Anda di halaman 1dari 16

PENCABUTAN DAN PERUBAHAN HARTA WAKAF SERTA PENYELESAIAN

SENGKETA

MAKALAH

Ditulis untuk Memenuhi Tugas Hukum Perdata Islam

DOSEN PENGAMPU
Dr. Sri Lumatus Saadah, S.Ag, M.HI
Dr. H. Nur Solikin, M.H

Disusun oleh:
LAILI SALIMAH
NIM: 203206050017

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA IAIN JEMBER
JUNI 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan
hidayahnya kepada pemakalah sehingga dapat menyelesaikan tugas kuliah dengan judul
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Modernisasi Hukum Keluarga
di Pascasarjana IAIN Jember jurusan Hukum Keluarga. Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
pembaharuan hukum keluarga.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ishaq, M.Ag
selaku dosen pengampu. Tugas yang telah diberikan ini dapat mensambah pengetahuan
di bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang membantu proses penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karenanya, kritik dan saran kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Problematika sosial yang terjadi di masyarakat dan tuntutan akan
kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat
strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual,
wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi
(dimensi sosial). Akan tetapi, seiring dengan merebaknya kesadaran tentang wakaf,
perubahan social, pergeseran nilai dan tatanan masyarakat juga menyebabkan
banyaknya sengketa status harta wakaf itu sendiri. Konflik-konflik ini umumnya
terjadi berupa sengketa antara wakif (orang yang berwakaf) dengan nadzir (pengelola
wakaf).
Penyebab dari sengketa wakaf sebagian besar adalah sebagai berikut:
1. Makin langkanya tanah
2. Makin tingginya harga benda yang diwakafkan
3. Tanah wakaf tidak terdata di KUA & tersertifikasi di BPN
4. Wakif mewakafkan seluruh atau sebagian besar dari hartanya , sehingga
keturunannya merasa kehilangan sumber rezeki dan menjadi terlantar
kehidupannya.
5. Komunikasi buruk antara nazir & ahli waris wakif
6. Nazir & wakif beranggapan bahwa tanah wakaf adalah miliknya dan bisa di
wariskan kepada ahli waris
7. Kurang memahami regulasi wakaf
Berdasarkan sebab-sebab yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa
praktik wakaf yang terjadi belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien. Sehingga
masyarakat perlu memahami bahwa ada regulasi tertentu untuk menyelesaikan
konflik-konflik yang terjadi dalam perwakafan.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan hukum positif tentang pencabutan dan
perubahan status harta wakaf?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa wakaf?
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan hukum positif tentang
pencabutan dan perubahan status harta wakaf
2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa harta wakaf.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf

Kata wakaf berasal dari kata kerja bahasa arab waqafa-yaqifu-waqifan yang
berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf menurut istilah syara’/hukum Islam
adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
merusakkan bendanya (‘ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan.1

Sedangkan pengertian wakaf menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 41 Tahun


2004, yaitu: “Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.”2

Rumusan wakaf sebagaimana yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam


(KHI) Pasal 215 ayat (1) adalah sebagai berikut: “Wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya atau melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan
ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.”
Wakaf itu terdiri dari dua macam yaitu:
1. Wakaf ahli atau wakaf keluarga atau wakaf khusus, yaitu wakaf yang ditujukan
kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, baik keluarga wakif atau
bukan.
2. Wakaf Umum atau Wakaf Khairi, yaitu wakaf yang sejak semula ditujukan untuk
kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu seperti
mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid, mewakafkan sebidang kebun yang
hasilnya untuk dapat dimanfaatkan untuk membina suatu pengajian dan
sebagainya.

Namun demikian, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak memisahkan


antara wakaf ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas
1
AdijaniAl-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Rajawali Press, Bandung, 1992,
hlm. 23.
2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1.
untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk
kepentingan masyarakat umum.3

B. Pandangan Islam dan Undang-Undang Tentang Pencabutan dan Perubahan Status


Wakaf
Pada dasarnya, Islam tidak memperbolehkan adanya pencabutan status wakaf,
kecuali wakaf tersebut tidak dapat kembali dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf.
Akan tetapi, para ulama dalam hal ini memiliki beragam pendapat tentang boleh
tidaknya melakukan pencabutan dan perubahan status pada benda wakaf.
Ada tiga pengertian wakaf menurut ulama madzhab, yaitu;
1. Menurut Abu Hanifah: Wakaf adalah menahan harta benda milik wakif secara
hukum, dan menyedekahkan manfaatnya dalam kebaikan. Mafhum mukhalaf dari
pengertian wakaf menurut Abu Hanifah ini adalah bahwa dengan wakaf tidaklah
menjadikan harta benda yang diwakafkan itu menjadi hilang/terlepas dari
kepemilikan wakif, karenanya boleh bagi si wakif untuk menarik kembali ataupun
menjual wakafnya tersebut.4 Namun demikian tidak berarti harta benda yang telah
diwakafkan tersebut tidak dapat menjadi kekal, ada kondisi tertentu yang dapat
menjadikan harta benda wakaf tersebut menjadi tetap, dan ada kondisi tertentu
pula yang bisa menjadikan status wakaf ini menjadi kekal.
2. Menurut golongan syafi'iyah, hanabilah dan hanafiyah wakaf adalah menahan
harta benda yang dimungkinkan dapat diambil manfaat darinya, disertai dengan
kekalnya barang tersebut dengan memisahkan/menghentikan pengusahaannya dan
lainnya dalam pengusaan wakif sebagai bentuk ibadah kepada Allah.5
3. Menurut golongan malikiyyah, wakaf adalah pemilik harta menjadikan manfaat
meskipun kepemilikan tersebut hanya sebatas upah, atau menjadikan hasilnya
seperti rumah bagi yang berhak menerimanya dengan lafaz, waktu tertentu sesuai
kemauan wakif. Karenanya menurut malikiyyah tidak disyaratkan dalam wakaf itu
untuk selamanya.6
Perbedaan pengertian wakaf secara syar’i ini tidak lain disebabkan oleh
sedikitnya ketentuan yang berkenaan dengan wakaf yang ditetapkan berdasarkan nash
3
Qurratul Aini Wara Hastuti, “Kewenangan Pengadilan Agama Kudus Dalam Penyelesaian Sengketa Wakaf”,
artikel dalam Jurnal Ziswaf, vol. 1, No. 1, Juni 2014, hlm. 74.
4
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (Dimasyqi: Dar ar Fikr, tt), VIII. Hal 153-154
5
Ibid, 155
6
Ibid, 155-156
(al-Qur’an dan Hadits), kebanyakan ketentuan-ketentuan yang mengatur wakaf ini
ditetapkan dengan ijtihad ulama dengan berpedoman pada istihsan, istishlah dan 'urf.
Perbedaan pendapat tentang definisi wakaf tersebut berimplikasi lansung pada
pengaruh hukum perbuatan wakaf itu sendiri. Menurut Abu Hanifah pengaruh wakaf
itu yaitu berbuat kebajikan dengan hasil benda wakaf dengan tidak selamanya, dan
tetapnya benda wakaf tersebut pada pemilikan wakif, maka boleh bagi wakif
mengusahakannya sebagaimana ia kehendaki, apabila dia telah mengusahakannya
sendiri berarti dia telah menarik wakafnya dan apabila wakif meninggal maka ahli
warisnya mewarisi harta benda tersebut dan bagi wakif boleh menarik Kembali
wakafnya kapan dia menghendaki sebagaimana boleh juga baginya merubah
pengusahaan dan syarat-syaratnya bagaimana dia kehendaki.
Berbeda dengan pendapat di atas, yaitu golongan Syafi'iyyah dan Hanabilah,
menurut mereka bahwa pengaruh perbuatan wakif yang mewakafkan hartanya secara
sah dengan sendirinya keluarlah kepemilikan wakif terhadap harta benda tersebut,
karenanya dia tidak boleh lagi menjualnya dan lain sebagainya. Sedangkan menurut
ulama malikiyyah bahwa sesungguhnya harta benda wakaf tetaplah menjadi milik
wakif akan tetapi manfaatnya yang didapat dari harta wakaf tersebut menjadi milik
mauquf lah untuk selamanya.7
Dalam peraturan hukum positif, ada beberapa ketentuan terkait pencabutan
dan perubahan status wakaf.
Larangan peralihan atau perubahan wakaf sangat tegas diatur dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu dalam Pasal 40 menyebutkan
bahwa benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. Dijadikan jaminan, b. Disita,
c. Dihibahkan, d. Dijual, e. Diwariskan, f. Ditukar, dan g. Dialihkan dalam bentuk
pengalihan hal lainnya.8
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila
harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai
dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
Hal ini menarik pendapat dari beberapa ulama yang menyatakan bahwa demi
pertimbangan kemaslahatan dan kondisi darurat maka perubahan status wakaf
dibolehkan. Sehingga dalam prosesnya mekanisme perubahan wakaf tidaklah mudah

7
Ibid, 169-172
8
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
karena harus melalui tahapan yang panjang dan pengecekan yang sangat teliti. Karna
harta benda yang akan dialihkan baik pemindahan tempat atau fungsi maupun status
nya harus seimbang nilai ukur nya dengan harta benda pengganti dari wakaf tersebut.
Hal ini sesuai dengan pasal Pasal 41 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf mengenai pengecualian yang disebutkan dalam pasal Pasal 40.
Proses pencabutan dan perubahan status wakaf yang umumnya berujung
konflik panjang diupayakan bisa diselesaikan dengan proses mediasi saja. Hal ini
haruslah sesuai dengan aturan penyelesaian yang berlaku sebagaimana disebutkan
dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 62 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa
perwakafan dilakukan dengan cara: musyawarah untuk mufakat, mediasi, arbitrase,
atau pengadilan dan penjelasan pasal tersebut di atas berbunyi yang dimaksud dengan
mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang
disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Jika mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut
dapat dibawa kepada badan arbitrase syari' ah. Jika badan arbitrase syari' ah tidak
berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan
agama dan/atau mahkamah syar'iyah.
Suatu perubahan benda wakaf dapat terjadi, dalam pasal 11 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 pada dasarnya tanah milik yang telah diwakafkan
dilakukan perubahan peruntukan dan penggunaan selain yang dimaksud dalam ikrar
wakaf, namun karena ada alasan tertentu.9
Perubahan harta benda wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 225 ayat
(2) menyatakan Penyimpangan dari ketentuan tersebut dimaksud hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan
tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majlis
Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan Alasan:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang diikrarkan oleh wakif;
b. Karena kepentingan umum.10
Dengan syarat ini menunjukkan bahwa negara sangat peka dalam melihat
permasalahan wakaf. Wakaf yang dalam arti bahasa adalah menahan kepemilikin
pribadi menjadi milik umum memang perlu dilakukan pemeliharaan. Tidak mungkin
9
Departemen Agama RI, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, 2006.
Hlm. 135
10
Kompilasi Hukum Islam. Buku III tentang Hukum Perwakafan, Nuansa Aulia, Bandung: 2008. 72
apabila benda wakaf itu hanya dimanfaatkan saja, sedangkan dalam hal pemeliharaan
diabaikan. Apabila tidak dipelihara, justru ketika barang sudah rusak, maka
masyarakat tidak bisa memanfaatkan sebagaimana mestinya.
Atas dasar itulah, maka salah satu maksud dari kepentingan umum tersebut
tidak lain adalah menjaga hak masyarakat yakni bisa memanfaatkan benda sepanjang
masa. Jika dilihat dari sifat benda wakaf yang cenderung abadi, jelas sekali bahwa
tidak mungkin benda wakaf akan selalu abadi. Keabadian dapat terlihat pada wujud
kemanfaatan dari suatu benda walaupun dalam hal ini benda sudah mengalami
perubahan bentuk, akan tetapi subtansi kemanfaatan bisa dimanfaatkan.

Dari sini, penulis menemukan titik temu, bahwa harta benda yang telah
diwakafkan dapat dilakukan perubahan menurut Hukum Islam dengan jalan Istihsan,
Istihsan yaitu mencari kebaikan, menurut Usul fiqh yaitu berpaling dari pada hukum
yang mempunyai dalil kepada adat (kebiasaan) untuk kemaslahatan umum. Begitu
juga yang dijelaskan dalam Komplasi Hukum Islam pasal 225 bahwa harta benda
wakaf yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan, akan tetapi dari
penyimpangan tersebut dapat dilakukan karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf
seperti yang diikrarkan, dan karena kepentingan umum lainnya.

C. Kewenangan Pengadilan Agama Terhadap Wakaf


Dalam sistem hukum nasional, perkara wakaf merupakan kekuasaan absolut
Pengadilan Agama. Kekuasaan lingkungan Peradilan Agama dalam kedudukanya
sebagai salah satu kekuasaan kehakiman diatur dalam ketentuan pasal-pasal yang
terdapat pada Bab III UU Peradilan Agama. Lima tugas dan kewenangan yang
diamanatkan meliputi, fungsi kewenangan mengadili, memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah,
kewenangan lain oleh Undang-Undang atau berdasar pada Undang-Undang,
sementara kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili dalam tingkat banding,
dan mengadili sengketa kompetensi relatif serta mengawasi jalannya peradilan.11
Kekuasaan atau biasa disebut kompetensi peradilan menyangkut 2 hal, yaitu tentang
kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut sebagai berikut:

11
M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, PT. Sarana Bakti Semesta,
Jakarta, 1990, hlm. 135.
1. Kekuasaan relative, diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan
satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis
dan sama tingkatan lainnya. Kekuasaan relatif (Relative Competentie) adalah
kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum
antar pengadilan agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Setiap Pengadilan
Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan mempunyai yurisdiksi
relatif tertentu dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten.
yurisdiksi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan
Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak
eksepsi tergugat.
2. Kekuasaan Absolut (absolute competentie), yaitu kekuasaan Pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan,
dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan lainnya.12 Pengadilan Agama berkuasa atas perdata Islam tertentu
khusus bagi orang-orang Islam. Sedangkan untuk yang beragama lain adalah di
Pengadilan Umum. Pengadilan Agama berkuasa memeriksa dan mengadili perkara
dalam tingkat pertama. Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama
diharuskan meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan
absolutnya atau bukan. Peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo Bab III pasal 49
UU No. 7 tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang: 1) Perkawinan 2) Kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam 3) Wakaf dan
sedekah.13
D. Penyelesaian sengketa wakaf
Prinsip musyawarah untuk mencapai perdamaian lebih utama dalam
penyelesaian perkara perdata. Oleh karena itu pada persidangan pertama, hakim akan
mendorong para pihak (pihak tergugat dan tergugat) untuk mengikuti tahap mediasi
(pasal 130 HIR), dan secara khusus diatur secara lengkap dalam Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Dengan demikian, hukum acara yang berlaku pengadilan
agama berpedoman pada Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg, yang mendorong para
12
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.
332
13
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 27.
pihak untuk menempuh proses perdamaian yang diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berpekara di pengadilan agama.
Mediasi merupakan tahapan yang wajib dilalui oleh para pihak, sebelum
pemeriksaan pokok perkara sengketa wakaf, dan menjadi agenda pada persidangan
pertama. Diabaikannya proses mediasi dapat mengakibatkan Putusan bersifat Niet
Ontvankelijke Verklaard (putusan NO), yaitu putusan yang menyatakan bahwa
gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.14
Ketentuan tentang pentingnya mediasi juga diatur dalam Pasal 62 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang menegaskan bahwa,
apabila mekanisme musyawarah tidak membuahkan hasil, penyelesaian sengketa
dapat dilakukan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Artinya, jika salah satu
pihak mengingkari isi akta perdamaian tersebut, maka pengadilan dapat melakukan
eksekusi terhadap obyek sengketa. Dalam setiap tahapan pemeriksaan perkara wakaf,
hakim diwajibkan untuk memberikan nasihat kepada para pihak. Jika para pihak
sepakat untuk berdamai di tengah-tengah pemeriksaan pokok perkara, maka untuk
memperkuat kesepakatan tersebut dibuatlah akta perdamaian (van dading), yang
memuat kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan
perdamaian tersebut, dan bersifat eksekutorial. Artinya, jika salah satu pihak
mengingkari isi akta perdamaian tersebut, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi
terhadap obyek sengketa.
Jika perdamaian melalui mediasi tidak tercapai, maka proses perubahan harta
benda wakaf ini, akan lebih baik apabila diselesaikan melalui lembaga Peradilan. Baik
dalam bentuk permohonan (volunteer) berupa permohonan penetapan pemberian izin
perubahan bentuk harta benda wakaf dari bentuk semula ke bentuk lainnya, atau
dengan bentuk gugatan (contentius) apabila ada pihak yang tidak menyetujui
perubahan tersebut, semisal wakif atau pihak lainnya. Proses perubahan harta benda
wakaf dengan jalan seperti ini tidak hanya menutup pintu kemungkinan adanya
sengketa dikemudian hari, akan tetapi lebih dari itu, memberi kepastian hukum
terhadap perbuatan perubahan harta benda wakaf tersebut. Apabila perubahan harta
benda wakaf didasarkan dengan PP Nomor: 42 tahun 2006 perubahan tersebut masih

14
Dasar hukum pemberian putusan “NO” (tidak dapat diterima) ini dapat dilihat dalam yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 1149/K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 Jo Putusan Mahkamah Agung RI No.
565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1973, Jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 1149/K/Sip/1979 tanggal 7
April 1979.
membuka peluang terjadinya perselisihan, dan menuntut penyelesaian secara hukum
di Pengadilan dalam bentuk sengketa.
Dalam hal ini, mediator wajib menyatakan mediasi tidak berhasil mencapai
kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis kepada hakim pemeriksa perkara.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 155 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat
(1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat (2) PERMA, hakim harus melanjutkan pemeriksaan
perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku melalui proses
persidangan (litigasi), sebagai berikut:
a. Pembacaan surat gugatan penggugat.
b. Proses jawab menjawab (replik, duplik) yang diawali dengan jawaban dari pihak
tergugat (eksepsi).
c. Tahap Pembuktian untuk membuktikan suatu peristiwa yang disengketakan.
Hukum Acara Perdata sudah menentukan alat-alat bukti yang bisa diajukan para
pihak di persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR/pasal 284 Rbg
yaitu: Surat, Saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Apabila diperlukan
bisa dilakukan descente (pemeriksaan setempat);
d. Pengajuan kesimpulan oleh para pihak. Meskipun tidak diatur dalam HIR dan
Rbg, akan tetapi mengajukan kesimpulan bisa dilakukan dalam praktek
persidangan. Pengajuan kesimpulan ini sangat perlu dilaksanakan oleh kuasa
hukum para pihak, karena melalui kesimpulan itulah seorang kuasa hukum akan
menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil jawabannya melalui
pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Bagi Majelis Hakim yang akan
memutuskan perkara, kesimpulan ini sangat menolong sekali dalam merumuskan
pertimbangan hukumnya.
e. Tahap Putusan. Tahap ini merupakan akhir dari seluruh tahapan pemeriksaan
perkara di persidangan. Hakim dalam mengambil putusan dalam rangka
mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut, akan melakukan
konstatir, kualifisir, dan konstituir guna menemukan hukum dan menegakkan
keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu surat putusan
(vonnis) hakim.

E. Sumber-Sumber Hukum Materiil dalam Mengadili Perkara Wakaf


Hakim dalam melahirkan suatu putusan tentu merujuk kepada sumber-sumber
hukum yang valid. Di lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang
paling penting untuk dijadikan dasar dan landasan yang kuat setelah Alquran dan
Hadis adalah:
a. Peraturan perundang-undangan tentang Kekuasaan Kehakiman dan Peradilan Agama
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24; 2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
tentang Kekuasaan Kehakiman; 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; 4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989, tentang Peradilan Agama; 5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975; 6) Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, tentang Pembentukan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan; 7) Peraturan-peraturan lain yang berhubungan
dengan Tata Kerja dan Wewenang Pengadilan Agama.
b. Peraturan perundang-undangan tentang wakaf 1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf; 2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
c. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terkait sengketa wakaf, Kompilasi Hukum Islam
tidak mengatur masalah ketentuan pidana dalam perwakafan, namun demikian bukan
karena kompilasi tidak setuju adanya ketentuan ini, akan tetapi lebih karena posisi
kompilasi sebagai pedoman dalam perwakafan.15
d. Yurisprudensi
e. Doktrin. Dalam hal ini adalah pendapat para ahli hukum Islam yang merujuk kepada
kitab-kitab para fuqaha klasik yang juga disebut sebagai kitab-kitab hukum
(rechtsboek). Berbagai macam metode penggalian hukum (istinbath ahkam)
digunakan oleh para hakim guna mengkaji dan mengkonklusikan perkara-perkara
yang masuk ke pengadilan agama. Seperti halnya maslahah mursalah yang sangat
mungkin digunakan sebagai metode atau referensi sebuah penemuan hukum.
Sehingga dalam hal ini, doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan perwakafan
oleh hakim mutlak diperlukan guna mengadili dan menyelesaikan perkara wakaf yang
sesuai dengan koridor hukum Islam di lingkungan peradilan agama.

15
Upi Komariah, “Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama”, artikel dalam Jurnal Hukum dan
Peradilan, vol. 3, No. 2, Juli 2014, hlm. 124
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, ada dua poin penting yang dapat disimpulkan,
yaitu:
1. Di Indonesia, wakaf sudah diatur dalam hukum positif sebagaimana tertuang di
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Larangan peralihan
atau perubahan wakaf sangat tegas diatur dalam Pasal 40 bahwa benda wakaf yang
sudah diwakafkan dilarang: a. Dijadikan jaminan, b. Disita, c. Dihibahkan, d.
Dijual, e. Diwariskan, f. Ditukar, dan g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hal
lainnya.
2. Proses pencabutan dan perubahan status wakaf yang umumnya berujung konflik
panjang diupayakan bisa diselesaikan dengan proses mediasi saja. Hal ini sesuai
dengan aturan penyelesaian yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam Undang-
undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 62 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa
perwakafan dilakukan dengan cara: musyawarah untuk mufakat, mediasi,
arbitrase, atau pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Rajawali Press,
Bandung, 1992

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1.

Hastuti, Qurratul Aini Wara. “Kewenangan Pengadilan Agama Kudus Dalam Penyelesaian
Sengketa Wakaf”, artikel dalam Jurnal Ziswaf, vol. 1, No. 1, Juni 2014

aZ-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (Dimasyqi: Dar ar Fikr, tt), VIII.

Departemen Agama RI, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik, 2006

Kompilasi Hukum Islam. Buku III tentang Hukum Perwakafan, Nuansa Aulia, Bandung:
2008.

Harahap, M Yahya. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, PT. Sarana Bakti
Semesta, Jakarta, 1990

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005

Komariah, Upi. “Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama”, artikel dalam Jurnal
Hukum dan Peradilan, vol. 3, No. 2, Juli 2014

Anda mungkin juga menyukai