Anda di halaman 1dari 11

PERKAWINAN YANG HANYA DILAKSANAKAN MENURUT ADAT

MENURUT HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dengan
berhubungan dengan manusia lainnya dan dilahirkan dengan naluri untuk
senantiasa hidup bersama orang lain yang memicu terbentuknya kelompok sosial.
Keluarga merupakan salah satu bentuk terkecil dari kelompok sosial yang terwujud
dari adanya perkawinan.1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menyebutkan dalam Pasal 28 B Ayat (1) bahwa setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Artinya setiap
warga negara di Indonesia berhak membentuk keluarga melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.2
Di Indonesia, secara spesifik perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang tersebut,
dijelaskan pengertian dari perkawinan yang berarti ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Ketentuan ini menjelaskan bahwa perkawinan merupakan hubungan hukum
yang mengandung pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita
yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka waktu yang lama 3.
Perkawinan tersebut menjadi sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang dan sepanjang hukum agama atau kepercayaannya masing-
masing pihak tidak menentukan lain.
Aturan mengenai tata cara perkawinan sebetulnya sudah ada sejak zaman
kuno yang terus dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat dan para pemuka
masyarakat adat sehingga akhirnya tata cara perkawinan tersebut menjadi sebuah
tradisi atau budaya yang khas dari sebuah masyarakat adat di Indonesia yang
terkenal akan keberagaman suku, agama, dan rasnya. Aturan tata cara perkawinan
ini akhirnya terus berkembang maju seiring dengan terbentuknya sebuah negara
yang mempunyai kekuasaan pemerintahan untuk membentuk sebuah peraturan
yang sampai saat ini telah disahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Undang-Undang tersebut menjadi pedoman akan sahnya
sebuah perkawinan.
Dalam masyarakat yang masih kental dengan budaya adatnya, seringkali
perkawinan tidak terlepas dari aturan agama maupun aturan adat yang
mengaturnya. Kekuatan adat menjadi sangat sakral dan kekuatan tersebut mengikat
1
Team Penulis, LKS Sosiologi, (Jakarta, CV. Gema Nusa)
2
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum Mengenai Pemangunan Masyarakat Yang
Toleran, (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2017), Hlm. 80.
3
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), Hlm. 97
setiap anggota masyarakat adat untuk tetap dipatuhi. Kekuatan mengikat tergantung
pada masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama
berpedoman pada keadilan dalam hukum adatnya 4. Sehingga hal tersebut
menimbulkan permasalahan hukum akan sahnya suatu perkawinan apabila hanya
berpedoman kepada tradisi sebuah adat dari kelompok masyarakat adat tertentu
yang tidak sesuai dengan Undang-Undang.
Makalah ini akan membahas mengenai bagaimana akibat hukum menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai perkawinan
yang dilaksanakan sesuai hukum adat namun tidak dicatat di Dinas Pencatatan Sipil
yang terjadi di Kabupaten Karo dan Kabupaten Minahasa Utara, serta akibat hukum
yang terjadi apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan dari klan Purba yang
merupakan salah satu kelompok masyarakat adat di Sumatera Utara
melangsungkan pernikahan yang secara hukum adat melanggar ketentuan hukum
adat klan tersebut.
B. Pembahasan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata perkawinan berasal dari kata
“kawin” yang menurut bahasa atinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Menurut para ahli seperti Prof.
Subekti, perkawinan adalah ikatan pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama dan menurut Prof. DR. R.
Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat termasuk dalam peraturan
hukum perkawinan. Sedangkan menurut Abdurrahman Al-Jaziri perkawinan adalah
suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga bahagia. Berdasarkan definisi-definisi para ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk mengikatkan diri satu sama lain
sebagai sepasang suami istri.
2. Arti dan Tujuan Perkawinan

3. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia

4. Perkawinan adat di Desa Juhar Kabupaten Karo


Perkawinan dalam masyarakat adat Karo biasa disebut nereh empo atau
erjabu. Pengantin dari pihak wanita disebut sereh yang artinya datang dari
keluarganya ke tempat orang yang akan menjadi suaminya (si empo). Sedangkan
penganti laki-laki disebut empo asal kata empuna artinya empunya (yang
menguasai). Bagi masyarakat adat Karo, perkawinan adalah suatu cara untuk tetap
melestarikan keberlangsungan generasi garis keturunan. Selain itu, juga akan
4
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Hukum adat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979) hlm. 14-15
mempunya hak dalam segala hal yang berkaitan dengan upacara-upacara adat,
serta perkawinan itu juga merupakan pengikat atau perekat kekeluargaan kedua
belah pihak yaitu keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. 5 Pada umumnya
sistem atau status upacara perkawinan di masyarakat adat Karo tidak hanya satu
macam tetapi ada 4 (empat) macam yang pada prinsipnya sama, hanya pada
bagian-bagian tertentu ada sedikit perbedaan. Adapun jenis upacara perkawinan
masyarakat adat Karo dinyatakan sah yaitu sebagai berikut: 6
1. Kerja erdemu bayu
Kerja erdemu bayu yaitu perkawinan antara pria dengan wanita yang
masih ada hubungan keluarga yaitu bayu. Bayu bertemu dengan bayu atau
impal (anak paman si calon penganten pria/ anak saudara laki-laki ibu calon
penganten pria), sebutannya adalah beru singumban atau anak singumban
nenek calon penganten pria yang sebutannya beru puhun.
2. Kerja adat pasu-pasu tumbuk patuturken
Kerja adat pasu-pasu tumbuk petuturken yaitu penganten pria dan
wanita tidak ada hubungan kekeluargaan. Mereka menikah diawali dengan
perkenalan.
3. Kerja adat pasu-pasu tumbuk ngeranaken
Kerja adat pasu-pasu tumbuk ngeranaken yaitu antara penganten pria
dan wanita menikah tidak sebagaimana seharusnya atau kurang sesuai
dengan dasar kekerabatan adat Karo. Misalnya menikah dengan anak
saudara perempuan dari ayah penganten pria, atau menikah dengan yang
sama bere-berenya (sipemeren atau ibunya sama berunya). Perkawinan
yang demikian ini sebelumnya memusyawarahkan tentang pesta adat
pernikahan, terlebih dahulu dimusyawarahkan jalan keluar yang terbaik dari
pelanggaran adat yang telah mereka lakukan.
4. I Perdemuken arah jumpa gebuk
I Perdemuken arah jumpa gebuk yaitu menikah yang bukan karena
melanggar adat, khususnya tutur si waluh, melainkan hubungan
sebelumnya sudah terlalu jauh, sementara salah satu pihak orang tua dari
mereka ada yang tidak setuju atas perkawinan tersebut.
Upacara perkawinan tersebut berlaku di masyarkat adat Karo, salah satunya di
Desa Juhar yang terletak di ibu kota daerah Kabupaten Karo dan berjarak sekitar
130km dari kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat adat
Karo di Desa Juhar sangat menjjunjung tinggi segala bentuk ritual dan upacara adat
dalam perkawinan karena menurut adat, perkawinan merupakan urusan pribadi,
kerabat, persekutuan, dan martabat yang menyebabkan perkawinan adat
merupakan salah satu hal yang sakral dan harus dipatuhi oleh seluruh anggota
masyarakat adat Karo.

5
Swiss Hizkia Sembiring, dkk., Adat Perkawinan Masyarakat Batak Karo, (Yogyakarta: Perpulungen Arih Ersada
(AE), 2012). Hlm. 4.

6
Swiss Hizkia Sembiring, dkk. Ibid.
Dalam masyarakat adat Karo, terdapat syarat-syarat agar seseorang yang
melakukan perkawinan tersebut tidak dianggap melanggar hukum adat. Adapun
syarat-syarat tersebut antara lain terkait dengan tidak menikah dengan berasal dari
satu marga, tidak boleh melanggar aturan adat, dan sudah dikatakan dewasa
berdasarkan hukum adat Karo. Seorang pasangan yang menikah dalam masyarakat
adat Karo dikatakan sah telah melangsungkan perkawinan sepanjang telah melalui
pengesahan secara agama dan juga secara adat 7. Dalam masyarakat adat Karo,
perkawinan tidak dilaksanakan secara bebas, akan tetapi terdapat suatu keteraturan
dan berjenjang serta membutuhkan waktu. Perkawinan dalam masyarakat adat Karo
tidak hanya sekedar mengawinkan antara seorang laki-laki dan perempuan akan
tetapi memiliki makna sosial yang lebih mendalam dari itu yakni untuk menyatukan
keluarga besar antara kedua mempelai. Dari sini berkembang suatu ikatan
kekeluargaan dari keluarga inti menjadi keluarga yang lebih besar lagi. Sedangkan
berdasarkan agama, menurut Jekonia Tarigan Pendeta GBKP di Yogyakarta,
perkawinan anggota masyarakat adat Karo yakni ikatan perjanjian antara laki-laki
dan perempuan di hadapan Allah dan di hadapan jemaat. Perkawinan adalah
anugerah Allah yang dipelihara dalam kekudusan. Oleh karena itu, perkawinan
anggota masyarakat adat Karo bersifat monogami dan tidak dapat diceraikan oleh
manusia kecuali kematian. Perkawinan yang kokoh dibangun atas dasar iman
kepada Allah Bapa, Anaknya Yesus Kristus, dan Roh Kudus, dan karena hal
tersebut perkawinan terjadi antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama
memeluk agama kristen8.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dan tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam ketentuan Undang-Undang tersebut juga dijelaskan mengenai pengaturan
tentang pencatatan perkawinan di mana bagi masyarakat yang beragama Islam
melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi
masyarakat beragama Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonhucu melakukan
pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Pada hakekatnya, berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, suatu perkawinan dapat dikatakan sah dan dianggap pernah
dilaksanakan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
apabila perkawinan tersebut dicatat oleh pejabat yang berwenang. Selama
perkawinan tersebut tidak dicatat maka perkawinan tersebut hanya dilaksanakan
berdasarkan aturat adat istiadat tanpa adanya aturan agama dan ketentuan
peraturan perundangan.
Sehingga dari pengertian mengenai sahnya perkawinan menurut adat Karo
dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terlihat
apabila terdapat perbedaan mengenai pengertian sahnya perkawinan menurut adat
Karo berbeda dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
7
Wawancara dengan Bapak V, Karo-karo salah satu toko adat Batak Karo di Yogyakarta, pada tanggal 22
september 2018
8
Wawancara dengan Bapak Jekonina Tarigan, Pendeta GBKP di Yogyakarta. Pada tanggal 24 september 2018
1974 tentang perkawinan. Syarat sahnya perkawinan menurut adat Karo tidak
menyertakan pencatatan terhadap perkawinan yang berlangsung. Dan oleh karena
itu, berdasarkan studi di Desa Juhar yang dilakukan oleh Rosdiana Tarigan, dari 10
pasangan suami istri di Desa Juhar yang menikah, tidak serta merta mencatatkan
perkawinan mereka ke Dinas Pencatatan Sipil Kabupaten Tanah Karo. Dalam studi
tersebut disebutkan faktor-faktor yang menyebabkan mereka tidak mencatatkan
perkawinannya adalah karena faktor cinta, faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor
hamil di luar nikah, dan faktor tidak disetujui orang tua.
5. Perkawinan adat antara sesama klan Purba
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten
Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan
Kabupaten Aceh tenggara. Nama suku ini juga dijadikan salah satu nama kabupaten
di salah satu wilayah Provinsi Sumatera Utara yakni Kabupaten Karo. Suku Karo
terdiri dari lima Merga yang disebut Merga Silima, yakni Karo-karo, Ginting,
Sembiring, Tarigan, dan Perangin-angin.9 Dari kelima Merga tersebut, masih
terdapat sub-sub Merga yang totalnya mencapai 85 sub Merga. Purba merupakan
salah satu marga dalam suku karo yang berinduk pada marga Karo-karo, marga ini
membedakan diri dengan marga Purba yang ada di Simalungun maupun di Toba,
meski asal usul leluhurnya dahulu datang dari Simalungun, namun di antara
Keturunannya sudah banyak yang tidak mengetahui hal itu dan inilah yang
menyebabkan Purba Karo tidak merasa punya hubungan dengan Purba Simalungun
maupun dengan Purba Toba.10
Sebagai salah satu marga dalam etnis Batak yang memiliki hukum adatnya
sendiri, masyarakat adat suku Purba Karo mengikuti sistem kekerabatan yang
selama ini telah turun temurun mengakar dalam masyarakat adat, salah satu sistem
kekerabatan yang masih sakral untuk dipatuhi oleh masyarakat adat Purba Karo
adalah sistem perkawinan berdasarkan adat. Hukum adat perkawinan merupakan
hukum atau peraturan adat terkait perkawinan yang dibuat oleh suatu kelompok adat
tertentu dan disepakati bersama oleh kelompok yang bertujuan menciptakan
keharmonisan dalam kelompok tersebut. Perkawinan adat terbagi menjadi tiga
macam, yakni:11
1. Exogami, yakni seorang laki-laki dalam masyarakat adat dilarang menikah
dengan perempuan yang semarga dengannya.
2. Endogami, yakni seorang laki-laki dalam masyarakat adat diharuskan
menikahi perempuan dalam lingkungan kerabat sendiri dan dilarang
menikahi perempuan di luar kerabat.
3. Eleutrogami, yakni seorang laki-laki tidak lagi dilarang atau diharuskan
untuk menikahi perempuan di luar atau di lingkungan kerabat melainkan
batas-batas yang telah ditentukan oleh Hukum Islam dan Perundang-
undangan.

9
Pemerintah Daerah Kabupaten Karo
10
Masrul Purba Dasuha, Legenda Lahirnya Marga Purba Karo, (Jakarta: Kompasiana, 2016) artikel
11
Hilan Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990) hlm. 67
Masyarakat dalam etnis Batak khususnya marga Purba Karo merupakan
penganut sistem perkawinan exogami, yang berarti seorang laki-laki dalam marga
Purba Karo harus mencari seorang perempuan untuk dijadikan istri yang berasal
dari luar marganya. Marga adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara,
sedarah, seketurunan menurut garis ayah, yang mempunyai tanah sebagai milik
bersama di daerah asal atau tanah leluhur (Situmeang,2007). Bagi masyarakat etnis
Batak, marga merupakan identitas diri yang dibawa setiap keturunan yang dilahirkan
dalam perkawinan untuk meneruskan garis keturunannya. Akan tetapi, marga dari
etnis Batak hanya akan dibawa oleh anak laki-laki. Karena apabila nantinya mereka
memiliki anak perempuan yang menikah dengan anak laki-laki marga lain, maka
keturunan dari pasangan tersebut akan mengikuti marga suaminya.
Dalam sistem perkawinan masyarakat adat Karo, perkawinan dapat dilakukan
apabila mendapat pengakuan dari kerabat dan masyarakat sekitar tempat di mana
perkawinan tersebut akan berlangsung. Karena marga Purba karo merupakan
penganut sistem perkawinan exogami, maka adalah suatu yang dilarang apabila
seorang laki-laki Purba melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan
Purba juga. Bagi masyarakat etnis Batak hal tersebut disebut turang yang berarti
panggilan untuk orang yang berlainan jenis kelamin dan memilik umur yang sama
namun memiliki marga yang sama pula. Mereka yang berturang sangat dilarang
untuk menikah karena dianggap masih memiliki hubungan kekerabatan diantara
leluhurnya.
Bagi masyarakat adat tentunya terdapat pula sanksi akibat dari melanggar
aturan adat, sanksi tersebut biasanya merupakan sanksi sosial seperti dikucilkan
dalam pergaulan atau bahkan tidak diakui lagi sebagai bagian dari kelompok
masyarakat adat. Hal tersebutlah yang menjadi landasan bagi anggota masyarakat
adat Purba Karo yang sangat memegang teguh aturan adat-istiadatnya untuk tidak
melanggar aturan adat seperti perkawinan satu marga. Surojo Wignjodipura
berpendapat bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang
dalam suatu masyarakat yang merupakan pencerminan rasa tenteram serta nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat.12
Dalam masyarakat Purba Karo, perkawinan semarga adalah suatu
penyimpangan dalam kultur dan budaya masyarakat Purba Karo dan dianggap
sebagai perilaku tercela. Perkawinan semarga dianggap sangat menyalahi dan
melanggar adat, dan para pelanggarnya akan mendapat hukuman dari masyarakat
serta adat suku tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat adat Purba Karo zaman
dahulu, pasangan yang melakukan pelanggaran akan dihukum berat dengan cara
diusir dari desa mereka atau bahkan dibunuh. Pelaku perkawinan tersebut akan
dikucilkan dari kekerabatan. Pengusiran dan pengucilan ini merupakan jalan satu-
satunya bagi pelaku pernikahan semarga. Pengusiran tersebut biasanya terdengar
sampai ke desa lain di daerah Karo dan merekapun akan menolak mereka untuk
tinggal di desa tersebut sehingga mereka harus berpindah ke tempat yang jauh.
Selain itu perbuatan perkawinan semarga merupakan aib bagi keluarga sehingga

12
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1979) hlm. 11
biasanya keluarga besar membuang pasangan tersebut ke daerah pengasingan dan
tidak menyetujui perkawinan mereka. 13
Selain itu sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, terdapat yurisprudensi dari hukum adat yang menjatuhkan hukuman
bagi perkawinan semarga14 yakni Putusan Rapat Adat Kuria Simapil-mapil
onderafdeeling Angkola-Sipirok tanggal 3 November Tahun 1937 yang memutuskan:
“Bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan semarga, dalam hal ini marga
Harahap, tidak boleh menjadi ahi waris dari ayah mereka.” Yurisprudensi tersebut
menegaskan bahwa perkawinan semarga dapat menyebabkan anak-anak yang lahir
dari pasangan perkawinan semarga tidak akan mendapatkan warisan dari ayah
mereka dan menjadi anak haram di mata hukum adat karena anggota masyarakat
adat yang lain tidak pernah mengakui perkawinan mereka.
Namun di zaman yang sudah modern ini, beberapa anggota masyarakat adat
Purba Karo merasa hal tersebut sudahlah tidak relevan lagi dengan kehidupan masa
kini dan tidak lagi memperdulikan adat yang berlangsung untuk tetap melaksanakan
pernikahan satu marga. Aturan adat tidak lagi menjadi sakral bagi mereka, terjadi
beberapa pergeseran makna tentang perkawinan satu marga terutama bagi anggota
masyarakat adat yang merantau ke daerah lain. Berdasarkan penulusuran penulis
pada skripsi yang meneliti perkawinan semarga antara marga Marbun, marga Batak
Mandailing, marga Purba Karo, dan Batak Toba, salah satu alasan mengapa mereka
tetap melaksanakan pernikahan semarga adalah faktor cinta dan agama. Mereka
sudah terlanjur cinta satu sama lain sehingga mereka nekat untuk melanggar batas-
batas aturan adat karena merasa mereka dipertemukan oleh Tuhan untuk tujuan
saling mencintai. Lalu Faktor agama di mana agama Kristen yang dibawa ke wilayah
Nusantara oleh para penjajah Belanda merupakan aliran Kristen Protestan yang
sangat menekankan ajaran agama menurut kitab suci yang menjunjung tinggi
kesejahteraan bagi jemaatnya.
Salah satu contohnya adalah pasangan klan Purba yang menikah pada tahun
2014 di mana mempelai laki-laki dan perempuannya sama-sama memiliki marga
Purba. Keduanya merupakan mahasiswa salah satu perguruan tinggi yang berada di
Semarang. Kemudian setelah menjalin hubungan hingga beberapa tahun, akhirnya
pasangan tersebut memutuskan untuk menikah. Awalnya keinginan tersebut
ditentang oleh pihak keluarga dari kedua belah pihak. Namun setelah melalui proses
yang panjang, akhirnya kedua pihak keluarga melangsungkan perkawinan pada
tahun 2014 sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku yakni dicatatkan di Dinas
Pencatatan Sipil setempat. Namun perkawinan tersebut dilangsungkan tertutup dan
tidak dengan adat Karo.
6. Akibat Hukum
Hukum merupakan patokan, panduan, dan pedoman bagi manusia untuk hidup
dan bertingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum dapat dijelaskan sebagai
seperangkat kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak dan
13
Tridah Bangun, Manusia Batak Karo, (Jakarta: Inti Indayu, 1986) hlm. 38
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 69
kewajiban tingkah laku mannusia dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa, dan
bernegara yang dibuat oleh pihak yang berwenang, bersifat mengikat, dan
memaksa.15 Berdasarkan bentuknya, hukum dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis ialah hukum yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, sedangkan hukum tidak tertulis merupakan kaidah yang hidup diyakini
oleh masyarakat serta ditaati sebagai kaidah hukum. Hukum tersebut biasanya
disebut hukum kebiasaan, dengan contoh Hukum adat yang berasal dari suatu
tradisi yang berproses secara turun-temurun. Indonesia merupakan negara yang
menganut pluralitas dalam bidang hukumnya, di mana ada tiga hukum yang
keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama, dan hukum
adat. Sama seperti hukum tertulis, menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah
kesuluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi.
Keberadaan hukum adat secara resmi diakui oleh negara keberadaannya akan
tetapi penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 di
mana disebutkan “Negara mengakui dan Menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-Undang.” Pada kedua kasus diatas, terdapat
akibat hukum yang timbul dari pernikahan yang berdasarkan hukum adat Karo dan
pernikahan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pada kasus pernikahan yang tidak dicatat Dinas Pencatatan Sipil di Desa
Juhari, maka perkawinan yang terjadi, meskipun sudah sesuai dengan adat Karo,
tetap tidak akan diakui oleh negara karena tidak sesuai dengan ketentuan pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mensyaratkan sahnya
perkawinan adalah apabila tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut tidak semata-mata untuk mengatur,
namun juga untuk melindungi hak-hak warga Negara dan menyelesaikan masalah-
masalah atau sengketa-sengketa secara adil. Terdapat beberapa akibat hukum
dengan tidak dicatatkannya perkawinan mereka, antara lain:
1. Status perkawinan hubungan suami istri yang tidak dilaksanakan dengan
hukum agama dan hukum negara dianggap tidak sah dan tidak pernah
dilaksanakan di mata Negara.
2. Bedasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dampak dari hal tersebut adalah apabila terjadi sengketa, istri sulit untuk
mendapatkan hak atas harta bersama mereka apabila suami tidak memberikan dan
apabila terdapat warisan yang ditinggalkan suami, karena suami telah meninggal
dunia, istri dan anak akan sulit untuk mendapat hak dan harta warisan karena status
perkawinan tersebut tidak pernah dianggap dilaksanakan.

15
Handri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia: Ketentuan-ketentuan hukum Indonesia dan Hubungannya,
(Jakarta: Media Pressindo, 2018)
Sedangkan pada kasus pernikahan antara klan Purba yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan
tersebut dianggap sah dan berlaku oleh negara. Hak-hak serta kewajban mereka
sebagai suami istri akan dijamin oleh negara. Namun apabila dilihat dari hukum adat
Karo, maka pernikaha terseut belum dianggap sah karena tidak dilaksanakan sesuai
tata cara yang telah diatur dalam hukum adat Karo yakni apabila telah dilakukan
upacara Mukul. Upacara mukul adalah acara pada malam yang sudah ditentukan,
mempelai laki-laki dan perempuan bersama-sama makan dari sebuah piring yang
berisi daging, nasi, dan telur. Akibat dari tidak sahnya perkawinan tersebut menurut
hukum adat Karo, maka pasangan tersebut dianggap sebagai pasangan kumpul
kebo dan tidak dapat berpartisipasi pada setiap acara adat. Dengan kata lain,
pasangan yang menikah semarga pada klan Purba tersebut terkucilkan oleh adat
dan lingkungan orang Karo karena dianggap bukan suami istri yang sah.
Selain itu, terdapat pula akibat hukum adat terhadap anak. Anak hasil
perkawinan semarga tidak diperkenankan mendapat harta warisan dari keluarga
ayahnya. Anak hanya akan diperkenankan memperoleh warisan dari apa yang
dimiliki oleh ayahnya, sedangkan harta yang diwariskan kepada ayahnya, akan
dikembalikan kepada keluarga ayahnya tersebut. 16 Hubungan anak-anak tersebut
dengan ibunya dan kerabat ibunya menurut hukum adat karo secara hukum tidak
ada. Dan akan tetap mendapat hukum adat berupa tidak dapat berpartisipasi dalam
acara-acara adat.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
3. Masih terdapat perkawinan yang dilakukan sesuai adat namun tidak sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tidak dilakukan
pencatatan terhadap perkawinan.
4. Akibat hukum dari tidak dicatatkannya perkawinan tersebut adalah status
perkawinan antara suami istri tersebut tidak sah dan dianggap tidak pernah
dilaksanakan di mata Negara.
5. Dengan tidak sahnya perkawinan tersebut maka bedasarkan Pasal 43
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
6. Terdapat perkawinan yang tidak dilakukan sesuai adat namun sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan melakukan
perkawinan semarga klan Purba Karo.

16
Marin, Orang Karo Diantara Orang Batak, (Jakarta: Sora Mido, 2004) hlm. 37
7. Akibat hukum dari perkawinan semarga yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah status perkawinan
mereka dianggap sah dan hak-hak serta kewajiban mereka sebagai suami
istri dijamin oleh negara
8. Terdapat akibat hukum adat yang diterima oleh pasangan yang
melangsungkan pernikahan semarga, antara lain:
a. Mereka dianggap kumpul kebo
b. Mereka tidak diizinkan berpartisipasi dalam acara adat.
c. Anak mereka hanya akan mewarisi harta ayahnya, sedangkan harta
keluarga ayahnya akan dikembalikan pada keluarga.
d. Anak mereka tidak memiliki hubungan dengan ibunya dan kerabat
ibunya.
e. Anak mereka tidak diizinkan berpartisipasi dalam acara adat.
D. Daftar Pustaka

Rosdiana Tarigan. Analisis Hukum Perkawinan Yang Dilakukan Secara Adat Karo
yang Tidak Dicatat Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia.

Tommi. Hukum Keluarga dan Hukum Perkawinan, Perkawinan Menurut UU Nomor 1


Tahun 1974 dan masing-masing Agama di Indonesia. 26 Agustus 2015.
Diakses tanggal 25 September 2021.
https://tommizhuo.wordpress.com/page/2/
Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. Adat dan Budaya: Marga dan Sub Marga.
Diakses pada tanggal 26 September 2021.
https://www.karokab.go.id/id/profil/adat-dan-budaya/728-marga-dan-sub-
marga
Berita Update Kumparan. Perbedaan Penggolongan Hukum Tertulis dan Tidak
Tertulis. Diakses tanggal 26 September 2021. https://kumparan.com/berita-
update/perbedaan-penggolongan-hukum-tertulis-dan-tidak-tertulis-
1vs1vFFNrXv/full
Kelompok 22: M. Ridho Saputra, Eryandi Pratama, Vita Sari Prihastoro, Brata Yudah
Putra Sitio, Vaula Surya Hanifa, Amira Safitri. Keberadaan Hukum Adat
Dalam Sistem Hukum Indonesia. Diakses pada tanggal 26 September 2021.
https://law.unja.ac.id/keberadaan-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-
indonesia/
Contoh kasus yang diambil:
Di Kabupaten Tanah karo ada perkawinan yang sah secara adat namun tidak dicatat
dalam catatan sipil
Perkawinan semarga antara marga Purba tetap sah namun dengan beberapa
konsekuensi adat

Anda mungkin juga menyukai