

Dalam hal pengangkatan anak WNI oleh warga negara asing, kepentingan negara dan
bangsa ikut menentukan aspek- aspek keamanan politik dan budaya bangsa dalam
kerangka perkembangan negara pancasila lebih-lebih dengan adanya ketentuan dalam
pasal 34 undang-undang dasar 1945 sehingga pengangkatan anak semacam itu
seharusnya merupakan ULTIMUM REMEDIUM. [8]

Proses pengangkatan anak harus melalui penetapan pengadilan. Ini demi kepastian
hukum mengenai perubahan status dari anak angkat tersebut dalam keluarga orang tua
angkatnya. Misalnya anak itu akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. alasan
dilakukannya pengangkatan anak dalam praktek seringkali karena tidak mempunyai anak
laki-laki atau anak perempuan.

Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada pengadilan negeri di tempat domisili


anak yang diangkat tersebut. Adapun alasan permohonan diajukan adalah untuk
kepentingan si anak, kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental serta
perlindungan anak itu sendiri.

Untuk mengadakan permohonan itu, hakim wajib mengadakan penilaian tentang motif
dari pihak- pihak yang akan melepaskan anak (termasuk badan/yayasan sosial dimana
anak tersebut berasal) ataupun pihak yang akan menerima anak yang bersangkutan
sebagai anak angkat, serta untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa dalam
kesungguhan, ketulusan dan keserasian kedua belah pihak tersebut akan akibat-akibat
dari perbuatan hukum melepas dan mengangkat anak tersebut, disisi lain hakim harus
mengetahui keadaan ekonomi, keadaan rumah tangga( kerukunan,keserasian kehidupan
keluarga) serta cara mendidik dan mengasuh dari keduah belah pihak calon orang tua
angkat tersebut, dan juga melihat bagaimana tanggapan anggota keluarga yang terdekat
(anak-anak yang telah besar) dan kedua belah pihak orang tua tersebut, serta mengadakan
pemeriksaan setempat dimana calon anak angkat itu berada.[9]

Kesejahtraan anak dan kehidupannya di masa yang akan datang dalam keluarga barunya
harus diperhitungkan. Adapun kelengkapan untuk permohonan itu, harus dilampirkan
sebagai berikut:

1) dari calon orang tua angkat;


akta perkawinan, akta kelahiran, surat kesehatan dan kesehatan jiwa, surat keterangan
berkelakuan baik, surat keterangan penghasilan.

2) dari calon anak angkat;

Surat persetujuan dari; orang tua kandung ( dibuat akta notariil ), ibu kandung bila orang
tua tidak kawin sah,mereka yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak.

3) dari pemerintah;

Surat persetujuan menteri sosial bagi; calon orang tua angkat, calon anak angkat.[10]

Pengangkatan anak oleh orang asing yang diatur dalm surat edaran Mahkama Agung no
6 tahun 1983 merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak–pihak yang
bersangkutan di dalam pengangkatan anak tersebut. Dengan demikian disebutkan di
bawah ini beberapa persyaratan baik bagi calon anak angkat dan bagi calon orang tua
angkat.

1. Bagi orang tua angkat warga negara Asing (pemohon).

Syarat yang harus dipenuhi bagi calon orang tua angkat:

1. harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurngnya 3 tahun .

2. harus disertai izin yang tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon
orang tua angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan
pengangkatan anaak seorang warga negara Indonesia.

3. Pengangkatan anak WNI harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki
izin dari departemen sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak di bidang
kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak WNI yang langsung
dilakukan antara orang tua kandung WNI dan calon orang tua angkat WNA (private
adoption) tidak diperbolehkan.
4. Pengangkatan anak WNI oleh oleh seorang WNA yang tidak terikat dalam
perkawinan yang/ belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.

2. Bagi calon anak angkat WNI

Syarat yang diperlukan dan harus dipenuhi sebagai calon anak angkat, adalah sebagai
berikut:

1. usia calon anak angkat harus belum mencapai umur 5 tahun.

2. Disertai penjelasan tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon
anak angkat WNI yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat
oleh calon orang tua angkat WNA yang bersangkutan.[11]

Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia dilakukan dengan penetapan


pengadilan. Demikian juga pengangkatan anak antar negara ditetapkan dengan putusan
pengadilan. Salinan putusan pengadilan disampaikan kepada menteri sosial, menteri luar
negeri (pengangkatan anak antarnegara), menteri dalam negeri, cq. Kepala kantor catatan
sipil setempat, direktur jenderal dan perundang-undangan departemen kehakiman, dirjen
imigrasi, departemen kehakiman RI , kejaksaan dan kepolisian setempat.

Terhadap penetapan pengadilan mengenai pengangkatan anak dapat diajukan bantahan.


Adapun yang dapat mengajukan bantahan itu adalah orang tua kandung, ayah atau ibu
yang melakukan kekuasaan sebagai orang tua (apabila telah terjadi perceraian atau salah
seorang dari orang tua telah meninggal dunia), atau ibu dari anak tersebut apabila orang
tua anak itu tidak kawin sah.tenggang waktu mengajukan bantahan adalah satu tahun
sejak putusan atau penetapan hakim diucapkan.

Akibat Hukum Pengangkatan Anak

1. Hubungan waris: Dalam hal secara tegas menyatakan bahwa anak sudah tidak akan
mendapatkan waris lagi dari orang tua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat
waris dari orang tua angkat.
2. Hubungan perwalian: Dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak
dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru
dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang
tua beralih kepada orang tua angkat.

3. Hubungan marga,gelar, kedudukan,adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat
marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat.[14]

Dengan demikian akibat hukum dari pengangkatan anak WNI oleh orang tua WNA
pengadilan juga menetapkan akibat hukum mengenai hubungan darah, waris perwalian
dan hubungan marga, gelar dan juga kedudukan sama seperti yang diatas, ditambah
dengan kewarganegaraan juga membawa perubahan status publik si anak yang mengikuti
status politik orang tuanya. Dalam hal status kewarganegaraan ini juga anak masih
diberikan kebebasan untuk mempunyai dua status kewarganegaraan sekaligus yaitu
mengikuti kewarganegaraan orang tua angkatnya serta kewarganegaraan tempat dia
dilahirka/domisili sebelum diangkat sebagai anak angkat oleh orang tua angkat WNA
tersebut.

Sebuah contoh pengangkatan anat oleh WNA adalah yang dilakukan pasangan suami istri
berkebangsaan Australia, Keite Warren, seorang ahli dalam bidang tehnik dan istrinya
Rayle. Sejak tahun 1973 Keite Warren dan keluarganya tinggal di Indonesia. Mereka
mengangkat seorang anak perempuan WNI melalui jasa sebuah panti asuhan dan diberi
nama Anne.

Keite Warren dan Raylle sebenarnya telah dikaruniai dua orang putra. Tetapi mereka
bercita-cita mempunyai tiga orang anak. lebih sempurnah lagi kalau anak itu perempuan,
Cuma kini Keite Warren mengalami kesulitan sebab istrinya tidak ingin melahirkan lagi,
sehingga akhirnya mereka sepakat untuk mengangkat anak saja, dan dengan jalan adopsi
Dia dapat mengangkat seorang anak perempuan yang didambakan, kalau Ia mengandung
lagi belum tentu anak yang dilahirkannya itu perempua.satu hal lagi yang sangat penting
kata mereka. beruta-juta anak di dunia yang kehidupannya sangat terlantar.
Sebabnya macam-macam. Ada yang menjadi yatim atau piatu, karena orang tuanya
meninggal, entah karena sakit atau orang tuanya korban perang, ada yang karena orang
tuanya melarat sehingga tidak mampu mengurus anaknya lagi, bahkan ada juga orang tua
yang tega membuang anaknya karena suatu alasan tertentu. Untuk itu apa salahnya kalau
kita mengulurkan tangan kepada mereka yang justru sangat haus kasih sayang. Hal inilah
yang utama yang mendorong pengangkatan anak.

Mengenai keturunan mereka tidak mempersoalkan, bagi mereka sama saja. Kulit putih
atau coklat, dari keturunan baik-baik atau bukan, Tuhan menciptaka manusia pada
dasarnya sama, tinggal kami sebagai orang tua memberikan pendidikan secara baik
sehingga anak itu akan tumbuh dewasa secara baik pula.dansebagaimana disaksikan oleh
Wiwin dari majalah kartini, setelah lima tahun memelihara Anne terbukti semangat
semula bukanlah omong kosong.

Nyonya Raylle ketika ditanya mengapa memilih anak Indonesia, menjawab kebetulan
mereka tinggal di Indonesia, sebelumnya pernah juga mencoba di Singapura waktu
mereka masih tinggal di sana tetapi karena prosesnya berbelit-belit, akhirnya batal.

Australia sendiri negara mereka persyaratannya sangat ketat yakni: keluarga yang boleh
melakukan adopsi adalah keluarga yang belum mempunyai anak,berpenghasilan baik,
harus mempunyai tempat tinggal permanent. Keturunannya pun dilihat, fisik maupun
golongan darah harus mirip, belum lagi dari segi usia, ada batasnya. Dan masih banyak
lagi syarat lainnya.

Indonesia persyaratannya tidak terlalu berat. Hal ini bukan berarti mereka mendapatkan
fasilitas dari pejabat tertentu di Indonesia. Tetapi karena jalan yang ditempuh keluarga
warrean ini masih diridhoi secara hukum dan dan manusiawi.mereka sangat
mensyukurinya, terbukti telah lima tahun mengasuh Anne mulai dari menimbangnya
ketika masih bayi. Bahkan, kesyukuran itu sampai kelak keite dan Raylle meninggal
dunia, akan benar-benar meninggalkan warisan secara adil.

Anne selalu dijaga dan dilindungi oleh keluarga Warren, bahkan ketika Anne diledek
teman- teman sepermainannya karena mempunyai kulit cokelat yang sudah tentu berbeda
dengan keluarga angkatnya yang berkulit putih,maka kakaknya selalu
memarahi mereka.dan ketika Anne sadar bahwa dia berbeda dengan keluarganya maka
ditanyakan hal itu pada kedua orang tuanya,sebagai orang tua mereka harus bijaksana
dalam hal ini memberi pengertian bahwa mereka mengambilnya dari rumah sakit lewat
jasa sebuah yayasan dan tidak mengenal secara langsung kedua orang tua kandung Anne,
dan kata Nyonya Raylle kulitmu yang coklat itu karena sering kena matahari, dan Anne
pun selalu menjawab seperti itu kalau ditanya tentang kulitnya.

Dalam contoh di atas jelas bahwa motif pengangkatan anak oleh keluarga warren adalah
lebih kepada alasan kemanusiaan dan hal alasan ini menjadi sangat berkembang dewasa
ini.Mengenai prosedur pangangkatan Anne telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang
berlaku di Indonesia yang mana lebih ringan dibandingkan dengan negara-negara lainnya
misalnya; Australia dan Singapura.

Mengenai akibat hukum terhadap pengangkatan Anne oleh keluarga Warren yaitu
berdasarkan penetapan pengadilan negeri Anne telah sah menjadi anak angkat dari
keluarga warren serta keluarga Warren berhak memberikan nama kepada Anne, dan
memperlakukannya sebagaimana anak kandungnya sehingga Anne berhak juga mewarisi
harta dari orang tua angkatnya.

Mengangkat anak dengan berbagai akibat hukum banyak dilakukan di negara kita, oleh
orang Indonesia asli, dan atau oleh warga negara asing terhadap anak-anak Indonesia dan
sebaliknya, juga bagi yang memeluk agama Islam. Padahal hukum Islam tidak mengenal
lembaga adopsi. Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan orang Indonesia asli dirasakan
kebutuhan akan lembaga pengangkatan anak tersebut.

Untuk itu lembaga adopsi perlu diatur dalam hukum perdata nasional yang dicita-citakan,
hal ini selain memberikan kepastian hukum pada lembaga adopsi yang dirasakan
kebutuhannya itu, juga sebagai salah satu cara umtuk menyelesaikan anak-anak terlantar
dan anak yatim piatu.

Tetapi Karena hukum positif tidak dapat terlepas dari pengaruh hukum agama dan
hukum adat, maka perlu dicari bentuk pengangkatan anak yang tidak bertentangan
dengan perasaan agama dan kebiasaan masyarakat, yang telah meresap dan mendarah
daging dalam perasaan hukum masyarakat Indonesia.

Putusan pengadilan merupakan faktor determinan (menentukan) atau merupakan syarat


esensial bagi sahnya pengangkatan anak, untuk itu perlu dibentuk suatu UU khusus
mengenai pengangkatan anak karena SEMA mempunyai kekuatan hukum yang kurang
mengikat, sehingga dengan adanya UU tentang pengangkatan anak dapat meminimalisir
adanya kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam putusan-putusan pengadilan negeri.
Sehingnga dapat tercapai kesejahteraan anak sebagaimana diatur dalam uu no 4 tahun
1979 tentang kesejahteraan anak konsiderans uu itu mengacu kepada pasal 34 UUD
1945, yang mengatakan bahwa, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara. Dengan demikian apabila ketentuan pasal 34 UUD 1945 ini diberlakukan secara
konsekuen, maka kehidupan fakir miskin dan anak terlantar akan terjamin.

BAB III
PENUTUP

II. Kesimpulan

Jadi menurut kelompok kami, jika ingin mengadopsi anak di Singapura maka
calon orang tua dari anak tersebut harus berusia minimal 25 tahun dan maksimal 50
tahun dan/ perbedaan umurnya 21 tahun, jika laki – laki tunggal ingin mengadopsi
anak maka dilarang mengadopsi anak perempuan serta harus mempunyai persetujuan
dalam bentuk akta dari orangtua kandung dari calon anak yang akan diadopsi atau
mendapatkannya dari wali.
Pengangkatan anak di Singapura pada dasarnya telah memiliki perundang-
undangan sejak tahun 1939 yaitu Ordinance 18 of1939. Saat ini, pengaturan
pengangkatan anak berpedoman pada Adoption of Children Act berdasarkan bab IV
Primarily Legislation (“Act”).
Berdasarkan perundang-undangan tersebut, latar belakang pengangkatan anak
juga semata-mata untuk kepentingan dan kesejahteraan anak sebagaimana dicantum
pada pasal 5 huruf b “Act”. pengangkatan anak di Singapura juga melibatkan
Departemen Sosialnya (Department of Social Welfare) untuk kepentingan anak
terutama sebagai Guardian in Adoption (GIA). Sesuai dengan pasal 10 huruf 3 “Act”
tersebut bahwa Pengadilan akan menunjuk seseorang atau badan untuk bertindak
sebagai GIA untuk mewakili kepentingan terbaik dari anak tersebut pada saat
pemeriksaan (hearing) permohanan pengangkatan anak tersebut.

Daftar Pustaka
https://tahkimjurnalsyariah.wordpress.com/2014/04/09/rukiah-latuconsina/

http://statutes.agc.gov.sg/aol/search/display/view.w3p;page=0;query=DocId%3A4d8d87f
1-3448-4193-9978-
aad645ff3298%20Depth%3A0%20ValidTime%3A01%2F01%2F2006%20TransactionTi
me%3A30%2F03%2F1987%20Status%3Ainforce;rec=0

http://republicia.blogspot.com/2014/12/adoptie-adopsi.html

http://app.msf.gov.sg/Adoption

http://app.msf.gov.sg/Adoption/Who-can-be-adopted

www.google.com
Diposting 21st June 2015 oleh tania adlina

Lihat komentar

2.

Jun

21

Batas Usia Melakukan Pernikahan


Menurut UU, Adat & Agama ;
Batas Usia Melakukan Pernikahan Menurut UU, Adat & Agama ;

KUHPerdata dalam pasal 29 menentukan, Setiap laki-laki yang belum berusia 18


tahun penuh dan wanita yang belum berusia 15 tahun penuh, tidak diperkenankan
mengadakan perkawinan namun bila ada alasan-alasan penting Presiden dapat
menghapuskan larangan itu dengan memberikan dispensasi.

UUP mengatur dalam pasal 7 ayat (1) yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun. Jika ada penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) ini, dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita (pasal 7 ayat 2).

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 15 ayat (1), untuk
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun
1974.
Undang KUH Hukum Hukum Hukum Agama
Undang Perdata Adat Agama Islam Kristen
Perkawinan
L 19 Tahun 18 Tahun Tidak Mengikuti UU Mengikuti UU
Mengatur yang berlaku yang berlaku
Khusus
P 16 Tahun 15 Tahun Tidak Mengikuti UU Mengikuti UU
mengatur yang berlaku yang berlaku
khusus

Diposting 21st June 2015 oleh tania adlina

Tambahkan komentar

3.

Jun

21
Putusnya Perkawinan Karena Peceraian
Menurut ; UU, Adat & Agama

Perbedaan Putus Perkawinan karena perceraian :

Alasan Perceraian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Dalam Pasal 209 K.U.H. perdata disebutkan alasan-alasan perceraian adalah:

1. Zinah, berarti terjadinya hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang yang
telah menikah dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya.
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja.
3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan
hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.
4. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami atau isteri terhadap isteri
atau suaminya, yang demikian sehingga mengakibatkan luka-luka yang
membahayakan.”.

Alasan Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Alasan-alasan perceraian menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974


disebutkan dalam Pasal 39, penjelasan Undang-undang perkawinan yang diulangi dalam
Pasal 19 peraturan pelaksanaan P.P No. 9 tahun 1975 yang mengatakan:

1. Salah satu pihak berbuat zinah atau pemabuk, pejudi dan sebagainya yang sukar
disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami isteri.
6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan Perceraian Menurut Hukum Adat ;

A. Tidak memperoleh keturunan dan suami meninggal dunia (minta cerai dari jabul asal
suaminya- Batak).
B. Karena kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sunggu
dipertahankan lagi (Lampung).
C. Karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga
mereka (Aceh).

Alasan Peceraian Menurut Agama Islam :

Perbedaannya terletak ada 2 penambahan alasan perceraian yaitu :

7. Suami melanggar Ta'lik Talak

2. Peralihan agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan yang


terjadi dalam rumah tangga

Alasan perceraian menurut Agama Kristen :

Agama Kristen hanya memperbolehkan 1 alasan yang menjadikan dasar dari


perceraian yaitu adanya Zinah.

Diposting 21st June 2015 oleh tania adlina

Tambahkan komentar

2.

Jun
21

Perbedaan Mengenai Harta Perkawinan


Menurut ; UU, Adat & Agama

Harta Perkawinan

Perbedaan Bentuk harta perkawinan menurut BW, UUP & Adat ?

a. Bentuk harta dalam Perkawinan ( BW ) : adalah Persatuan bulat, terjadi pencampuran


harta; Bentuk harta perkawinan terjadi demi hukum sejak saat perkawinan begitu akta nikah
ditandatangani. (pasal 119 ayaty1 KUHPdt).

Dalam KUHPdt : Persatuan Bulat bersifat tetap ( Pasal 119 ayat 2 ), sehingga antara
suami dan istri, tidak boleh :
- Mengadakan Transaksi jual beli,
- Mengadakan perjanjian tukar menukar,
- Mengadakan perjanjian perburuhan,
- Saling menghibahkan.

b. Bentuk harta dalam Perkawinan ( UUP ) :

dapat berupa ;

 Harta Bersama,
 Harta Bersama Terbatas,
 atau terpisah harta sama sekali ;
Bentuk Harta Perkawinan terjadi sejak dicatatkan / dibuatkan perjanjian kawin.
Dalam UUP : Harta perkawinan/persatuan bulat bersifat tetap sepanjang
perjanjian perkawinan atau sepanjang tidak dibubarkan.

Di dalam KUHPdt bentuk harta perkawinan yang sudah dipilih tidak dapat diubah lagi
karena kalau tidak membuat perjanjian kawin otomatis yang berlaku adalah Persatuan
Bulat (ps 119 ayat (2) ), kalau membuat perjanjian kawin dan memilih bentuk harta yang
lain misalnya Persatuan Terbatas atau Terpisah Harta Sama Sekali itupun tidak dapat
diubah lagi karena perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan
setelah perkawinan berlangsung tidak dapat diubah lagi, jadi konsekwensinnya adalah
bentuk harta yang sudah dipilih akan bersifat tetap ( ps 147 ayat (2) ).

Di dalam UUP bentuk harta perkawinan dapat diubah dengan mengubah perjanjian kawin
sepanjang tidak merugikan pihak ke 3 yang mengadakan hubungan hukum dalam bidang
Harta Perkawinan dengan suami/isteri (ps 29 ayat (4) UUP).

Dalam bentuk harta persatuan bulat, ada perlindungan bagi isteri untuk menyelamatkan
harta persatuan, Dasar hukum dan bentuk perlindungannya adalah :
Pada waktu perkawinan utuh :
a. Menuntut harta pemisahan harta persatuan jika perkawinan masih utuh (Pasal 186 BW)
; suami memohon kepada PN karena suami boros, tidak mampu mengelola harta
persatuan.
b. Menuntut perpisahan meja dan ranjang ( 243 BW ) Pada waktu perkawinan bubar :
Istri melepaskan haknya atas harta persatuan, ini hanya pada harta warisan (Pasal 132 dan
133).

Menurut Hukum Adat :


harta perkawinan ialah semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat
dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta
hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-
barang hadiah.

Harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:

 Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
 Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah
perkawinan yaitu harta penghasilan.
 Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu
harta pencaharian.
 Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sabagai
hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.
Asas – asas Hukum Harta Perkawinan Menurut BW:
1. Harta persatuan terjadi demi hukum, kecuali ditentukan lain.
2. Isi harta persatuan baik aktiva maupun pasiva sebelum & sepanjang perkawinan.
3. Pengurusan ada pada suami istri.
4. Istri tidak cakap dalam lapangan harta perkawinan.
5. Perjanjian kawin tidak dapat diubah.

Asas-asas Hukum Harta Perkawinan menurut UUP:


1. Harta bersama terjadi demi hukum.
2. Isi harta brsama adlh harta yg diperoleh spanjang perkawinan kecuali hibah atau
warisan.
3. Pengurusan ada pd suami/istri secara brsama.
4. Istri tetap cakap bertindak.
5. Perjanjian kawin dapat diubah
Bentuk Harta Perkawinan (BW):
1.persatuan bulat,
2. persatuan trbatas,
3. sama sekali terpisah harta.

Bentuk Harta Perkawinan (UUP):


1. harta brsama,
2. harta brsama terbatas,
3. terpisah harta sama sekali

Bentuk Harta Perkawinan (Adat) :

1. Harta Bawaan

2.Harta Penghasilan

3. Harta Pencaharian

4.Harta Perkawinan
Perbedaan harta perkawinan antara agama Islam dan agama Kristen :

1. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta
bersama, karena isteri diberi nafkah oleh suami. Harta ini adalah hak mereka masing-
masing.

2. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi
tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini, harta guna kaya),
jika terjadi perceraian, bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separuh
(Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 387K/Sip/1958 tgl. 11-2-1959 dan No.
392K/Sip/1969 tgl. 30-8-1969).

3. Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetapi tunduk kepada
KUHPerdata yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan),
jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri
(pasal 128 KUHPerdata).

Diposting 21st June 2015 oleh tania adlina

Tambahkan komentar

3.

Jun

20

Perbedaan dan Persamaan Larangan


Perkawinan : UU, Adat & Agama
Perbedaan dan Persamaan Larangan Perkawinan menurut Perundangan, Adat
dan Agama.

a. Perbedaan larangan perkawinan menurut perundangan dengan adat

- Dalam UU No. 1 Tahun 1974 bahwa seorang wanita dilarang kawin lagi kecuali
setelah lewat waktu 300 hari, sedangkan dalam adat tidak diatur mengenai hal
tersebut.

- Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak disebutkan adanya larangan menurut hukum adat
kekerabatan, sedangakn dalam hukum adat adanya larangan yang biasa disebut
dengan sebutan sumbang, pantang, pamali, tulah, dsb.

b. Perbedaan larangan perkawinan menurut perundangan dengan agama

- Dalam agama islam seorang laki-laki dilarang untuk kawin lebih dari empat kali,
sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 seorang laki-laki dapat memiliki isteri lebih
dari 1 asalkan telah mendapatkan persetujuan dari isteri sebelumnya.

- Dalam agama Katolik adanya larangan perkawinan bagi pria 16 tahun dan wanita 15
tahun untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan dalam perundangan seorang anak
yang belum cukup umur dapat melangsungkan pernikahan apabila telah mendapatkan
persetujuan dari orangtuanya.

- Dalam agama katolik adanya larangan bagi pria atau wanita impoten, sedangkan
dalam perundangan tidak diatur hal demikian.

c. Perbedaan larangan perkawinan menurut agama dengan adat

- Dalam adat tidak ada batasan usia bagi seorang priaa atau wanita untuk
melangsungkan perkawinan, sedangkan dalam agama katolik adanya aturan mengnai
batasan usia bagi pria atau wanita untuk melangsungkan perkawinan.

- Dalam adat tidak diatur mengenai larangan pria atau wanita yang impoten untuk
melangsungkan perkawinan, sedangkan dalam agama katolik adanya pengaturan
mengenai hal tersebut.
d. Persamaan larangan perkawinan menurut perundangan, adat dan agama

Larangan perkawinan baik dalam perundangan, adat maupun agama banyak sekali
persamaan, yaitu larangan terhadap yang ada hubungan darah, hubungan semenda,
hubungan susuan, hubungan periparan, dsb.

Diposting 20th June 2015 oleh tania adlina

Tambahkan komentar

4.

Jun

20

Syarat Sahnya Suatu Perkawinan : UU,


Adat & Agama.

Sahnya perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 harus memenuhi beberapa


syarat diantaranya, yaitu :

Pasal 2 ayat 1 dan 2

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal 6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21


(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Sahnya perkawinan menurut Hukum Perdata, yaitu :

Sahnya Perkawinan

Menurut Pasal 2 UU No.I/1974 sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut


hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1).

Ayat 2 mengatakan:

 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan dengan


yang berlaku
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan di
Indonesia itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Perkawinan itu
dinyatakan sah apabila menurut agama, baru setelah itu dicatat berdasarkan peraturan
yang berlaku. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan secara Islam harus
dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), sedang mereka yang melangsungkan
perkawinan di luar agama islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.

Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu sebaiknya yaitu


dilakukan dulu pencatatan di Kantor Catatan Sipil, baru dilakukan secara agama kalau
mau. Menurut Pasal 26 KUHPerdata perkawinan itu hanya dipandang dalam
hubungan-hubungan perdata; artinya undang-undang menyatakan bahwa suatu
perkawinan itu sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
KUHPerdata sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidaklah
diperhatikan/dikesampingkan.

Sahnya perkawinan menurut hukum adat :


1. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat

Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di


Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut
masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib
hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat. Kecuali bagi
mereka yang belum menganut agama yang diakui pemerintah, seperti halnya mereka
yang masih menganut kepercayaan agama lama (kuno) seperti ‘sipelebegu’ (pemuja
roh) di kalangan orang Batak.

Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut
masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat yang
bersangkutan. Misalnya di Lampung, walaupun sudah terlaksana perkawinan yang
sah menurut agama, tetapi apabila mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga
adat (kugrug adat) Lampung, berarti mereka belum diakui sebagai warga kekerabatan
adat.

Upacara meresmikan masuk menjadi warga adat ini merupakan upacara


perkawinan adat. Misalnya di Lampung, Tulang-bawang upacara perkawinan adat ini
dilaksanakan dengan acara ‘mosok-majew’ (menyuap mempelai) dengan tindih sila.
Upacara mosok ini dipimpin oleh tua adat wanita, biasanya isteri atau penyimbang
(pemuka adat) dan dibantu oleh beberapa wanita sehingga juru bicara dan pembawa
syair perkawinan.

Jelas bahwa di dalam KUHPerdata, perkawinan itu hanya dilihat dari segi
keperdataan dengan mengabaikan keagamaan dimana hal ini bertentangan dengan
falsafah Negara Indonesia, sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
bahkan menyangkut masalah perkawinan yang merupakan sakramen dimana
berhubungan erat dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/batin tetapi juga unsur batin/rohani yang mempunyai peranan penting. Jadi
terlihatlah disini perbedaan pengertian perkawinan menurut KUHPerdata dan menurut
UU No. 1 Tahun 1974 dimana perkawinan menurut KUHPerdata hanya sebagai
“Perikatan Perdata” sedangkan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tidak
hanya sebagai ikatan perdata, namun juga merupakan “Perikatan Keagamaan”. Hal ini
dapat dilihat dari tujuan perkawinan yang dijelaskan dalam Pasal 1 UU No. 1
Tahun1974 bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan tersebut
berbeda dengan BW yang diumumkan oleh Maklumat tanggal 30 April 1987 dan
berlaku di Indonesia sampai Tahun 1974.

Sahnya perkawinan menurut Hukum Agama :

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM AGAMA ISLAM

1) jika diselenggarakan ditempat mempelai, atau dimasjid, atau dikantor agama.


2) melaksanakan akad nikah yang berupa ijab (serah) yang diucapkan wali catin,
dan kabul (terima) yang diucapkan oleh catin pria.
3) wali nikah catin wanita:
4) bapak dari mempelai wanita
5) saudara laki-laki mempelai wanita, kakek, paman, saudara sepupu laki-laki yang
kesemuanya masih mempunyai hubungan darah.
6) wali hakim
7) lafaz akad nikah (ijab dan kabul) harus diucapkan dengan jelas dan lantang.
8) dihadapan dua orang saksi sah.

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT AGAMA KRISTEN/KHATOLIK


Suatu perkawinan sah apabila syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi dan
perkawinannya dilaksanakan dihadapan pastur atau imam dengan mengucapkan janji
bersatu dengan dihadirioleh 2 (dua) orang saksi.

Syarat-syarat perkawinan menurut hukum agama kristen/khatolik:

1. kedua mempelai harus sudah dibaptis

2. telah melewti sakramen

3. kesepakatan kedua mempelai (tidak dipaksa untuk menikah)

4. tidak ada kekeliruan tentang diri orangnya

5. untuk pria minimal 16 tahun dan wanita minimal 14 tahun.

6. salah satu atau kedua calon pengantin tidak terikat perkawinan sebelumnya

7. perkawinan dilakukan dengan diteguhkannya dihadapan pastur/pendeta.

Persamaan :

o Perkawinan menurut UUP dan KUHPerdata sama-sama mengandung unsur


perikatan/ikatan antara seorang pria dan seorang wanita.

o Untuk syarat sahnya perkawinan UUP dan BW dalam pelaksanaannya sama-


sama harus dicatatkan ke pencatat sipil setelah pelaksanaan perkawinan
dilakukan.
o Untuk sahnya perkawinan menurut UUP dan Hukum Adat dalam pelaksanaan
sama-sama menurut agama dan kepercayaaan masing-masing.
o Untuk sahnya perkawinan menurut UUP dan Agama Islam harus menurut
agama dan kepercayaan masing-masing maksudnya setiap orang yang akan
melaksanakan perkawinan harus dengan agama dan kepercayaan yang sama.
Kalau dengan agama kristen tidak ada persamaan dimana agama kristen tidak
mengatur tentang perkawinan tidak seagama.
o Sahnya perkawinan menurut Hukum Adat dan KUHPerdata tidak ada
persamaan hanya saja perbedaan diman adat tidak melihat perkawinan harus di
catatkan dalam catatan sipil namun dalam bw perkawinan haru dicatat. Hukum
Adat dengan Agama islam sama-sama harus sesuai dengan ajaran agama
kepercayaan masing-masing.

Diposting 20th June 2015 oleh tania adlina

Lihat komentar

2.

Jun

20

Tujuan Perkawinan : UU, Adat &


Agama

Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkawinan


adalah “Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang


terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat
hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan
dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang tua.

Bahagia adanya kerukunan dalam hubungan antara suami isteri dan anak-anak
dalam rumah tangga. Kebahagiaan yang dicapai bukanlah yang sifatnya sementara,
tetapi kebahagiaan yang kekal karenanya perkawinan yang diharapkan adalah
perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir dengan kematian salah satu pasangan dan
tidak boleh diputuskan atau dibubarkan menurut kehendak pihakpihak.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa


sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan
agama/kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani
tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting. Suami isteri perlu
saling bantu membantu dan saling melengkapi dalam membentuk keluarga.
Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain dari perkawinannya harus
dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing sebagai pengejewantahan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat

Dalam masyarakat adat, perkawinan mempunyai tujuan tersendiri baik


secara umum maupun khusus. Secara umum mempunyai tujuan mewujudkan
masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara khusus dengan berbagai ritual-
ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara
tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun
panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan
kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.

Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat


kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut
garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga
keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan
untuk mempertahankan kewarasan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan
antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, termasuk lingkungan
hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi
masyarakat adat juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah yang lain,
begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya.

Dalam masyarakat patrilinial, perkawinan bertujuan untuk


mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak lelaki (tertua) harus
melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran uang jujur), di
mana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan
melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. Sebaliknya
dalam masyarakat matrilineal, perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis
keturunan ibu, sehingga anak perempuan (tertua) harus melaksanakan bentuk
perkawinan ambil suami (semanda) di mana setelah terjadinya perkawinan suami ikut
(masuk) dalam kekerabatan isteri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan
kekerabatan orang tuanya.

Tujuan Perkawinan Menurut Agama.

1. Menurut Hukum Islam

Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan


hidup jasmani dan rohani manusia, untuk membentuk keluarga dan memelihara serta
meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia dan untuk mencegah
perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketenteraman keluarga dan masyarakat.
Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah
tangga yang damai dan teratur.

Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu


mendapat pemenuhan, untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan
segala aktivitas hidupnya.

Pemenuhan naluri manusia yang antara lain keperluan biologisnya agar


manusia menuruti tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia termasuk
dalam penyaluran biologisnya dengan aturan perkawinan.

Menurut Soemijati sebagaimana dikutip oleh Idris Ramulyo disebutkan


bahwa tujuan perkawinan dalam Islam:

“Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-


laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia
dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuan yang diatur oleh
syari’ah”

Menurut Imam Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zakiah Daradjat, tujuan


dan faedah perkawinan dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu :

a. - Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

Naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah.


Keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara dan
kebenaran keyakinan. Agama Islam memberi jalan untuk hidup manusia agar hidup
bahagia dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat dicapai dengan berbakti
kepada Allah SWT secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan bermasyarakat. Kehidupan
bahagia ditentukan dengan kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan
belahan jiwa. Banyak sekali kehidupan rumah tangga yang kandas karena tidak
mendapat karunia anak.

b. -Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih


sayangnya. Sudah menjadi kodrat Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-jodoh
dan mempunyai keinginan untuk berhubungan dengan laki-laki dan wanita. Dalam
perkawinan untuk menyalurkan naluri seksual dan untuk menyalurkan cinta dan kasih
sayang laki-laki dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta
dan kasih sayang yang diluar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan
tanggung jawab yang layak, karena didasarkan kebebasan yang tidak terikat oleh satu
norma.

c. - Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. Ketenangan hidup dan cinta
serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan dalam perkawinan. Orang-orang yang
tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidak-wajaran
dan dapat menimbulkan kerusakan pada dirinya sendiri atau orang lain bahkan
masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu untuk melakukan perbuatan yang tidak
baik.

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung-jawab menerima hak serta


kewajiban dan untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. Orang-orang yang
belum berkeluarga jarang memikirkan hari depannya, masih berpikir untuk hari ini,
setelah kawin barulah memikirkan bagaimana caranya mendapatkan bekal untuk
kebutuhan keluarga. Dan tindakannya masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga
kurang mantap dan kurang bertanggungjawab. Rumah tangga dapat menimbulkan
semangat bekerja dan bertanggungjawab serta berusaha mencari harta yang halal.

e. -Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar
kasih sayang. Kebahagiaan masyarakat dalam keluarga dapat dicapai dengan adanya
ketenangan dan ketenteraman anggota-anggota keluarga. Ketenangan dan
ketenteraman keluarga tergantung kepada keberhasilan pembinaan yang harmonis
antara suami isteri dalam suatu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya
kesadaran anggota keluarga menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban.

2. Menurut Agama Katolik


Tujuan perkawinan menuerut Katolik adalah:
Ada beberapa tujuan perkawinan. Salah satu yang pokok adalah
membangun kesejahteraan suami-isteri. Mereka bersama-sama mau mewujudkan apa
yang mereka cita-citakan/impikan, yaitu berbahagia lahir dan batin. Dasar dan
dorongan mewujudkan kebahagiaan adalah api cinta yang tumbuh mekar dalam hati
masing-masing pasangan.
Pengalaman mengatakan bahwa dasar mengapa orang memilih pacar dan
mau menikah dengannya karena ia menyayangi pasangannya. Selalu tumbuh
kerinduan untuk bertemu bahkan memberikan yang paling baik. Api cinta ini perlu
ditumbuhkan terus dan dipelihara jangan sampai padam. Perkawinan sering mudah
terasa hambar karena dorongan yang paling dalam ini tinggal sedikit, bahkan hampir
lenyap.

Untuk dapat terus membahagiakan pasangannya, penting sekali sikap-sikap yang


mendukung arah tersebut, misalnya:

 saling menerima dan menghargai pasangan


 mencoba menata tutur kata dan perilaku yang baik terhadap pasangannya
 menghindari kata-kata kotor dan tindak kekerasan terhadap pasangannya

3. Menurut Agama Kristen

Tujuan pernikahan bukanlah kebahagiaan seperti yang diangan-angankan


banyak muda-mudi sebelum menikah, melainkan pertumbuhan. Kebahagiaan itu
justru ditemukan di tengah-tengah perjalanan (proses) pernikahan yang dilandasi cinta
kasih Kristus. Kalau tujuan kita menikah adalah bahagia, maka pasangan kita akan
kita peralat demi mencapai kebahagiaan itu. Itu sebabnya, orang yang menikah
dengan tujuan bahagia justru menjadi yang paling tidak bahagia dalam
pernikahannya. Bahkan, tujuan ini banyak mengakibatkan perceraian, dengan alasan
ia tidak merasa bahagia dengan pasangannya.

Heuken menyebutkan beberapa tujuan lain yang tidak kuat sebagai landasan
untuk menikah. Pertama, demi keperluan psikologis, yakni supaya merasa tidak
sendirian atau kesepian. Kedua, demi kebutuhan biologis, yakni agar dapat
memuaskan nafsu seks secara wajar. Ketiga, demi rasa aman, yakni supaya memunyai
status sosial dan dihargai masyarakat. Keempat, agar memunyai anak. Ini semua
bukan merupakan alasan atau tujuan yang kuat mengapa seseorang menikah.

Dalam berumah tangga, kita akan mengalami begitu banyak keadaan dan
situasi yang tidak diharapkan. Misalnya, pasangan Anda gagal dalam pekerjaan.
Pasangan Anda menyeleweng. Pasangan Anda sakit atau cacat. Kondisi itu pasti tidak
menyenangkan. Tetapi kalau Tuhan mengizinkan hal-hal tersebut terjadi, kita perlu
belajar dari hal-hal tersebut. Lewat situasi dan keadaan itulah cinta kita diuji, apakah
kita tetap berpegang teguh pada janji pernikahan kita dan setia kepada pasangan kita
sampai kematian memisahkan. Untuk itu, mari kita pahami tujuan pernikahan Kristen
yang akan menguatkan tiang pernikahan kita.

1. Pertumbuhan

Pertumbuhan yang diharapkan adalah agar suami istri dapat melayani Allah dan
menjadi saluran berkat bagi sesamanya. Agar pernikahan itu bertumbuh, maka ada
dua syarat yang harus dimiliki setiap pasangan.

a. Masing-masing sudah menerima pengampunan Kristus, sehingga mampu


saling mengampuni selama berada dalam rumah tangga, yang masing-masing
penghuninya bukanlah orang yang sempurna. Usaha diri sendiri pasti akan
gagal.

b. Kemampuan beradaptasi, artinya masing-masing tidak memaksa atau


menuntut pasangannya, sebaliknya mampu saling memahami dan memberi.
Masing-masing menjalankan peran dengan baik, serta mampu menerima
kelemahan dan kekurangan pasangannya.

2. Menciptakan Masyarakat Baru Milik Allah

John Stott mengatakan bahwa pernikahan dibentuk Allah dengan tujuan untuk
menciptakan satu masyarakat baru milik Allah ("God's new society") -- satu
masyarakat tebusan yang dapat menjadi berkat dan membawa kesejahteraan bagi
sesamanya.[8] Wadah yang Allah pilih sebagai sarana menyejahterakan manusia
tebusan-Nya di dunia ini adalah keluarga. Rencana ini telah Allah tetapkan jauh
sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Untuk itu, Allah pertama-tama memilih
keluarga Abraham, Ishak, Yakub, dan seterusnya sampai akhirnya dalam keluarga
Yusuf dan Maria yang melahirkan Yesus. Demikianlah sampai hari ini, rencana
Tuhan bagi setiap pasangan Kristen adalah agar pasangan itu menghasilkan anak-anak
perjanjian (anak-anak Tuhan) yang memunyai tanggung jawab untuk merawat dan
mengurus bumi ciptaan-Nya ini.[9] (Kejadian 1:26,28)
Di samping itu, melalui setiap keluarga, Allah menghendaki agar setiap suami
istri melahirkan keturunan ilahi (anak-anak tebusan Kristus. Baca Maleakhi 2:14-
15).[10] Karena itu, berdasarkan prinsip di atas, saya berkeyakinan bahwa setiap anak
dalam pernikahan kami adalah anak-anak (karunia/titipan) Tuhan. Mereka bukan baru
menjadi anak-anak Tuhan saat mereka dibaptis atau sesudah besar, tetapi sejak dalam
kandungan mereka adalah benih ilahi yang Allah percayakan kepada keluarga kami.
Keyakinan ini sangat memengaruhi sikap kita dalam menghargai dan
mendidik anak-anak. Juga akan membuat kita memprioritaskan keluarga dengan
benar. Tujuan kita adalah mendidik mereka agar menjadi anak-anak Tuhan yang tidak
hanya menaati bapak dan ibu mereka secara daging, tetapi juga taat kepada Bapa di
surga. Kita juga sungguh-sungguh berusaha membangun kehidupan anak-anak kita,
baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Tetapi jika Tuhan mengizinkan keluarga
kita tanpa seorang anak, rencana Tuhan pun tetap sama indahnya. Dia mempunyai
rencana tersendiri bagi keluarga yang tidak dikaruniai anak. Keluarga yang demikian
perlu bergumul, mencari tahu apa yang dapat diperbuat untuk menyenangkan hati
Tuhan, meski belum ada buah hati. Jika ingin mengadopsi anak, sebaiknya
berkonsultasi terlebih dulu dengan konselor.
Anak merupakan upah atau berkat Tuhan bagi keluarga yang dikenan-Nya
untuk menerima berkat itu. Tidak memiliki anak bukan berarti dikutuk atau tidak
mendapat berkat Allah. Suami istri yang tidak memiliki anak pun, tetap merupakan
keluarga yang di dalamnya Allah memiliki rencana tersendiri.

Diposting 20th June 2015 oleh tania adlina

Tambahkan komentar

3.

Jun

19
Perbandingan Definisi Perkawinan :
UU, Adat & Agama.

Definisi Perkawinan :

UU No 1 tahun 1974 : “Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria
dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “

KUH Perdata: KUHperdata tidak memberikan pengertian khusus tentang


perkawinan, Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-
hubungan perdata.(26 KUHPerdt).

Perbedaan :

 KUHPerdt hanya memandang pernikahan sebagai hubungan keperdataan,


UUP memandang pernikahan sebagai ikatan lahr bathin dalam unsur
keagamaan
 UUP mengandung unsur tentang keagamaan, sedangkan KUHperdt tidak
mengatur.

Hukum Adat : Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut
wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,
saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.

Hukum Agama Islam : Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan
untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.

Hukum Agama Kristen : Pernikahan Kristen adalah Ikatan dan persekutuan hidup
yang menyeluruh (total) orang dari seorang pria (suami) dengan seorang wanita (istri)
yang telah diteuhkan Allah dalam pernkahan kudus yang meliputi Roh, Jiwa dan
Tubuh. Masa kini dan masa yang akan datang sampai salag seorang dari mereka
meninggal dunia dengan tujuan membentuk secara bertanggung jawab suatu rumah
tangga kristiani yang kudus, harmonis dan bahagua serta memuliakan dan melayani
tuhan.
Perbedaan :

 dalam Adat bukan hanya pihak pengantin yang menikah tetapi keluarga juga
ikut ‘menikah’, dalam agama islam maupun Kristen hanya mengatur tentang
pasangan suami istri yang menikah dengan tujuan memiliki anak.

Anda mungkin juga menyukai