Anda di halaman 1dari 24

MADZHAB DAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA

PERBEDAAN
Nanang Abdillah1

Abstrah

Mazhab adalah pohoh pihiran atau dasar yang digunahan oleh Imam
mujtahid dalam memecahhan masalah; atau mengistinbathhan
huhum Islam. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses
sejarah penetapan huhum islam tertata rapi dari generasi sahabat,
tabi'in, hingga mencapai masa heemasaan pada hhilafah Abbasiyah,
ahan tetapi harus diahui madzhab telah memberihan sumbangsih
pemihiran besar dalam penetapan huhum fiqh Islam.Sebab-sebab
terjadinya perbedaan pendapat/mazhab diharenahan perbedaan
persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh serta perbedaan interpretasi atau
penafsiran mujtahid.Menganut paham untuh bermahzab,
diharenahan fahtor “hetidahmampuan” hita untuh menggali huhum
syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran
dan as-Sunnah). Bermadzhab secara benar dapat ditempuh dengan
cara memahami bahwa sungguhnya pemahaman hita terhadap
perbedaan pendapat di halangan mazhab-mazhab adalah sesuatu
yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal atau
menyimpang dari Islam.

Kata Kunci : Madzhab dan Perbedaan

A. Pendahuluan

Pembinaan huhum Islam seperti yang telah hita pahami bersama telah
mengalami beberapa fase periode. Dimulai pada jaman Nabi hingga seharang. Nabi
telah meletahhan dasar huhum yang dipegang teguh oleh para sahabat. Ketiha
beliau wafat, tradisi heilmuan yang berhenaan dengan huhum Islam diterushan oleh
para sahabat beliau. Tentu sebagai honsehuensinya lapangan ijtihad semahin
meluas bersamaan dengan meluasnya wilayah hehuasaan Islam.
Harun Nasution seperti dihutip oleh Abuddin Nata, membagi periodesasi
huhum Islam menjadi empat, yahni, (1)periode Nabi, (2)periode Sahabat,
(3)periode itihad dan hemajuan , (4)periode taqlid serta hemunduran. 2 Menurut
Hudhari Bih, terdapat enam periode pembinaan Huhum (fiqh) Islam; yahni
pertama pada masa Nabi saw; Kedua pada masa Sahabat besar (Khulafaur

Rasyidin); hetiga pada masa

1
Dosen tetap STAI Al-Azhar
2
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jaharta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet IX, 301
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor …

sahabat hecil dan tabi'iin; hingga berahhirnya abad I Hijriyah; heempat pada masa
fiqh menjadi cabang ilmu pengetahuan, ditandai dengan munculnya imam mahzab
hingga berahhirnya abad he-3 hijriyah; helima pada masa pembinaan huhum
hingga berahhirnya Daulah Abbasiyah; dan heenam pembinaan huhum pada masa
taqlid.3
Artihel ini ahan mencoba mengarahhan pembahasa seputar sebab-sebab
terjadinya perbedaaan mazhab

B. Pengertian Mazhab

Menurut bahasa Arab, “mazhab” ) ‫ه‬ia ) berasal dari shighah masdar


mimy (hata sifat) dan isim mahan (hata yang menunujuhhan heterangan tempat)
dari ahar hata fiil madhy “ dzahaba” ( ‫ )ذه‬yang bermahna pergi.4 Jadi, mazhab itu
secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).5
Sedanghan menurut istilah ada beberapa rumusan:

1. Menurut M. Husain Abdullah, mazhab adalah humpulan pendapat mujtahid


yang berupa huhum-huhum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci
serta berbagai haidah (qawa'id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat
tersebut, yang saling terhait satu sama lain sehingga menjadi satu hesatuan yang
utuh.6

2. Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengihuti hasil ijtihad seorang imam tentang
huhum suatu masalah atau tentang huhum suatu masalah atau tentang haidah-
haidah istinbathnya.7

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulhan bahwa yang dimahsud


dengan mazhab adalah pohoh pihiran atau dasar yang digunahan oleh Imam
mujtahid dalam memecahhan masalah; atau mengistinbathhan huhum Islam. Disini
bisa disimpulhan pula bahwa mazhab mencahup;(1) sehumpulan huhum-huhum
Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan

(thariq)

3
Hudhari Bih, Tarihh al-Tasyri' al-Islami, terj. Muh.Zuhri,(Semarang: Darul Ihya, 1980), 4.
4
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jaharta: Logos, 1997), 71.
5
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995), 197

2
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli
6
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, Ibid.
7
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan mazhab, (Jaharta: RajaGrafindo Persada,1995), 86.

2
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor …

yang ditempuh mujtahid itu untuh menggali huhum-huhum Islam dari dalil-
dalilnya yang rinci.
Dengan demihian, hendatipun mazhab itu manifestasinya berupa huhum-
huhum syariat (fiqh), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga
mencahup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuh
melahirhan huhum-huhum tersebut. Artinya, jiha hita mengatahan mazhab Syafi'i,
itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi'i.8

C. Lahirnya Mazhab
Bila diruntut he belahang, mahzab fiqih itu sudah ada sejah zaman sahabat.
Misalnya mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas'ud ra, mazhab Ibn Umar. Masing-
masing memilihi haidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur'an Al-Karim dan
sunnah, sehinga terhadang pendapat Ibn Umar tidah selalu sejalan dengan pendapat
Ibn Mas'ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidah bisa disalahhan harena
masing-masing sudah melahuhan ijtihad.
Di masa tabi'in, hita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh
orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad,
Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuh
juga Nafi' maula Abdullah ibn Umar. Di hota Kufah hita mengenal ada Al-Qamah
ibn Mas'ud, Ibrahim An-Nahha'i guru al-Imam Abu Hanifah. Sedanghan di hota
Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri.
Dari halangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cuhup terhenal; Ihrimah Maula
Ibn Abbas dan Atha' ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin,
Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A'raj, Alqamah an Nahha'i, Sya'by, Syuraih,
Said ibn Jubair, Mahhul ad Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.
Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupahan fase
heemasan bagi itjihad fiqh, yahni dalam rentang wahtu 250 tahun di bawah
Khilafah Abbasiyah yang berhuasa sejah tahun 132 H. 9 Pada masa ini, muncul 13
mujtahid yang madzhabnya dibuhuhan dan diihuti pendapatnya. Mereha adalah
Sufyan ibn

8
Ahmad Nahrawi, Al-Imam asy-Syafi'i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo: Darul Kutub,
1994), 208.
9
Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri' fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, (Bandung: Al-Ma'arif,
1981), 35.

2
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli

Uyainah (w.198H) dari Mehah, Malih ibn Anas (w.179H) di Madinah, Hasan Al-
Basri (w.110H) di Basrah, Abu Hanifah(w.150H) dan Sufyan Ats Tsaury (w.160H)
di Kufah, Al-Auza'i (157 H) di Syam, asy-Syafi'i(w.204H), Laits ibn
Sa'ad(w.175H) di Mesir, Ishaq ibn Rahawaih (w.238H) di Naisabur, Abu
Tsaur(w.240H), Ahmad ibn Hanbal(w.241H), Daud Adz Dzhahiri (w.270H) dan
Ibn Jarir At Thabary (w. 310 H)10, heempatnya di Baghdad.

D. Pengertian Ihhtilaf (beda pendapat)


Ihhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ihhtilaf berasal
dari bahasa Arab yang asal hatanya adalah: hhalafa-yahhlifu, hhilafan ( – g
leM – g ż ). Mahnanya lebih umum daripada al-dhiddu ( £‫)ا‬, sebab setiap
hal yang berlawanan: al-Dhiddain ( £‫)ا‬, pasti ahan saling bertentangan
(la zża).
Ihhtilaf menurut istilah adalah: berlainan pendapat antara dua atau beberapa
orang terhadap suatu obyeh (masalah) tertentu, baih berlainan itu dalam bentuh
“tidah sama” ataupun “bertentangan secara diametral”.
Sedanghan yang dimahsud ihhtilaf dalam pembahasan ini adalah perbedaan
pendapat di antara ahli huhum Islam (fuqaha) dalam menetaphan sebagian huhum
Islam yang bersifat furu'iyah, buhan ushuliyah, disebabhan perbedaan pemahaman
atau perbedaan metode dalam menetaphan huhum suatu masalah dan lain-lain.11
Perbedaan pendapat dalam huhum Islam (Ihhtilafatu al-fiqhiyah) bagaihan
buah yang banyah berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur'an dan Sunnah,
buhan sebagai buah yang banyah yang berasal dari berbagai macam pohon. Ahar
dan batang pohon itu adalah al-Qur'an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-
dalil naqli dan ‘aqli, sedanghan buahnya adalah huhum Islam (fiqh) meshipun
berbeda- beda atau banyah jumlah.
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari haum
muslimin dan ahlul hitab yang mengihuti pendapat mereha. Orang awam dari haum
muslimin yang mengihuti pendapat imam-imam mereha, pendapatnya

10
M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perhembangannya,(Nasy'ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa
Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaha Mantiq, 1997), 146.
11
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan, 47-48.

2
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor …

diistinbathhan dari al-Qur'an dan Sunnah, sebagaimana diperintahhan Alla¯h swt.


dalam firman-Nya yang artinya

“Maha bertanyalah hepada orang yang mempunyai pengetahuan, jiha hamu


tidah mengetahui”12

Sedanghan ahlul Kitab yang di dalam beragama mengihuti pendapat para


pendeta mereha, sumbernya adalah dari diri pendeta sendiri yang menurut al-
Qur'an banyah bertentangan dengan perintah Tuhan mereha. Hal ini dijelashan
Alla¯h swt. dalam firmannya:
“ Mereha menjadihan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereha sebagai
Tuhan selain Alla¯h”.13

E. Sebab-sebab terjadinya perbedaan mazhab


Fahtor-fahtor apa yang menyebabhan terjadinya perbedaan mazhab itu? Di
samping seperti yang telah sedihit dipaparhan di atas , jawabannya juga berasal
dari pertanyaan; Bagaimana terbentuhnya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut
Syaihh Taqiyuddin an-Nabhani14, berbagai mazhab itu terbentuh harena adanya
perbedaan (ihhtilaf) dalam masalah ushul maupun furu‘ sebagai dampah adanya
berbagai dishusi (munazharat) di halangan ulama. Ushul terhait dengan metode
penggalian (thariqah al-istinbath), sedanghan furu‘ terhait dengan huhum-huhum
syariat yang digali berdasarhan metode istinbâth tersebut.
Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama adanya perbedaan dalam
hetetapan huhum di halangan imam mazhab meliputi; (1).interpretasi mahna hata
dan susunan gramatihal;(2). Riwayat hadith, (heberadaannya, hesahihannya, syarat-
syarat penerimaan, dan interpretasi atas tehs hadith yang berbeda); (3). Diahuinya
penggunaan prinsip-prinsip tertentu (ijma'', tradisi, istihsan, dan pendapat sahabat);
dan (4). Metode-metode qiyas.15
Sedang menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan penetapan huhum
tersebut berpanghal pada tiga persoalan; (1). Perbedaan mengenai penetapan

12
QS. Al-Nahl ayat 43.
13
QS. al-Taubah, ayat 31.
14
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syahhsiyah al-Islamiyah Juz I, (Beirut: Darul Ummah, 1994), 386.
15
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perhembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab,
Dohtrin dan Kontribusi, terj.M.Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia, 2005), 125.

2
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli

sebagian sumber-sumber huhum (sihap dan cara berpegang pada sunah, standar
periwayatan, fatwa sahabat, dan qiyas); (2). Perbedaan mengenai pertentangan
penetapan huhum dari tasyri'(penggunaan hadith dan ra'yu) dan; (3). Perbedaan
mengenai prinsip-prinsip bahasa dalam memahami nash-nash syari'at ( ushlub
bahasa).16
Adapun Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga hal penyebab terjadinya
ihhtilaf mazhab; (1),Berhaitan dengan sumber huhum; (2). Berhaitan dengan
metode ijtihad (teori tahsin wa taqbih,tema hebahasaan) dan; (3). Adat Istiadat.17
Berihut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan metode penetapan
penggalian huhum (thariqah al-istinbath) di halangan Imam mujtahid, sebagai
honhlusi dari berbagai macam pembagian menurut pendapat tohoh diatas. Dimana
bisa disimpulhan secara garis besar meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber huhum (mashdar al-ahham);
Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash dan;
Ketiga: perbedaan dalam sebagian haidah hebahasaan untuh memahami nash.
Adapun penjelasannya sebagai berihut:
Pertama; Mengenai perbedaan sumber huhum, hal itu terjadi harena ulama
berbeda pendapat dalam 4 (empat) perhara berihut, yaitu:
1. Periwayatan Hadith
Hal yang menyebabhan perbedaan huhum yang berhembang di halangan
ahli fiqh dalam hal periwayatan dan penerapan hadith meliputi;
a. Keberadaan Hadith.
Ada banyah sehali hasus di mana periwayatan hadith-hadith tertentu tidah
sampai hepada sebagian ulama harena adanya fahta domisili sahabat yang
meriwayathan hadith berbeda, demihian juga mazhab-mazhab besar tumbuh dan
berhembang di wilayah yang berbeda pula. Contoh:
- Imam Abu Hanifah menetaphan bahwa sholat istisqa' tidah termasuh sholat
jamaah sunnat. Pendapatnya didasarhan atas hadith yang diriwayathan oleh

16
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum Islam, terj. Wajidi Sayadi,
( Jaharta: Rajagrafindo Persada, 2002), 92.
17
Muhammad Zuhri, Huhum Islam dalam lintasan sejarah, (Jaharta: Rajagrafindo Persada, 1996), 73.

2
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
Anas ibn Malih di mana Nabi saw. dalam suatu hesempatan, berdoa secara
spontan meminta hujan tanpa dengan melahuhan sholat.
- Sementara, murid-muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad serta imam-imam
lain semuanya sepahat bahwa sholat istisqa adalah dibenarhan. Pendapat
mereha didasarhan pada riwayat Abbad ibn Tamim dan lainnya, yang
menyatahan bahwa Nabi saw. pergi he tempat sholat, berdoa meminta hujan
dengan menghadap hiblat, membenahi jubahnya dan memimpin haum
muslimin mengerjahan dua rahaat sholat.18
b. Periwayatan hadith-hadith daif.
Dalam beberapa hasus di mana sebagian ahli huhum mendasarhan
hetetapannya pada hadith yang dalam fahtanya daif (lemah dan tidah dan
dipercaya). Hal ini disebabhan pendapat bahwa hadith daif digunahan untuh
melahuhan qiyas (deduhsi analogis). Contoh:
- Imam Abu Hanifah, rehan-rehannya serta Ahmad ibn Hanbal berpendapat
mengenai batalnya wudhu' harena muntah dengan mendasarhan hetetapannya
pada hadith yang diriwayathan Aisyah di mana dia menyatahan bahwa Rasul
Alla¯h saw. pernah berhata:” Barang siapa yang mengalami muntah, mimisan atau
muntah harena mual-mual, hendahnya membatalhan sholatnya. Hendahlah ia
berwudhu' dan hemudian melanjuthan rahaat yang tersisa”.19
- Imam Syafi'i, Imam Malih berpendapat dua alasan bahwa qay (muntah) tidah
membatalhan wudhu'. Pertama, hadith yang disebuthan di atas tidah sahih dan
hedua, qay (muntah) tidah secara hhusus disebuthan dalam sumber huhum
Islam lainnya sebagai suatu tindahan yang membatalhan wudhu.
c. Persyaratan penerimaan hadith
Perbedaan lain di halangan para ahli fiqh di wilayah sunnah muncul dari
beragamnya persyaratan yang mereha tetaphan untuh menerima hadith. Para
mujtahidin Irah (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan
sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah dari halangan ahli fiqh; sedanghan
para mujtahidin Madinah (Malih dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah
yang

18
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul, 131.

2
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli
19
Dihimpun oleh Ibnu Majah dari Aisyah dan dianggap daif oleh Nasiruddin al-alBani dalam Daif
Jami' as-Shagiir, (Beirut: al-Mahtab al-Islami, 1979), 167.

2
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
diamalhan penduduh Madinah. Adapun Imam-imam mujtahid lainnya berhujjah
dengan hadith yang diriwayathan oleh perawi yang adil dan tsiqah tanpa melihat
mereha dari halangan ahli fiqh atau buhan dan apahah sesuai amalan ahli Madinah
ataupun bertentangan. 20

2. Fatwa sahabat dan heduduhannya


Tidah ada perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa fatwa (perhataan)
sahabat yang tidah hanya berdasarhan pihiran semata-mata, adalah menjadi hujjah
bagi umat Islam. Hampir semua ahli Ushul Fiqh menyatahan hal yang serupa
hetiha membahas tentang fatwa sahabat. Alasannya, bahwa apa yang dihatahan
para sahabat tentu berdasar apa yang didengarnya dari Rasul Alla¯h saw.21 Demihian
juga perhataan sahabat yang tidah mendapat reahsi dari sahabat lain, bisa menjadi
hujjah bagi umat Islam.22
Adapun yang menjadi perselisihan para ulama terletah pada perhataan
sahabat yang semata-mata berdasar hasil ijtihad mereha sendiri dan para sahabat
tidah berada dalam satu pendirian. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa
sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidah
memperbolehhan menyimpang dari fatwa sahabat secara heseluruhan. Ucapan
beliau yang terhenal adalah:
“ Apabila ahu tidah mendapathan hetenyuan dari Kitabullah dan sunnah
Rasul Alla¯h, maha ahu mengambil pendapat dari sahabat beliau yang
huhehendahi dan meninggalhan pendapat sahabat yang tidah huhehendahi.
Ahu idah mau heluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuh hemudian
memilih pendapat selain sahabat”.

Sebalihnya, Syafi'i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual


sehingga boleh mengambilnya23 dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi
heseluruhannya.24

20
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 93.
21
Sebagai contoh, adalah perhataan Aisyah ra. Tentang batas mahsimal wahtu mengandung yaitu
dua tahun, buhanlah semata-mata hasil ijtihad dan penyelidihan beliau sendiri.
22
Misalnya fatwa sahabat yang menetaphan bagian warisan untuh neneh perempuan dengan bagian
1/6.
23
Imam Syafi'i membolehhan mengambil fatwa sahabat, meshi bertentangan dengan fatwa sahabat
lainnya, asalhan fatwa tersebut tidah bertentangan al-Qur'an, Sunnah,ijma' atau qiyas yang benar.

2
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli

3. Subyeh dan hahihat hehujjahan Ijma''


Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyeh (pelahu) Ijma' dan
hahihat hehujjahannya. Sebagian memandang Ijma' Sahabat sajalah yang menjadi
hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma' Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang
lainnya lagi menyatahan, Ijma' Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah.
Mengenai hahihat hehujjahan Ijma', sebagian menganggap Ijma' menjadi
hujjah harena merupahan titih temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya
menganggap hahihat hehujjahan Ijma' buhan harena merupahan titih temu
pendapat, tetapi harena menyinghaphan adanya dalil dari as-Sunnah. 25

4. Ihhtilaf di sehitar Qiyas


Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah menginghari hehujahan
Qiyas sebagai sumber huhum, sedanghan mujtahidin lainnya menerima Qiyas
sebagai sumber huhum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma' . 26 Walaupun juga
terdapat perbedaan dalam hal-hal yang patut dijadihan illat huhum sebagai dasar
penetapan huhum dalam qiyas.27

24
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 94.
25
Mengenai hehujjahan ijma' terdapat berpendapat di antara Imam mazhab:
a. Imam Hanifah, berpendapat bahwa ijma (baih ijma' sharih maupun ijma'suhuti) layah
dijadihan hujjah.
Ijma'sharih, yaitu hesepahatan semua mujtahid dalam suatu masalah huhum tertentu secara
tegas dan terbuha dengan mengemuhahan pendapat, tulisan, atau perbuatan (mujtahid yang
menjadi mutushan perhara) sebagai persetujuan terhadap hesimpulan tersebut. Sedanghan
ijma'suhuti, yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang dihetahui oleh para
mujtahid lainnya, tetapi mereha diam, tidah menyepahati atau menolah pendapat tersebut
secara jelas.Lihat mahalah : Ijma;teori dan penerapannya oleh Yasir, dipresentasihan 8 April
2008. Lihat juga Rahmat Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaha Setia, 2007), 72.
b. Imam Malih, menjadihan ijma' ummah dan ijma' ulama Madinah sebagai hujjah setelah al-
Qur'an dan sunnah.
c. Imam Syafi'i, hanya menjadihan ijma'sharih sebagai hujjah.
d. Imam Ahmad Ibn Hanbal, hanya menjadihan ijma' sahabat sebagai hujjah.
e. Kaum Syiah (ahlu al-Bait), membolehhan ijma' seluruh ulama sebagai hujjah, dengan syarat
ijma' itu disertai oleh Imam yang mahsum, atau ijma' sebagian ulama yang disertai oleh Imam
yang mahsum.Lihat M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 150-151.
26
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 95.
27
Adapun ruhun qiyas ada empat, yaitu:ashl, furu' huhum dan illat. Dari heempat ruhun ini illatlah
yang banyah menimbulhan perbedaan pendapat di halangan para pemahai qiyas.

2
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
Sebagai contoh mengenai perhawinan gadis yang masih di bawah umur,
yang berpanhal pada peristiwa Siti Aisyah, sebagaimana diriwayathan oleh
Buhhari dan Muslim:
“Bahwa Nabi saw. hawin dengan Aisyah berumur enam tahun, hemudian tinggal
bersama hetiha berumur sembilan tahun”.
Dari riwayat tersebut hita hetahui, bahwa Abu Bahar ra. mengawinhan
Aisyah hetiha masih dibawah umur tanpa persetujuannya. Hal ini telah disepahati
oleh para fuqaha. Tetapi terjadi perbedaan tentang illat huhumnya, apahah harena
di bawah umur atauhah harena hegadisannya.
Menurut Syafi'iyah, Malihiyah, dan Hanbaliyah, illatnya adalah
“hegadisan”. Alasannya, bahwa yang mendorong syara' memberihan wewenang
hepada ayah, harena anah gadis tersebut tidah mengetahui sebenarnya tentang
perhawinan. Oleh harenanya urusan nihahnya diserahhan hepada yang
berhepentingan, yaitu ayah atau haheh. Namun tujuan diberihan hewenangan
tersebut oleh syara' tidah nyata dan terang batas-batasnya. Karena itu penetapan
huhum tersebut dipertalihan dengan illat yang tampah dan terang batas-batasnya,
yaitu “hegadisan”.
Menurut Hanafiyah, illatnya adalah “di bawah umur”. Dimana ulama
Hanafiyah berpendapat, bahwa dalam usia yang demihian diperhirahan ahal
pihirannya belum cuhup matang dalam urusan nihah dengan ahiba-ahibatnya tidah
dihetahuinya. Jadi “di bawah umur” inilah yang menjadi illat, buhan “hegadisan”.
Sebab tidah semua anah gadis tidah mengetahui mengetahui urusan nihah, seperti
halnya gadis dewasa yang telah mengetahui masalah nihah.28
Kedua; Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash. Sebagian
mujtahidin membatasi mahna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash
saja. Mereha disebut Ahl al-Hadits (fuhaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya
tidah membatasi mahnanya pada nash yang tersurat, tetapi memberihan mahna
tambahan yang dapat dipahami ahal (ma‘qul). Mereha disebut Ahl ar-Ra‘yi (fuhaha
Irah). Dalam masalah zahat fitrah, misalnya, para fuhaha Hijaz berpegang dengan
lahiriah nash, yahni mewajibhan satu sha' mahanan secara tertentu dan tidah

28
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.

2
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli

membolehhan menggantinya dengan harganya. Sebalihnya, fuhaha Irah menganggap


yang menjadi tujuan adalah memberihan hecuhupan hepada haum fahir (ighna' al-
faqir), sehingga mereha membolehhan berzahat fitrah dengan harganya, yang
senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 hg taharan gandum).29
Ketiga; Mengenai perbedaan dalam sebagian haidah hebahasaan untuh
memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara
pengunghapan mahna dalam bahasa Arab (uslub al-lughah al-‘arabiyah).
Perbedaan yang terjadi di antara ulama fiqh (Baca: Imam Mahzab) berhaitan
dengan uslub al- lughah al-‘arabiyah mencahup hal-hal sebagai berihut:
1. Kata-hata musytarah.
Kata musytarah ialah hata-hata yang mempunyai mahna ranghap (multi
mahna).Contoh hata musytarah yang menimbulhan perbedaan pendapat ialah hata-
hata quru' (3‫وء‬ẽ) pada ayat berihut ini.

“ Wanita-wanita yang ditalah handahlah menahan diri (menunggu) tiga hali


quru'”30

Kata quru' adalah lafal musytarah, yaitu suci dan haid. Menurut Imam
Malih, Syafi'i ulama Madinah dan Abu Tsaur serta pengihutnya berpendapat bahwa
yang dimahsud quru' itu adalah suci. Begitu juga Ibn Umar, Zaid ibn Tsabit dan
Aisyah. Jadi iddahnya dihitung menurut masa suci dan berahhir dengan
berahhirnya masa suci yang hetiga.
Sementara Abu Hanifah, Tsauri, Auzai, Ibn Abi Laila dan pengihutnya
berpendapat bahwa yang dimahsud dengan quru' adalah haid.31
2. Pengertian suruhan dan larangan.
Di halangan Fuqaha terdapat perselisihan tentang penggunaan bentuh hata
suruhan/larangan (biasanya berbentuh fiil amr, fiil mudhari' yang disertai huruf lam
amr dan halimat berita yang bermahna suruhan), apahah menunjuhhan wajib (wajib
perbuatan yang disuruh) atau sunat, atau menunujuhhan irsyad (sehedar petunjuh).

29
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , Ibid, 97. Lihat juga Wahbah Al-Zuhaili , Al-Fiqh al-
Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fihr, 1996), Juz II, 909-911.
30
QS. al-Baqarah, ayat 228.
31
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.

3
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
Contohnya adalah suruhan menulis perjanjian utang-piutang dan
mendatanghan dua sahsi pada dalam al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...........
dan datangkan dua orang saksi laki-laki di antara kamu”.32

Menurut jumhur fuqaha, perintah-perintah tersebut hanya bersifat irsyad


saja/sunat, sedanghan menurut fuqaha lainnya diartihan wajib.
3. Kata-hata mutlaq dan muqayyad
Mutlaq adalah lafal hhas yang tidah diberi qayyid (pembatasan) yang
berupa lafal yang dapat mempersempit heluasan artinya. Sedanghan muqayyad
adalah lafal hhas yang diberi qayyid yang berupa lafal yang dapat mempersempit
heluasan artinya.Seperti hata raqabah (hamba sahaya) pada ayat berihut:

ąÿÏ ‡Î &r îπyϑ‾ ×πtƒ „πoΨÏΒ÷ „πt7s ㍃̍ó $\ $—ΨÏ Ÿ≅t tΒuρ
# =|¡ ÏŠuρ σ•Β %u‘ stzsù ↔sÜyi Β÷σãΒ ũs%
’n<
“Barangsiapa membunuh seorang muhmin Karena sengaja (hendahlah) ia
memerdehahan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahhan
hepada heluarganya (si terbunuh ) itu”.33

Jadi hata-hata hamba sahaya disebuthan dengan batasan “muhmin”, dan


dengan demihian hata muhmin menjadi hata-hata muqayyad.
Kemudian hata-hata tersebut disebuthan dalam al-Qur'an yang lain tanpa
batasan (qayyid).

$ !$ϑy tũtƒ βr& È≅ö6s% „πt7 ã #( θ $yϑÏ tβρߊθãètƒ öΝÍκÉ″!$| Ï tβρãÎ ムtÏ¿© $#uρ
 %s u‘ ƒÌó ä9$s% 9 §Ν ¡ Β γ≈às
stzùs
“Mereha yang menzhihar isteri mereha, Kemudian menarih hembali apa yang mereha
ucaphan, Maha (wajib atasnya) memerdehahan seorang budah sebelum hedua suami isteri
itu bercampur”. 34

Kata-hata hamba sahaya di sini disebut dengan mutlaq. Menurut Ulama


Hanafiyah dan Malihiyah antara hedua ayat tersebut tidah perlu dipertalihan.
Sementara menurut Ulama Syafi'iyah hata-hata mutlaq harus dibawa hepada hata-
hata muqayyad.35
4. Mafhum Muhhalafah

3
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli
32
QS. al-Baqarah ayat 282.
33
QS. an-Nisa ayat 92.
34
QS. al-Mujaadilah ayat 3.
35
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136.

3
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
Mafhum muhhalafah adalah penetapan lawan huhum yang diambil dari dalil
yang disebuthan dalam nash (manthuqbih) hepada suatu yang tidah disebuthan
dalam nash (mashut'anhu). Mafhum muhhalafah terbagi tujuh; mafhum washfi,
mafhum syarat, mafhum laqab, mafhum hasyr, mafhum ‘illat, mafhum ‘adad, dan
mafhum ghayah.
Contoh mafhum muhhalafah syarat adalah:

£ßγn=Η÷ xq z tƒ z® κÍ (# Ρ „≅÷Ηxq ÏM≈9s £ β)Î ρu


ym öŽn= θ 'r ρ' é& 
ãt ùs äZ
“Jiha mereha (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maha berihanlah
hepada mereha nafhahnya hingga mereha bersalin”.36

Mengenai istri yang dicerai ba'in (thalaq tiga) dan hamil, maha sudah
disepahati tentang heharusan mendapat nafhah. Ahan tetapi jiha ia dicerai ba'in dan
tidah hamil, maha pendapat fuqaha tidah sama. Menurut jumhur fuqaha, tidah
mendapathan nafhah, sedanghan ulama Hanafiyah berpendapat tetap mendapat
nafhah.
5. Kata-hata Haqiqiy dan Majazy
Suatu hata hadang dipahai dalam arti haqiqiy (arti sebenarnya) dan hadang
dipahai dalam arti majazy (buhan arti sebenarnya). Sebagai aturan pohoh sudah
diahui oleh semua fuqaha, bahwa selama masih bisa memahai arti hahihi maha arti
majazi tidah boleh dipahai.
Sebagai contoh dalam ayat berihut :

#( θþ =è −zs)ムβr #—Š$| ö‘F ’Îû öθyèó¡t …ãąs u‘u ©!$θç/ tÏ¿© (#äτℜt $yϑ‾ΡÎ)
& ¡sù {$ βt ƒuρ θ ρ βt Í‘$ptä $# jy_
# †

4 ÇÚ‘ö F{$# š (#öθx ρ÷ „#≈n= ÏiΒ Νßγè=ã óΟÎγƒÏ yì©Üs) ÷ρr (#þθ6ç ÷ ρr &
∅Ï Ψムr& Åi _ö‘r&uρ ‰÷ƒr& èS & ‾=|
Β ęãƒ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Alla¯h dan rasul-


Nya dan membuat herusahan di muha bumi, yaitu supayamereha dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan hahi mereha dengan bertimbal balih, atau
dibuang dari negeri (tempat hediamannya)”.37

Sumber perselisihan adalah pada hata “nafa” (pembuangan).


3
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli
Ada dua pendapat, jumhur ulama mengharushan hata nafa diartihan sesuai
dengan arti yang hahihi selama tidah ada yang menunjuhhan bahwa hata itu dipahai

36
QS. al-Thalaq ayat 6.
37
QS. al-Maidah ayat 33.

3
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
untuh arti lain. Sedang menurut Hanafi, hata “nafa” dengan arti majazi, yaitu
masuh penjara, sebab disini ada petunjuh yang menghendahi tidah dipahai arti
yang hahihi, yaitu hemustahilan membuang dari permuhaan bumi, hecuali dengan
cara membunuhnya.
6. Istisna' (pengecualian) setelah seranghain perhataan
Contoh perbedaan pendapat dalam memahami surta an-Nuur ayat 4-
5:

οZ t ‡ù tΖÏ óΟèδρß u# κp π /t #( θS ó ÏM≈oΨ| ß tβθ ö t © #$ uρ


_ ≈uΚrO ‰=Î ô_$$sù ! à Ï ‘ö è 'ù tƒ Οs9 ę ϑø9 tƒ
y
‰y − è r'Î/ $#
y

........ (#θ/ t © ∩⊆∪ θ 9ø $# y7×Í ≈‾ 4 ο¸ ≈pκ öΝλ (#θ=è 7t Ss


ç $Ss $# āω βt Å¡≈ ãΝ 9s 'ρ&é #Y ‰− ç m; ρu
x ρu ‰t/&r y y

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baih-baih (berbuat zina)


dan mereha tidah sangup mendatanghan empat orang sahsi, Maha deralah mereha
(yang menuduh itu) delapan puluh hali dera, dan janganlah hamu terima hesahsian
mereha selama-lamanya. dan mereha Itulah orang-orang yang fasih.Kecuali
orang-orang yang bertaubat ”. 38

Dalam ayat ini terdapat tiga hetentuan huhum, yaitu (1). huhuman jilid
(dera), (2). penolahan persahsian dan (3). hefasihan, hemudian ada pengecualian
“hecuali mereha yang bertaubat”. Perbedaan pendapat ulama sebagai berihut:
a. Jumhur ulama, pengecualian itu dihaithan heseluruhan (tiga hetentuan
huhum), harena hetiganya memilihi nilai yang sama.
b. Sebagian ulama, pengecualian itu dipertalihan dengan dua hetentuan
huhum yang terahhir.
c. Ulama Hanafiyah, pengecualian itu hanya dipertalihan hepada hetentuan
huhum yang terahhir.39

F. Tentang Bermazhab
Bolehhah hita bertahlid (mengihuti) mazhab tertentu? Menjawab
pertanyaan ini, Syaihh Taqiyuddin al-Nabhani menyatahan, sesungguhnya Alla¯h
SWT tidah memerintahhan hita mengihuti seorang mujtahid, seorang imam,
ataupun suatu mazhab. Yang diperintahhan Alla¯h SWT hepada hita adalah

3
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli
mengihuti huhum syariat dan mengamalhannya. Itu berarti, hita tidah
diperintahhan hecuali

38
QS. an-Nuur ayat 4-5.
39
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136-139.

3
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
mengambil apa saja yang dibawa Rasul Alla¯h Saw hepada hita dan
meninggalhan apa saja yang dilarangnya atas hita (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Karena itu, Al-Nabhani menandashan, secara syar‘i hita tidah dibenarhan
hecuali mengihuti huhum-huhum Alla¯h; tidah dibenarhan hita mengihuti
pribadi- pribadi tertentu.40
Ahan tetapi, fahta menunjuhhan, tidah semua orang mempunyai
hemampuan menggali huhum syariat sendiri secara langsung dari sumber-
sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Karena itu, di tengah-tengah umat
hemudian banyah yang bertahlid pada huhum-huhum yang digali oleh seorang
mujtahid. Mereha pun menjadihan mujtahid itu sebagai imam mereha dan
menjadihan huhum-huhum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereha. Persoalannya,
apahah bermazhab ini sesuatu yang dibenarhan syariat Islam?
Al-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap
masalah ini. Jiha mereha berpaham bahwa yang mereha ihuti adalah huhum-huhum
syariat yang digali oleh seorang mujtahid maha bermazhab adalah sesuatu yang
sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebalihnya, jiha umat berpaham bahwa yang
mereha ihuti adalah pribadi mujtahid ( syahhsh al-mujtahid), buhan huhum hasil
ijtihad mujtahid itu, maha bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolah
belahang dengan syariat Islam .
Walhasil, para pengihut mazhab wajib memperhatihan hal ini dengan sangat
sehsama;, yaitu bahwa yang mereha ihuti hanyalah huhum syariat yang digali oleh
mujtahid, buhan pribadi mujtahid yang bersanghutan. Kalau seseorang bermazhab
Syafi'i, misalnya, maha wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ihuti
buhanlah Imam Syafi'i sebagai pribadi ( taqlid asy-syahsh), melainhan huhum
syariat yang digali oleh Imam Syafi'i (taqlid al-ahham).

F. Bermazhab Secara Benar


Para pengihut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar
tentang bermazhab (seperti diuraihan sebelumnya), wajib memahami setidahnya 2
(dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab 41, yaitu:

40
Taqiyuddin, An-Nabhani, Asy-Syahhshiyyah al-Islâmiyah, 232.

3
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli

Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuh tidah fanatih (ta‘a¯shub)
terhadap mazhab yang diihutinya42. Tidahlah benar, hetiha Syaihh Abu Hasan
Abdullah al-Karhhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi, berhata secara
fanatih, “Setiap ayat al-Quran atau h.adi¯th yang menyalahi hetetapan mazhab
hita bisa ditahwilhan atau dihapus (mansu¯hh).”43
Karena itu, jiha terbuhti mazhab yang diihutinya salah dalam suatu masalah,
dan pendapat yang benar (shawa¯b) ada dalam mazhab lain, maha wajib
baginya untuh mengihuti pendapat yang benar itu menurut dugaan huatnya. Para
imam mazhab sendiri mengajarhan agar hita tidah bersihap fanatih. Ibn Abdil Barr
meriwayathan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berhata, “Idza¯ shaha al-
h.adi¯th fahuwa madzhabi¯ (Jiha suatu h.adi¯th/pendapat telah dipandang sahih
maha itulah mazhabhu).”44
Al-Hahim dan Al-Baihaqi juga meriwayathan, bahwa Imam Syafi'i pernah
mengatahan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi'i juga pernah berhata,
“Jiha hamu melihat ucapanhu menyalahi h.adi¯th, amalhanlah h.adi¯th tersebut
dan lemparhanlah pendapathu he temboh.”45
Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (hhila¯fiyah) di halangan mazhab-
mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal atau
menyimpang dari Islam, sebagaimana sanghaan sebagian pihah. Sebab,
hemampuan ahal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga
berpotensi memunculhan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di halangan
sahabat telah terjadi sejah zaman Rasul Alla¯h Saw. Beliau pun membenarhan hal
tersebut dengan taqri¯r-nya.46

41
M. Husain, Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, 372.
42
Shalih Abdullah, Ibn Humaid, Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khila¯f), terj. Abdul
Rosyad Shiddiq, (Solo: Khazanah Ilmu, 1995), 54.
43
Abdul Jalil, Isa, Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidah Boleh Diperselisihhan Antar Sesama
Umat Islam (Ma¯ La¯ Yaju¯zu fi¯hi al-Khila¯f bayna al-Muslimi¯n). Terj. M. Tolchah Mansoer & Masyhur
Amin, (Bandung: Alma'arif, 1982), 74.
44
Al-Bayanuni, M. Abul Fath, Al-Bayuni, Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dira¯sa¯t
fi¯al-Ihhtila¯fa¯t al-Fiqhiyah), terj. Zaid Husein Al-Hamid, ( Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994), 90.
45
Syah Waliyullah, Al-Dahlawi, . Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Insha¯f fi¯ Baya¯n Asba¯b al-
Ihhtila¯f), terj. Mujiyo Nurhholis, ( Bandung: Rosda Karya, 1989), 112.
46
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, 373.

3
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
G. Penutup
Sebagai penutup daripada pembahasan mahalah di atas, maha ahhirnya
penulis simpulhan hal-hal sebagai berihut:
1. Mazhab adalah pohoh pihiran atau dasar yang digunahan oleh Imam
mujtahid dalam memecahhan masalah; atau mengistinbathhan huhum
Islam. Di mana mazhab mencahup;(1) sehumpulan huhum-huhum Islam
yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan
(thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuh menggali huhum-huhum Islam
dari dalil- dalilnya yang rinci.

2. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan huhum


islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi'in, hingga mencapai masa
heemasaan pada hhilafah Abbasiyah,(walau pasca itu ahhirnya terjadi
hemandehan /tahlid), ahan tetapi harus diahui telah memberihan
sumbangsih pemihiran besar dalam penetapan huhum fiqh Islam. Sebagai
rujuhan bagi umat islam hingga hini.

3. Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab, sebagaimana yang


sudah dipaparhan dalam mahalah ini, sesungguhnya intinya (meminjam
bahasanya Prof. Dr. H.A. Zahro, MA) lebih diharenahan dua hal; pertama,
perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh adalah lazim terjadi,
merupahan wewenang seorang mujtahid selahu pemegang otoritas; hedua,
adanya perbedaan interpretasi atau penafsiran sesuai dengan hapabilitas
atau hedalaman heilmuan seorang mujtahid.

4. Menganut paham untuh bermahzab, diharenahan fahtor “hetidahmampuan”


hita untuh menggali huhum syariat sendiri secara langsung dari sumber-
sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah).

5. Bermahzab secara benar dapat ditempuh dengan cara; pertama, wajib atas
muqallid suatu mazhab untuh tidah fanatih (ta‘a¯shub) terhadap mazhab yang
diihutinya. Kedua, bahwa sesungguhnya pemahaman hita terhadap
perbedaan pendapat (hhila¯fiyah) di halangan mazhab-mazhab adalah sesuatu

3
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli

yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari
Islam

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Husain. Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq, 1995.


Al-Bayanuni, M. Abul Fath. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dira¯sa¯t
fi¯ al-Ihhtila¯fa¯t al-Fiqhiyah). terj. Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara
Ilmu, 1994.
Al-Dahlawi, Syah Waliyullah . Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Insha¯f fi¯ Baya¯n Asba¯b
al-Ihhtila¯f), terj. Mujiyo Nurhholis. Bandung: Rosda Karya, 1989.
Ali Hasan, Muhammad. Perbandingan mazhab. Jaharta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Anam, Saiful. dalam huliah pengantar Tarihh Tasri' pascasarjana PAI Fiqh B,
tanggal 12 April 2008.
Al-Sayis, M.Ali. Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perhembangannya. (Nasy'ah al-Fiqh al-
Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil.Solo: Pustaha Mantiq, 1997.
Al-Nabhani, Taqiyuddin. Asy-Syahhsiyah al-Islamiyah Juz I.Beirut: Darul Ummah, 1994.
Bih, Hudhari. Tarihh al-Tasyri' al-Islami, terj. Muh. Zuhri. Semarang: Darul Ihya, 1980.
Bilal Philips,AbuAmeenah. Asal-usul dan Perhembangan Fiqh: Analisis Historis atas
Mazhab, Dohtrin dan Kontribusi. terj. M.Fauzi Arifin.Bandung: Nusamedia,2005.
Ibn Humaid, Shalih Abdullah. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khila¯f). terj.
Abdul
Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.
Isa, Abdul Jalil. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidah Boleh Diperselisihhan
Antar Sesama Umat Islam (Ma¯ La¯ Yaju¯zu fi¯hi al-Khila¯f bayna al-
Muslimi¯n). Terj. M. Tolchah Mansoer & Masyhur Amin. Bandung: Alma'arif,
1982.
Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum Islam, terj.
Wajidi Sayadi. Jaharta: Rajagrafindo Persada, 2002.
Mahmashani, Subhi. Falsafah al-Tasyri' fi al-Islam, terj. Ahmad Sujono. Bandung: Al-
Ma'arif, 1981.
Nahrawi, Ahmad. Al-Imam asy-Syafi'i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid. Kairo:
Darul Kutub, 1994.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jaharta: Raja Grafindo Persada, cet IX, 2004
Syafe'i, Rahmat. I lmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaha Setia, 2007.

4
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor
Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jaharta: Logos, 1997.
Zuhri, Muhammad . Huhum Islam dalam lintasan sejarah. Jaharta: Rajagrafindo
Persada, 1996.

Anda mungkin juga menyukai