Anda di halaman 1dari 20

RESUME USHUL FIQHI PERBANDINGAN

DISUSUN OLEH:

NAMA : RESKI NURJARIAH


NIM : 10300115051
KELAS : PMH.B

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI UIN ALAUDDIN MAKASSAR
A. Pengertian Muqaranah Mazahib Fil Ushul
Muqaranah fil Ushul adalah adalah salah satu disiplin ilmu dari ushul fiqh.yaitu suatu sub
bidang yang memfokuskan kajian tentang teori-teori hukum yang terdapat di berbagai madzhab
hukum .
Jadi, Muqaranah Mazahib fil Ushul adalah sebagai disiplin ilmu ushul fiqh-
dimaksudkan sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau metode dengan cara instinbat
hukum antar berbagai mazhab baik dari segi persamaan maupun perbedaanya serta
membandingkan satu sama lainnya, kemudian mengambil mana yang lebih tepat untuk dijadikan
sebagai pegangan dalam melakukan instinbat hukum.
B. Ruang lingkup ushul fiqh perbandingan dan Tujuan Mempelajari.
1. Makna Mazhab
Makna mazhab berasal dari kata ‫ ذهب‬zahaba yang berarti pergi/tempat pergi. Secara
terminologi pendapat,kelompok, aliran yang ada pada mulanya merupakan pendapat atau
hasil ijtihad seseorang imam dalam memahami suatu masalah baik menyangkut masalah
teologi, tasawuf, filsafat, politik, maupun fiqh.
Dalam perkembangannya, kata mazhab mengalami penyempitan makna yang semula
menyangkut semua aspek ajaran islam, belakangan hanya menyangkut hukum islam (fiqh).
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunkan oleh imam mujtahid dalam
memecahkan masalah atau menginstinbatkan hukum islam.
2. Ruang Lingkup

Karena bidang garapan ini menyangkut perbandingan ushul fiqh ,maka ruang lingkup
pembahasannya memfokuskan daripada dasar-dasar atau landasan yang di gunakan oleh berbagai
madzhab dalam melakukan istinbat hukum,

Perbedaan istinbat ini meliputi berbagai segi, seperti sistim istinbat dan sistematika
sumber yang digunakan ,posisi alquran dan as sunnah sebagai sumber dan
dalalahnya,pemahaman tentang lafaz nash dan karakteristiknya ,penggunaan dalil selain nash Al-
Quran dan sunnah dan kedudukannya dalam isntibat hukum,masaalah mursalah dan tarjih serta
ta’wil.

Dengan kata lain, ruang lingkup bahasan Muqaranah Mazahib Fil Ushul adalah
menyangkut aspek metodologi atau cara-cara yang ditempuh oleh berbagai mazhab dalam
menginstinbatkan hukum serta perbedaan-perbedan satu sama lainnya.
3. Tujuan mempelajari ushul fiqh perbandingan
Dalam kenyataan di temukan beberapa pernyataan dari kalangan ulama yang berpendapat
bahwa barang siapa yang telah mengikuti sesuatu madzhab ,ia tidak boleh pindah ke mazhab
yang lain ,bahkan menurutnya lagi,orang yang berpindah mazhab itu dapat dikenakan hukum
ta’zir ,pendapat ini di bantah keras oleh syaikh muhammad syaltout dan muhammad ali as-sayis
,bahwa pandangan ulama seperti itu meruapakan pandangan picik dan tidak mendasar.
Padahal sesungguhnya dalam melakukan perbandingan antar interen mazhab ,terlebih
berkaitan dengan ushul atau cara dan metode yang di gunakan dalam menetapkan hukum
merupakan hal yang penting dan banyak faedahnya .

A.Pengertian ikhtilaf
- Ikhtilaf secara etimologis yaitu berselisih, tidak sepaham.
- Ikhtilaf secara terminologis yaitu persilihan paham atau pendapat di kalangan para ulama fiqh sebagai
hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan waktu hukum tertentu
B.Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat dalam Hukum Islam
Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan lepas dari terjadinya perbedaan
pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan obyek bahasan fikih biasanya adalah masalah-masalah
ijtihadiyah, yaitu masalah yang untuk menen-tukan hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu.
1.Mahzab ushul fiqh hanafi
Mahzab ini di bangun atas dasar pemikiran imam abu Hanafih (w.150 H/767 M). Nama kecil
beliau adalah al-Nu’man ibn Sabit Ibn Zauta, yang kemudian lebih populer dengan sebutan Abu
Hanifah. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun 80 H/699 M, dan meninggal pada tahun 150 H/767
M.
Iman Abu Hanifah adalah salah satu seorang ulama atau faqih yang cukup besar dan luas
pengaruhnya dalam pemikiran hukum islam. Sebagai di ceritakan oleh Muhammad Abu Zahrah,
bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakan ra’yu, atau
setidak-tidaknya lebih cenderung rasional dalam pemikiran ijtihad nya.
Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di berbagai kawasan negeri
islam seperti di Irak, syam dan sekitarnya serta tersebar di mesiir dan daerah-daerh lainnya.
Ketika masa kanak-kanak Abu Hanifah sudah gemar membaca dan menghafal al-quraan
meskipun ia ikut berdagang di pasar bersama ayahnya. Ketika itu ayahnya seorang usahawan besar
sebagai penjual kain sutra. Melihat kecerdasan Abu Hanifah yang mengagumkan itu, maka atas
ajuan As-Sya’bi salah seorang ulama Kufah ia mulai menekuni lapangan ilmu meskipun ia tetap
menjalankan usaha perniagaannya.
2. MAZHAB USHUL FIQH MALIKI
Mazhab ini dinisbatkan kepada pendirinya imam maalik. Nama lengkapnya adalah malik
bin annas ibn abi amr beliau dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Dan meninggal pada tahun
179 H ditempat kelahirannya itu. Di ceritakan bahwa malik tidak pernah pindah atau meningglakan
kota madinah sampai akhir hayatnya, karennya beliau digelari imam Dar al hijrah. Dengan
demikian,watak corak kehidupannya sangat dipengaruhi dengan corak lingkungan madinah yang
masyarakatnya bersahaja dan jauh dari pengaruh kebudayaan luar ketika itu.

Malik belajar dan menuntut ilmu kepada ulama ulama kota madinah di antara guru gurunya adalah
abdul rahman bin harrauz,dan beliau lama bergaul dengan gurunya ini, kemudian belajar pula
dengan nafi seorang maula ibn umar dan ibn syihab al syuhri.

1. MAZHAB USHUL FIQH SYAFI’I

Mazhab ini dinisbatkan kepada tokohnya yang bernama imam al syafii nama lengkapnya
ialah abu abdillah muhammad ibn idris ibn abbas ibn usman ibn as syafii, dan lebih populer dengan
nama as syafii, dilihat dari asal usul keturunannya berasal dari suku qurais. Beliau dilahirkan di
gaza, suatu negeri yang termasuk wilayah palestina pada tahun 150 H , dan wafat pada tahun 204
H di mesir.
2. Imam Ahmad bin Hambal (Imam Hambali).
Ahmad bin Muhammad bin Hambali bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan Asy-
Syaibani al-Mawarzi, atau sering kita kenal dengan sebutan Imam Hambali. Beliau dilahirkan pada tahun
164 H, dan wafat pada tahun 241 H di kota Baghdad. Beliau adalah murid kesayangan Imam Syafi’i dan
juga pada awalnya bermazhab syafi’i. Dari kecil beliau rajin membaca al-Qur’an sehingga umur 14 tahun
sudah menjadi hafizh qur’an. Setelah menjadi hafizh qur’an beliau mencoba belajar dan mendalami ilmu
fiqih. Ilmu fiqih yang pertama dipelajari oleh beliau adalah fiqih Iraq (Mazhab Imam hanafi). Namun
dengan niat yang kuat untuk menuntut ilmu, beliau berpindah-pindah menjelajah negeri di berbagai kota,
sehingga akhirnya beliau belajar di mekkah dan bertemu dengan Imam Syafi’i. Kunci dari kesuksesan
beliau dalam mendalami ilmu agama adalah kemampuan menghafal yang kuat, tabah dan sabar,
menjauhkan diri dari hal yang meragukan, dan ikhlas dalam segala hal demi mencari ridho Allah Ta’ala.

1. Pokok-Pokok Pikiran Imam Hambali Dalam Istimbath Hukum


Adapun yang jadi pegangan beliau dalam mengistimbathkan hukum ialah:

 Nash al-Qur’an dan Hadits


Jika beliau menemukan dalil yang ada dalam al-Qur’an atau Hadits, maka beliau tidak memperhatikan dalil
yang lain termasuk pendapat para sahabat.

 Fatwa sebagian sahabat


Jika tidak mendapatkan nash, maka beliau mengambil fatwa sahabat yang tidak ada menentangnya.

 Pendapat sebagian sahabat (ijma’ sahabat).


Beliau memakai ini jika tidak mendapatkan nash dan fatwa sahabat.

 Hadits mursal atau Hadits Dhoif


Ini dipakai jika tidak berlawanan dengan atsar atau fatwa sahabat.

Qiyas merupakan jalan terakhir yang beliau gunakan apabila tidak mendapat dalil yang disebutkan di atas.

A. Mazhab Zahiri

Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun fahamnya dengan memahami sumber ajaran
Islam secara tekstual. Mazhab Zahiriyyah merupakan salah satu mazhab fikih yang pertama kali muncul di
Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Zahiriyyah, aliran ini juga dikenal dengan nama mazhab ad-Daudi.
Para pengikut mazhab ini disebut dengan az-Zahiriyyah (Penganut ajaran lahiriyah).[1] Hingga sekarang,
pemikiran-pemikiran aliran ini masih bisa ditemukan, bahkan sering menjadi bahan perbandingan ketika
melakukan pembahasan-pembahasan kontemporer. Mazhab ini berkembang sejak abad ke-3 hingga ke-8
hijriyah. Mazhab ini pertamakali dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-
Isfahani (202-270 H) yang berjuluk Abu Sulaiman.[2] Sebagai salah satu aliran yang cukup besar, adalah
sangat menarik untuk mengkajinya. Mazhab Zahiriyyah merupakan salah satu hasil dinamika
perkembangan pemikiran ummat Islam.

A. Pengertian dan Klasifikasi Dalil


Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu
yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf
menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah “sesuatu yang meberi
patunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun
yang tidak baik”.

Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul
Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “segala
sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran yang benar untuk menetapkan
hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan
dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu
hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.

1. Naqli: dari nash secara langsung dan aqli: pikiran manusia yang sejahtera, terlepas dari
pengaruh hawa nafsu.

2. Kulli: dalil yang isinya mencakup banyak satuan hukum, bahkan mencakup sebagian besar
hukum yang sejenis, seperti “huwal-lazi khalaqa lakum ma fil-ardi jamii’an. Sedang dalil Juz’i
(tafsili): menunjuk pada satuan hukum saja, seperti: “wa aqimus-shalata wa atuz-zakata…”

3. Qath’i: yang mendatangkan keyakinan (kepastian), baik qath’i wurud-tsubutnya maupun


qath’i dalalahnya (dalil yang lafad dan susunan katanya tegas dan jelas menunjukkan arti dan
maksud tertentu, seperti ayat-ayat waris. Sedang dalil dhanni; wurud-tsubutnya—dalil yang
diduga keras datangnya dari syara karena diriwayatkan dengan cara ahad, dan dhanni dalalahnya,
contoh “Quru’”

B. Sistematika Dalil Hukum

Dalam proses penetapan hukum syara’, penggunaan dalil sangat berperan. Karena di dalam
menetapkan suatu hukum atas berbagai permasalahan yang dihadapi harus dilandaskan pada alasan atau
suatu dalil tertentu. Ketepatan seorang mujtahid di dalam menggunakan suatu dalil dalam proses istinbath
hukum akan melahirkan sebuah ketetapan hukum yang benar. Sebaliknya, jika seorang mujtahid kurang
tepat dalam penggunaannya, maka akan melahirkan sebuah ketetapan hukum yang kurang valid.

Di dalam ushul fikih, dalil hukum sering pula disebut dengan istilah adillat al-ahkam (dalil-dalil
hukum), ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum), mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum), adillat al-
Syari’ah (dalil-dalil syari’at), asas al-tasyri’ (dasar-dasar penetapan hukum syara’), atau ushul al-
syari’ah (pokok-pokok hukum syara’). Selain itu dikenal pula istilah mashadir al-syari’ah dan mashadir
al-tasyri’ (sumber-sumber hukum syara’).

Dalil yang bersumber dari wahyu dikenal juga dengan istilah dalil manshush, yaitu dalil-dalil
hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat di dalam nash. Sedangkan dalil yang bersumber dari
ra’yu dikenal dengan istilah dalil ghairu manshush, yakni dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak
disebutkan di dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah.

C.Dalil Menurut Ibnu Hazm

Ibn Hazm menggunakan konsep al-dalil ketika tidak ada nash dalam persoalan tertentu, guna
menjawab persoalan yang baru muncul akibat perubahan sosial. Al-dalil adalah sesuatu yang diambil
secara langsung dari nash atau ijma’ dan dipahami secara langsung dari segi dilalah keduanya. Kendati
al-dalil bukan nash atau ijma’, tetapi secara essensial memiliki kesamaan dengan keduanya; namun tidak
sama dengan qiyas.
Ibn Hazm dengan tegas menolak anggapan orang-orang yang menyamakan al-dalil dengan qiyas,
begitu juga anggapan orang-orang yang menganggap bahwa konsep al-dalil ini telah membuatnya keluar
dari nash dan ijma’.

.D.Esensi Dalil Syara’ wajib bersifat Qathi’

Al-Qur’an jelas qath’iy al-tsabut. Hakikatnya merupakan salah satu dari apa yang dikenal dengan
istilah Ma’lum min al din bi al dharurah (sesuatu yang sudah sangat jelas, aksomatik, dalam ajaran
agama). Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, bahkan diyakini bahwa hal ini telah memasuki
lapangan teologi, artinya pengingkaran qath’i al-tsubutnya al-Qur’an akan membawa sejumlah
konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur’an ada yang qath’i dan ada pula
yang zhanni. yang menjadi persoalan adalah yang menyangkut kandungan makna redaksi ayat ayat al
Qur’an ini.
Ayat yang bersifat Qath’i adalah lafadz-lafadz yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa
dipahami makna lain darinya.Dalil-dalil qath’i dapat dipahami begitu saja dan penolakan terhadapnya
berarti bentuk kekufuran. Misalnya, masalah akidah, seperti keyakinan terhadap surga dan neraka, serta
yaumul hisab, adalah masalah-masalah agama yang tidak dapat dibantah lagi kepastiannya sehingga kita
tidak punya alasan untuk tidak meyakininya.

CONTOH YANG QATH’I


1.
‫أَقِيْم الص َََّلة‬
Artinya : “ Dirikanlah Shalat”

E. Pembagian Dalil Hanafiah dan Syafi’iyah


 Menurut Hanafiyah cara lafal menunjukkan makna dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Makna Eksplisit / Dalalah 'Ibarah / 'Ibarah al- nash
Yaitu makna yang dipahami dari lafadz, baik berupa zhahir maupun nash, muhkam maupun tidak.
Maksudnya suatu lafadz dapat dipahami dari susunan kalimat lafadz itu sendiri. Contoh:
‫ب‬ ِ ‫َوأ َح َّل هللاُ ا ْلبَ ْي َع َوح ََّر َم‬
َ ‫الر‬
Ayat di atas mempunyai dua pengertian bahwa jual beli tidak sama dengan riba dan jual beli
hukumnya halal.
Ciri 'Ibarah Nash: a. Membawa ketentuan definitive (hukum qath’i) b. Tidak memerlukan dalil
pendukung.
2. Makna Tersirat / Dalalah Isyarah / Isyarah al-Nash
Yaitu suatu pengertian dari lafadz sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan
dan bukan dari ungkapan itu sendiri. Contoh:
‫وف‬ ْ ‫علَى ا ْل َم ْولُو ِد لَهُ ِر ْزقُ ُهنَّ َو ِك‬
ِ ‫س َوت ُ ُهنَّ ِبا ْل َم ْع ُر‬ َ ‫َو‬
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”.
Secara Eksplisit, menjelaskan bahwa kewajiban untuk menafkahi anak adalah dibebankan kepada
ayah. Dalam ayat tersebut merujuk pada hanya ayahlah yang bertanggung jawab.
Makna yang tersirat menjelaskan bahwa anak dikaitkan dengan ayah dan identitasnya merujuk
pada identitasnya ayah. Jadi jika ayahnya ingin mangambil harta anaknya maka tidak dianggap
pencuri. Hal ini diperoleh dari kombinasi antara nash tersebut dengan hadist Nabi:
َ‫ا َ ْنتَ َو َمالُكَ ل َِوا ِلدِك‬
“Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.”
Kekuatan Isyarah al-nash sama dengan 'Ibarah al-nash karena keduanya merupakan dasar dari
kewajiban, kecuali ada dalil yang menghendaki sebaliknya.
3. Makna yang tersimpul / Dalalah al- Nash
Yaitu pengertian secara implisit tentang suatu hak lain yang dipahami dari pengertian nash secara
eksplisit. Karena adanya faktor penyebab yang sama. Contoh:
ٍّ ُ ‫فََل تَقُ ْل لَ ُه َما أ‬
‫ف َوال ت َ ْنه َْر ُه َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْوال ك َِري ًما‬
“Dan janganlah berkata uff kepada mereka, dan janganlah membentak meraka. Dan berkatalah kepada
mereka dengan perkataan yang baik.“
Secara eksplisit ayat ini menjelaskan tentang tidak dibolehkannya mengucapkan “ah” kepada orang
tua. Secara implisit adalah bila ucapan “ah” dilarang maka memukul dan mencaci lebih diharamkan.
4. Makna yang dikehendaki / Dalalah Iqtidha’
Yaitu penunjukkan lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali
dengan adanya sesuatu tersebut. Contoh:
َ ْ‫وف َوأَدَا ٌء ِإلَ ْي ِه ِب ِإح‬
‫سان‬ ِ ‫ع ِبا ْل َم ْع ُر‬ ِ َ‫عف َِي لَهُ مِ ْن أَخِ ي ِه ش َْي ٌء ف‬
ٌ ‫ات َبا‬ ُ ‫فَ َم ْن‬
“…maka barang siapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya hendaklah (memaafkan)
mengikutinya dengan cara yang baik, dan hendaklah membayar diyat pada yang memberi maaf
dengan cara yang baik.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa jika keluarga orang yang dibunuh telah memaafkan, maka
hendaklah diikuti dengan sikap yang baik pula kepada yang diberi maaf. Yakni sebagai
konsekuensi logis dari sikap memaafkan tersebut adalah adanya imbalan harta benda yang berupa
diyat
 Pembagian Dalalah Menurut Syafi’iyah
Suatu lafazh menurut Syafi'iyah bisa menunjukkan kepada dua macam makna, yaitu
mantuq dan mafhum. Dalalah mantuq dalam istilah Hanafiyah mencakup tiga dalalah, yaitu
'ibarah, isyarah, dan iqtidha' al-nash. Sedangkan dalalah mafhum dalam istilah Hanafiyah sama
dengan dalalah al-nash atau dalalah al-dalalah.
1. Mantuq
Mantuq adalah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri. Petunjuk
yang dikandungnya itu bisa diketahui dengan melihat atau memperhatikan kalimat yang
dilafalkan. Contoh:
َ ‫س ْ ِْ َع اَّ ِإذَا َم َ ْعت ُ ْم تِ ْ َ َ َْْ َرة ٌ َكامِ ٌََّ ذَ ِل‬ ِ ‫ا ْسَا ُث َِأِ َ َِّ أَد اَّاث فَِ ْال َح‬
َ ‫ج َع‬ ِ َ‫ْر ْ َر مِ نَ ْال َي َْ ِ فَ َم ْن لَ ْم دَ ِ ْ ف‬ ْ ‫ج فَ َما‬
َ ‫اس ْتَس‬ ِ ‫فَإِذَا أَمِ ْنت ُ ْم فَ َم ْن ت َ َمت َّ َع ِب ْالعُ ْم َرةِ ِإلَى ْال َح‬
‫اض ِرَ ْال َم ْر ِ ِ ْال َح َراث‬ ِ ‫ِل َم ْن لَ ْم َد ُك ْن أ َ ْه ُهُ َح‬
"…Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji
(didalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan
tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-
haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah)…"
Dari ayat di atas, terdapat kalimat "berpuasa tiga hari waktu haji dan tujuh hari ketika sudah pulang,
dan itulah sepuluh hari yang sempurna". Dari kalimat tersebut dapat dipahami mantuq-nya berupa
kewajiban sejumlah yang disebutkan, yakni sepuluh hari.
2. Mafhum
Mafhum adalah petunjuk lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafazh itu
sendiri, tidak bisa hanya dengan melihat langsung dari hurufnya tapi harus dengan
pemahaman yang mendalam.
Dalalah mafhum ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
a. Mafhum muwafaqah.
b. Mafhum mukhalafah

A. SUMBER HUKUM DAN DALIL


1. Pengertian sumber
Kata “sumber“ dalam hukum fiqh adalah terjemahan dari kata mashdar yang jamaknya adalah
mashadir, yang dapat diartikan suatu wadah yang dalam wadah tersebut dapat ditemukan atau ditimba
norma hukum.
Dalam pengertian ini kata “sumber” hanya digunakan untuk al Qur’an dan Sunnah, karena
keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’nya. Hukum syara yaitu seperangkat
peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.

2. Pengertian Dalil
kata “dalil” berarti sesuatu yang dapat menunjuki. Bila dihubungkan dengan kata hukum atau al
adillah syar’iyyah berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum
Allah. Kata dalil dapat digunakan untuk al Quran, sunnah, ijma, dan qiyas, karena semuanya menuntun
kepada penemuan hukum Allah.
Di kalangan fuqoha, dalil diartikan sesuatu yang padanya terdapat penunjukan pengajaran, baik
yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang meyakinkan atau kepada dugaan kuat yang tidak
meyakinkan.
Menurut ulama ushul fiqh dalil diartikan sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari
dengan pemikiran yang shahih.

B. ALQURAN
1. Pengertian al-Quran
Secara Etimologis , Al quran adalah bentuk masdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Dalam
pengertian ini kata ‫ قران‬berarti ‫ مقرعء‬, yaitu isim maf’ul dari ‫قرأ‬. Kata Qur’an digunakan dalam arti nama
kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Sedangkan secara terminologis makna Al quran
memiliki beberapa definis, yaitu:
a. Menurut Syaltut, Al Quran adalah: “ Lafaz Arabi yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawattir.
b. Al-Syaukani mengartikan Al-quran dengan “kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW,
tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawattir.
c. Menurut Al – sarkishi, Al –Quran adalah: “kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf tujuh yang masyhur dan dinukilkan
secara mutawattir.
d. Ibn Subki mendefinisikan Al quran : “lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
mengandung mukjizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya”.
e. Al Amidi memberikan definisi Al Quran : “Al kitab adalah Al Quran yang diturunkan”

2. Kehujjahan al-Quran
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat Jibril yang disebut al Quran dan termuat dalam mushaf adalah otentik ( betul-betul
dariAllah ). Hal ini dibuktikan dari kehati-hatian para sahabat Nabi memeliharanya sebelum ia dibukukan
dan dikumpulkan. Begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara
penggandaanny. Selain itu, al Quran disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak
yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta ( mutawatir ). Oleh karena itu, al Quran itu bersifat otentik
sebagaimana firman Allah dalam surah al Hijr (15) ayat 9, yang artinya “ sesungguhn ya Kamilah
yang menurunkan al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya “

3. Fungsi dan Tujuan Turunnya al Qur`an


Fungsi turunnya al Qur`an :
a. Sebagai petunjuk ( hudan ) bagi umat manusia.
b. Sebagai rahmat atau keberuntungan dari Allah dalam bentuk kasih sayang-Nya untuk umat
manusia.
c. Sebagai pembeda ( furqon ) antara yang baik dan buruk, halal haram, salah benar, dan
sebagainya.
d. Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam kehidupan
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.
e. Sebagai berita gembira ( busyro ) bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan
semua manusia.
f. Sebagai penjelasan ( tibyan ) atau yang menjelaskan ( mub i n ) terhadap sesuatu yang
disampaikan Allah.
g. Sebagai pembenar ( mushaddiq ) terhadap kitab yang sebelumnya ( Taurat, Zabur, Injil )
sebelum adanya perubahan terhadap isi kitab tersebut.
h. Sebagai cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia menuju jalan keselamatan.
i. Sebagai tafsil, yaitu memberi penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai
yang dikehendaki Allah.
j. Sebagai syifau al shudur, yaitu obat rtohani yang sakit.
k. Sebagai hakim, yaitu sumber kebijaksanaan.

C. AS-SUNNAH
1. Pengertian As-sunnah
Secara etimologi sunnah berarti cara yang biasa dilakukan, baik cara itu baik atau buruk.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan al-Sunnah sesuai dengan perbedaan
dengan keahlian masing-masing.
Para ulama Hadits mengatakan bahwa al-Sunnah adalah:
“Setiap apa yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul saw berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
akhlak atau kehidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya, seperti
tahanuts (berdiam diri) yang dilakukan di gua Hira atau sesudah kerasulan beliau”

2. Kehujjahan As Sunnah
Abdul Wahab Khalaf Al-Sunnah dari segi kehujjahannya ia merupakan sumber dalam
melakukan istinbath hukum dan menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak
menemukan jawaban dalam Al-Quran tentang peristiwa yang terjadi, mereka mencari dalam sunnah

3. Macam-macam As-Sunnah
a. Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar sahabat beliau dan disampaikannya
kepada kepada orang lain.

4. Periwayatan sunnah
Periwayatan Sunnah mempunyai tingkatan kebenaran yang ditentukan oleh faktor-faktor;
bersinambungnya khabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada orang yang menyimpulkan
dan membukukannya, kuantitas orang yang membawa khabar pada tiap sambungannya, kualitas pembawa
khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, dan kejujuran serta keadilannya.

D. IJMA DAN QIYAS


1. Pengertian Ijma
Secara bahasa ijma berarti sepakat atau consensus dari sejumlah orang terhadap sesuatu.
Adapun pengertian ijma menurut istilah ushul fiqh dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Menurut imam al-Ghazali yang dinyatakannya dalam kitab al-Mustafa adalah Ijma adalah
kesepakatan umat Muhammad saw atas satu perkara yang berhubungan dengan urusan
agama.
b. Menurut Imam al-Subki dalam kitabnya Matn Jam’I al Jawami adalah Ijma adalah
kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, terhadap persoalan
yang berkaitan dengan hukum syara’.
c. Kemudian dari kalangan ulama ushul kontemporer, Ijma adalah kesepakata para mujtahid
Islam atas sesuatu perkara ukum syara’.

2. Unsur-unsur dan persyaratan Ijma


Tentang rukun atau unsur Ijma ini, kalangan ulama ushul ada yang mengatakan empat unsur
adapula yang meagatakan lima unsur. Abdul Wahab khalaf dan Safi Hasan Abu Thalib misalnya
menyebutkankan bahwa rukun atau unsur ijma ada empat, yaitu:
a. Adanya kesepakatan sejumlah mujtahid pada suatu masa tentang tentang suatu peristiwa
yang terjadi, kesepakatan ini harus dari sejumlah mujtahid dan tidak dipandang ijma jika
hanya seorang mujtahid saja.
b. Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak
dipandang Ijma jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja.
c. Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat
ddilihat dalam perbuatan
d. Kesepakatn itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang
ijma, jika kesepakatan itu hanya berasal dari sebagian mujtahid saja, sedangkan sebagian
kecil lainnya menyalahinya.
Disamping empat rukun atau unsur yang disebutkan ini, ternyata Zaky al-Din Sya’ban dan
Abdul Kadir Zaidin menambahkan dua unsur lagi yaitu Ijma itu adalah kesepakatan yang
terjadi sesudah wafatnya nabi. Kemudian Ijma itu merupakatan kesepakatan yang berkaitan
dengan masalah hukum syara’. Seperti wajib, haram, sunnah, dan seterusnya.

A. Pembagian Al-Qur’an dan As-Sunnah


1. Pembagian Al-Qur;an

 Surat, ayat dan ruku'


Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas
beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya
memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas
sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.

 Makkiyah dan Madaniyah


Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat
Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah) . Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat
dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan
surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
 Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang
dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-
Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian
dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki
hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

 Menurut ukuran surat


Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat
bagian, yaitu:

 As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-
A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
 Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
 Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya.
 Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq,An-Nas dan
sebagainya.
a. Karakteristik Al-qur’an

Dr. Yusuf Qaradhawi memaparkan beberapa karakteristik Al-Quran dalam kitabnya ” Kaifa Nata’amal
ma’al al-Quran, secara singkatnya sebagai berikut :

1) Al-Quran adalah Kitab Ilahi

2) Al-Quran adalah Kitab Suci yang terpelihara

3) Al-Quran adalah Kitab suci yang menjadi Mukjizat

4) Al-Quran adalah Kitab Suci yang menjadi Penjelas dan dimudahkan Pemahamannya

5) Al-Quran adalah Kitab Suci yang Lengkap

6) Al-Quran adalah Kitab Suci Seluruh Zaman

7) Al-Quran adalah Kitab suci bagi Seluruh Umat Manusia

b. Karakteristik As-Sunnah
Menurut al-qardawi sunnah memilii karakteristik-karakteristi tertentu dimana mengenalinya menjadi
sakah satu faktor yang mempengaruhi pemahaman terhadap sunnah.berikut ini karakteristik-
karakteristiknya:
a. syumul
b. tawazur
c. takamul
d. waqi’
B. Perintah(Al-Amar) Dan Larangan (Al-Nahyu)
1. Perintah (Al-Amar)
a. Pengertian Al-Amar

Pengertian al-Amr secara bahasa berarti menuntut untuk mengerjakan sesuatu atau
membuatnya.Adapun menurut istilah berarti suatu lafal yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi
kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya untuk melakukan suatu
perbuatan.
C. Al-Amm ( Umum ) Dan Al-Khash ( Khusus )

1. Umum (Al-Am)
a. Pengertian Lafadz ‘Amm
Secara bahasa ‘amm berarti syamil ( yang berarti mencakup, menyeluruh).
Secara istilah berarti :

‫ال فظ المرتفرق ل مسع افراده بأ حص‬


“ Lafadz yang mencakup seluruh anggotanya tanpa ada batasan”.
Lafadz ‘amm adalah suatu lafadz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (Rahmat Syafi’i :2007.193). Pengertian Takwil
Ta’wil secara etimologi berasal dari kata “al-aul” yang berarti “kembali”. Dan al-akibah( akibat atau
pahala) seperti firman Allah dalam Qs. An-Nisa’ : 59).
E. Metode-Metode Ta’wil/Langkah-langkah ta’wil
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila
dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan
pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari
kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa
bentuk ta'wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang
mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari
makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.
1. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul
disebut takhshish al-umum (‫)العموث تخاسص‬. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228
2. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam
bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq ( ‫)المط ق تقسس‬.
3. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam
QS.An-Nisa': 2

4. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti
perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna wajib, kemudian
ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat
selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.

F. Pengertian Muhkam Dan Mutasyabih


1. Pengertian muhkam

Muhkam berasal dari kata Ihkam yang bearti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan
pencegahan.Sedangkan secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak
memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.Contoh surat Al- Baqarah ayat 83
Artinya : “dan ketika kami mengambil janji dari anak-anak Israel : tidakakan menyembah selain Allah,
dan berbuat kebaikankepadaIbu,Bapak dan kerabat dekat dan anak-anak-piatu dan orang-oarng miskin, dan
ucapkanlah kata yang baik kepada manusia,dan kerjakanlah sembahyang dan bayarlah zakat, kemudianitu
kamu berpaling kecuali sebagian kecil dari padamu dan kamu tidak mengambil perduli”.
2. PengertianMutasyabih

Kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang
biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha berarti dua hal yang masing-
masing menyerupai yang lainnya.Sedangkan secara terminology Al Mutasyabih berarti ayat-ayat yang
belum jelasmaksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang
tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau Allah yang mengetahuinya.
G. Mutlaq Dan Muqayyad
1. Pengertian mutlak

Kata mutlaq secara bahasa,berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. secara istilah,lafal
mutlaq di definisikan ahli ushul fiqih sebagai berikut:

1) Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan
yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2) Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa
memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu
menurut apa adanya.
3) Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada
hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
2. Pengertian Muqayyad
Secara bahasa,kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah,muqayyad adalah lafal yang
menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu. Misalnya,ungkapan
rajulun iraki(seorang laki-laki asal irak),hamba sahaya yang beriman.

H. Mujmall dan Mubayyan

1. Pengertian Mujmall

Secara etimologi ada beberapa arti yang diberikan kepada lafaz Mujmal. Pertama, Mujmal diartikan
sebagai global/ umum atau dalam bahasa Arab disebut ‫ال مع‬. Kedua, Mujmal diartikan dengan ‘samar’ atau
dalam bahasa Arab disebut َّ‫ال ِي‬. Ketiga, ada pula yang memberi arti Mujmal dengan ‘yang tidak diketahui
arti’ atau dalam bahasa Arab disebut dengan ‫المِيم‬.
Sedangkan secara terminologi atau secara pengertian istilah Mujmal diartikan sebagai berikut:
1) Prof.DR. Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan al-Mujmal sebagai berikut, “al- Mujmal menurut
istilah ulama Ushul, ialah lafazh yang shighotnya tidak dapat menunjukan kepada pengertian yang
dikandung olehnya, dan tidak terdapat qorinah-qorinah lafazh atau keadaan yang dapat
menjelaskannya. Maka sebab itu kesamaran di dalam al-Mujmal ini bersifat lafzhi bukan sifat yang
baru datang”.
2) Wahbah al-Zuhaili mendefinisian Mujmal sebagai berikut:
“Lafaz yang samar maksudnya, yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan dari pembicara
sendiri. Tidak dapat diketahui dengan akal karena hanya bisa diketahui dengan dalil naqli dari
pembicara itu. Maksudnya lafaz itu tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya penjelasan dari yang
me-mujmalkan ataual-Mujmil atau Syari’.

3. Kehujjahan Ijma
Para ulama memang berbeda pendapat tentang kehujjahan ijma. Perbedaan ini lebih banyak
dipengaruhi perosalan-persoalan subsansial Ijma dan aspek internal masing-masing mazhab ushul.
Persoalan subtansial ijma disini apakah ijma itu dalam arti kesepakatan seluruh mujtahid tanpa terkecuali
atau sebagian besar mujtahid saja. Dengan kata lain, perbedaan para aspek ini menyangkut batasan ijma itu
sendiri dan ukuran kesepakatan para mujtahid tentang sesuatu masalah.

4. Pengertian Qiyas
Secara etimologi qiyas diartikan dengan megukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Dalam
buku-buku ushul fiqhi kita temukan bebrapa ungkapan lain yang berarti mengukur dan mengamalkan atau
qiyas dapat pula diartikan dengan mengukur sesuatu yang lain kemudian mengamalkannya. Adapun secara
terminology, kalangan ulama ushul terdapat tedapat sejumlah defenisi sebagai berikut:
a. Muhammad Abdul Gani al-Bayiqani menyebutkan bahwa Qiyas adalah menghubungkan
sesuatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash karena diantara
keduanya terdapat pertautan (persoalan) illat hukum.
b. Syaikh Muhammad al-Khudari Beik menyatakan bahwa Qiyas adalah memberlakukan
ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang (persoalan baru yang tidak
disebutkan nash) karena adanya pertautan illat keduanya.
c. Abdul Karim Zaidan menyebutkan defenisi Qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang
tidak dijelaskan oleh nash hukumnya degaan sesuatu yang telah dijelaskan didalam nash
karena antara keduanya terdapat kesamaan Illat hukum.

5. Rukun dan syarat-syarat Qiyas


Ulama ushul sepakat bahwa Qiyas harus bepijak kepada empat rukun yaitu
a. Adanya pokok disebut al-ashl yaitu persoalan peristiwa telah disebutkan hukumnya
didalam nash
b. Adanya al-Fara’ atau cabang yaitu persoalan (peristiwa baru) yang tidak ada nash yang
menjelaskan hukumnya dengan pokok melalui qiyas. Cabang ini disebut juga dengan
maqis yakni yang diserupakan.
c. Adanya illat ialah sifat atau keadaan yang terdapat pada pokok dan ia menjadi pensyariatan
hukum. Pemberlakuan hukum pokok pada cabang bertitik tolak dari kesamaan illat antara
keduanya yaitu pokok cabang.

1) ISTIHSAN

A. Pengertian Istihsan

Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu).
Sedangkan Istihsan berarti “menganggap sesuatu itu baik”. Atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau
mencari yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. Adapun pengertian istihsan menurut
istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf
2) MASLAHAH MALIK
A. Teori Maslahah Malik

Menurut Imam Malik bahwa maslahat mursalat adalah kemasla-hatan yang tidak ada pembatalannya
dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash akan tetapi maslahat mursalah ini tidak boleh
bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok.
Teori maslahah mursalah menu-rut imam Malik sebagaimana dinukil-kan oleh imam Syatibi dalam
kitab al-I’tisham adalah suatu maslahat yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syarak, yang
berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyah (primer)
maupun hujjiyah (sekunder).

B. Syarat-syarat Terhadap Pengguna Maslahah Mursalah


Imam Malik dalam menggunakan maslahah mursalah sebenarnya tidak memberikan peluang
terhadap subjek-tivitas seseorang. Hal ini terbukti dengan adanya syarat-syarat yang ia terapkan terhadap
pengguna maslahah mursalahdengan ketat, syarat-syarat tersebut adalah:

1. Maslahah mursalah harus memiliki kecenderungan mengarah kepada tujuansyari’at walaupun secara
umum dan tidak bertentangan dengan dasar-dasar Syarak, dalil-dalil hukum.
2. Pembahasannya harus bersifat rasional dengan indikasi seandainya dipaparkan terhadap orang-orang
berakal mereka akan menerimanya.
3. Penggunaanya bertujuan untuk kebu-tuhan yang sangat darurat atau untukmenghilangkan berbagai
ben-tuk kesulitan dalam beragama.
4. Maslahah mursalah yang digunakan untuk membuat hukum adalah benar-benar maslahah secara nyata
bukan dugaan.
5. Maslahah yang dipakai adalah maslahah umum, bukan maslahah bagi kepentingan satu golongan atau
individu tertentu.19

3) MASLAHAH MURSALAH

A. Pengertian Maslahah Mursalah

Dilihat dari segi bahasa maslahah mursalah terdiri dari kata maslahah dan
mursalah, kata maslahah sama seperti katamanfa’ah, baik artinya maupun wazannya (timbangannya), yaitu
kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah, seperti lafaz manfa’ah sama artinya
dengan an-naf’u. Sedangkan menurut istilah Maslahah mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah
yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan.
A. KLASIFIKASI NASIKH DAN MANSUKH
a. Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani bil Qur’aani)
Bagian ini dsiepakati kebolehannyaa dan telah terjadi di dalam pandangan mereka
yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
b. Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah(Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Naskh ini ada dua macam:
1). Naskh Al-qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-
qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni,
bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas
diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
2). Naskh Al-qur’an dengan hadits mutawattir.
Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
c. Naskh sunnah dengan Al-qur’an(Naskhus Sunnah bil Qur’aani)
Naskh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah diganti
dengan hukum yang didasarkan dengan Al-qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh
jumhur Ulama’. Contohnnya seperti berpuasa wajib pada hari
d. Nasikh sunah dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah)
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh
keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.

B. BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:
1. Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah
berkata:

َّ ‫ا َّى‬
‫َّللاُ َ َ ْس ِه‬ َ ‫سو ُل ال َّ ِي‬ ‫ِخنَ ِب َخ ْم اس َم ْع ُو َما ا‬
َ ‫ت فَت ُ ُو ِف‬
ُ ‫َ َم‬ ْ ‫ت دُ َح ِر ْمنَ ِ ُ َّم نُر‬
‫ت َم ْع ُو َما ا‬ َ ‫آن َ ْ ُر َم‬
‫ض َعا ا‬ ِ ‫َكانَ فِس َما أ ُ ْن ِز َل مِ نَ ْالقُ ْر‬
ِ ‫س َّ َم َعه َُّن فِس َما دُ ْق َرأ ُ مِ نَ الق ْر‬
.‫آن‬ ُ ْ َ ‫َع‬
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali
penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan:
“Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
2. Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:

‫صابِ ُرعنَ دَ ْغ ُِِوا مِ ائَتَس ِْن َعإِن دَّ ُكن مِ ْن ُك ْم مِ ائ ٌََّ دَ ْغ ُِِوا أ َ ْل ًفا‬ َ َ‫ض ْال ُمؤْ مِ نِسنَ َ َى ْال ِقت َا ِل إِن دَ ُكن مِ ن ُك ْم ِ ْ ُرعن‬ ِ ‫َ َح ِر‬ ُّ ِِ‫دَآأَدُّ َيا ال َّن‬
َ‫مِ نَ الَّذِدنَ َكف َُرعا ِبأَنَّ ُي ْم قَ ْو ٌث الَ دَ ْفقَ ُيون‬
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
‫ف َد ْغ ُِِوا أ َ ْلفَس ِْن ِبإ ِ ْذ ِن‬ ٌ ‫صا ِب َرة ٌ َد ْغ ُِِوا مِ ائ َتَس ِْن َع ِإن َد ُك ْن مِ ْن ُك ْم أ َ ْل‬
َ ٌََّ ‫ض ْعفًا فَإِن َد ُكن مِ ن ُكم مِ ائ‬
َ ‫ف هللاُ َن ُك ْم َع َ َِم أ َ َّن فِس ُك ْم‬ َ َّ‫ْالئَانَ َخف‬
َ‫اابِ ِردن‬ َّ ‫هللاِ َعهللاُ َم َع ال‬
3. Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.
Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
‫ام ُ ُمو ُه َما ْالَِتَََّّ نَكَاالً مِ نَ هللاِ َع هللاُ َ ِزد ٌْز َح ِك ْس ٌم‬ ْ َ‫ال َّ ْس ُخ َعال َّ ْس َخَُّ ِإذَا زَ نَسَا ف‬
Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya. Pembalasan
itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi Maha Bijaksana.

C. KEDUDUKAN NASIKH
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam
disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan
techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan
adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut(raf) atau
menjelaskan(bayan).Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-
jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih
nampak. Tapi bila ditinjau dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski
demikian,pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu
interpretasi hukum.
D. HIRARKI PENGGUNAAN NASIKH
Hirarki Penggunaan Naskh Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati urutan
pertama dalam interpretasi hukum-syari'at? Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam
syari'at, baik al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh
meragukan, supaya kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat memperjelas kondisi
sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi bahasanya,
proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal
ini harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam') atau memperkuat salah satu
diantaranya (tarjih). Baik upaya jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam
disiplin ilmu Usul Fiqh. Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara dua
ketentuan hukum itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan adanya
nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya terletak pada soal historis yang
menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi
Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari suatu
upaya interpretasi.

E. RUANG LINGKUP PENGGUNAAN NASIH


Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 106, maksudnya adalah ayat al-Quran yang allah
telah naskh (diganti, ditukar, dan dihapuskan) atau yang ditinggalkan, itu olehnya akan didatangkan lagi
ayat yang lebih baik atau yang seumpama serupa atau yang sebandingnya. Dengan ini jelaslah adanya ayat
didalam al-Quran yang nasikh dan yang mansukh, yang mengganti atau menghapuskan dan yang diganti
atau dighapuskan.
Ayat 106 dari surat al-Baqarah itu, menurut Syahrur, yang dimaksud dengan naskh pada ayat tersebut
adalah naskh anatara syariat samawi, sebagaimana juga dapat dipahami dari surat. Firman Allah swt.
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinyaPadahal Allah
lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja. bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. an-Nahl: 101)
Bahwa kata “ayat” dalam dua ayat tersebut di artikan oleh Syahrur sebagai risalah samawi bukan sejumlah
ayat dalam al-Quran sebagaimana yang diduga oleh kebanyakan orang.
uraa: 13)
F. PERBEDAAN PEMIKIRAN TERHADAP NASIKH
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun
secara istilah, maka ada dua macam:
Naskh menurut istilah, para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang
berbeda-beda.
- Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan
berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”.
- Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan:
“Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang
datang setelahnya”

G. HIKMAH ADANYA NASIKH


1. untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna
2. selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam
semua keadaan dan disepanjang zaman.
3. untuk menjaga agar perkembangan hukum islam agar selalu relevan dengan semua situasi dan
kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
4. untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian
dari naskah itu mereka tetap kuat, setia mengamalkan hukum-hukum Allah, atau dengan begitu lalu
mereka ingkar dan membangkang.
5. untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-
hukum perubahan walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
6. untuk memberi dispensi dan keringanan bagi ummat islam sebab dalam beberapa nasakh
banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan
kemurahan allah swt, yang maha pengasih lagi maha penyayang.

H. NASIKH MANSUKH
Nasikh artinya yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum
dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakikatnya nasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.

Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang
mengartikan ‫[المرتفعالحكم‬4] yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum
syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’
baru yang datang kemudian.
A. Pengertian ta’arud aladillah
Kata at-ta’arudh, secara etimologis merupakan kata yang dibentuk dari fi’il madhi (‫)عرض‬, yang
artinya menghalangi, mencegah atau membandingi. Artinya, menurut penjelasan para ahli bahasa, kata
at-ta’arudh berarti saling mencegah, menentang atau menghalangi.
Sedangkan secara terminologi, para ulama memiliki berbagai pendapat misalnya seperti yang
disebutkan oleh Rahmat Syafei dalam bukunya, antara lain:
1. .Imam Syaukani : Ta’arrudl al-Adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap
suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil ini.
2. Kamal ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, Ta’arrudl al-Adillah adalah pertentangan antara dua dalil
yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya. Sedangkan Ibn Qudamah seperti yang
dikutip Wahbah mengemukakan definisi ta`arudh al-adillah sebaiagai beirkut. Ta`arudh adalah
sesuatu ungkapan dipakai untuk saling meniadakan dua dalil atau beberapa dalil yang menunjukkan
pertentangan yang sulit mengkompromikan antara keduanya. Misalnya antara dua dalil yangs satu
menunjukkan hukum wajib sementara yang lain mmenunjukkan hukum haram.

B. Syarat-Syarat Ta’arrudl
1. Kedua dalil yang bertentangan berbeda dalam menentukan hukum. Seperti hukum yang terkandung
dalam QS. Al-Baqarah : 180 dengan QS. An-Nisa : 11, mengenai harta peninggalan orang yang
meninggal dunia.
2. Kedua dalil yang mengalami pertentangan berada dalam satu hukum (satu masalah). Ketika ada
dalil yang tampak bertentangan akan tetapi, kedua dalil tersebut berbeda dalam menunjukan
hukum, maka tidak disebut ta’arudh (pertentangan),
3. Antara dalil yang mengalami pertentangan harus terjadi dalam satu masa dalam menentukan
hukum. Apabila waktunya sudah berbeda dalam penunjukan hukum, maka dalil tersebut tidak
dinamakan pertentangan. Ketika terjadi ta’arudh akan tetapi waktu penunjukan hukum ayat itu
berbeda maka ayat tersebut bisa disatukan. Seperti arak pada masa awal Islam hukumnya boleh,
tetapi ketika turun ayat yang menunjukan bahwa arak haram, secara otomatis kedua penunjukan
hukum seperti ini tidak menunjukan adanya pertentangan,
4. Kedua dalil tersebut berada dalam derajat yang sama dalam penunjukan hukum. Tidak ada
perentangan antara al-Quran dengan Hadits Ahad, karena al-Quran dalam penunjukan hukumnya
adalah sebagai dalil qathi”, sedangkan Hadits Ahad termasuk dalam dalil zhanni. Apabila terjadi
pertentangan antara dalil qathi’ dan zahnni, maka secara otomatis dalil qathi’ yang didahulukan.

. C. Macam-macam Ta’arrud Al-Adillah


Ada empat macam Ta’arudh al-Adillah yaitu
1. Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an Seperti firman Allah SWT yang terdapat
pada QS.Al-Maidah :3 yaitu : Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, … (QS.Al-Maidah :3).Ayat ini nampaknya ta’arudh (bertentangan) dengan firman Allah
SWT dalam QS.Al-An’am :145) yaitu :
Artinya : “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir…” (QS.Al-An’am : 145).
2. Ta’arudh antara As-Sunnah dengan As-Sunnah
Dibawah ini adalah dua Hadits yang bertentangan yaitu
ARTINYA
“Dari Siti ‘Aisyah dan Ummi Salamah RA bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan
junub karena melakukan jimak kemudian mandi dan menjalankan puasa”. (HR.Mutafaqun
Alaih).
ini bertentangan dengan hadits berikut ini:
ARTINYA “Bila telah dipanggil untuk sembahyang subuh,sedang salah satu di antaramu
dalam keadaan junub maka jangan puasa hari itu”. (HR.Imam Ahmad dan Ibnu Hibban).
3. Ta’arudh antara As-Sunnah dengan Al- Qiyas Ta’arudh kedua dalil ini bisa dikemukakan antara
sunnah dengan qiyas dalam menetapkan hukum kebolehan bagaimana halnya bila seseorang
mengadakan jual beli unta atau kambing yang diikat putik susunya agar kelihatan besar,sedang
setelah dibeli dan diperah susunya terbukti adanya gharar.
4. Ta’arudh antara Qiyas dengan Qiyas Ta’arudh ini bisa dicontohkan dari pengqiasan terhadap
masalah perkawinan Nabi Muhammad SAW terhadap Siti ’Aisyah
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yaitu :
(Yang artinya) : ”Dari ‘Aisyah ,beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur
enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembilan
tahun”..(H.R.Muslim dari ‘Aisyah).

A. Cara Penyelesaiannya.
Dewasa ini ulama ushul fiqih terdapat dua pendapat dalam menyelesaikan ta’arudh, yaitu sebagai
berikut:
1. umhur Ulama (Kebanyakan Ulama)
Para ulama ini yang kebanyakan adalah pengikut Imam Syafi’i, Imam Maliki dan golongan
Zhahiriyah. Ulama ini berpendapat ketika terjadi pertentangan dua dalil, maka metode yang
ditempuh untuk keluar dari kontradiksi tersebut adalah sebagai berikut:
Al-Jam’u wa talfiq bain al-Muta’aridhain (mengumpulkan dan menkompromikan dalil yang
bertentangan)
Metode yang pertama digunakan ulama ini adalah mengumpulkan dan mengkompromikan dalil
yang bertentangan. Alasan mereka berdasarkan kaidah mengamalkan kedua dalil lebih baik
daripada mengabaikan salah satu dalil.
2. Al-Tarjih (menguatkan) Apabila dengan metode mengumpulkan dan mengkompromikan dalil yang
mengalami kontradiksi tidak dapat ditemukan jalan keluarnya. Jumhur ulama sepakat metode yang
kedua digunakan adalah dengan cara al-tarjih.
3. Tatsaquth al-Dalilain (Meninggalkan kedua Dalil) Metode ini ditempuh ketika cara nomor satu
sampai nomor tiga tidak bisa menjadi jalan keluar dari pertentangan dalil yang ada.

A PENGERTIAN TARJIH.
a. Dari segi bahasa
Secara etimologi berarti”menguatkan”,sedangkan menurut terminology, ada dua definisi yang
dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
B. Syarat-syarat tarjih
Adapun syarat-syarat tarjih yaitu:
1. Adanya persamaan antara dua dalil tersebut tentang ketsubutannya (status ketetapan dalilnya).
Oleh karena itu terjadi ta’arudh atara Al-Qur’an (yang qathi’i Al-Tsubut) dengan Hadits Ahad (yang
dzhanny Al-Tsubut)
2. Adanya persamaan dalam kekuatannya. Jadi, jika yang satu dalil itu Hadits mutawatir dan yang
lain Hadits Ahad, maka tidak ada ta’arudh. Karena dalam hal semacam ini hadits mutawatirlah yang
harus didahulukan.
C. CARA PENTARJIHAN
Para ulama usul fiqh mengemukakan bahwa cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan
apabila antara dua dalil secara dhahir (teks) terdapat pertentangan (ta`arudh) dan tidak mungkin
dilakukan al-jama` wa al-tawfiq (penggabungan) atau al-nasakh (menghapuskan). Adapun
mengenai cara-cara pentarjihan pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar,
yaitu: (1). Al-tarjih baina al-nusush, artinya menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith) yang
saling bertentangan. (2). Al-tarjih baina al-aqyisah, yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi)
yang saling bertentangan.
1. Al-Tarjih Baina al-Nusush
Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling
bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa
cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu: (a). Dari segi sanad (para perawi hadith). (b).
dari segi matan (teks) hadith. (c). Dari segi hukum atan kandungan hadith (madlul) . (d). Pentarjihan
dengan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash (amr al-kharij).
a. Dari Segi Sanad ( Para Perawi Hadith)
Imam al-Syawkany ( 1172-1250 H/ 1759-1828 M) berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan
dengan 42 cara, yang di antaranya dikelompokkan kepada:
Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
b. Dari Segi Matan
Yang dimaksud dengan matan di sini adalah teks ayat, hadith, atau ijma`. Imam al-Amidi ahli ushul
fiqh mazhab Syafi`i (551-631 H/ 1156-1233 M), mengemukakan 51 cara dalam pentarjihan dari
segi matan,
c. Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum
Cara pentarjihan melalui metode ini, Imam al-Amidi mengemukakan ada 11 cara, sedangkan
Muhammad ibn Ali al-Syawkani menyederhanakannya menjadi 9 cara, di antaranya sebagai
berikut:
Teks yang mengandung bahaya Jumhur lebih didahulukan dari teks yang membolehkan. Alasannya
hadith Rasulullah SAW:
)‫معاه الِسيقى‬. )‫ ما ا تمع الحأ ل عالحراث اال غ ب الحراث‬.4
Artinya: "Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang haram lebih
dominan". (HR. Al-Baihaqy).

Anda mungkin juga menyukai