MAKALAH
DOSEN PENGAMPU
Dr. Ishaq, M.Ag
Dr. H Hamam, M.HI
Oleh
LAILI SALIMAH
NIM: 203206050017
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
PASCASARJANA IAIN JEMBER
SEPTEMBER 2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan
hidayahnya kepada pemakalah sehingga dapat menyelesaikan tugas kuliah dengan judul
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fatwa Hukum Keluarga di
Pascasarjana IAIN Jember jurusan Hukum Keluarga. Selain itu, penulis juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Fatwa dan Pluralitas
Madzhab.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ishaq,
M.Ag dan Bapak Dr.Hamam, M.HI selaku dosen pengampu. Tugas yang telah diberikan
ini dapat mensambah pengetahuan di bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu proses penyelesaian
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karenanya, kritik dan saran kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
Penyusunan hukum Islam telah mengalami beberapa fase. Dimulai pada jaman
Nabi hingga saat ini. Nabi telah meletakkan dasar hukum yang dipegang teguh oleh para
sahabat. Ketika beliau wafat, tradisi keilmuan yang berkenaan dengan hukum Islam
diteruskan oleh para sahabat. Tentu sebagai konsekuensinya, lapangan ijtihad semakin
meluas bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, pergaulan kaum
muslimin dengan bangsa lain yang berbeda budaya, adat istiadat dan tradisi serta jauhnya
negara-negara taklukan dari ibu kota pemerintahan Islam yang membuat para hakim dan
ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan
masalah-masalah baru yang dihadapi
Harun Nasution seperti dikutip oleh Abuddin Nata, membagi periodesasi hukum
Islam menjadi empat, yakni, (1)periode Nabi, (2)periode Sahabat, (3)periode ijtihad dan
kemajuan , (4)periode taqlid serta kemunduran.1
Sedangkan menurut Hudhari Bik, terdapat enam periode pembinaan Hukum (fiqh)
Islam; yakni pertama pada masa Nabi saw; kedua pada masa Sahabat besar (Khulafaur
Rasyidin); ketiga pada masa sahabat kecil( misalnya: Abu Darda’, Abd Allah ibn Amr ibn
‘As) dan tabi’in; hingga berakhirnya abad I Hijriyah; keempat pada masa fiqh menjadi
cabang ilmu pengetahuan, ditandai dengan munculnya imam mahzab hingga berakhirnya
abad ke-3 hijriyah; kelima pada masa pembinaan hukum hingga berakhirnya Daulah
Abbasiyah; dan keenam pembinaan hukum pada masa taqlid.2
1
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet IX, 301
2
Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh.Zuhri,(Semarang: Darul Ihya, 1980), 4.
BAB II
A. Pengertian Madzhab
Menurut bahasa Arab, “madzhab) ) مذهبberasal dari shighah masdar mimy (kata
sifat) dan isim makan (kata yang menunujukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil
madhy “ dzahaba” ( )ذهبyang bermakna pergi. Bisa juga berarti al- ra’yu yang artinya
pendapat.3
Sedang menurut istilah ada beberapa rumusan yang dikutip oleh Huzaemah
Tahido Yanggo, antara lain:
1. Menurut Sa’id Ramadani al-Buti adalah jalan pikiran (paham/ pendapat yang
ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam dari al-qur’an dan
hadis
2. Menurut A. Hasan, madzhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang
alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah agama atau yang lainnya4.
3. Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang
berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil shari’at yang rinci serta
berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut,
yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.5
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa madzhab mencakup;
pertama pedapat mujtahid dan kedua adalah tariqah yang yang dijadikan dasar oleh
mujtahid dalam menetapkan hukum.
Dalam tataran pemikiran hukum Islam (fiqh), kita mengenal beberapa madzhab
berikut ini:
3
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), 71.
4
Huzaemah Tahido Yanggo, ibid, 3-4
5
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Bairut: Dar al- Bayariq, 1995), 197
1. Madzhab Hanafi
2. Madzhab Maliki
Sementra itu Imam Malik ibn Anas yang tinggal di Madinah sebagai pusat
dakwah Nabi dan tempat beredarnya hadis serta masyarakatnya yang tidak semaju
daerah Kufah, nampaknya tidak sulit untuk mendaptkan hadis guna menyelesaikan
berbagai masalahDalil yang digunakan imam Malik dalam menetapkan hukum
adalah: al- Qur’an, al- Sunnah, Qiyas, al- Maslahah al- mursalah.
3. Madzhab Syafi’i
Madzhab ini mengikuti Imam Syafi’i. Beliau adalah murid Abu Hanifah dan
Imam Malik. Beliau membina mazabnya antara ahli ra’yi dan ahli hadith (moderat),
meskipun dasar pemikirannya lebih dekat kepada metode ahlu al-hadith. Dalil yang
digunakan al- Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah: al- Qur’an, al- Sunnah, Ijma’,
pendapat sahabat yang tidak diketahui tidak adanya perselisihan di antara mereka,
pendapat yang terdapat perselisihan di dalamnya serta Qiyas.
4. Madzhab Hanbali
Imam Ahmad ibn Hanbal pernah berguru kepada Abu Yusuf Imam Syafi’i. Ia
lebih banyak menitikberatkan kepada hadith dalam berijtihad dan tidak menggunakan
ra’yu dalam ijtihad, kecuali dalam keadaan darurat, yaitu ketika tidak diketemukan
hadith. Dalil yang digunakan Ahmad ibn Hambal dalam menetapkan hukum adalah:
al- Qur’an, al- Sunnah, pendapat sahabat yang tidak mendaptkan tentangan dari
6
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 302
sahabat yang lain, pendapat seseorang atau sahabat yang sesuai dengan al- Qur’an dan
Sunnah, hadis Mursal dan qiyas dalam keadaan terpaksa7
5. Madzhab Dzahiri
Madzhab ini adalah pengikut Imam Daud ibn Ali (202H-270H). Dia adalah
murid Imam Syafi’i dan kemudian membentuk madzhab sendiri yang dikenal dengan
madzhab al-Dzahiri. Madzhab ini lebih cenderung kepada dzhahir nash dan menolak
pemakaian qiyas dan ijma’.
6. Syiah Zaidiyah
Syiah Zaidiyah ini adalah pengikut Zaid ibn Ali zainal Abidin (80H-122H). Ia
tidak meninggalkan usulnya dan tidak pula meriwayatkan metode-metode yang
ditempuhnya secara tegas dan jelas, apakah Zaidiyah berusaha menyusun usul yang
mereka petik dari hukum-hukum furu’ yang ditetapkan Zaid, seperti yang dilakukan
golongan Hanafiyah.8 Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa, mujtahid mutlak
hanya Abu Hanifah saja. Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan dan Zufar, bukan mujtahid
mutlak, karena mereka hanya mengambil usul-usul yang ditetapkan oleh Abu Hanifah.
7. Syiah Imamiyah
Madzhab ini juga biasa disebut madzhab syiah Itsna Asyariyah (syiah dua
belas), karena mereka mempunyai 12 orang imam nyata (Imam Dhahir). Dimana
urutannya adalah; Ali ibn Abi Tahlib, Hasan, Husayn, Ali zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja’far Shadiq, Musa al-Kazhim, Ali al-Ridham Muhammad al-jawwad, Ali
al-Hadi, Hasan ibn Muhammad Asykari, dan Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar.
8. Madzhab al-Auza’iy
7
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam , 303
8
Hasbi al-Siddiqi, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997), 74.
mengikuti madzhabnya. Kemudian madzhab al-Auza’iy pindah ke Andalusia bersama
orang-orang yang memasukinya dari pengikut bani Umaiyyah, kemudian madzhab ini
surut dihadapan madzhab al-Syafi’i di Syam dan dihadapan madzhab Maliki di
Andalusia pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah.9
9. Madzhab al-Thabary.
Pendiri madzhab ini ialah Abu Ja’far ibn Jarir al-Thabary (224H-320H). Beliau
terkenal sebagai seorang mujtahid, ahli sejarah dan tafsir. Beliau mempelajari fiqh al-
Syafi’i dan Malik serta madzhab aliran ahli ra’yu yaitu madzhab hanafi, kemudian
membentuk madzhab sendiri yang berkembang di Bagdad. Di antara pengikutnya
adlah Abu al-Faraj al-Ma’afa al-Nahrawani. Tetapi mahzabnya surut pada pertengahan
abad ke -5 Hijriyah. Walau madzhabnya tidak berkembang, namun ia telah
meninggalkan kitab-kitab yang menjadi literatur penting bagi umat islam. Di
antaranya adalah Tarikh al-Thabary, Tafsir al-Thabary, dan Ikhtilaf al-Fuqaha, al-
Latif, al-Basit, al-Athar dalam bidang fiqh.10
Pembangun madzhab ini Abu al-Harits al-Laitsi ibn Sa’ad al-Fahmy, wafat
tahun 174 H. Al-Laits terkenal sebagai ahli fiqh di Mesir. Al-Syafi’i mengakui bahwa
al-Laits ini lebih pandai dalam soal fiqh dari pada Malik. Akan tetapi pengikut-
pengikutnya tidak bersungguh-sungguh mengembangkan madzhabnya sehingga
lenyap pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah.11
9
Ibib , 81. Lihat juga Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, 75
10
Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, 78
11
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan, 82.
sahabat, dan qiyas); (2). Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari
tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu) dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-prinsip
bahasa dalam memahami nash-nash shari’at ( uslub bahasa).12
12
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam, terj. Wajidi Sayadi,
( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 92.
- Takhsis al-‘Am, misalnya bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya
adalah selama 4 bulan 10 hari (al-Baqarah: 234), kemudian ayat tersebut di
takhsis dengan ketentuan bahwa iddahnya adlah setelah ia melahirkan
anaknya (al-Talaq: 4).
- Taqyid al- Mutlaq. Misalnya, artinya.Seperti kata raqabah (hamba sahaya)
pada al-Qur'an surah an-Nisa: 92
ٓى ٓ أَهۡلِ ِهۦ ٔٗ ََو َما َكانَ لِ ُم ۡؤ ِم ٍن أَن يَقۡتُ َل ُمؤۡ ِمنًا إِاَّل َخ ٗطَٔۚا َو َمن قَتَ َل ُمؤۡ ِمنًا خ
ٰ َ ُّم َسلَّ َمةٌ إِلٞطَا فَتَحۡ ِري ُر َرقَبَةٖ ُّمؤۡ ِمنَةٖ َو ِديَة
ۡ فَتَحۡ ِري • ُر َرقَبَةٖ ُّمؤۡ ِمنَةٖۖ َوإِن َك••انَ ِمن قَوۡ ِۢم بَيۡنَ ُكمٞواۚ فَ •إِن َك••انَ ِمن قَوۡ ٍم َع• ُد ّوٖ لَّ ُكمۡ َوهُ • َو ُمؤۡ ِمن ْ ُص • َّدقَّ َإِاَّل ٓ أَن ي
ِ َى ٓ أَهۡلِ ِهۦ َوتَحۡ ِري ُر َرقَبَةٖ ُّمؤۡ ِمنَةٖۖ فَ َمن لَّمۡ يَ ِجدۡ ف
َص •يَا ُم َش •هۡ َريۡ ِن ُمتَتَ••ابِ َعيۡ ِن تَوۡبَةٗ ِّمن ٰ َ ُّم َسلَّ َمةٌ إِلٞق فَ ِديَة
ٞ ََٰوبَيۡنَهُم ِّميث
ٱهَّلل ِۗ َو َكانَ ٱهَّلل ُ َعلِي ًما َح ِكيمٗا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”.13
ُ َح ِري ُر َرقَبَةٖ ِّمن قَبۡ ِل أَن يَتَ َمآسَّاۚ َذٰلِ ُك ۡم تُو َعظُ••ونَ بِ ِهۦۚ َوٱهَّلل ْ َُوٱلَّ ِذينَ يُظَٰ ِهرُونَ ِمن نِّ َسآئِ ِهمۡ ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَال
ۡ وا فَت
ٞبِ َما تَعۡ َملُونَ خَ بِير
13
QS. an-Nisa ayat 92.
“Mereka yang menzhihar istri mereka, Kemudian menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur”. 14
3. Berbeda pandangan apakah nas itu bersifat ta’abbudi atau ta’aqquli. Misalnya
apakah najis anjing harus dicuci dengan debu atau dengan sesuatu yang fungsinya
sama dengan debu yaitu membersihkan seperti karbol atau detergen. Kalau
dianggap ta’abbudi, maka harus pakai debu. Dan jika dipandang sebagai
ta’aqquli, maka boleh dengan yang lain asal fungsinya sama.
b. Perbedaan dalam status hadis
Para mujtahid belum sepakat tentang kreteria hadis yang diterima dan ditolak.
Misalnya, hadis tentang membaca basmillah dalam wudhu. Imam Ahmad
mewajibkan, sedangkan ulama yang lain hanya mensunnahkan.
c. Perbedaan kemampuan mujtahid, kecerdasan dan ta’assub (fanatik)serta
kecenderungan pengaruh hawa nafsu, sehingga hasil ijtihad menjadi
berbeda.15
d. Perbedaan cara penyelesaian kasus berdasarkan model ijtihad
1. Tentang Ijma’. Mereka berbeda tentang masalah pelaku ijma’. Perbedaan itu
terkait apakah ijma’ siapakah yang dapat dijadikan hujjah. Sebagian berpendapat
ijma’ Sahabat, yang lain berpendapat ijma’ Ahl- al- Bait dan adapula yang
berpendapat bahwa ijma’ Ahli Madinah.16
2. Tentang Qiyas. Ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber
hukum, sedangkan mujtahid yang lain menerima Qiyas sebagai sumber hukum
sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ .17
Walaupun juga terdapat perbedaan dalam hal-hal yang patut dijadikan illat
hukum sebagai dasar penetapan hukum dalam qiyas.
14
QS. al-Mujaadilah ayat 3.
15
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2005), 203-206
16
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 150
17
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentukan , 95.
Sebagai contoh mengenai perkawinan gadis yang masih di bawah umur,
yang berpangkal pada peristiwa Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim:
“Bahwa Nabi saw. kawin dengan Aisyah berumur enam tahun, kemudian
tinggal bersama ketika berumur sembilan tahun”.
Dari riwayat tersebut kita ketahui, bahwa Abu Bakar ra. mengawinkan
Aisyah ketika masih dibawah umur tanpa persetujuannya. Hal ini telah
disepakati oleh para fuqaha. Tetapi terjadi perbedaan tentang illat hukumnya,
apakah karena di bawah umur ataukah karena kegadisannya.
18
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.
BAB III
Secara bahasa fatwa bisa diartikan sebagai jawaban atas sebuah permasalahan
(al-jawab ‘an al-amr al-musykil) atau bisa diartikan sebagai penjelasan atas
permasalahan hukum (tabyin ‘an al-musykil min al-ahkam). Ali al-Jurjany cenderung
mendefinisikan fatwa langsung dengan redaksi penjelasan hukum atas suatu
permasalahan hukum (bayan hukm al-mas’alah). Kisah yang tertuang dalam surat
Yusuf:43 tentang penggunaan redaksi “aftuny”, derivasi (musytaq) dari fatwa,
semakin meneguhkan makna fatwa sebagai jawaban atas sebuah permasalahan.
Pada dasarnya, umat Islam percaya bahwa syariat Islam diperuntukkan untuk
seluruh umat manusia, sehingga tepat sekali maksud firman Allah dalam Surat al-
Anbiya: 107:
Sebagai produk hukum yang merupakan respons atas realita, fatwa memiliki
kecenderungan berubah lebih besar. Dalam menjelaskan hal itu, Yusuf al-Qaradawy
mempunyai konsep tersendiri mengenai istrumen perubahan fatwa yang dirumuskan
dalam sepuluh instrumen. Kesepuluh hal tersebut,adalah:
Yusuf al-Qardawy, Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi Asrina, cet II (Mesir: Dar al-Shuruq,2011), 28-31
21
Ahmad bin Hambal Abu 'Abdillah al-Shayban , Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz II (Kairo:
22
Perbedaan waktu, atau masa, dalam kaitannya dengan diskursus fatwa ini
tentu saja bukan semata karena perubahan hari, bulan ataupun tahun. Akan tetapi
perubahan waktu yang dimaksud dalam kajian ini merupakan perubahan sifat
manusia yang hidup saat ini, misalnya, dengan orang-orang yang hidup pada masa
lampau. Perbedaan masa ini sangat terkait dengan karakter manusia yang berubah,
terlebih perubahan ini memiliki grafik karakter yang cenderung menurun.
Dalam merespon realita hukum seringkali fatwa juga tidak bisa dikesampin
gkan dengan realita sosial di mana masyarakat hidup, dengan realita ekonomi di
mana masyarakat mencukupi kebutuhan hidup, serta dengan realita politik di mana
masyarakat diatur kehidupannya. Fatwa yang terbentuk akibat suatu kondisi sosial
tertentu, keadaan perekonomian tertentu, atau situasi politik tertentu, tentu saja
akan memiliki fleksibilitas untuk berubah manakala unsur dan instrumen yang
membentuk fatwa tersebut juga berubah.
Ibid, 81
24
Sebagaimana perubahan yang terjadi dalam perubahan pengetahuan dapat
menjadikan fatwa berubah, perubahan yang terjadi dalam pemikiran seseorang pun
turut serta dalam perubahan fatwa.
k. Bencana umum (umum al-balwa)
Di antara beberapa hal yang bisa dikatagorikan sebagai umum al-balwa
adalah kepala yang te rbuka/tidak memakai penutup kepala serta makan di jalan
kualifikasi sifat adil seseorang.
Setelah masa sahabat berakhir, kegiatan berfatwa dilanjutkan oleh tabi'in. Era
tabi'in yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masa peralihan kekuasaan
pemerintahan ke tangan Bani Ummayah yang dipimpin oleh Mu'awiyah ibn Abī
Sofyān sampai kurun waktu abad 2 (dua) hijriah berakhirnya kerajaan Bani
Ummayyah (Al-Asyqar, 'Umar Sulaymān, 1982: 80). Generasi ini adalah mereka yang
sempat berguru kepada tokoh-tokoh keilmuan dari generasi sahabat. Proses
transformasi keilmuan yang berlaku antara sahabat dan tabi'in terjalin berdasarkan
metode periwayatan (nuqil), baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara umum fatwa dan perundangan pada era tabi'in masih hampir sama
dengan apa yang berlaku pada masa sahabat. Mereka masih berpegang pada kaedah
ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat yakni pertama merujuk pada al-Qur’ān
kemudian Sunnah dan Ijtihad para sahabat, barulah kemudian ber-ijtihad sendiri
apabila tidak ditemui jawaban dari sumber-sumber tersebut. Meskipun mereka
%20islam.pdf)
mengikatkan diri dengan metodologi para sahabat, namun kadang-kadang mereka
menggunakan al-ra'yu dalam membuat keputusan hukum dan fatwa. Terlebih jika
menghadapi perubahan dan fenomena baru dalam masyarakat.
Setelah masa tabi'in, fatwa berkembang melalui para imam-imam mujtahid dan
pengikutnya. Pada masa ini masalah-masalah fiqh mulai dibukukan. Masalah-masalah
yang dibukukan merupakan formulasi dari persoalan yang telah ditetapkan dalam al-
Qur’ān dan hadith, fatwa sahabat dan fatwa-fatwa mujtahidin sebagai hasil ijtihad
mereka pada waktu itu. Permasalahan-permasalah fīqh pada waktu itu
disistematikakan dengan baik, sehingga memudahkan pembaca mencari masalah yang
diinginkan.
Secara tidak langsung merupakan proses penyerapan fatwa ke dalam kitab fiqh
melalui proses yang panjang seperti mengumpulkan, menyunting, dan mengikhtisar
fatwa-fatwa primer untuk dimasukkan ke dalam koleksi-koleksi yang tidak terkait
denagn fatwa dari para mufti tertentu, namun hanya mengumpulkan bahan-bahan
fatwa untuk membentuk sebuah karya fikih. Abū al-Lais alSamarqandī dan al-Nāṭifī,
misalnya, konon mengumpulkan dalam karya-karya mereka, Kitāb al-Nawāzīl dan
Majmu'āt al-Nawazīl wa al-Wāqi'āt, fatwa-fatwa dari para imam maẓhab dan juga
fatwa-fatwa dari para mufti seperti Muḥammad ibn Syuja' al-Ṭaljī, Muḥammad ibn
Muqātil al-Rāzī dan Ja'far ibn 'Alī al-Hinduwānī (Rusli, 2011: 275).
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya
menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat, khususnya
masyarakat yang memang mengharapkan keberadaannya. Taujîh, yakni memberikan
guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang permasalahan
agama yang bersifat kontemporer. Fungsi tabyin dan tawjih fatwa terikat dalam fungsi
keulamaan, sehingga fatwa syar’iyah yang telah dikeluarkan sejak generasi
sahabat,tabi’in, tabiut tabi’in dan generasi sesudahnya hingga generasi ulama
sekarang.
Berikut adalah kitab-kitab fatwa yang memuat berbagai persoalan praktis yang
dialami manusia.
26
Faridatus Suhadak, Urgensi Fatwa dalam Pekembangan Hukum Islam, (de Jure, Jurnal Syariah dan
Hukum, Vol 5 No 2, Desember 2013) h. 189-196).
27
Rusli, Tipologi Fatwa di Era Modern, (Hunafa: Jurnal Studi Islamika Vol 8 No 2: 2011) 269-306.
Kitab-kitab fatwa dalam mazhab Hanafi antara lain al-Fatawa al-Kubra, al-
Fatawa ash-Shughra, al-Bazaziyah, ath-Thuhriyyah, az-Zainiyyah, al-Hamiddiyah
dan al-Fatawa al-Hindiyyah wal-Mahdiyyah.
Kitab-kitab kedua mazhab ini (Hanafi dan Syafii) banyak sekali jumlahnya. Di
antaranya dapat dilihat dalam Kasyf az-Zhunun. Sedangkan kitab-kitab fatwa dalam
mazhab Maliki, antara lain Fatawa Ibnu Rusyd, Fatawa asy-Syathibi, dan Mausu'ah
(ensiklopedia) karya al-Wansyarisi yang diterbitkan dalam 12 jilid.
Semua mazhab panutan memiliki kitab-kitab fatwa, baik yang ringkas maupun
yang luas, yang kadang-kadang diistilahkan dengan Kitab an-Nawazil atau lainnya.
BAB III
PENUTUP
1. Madzhab adalah dasar pemikiran yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam
memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Di mana madzhab
mencakup;(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam
mujtahid; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariqah) yang ditempuh mujtahid
itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
2. Munculnya madzhab, sebagai akibat dari proses sejarah perluasan wilayah Islam
dan tersebarnya para sahabat di berbagai daerah yang berbeda kondisi dan adat
istiadat yang memerlukan cara yang berbeda dalam penetapan hukum
3. Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/madzhab, dikarenakan cara pandang
yang berbeda dalam menganalisa sebuah nas al-qur’an dan hadis, ijma’ dan qiyas.
4. Fatwa adalah penjelasan tentang hukum agama yang berkaitan dengan
pertanyaan, peristiwa maupun fenomena yang tidak begitu jelas hukumnya. Fatwa
merupakan hasil dialogis antara penanya tentang sebuah masalah dengan pakar
hukum Islam (dalam hal ini adalah mufti).
5. Fatwa menjadi respon atas realita masyarakat yang penuh dengan varian dan
disparitas karena ia selalu bersifat dinamis (tidak jumud).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Husain. Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, Bairut: Dar al- Bayariq, 1995
Ali Hasan, Muhammad. Perbandingan Madzhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Al-Qardawy, Yusuf, Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi Asrina, Mesir: Dar al-Shuruq, 2011
Al-Shayban, Ahmad bin Hambal Abu 'Abdillah. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz
II. Kairo: Muassasat Qurtubah. T.th
Bik, Hudari.Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh.Zuhri, Semarang: Darul Ihya, 1980 Ali
Hasan, Muhammad. Perbandingan Madzhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Khallaf, Abdul Wahhab. Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam, terj.
Wajidi Sayadi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta:
Prenada Media, 2005
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Oxford University Press, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N.
Bandung: Mizan, 2002
Rusli, Tipologi Fatwa di Era Modern, (Hunafa: Jurnal Studi Islamika Vol 8 No 2: 2011)
Suhadak, Faridatus. Urgensi Fatwa dalam Pekembangan Hukum Islam, (de Jure, Jurnal
Syariah dan Hukum, Vol 5 No 2, Desember 2013)
www.hayatulislam.net/persoalanseputarmadzhab
Zuhri, Muhammad. Hukum Islam dalam lintasan sejarah, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
1996)