Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ni Made Mareta Dwi Anjani

No : 28
Kelas : XII MIPA 10

HUKUM PERKAWINAN ADAT BALI

Perkawinan di Bali dikenal dengan nama pawiwahan. Dalam Undang-Undang R.I.


No. 1/1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.

Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan (UU Perkawinan) adalah terbentuknya keluarga yang kekal dan bahagia
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan).
Syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan yaitu :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
2. Perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2).

Akta Perkawinan, Sesuai dengan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta


Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah
“mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum.

• Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali

1. Perkawinan Biasa
Dalam perkawinan biasa, suami berstatus sebagai purusa, sedangkan istri
sebagai pradana. Dalam bentuk perkawinan ini, istri dilepaskan hubungan hukumnya dengan
keluarga asalnya (orang tua kandungnya) selanjutnya masuk ke dalam lingkungan keluarga
suaminya. Dengan demikian, hubungan hukum kekeluargaan antara istri dengan keluarga
asalnya tidak ada lagi, selanjutnya ia menunaikan hak (swadikara) dan kewajibannya
(swadharma) dalam keluarga suami.
Bentuk perkawinan biasa ini dalam perkembangan prakteknya di masyarakat melahirkan jenis-
jenis perkawinan, seperti :

1. Perkawinan Ngerorod atau Merangkat.


2. Perkawinan Mepadik
3. Perkawinan Jejangkepan
4. Perkawinan Nyangkring
5. Perkawinan Ngodalin
6. Perkawinan Tetagon
7. Perkawinan Ngunggahin
8. Perkawinan Melegandang
2. Perkawinan Nyeburin

Bentuk perkawinan nyeburin di beberapa tempat lebih dikenal dengan


sebutan nyentana atau nyaluk sentana. Perkawinan nyeburin adalah kebalikan dari bentuk
perkawinan biasa. Suatu perkawinan baru dapat dikatakan ”nyeburin” karena upacara
pengesahan perkawinan (pasakapari) dilaksanakan di rumah keluarga mempelai perempuan.
Artinya keluarga mempelai perempuan-lah yang mengantarkan sajen-sajen pemelepehan
(jauman) ke rumah keluarga mempelai laki-laki sebagai sarana untuk melepaskan hubungan
hukum mempelai laki-laki terhadap keluarga asalnya Dalam kawin nyeburin atau nyentana,
dapat disebutkan kemudian bahwa suami-lah yang berstatus sebagai pradana, sedangkan istri
diangkat sebagai sentana rajeg dan ditetapkan sebagai purusa.

3. Perkawinan Pada Gelahang


Pada gelahang merupakan bentuk perkawinan yang dapat dikatakan baru dalam topik
hukum perkawinan menurut hukum adat Bali. Perkawinan pada gelahang ini diambil sebagai
solusi tatkala terdapat keadaan di mana sang suami merupakan anak tunggal, kemudian istri
juga merupakan anak perempuan tunggal.
Perbedaan perkawinan pada gelahang dengan dua bentuk perkawinan lainya hanyalah terletak
pada adanya kesepakatan antara kedua mempelai dan keluarganya. Kesepakatan tersebut
memuat bahwa kedua pihak sepakat melaksanakan perkawinan pada gelahang, dengan intinya
bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga kedua belah pihak sama-sama
memiliki keturunan.

• Menurut hukum adat Bali, Bagi orang yang berkasta, perkawinan juga penting, karena
kasta dalam masyarakat (dahulu) sering mempertahankan kedudukannya. Oleh karena
perkawinan ini memiliki arti yang sangat penting, maka pelaksanaannya senantiasa
disertai dengan upacara-upacara adat.

Adapun perkawinan untuk orang yang berbeda kasta/wangsa disebut dengan Perkawinan
Nyerod.

4. Perkawinan Nyerod
Perkawinan ini disebabkan karena adanya perbedaan kasta/wangsa antara pihak laki-
laki dan perempuan. Dimana pada perkawinan nyerod ini kondisi si perempuan memiliki kasta
yang lebih tinggi dari pada si laki-laki. Pada zaman dahulu perkawinan nyerod ini sangat
dihindari dan dilarang dikarenakan adanya sanksi bagi yang melakukannya. Perkawinan
Nyerod ini juga disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Secara harifah asu pundung
dapat diartikan “menggendong anjing (asu)”, sedangkan ungkapan yang kedua berarti
“melompati kepala”.

Sanksi hukum akan dikenakan bagi pasangan yang melakukan perkawinan nyerod ini
baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, antara lain penurunan kasta bagi
mempelai perempuan, hukuman buang keluar Bali yang dikenal dengan hukuman Selong bagi
kedua mempelai, bahkan sampai hukuman labuh gni dan labuh batu. Walaupun secara yuridis
formallarangan Perkawinan Nyerodtelah dihapus melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11
Tahun 1951, namun nilai-nilai yang mendasari larangan tersebut secara sosiologis masih
membekas pada sikap sebagian masyarakat Bali. Sehingga hal ini tidak menegubah cara
berfikir masyarakat Bali mengenai perkawinan nyerod beda kasta. Dalam prakteknya di
masyarakat masih terjadi dimana perempuan berkasta lebih tinggi yang kawin dengan kastra
lebih rendah tidak akan dianggap lagi oleh keluarga asalnya. Apabila kemudian terjadi
perceraian, keluarga asalnya tidak akan menerima kembali perempuan tersebut sebagai bentuk
hukuman. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan oleh laki-laki yang berkasta lebih tinggi
dari perempuan, maka perempuan tersebut berganti nama dan naik derajat menjadi ”Jero” atau
dipanggil juga ”Mekele” (Jero Mekel).


• Sahnya Perkawinan Adat Bali
UU Perkawinan No 1 tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum
agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut
“Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Jadi makna upacara
mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian,
sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari
pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.

• Perceraian Perkawinan Adat Bali


Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan
menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu.
Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali
dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama Hindu, sedangkan
perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan
Undang-Undang Perkawinan.

• Perkawinan Terlarang
Perkawinan terlarang dalam hukum adat bali disebut sebagai pelanggaran adat ”Gamia
Gamana” sebagaimana tertuang dalam Paswara Residen Bali dan Lombok Tahun 1927.
Menurut Paswara itu hukuman bagi seseorang yang melakukan pelanggaran adat Gamia
Gamana dihukum buang (selong) selama maksimum 10 tahun. Pelanggaran adat Gamia
Gamana ini meliputi :

1. Perkawinan antara orang-orang yang berkeluarga dalam garis kencang ke atas atau ke
bawah;
2. Antara mertua dengan manantu (baik laki maupun perempuan);
3. Antara bapak tiri dengan anak tiri atau antara ibu tiri dengan anak tiri (laki);
4. Antara paman dengan kemenakan perempuan atau bibi dengan kemenakan laki;
5. Antara saudara;
6. Antara seorang lelaki dengan bibinya derajat satu kali;
7. Larangan perkawinan lainnya adalah berlaku bagi perempuan, dimana perempuan tidak
diperkenankan untuk mengawini lebih dari satu laki-laki (polyandrie).

Anda mungkin juga menyukai