SENGKETA
MAKALAH
DOSEN PENGAMPU
Dr. Sri Lumatus Saadah, S.Ag, M.HI
Dr. H. Nur Solikin, M.H
Disusun oleh:
LAILI SALIMAH
NIM: 203206050017
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan
hidayahnya kepada pemakalah sehingga dapat menyelesaikan tugas kuliah dengan judul
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Modernisasi Hukum Keluarga
di Pascasarjana IAIN Jember jurusan Hukum Keluarga. Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
pembaharuan hukum keluarga.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ishaq, M.Ag
selaku dosen pengampu. Tugas yang telah diberikan ini dapat mensambah pengetahuan
di bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang membantu proses penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karenanya, kritik dan saran kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dari kata kerja bahasa arab waqafa-yaqifu-waqifan yang
berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf menurut istilah syara’/hukum Islam
adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
merusakkan bendanya (‘ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan.1
7
Ibid, 169-172
8
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
karena harus melalui tahapan yang panjang dan pengecekan yang sangat teliti. Karna
harta benda yang akan dialihkan baik pemindahan tempat atau fungsi maupun status
nya harus seimbang nilai ukur nya dengan harta benda pengganti dari wakaf tersebut.
Hal ini sesuai dengan pasal Pasal 41 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf mengenai pengecualian yang disebutkan dalam pasal Pasal 40.
Proses pencabutan dan perubahan status wakaf yang umumnya berujung
konflik panjang diupayakan bisa diselesaikan dengan proses mediasi saja. Hal ini
haruslah sesuai dengan aturan penyelesaian yang berlaku sebagaimana disebutkan
dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 62 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa
perwakafan dilakukan dengan cara: musyawarah untuk mufakat, mediasi, arbitrase,
atau pengadilan dan penjelasan pasal tersebut di atas berbunyi yang dimaksud dengan
mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang
disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Jika mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut
dapat dibawa kepada badan arbitrase syari' ah. Jika badan arbitrase syari' ah tidak
berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan
agama dan/atau mahkamah syar'iyah.
Suatu perubahan benda wakaf dapat terjadi, dalam pasal 11 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 pada dasarnya tanah milik yang telah diwakafkan
dilakukan perubahan peruntukan dan penggunaan selain yang dimaksud dalam ikrar
wakaf, namun karena ada alasan tertentu.9
Perubahan harta benda wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 225 ayat
(2) menyatakan Penyimpangan dari ketentuan tersebut dimaksud hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan
tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majlis
Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan Alasan:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang diikrarkan oleh wakif;
b. Karena kepentingan umum.10
Dengan syarat ini menunjukkan bahwa negara sangat peka dalam melihat
permasalahan wakaf. Wakaf yang dalam arti bahasa adalah menahan kepemilikin
pribadi menjadi milik umum memang perlu dilakukan pemeliharaan. Tidak mungkin
9
Departemen Agama RI, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, 2006.
Hlm. 135
10
Kompilasi Hukum Islam. Buku III tentang Hukum Perwakafan, Nuansa Aulia, Bandung: 2008. 72
apabila benda wakaf itu hanya dimanfaatkan saja, sedangkan dalam hal pemeliharaan
diabaikan. Apabila tidak dipelihara, justru ketika barang sudah rusak, maka
masyarakat tidak bisa memanfaatkan sebagaimana mestinya.
Atas dasar itulah, maka salah satu maksud dari kepentingan umum tersebut
tidak lain adalah menjaga hak masyarakat yakni bisa memanfaatkan benda sepanjang
masa. Jika dilihat dari sifat benda wakaf yang cenderung abadi, jelas sekali bahwa
tidak mungkin benda wakaf akan selalu abadi. Keabadian dapat terlihat pada wujud
kemanfaatan dari suatu benda walaupun dalam hal ini benda sudah mengalami
perubahan bentuk, akan tetapi subtansi kemanfaatan bisa dimanfaatkan.
Dari sini, penulis menemukan titik temu, bahwa harta benda yang telah
diwakafkan dapat dilakukan perubahan menurut Hukum Islam dengan jalan Istihsan,
Istihsan yaitu mencari kebaikan, menurut Usul fiqh yaitu berpaling dari pada hukum
yang mempunyai dalil kepada adat (kebiasaan) untuk kemaslahatan umum. Begitu
juga yang dijelaskan dalam Komplasi Hukum Islam pasal 225 bahwa harta benda
wakaf yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan, akan tetapi dari
penyimpangan tersebut dapat dilakukan karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf
seperti yang diikrarkan, dan karena kepentingan umum lainnya.
11
M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, PT. Sarana Bakti Semesta,
Jakarta, 1990, hlm. 135.
1. Kekuasaan relative, diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan
satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis
dan sama tingkatan lainnya. Kekuasaan relatif (Relative Competentie) adalah
kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum
antar pengadilan agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Setiap Pengadilan
Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan mempunyai yurisdiksi
relatif tertentu dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten.
yurisdiksi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan
Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak
eksepsi tergugat.
2. Kekuasaan Absolut (absolute competentie), yaitu kekuasaan Pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan,
dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan lainnya.12 Pengadilan Agama berkuasa atas perdata Islam tertentu
khusus bagi orang-orang Islam. Sedangkan untuk yang beragama lain adalah di
Pengadilan Umum. Pengadilan Agama berkuasa memeriksa dan mengadili perkara
dalam tingkat pertama. Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama
diharuskan meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan
absolutnya atau bukan. Peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo Bab III pasal 49
UU No. 7 tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang: 1) Perkawinan 2) Kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam 3) Wakaf dan
sedekah.13
D. Penyelesaian sengketa wakaf
Prinsip musyawarah untuk mencapai perdamaian lebih utama dalam
penyelesaian perkara perdata. Oleh karena itu pada persidangan pertama, hakim akan
mendorong para pihak (pihak tergugat dan tergugat) untuk mengikuti tahap mediasi
(pasal 130 HIR), dan secara khusus diatur secara lengkap dalam Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Dengan demikian, hukum acara yang berlaku pengadilan
agama berpedoman pada Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg, yang mendorong para
12
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.
332
13
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 27.
pihak untuk menempuh proses perdamaian yang diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berpekara di pengadilan agama.
Mediasi merupakan tahapan yang wajib dilalui oleh para pihak, sebelum
pemeriksaan pokok perkara sengketa wakaf, dan menjadi agenda pada persidangan
pertama. Diabaikannya proses mediasi dapat mengakibatkan Putusan bersifat Niet
Ontvankelijke Verklaard (putusan NO), yaitu putusan yang menyatakan bahwa
gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.14
Ketentuan tentang pentingnya mediasi juga diatur dalam Pasal 62 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang menegaskan bahwa,
apabila mekanisme musyawarah tidak membuahkan hasil, penyelesaian sengketa
dapat dilakukan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Artinya, jika salah satu
pihak mengingkari isi akta perdamaian tersebut, maka pengadilan dapat melakukan
eksekusi terhadap obyek sengketa. Dalam setiap tahapan pemeriksaan perkara wakaf,
hakim diwajibkan untuk memberikan nasihat kepada para pihak. Jika para pihak
sepakat untuk berdamai di tengah-tengah pemeriksaan pokok perkara, maka untuk
memperkuat kesepakatan tersebut dibuatlah akta perdamaian (van dading), yang
memuat kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan
perdamaian tersebut, dan bersifat eksekutorial. Artinya, jika salah satu pihak
mengingkari isi akta perdamaian tersebut, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi
terhadap obyek sengketa.
Jika perdamaian melalui mediasi tidak tercapai, maka proses perubahan harta
benda wakaf ini, akan lebih baik apabila diselesaikan melalui lembaga Peradilan. Baik
dalam bentuk permohonan (volunteer) berupa permohonan penetapan pemberian izin
perubahan bentuk harta benda wakaf dari bentuk semula ke bentuk lainnya, atau
dengan bentuk gugatan (contentius) apabila ada pihak yang tidak menyetujui
perubahan tersebut, semisal wakif atau pihak lainnya. Proses perubahan harta benda
wakaf dengan jalan seperti ini tidak hanya menutup pintu kemungkinan adanya
sengketa dikemudian hari, akan tetapi lebih dari itu, memberi kepastian hukum
terhadap perbuatan perubahan harta benda wakaf tersebut. Apabila perubahan harta
benda wakaf didasarkan dengan PP Nomor: 42 tahun 2006 perubahan tersebut masih
14
Dasar hukum pemberian putusan “NO” (tidak dapat diterima) ini dapat dilihat dalam yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 1149/K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 Jo Putusan Mahkamah Agung RI No.
565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1973, Jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 1149/K/Sip/1979 tanggal 7
April 1979.
membuka peluang terjadinya perselisihan, dan menuntut penyelesaian secara hukum
di Pengadilan dalam bentuk sengketa.
Dalam hal ini, mediator wajib menyatakan mediasi tidak berhasil mencapai
kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis kepada hakim pemeriksa perkara.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 155 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat
(1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat (2) PERMA, hakim harus melanjutkan pemeriksaan
perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku melalui proses
persidangan (litigasi), sebagai berikut:
a. Pembacaan surat gugatan penggugat.
b. Proses jawab menjawab (replik, duplik) yang diawali dengan jawaban dari pihak
tergugat (eksepsi).
c. Tahap Pembuktian untuk membuktikan suatu peristiwa yang disengketakan.
Hukum Acara Perdata sudah menentukan alat-alat bukti yang bisa diajukan para
pihak di persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR/pasal 284 Rbg
yaitu: Surat, Saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Apabila diperlukan
bisa dilakukan descente (pemeriksaan setempat);
d. Pengajuan kesimpulan oleh para pihak. Meskipun tidak diatur dalam HIR dan
Rbg, akan tetapi mengajukan kesimpulan bisa dilakukan dalam praktek
persidangan. Pengajuan kesimpulan ini sangat perlu dilaksanakan oleh kuasa
hukum para pihak, karena melalui kesimpulan itulah seorang kuasa hukum akan
menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil jawabannya melalui
pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Bagi Majelis Hakim yang akan
memutuskan perkara, kesimpulan ini sangat menolong sekali dalam merumuskan
pertimbangan hukumnya.
e. Tahap Putusan. Tahap ini merupakan akhir dari seluruh tahapan pemeriksaan
perkara di persidangan. Hakim dalam mengambil putusan dalam rangka
mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut, akan melakukan
konstatir, kualifisir, dan konstituir guna menemukan hukum dan menegakkan
keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu surat putusan
(vonnis) hakim.
15
Upi Komariah, “Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama”, artikel dalam Jurnal Hukum dan
Peradilan, vol. 3, No. 2, Juli 2014, hlm. 124
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, ada dua poin penting yang dapat disimpulkan,
yaitu:
1. Di Indonesia, wakaf sudah diatur dalam hukum positif sebagaimana tertuang di
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Larangan peralihan
atau perubahan wakaf sangat tegas diatur dalam Pasal 40 bahwa benda wakaf yang
sudah diwakafkan dilarang: a. Dijadikan jaminan, b. Disita, c. Dihibahkan, d.
Dijual, e. Diwariskan, f. Ditukar, dan g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hal
lainnya.
2. Proses pencabutan dan perubahan status wakaf yang umumnya berujung konflik
panjang diupayakan bisa diselesaikan dengan proses mediasi saja. Hal ini sesuai
dengan aturan penyelesaian yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam Undang-
undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 62 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa
perwakafan dilakukan dengan cara: musyawarah untuk mufakat, mediasi,
arbitrase, atau pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Rajawali Press,
Bandung, 1992
Hastuti, Qurratul Aini Wara. “Kewenangan Pengadilan Agama Kudus Dalam Penyelesaian
Sengketa Wakaf”, artikel dalam Jurnal Ziswaf, vol. 1, No. 1, Juni 2014
aZ-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (Dimasyqi: Dar ar Fikr, tt), VIII.
Departemen Agama RI, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik, 2006
Kompilasi Hukum Islam. Buku III tentang Hukum Perwakafan, Nuansa Aulia, Bandung:
2008.
Harahap, M Yahya. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, PT. Sarana Bakti
Semesta, Jakarta, 1990
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997
Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005
Komariah, Upi. “Penyelesaian Sengketa Wakaf di Pengadilan Agama”, artikel dalam Jurnal
Hukum dan Peradilan, vol. 3, No. 2, Juli 2014