No : 28
Kelas : XII MIPA 10
HUKUM PERKAWINAN ADAT BALI
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
2. Perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2).
1. Perkawinan Biasa
Dalam perkawinan biasa, suami berstatus sebagai purusa, sedangkan istri
sebagai pradana. Dalam bentuk perkawinan ini, istri dilepaskan hubungan hukumnya dengan
keluarga asalnya (orang tua kandungnya) selanjutnya masuk ke dalam lingkungan keluarga
suaminya. Dengan demikian, hubungan hukum kekeluargaan antara istri dengan keluarga
asalnya tidak ada lagi, selanjutnya ia menunaikan hak (swadikara) dan kewajibannya
(swadharma) dalam keluarga suami.
Bentuk perkawinan biasa ini dalam perkembangan prakteknya di masyarakat melahirkan jenis-
jenis perkawinan, seperti :
• Menurut hukum adat Bali, Bagi orang yang berkasta, perkawinan juga penting, karena
kasta dalam masyarakat (dahulu) sering mempertahankan kedudukannya. Oleh karena
perkawinan ini memiliki arti yang sangat penting, maka pelaksanaannya senantiasa
disertai dengan upacara-upacara adat.
Adapun perkawinan untuk orang yang berbeda kasta/wangsa disebut dengan Perkawinan
Nyerod.
4. Perkawinan Nyerod
Perkawinan ini disebabkan karena adanya perbedaan kasta/wangsa antara pihak laki-
laki dan perempuan. Dimana pada perkawinan nyerod ini kondisi si perempuan memiliki kasta
yang lebih tinggi dari pada si laki-laki. Pada zaman dahulu perkawinan nyerod ini sangat
dihindari dan dilarang dikarenakan adanya sanksi bagi yang melakukannya. Perkawinan
Nyerod ini juga disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Secara harifah asu pundung
dapat diartikan “menggendong anjing (asu)”, sedangkan ungkapan yang kedua berarti
“melompati kepala”.
Sanksi hukum akan dikenakan bagi pasangan yang melakukan perkawinan nyerod ini
baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, antara lain penurunan kasta bagi
mempelai perempuan, hukuman buang keluar Bali yang dikenal dengan hukuman Selong bagi
kedua mempelai, bahkan sampai hukuman labuh gni dan labuh batu. Walaupun secara yuridis
formallarangan Perkawinan Nyerodtelah dihapus melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11
Tahun 1951, namun nilai-nilai yang mendasari larangan tersebut secara sosiologis masih
membekas pada sikap sebagian masyarakat Bali. Sehingga hal ini tidak menegubah cara
berfikir masyarakat Bali mengenai perkawinan nyerod beda kasta. Dalam prakteknya di
masyarakat masih terjadi dimana perempuan berkasta lebih tinggi yang kawin dengan kastra
lebih rendah tidak akan dianggap lagi oleh keluarga asalnya. Apabila kemudian terjadi
perceraian, keluarga asalnya tidak akan menerima kembali perempuan tersebut sebagai bentuk
hukuman. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan oleh laki-laki yang berkasta lebih tinggi
dari perempuan, maka perempuan tersebut berganti nama dan naik derajat menjadi ”Jero” atau
dipanggil juga ”Mekele” (Jero Mekel).
• Sahnya Perkawinan Adat Bali
UU Perkawinan No 1 tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum
agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut
“Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Jadi makna upacara
mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian,
sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari
pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.
1. Perkawinan antara orang-orang yang berkeluarga dalam garis kencang ke atas atau ke
bawah;
2. Antara mertua dengan manantu (baik laki maupun perempuan);
3. Antara bapak tiri dengan anak tiri atau antara ibu tiri dengan anak tiri (laki);
4. Antara paman dengan kemenakan perempuan atau bibi dengan kemenakan laki;
5. Antara saudara;
6. Antara seorang lelaki dengan bibinya derajat satu kali;
7. Larangan perkawinan lainnya adalah berlaku bagi perempuan, dimana perempuan tidak
diperkenankan untuk mengawini lebih dari satu laki-laki (polyandrie).