Anda di halaman 1dari 13

Tinjauan Hukum Islam Mengenai Tradisi Perkawinan Toron Ranjang di Masyarakat

Madura

(Oleh: Laili Salimah)

Abstrak

Tiap masyarakat memiliki perspektif yang berbeda tentang perkawinan Toron


Ranjang. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dan kebiasaan yang beragam, dan
kebiasaan yang berbeda dalam menetapkan dan mematuhi aturan. Masyarakat perkotaan
menilai bahwa perkawinan Toron Ranjang sudah tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Sedangkan pada masyarakat pedesaan yang nota bene masih sangat berpegang
teguh pada tradisi dan menjaga keberlangsungan nasab/keturunannya, praktik
perkawinan ini masih banyak dijumpai. Dalam hukum Islam sendiri, perkawinan Toron
Ranjang tidak dilarang. Selama rukun dan syarat perkawinan terpenuhi, maka praktik
perkawinan ini boleh dilaksanakan. Demikian pula hukum adat, juga tidak menyebutkan
bahwa perkawinan ini terlarang dan bertentangan dengan norma-norma adat dan tradisi
ketimuran. Namun, banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa perkawinan
Toron Ranjang adalah tabu dan terlarang. Tulisan ini mengurai penjelasan tentang
permasalahan tersebut berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Adat.

Pendahuluan

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang dilakukan Nabi Adam AS, dan dilakukan
manusia secara turun menurun. Hal itu dikarenakan perkawinan merupakan salah satu
pokok kebutuhan manusia yang dituntut secara naluri. Selain itu, perkawinan merupakan
jalan mencari kebutuhan dan kententraman dalam jiwa.

Perkawinan merupakan sunnatullah yang memang menjadi kebutuhan hidup untuk


mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Pernikahan adalah akad yang sangat kuat
(mitsaqan ghalizan) yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan perempuan
untuk membentuk keluarga yang pelaksaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan
kedua belah pihak. Oleh karena itu, pernikahan bukanlah arti kewajiban, melainkan hanya
hubungan sosial kemanusiaan semata. Pernikahan akan bernilai ibadah, jika di niatkan
untuk mencari ridha Allah SWT.

Meski diharapkan selalu penuh dengan nikmat dan keindahan ada kalanya
pernikahan mengalami masa-masa sulit. Dalam hal ini, al-Qur’an memberi petunjuk untuk
saling menasihati dan saling menanamkan sikap pengertian demi tetap berlangsungnya
ikatan suci. Namun, jika perselisihan tidak lagi dapat dihindari dan pernikahan tersebut
membawa mudhorot, Islam menghalalkan perpisahan, dengan tetap menjunjung tinggi
adab dan tata krama. Selain itu, kadang musibah yang membawa kematian salah satu pihak
juga menjadi cobaan bagi pasangan suami istri.

Perpisahan-perpisahan tersebut, baik perpisahan karena perceraian maupun


kematian, menjadi momok menakutkan tak hanya bagi pasangan, tapi juga bagi anak yang
ditinggalkan dan juga kedua belah pihak keluarga. Oleh karena itu, sebagian masyarakat,
dalam hal ini masyarakat Pulau Madura, melakukan praktik perkawinan Toron Ranjang.
Yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan ipar setelah istri meninggal atau bercerai.
Praktik perkawinan ini banyak terjadi di masyarakat Madura, terutama di pedesaan yang
masih kental dengan tradisi dan adat nenek moyang.

Keunikan tradisi ini melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian


mengenai keabsahannya menurut Hukum Islam dan Hukum Adat. Tujuannya, agar
masyarakat memahami hukum perkawinan Toron Ranjang yang selama ini banyak terjadi
namun masih simpang siur penjelasan tentangnya.

Pandangan Hukum Adat tentang Perkawinan Toron Ranjang

Dalam Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab 1 pasal 1


ditegaskan bahwa, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”1

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab 2 Pasal 2 disebutkan bahwa


“Perkawinan menurut hukum Islam, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan
untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Lebih
lanjut dalam KHI Pasal 3 dinyatakan bahwa “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
1
Abdur Rahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta:
Akademika Preside, 1986) h. 12
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”. 2 Dalam persepsi lain,
Perkawinan merupakan suatu ketentuan yang menjadikan sunahtullah bagi manusia yang
berlaku universal bagi seluruh makhluknya yang bernyawa. Islam memandang perkawinan
tidak sekedar wahana bertemu dua insan yang berbeda jenis dan tidak pula sekedar sarana
pemuas nafsu yang membara dalam setiap manusia. Islam mempunyai pandangan yang
lebih dalam, mendasar dan menuju kepada sarana yang terarah.3

Masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibedakan atas dua golongan menurut
dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang
berdasarkan lingkungan (territorial). Menurut sejarah dan sifatnya, masyarakat Madura
mempunyai dasar genealogis yang tegas, baru kemudian faktor territorial menampakkan
diri sebagai faktor yang penting juga. Jadi bisa ketahui bahwa segala sesuatu yang
menyangkut tentang adat itu sudah tertanam turun menurun di dalam masyarakat, karena
secara struktur sosial, setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai
dengan peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi lahir sebagai akibat dari
dinamika dan interaksi yang berkembang disuatu komunitas lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu, bisa dikatakan adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu
komunitas. 4

Dasar berlakunya hukum adat di Indonesia terdapat didalam Undang-Undang


Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Aturan Peralihan Pasal II yang berbunyi: Semua
lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan
Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini.5

Pasal diatas dapat menjadi dasar hukum dan kekuatan berlakunya adat pernikahan
Toron Ranjang. Secara sosiologis, kekuatan berlakunya adat karena hukum itu benar-benar
secara nyata anggota ditaati oleh masyarakat. Walaupun secara tertulis tidak dinyatakan
dengan tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan.

2
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Inpress RI No. 7, (Jakarta: Departemen
Agama RI 2001) h.7
3
Thariq Ismail Kakhiya, Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Yasaguna, 1987), cet, 2, h. 42
4
Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,2003), cet. 6, h. 360
5
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), h. 111-112.
Kekuatan berlakunya hukum adat secara yuridis dapat kita lihat bahwa hukum itu
memiliki kemampuan untuk di paksakan kepada anggota masyarakat. Kemudian kekuatan
berlakunya hukum adat secara filosofis dapat kita lihat dari alasan hukum adat itu dibuat
dan tujuan dari berlakunya hukum adat tersebut.

Selanjutnya sehubungan dengan perkawinan, perkawinan menurut hukum adat


tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami
istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan
keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para
anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami.6

Dalam perkawinan terdapat acara-acara pokok dan acara-acara pelengkap yang


bertalian dengan tradisi atau adat. Perbedaan kelompok atau perbedaan suku merupakan
bagian dari ciri khas adanya tradisi-tradisi tertentu. Maka dapatlah kita lihat sekarang ini
bentuk-bentuk pernikahan yang beraneka ragam, masing-masing memiliki cara-caranya
sendiri serta memiliki adat yang berbeda-beda dari daerah yang satu ke daerah yang lain.

Dalam perkawinan adat Madura ada istilah pernikahan Toron Ranjang, yang mana
terjadinya pernikahan tersebut disebabkan istri meninggal atau bercerai, maka suami kawin
lagi dengan adik wanita dari istri yang telah wafat itu (silih tikar) sebagai pengganti
pasangan yang meninggal/cerai. Praktik perkawinan ini banyak terjadi di masyarakat
Madura, terutama di pedesaan yang masih kental dengan tradisi dan adat nenek moyang.

Maksud dan tujuan utama dari perkawinan Toron Ranjang ini, jika istri yang wafat
belum mempunyai keturunan, adalah agar istri pengganti dapat memberikan keturunan
guna melanjutkan silsilah keluarga. Dan apabila sudah mempunyai keturunan, agar supaya
anak/kemenakan dapat diurus dan dipelihara dengan baik serta tetap dapat memelihara
hubungan kekerabatan antara ke dua kerabat yang telah terikat dalam hubungan
perkawinan itu. Jika istri yang telah wafat sudah meninggalkan anak laki-laki, maka anak
ini berkedudukan sebagai penerus dari ayahnya, dan apabila dari perkawinan nungkat
(Toron Ranjang) itu didapat lagi anak laki-laki, maka anak ini meneruskan keturunan
sebagai pembantu dan pengganti dari kakak tirinya didalam pergaulan adat.7

6
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990),
cet 4, h. 70.
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, cet. 4, h. 76
Dalam masyarakat dan kebudayaan Madura, perkawinan merupakan saat yang
dianggap penting dalam lingkungan individu anggota masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat
dari persiapan mulai dari acara sebelum perkawinan ataupun setelah perkawinan yang
diatur sedemikian rupa. Perkawinan menandai suatu saat peralihan dari usia remaja
ketingkat hidup yang lebih dewasa dan bertanggung jawab yaitu dengan membentuk
keluarga.

Masyarakat Madura adalah masyarakat yang mendiami Pulau Madura, Jawa Timur.
Kebudayaan masyarakat Madura yang dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing
seperti Arab, Cina, dan Belanda, ataupun kebudayaan-kebudayaan yang masuk dari
wilayah Indonesia itu sendiri seperti Makassar, Sunda, dan Jawa. Tradisi perkawinan di
kalangan masyarakat Madura sudah ada sejak lama. Adanya budaya dan tata tertib
perkawinan di pertahankan oleh anggota masyarakat dan para pemuka terdahulu.
Perkawinan dalam masyarakat Madura dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap sebelum
perkawinan dan saat perkawinan. Sebelum perkawinan, proses lamaran diawali dengan
Ngangene, Araba Paghar,Ater Tolo/Teket Petton, Nyabe’ Jajan, dan Nyedek Temo.
Kemudian dilanjutkan dengan Megghar Balabar dan Pangi di hari pelaksanaan
pernikahan tersebut.

Keberadaan tradisi di Indonesia ini merupakan sudah hal biasa. Selain menjadi
kebiasaan, juga menjadi ciri khas di beberapa wilayah yang ada di Indonesia dengan
maksud membedakan adat istiadat yang satu dengan adat istiadat yang lainnya.
Perkawinan adat ialah suatu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu
masyarakat tertentu yang mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan
pelaksanaan suatu perkawinan baik secara seremonial maupun ritual.

Pernikahan bagi masyarkat Madura adalah bersatunya sepasang insan laki-laki dan
perempuan dalam satu ikatan yang disahkan dalam akad nikah secara Islam. Dan sistem
pernikahan pada masyarakat Madura pada dasarnya mengikuti hukum Islam, kepada siapa
mereka boleh atau dilarang mengadakan hubungan perkawinan. Dalam mencari jodoh,
baik pemuda maupun pemudi Madura bebas memilih teman hidup mereka sendiri. Karena
kesempatan untuk bertemu dengan calon calon kawan hidup itu tidak terbatas. Namun
demikian, persetujuan kedua orang tua sangatlah penting, karena orang tualah yang akan
membantu terlaksananya pernikahan tersebut.
Bentuk perkawinan Toron Ranjang sendiri menjadi salah satu jenis dalam
perkawinan adat yang terjadi sejak berabad lalu. Bentuk perkawinan Toron Ranjang ini
terjadi apabila salah satu dari pasangan yang mana istri atau suaminya meninggal dunia
atau bercerai, maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri, yaitu adik dari si istri
atau adik dari si suami tersebut. Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis
perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini adik iparnya sendiri demi kelangsungan
rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak orang lain.

Tiap masyarakat memiliki perspektif yang berbeda tentang perkawinan Toron


Ranjang. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan dan kebiasaan yang beragam, dan
kebiasaan yang berbeda dalam menetapkan dan mematuhi aturan. Masyarakat perkotaan
menilai bahwa perkawinan Toron Ranjang sudah tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Sedangkan pada masyarakat pedesaan yang nota bene masih sangat berpegang
teguh pada tradisi dan menjaga keberlangsungan nasab/keturunannya, praktik perkawinan
ini masih banyak dijumpai.

Dalam hukum Islam sendiri, perkawinan Toron Ranjang tidak dilarang. Selama
rukun dan syarat perkawinan terpenuhi, maka praktik perkawinan ini boleh dilaksanakan.
Dalam hukum positif, adat mengenai pernikahan Toron Ranjang ini dapat di berlakukan
selama ada perundang-undangan yang mengatur. Selain untuk menjaga adat sebagai
identitas bangsa, berlakunya adat pernikahan Toron Ranjang ini untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan di dalam kekerabatan, kekeluargaan dan kebersamaan.

Pada dasarnya suami harus memperlakukan istri nungkat sama dengan istrinya
yang telah wafat, oleh karenanya maka harta bawaan dan maskawin istri pertama dapat
pula dikuasai oleh istri nungkat untuk kepentingan kehidupan bersama dalam rumah
tangga, tetapi ia tidak dapat memilikinya oleh karena semua harta dalam perkawinan
nungkat (Toron Ranjang) adalah hak penguasaan suami. Dimana fungsi dari istri nungkat
(Toron Ranjang) itu adalah dapat mewarisi harta bawaan istri yang telah wafat guna
memelihara kemenakan dan anak keturunannya.

Berkaitan dengan adat istiadat, pernikahan Toron Ranjang ini dipandang dari segi
fikih yaitu urf yang memiliki arti secara etimologi kenal. Karena pernikahan Toron
Ranjang merupakan istilah sudah banyak dikenal oleh masyarakat khususnya Madura.
Dalam ushul fiqh ‘urf memiliki beberapa segi pandang maka dari pernikahan Toron
Ranjang akan di bahas dari sudut yang berbeda. Dari segi materi ia masuk pada kategori
‘urf fi’li sebab ia berbentuk perbuatan bukan perkataan yang biasa diucapkan orang-orang.
Tergolongnya ia ke dalam ‘urf fi’li karena ia termasuk perbuatan adat kebiasaan yang
bersifat berlaku di dalam masyarakat Madura dan mayoritas orang Madura mengenal akan
pengertian pernikahan tersebut.

Pandangan Ulama tentang perkawinan Toron Ranjang dan Jenis Pernikahan


Terlarang

Adapun yang berkaitan dengan pernikahan Toron Ranjang yang sesuai dengan
syariat Islam. Bahwa syariat Islam pada dasarnya dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak
bertentangan dengan Al-qur‟an dan sunnah Rasullah.

Pada dasarnya Pernikahan Toron Ranjang tidak dijelaskan dalam fikih maupun
hukum positif. Jadi sudah jelas bahwa pernikahan tersebut tidak akan mempengaruhi sah
atau tidaknya perkawinan tanpa terkecuali apabila suaminya mengawini kakak beradik
pada waktu bersamaan atau yang biasa dikenal dengan istilah adad. Pernikahan Toron
Ranjang hanyalah sebuah kebiasaan yang dianut dalam kehidupan bagi penduduk yang
mayoritas dari masyarakat Madura. Namun sejalannya waktu, banyak masyarakat dari
kalangan selain Madura yang menerapkan sistem pernikahan seperti ini, dan mereka
mengaplikasikannya kepada keturunan mereka. Sehingga dari awalnya kebiasaan, semakin
lama menjadi adat.

Hukum perkawinan telah diatur sedemikian rupa oleh syariat sehingga ia dapat
membentuk suatu umat yang ideal. Untuk mencapai tujuan itu, Al-qur’an dan sunnah
telah menjelaskan macam-macam larangan dalam perkawinan.8 Secara garis besar,
larangan kawin antara seorang laki-laki dan seorang wanita menurut syara’ dibagi
menjadi dua yaitu halangan abadi dan halangan sementara. Halangan abadi yang telah
disepakati yaitu:

1. Nasab (Keturunan)
2. Pembesanan (Pertalian Kerabat Semenda)
3. Sesusuan

8
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari dan Wadi
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu:
1. Zina
2. Li’an

Halangan-halangan sementara ada Sembilan, yaitu:

1. Halangan bilangan
2. Halangan mengumpulkan
3. Halangan kehambaan
4. Halangan kafir
5. Halangan ihram
6. Halangan sakit
7. Halangan iddah
8. Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan
9. Halangan peristrian

Orang-orang yang terhalang untuk dinikahi karena ada hubungan dengan nasab
ada 7 macam, yaitu: (1) Ibu (dan urutan keatasnya), (2) Anak (dan urutan keatasnya),
(3) Saudara Perempuan, (4) Bibi (Saudara Perempuan Ayah), (5) Bibi (Saudara
Perempuan Ibu), (6) Keponakan dari saudara perempuan dan (7) keponakan dari
saudara laki-laki.
Dan yang terlarang untuk dinikahi karena hubungan mushaharan (besanan) ada
4 macam yaitu: (1) ibu dari istri neneknya, (2) anak dari istri, (3) istri ayah (mertua)
dan (4) istri anak (menantu).9
Di Indonesia juga memiliki peraturan yang menentukan perkawinan mana yang
diperbolehkan dan perkawinan mana yang dilarang menurut hukum. Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI), larangan kawin seperti yang telah diuraikan diatas, dijelaskan
pula secara rinci dalam pasal 39 sampai pasal 44. Dalam Undang-undang Perkawinan
menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam
pasal 8, 9 dan 10.65 Ketentuan dalam pasal 8 itu telah sangat mendekati ketentuan-
ketentuan larangan perkawinan dalam islam.10 Sesuai Pasal 8 Undang-Undang Nomor.
1 Tahun 1974 menyatakan “Melarang perkawinan antara dua orang yang mempunyai

9
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, h. 239-240.
10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, h. 54.
hubungan darah baik keatas, kebawah maupun garis menyamping mempunyai
hubungan semeda, hubungan susuan, hubungan saudara dengan istri dan hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”. Pasal 9
melarang seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain untuk kawin
lagi, kecuali ada izin dari pengadilan. Dan pasal 10 melarang perkawinan kembali
antara suami-istri bercerai untuk kedua kalinya.11
Larangan pernikahan selain orang yang akan menikah sebagai objek pelarangan
nikah, Islam juga mencatumkan beberapa jenis pernikahan sebagai objek pelarangan
untuk menikah, diantaranya yaitu : nikah mut’ah (kawin kontrak), nikah syighar
(nikah yang didasarkan kepada janji atau kesepakatan kepada janji atau kesepakatan
penukaran), nikah muhallil (nikah dengan tujuan menghalalkan perempuan yang
dinikahinya agar dinikahi oleh mantan suaminya yang mentalak tiga) dan pernikahan
silang (nikah beda agama).

Sesungguhnya agama Islam ini sudah sangat sempurna dan cukup sebagai
pedoman hidup manusia di dunia. Sebab Allah, telah menerangkan kepada umat manusia
kaidah-kaidah agama dan kesempurnaanya yang meliputi segala aspek kehidupan.
Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu adat kebiasaan yang
sudah melekat pada suatu masyarakat, sehingga masyarakat tidak dipengaruhi oleh adat
kebiasaan lain. Dihubungkan dengan fikih, budaya masyarakat saling terkait satu sama
lainnya. Masyarakat yang pluralis akan berbenturan dalam penetapan aspek hukumnya,
terutama dari sisi hukum Islam(fikih).12

Rasanya tak perlu diperpanjang penjelasan tentang bagaimana para ulama fikih
dipengaruhi faktor lingkungan sosial budaya dalam menghasilkan karya fikih mereka.
Bukti yang paling banyak dikenal masyarakat adalah riwayat tentang bagaimana Imam
Syafi‟I mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Pendapat
lama diberikan ketika beliau berada di Baghdad dan pendapat baru dikemukakan ketika
beliau pindah ke mesir. Puluhan bahkan mungkin juga ratusan pendapat lama Imam
Syafi‟I diubah dan diganti dengan pendapat baru yang lebih sesuai dengan lingkungan

11
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.
1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 25.
12
Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu Kencana,
2003), h. 27.
sosial budaya barunya itu. Kalau kita membaca Fiqh Mahalli, misalnya, kita akan
berjumpa dengan sejumlah kenyataan tentang qaul qadim dan qaul jadid.

Kita juga mengenal dalam tarikh tasyri‟ bagaimana ulama Ahl Al-ra’yi dan Ahl
Al-hadits berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama Ahl Al-ra’yi
dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di Kota Kuffah dan Baghdad yang
metropolitan sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang
muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Ditambah dengan kenyataan Baghdad
terletak jauh dari pusat kota hadits yaitu Madinah, maka Imam Abu Hanifah dan para
muridnya menulis kitab-kitab fikih yang telah mendasarkan kepada ra‟yu (akal) dari pada
hadits yang tidak masyhur dalam hal tidak ada nash Al-qur‟an. Sebaliknya Imam Malik
Bin Annas yang hidup di kota Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya
lebih sederhana dan ditambah kenyataan banyaknya hadits-hadits yang beredar di kota-
kota itu, cenderung banyak menggunakan hadits ketimbang rasio dan akal.13

Fiqh memang tidak menjelaskan mengenai pernikahan Toron Ranjang, pernikahan


Toron Ranjang hanya dijelaskan di dalam satu adat di Indonesia. Karena dalam fikih tidak
menjelaskan maka Islam menganjurkan orang menyegerakan berkeluarga. Pernikahan
tidak boleh dihalang-halangi kecuali dengan alasan-alasan yang mendasarkan kepada fikih.
Meskipun demikian, pada dasarnya adat yang sudah memenuhi syarat dapat diterima
secara prinsip.14

‫“ العادة محكمة‬Adat itu dapat menjadi dasar hukum”. Ulama sepakat dalam menerima
adat, adat yang dalam perbuatan itu terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharat
atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudharatnya serta adat yang pada prinsipnya
secara subtansial mengandung unsur maslahat, namun dalam pelaksanaannya tidak
dianggap baik dalam Islam.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan status dan


kedudukan hukum perkawinan Toron Ranjang yaitu selama syarat dan rukun perkawinan
terpenuhi, baik secara hukum Islam maupun perundang-undangan, maka hukum
perkawinan Toron Ranjang boleh dilakukan, kecuali apabila suaminya mengawini kakak

13
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta,
Titian Ilahi Press, 1998), h. 107
14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 395.
beradik dalam waktu yang bersamaan atau biasa yang dikenal dengan adad. Akibat dari
pernikahan Toron Ranjang yaitu bahwa para pihak apabila terjadinya putusnya
perkawinan, maka para pihak baik suami, istri dan anak-anaknya berhak untuk mendapat
harta bersama, dan apabila putusnya perkawinan karena kematian maka ia berhak atas
harta warisan bagi suami selain berhak atas harta bersama dan harta warisan dan serta
berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya

Hikmah dilaksanakannya perkawinan Toron Ranjang ini antara lain:

1. Hubungan keluarga antara keduanya akan terus berjalan.


2. Mereka masih mengikutin adat istiadat dari nenek moyang secara turun
menurun, dan menjadi adat dalam masyarakat Madura untuk menghormati
peninggalan leluhurnya.
3. Menjaga anak keturunan dan harta agar tetap dikelola oleh dua pihak keluarga.
4. Pernikahan Toron Ranjang tersebut akan menjadi ibadah antara kedua pihak
keluarga yang melakukan adat tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa perkawinan Toron


Ranjang bertujuan untuk tetap menjaga keutuhan kedua pihak keluarga. Terutama
kaitannya dengan anak-anak dan harta yang ditinggalkan.

Menyikapi praktik perkawinan ini, baik hukum adat maupun hukum Islam tidak
melarang, selama syarat dan rukun pernikahan terpenuhi. Bahkan, jika perkawinan ini
membawa manfaat yang sangat besar, Toron Ranjang dapat menjadi solusi yang
dianjurkan oleh agama, tentu didasari dengan nia t untuk ibadah kepada Allah SWT.

Untuk itu, kami menganjurkan kepada tokoh agama maupun pemuka adat untuk
memberi penjelasan lengkap mengenai perkawinan Toron Ranjang. Agar tidak terjadi
kesalahpahaman di antara masyarakat dan tidak menjadi bahan gunjingan yang berujung
fitnah.
DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Abdur. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta:

Akademika Preside, 1986)

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Inpress RI No. 7, (Jakarta: Departemen

Agama RI 2001)

Kakhiya, Thariq Ismail. Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Yasaguna, 1987), cet, 2

Soekamto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,2003), cet. 6,

Rato, Dominikus. Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar),

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990),

cet 4

Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari dan Wadi

Idris, Abdul Fatah dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap,

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.

1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986),

Abbas, Ahmad Sudirman. Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu Kencana,

2003

Mudzhar, M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,


(Yogyakarta,

Titian Ilahi Press, 1998)


Syarifudd, Amir. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009),

Anda mungkin juga menyukai