Anda di halaman 1dari 25

PLURALITAS MADZHAB, FATWA DAN PERUBAHAN FATWA

MAKALAH

Ditulis untuk Memenuhi Tugas Fatwa Hukum Keluarga

DOSEN PENGAMPU
Dr. Ishaq, M.Ag
Dr. H Hamam, M.HI

Oleh
LAILI SALIMAH
NIM: 203206050017
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
PASCASARJANA IAIN JEMBER
SEPTEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan
hidayahnya kepada pemakalah sehingga dapat menyelesaikan tugas kuliah dengan judul
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fatwa Hukum Keluarga di
Pascasarjana IAIN Jember jurusan Hukum Keluarga. Selain itu, penulis juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Fatwa dan Pluralitas
Madzhab.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ishaq,
M.Ag dan Bapak Dr.Hamam, M.HI selaku dosen pengampu. Tugas yang telah diberikan
ini dapat mensambah pengetahuan di bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu proses penyelesaian
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karenanya, kritik dan saran kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN

Penyusunan hukum Islam telah mengalami beberapa fase. Dimulai pada jaman
Nabi hingga saat ini. Nabi telah meletakkan dasar hukum yang dipegang teguh oleh para
sahabat. Ketika beliau wafat, tradisi keilmuan yang berkenaan dengan hukum Islam
diteruskan oleh para sahabat. Tentu sebagai konsekuensinya, lapangan ijtihad semakin
meluas bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, pergaulan kaum
muslimin dengan bangsa lain yang berbeda budaya, adat istiadat dan tradisi serta jauhnya
negara-negara taklukan dari ibu kota pemerintahan Islam yang membuat para hakim dan
ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan
masalah-masalah baru yang dihadapi

Harun Nasution seperti dikutip oleh Abuddin Nata, membagi periodesasi hukum
Islam menjadi empat, yakni, (1)periode Nabi, (2)periode Sahabat, (3)periode ijtihad dan
kemajuan , (4)periode taqlid serta kemunduran.1

Sedangkan menurut Hudhari Bik, terdapat enam periode pembinaan Hukum (fiqh)
Islam; yakni pertama pada masa Nabi saw; kedua pada masa Sahabat besar (Khulafaur
Rasyidin); ketiga pada masa sahabat kecil( misalnya: Abu Darda’, Abd Allah ibn Amr ibn
‘As) dan tabi’in; hingga berakhirnya abad I Hijriyah; keempat pada masa fiqh menjadi
cabang ilmu pengetahuan, ditandai dengan munculnya imam mahzab hingga berakhirnya
abad ke-3 hijriyah; kelima pada masa pembinaan hukum hingga berakhirnya Daulah
Abbasiyah; dan keenam pembinaan hukum pada masa taqlid.2

Makalah ini akan mencoba mengarahkan pembahasan seputar sebab-sebab


terjadinya perbedaaan madzhab, fatwa dan perubahan fatwa.

1
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet IX, 301
2
Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh.Zuhri,(Semarang: Darul Ihya, 1980), 4.
BAB II

MADZHAB DAN PLURALITAS MADZHAB

A. Pengertian Madzhab
Menurut bahasa Arab, “madzhab) ‫ ) مذهب‬berasal dari shighah masdar mimy (kata
sifat) dan isim makan (kata yang menunujukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil
madhy “ dzahaba” ( ‫ )ذهب‬yang bermakna pergi. Bisa juga berarti al- ra’yu yang artinya
pendapat.3
Sedang menurut istilah ada beberapa rumusan yang dikutip oleh Huzaemah
Tahido Yanggo, antara lain:
1. Menurut Sa’id Ramadani al-Buti adalah jalan pikiran (paham/ pendapat yang
ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam dari al-qur’an dan
hadis
2. Menurut A. Hasan, madzhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang
alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah agama atau yang lainnya4.
3. Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang
berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil shari’at yang rinci serta
berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut,
yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.5
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa madzhab mencakup;
pertama pedapat mujtahid dan kedua adalah tariqah yang yang dijadikan dasar oleh
mujtahid dalam menetapkan hukum.

B. Beberapa Madzhab dalam Hukum Islam

Dalam tataran pemikiran hukum Islam (fiqh), kita mengenal beberapa madzhab
berikut ini:
3
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), 71.
4
Huzaemah Tahido Yanggo, ibid, 3-4
5
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Bairut: Dar al- Bayariq, 1995), 197
1. Madzhab Hanafi

Dalam pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan


hukum yang ada di Kufah yang letaknya jauh dari Madinah sebagai pusat kegiatan
dakwah Nabi dan tempat tunbuhnya hadis. Dalam keadaan demikian Abu Hanifah
banyak menggunakan rasio. Dalil yang digunakan Abu Hanifah dalam menetapkan
hukum adalah: al- Qur’an, al- Sunnah, al- Ra’yu, Qiyas, Istihsan dan Shari’at sebelum
Islam yang masih sejalan dengan al- Qura’an dan Sunnah 6.

2. Madzhab Maliki

Sementra itu Imam Malik ibn Anas yang tinggal di Madinah sebagai pusat
dakwah Nabi dan tempat beredarnya hadis serta masyarakatnya yang tidak semaju
daerah Kufah, nampaknya tidak sulit untuk mendaptkan hadis guna menyelesaikan
berbagai masalahDalil yang digunakan imam Malik dalam menetapkan hukum
adalah: al- Qur’an, al- Sunnah, Qiyas, al- Maslahah al- mursalah.

3. Madzhab Syafi’i

Madzhab ini mengikuti Imam Syafi’i. Beliau adalah murid Abu Hanifah dan
Imam Malik. Beliau membina mazabnya antara ahli ra’yi dan ahli hadith (moderat),
meskipun dasar pemikirannya lebih dekat kepada metode ahlu al-hadith. Dalil yang
digunakan al- Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah: al- Qur’an, al- Sunnah, Ijma’,
pendapat sahabat yang tidak diketahui tidak adanya perselisihan di antara mereka,
pendapat yang terdapat perselisihan di dalamnya serta Qiyas.

4. Madzhab Hanbali

Imam Ahmad ibn Hanbal pernah berguru kepada Abu Yusuf Imam Syafi’i. Ia
lebih banyak menitikberatkan kepada hadith dalam berijtihad dan tidak menggunakan
ra’yu dalam ijtihad, kecuali dalam keadaan darurat, yaitu ketika tidak diketemukan
hadith. Dalil yang digunakan Ahmad ibn Hambal dalam menetapkan hukum adalah:
al- Qur’an, al- Sunnah, pendapat sahabat yang tidak mendaptkan tentangan dari

6
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 302
sahabat yang lain, pendapat seseorang atau sahabat yang sesuai dengan al- Qur’an dan
Sunnah, hadis Mursal dan qiyas dalam keadaan terpaksa7

5. Madzhab Dzahiri

Madzhab ini adalah pengikut Imam Daud ibn Ali (202H-270H). Dia adalah
murid Imam Syafi’i dan kemudian membentuk madzhab sendiri yang dikenal dengan
madzhab al-Dzahiri. Madzhab ini lebih cenderung kepada dzhahir nash dan menolak
pemakaian qiyas dan ijma’.

6. Syiah Zaidiyah

Syiah Zaidiyah ini adalah pengikut Zaid ibn Ali zainal Abidin (80H-122H). Ia
tidak meninggalkan usulnya dan tidak pula meriwayatkan metode-metode yang
ditempuhnya secara tegas dan jelas, apakah Zaidiyah berusaha menyusun usul yang
mereka petik dari hukum-hukum furu’ yang ditetapkan Zaid, seperti yang dilakukan
golongan Hanafiyah.8 Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa, mujtahid mutlak
hanya Abu Hanifah saja. Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan dan Zufar, bukan mujtahid
mutlak, karena mereka hanya mengambil usul-usul yang ditetapkan oleh Abu Hanifah.

7. Syiah Imamiyah

Madzhab ini juga biasa disebut madzhab syiah Itsna Asyariyah (syiah dua
belas), karena mereka mempunyai 12 orang imam nyata (Imam Dhahir). Dimana
urutannya adalah; Ali ibn Abi Tahlib, Hasan, Husayn, Ali zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja’far Shadiq, Musa al-Kazhim, Ali al-Ridham Muhammad al-jawwad, Ali
al-Hadi, Hasan ibn Muhammad Asykari, dan Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar.

8. Madzhab al-Auza’iy

Pendirinya Abu ‘Amr Abd Rahman ibn Muhammad al-Auza’iy lahir di


Ba’labaka (Syiria) tahun 88 H, dan wafat pada tahun 157 H. Al-Auza’iy termasuk
tokoh hadith yang tidak menyukai qiyas, orang-orang Syam bahkan Hakim Syam

7
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam , 303
8
Hasbi al-Siddiqi, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997), 74.
mengikuti madzhabnya. Kemudian madzhab al-Auza’iy pindah ke Andalusia bersama
orang-orang yang memasukinya dari pengikut bani Umaiyyah, kemudian madzhab ini
surut dihadapan madzhab al-Syafi’i di Syam dan dihadapan madzhab Maliki di
Andalusia pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah.9

9. Madzhab al-Thabary.

Pendiri madzhab ini ialah Abu Ja’far ibn Jarir al-Thabary (224H-320H). Beliau
terkenal sebagai seorang mujtahid, ahli sejarah dan tafsir. Beliau mempelajari fiqh al-
Syafi’i dan Malik serta madzhab aliran ahli ra’yu yaitu madzhab hanafi, kemudian
membentuk madzhab sendiri yang berkembang di Bagdad. Di antara pengikutnya
adlah Abu al-Faraj al-Ma’afa al-Nahrawani. Tetapi mahzabnya surut pada pertengahan
abad ke -5 Hijriyah. Walau madzhabnya tidak berkembang, namun ia telah
meninggalkan kitab-kitab yang menjadi literatur penting bagi umat islam. Di
antaranya adalah Tarikh al-Thabary, Tafsir al-Thabary, dan Ikhtilaf al-Fuqaha, al-
Latif, al-Basit, al-Athar dalam bidang fiqh.10

10. Madzhab al-Laits.

Pembangun madzhab ini Abu al-Harits al-Laitsi ibn Sa’ad al-Fahmy, wafat
tahun 174 H. Al-Laits terkenal sebagai ahli fiqh di Mesir. Al-Syafi’i mengakui bahwa
al-Laits ini lebih pandai dalam soal fiqh dari pada Malik. Akan tetapi pengikut-
pengikutnya tidak bersungguh-sungguh mengembangkan madzhabnya sehingga
lenyap pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah.11

C. Sebab-sebab Yang Menimbulkan Perbedaan Hasil Ijtihad

Menurut Abdul Wahab Khalaf, perbedaan penetapan hukum tersebut


berpangkal pada tiga persoalan; (1). Perbedaan mengenai penetapan sebagian sumber-
sumber hukum (sikap dan cara berpegang pada sunah, standar periwayatan, fatwa

9
Ibib , 81. Lihat juga Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, 75
10
Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, 78
11
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan, 82.
sahabat, dan qiyas); (2). Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari
tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu) dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-prinsip
bahasa dalam memahami nash-nash shari’at ( uslub bahasa).12

a. Perbedaan dalam memahami al-qur’an dan al-sunnah.


Perbedaan dalam memahami kedua nas tersebut disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengertian lafadz (kata)
- Lafadz yang berbentuk mushtarak (mempunyai arti lebih dari satu).
Contohnya, kata “nikah” dalam surat al-Nisa’ ayat 22. Hanafi memilih arti
“bersetubuh”, karena itu haram bagi anak mengawini wanita yang dizinai
ayahnya. Sedang Syafi'i memilih arti “akad”, sehingga persetubuhan melalui
zina tidak menyebabkan wanita yang dizinai oleh ayah haram anak hasil
zinanya.
- Lafadz yang berbentuk Hakiki , atau juga dapat berarti Majazi.
Misalnya,dalam surat al-Maidah ayat 33 mengenai kata-kata “yunfaw”
(dibuang). Hanafi memahami dengan arti Majazi dengan “dipenjara”,
sedangkan Syafi'i memilih arti Hakiki, dengan “dibuang” atau diusir ke
negara lain.
2. Perbedaan yang terkait dengan ayat-ayat yang tampak bertentangan.
- Naskh (menghapus) ketentuan yang lalu dengan ketentuan yang datang
kemudian (QS. al-Baqarah: 106,144). Ketika Nabi di Madinah salat
menghadap Bait al-Maqdis selama 16/17 bulan. Lalu Allah menghapus
ketentuan baru bahwa salat harus menghadap Ka’bah (al-Baqarah: 144).
Sebagian ulama mempergunakan metode naskh ini dan sebagian yang lain
tidak dengan alasan bertentangan dengan surat al-Fussilatatau Hamim al-
Sajdah ayat 42.
- Tarjih, yaitu memilih dalil yang lebih kuat. Misalnya Imam Hambali
mendahulukan hadis do’if dari pada qiyas

12
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam, terj. Wajidi Sayadi,
( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 92.
- Takhsis al-‘Am, misalnya bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya
adalah selama 4 bulan 10 hari (al-Baqarah: 234), kemudian ayat tersebut di
takhsis dengan ketentuan bahwa iddahnya adlah setelah ia melahirkan
anaknya (al-Talaq: 4).
- Taqyid al- Mutlaq. Misalnya, artinya.Seperti kata raqabah (hamba sahaya)
pada al-Qur'an surah an-Nisa: 92
ٓ‫ى ٓ أَهۡلِ ِهۦ‬ ٔٗ َ‫َو َما َكانَ لِ ُم ۡؤ ِم ٍن أَن يَقۡتُ َل ُمؤۡ ِمنًا إِاَّل َخ ٗطَٔۚا َو َمن قَتَ َل ُمؤۡ ِمنًا خ‬
ٰ َ‫ ُّم َسلَّ َمةٌ إِل‬ٞ‫طَا فَتَحۡ ِري ُر َرقَبَةٖ ُّمؤۡ ِمنَةٖ َو ِديَة‬
ۡ‫ فَتَحۡ ِري • ُر َرقَبَةٖ ُّمؤۡ ِمنَةٖۖ َوإِن َك••انَ ِمن قَوۡ ِۢم بَيۡنَ ُكم‬ٞ‫واۚ فَ •إِن َك••انَ ِمن قَوۡ ٍم َع• ُد ّوٖ لَّ ُكمۡ َوهُ • َو ُمؤۡ ِمن‬ ْ ُ‫ص • َّدق‬َّ َ‫إِاَّل ٓ أَن ي‬
ِ َ‫ى ٓ أَهۡلِ ِهۦ َوتَحۡ ِري ُر َرقَبَةٖ ُّمؤۡ ِمنَةٖۖ فَ َمن لَّمۡ يَ ِجدۡ ف‬
َ‫ص •يَا ُم َش •هۡ َريۡ ِن ُمتَتَ••ابِ َعيۡ ِن تَوۡبَةٗ ِّمن‬ ٰ َ‫ ُّم َسلَّ َمةٌ إِل‬ٞ‫ق فَ ِديَة‬
ٞ َٰ‫َوبَيۡنَهُم ِّميث‬
‫ٱهَّلل ِۗ َو َكانَ ٱهَّلل ُ َعلِي ًما َح ِكيمٗا‬
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”.13

Jadi kata-kata hamba sahaya disebutkan dengan batasan “mukmin”, dan


dengan demikian kata mukmin menjadi kata-kata muqayyad. Kemudian kata-
kata tersebut disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Mujadilah:3 tanpa batasan
(qayyid).

ُ ‫َح ِري ُر َرقَبَةٖ ِّمن قَبۡ ِل أَن يَتَ َمآسَّاۚ َذٰلِ ُك ۡم تُو َعظُ••ونَ بِ ِهۦۚ َوٱهَّلل‬ ْ ُ‫َوٱلَّ ِذينَ يُظَٰ ِهرُونَ ِمن نِّ َسآئِ ِهمۡ ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَال‬
ۡ ‫وا فَت‬
ٞ‫بِ َما تَعۡ َملُونَ خَ بِير‬
13
QS. an-Nisa ayat 92.
“Mereka yang menzhihar istri mereka, Kemudian menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur”. 14
3. Berbeda pandangan apakah nas itu bersifat ta’abbudi atau ta’aqquli. Misalnya
apakah najis anjing harus dicuci dengan debu atau dengan sesuatu yang fungsinya
sama dengan debu yaitu membersihkan seperti karbol atau detergen. Kalau
dianggap ta’abbudi, maka harus pakai debu. Dan jika dipandang sebagai
ta’aqquli, maka boleh dengan yang lain asal fungsinya sama.
b. Perbedaan dalam status hadis
Para mujtahid belum sepakat tentang kreteria hadis yang diterima dan ditolak.
Misalnya, hadis tentang membaca basmillah dalam wudhu. Imam Ahmad
mewajibkan, sedangkan ulama yang lain hanya mensunnahkan.
c. Perbedaan kemampuan mujtahid, kecerdasan dan ta’assub (fanatik)serta
kecenderungan pengaruh hawa nafsu, sehingga hasil ijtihad menjadi
berbeda.15
d. Perbedaan cara penyelesaian kasus berdasarkan model ijtihad
1. Tentang Ijma’. Mereka berbeda tentang masalah pelaku ijma’. Perbedaan itu
terkait apakah ijma’ siapakah yang dapat dijadikan hujjah. Sebagian berpendapat
ijma’ Sahabat, yang lain berpendapat ijma’ Ahl- al- Bait dan adapula yang
berpendapat bahwa ijma’ Ahli Madinah.16
2. Tentang Qiyas. Ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber
hukum, sedangkan mujtahid yang lain menerima Qiyas sebagai sumber hukum
sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ .17
Walaupun juga terdapat perbedaan dalam hal-hal yang patut dijadikan illat
hukum sebagai dasar penetapan hukum dalam qiyas.

14
QS. al-Mujaadilah ayat 3.
15
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2005), 203-206
16
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 150
17
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentukan , 95.
Sebagai contoh mengenai perkawinan gadis yang masih di bawah umur,
yang berpangkal pada peristiwa Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim:

“Bahwa Nabi saw. kawin dengan Aisyah berumur enam tahun, kemudian
tinggal bersama ketika berumur sembilan tahun”.

Dari riwayat tersebut kita ketahui, bahwa Abu Bakar ra. mengawinkan
Aisyah ketika masih dibawah umur tanpa persetujuannya. Hal ini telah
disepakati oleh para fuqaha. Tetapi terjadi perbedaan tentang illat hukumnya,
apakah karena di bawah umur ataukah karena kegadisannya.

Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah, illatnya adalah


“kegadisan”. Alasannya, bahwa yang mendorong syara’ memberikan wewenang
kepada ayah, karena anak gadis tersebut tidak mengetahui sebenarnya tentang
perkawinan. Oleh karenanya urusan nikahnya diserahkan kepada yang
berkepentingan, yaitu ayah atau kakek. Namun tujuan diberikan kewenangan
tersebut oleh syara’ tidak nyata dan terang batas-batasnya. Karena itu penetapan
hukum tersebut dipertalikan dengan illat yang tampak dan terang batas-batasnya,
yaitu “kegadisan”.

Menurut Hanafiyah, illatnya adalah “di bawah umur”. Dimana ulama


Hanafiyah berpendapat, bahwa dalam usia yang demikian diperkirakan akal
pikirannya belum cukup matang dalam urusan nikah dengan akibat-akibatnya
tidak diketahuinya. Jadi “di bawah umur” inilah yang menjadi illat, bukan
“kegadisan”. Sebab tidak semua anak gadis tidak mengetahui mengetahui urusan
nikah, seperti halnya gadis dewasa yang telah mengetahui masalah nikah.18

18
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.
BAB III

FATWA DAN PERUBAHAN FATWA

A. Pengertian dan Fleksibilitas Fatwa

Secara bahasa fatwa bisa diartikan sebagai jawaban atas sebuah permasalahan
(al-jawab ‘an al-amr al-musykil) atau bisa diartikan sebagai penjelasan atas
permasalahan hukum (tabyin ‘an al-musykil min al-ahkam). Ali al-Jurjany cenderung
mendefinisikan fatwa langsung dengan redaksi penjelasan hukum atas suatu
permasalahan hukum (bayan hukm al-mas’alah). Kisah yang tertuang dalam surat
Yusuf:43 tentang penggunaan redaksi “aftuny”, derivasi (musytaq) dari fatwa,
semakin meneguhkan makna fatwa sebagai jawaban atas sebuah permasalahan.

Sedangkan dalam istilah, Ash-Shiddiqy mengemukakan fatwa adalah


menjawab sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas hukumnya. 19 Menurut Dabon
menjelaskan tentang fatwa, ialah penjelasan mengetahui hukum dan agama, sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan.20

Maka dapat disimpulkan bahwa fatwa adalah penjelasan tentang hukum


agama yang berkaitan dengan pertanyaan, peristiwa maupun fenomena yang tidak
begitu jelas hukumnya. Karena menurut kenyataannya, memberikan fatwa pada
dasarnya adalah menyampaikan hukum Allah kepada manusia, di mana didasarkan
pada tujuan shari’ah (al-maqashid al-shari’ah). Fatwa merupakan hasil dialogis
antara penanya tentang sebuah masalah dengan pakar hukum Islam (dalam hal ini
mufti). Menelisik posisi fatwa inilah, urgensitas fatwa bisa diketahui. Bahwa, dialog
legal-formal itu menjadi sebuah jembatan untuk mengurai dan menjelasjabarkan
hukum Allah sesuai dengan pertanyaan penanya mengenai hukum tertentu. Uniknya,
karena lebih bersifat respons terhadap realita yang dipertanyakan, fatwa memiliki
beberapa perbedaan praktis saat disandingkan dengan hasil pemikiran hukum Islam
yang lain.
19
Ash-Shiddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, 86
20
Oxford University Press, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N., dkk (Bandung: Mizan,
2002), 46.
Sebagai bagian dari pemikiran hukum Islam yang memiliki ruang lebih
dinamis, fatwa sering kali menawarkan eksistensinya. Hal ini bukan saja terkait
pembumian hukum Islam atas sebuah realita, namun jauh dari itu semua, keberadaan
syariat Islam yang mengatur kehidupan umat Islam ternyata memiliki visi yang
berada di luar batas teritorial dan ruang waktu. Syariat Islam perlu memiliki sebuah
instrumen yang menjadikan syariat diterima di segenap wilayah dunia.

Pada dasarnya, umat Islam percaya bahwa syariat Islam diperuntukkan untuk
seluruh umat manusia, sehingga tepat sekali maksud firman Allah dalam Surat al-
Anbiya: 107:

َ َٰ‫َو َمآ أَ ۡر َسلۡن‬


َ‫ك إِاَّل َرحۡ َمةٗ لِّلۡ َٰعلَ ِمين‬
“dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”
Pernyataan Allah dalam ayat tersebut meneguhkan kembali bahwa visi nabi
Muhammad dengan risalah yang diemban sebenarnya melunturkan sekat teritorial
Islam, dengan segenap perangkat nilai yang disampaikan oleh Nabi Muhammad,
diperuntukkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Oleh karena peruntukan syariat yang telah dirancang-bangunkan untuk
seluruh umat manusia di mana pun berada dan untuk bentang waktu yang sangat
panjang inilah, hukum Islam semestinya tidak menjadi stagnasi (rigid, jumud) dan
bahkan akan selalu bersifat dinamis. Karakter dinamis ini pula yang menjadikan
fatwa, sebagai respon atas realita yang penuh dengan varian dan disparitas, menjadi
bagian yang melengkapi segenap bangunan syariat Islam. Hal ini tidak lain karena
fatwa memiliki karakter dinamis yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk
pemikiran hukum Islam yang lain.
Untuk mencermati dinamisasi hukum Islam, khususnya sebagai legitimasi
atas karakter fatwa yang dinamis dalam merespon realita, paling tidak ada beberapa
dalil dalam memahami dan menerima fleksibilitas fatwa.
Yusuf al-Qaradawy memberikan contoh dinamika hukum Islam yang di
samping sebagai produk, juga diposisikan sebagai rujukan dan inspirasi untuk
memantau pergerakan dan perubahannya.21
Salah satu contohnya ialah dalam kasus al-taqbil (mencium) bagi orang yang
berpuasa dalam hadis di bawah ini:
“Dari Amr bin al-‘As berkata: Kami (para sahabat) sedang berada di samping
Rasulullah, kemudian datang seorang pemuda yang bertanya pada Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, apakah saya (boleh) mencium (isteri saya) sementara saya
dalam kondisi berpuasa?. Nabi menjawab, “jangan”. Beberapa saat kemudian
datang seorang lagi yang sudah berumur tua, dan bertanya “Wahai Rasulullah,
apakah saya (boleh) mencium (isteri saya) sementara saya dalam kondisi
berpuasa?” Nabi menjawab “Iya (boleh)”. Kami (para sahabat) lalu saling
pandang hingga Rasulullah pun bersabda, “saya memaklumi saling pandang kalian
(atas jawabanku ini) bahwa sesungguhnya orang yang sudah berurmur mampu
mengendalikan dirinya”.22
Kendati validitas sanad tidak disepakati, namun muatan inti dari hadis
tersebut dapat menjadi salah satu inspirasi bahwa Nabi Muhammad memberikan
sebuah tauladan untuk menerapkan dinamisasi penerapan Hukum Islam dengan
melihat konteks, termasuk situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi.

B. Konsep Instrumen Perubahan Fatwa

Pada pembahasan yang berkaitan dengan pijakan argumentatif mengenai


dinamika Hukum Islam di atas sudah teruraikan, pemahaman pada taraf selanjutnya
membawa pada signifikansi yang cukup tinggi mengenai fleksibilitas fatwa.

Sebagai produk hukum yang merupakan respons atas realita, fatwa memiliki
kecenderungan berubah lebih besar. Dalam menjelaskan hal itu, Yusuf al-Qaradawy
mempunyai konsep tersendiri mengenai istrumen perubahan fatwa yang dirumuskan
dalam sepuluh instrumen. Kesepuluh hal tersebut,adalah:

Yusuf al-Qardawy, Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi Asrina, cet II (Mesir: Dar al-Shuruq,2011), 28-31
21

Ahmad bin Hambal Abu 'Abdillah al-Shayban , Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz II (Kairo:
22

Muassasat Qurtubah, t.th), 220


a. Perubahan Tempat (taghayyur al-makan)
b. Perubahan Zaman (taghayyur al-zaman)
c. Perubahan Keadaan (taghayyur al-hal)
d. Perubahan ‘Urf (taghayyur al-‘urf)
e. Perubahan Informasi/Pengetahuan (taghayyur al-ma’lumat)
f. Perubahan Kebutuhan Manusia (taghayyur hajat al-nas)
g. Perubahan Kemampuan Manusia (taghayyur qadrat al-nas wa imkanatihim)
h. Perubahan Situasi Sosial, Ekonomi, dan Politik (taghayyur al-auda’ al-
ijtimaiyyah, wa al-iqtisadiyyah, wa al-siyasiyyah)
i. Perubahan opini dan pemikiran (taghayyur al-ra’y wa al-fikr).
j. Bencana umum (umum al-balwa)

Pada 10 instrumen tersebut, Yusuf al-Qaradawy bukan saja memberikan


landasan argumentasi terhadap instrumen ini menyebabkan fatwa berubah, namun dia
juga memaparkan contoh agar jabaran instrumen perubahan ini difahami dan dijadikan
pondasi yang kokoh untuk fleksibilitas fatwa.

a. Perubahan Fatwa sebab Perubahan Tempat


Perubahan ini tak lain dikarenakan beberapa hal yang terdapat di suatu
tempat, tidak ditemukan di tempat lain. Atau, kondisi masyarakat di suatu daerah
tertentu memiliki perbedaan dengan masyarakat di daerah yang lain. Oleh karena
itulah, mengingat karakter fatwa yang merupakan respon hukum atas suatu
realitas permasalahan, maka diferensiasi teritorial menjadi hal yang perlu
diperhatikan. Pemahaman mengenai tempat ini merupakan salah satu upaya dalam
mengetahui lebih baik tentang realitas yang sebenarnya. Beberapa kasus hukum
yang memungkinkan berubah disebabkan oleh perubahan atau perbedaan tempat,
di antaranya:
- Perbedaan penduduk pedusunan/desa (al-Badwi, al-a’rab) dan Penduduk
urban (al-Hadar)
- Perbedaan Daerah Panas dan Dingin.
- Perbedaan tempat berdasarkan status Dar al-Islam dan Dar Ghayr al-Islam
b. Perubahan fatwa sebab Perbedaan Waktu

Perbedaan waktu, atau masa, dalam kaitannya dengan diskursus fatwa ini
tentu saja bukan semata karena perubahan hari, bulan ataupun tahun. Akan tetapi
perubahan waktu yang dimaksud dalam kajian ini merupakan perubahan sifat
manusia yang hidup saat ini, misalnya, dengan orang-orang yang hidup pada masa
lampau. Perbedaan masa ini sangat terkait dengan karakter manusia yang berubah,
terlebih perubahan ini memiliki grafik karakter yang cenderung menurun.

c. Perubahan Fatwa sebab Perubahan Keadaan (al-hal)

Keadaan yang dimaksud dalam instrumen ini merupakan keadaan di saat


hukum yang terdapat dalam fatwa akan diterapkan. Mempertimbangkan keadaan
yang tengah terjadi merupakan salah satu kebijaksanaan ahli hukum dalam
menerapkan hukum. Hal ini bukan saja terkait dengan kebenaran hukum yang
akan disampaikan, namun juga akan selalu bersinggungan dengan ketepatan
hukum saat diterapkan. Misalnya dalam keadaan sehat dan sakit, safar dan mukim,
perang dan damai, dan lain sebagainya.

d. Perubahan Fatwa karena Perubahan Adat atau Kebiasaan (al-‘urf).


Kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat tertentu terkadang tidak bisa
serta merta menjadi sesuatu yang mematenkan fatwa. Karena keberadaan hukum
sendiri seringkali terkait erat dengan kultur di mana hukum tersebut akan
diterapkan. Beberapa hal yang bisa menjadi argumentasi bahwa kebiasaan atau
adat yang berubah akan memungkinkan bahkan mengharuskan fatwa berubah.
e. Perubahan Fatwa karena Perubahan Pengetahuan (al-ma’lumat)

Perubahan pengetahuan merupakan salah satu instrumen yang


menyebabkan fatwa memungkinkan untuk berubah. Perubahan pengetahuan ini
ada kalanya berupa pengetahuan yang syar’i, adakalanya pengetahuan yang
mengenai peristiwa kehidupan kekinian.23 Di antara perubahan pengetahuan yang
bersifat shar’i adalah perubahan pengetahuan tentang status hadis tertentu.

Yusuf al-Qardawi, Mujibat, 69


23
Semisal seorang pakar agama mengeluarkan fatwa dengan melandasi hadis
tertentu, namun kemudian setelah melalui uji klarifikasi dan validitas hadis
ternyata diketahui bahwa hadis tersebut lemah, maka fatwa pun akan berubah.

f. Perubahan Fatwa karena Perubahan Kebutuhan Manusia (hajat al-nas)


Perbedaan kebutuhan manusia juga menjadi salah satu instrumen dalam
perubahan fatwa.
g. Perubahan Fatwa akibat Perubahan kemampuan manusia (qudrat al-nas wa
imkanuhum)

Perubahan kemampuan manusia ini merupakan perkembangan yang telah


dicapai oleh manusia, yang menjadikan manusia mempunyai kemampuan yang
lebih baik dibandingkan dengan kemampuan yang ada pada masa lalu. Beberapa
bidang yang memiliki perkembangan yang signifikan tersebut membuat manusia
memiliki kemampuan leboh baik di beberapa bidang seperti sains, teknologi,
biologi, ruang angkasa, komunikasi, nuklir dan sebagainya.24 Di antara beberapa
perubahan kemampuan manusia yang memungkinkan merubah hukum adalah
perkembangan kemampuan komunikasi terkait hadis tentang larangan datang di
malam hari.

h. Perubahan situasi sosial, ekonomi, dan politik

Dalam merespon realita hukum seringkali fatwa juga tidak bisa dikesampin
gkan dengan realita sosial di mana masyarakat hidup, dengan realita ekonomi di
mana masyarakat mencukupi kebutuhan hidup, serta dengan realita politik di mana
masyarakat diatur kehidupannya. Fatwa yang terbentuk akibat suatu kondisi sosial
tertentu, keadaan perekonomian tertentu, atau situasi politik tertentu, tentu saja
akan memiliki fleksibilitas untuk berubah manakala unsur dan instrumen yang
membentuk fatwa tersebut juga berubah.

i. Perubahan fatwa akibat perubahan opini dan pemikiran (al-ra’y wa al-fikr)

Ibid, 81
24
Sebagaimana perubahan yang terjadi dalam perubahan pengetahuan dapat
menjadikan fatwa berubah, perubahan yang terjadi dalam pemikiran seseorang pun
turut serta dalam perubahan fatwa.
k. Bencana umum (umum al-balwa)
Di antara beberapa hal yang bisa dikatagorikan sebagai umum al-balwa
adalah kepala yang te rbuka/tidak memakai penutup kepala serta makan di jalan
kualifikasi sifat adil seseorang.

C. Fatwa Dari Masa ke Masa

Setelah Nabi Muhamamad Saw., wafat, tugas-tugas berfatwa tersebut


dilanjutkan oleh para sahabatnya, fatwa tersebut kemudian dikenal dengan “fatwa
ṣahaby”. Pada masa ini materi fatwa dibagi kepada 2 bentuk, yaitu: 1. Fatwa yang
materinya merupakan pengulangan kembali penjelasan-penjelasan dari al-Qur’ān dan
Sunnah. 2. Fatwa yang materinya merupakan hasil ijtihad para sahabat. Bentuk inilah
yang kemudian disebut sebagai “fatwa ṣahaby”.25

Setelah masa sahabat berakhir, kegiatan berfatwa dilanjutkan oleh tabi'in. Era
tabi'in yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masa peralihan kekuasaan
pemerintahan ke tangan Bani Ummayah yang dipimpin oleh Mu'awiyah ibn Abī
Sofyān sampai kurun waktu abad 2 (dua) hijriah berakhirnya kerajaan Bani
Ummayyah (Al-Asyqar, 'Umar Sulaymān, 1982: 80). Generasi ini adalah mereka yang
sempat berguru kepada tokoh-tokoh keilmuan dari generasi sahabat. Proses
transformasi keilmuan yang berlaku antara sahabat dan tabi'in terjalin berdasarkan
metode periwayatan (nuqil), baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara umum fatwa dan perundangan pada era tabi'in masih hampir sama
dengan apa yang berlaku pada masa sahabat. Mereka masih berpegang pada kaedah
ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat yakni pertama merujuk pada al-Qur’ān
kemudian Sunnah dan Ijtihad para sahabat, barulah kemudian ber-ijtihad sendiri
apabila tidak ditemui jawaban dari sumber-sumber tersebut. Meskipun mereka

Muhlis, Kedudukan Fatwa Dalam Islam, (www.arsip.badilag.net/data/artikel/fatwa%20dalam


25

%20islam.pdf)
mengikatkan diri dengan metodologi para sahabat, namun kadang-kadang mereka
menggunakan al-ra'yu dalam membuat keputusan hukum dan fatwa. Terlebih jika
menghadapi perubahan dan fenomena baru dalam masyarakat.

Setelah masa tabi'in, fatwa berkembang melalui para imam-imam mujtahid dan
pengikutnya. Pada masa ini masalah-masalah fiqh mulai dibukukan. Masalah-masalah
yang dibukukan merupakan formulasi dari persoalan yang telah ditetapkan dalam al-
Qur’ān dan hadith, fatwa sahabat dan fatwa-fatwa mujtahidin sebagai hasil ijtihad
mereka pada waktu itu. Permasalahan-permasalah fīqh pada waktu itu
disistematikakan dengan baik, sehingga memudahkan pembaca mencari masalah yang
diinginkan.

Secara tidak langsung merupakan proses penyerapan fatwa ke dalam kitab fiqh
melalui proses yang panjang seperti mengumpulkan, menyunting, dan mengikhtisar
fatwa-fatwa primer untuk dimasukkan ke dalam koleksi-koleksi yang tidak terkait
denagn fatwa dari para mufti tertentu, namun hanya mengumpulkan bahan-bahan
fatwa untuk membentuk sebuah karya fikih. Abū al-Lais alSamarqandī dan al-Nāṭifī,
misalnya, konon mengumpulkan dalam karya-karya mereka, Kitāb al-Nawāzīl dan
Majmu'āt al-Nawazīl wa al-Wāqi'āt, fatwa-fatwa dari para imam maẓhab dan juga
fatwa-fatwa dari para mufti seperti Muḥammad ibn Syuja' al-Ṭaljī, Muḥammad ibn
Muqātil al-Rāzī dan Ja'far ibn 'Alī al-Hinduwānī (Rusli, 2011: 275).

Perkembangan fatwa selanjutnya adalah pada era modern ditandai dengan


munculnya para ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qarḍawi dan Wahbaḥ Zuhaili.
Qarḍawi,misalnya, dalam mengeluarkan fatwa bertumpu pada hal-hal berikut; a) tidak
fanatik atau taqlid, namun demikian ia tetap menghormati kepada para imam maẓhab
dengan cara menggunakan motode dan cara pandang mereka, tidak mengemukakan
pendapat tanda dalil yang kuat, mampu men-tarjih yang paling kuat, b).
mempermudah tidak mempersulit, c) berbicara dengan bahasa yang mudah
dimengerti, d) berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat, e) bersikap pertengahan
tidak memperlonggar dan memperketat, f) memberikan hak fatwa yang berupa
keterangan dan penjelasan. Kemudian Waḥbah Zuhaili, dalam fatwanya memiliki
karakteristik sebagai berikut; a) terlebih dahulu melakukan kajian terhadap naṣ , b)
Apabila tidak menemukan hadith dari masalah yang sedang dikajinya ia menggunakan
hadith 'amaliyah atau taqririyah sebagai dalil, c) jika dari kedua sumber tersebut tidak
ditemukan, Waḥbah Zuhaili memperhatikan pendapat-pendapat ulama dengan
memperhatikan keabsahan hadith yang dijadikan dalil para ulama tersebut, d)
melakukan tarjīḥ terhadap pendapat yang mengacu pada sandaran yang ṣahīḥ.26

Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya
menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat, khususnya
masyarakat yang memang mengharapkan keberadaannya. Taujîh, yakni memberikan
guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang permasalahan
agama yang bersifat kontemporer. Fungsi tabyin dan tawjih fatwa terikat dalam fungsi
keulamaan, sehingga fatwa syar’iyah yang telah dikeluarkan sejak generasi
sahabat,tabi’in, tabiut tabi’in dan generasi sesudahnya hingga generasi ulama
sekarang.

Karakteristik fatwa klasik lebih bersifat individual dan mandiri, kemudian


dalam era mazhab fatwa-fatwa yang dibuat berada dalam lingkup mazhab fiqh
tertentu. Sedangkan fatwa kontemporer sering bersifat lintas mazhab atau paduan
(taufîq) antar mazhab-mazhab. Pendekatan ini seiring dengan berkembangnya kajian
perbandingan antara mazhab. Adapun fatwa-fatwa yang terjadi saat ini, ada yang
merupakan fatwa fardiah (individual), tetapi lebih banyak yang bersifat konsultatif,
koneksitas atau kadang bersifat kolektif dan melembaga seperti fatwa organisasi
kemasyarakatan. Fatwa kontemporer tidak lagi sebatas jawaban atas pertanyaan,
melainkan merupakan respon aktif dari Lembaga keagamaan seperti MUI, serta
organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah. Misalnya fatwa tentang ekonomi
Syariah oleh DSN-MUI. 27

D. Beberapa Kitab Fatwa

Berikut adalah kitab-kitab fatwa yang memuat berbagai persoalan praktis yang
dialami manusia.
26
Faridatus Suhadak, Urgensi Fatwa dalam Pekembangan Hukum Islam, (de Jure, Jurnal Syariah dan
Hukum, Vol 5 No 2, Desember 2013) h. 189-196).
27
Rusli, Tipologi Fatwa di Era Modern, (Hunafa: Jurnal Studi Islamika Vol 8 No 2: 2011) 269-306.
Kitab-kitab fatwa dalam mazhab Hanafi antara lain al-Fatawa al-Kubra, al-
Fatawa ash-Shughra, al-Bazaziyah, ath-Thuhriyyah, az-Zainiyyah, al-Hamiddiyah
dan al-Fatawa al-Hindiyyah wal-Mahdiyyah.

Fatwa-fatwa dalam mazhab Syafii terkumpul dalam kitab-kitab fatwa karya


Ibnu as-Shalah, an-Nawawi, as-Subki, asy-Syekh Zakaria, Ibnu Hajar al-Haitsami, dan
lainnya.

Kitab-kitab kedua mazhab ini (Hanafi dan Syafii) banyak sekali jumlahnya. Di
antaranya dapat dilihat dalam Kasyf az-Zhunun. Sedangkan kitab-kitab fatwa dalam
mazhab Maliki, antara lain Fatawa Ibnu Rusyd, Fatawa asy-Syathibi, dan Mausu'ah
(ensiklopedia) karya al-Wansyarisi yang diterbitkan dalam 12 jilid.

Semua mazhab panutan memiliki kitab-kitab fatwa, baik yang ringkas maupun
yang luas, yang kadang-kadang diistilahkan dengan Kitab an-Nawazil atau lainnya.

Kitab an-Nawazil merupakan buku kumpulan fatwa tertua yang pernah


diketahui. Kitab yang disusun oleh Abu Laits as-Samarqandi (wafat 983 M) itu
memuat fatwa yang bertautan dengan mazhab Hanafi. Secara geografis, mazhab fikih
mencakup sejumlah wilayah. Di Barat, yakni Andalusia dan Afrika Utara, mazhab
Maliki mendominasi. Salah satu kitab tertua kumpulan fatwa menurut mazhab Maliki
berasal dari mufti Cordoba, Ibn Sahl (wafat 1093 M), yakni Kitab an-Nawazil.
Kemudian, yang dikumpulkan Ibn Rusyd (wafat 1126 M) yaitu Fatawa Ibn-Rusysd.

Kitab al-Mi'yar disusun Ahmad al-Wansharisi (wafat 1508 M) tergolong kitab


klasik yang menampung sekitar enam ribu fatwa dari ratusan mufti yang hidup di
rentang waktu 1000-1496 Masehi di Maghribi hingga Andalusia.

BAB III

PENUTUP
1. Madzhab adalah dasar pemikiran yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam
memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Di mana madzhab
mencakup;(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam
mujtahid; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariqah) yang ditempuh mujtahid
itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
2. Munculnya madzhab, sebagai akibat dari proses sejarah perluasan wilayah Islam
dan tersebarnya para sahabat di berbagai daerah yang berbeda kondisi dan adat
istiadat yang memerlukan cara yang berbeda dalam penetapan hukum
3. Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/madzhab, dikarenakan cara pandang
yang berbeda dalam menganalisa sebuah nas al-qur’an dan hadis, ijma’ dan qiyas.
4. Fatwa adalah penjelasan tentang hukum agama yang berkaitan dengan
pertanyaan, peristiwa maupun fenomena yang tidak begitu jelas hukumnya. Fatwa
merupakan hasil dialogis antara penanya tentang sebuah masalah dengan pakar
hukum Islam (dalam hal ini adalah mufti).
5. Fatwa menjadi respon atas realita masyarakat yang penuh dengan varian dan
disparitas karena ia selalu bersifat dinamis (tidak jumud).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Husain. Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, Bairut: Dar al- Bayariq, 1995
Ali Hasan, Muhammad. Perbandingan Madzhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Al-Qardawy, Yusuf, Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi Asrina, Mesir: Dar al-Shuruq, 2011

Al-Shayban, Ahmad bin Hambal Abu 'Abdillah. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz
II. Kairo: Muassasat Qurtubah. T.th

Bik, Hudari.Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh.Zuhri, Semarang: Darul Ihya, 1980 Ali
Hasan, Muhammad. Perbandingan Madzhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Khallaf, Abdul Wahhab. Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam, terj.
Wajidi Sayadi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Mahmassani, Sobhi. Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, Bandung: Al-


Ma’arif, 1976

Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta:
Prenada Media, 2005

Muhlis, Kedudukan Fatwa Dalam Islam, (www.arsip.badilag.net/data/artikel/fatwa


%20dalam%20islam.pdf)

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

Al-Siddiqi, Hasbi. Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki

Oxford University Press, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N.
Bandung: Mizan, 2002

Rusli, Tipologi Fatwa di Era Modern, (Hunafa: Jurnal Studi Islamika Vol 8 No 2: 2011)

Suhadak, Faridatus. Urgensi Fatwa dalam Pekembangan Hukum Islam, (de Jure, Jurnal
Syariah dan Hukum, Vol 5 No 2, Desember 2013)

Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos, 1997

www.hayatulislam.net/persoalanseputarmadzhab
Zuhri, Muhammad. Hukum Islam dalam lintasan sejarah, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
1996)

Anda mungkin juga menyukai