Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“tasyri priode pertama”

TARIKH TASYRI

Disusun Oleh

MUHAMMAD RIFKI
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan kronologi dalam konteks sejarah perkembangannya, syari’at
Islam telah banyak mengalami evolusi dan berbagai dinamika. Selama periode
kenabian, fondasi-fondasi hukum Islam barada dibawah ijtihad-ijtihad Rasulullah
SAW dan para sahabat-sahabatnya. Selama periode tersebut, wahyu Allah dan Sunnah
Rasulullah ditetapkan sebagai satu-satunya sumber hukum Islam.
Dalam tahap berikutnya, pada masa Khulafaur Rasyidin, prinsip-prinsip ijma’
dalam fiqih mulai dikembangkan, dan ijtihad menjadi prinsip independen dari fiqih
yang bernama qiyas. Madzhab pada periode tersebut pada dasarnya merupakan
madzhab masing-masing khalifah, sebab keputusan akhir dalam permasalahan hukum
berada ditangan mereka.
Selanjutnya pada periode awal dari Dinasti Umayyah memperlihatkan adanya
pembagian ulama fiqih kedalam dua madzhab utama dalam hal kaitannya dengan
ijtihad yaitu; ahlul –ra’yu dan ahlul-hadits. Dua madzhab tersebut berkembang
menjadi sejumlah madzhab baru selama peralihan dari sistem ke-khalifahan menuju
sistem monarkhi, ketika khalifah tidak lagi menjadi sesepuh madzhab.
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendati pemerintahan Islam selanjutnya
dipegang oleh Dinasti Abbasyiah. Berbeda dengan periode sebelumnya yang ditandai
dengan perluasan wilayah, periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini.
Periode ini, dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai fase atau zaman
keemasan. Adapun beberapa faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam
pada periode ini beberapa diantaranya; pendirian dan perkembangan madzhab fiqih,
pengaruh pembukuan hadits terhadap perkembangan hukum Islam, serta pengaruh
pembukuan fiqih dan pembukuan ushul fiqih terhadap perkembangan hukum
IslamBerikut kami akan menjelaskannya dalam pembahasan makalah kami yang
berjudul “Dinamika tasyri’ pada masa Ulama’ pembangun mazhab serta berbagai
factor social yang melatarbelakangi terjadinya kemajuan tasyri’ yang sangat pesat”
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tasyri’ Dalam Empat Madzhab Fiqih


1. Madzhab Hanafi
a. Pendiri: Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 703-767 M)
Madzhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama’ pendirinya yaitu Abu
Hanifah, yang mana nama asli beliau adalah Nu’man bin Tsabit ibn Zuthi. An-
Nu’man adalah gelar yang diberikan kepada beliau yang berarti darah atau spirit,
sedangkan Hanifah adalah gelar yang berarti ahli ibadah. Secara politik Imam Abu
Hanifah hidup dalam dua generasi, beliau lahir pada tahun 80 H/ 702 M di Kufah,
Iraq; artinya beliau lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa
kekuasaan ‘Abd Al-Malik bin Marwan, dan beliau meninggal di Baghdad pada tahun
150 H/ 767 M pada masa Dinasti Abbasiyyah.
Ayahnya adalah pedagang sutera asli Persia, yang masuk Islam pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. selain terbiasa menjual pakaian, keluarganya juga
memiliki pemahaman yang baik terhadap agama sejak ayahnya, Tsabit bertemu
dengan Ali bin Abi Thalib dan mendoakan keberkahan kepada keluarganya. Imam
Abu Hanifah juga menghafalkan Al-Qur’an seperti halnya kebanyakan orang-orang
yang taat beragama pada zaman tersebut, dan setelah hafal Al-Qur’an beliau
menghafal As-Sunnah untuk memperbaiki agamanya.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman
Abbasiyyah. Akan tetapi, sikap politik beliau berpihak pada alul bait keluarga Ali
yang selalu dianiaya dan selalu ditindas oleh Bani Umayyah. Ketika Yazid bin ‘Umar
bin Hubairah (Zaman Dinasti Umayyah) menjadi gubernur Iraq, Abu Hanifah diminta
menjadi hakim di pengadilan, tetapi ia menolaknya. Akibatnya beliau ditangkap dan
dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun atas pertolongan ahli cambuk, ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Makkah. Ia tinggal disana selama 6 tahun
(130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kuffah dan
menyambut kekuasaan Abbasiyyah dengan rasa gembira.
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga
melakukan kekerasan kepada Alul bait. Abu Hanifah tampil mengkritik Bani
Abbasiyyah, serta para hakim dan mufti pemerintah. Ketika diminta oleh Al-Manshur
untuk menjadi hakim dipengadilan, Abu Hanifah menolaknya. Akhirnya beliau
dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H akibat penderitaannya dalam
tahanan.
b. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Ketika beliau sudah mulai mengenal cara mengatur hidup dengan mulai
berdagang dan mencari nafkah untuk keluarga, beliau tidak punya banyak
kesempatan untuk menemui para ulama, kecuali ketika libur. Beliau biasa berdiskusi
dengan orang lain serta berkawan dengan para petani lebah, dengan pergaulan
tersebut, mereka berhasil memberi kemampuan orasi yang baik dan fitrah yang suci
kepada Imam Abu Hanifah. Pekerjaan sebagai pedagang berhasil menenamkan dua
sifat baik bagi beliau, yaitu jauh dari para penguasa dan tidak berminat dengan
jabatan.
Keadaan ini terus berlangsung hingga Imam Abu Hanifah mampu menarik
simpati dan rasa kagum para ulama atas motivasi dalam belajar dan menambah
wawasan, sehingga para ulama’ tersebut menasihati beliau untuk fokus menuntut ilmu
dan meninggalkan pekerjaan dagangnya.
Imam Abu Hanifah sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, beliau
mengawali studinya di bidang filsafat dan dialektika atau yang dikenal dengan ilmu
kalam. Namun setelah menguasai beragam kedisiplinan ilmu tersebut, beliau beralih
dan mulai mendalami fiqih dan hadits.
c. Guru-guru Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, mengenal
seluk beluk dan wawasan mereka, kemudian beliau berguru dengan beberapa ulama
yang terkemuka pada zamannya, diantaranya yaitu; Hammad bin Sulaiman yang
merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan banyak memberikan
pengaruh dalam membangun madzhab fiqihnya. Hammad bin Sulaiman belajar fiqih
dari Ibrahim An-Nakha’i sedangkan Imam An-Nakha’i belajar dari Alqamah An-
Nakha’i yang pernah belajar dengan Abdullah bin Mas’ud, yang merupakan seorang
sahabat terkemuka yang dikenal memeliki ilmu fiqih dan logika yang mumpuni.
Imam Abu Hanifah juga belajar hadits dari beberapa tabi’in seperti ‘Atha’ bin
Abi Rabah, dan Nafi’ pembantunya Ibnu Umar. Beliau juga meriwayatkan dari
beberapa orang seperti Zaid bin Ali bin Zainal Abidin, Ja’far Ash-Shadiq, dan
Abdullah bin Hasan. Disamping itu, beliau juga belajar fiqih selama dalam perjalanan
haji dengan beberapa ulama, terutama fuqaha’ Makkah, termasuk ketika beliau
mukim disana selama enam tahun setelah beliau hijrah ke Makkah pada tahun 130 H.
d. Metodologi Pengajaran Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah mendasarkan metode pengajarannya pada prinsip syuro
(Musyawarah). Beliau menyodorkan beberapa persoalan hukum pada murid-muridnya
untuk dibahas dan didiskusikan. Masing-masing orang menyampaikan pendapatnya,
terkadang mereka setuju dan terkadang mereka tidak dan sesekali mereka bersuara
keras. Apabila mereka telah mencapai kesepakatan pemahaman dalam suatu masalah,
barulah Imam Abu Hanifah mendiktekannya kepada para murid, atau ada murid yang
menuliskan untuk beliau. Melalui pendekatan yang interatif dalam membuat ketetapan
hukum ini, bisa dikatakan bahwa Madzhab Hanafi sebagian besar adalah hasil usaha
murid-muridnya dan hasil usahanya sendiri.
Terkadang pula terdapat perbedaan diantara mereka dan tidak menemukan
kata sepakat, lalu ditulislah semua pendapat yang ada, dengan cara inilah berdiri
Madzhab Imam Abu Hanifah atas dasar musyawarah, tukar pendapat, dan diskusi.
Dari sinilah kemudian lahirlah murid-murid Imam Abu Hanifah yang memiliki
kemampuan untuk melakukan penelitian dan Ijtihad, meskipun mereka masih dalam
tahap belajar dan menuntut ilmu.
Mereka juga sering mendiskusikan problem hipotesis dan mencarikan solusi-
solusinya, dengan mengandaikan sebuah persoalan sebelum persoalan-persoalan itu
benar-benar terjadi. Karena mengarah pada fiqih hipotesis, yang sering
mengedepankan sebuah persoalan lewat pertanyaan “Bagaimana seandainya hal
demikian terjadi?”, mereka akhirnya dikenal sebagai kaum “Bagaimana jika” atau
Ahlul Ra’yu.
Di masanya, dalam menetapkan hukum islam, beliau dipengaruhi kondisi
sosial di Kufah yang kurang tentang perbendaharaan ilmu hadist, disamping itu, kufah
sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan persia yang masyarakatnya sudah
mencapai peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema
kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum, serta banyaknya pemalsuan
hadist, sehingga menyulitkan Imam Abu Hanifah dalam penetapan hukum, karena
hakl tersebut, beliau dalam menetapkan hukum Islam banyak menggunakan ra’yi.
e. Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid, ada yang tinggal beberapa waktu
untuk belajar dan jika sudah selesai merekapun pulang dengan membawa bekal dari
gurunya berupa ilmu dan fiqih. Diantara murid-murid beliau yang ber-mulazamah
(nyantri) dengan sang guru, yang termasyhur adalah:
1) Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Anshori
Beliau adalah sebesar-besarnya murid Abu Hanifah dan penolongnya yang
paling utama. Ia juga adalah orang pertama yang menyusun buku-buku menurut
madzhab Imam Abu Hanifah dan mendiktekan masalah-masalah serta menyiarkan.
Maka akhirnya tersiarlah ilmu Abu Hanifah ke penjuru bumi.
2) Zufar bin Hudzai bin Qais Al-Kufi
Beliau termasuk ahli hadits, kemudian dikalahkan oleh ra’yu. Ia juga
merupakan orang yang paling banyak menggunakan qiyas diantara murid-murid
Abu Hanifah. Ia tidak mengindahkan kemewahan dunia dan hidupnya selalu
disibukkan dengan ilmu dan mengajar sampai meninggalnya pada tahun 157 H.
3) Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani.
Diwaktu anak-anak, beliau menuntut ilmu, meriwayatkan hadits, dan belajar
dari Abu Hanifah. Setelah Abu Hanifah meninggal, selanjutnya beliau
menyempurnakan pembelajaran pada Yusuf. Beliau mempunyai akal yang cerdas,
sehingga berkembang sangat pesat dan menjadi tempat kembali ahli ra’yu.
4) Hasan bin Ziyadi Al-Lu’lui Al-Kufi maula Anshar
Beliau termasuk murid Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Beliau
menulis buku-buku tentang Madzhab Hanafi, tetapi buku-buku dan pendapat-
pendapatnya tidak dapat dianggap seperti buku-buku dan pendapat Muhammad.
Menurut Ahli Hadits, derajatnya rendah.
Dari ke-empat murid Imam Hanafi, yang paling banyak jasanya dalam
meriwayatkan hadits adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani.
Mereka berdualah yang pertama kali menulis fiqih Madzhab Imam Hanifah.
Karena fiqih imam ini mempunyai kedudukan tersendiri dalam madzhab,
maka para ulama Hanafiyah ketika menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah dan
murid-muridnya. Mereka memberi gelar ‘Syaikhani’ kepada Imam Abu Hanifah dan
Abu Yusuf jika keduanya sepakat, sementara Imam Muhammad Asy-Syaibani
menentang. Sedangkan jika yang sepakat adalah Abu Yusuf dan Muhammad, tanpa
Abu Hanifah, mereka menamakannya sebagai ‘pendapat dua sahabat’. Adapun jika
hanya dari salah satunya, maka pendapat tersebut dinisbahkan langsung pada
namanya. Sedangkan Zufar selalu disebut dengan namanya.
Para murid Imam Abu Hanifah ini juga mempunyai murid yang menukil
pendapat Hanafi dengan membuat penjelasan, komentar, dan meringkas kitab-kitab
generasi awal madzhab ini. bahkan diantara mereka yang berhasil menggali hukum-
hukum baru yang belum pernah dikemukakan oleh guru-guru mereka.
f. Dasar Madzhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki cara tersendiri dalam men-istinbath hukum yang
tidak ada sebelumnya. Beliau pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika
tidak ada maka dari sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada pada keduanya, saya akan
mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain,
dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan mengambil pendapat orang lain,
dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Syatibi, Al-Hasan, Ibnu Sirin
dan Sa’ad bin Al-Musayyab, maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dasar Imam Abu
Hanifah dalam meng-istinbath hukum adalah:
1) Al-Qur’an
Merupakan sumber utama syari’at Islam, dan kepadanya dikembalikan semua
hukum, dan tidak ada satu sumber hukum pun, kecuali dikembalikan kepadanya.
2) Sunnah
Sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an, menjelaskan yang global dan alat
dakwah bagi Rasulullah dalam menyampaikan risalah Tuhannya. Maka
barangsiapa tidak mengamalkan sunnah, sama artinya tidak mengakui risalah
Tuhannya.
3) Ijma’ Sahabat
Alasan penggunaannya; karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah,
lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan
merekalah yang membawa ilmu Rasulullah kepada umatnya.
4) Qiyas
Beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Al-Qur’an, sunnah, atau
ucapan sahabat, beliau menggali illat permasalahan yang tidak terdapat dasar
hukumnya, untuk di sama kan dengan dengan permasalahan yang sudah ada dasar
hukumnya. Jika menemukannya, ia mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan
dan menjawab masalah yang terjadi dengan menerapkan illat yang ditemukannya.
5) Al-Istihsan
Secara sederhana yaitu, suatu bukti yang lebih disukai daripada bukti lainnya,
karena ia tampak lebih sesuai dengan situasimya, walaupun bukti yang digunakan
ini bisa jadi secara teknis lebih lemah daripada bukti lain yang digunakan
tersebut. Ini bisa menyangkut preferensi atau pemilihan sebuah hadits yang lebih
spesifik diatas hadits yang bersifat umum. Atau bisa juga menyangkut preferensi
hukum yang lebih tepat diatas hukum yang dirumuskan dengan qiyas.
6) Ijma’
Beliau mengakui ijma’ para ulama disemua periode sebagai hal yang valid dan
mengikat umat Islam.
7) Al-‘Urf
yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum Muslim yang tidak ada
nash-nya baik didalam Al-Qur’an, Sunnah, maupun lainnya. Akan tetapi
kebiasaan tersebut berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash
sehingga dapat dijadikan hujjah.
g. Peta Penyebaran Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi dapat tersebar luas di Negeri Islam bagian Timur pada abad-
abad pertengahan berkat kekuasaan Imam Abu Yusuf sebagai hakim agung di
Baghdad dan sebagai akibat pengutamaan khalifah-khalifah Abbasiyyah terhadap
madzhab Hanafiah dalam lapangan pengadilan. Untuk negeri-negeri Maghribi,
madzhab tersebut dipakai sampai hampir tahun 400 H, sehingga dapat menguasai
kepulauan Sisilia.
Selanjutnya, Madzhab Hanafi tersebar dibanyak negeri, bahkan menjadi
Madzhab resmi di Negara Iraq, terutama disekitar Sungai Eufrat, walaupun tidak
begitu dominan dalam hal ibadah. Madzhab Hanafi mulai tersebar di Kufah,
kemudian ke Baghdad, Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India, Cina, Bukhara,
Kaukasus, Afghanistan, dan Turkistan.
Hingga saat ini sebagian besar Madzhab Hanafi tersebar didaerah India,
Afganistan, Pakistan, Iraq, Syiria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname, dan juga
sebagian diantaranya berada didaerah Mesir. Madzhab ini juga masih terus menjadi
referensi dalam mengeluarkan fatwa oleh negara-negara yang pernah tunduk dibawah
pemerintahan Turki Usmani hingga sekarang.
2. Madzhab Maliki
a. Pendiri: Imam Malik (93-179 H / 717-801 M)
Madzhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin ‘Amir Al-Ashbahi, lahir
di Madinah pada tahun 93 H/ 717 M dari kedua orang tua keturunan Arab. Ayahnya
berasal dari Kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan Ibunya bernama Aliyah
binti Syuraik dari Kabilah Azdi.
Kakek Imam Malik adalah seorang pembesar tabi’in, banyak meriwayatkan
hadits dari sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin
‘Ubaidllah, dan ‘Aisyah. Imam Malik tidak pernah meninggalkan kota Madinah,
kecuali untuk menunaikan ibadah haji. Ia membatasi dirinyadengan hanya mendalami
pengetahuan yang terdapat di Madinah.
Tidak berbeda dengan Imam Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama dua
zaman. Ia lahir pada zaman Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Walid
bin ‘Abd Al-Malik, dan meninggal pada zaman Bani Abbasiyyah, tepatnya pada
zaman Harun Ar-Rasyid. Beliau sempat merasakan masa pemerintahan Bani
Umayyah selama 40 tahun dan Bani Abbasiyyah selama 46 tahun.
Imam Malik menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman
pemerintah pada waktu itu. Beliau tidak memihak kepada pemberontak maupun
pemerintah. Tidak memihak kepada pemberontak karena menurut beliau, keadaan
tidak dapat diperbaiki dengan pemberontakan, dan beliau tidak berpihak kepada
pemerintah karena beliau telah menyaksikan pemerintah sering melakukan penindasan
terhadap lawan politiknya, seperti terhadap keturunan ‘Ali bin Abi Thalib pada zaman
Dinasti Umayyah.
Pada tahun 764 M Imam Malik ditangkap dan dianiaya atas perintah Amir
Madinah, karena mengeluarkan ketetapan hukum bahwa perceraian yang dipaksa
adalah tidak sah. Ketetapan ini dianggap bertentangan dengan praktik para penguasa
Abbasiyyah. Imam Malik diikat dan dipukul sampai bahunya rusak, hingga beliau
tidak mampu berpegangan pada dadanya (bersedekap) ketika sholat.
Imam Malik melanjutkan mengajar haits di Madinah selama lebih dari 40
tahunsambil menyusun buku yang memuat hadits-hadits Nabi dan Atsar para sahabat
dan tabi’in yang beliau namai dengan Al-Muwatha’. Beliau mulai mengumpulkan
hadits-hadits tersebut atas perintah dari Khalifah Abbasiyyah, Abu Ja’far Al-Mansur
yang menginginkan sebuah kitab undang-undang hukum yang komprehensif yang
didasarkan pada Sunnah Nabi, yang bisa diterapkan secara seragam diseluruh wilayah
pemerintahannya. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, Imam Malik menolak
memaksakannya kepada umat, dengan alasan bahwasannya para sahabat telah
menyebar diberbagai wilayah pemerintahan dan memiliki sebagian Sunnah Nabi
lainnya yang juga dianggap sebagai hukum yang bisa berlaku diseluruh wilayah
kerajaan. Khalifah Harun Ar-Rasyid juga melakukan permintaan yang sama, akan
tetapi beliau juga menolaknya. Imam Malik meninggal dikota tempat dimana beliau
dilahirkan pada tahun 801 M/179 H dalam usia 83 tahun.
b. Pendidikan Imam Malik
Imam Malik sudah menghafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, berguru
pada Rabi’ah Ar-Ra’yi ketika beliau masih sangat muda. Beliau berpindah dari satu
ulama ke ulama yang lain untuk mencari ilmu, sampai beliau bertemu dan ber-
mizalamah dengan Abdurrahman bin Hurmuz.
Imam Malik sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu apapun, meskipun
beliau bukan termasuk orang yang kaya. Akan tetapi semua yang dimilikinya
digunakan untuk mencari ilmu, sampai beliau menjual atap rumahnya sebagai bekal
untuk mencari ilmu. Beliau sangat penyabar terhadap sikap keras dari para urunya,
mendatangi mereka disaat teriknya matahari dan sejuknya udara.
Beliau mengawali pembelajarannya dengan menekuni ilmu riwayat hadits,
mempelajari fatwa para sahabat, dan dengan inilah beliau membangun
madzhabnya.tidak sebatas itu, beliau juga mengkaji setiap ilmu yang ada
hubungannya dengan ilmu syari’at.
c. Guru-Guru Imam Maliki
Imam Malik mendapatkan ilm fiqih dan hadits dari para gurunya, diantara
guru-guru beliau yang masyhur adalah;
Abdurrahman bin Hurmuz, beliau adalah seorang tabi’in yang ahli dalam hal
qira’at dan ahli hadits, beliau meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-
Khudhri, dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Imam Malik tinggal bersama
Abdurrahman bin Hurmuz dalam waktu yang lama dan tidak bergaul dengan orang-
orang lain.
Selain itu, beliau juga belajar hadits pada Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, Ibnu
Syihab Az-Zuhri, dan Abu Zanad bin Dzakwan. Adapun guru beliau dalam bidang
fiqih adalah Yahya bin Sa’id, darinya beliau belajar ilmu fiqih dan periwayatan, serta
beliau juga belajar kepada Abdullah bin Abdurrahman dalam bidang fiqih logika yang
sangat ternama, sehingga beliau dijuluki ‘Rabi’ah logika’.
Perlu kita ketahui, bahwa semua guru Imam Malik telah merepresentasikan
semua disiplin ilmu; fiqih logika, hadits, dan ucapan sahabat. Imam Malik berguru
dari mereka semua, sehingga ia menjadi ahli fiqih dan hadits, bisa berfatwa, dan
melayani semua permasalahan.
d. Metode Pengajaran Imam Maliki
Imam Maliki memiliki dua majelis taklim yaitu; majelis hadits dan majelis
fatwa. Beliau membuat jadwal khusus untuk fatwa dan hadits. Adapun metode
pengajaran yang dilakukan Imam Malik didasarkan pada ungkapan hadits dan
pembahasan atas makna-maknanya, kemudian dikaitkan dengan konteks
permasalahan yang ada pada saat itu.
Beliau juga meriwayatkan kepada murid-muridnya berbagai hadits dan atsar
atas dasar berbagai topik hukum Islam dan kemudian mendiskusikan implikasi-
implikasinya. Kadangkala beliau meneliti masalah-masalah yang sedang terjadi
ditempat para murid-muridnya berasal, kemudian mencarikan hadits-hadits atau atsar-
atsar yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Imam Malik sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, beliau tidak mau
menjawab pertanyaan yang beliau tidak tahu jawabannya. Jika beliau tidak dapat
memastikan hukum suatu masalah, beliau akan mengatakan tidak tahu, agar terlepas
dari salah fatwa, tidak tergesa-gesa dalam menjawab, dan berkata kepada si penanya
“Pergilah nanti saya lihat dahuli !”. Dalam memberikan fatwa, beliau hanya akan
menjawab masalah yang sudah terjadi, dan tidak melayani masalah yang belum
terjadi, meskipun ada kemungkinan untuk terjadi. Imam Malik tidak pernah
menganggap remeh atau susah masalah yang ditanyakan kepada beliau, akan tetapi
semua dianggap berat, terlebih jika permaslahan tersebut menyangkut halal dan
haram.
Setelah penyusunan Al-Muwattha’ selesai, Imam Malik menjelaskan kitab
tersebut kepada murid-muridnya sebagai madzhabnya, namun ia akan selalu
menambahkan didalamnya ketika ada informasi beru yang sampai kepadanya. Imam
Malik sangat menghindari spekulasi dan fiqih hipotesis, sehingga madzhabnya dan
para pengikutnya dikenal sebagai Ahlul Hadits.
Tiga hal yang menyebabkan Madzhab Maliki berbeda dengan Madzhab
Hanafi; Pertama, banyak pendapat-pendapatnya oleh Imam Malik sendiri di Kota
kelahirannya dengan disertai alasan-alasannya dan dengan demikian maka kita bisa
melihat dengan jelas dasar-dasar madzhab beliau, sebagaimana dapat kita lihat dari
kitabnya muwattha’.
Kedua, madzhab Maliki merupakan hasil karya penelitiannya, sumbangan dari
para muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar
yang ditetapkan Imam Malik, dan oleh karena itu, murid-murid Imam Malik termasuk
dalam tingkatan mujtahid madzhab. Lain halnya dengan Madzhab Hanafi yang
merupakan hasil penelitian bersama dan pendapat-pendapat berbagai fuqaha’ telah
telah ikut serta membina madzhab tersebut, oleh karenanya mereka termasuk dalam
tingkatan mujtahid mutlak.
Ketiga, Madzhab Maliki banyak sekali menerima ijma’ sahabat dan tabi’in
sebagai salah satu dasar dalam penetapan hukum, sedangkan Madzhab Hanafi tidak
terdapat hal demikian.
e. Murid-Murid Imam Malik
Lamanya beliau tinggal di Madinah dan ketokohannya dalam bidang fiqih
telah memberi andil besar bagi tersebarnya madzhab beliau dan banyaknya murid
yang datang untuk belajar dari segala penjuru negeri Islam, diantaranya dari; Syam,
Iraq, Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia. Dari merekalah madzhab beliau kemudian
menyebar keseluruh negeri Islam.
Diantara muridnya yang masyhur adalah; Abdullah bin Wahab yang berguru
kepada Imam Malik selama 20 tahun dan menyebarkan Madzhab Maliki di Mesir dan
Maroko. Imam Malik sangat menghormati dan mengagumi beliau dan sering menulis
surat kepadanya ke Mesir dan menjulikinya sebagai faqih Mesir, wafat pada tahun
197 Hijriyah.
Diantara muridnya yang lain adalah Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Mishry,
memiliki peranan penting dalam menulis Madzhab Imam Malik, berguru kepada
Imam Malik selama kurang lebih juga 20 tahun. Meriwayatkan kitab Al-Muwattaha’
dan periwayatannya termasuk yang paling shohih. Wafat pada tahun 192 H.
Selain keduanya yang masyhur adalah; Asyhab bin ‘Abdul ‘AzizmAl-Qaisi,
rujukan kaum Muslimin di Mesir dan Tunisia dalam bidang fiqih. Wafat pada tahun
224 H. Selain itu ada juga Abu Hasan Al-Qurthubiy, belajar kitab Al-Muwattha’
secara langsung kapada Imam Malik dan menyebarkannya di Andalusia. Selain
murid-murid yang disebutkan tersebut, masih banyak lagi murid-murid beliau yang
berasal dari berbagai penjuru negara.
f. Dasar Madzhab Imam Malik
Imam Malik tidak pernah menuliskan dasar dan kaidah madzhabnya dalam
ber-istinbath serta manhaj-nya dalam ber-ijtihad walaupun beliau pernah mengatakan
atau meng-isyaratkannya. Berdasarkan penjelasan dan isyarat Imam Malik serta hasil
istinbath para fuqaha’ madzhab dari berbagai masalah furu’iyyah yang dinukilkan dan
juga pendapat yang ada dalam kitab Al-Muwattha’ dapat kami simpulkan bahwa dasar
madzhab Imam Malik adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam yang lainnya, Imam Malik menempatkan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum paling utama dan memanfaatkannya tanpa memberikan
persyaratan apapun dalam penerapannya.
2) Sunnah
Imam Malik dalam meng-istinbatkan hukum dari sunnah adalah mengambil
hadits mutawattir, hadits masyhur di zaman tabi’in atau tabi’ tabi’in, sedangkan
mengenai hadits ahad, beliau lebih mengutamakan perbuatan penduduk Madinah
atas hadits adah jika terjadi perlawanan diantara keduanya.
3) Amalan Penduduk Madinah
Imam Malik berpandangan bahwa, karena sebagian besar Masyarakat Madinah
merupakan keturunan langsung para sahabat dan Madinah sendiri menjafi tempat
Rasulullah SAW menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnnya, maka praktik yang
dilakukan semua Masyarakat Madinah pasti diperbolehkan, atau justru malah di
anjurkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya Imam Malik menganggap
praktik umum Masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang otentik, yang
diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata, dengan demikian maka
perbuatan penduduk Madinah lebih kuat dari pada hadits ahad.
4) Ijma’ Sahabat
Seperti halnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik memandang ijma’ sahabat,
dan juga ijma’ para ulama sebagai sumber hukum Islam yang ketiga jika memang
tidak ada nash dalam suatu permasalahan.
5) Qiyas
Imam Malik sebagaimana Imam Hanafi, juga menggunakan qiyas dengan
makna istilah dalam menggali hukum, yaitu menggabungkan hukum satu
masalahyang tidak ada nash-nya dengan masalah yang sudah ada nash-nyakarena
ada persamaan dalam aspek illat-nya. Namun demikian, beliau sangat berhati-hati
dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti
itu.
6) Istihsan dan Al-Mashalih Al-Mursalah (Istislah)
Prinsip istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah juga diterapkan
oleh Imam Malik dan murid-muridnya. Hanya saja mereka menyebutnya istislah,
istislah, yang secara sederhana berarti mencari sesuatu yang lebih sesuai
(maslahat). Istihsanberkaitan dengan hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan
manusia, tetapi tidak disebutkan oleh syari’ah secara khusus.
Imam Malik juga menerapkan prinsip istislah untuk merumuskan hukum-
hukum, guna menyesuaikan dengan kebutuhan yang muncul dalam situasi aktual
daripada yang dirumuskan dengan qiyas.
7) Syadd Adz-Dzara’i
Dasar ini dapat dilihat dalam banyak masalah furu’iyyah yang dinukil dari
Imam Malik. Maksud dari saddu dzara’i adalah sesuatu yang mengakibatkan
perbuatan haram adalah haram, dan yang dapat membawa kepada yang halal
maka hukumnya halal sesuai dengan ukurannya. Dan setiap yang dapat membawa
kerusakan maka haram hukumnya.
8) Al-‘Urf
Seperti halnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga memanfaatkan adat-
istiadatdan kebiasaan-kebuasaan sosial yang beragam dari masyarakat di berbagai
wilayah Islam sebagai sumber hukum skunder, sepanjang hal itu tidak
berlawanan dengan syari’ah.
g. Peta Penyebaran Madzhab Maliki
Perkembangan Madzhab Maliki tidak dapat lepas dari jasa para murid yang
telah meriwayatkan dan menyebarkan madzhabnya setelah beliau wafat. Mereka
berhasil memperluas pembahasan, manhaj, dan perinciannya.
Madzhab Imam Maliki tersebar di negeri Hijaz, karena disitulah ia lahir dan
berkembang. Selain itu juga tersebar di Mesir ketika sang imam masih hidup, di
Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, Torablus dan Sudan, dan dominan di Bashrah dan
Baghdad dari waktu ke waktu.
Saat ini pengikut-pengikut Madzhab Maliki banyak tersebar di daerah Mesir,
Sudan, Afrika Utara (Tunisia, Aljazair, dan Maroko), Afrika Barat (Mali, Nigeria,
Chad, dll), dan negara-negara Arab (Kuwait, Qatar, dan Bahrain).
Salah satu faktor utama bagi tersebarnya Madzhab Maliki di negara-negara
Islam adalah Kitab Al-Muwattha’. Hasil karya sang imam tersebut telah membuat
madzhabnya terkenal sejauh negeri Islam membentang, terlebih ia ditulis pada
zaman yang tidak mudah untu melakukan itu, mengingat sulitnya sarana pendukung
ketika itu.

3. Mazhab Syafi’i
a. Pendiri : Imam Syafi’i (150 H/ 769 M – 204 H/ 820M)
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Usman
bin Syafi’i Al-Hasimi Al-Muthalabi dari keturunan Bani Muthalib bin Abdul Manaf.
Beliau dan Rasulullah SAW bertemu pada kakeknya Abdul Manaf. Beliau
dilahirkan di kota Ghaza wilayah Negara Syiria pada tahun 150 Hijriah / 769
Masehi. Beliau wafat di Mesir pada tahun 204 Hijriah pada masa pemerintahan
Khalfah Al-Ma’mun (berkuasa, 813-832 M).
b. Pendidikan Imam Syafi’i
Menginjak masa remaja ia kemudia berangkat ke Madinah untuk belajar Ilmu
Fiqh dan Hadis kepada Imam Malik. Imam Syafi’i sanggup menghapal keselurahan
isi karya Imam Malik, Al-Muwattha’, dan melisankannya lagi dengan sempurna.
Imam Syafi’i terus belajar dibawah bimbingan Imam Malik hingga gurunya tersebut
wafat pada tahun 801 Masehi. Kemudian ia berangkat ke Yaman dan mengajar
disana. Imam Syafi’i terus berdiam di Yaman sampai kemudian, pada tahun 805
Masehi, ia dituduh condong kepada sekte Syiah dan dibawa kepada khalifah
Abbasiyah, Harun Al-Rasyid, (berkuasa pada tahun 786-809 M) di Iraq, sebagai
seorang terpidana. Untungnya ia mampu membuktikan kebenaran pendapat-
pendapatnya sehingga ia terbebas dari hukuman. Imam Syafi’i tetap tinggal di Iraq
dan belajar sebentar kepada Imam Muhammad bin Hasan, salah seorang murid
terkemuka Imam Abu Hanifah. Berikutnya Ima Syafi’i berangkat Mesir dengan
tujuan hendak belajar kepada Imam al-Laits, tetapi sebelum ia sampai di mesir,
Imam al-Laits wafat. Meski demikian ia tetap bisa mendalami Mazhab Laitsi lewat
para muridnya.
c. Metodologi Pengajaran Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mengkombinasikan Fiqh Hijaz (Mazhab Maliki) dengan Fiqh Iraq
(Mazhab Hanafi) dan menciptakan Mazhab baru yang ia diktekan kepada murid-
muridnya dalam bentuk buku yang dinamakan Al-Hujjah (bukti). Pendiktean ini
berlangsung di Iraq pada tahun 810 Masehi dan sejumlah murid-muridnya
menghafalkannya dan menyampaikannya pada orang lain. Buku dan keulamaan ini
disebut sebagai Mazhab Qadim untuk membedakannya dengan periode
keulamaannya yang kedua yang berlangsung setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir.
Di Mesir ia menyerap Fiqh dari Imam Al-Laits bin Sa’d dan mendiktekan Mazhab
Jadid kepada murid-muridnya dalam bukunya yang lain, Al-Umm. Karena
penjelajahannya yang benar-benar atas serangkaian hadits dan dalil-dalil hukum,
dalam Mazhab Jadid, Imam Syafi’i banyak merivisi pendapat-pendapat hukumnya
yang ia tetapkan saat berada di Iraq. Imam Syafi’i memiliki perbedaan dengan
periode keulamaannya yang pertama dalam mensistematisasikan prinsip-prinsip
dasar Fiqh yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Ar-Risalah.
d. Murid-murid Imam Syafi’i
Murid-murid utama Imam Syafi’i yang meneruskan pemikiran-pemikirannya
adalah: Imam Muzani, Imam Rabi’ dan Imam Yusuf bin Yahya.
1) Imam Muzani (791-876 M)
Nama lengkap Imam Muzani adalah Ismail bin Yahya Al-Muzani. Ia
merupakan pengikut setia Imam Syafi’i selama beliau tinggal di Mesir. Imam
Muzani tercatat sebagai penulis buku yang mengumpulkan secara komprehensif
mengenai fiqh Imam Syafi’i. Berikutnya, ulasan tersebut terkumpul dan
dibukukan dengan judul fiqh Mazhab Syafi’i yang paling banyak dikaji.
2) Imam Rabi’ Al-Maradi (790-873 M)
Imam Rabi’ tercata sebagai narator utama buku Imam Syafi’i, yaitu Al-Umm.
Imam Rabi’ menulisnya di sepanjang masa hidup Imam Syafi’i bersama-sama
dengan buku Ar-Risalah dan buku-buku lainnya.
3) Yusuf bin Yahya al-Buwaiti
Yusuf bin Yahya menggantikan posisi Imam Syafi’i sebagai guru utama
Mazhab Syafi’i. Ia dipenjara dan disiksa hingga wafat di Baghdad karena
menolak pandangan resmi Filsafat Mu’tazilah perihal kemakhlukan Al-Qur’an.1
e. Dasar Mazhab Imam Syafi’i
1) Al-Qur’an
Imam Syafi’i bersandar pada Al-Qur’an seketat para Imam sebelumnya
yang hanya menambah pandangan-pandangan baru di dalamnya setelah melalui
pengkajian yang mendalam terhadap makna ayat-ayatnya.
2) Sunnah
Imam Syafi’i hanya bersandar pada satu syarat dalam menerima sebuah
hadis, yaitu hadis tersebut harus shahih. Ia menolak semua persyaratan lainnya
sebagaimana diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Imam
Syafi’i tercatat memiliki sumbangan yang besar sekali dalam bidang ilmu kritik
hadis.
3) Ijma’
Meskipun Imam Syafi’i memiliki keragu-raguan yang serius mengenai
kemungkinan Ijma’ dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa
kasus dimana Ijma’ tidak terelakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok
hukum Islam urutan ketiga.
4) Pendapat individual sahabat
Imam Syafi’i menaruh kepercayaan atas pendapat individual sahabat dengan
catatan pendapat tersebut antara satu dengan yang lainnya tidak bervariasi. Jika
ada pertentangan pendapat di dalamnya, sebagaimana Imam Abu Hanifah, ia
akan memilih pendapat yang paling dengan sumbernya dan mengabaikan yang
lainnya.
5) Qiyas
Dalam pandngan Imam Syafi’i, Qiyas merupakan metode yang sah dalam
merumuskan hukum lebih lanjut dari sumber-sumber hukum sebelumnya.
Meski demikian, ia menempatkan pada posisi terakhir, dengan memandang
1
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.112.
pendapat pribadinya berada di bawah dalil-dalil yang didasarkan atas pendapat
para sahabat.
6) Istishab
Istishab secara literal berarti mencari suatu keterkaitan, tetapi secara hukum,
istishab merujuk pada proses permusuhan hukum-hukum Fiqh dengan
mengaitkan serangkaian keadaan-keadaan berikutnya dengan keadaan
sebelumnya. Istishab didasarkan atas asumsi bahwa hukum Fiqh bisa
diaplikasikan pada kondisi-kondisi tertentu yang tetap sah sepanjang
persyaratannya tidak berubah.
f. Peta Penyebaran Mazhab Imam Syafi’i
Mayoritas pengikut Mazhab Syafi’i saat ini terdapat di Mesir, Arab bagian
selatan (Yaman, Hadramaut), Srilangka, Indonesia, Malaysia, Afrika bagian timur
(Kenya, Tanzania), dan Suriname di Amerika Serikat.
4. Madzhab Hambali
a. Pendiri : Imam Ahmad bin Hambal (164 H / 778 M–241 H / 855 M)
Nama lengkap dari pendiri Madzhab Imam Hambali adalah Ahmad bin
Muhammad bin Hambal al-Syabani al-Marzawi. Beliau dihirkan di Marwa pada tahun
164 H/ 778 M dan wafat pada tahun 241 H/ 855 M di Baghdad, Iraq. 2Imam Hambali
termasuk salah satu diantara Ulama-ulama yang terkenal kuat daya hapalannya dan
seorang perawi hadis terkemuka pada masanya. Dengan memusatkan pada studi hadis,
Imam Hambali menggeluti ilmu hadits dan fiqh dibawah bimbingan Imam Abu
Yusuf, murid termashur Imam Abu Hanifah, juga kepada Imam Syafi’i.
Imam Hambali mengalami serangkaian hukuman dan penganiayaan di bawah para
khalifah pada masanya karena pengadopsian mereka terhadap Filsafat Mu’tazilah. Ia
dipenjara dan dianiaya selama dua tahun atas perintah Khalifah Al-Ma’mun (berkuasa
813-842 M), karena penolakannya terhadap konsep Filosofis Mu’tazilah bahwa Al-
Qur’an adalah makhluk. Sesudah dibebaskan, Imam Hambali mengajar di Baghdad
sampai Al-Watiq menjadi Khalifah (berkuasa 842-846 M) dan memperbaharui
hukumnya.
b. Pendidikan Imam Hambali

2
Roibin, Dimensi-dimensi Sosio-Antropologis Penetapan Hukum Islam dalam Lintasa Sejarah, cet. 1, (Malang:
UIN-PRESS, 2010), hal. 80
Imam Ahmad mengadakan perjalanan/mengembara ke Kufah, Basrah,
Makkah, Madinah, Syiria dan Yaman. Beliau meriwayatkan hadits dari Hasyim.
Ibrahin bin Sa’ad, Sufyan bin Uyanah dan dari yang lainnya. Belajar Fiqh pada Imam
Syafi’i ketika datang/ada di Baghdad, Ahmad termasuk murid Syaf’i yang tertua yang
berkebangsaan Baghdad dimana di kemudian hari ia menjadi mujtahid mustaqil (yang
independen). Beliau melebihi dari kawan-kawannya dalam menghafal Sunnah Nabi
SAW, memeliharanya dan mengumpulkannya percerai-berainya.
c. Metodologi pengajaran Imam Hambali
Perhatian utama Imam Ahmad bin Hambal adalah pengumpulan, periwayatan,
dan interpretasi hadis. Metodi pengajarannya melalui pendiktean hadits-hadits dari
koleksi lengkapnya yang dikenal sebagai Al-Musnad, yang memuat lebih dari 30.000
Hadits, dan juga berdasarkan berbagai pendapat dari sahabat berkaitan dengan
interpretasi mereka. Berikutnya, Imam Hambali menerapkan hadits-hadits atau fatwa-
fatwa para sahabat tersebut terhadap problem yang ada. Jika tidak menemukan hadits-
hadits atau pendapat-pendapat dari sahabat yang sesuai untuk memecahkan suatu
persoalan, Ima Hambali menawarkan pendapatnya sendiri dengan tetap melarang
murid-muridnya untuk mencatat solusi yang ia tawarkan. Sebagai akibatnya,
Mazhabnya dicatat, bukan oleh murid-muridnya, tetapi oleh para murid dari murid-
muridnya tersebut.
d. Murid-murid utama Imam Ahmad bin Hambal
Murid-murid utama Imam Hambali adalah dua orang putranya, yaitu Salih (wafat
tahun 873 M) dan Abdullah (wafat tahun 903 M). Imam Bukhari dan Muslim, pengimpul
hadits yang termasyhur, adalah termasuk diantara para ulama besar hadis yan pernah
belajar di bawah bimbingan Imam Hambali.
e. Dasar-dasar Madzhab Imam Hambali
1) Al-Qur’an
Tidak ada perbedaan cara Imam Hambali memandang Al-Qur’an dengan yang
dilakukan oleh para Imam sebelumnya. Dengan kata lain, Al-Qur’an diberi
kedudukannya paling tinggi mengatasi semua sumber hukum lainnya untuk semua
keadaan.
2) Sunnah
Demikian juga Sunnah Nabi SAW menempati posisi kedua di antara prinsip-
prinsip dasar yang digunakan oleh pendiri Mazhab Hambali ini dalam proses
pengambilan hukum. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa Sunnah atau Hadits yang
digunakan harus Marfu’, yakni diatributkan langsung kepada Nabi SAW.
3) Ijma’ Sahabat
Imam Hambali mengakui Ijma’ para sahabat, dan menempatkannya sebagai
sumber hukum pada posisi ketiga diantara prinsip-prinsip dasar lainnya. Namun
demikian, ia mengesampingkan Ijma’ diluar era para sahabat dan memandangnya
sebagai Ijma’ yang tidak akurat, dengan alasan terlalu banyaknya jumlah para ulama dan
terpencar-pencarnya mereka di sepanjang imperium Islam. Dalam pandangan Imam
Hambali, Ijma’ sesudah berlalunya era sahabat adalah sesuatu yang mustahil.
4) Pendapat Individual Sahabat
Jika sebuah persoalan muncul dalam wilayah di mana para sahabat telah
mengungkapkan pendapatnya yang saling bertentangan, sebagaimana Imam Malik,
Imam Hambali mempercayai semua pendapat individu para sahabat yang beraneka
ragam itu. Oleh karenanya, sebagai konsekuensinya, dalam mazhabnya berkembang
banyak hal mengenai ketetapan hukum yang beragam mengenai kasus-kasus individual.
5) Hadits Da’if
Untuk ketetapan hukum atas suatu kasus dimana tidak ada satu pun dari empat
prinsip di atas yang bisa menawarkan solusi, Imam Hambali cenderung menggunakan
Hadits da’if daripada menggunakan Qiyas. Namun demikian, ini harus dengan syarat
Da’if-nya hadits bukan karena adanya fakta bahwa salah satu dari para perawinya adalah
orang Fasik atau Kazab.
6) Qiyas
Sebagai jalan terakhir, yaitu ketika sejumlah prinsip-prinsip di atas tidak bisa
diterapkan secara langsung, Imam Hambali secara enggan menerapkan prinsip Qiyas dan
mengambil solusidengan bersandar pada satu atau lebih prinsip-prinsip sebelumnya.
f. Peta Penyebaran Mazhab Hambali
Sebagian besar pengikut Mazhab Hambali tersebar di Palestina dan Saudi Arabia.
Tetap eksisnya Mazhab Hambali di Saudi Arabia, sesudah hampir tidak ditemukan lagi di
negeri muslim manapun, adalah karena adanya fakta bahwa pendiri yang di namakan
Gerakan Revivalis, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, pernah belajar kepada para
Ulama yang menganut Mazhab Hambali, dan dengan demikian secara tidak resmi menjadi
Mazhab Fiqh dan Gerakan Revivalis tersebut. Ketika Abdul Aziz bin Sa’ud merebut
sebagian besar semenanjung Arabia dan mendirikan Dinasti Sa’ud, ia menjadikan Mazhab
Hambali sebagai dasar dari sistem hukum kerajaan.

Anda mungkin juga menyukai