TARIKH TASYRI
Disusun Oleh
MUHAMMAD RIFKI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan kronologi dalam konteks sejarah perkembangannya, syari’at
Islam telah banyak mengalami evolusi dan berbagai dinamika. Selama periode
kenabian, fondasi-fondasi hukum Islam barada dibawah ijtihad-ijtihad Rasulullah
SAW dan para sahabat-sahabatnya. Selama periode tersebut, wahyu Allah dan Sunnah
Rasulullah ditetapkan sebagai satu-satunya sumber hukum Islam.
Dalam tahap berikutnya, pada masa Khulafaur Rasyidin, prinsip-prinsip ijma’
dalam fiqih mulai dikembangkan, dan ijtihad menjadi prinsip independen dari fiqih
yang bernama qiyas. Madzhab pada periode tersebut pada dasarnya merupakan
madzhab masing-masing khalifah, sebab keputusan akhir dalam permasalahan hukum
berada ditangan mereka.
Selanjutnya pada periode awal dari Dinasti Umayyah memperlihatkan adanya
pembagian ulama fiqih kedalam dua madzhab utama dalam hal kaitannya dengan
ijtihad yaitu; ahlul –ra’yu dan ahlul-hadits. Dua madzhab tersebut berkembang
menjadi sejumlah madzhab baru selama peralihan dari sistem ke-khalifahan menuju
sistem monarkhi, ketika khalifah tidak lagi menjadi sesepuh madzhab.
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendati pemerintahan Islam selanjutnya
dipegang oleh Dinasti Abbasyiah. Berbeda dengan periode sebelumnya yang ditandai
dengan perluasan wilayah, periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini.
Periode ini, dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai fase atau zaman
keemasan. Adapun beberapa faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam
pada periode ini beberapa diantaranya; pendirian dan perkembangan madzhab fiqih,
pengaruh pembukuan hadits terhadap perkembangan hukum Islam, serta pengaruh
pembukuan fiqih dan pembukuan ushul fiqih terhadap perkembangan hukum
IslamBerikut kami akan menjelaskannya dalam pembahasan makalah kami yang
berjudul “Dinamika tasyri’ pada masa Ulama’ pembangun mazhab serta berbagai
factor social yang melatarbelakangi terjadinya kemajuan tasyri’ yang sangat pesat”
BAB II
PEMBAHASAN
3. Mazhab Syafi’i
a. Pendiri : Imam Syafi’i (150 H/ 769 M – 204 H/ 820M)
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Usman
bin Syafi’i Al-Hasimi Al-Muthalabi dari keturunan Bani Muthalib bin Abdul Manaf.
Beliau dan Rasulullah SAW bertemu pada kakeknya Abdul Manaf. Beliau
dilahirkan di kota Ghaza wilayah Negara Syiria pada tahun 150 Hijriah / 769
Masehi. Beliau wafat di Mesir pada tahun 204 Hijriah pada masa pemerintahan
Khalfah Al-Ma’mun (berkuasa, 813-832 M).
b. Pendidikan Imam Syafi’i
Menginjak masa remaja ia kemudia berangkat ke Madinah untuk belajar Ilmu
Fiqh dan Hadis kepada Imam Malik. Imam Syafi’i sanggup menghapal keselurahan
isi karya Imam Malik, Al-Muwattha’, dan melisankannya lagi dengan sempurna.
Imam Syafi’i terus belajar dibawah bimbingan Imam Malik hingga gurunya tersebut
wafat pada tahun 801 Masehi. Kemudian ia berangkat ke Yaman dan mengajar
disana. Imam Syafi’i terus berdiam di Yaman sampai kemudian, pada tahun 805
Masehi, ia dituduh condong kepada sekte Syiah dan dibawa kepada khalifah
Abbasiyah, Harun Al-Rasyid, (berkuasa pada tahun 786-809 M) di Iraq, sebagai
seorang terpidana. Untungnya ia mampu membuktikan kebenaran pendapat-
pendapatnya sehingga ia terbebas dari hukuman. Imam Syafi’i tetap tinggal di Iraq
dan belajar sebentar kepada Imam Muhammad bin Hasan, salah seorang murid
terkemuka Imam Abu Hanifah. Berikutnya Ima Syafi’i berangkat Mesir dengan
tujuan hendak belajar kepada Imam al-Laits, tetapi sebelum ia sampai di mesir,
Imam al-Laits wafat. Meski demikian ia tetap bisa mendalami Mazhab Laitsi lewat
para muridnya.
c. Metodologi Pengajaran Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mengkombinasikan Fiqh Hijaz (Mazhab Maliki) dengan Fiqh Iraq
(Mazhab Hanafi) dan menciptakan Mazhab baru yang ia diktekan kepada murid-
muridnya dalam bentuk buku yang dinamakan Al-Hujjah (bukti). Pendiktean ini
berlangsung di Iraq pada tahun 810 Masehi dan sejumlah murid-muridnya
menghafalkannya dan menyampaikannya pada orang lain. Buku dan keulamaan ini
disebut sebagai Mazhab Qadim untuk membedakannya dengan periode
keulamaannya yang kedua yang berlangsung setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir.
Di Mesir ia menyerap Fiqh dari Imam Al-Laits bin Sa’d dan mendiktekan Mazhab
Jadid kepada murid-muridnya dalam bukunya yang lain, Al-Umm. Karena
penjelajahannya yang benar-benar atas serangkaian hadits dan dalil-dalil hukum,
dalam Mazhab Jadid, Imam Syafi’i banyak merivisi pendapat-pendapat hukumnya
yang ia tetapkan saat berada di Iraq. Imam Syafi’i memiliki perbedaan dengan
periode keulamaannya yang pertama dalam mensistematisasikan prinsip-prinsip
dasar Fiqh yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Ar-Risalah.
d. Murid-murid Imam Syafi’i
Murid-murid utama Imam Syafi’i yang meneruskan pemikiran-pemikirannya
adalah: Imam Muzani, Imam Rabi’ dan Imam Yusuf bin Yahya.
1) Imam Muzani (791-876 M)
Nama lengkap Imam Muzani adalah Ismail bin Yahya Al-Muzani. Ia
merupakan pengikut setia Imam Syafi’i selama beliau tinggal di Mesir. Imam
Muzani tercatat sebagai penulis buku yang mengumpulkan secara komprehensif
mengenai fiqh Imam Syafi’i. Berikutnya, ulasan tersebut terkumpul dan
dibukukan dengan judul fiqh Mazhab Syafi’i yang paling banyak dikaji.
2) Imam Rabi’ Al-Maradi (790-873 M)
Imam Rabi’ tercata sebagai narator utama buku Imam Syafi’i, yaitu Al-Umm.
Imam Rabi’ menulisnya di sepanjang masa hidup Imam Syafi’i bersama-sama
dengan buku Ar-Risalah dan buku-buku lainnya.
3) Yusuf bin Yahya al-Buwaiti
Yusuf bin Yahya menggantikan posisi Imam Syafi’i sebagai guru utama
Mazhab Syafi’i. Ia dipenjara dan disiksa hingga wafat di Baghdad karena
menolak pandangan resmi Filsafat Mu’tazilah perihal kemakhlukan Al-Qur’an.1
e. Dasar Mazhab Imam Syafi’i
1) Al-Qur’an
Imam Syafi’i bersandar pada Al-Qur’an seketat para Imam sebelumnya
yang hanya menambah pandangan-pandangan baru di dalamnya setelah melalui
pengkajian yang mendalam terhadap makna ayat-ayatnya.
2) Sunnah
Imam Syafi’i hanya bersandar pada satu syarat dalam menerima sebuah
hadis, yaitu hadis tersebut harus shahih. Ia menolak semua persyaratan lainnya
sebagaimana diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Imam
Syafi’i tercatat memiliki sumbangan yang besar sekali dalam bidang ilmu kritik
hadis.
3) Ijma’
Meskipun Imam Syafi’i memiliki keragu-raguan yang serius mengenai
kemungkinan Ijma’ dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa
kasus dimana Ijma’ tidak terelakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok
hukum Islam urutan ketiga.
4) Pendapat individual sahabat
Imam Syafi’i menaruh kepercayaan atas pendapat individual sahabat dengan
catatan pendapat tersebut antara satu dengan yang lainnya tidak bervariasi. Jika
ada pertentangan pendapat di dalamnya, sebagaimana Imam Abu Hanifah, ia
akan memilih pendapat yang paling dengan sumbernya dan mengabaikan yang
lainnya.
5) Qiyas
Dalam pandngan Imam Syafi’i, Qiyas merupakan metode yang sah dalam
merumuskan hukum lebih lanjut dari sumber-sumber hukum sebelumnya.
Meski demikian, ia menempatkan pada posisi terakhir, dengan memandang
1
Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.112.
pendapat pribadinya berada di bawah dalil-dalil yang didasarkan atas pendapat
para sahabat.
6) Istishab
Istishab secara literal berarti mencari suatu keterkaitan, tetapi secara hukum,
istishab merujuk pada proses permusuhan hukum-hukum Fiqh dengan
mengaitkan serangkaian keadaan-keadaan berikutnya dengan keadaan
sebelumnya. Istishab didasarkan atas asumsi bahwa hukum Fiqh bisa
diaplikasikan pada kondisi-kondisi tertentu yang tetap sah sepanjang
persyaratannya tidak berubah.
f. Peta Penyebaran Mazhab Imam Syafi’i
Mayoritas pengikut Mazhab Syafi’i saat ini terdapat di Mesir, Arab bagian
selatan (Yaman, Hadramaut), Srilangka, Indonesia, Malaysia, Afrika bagian timur
(Kenya, Tanzania), dan Suriname di Amerika Serikat.
4. Madzhab Hambali
a. Pendiri : Imam Ahmad bin Hambal (164 H / 778 M–241 H / 855 M)
Nama lengkap dari pendiri Madzhab Imam Hambali adalah Ahmad bin
Muhammad bin Hambal al-Syabani al-Marzawi. Beliau dihirkan di Marwa pada tahun
164 H/ 778 M dan wafat pada tahun 241 H/ 855 M di Baghdad, Iraq. 2Imam Hambali
termasuk salah satu diantara Ulama-ulama yang terkenal kuat daya hapalannya dan
seorang perawi hadis terkemuka pada masanya. Dengan memusatkan pada studi hadis,
Imam Hambali menggeluti ilmu hadits dan fiqh dibawah bimbingan Imam Abu
Yusuf, murid termashur Imam Abu Hanifah, juga kepada Imam Syafi’i.
Imam Hambali mengalami serangkaian hukuman dan penganiayaan di bawah para
khalifah pada masanya karena pengadopsian mereka terhadap Filsafat Mu’tazilah. Ia
dipenjara dan dianiaya selama dua tahun atas perintah Khalifah Al-Ma’mun (berkuasa
813-842 M), karena penolakannya terhadap konsep Filosofis Mu’tazilah bahwa Al-
Qur’an adalah makhluk. Sesudah dibebaskan, Imam Hambali mengajar di Baghdad
sampai Al-Watiq menjadi Khalifah (berkuasa 842-846 M) dan memperbaharui
hukumnya.
b. Pendidikan Imam Hambali
2
Roibin, Dimensi-dimensi Sosio-Antropologis Penetapan Hukum Islam dalam Lintasa Sejarah, cet. 1, (Malang:
UIN-PRESS, 2010), hal. 80
Imam Ahmad mengadakan perjalanan/mengembara ke Kufah, Basrah,
Makkah, Madinah, Syiria dan Yaman. Beliau meriwayatkan hadits dari Hasyim.
Ibrahin bin Sa’ad, Sufyan bin Uyanah dan dari yang lainnya. Belajar Fiqh pada Imam
Syafi’i ketika datang/ada di Baghdad, Ahmad termasuk murid Syaf’i yang tertua yang
berkebangsaan Baghdad dimana di kemudian hari ia menjadi mujtahid mustaqil (yang
independen). Beliau melebihi dari kawan-kawannya dalam menghafal Sunnah Nabi
SAW, memeliharanya dan mengumpulkannya percerai-berainya.
c. Metodologi pengajaran Imam Hambali
Perhatian utama Imam Ahmad bin Hambal adalah pengumpulan, periwayatan,
dan interpretasi hadis. Metodi pengajarannya melalui pendiktean hadits-hadits dari
koleksi lengkapnya yang dikenal sebagai Al-Musnad, yang memuat lebih dari 30.000
Hadits, dan juga berdasarkan berbagai pendapat dari sahabat berkaitan dengan
interpretasi mereka. Berikutnya, Imam Hambali menerapkan hadits-hadits atau fatwa-
fatwa para sahabat tersebut terhadap problem yang ada. Jika tidak menemukan hadits-
hadits atau pendapat-pendapat dari sahabat yang sesuai untuk memecahkan suatu
persoalan, Ima Hambali menawarkan pendapatnya sendiri dengan tetap melarang
murid-muridnya untuk mencatat solusi yang ia tawarkan. Sebagai akibatnya,
Mazhabnya dicatat, bukan oleh murid-muridnya, tetapi oleh para murid dari murid-
muridnya tersebut.
d. Murid-murid utama Imam Ahmad bin Hambal
Murid-murid utama Imam Hambali adalah dua orang putranya, yaitu Salih (wafat
tahun 873 M) dan Abdullah (wafat tahun 903 M). Imam Bukhari dan Muslim, pengimpul
hadits yang termasyhur, adalah termasuk diantara para ulama besar hadis yan pernah
belajar di bawah bimbingan Imam Hambali.
e. Dasar-dasar Madzhab Imam Hambali
1) Al-Qur’an
Tidak ada perbedaan cara Imam Hambali memandang Al-Qur’an dengan yang
dilakukan oleh para Imam sebelumnya. Dengan kata lain, Al-Qur’an diberi
kedudukannya paling tinggi mengatasi semua sumber hukum lainnya untuk semua
keadaan.
2) Sunnah
Demikian juga Sunnah Nabi SAW menempati posisi kedua di antara prinsip-
prinsip dasar yang digunakan oleh pendiri Mazhab Hambali ini dalam proses
pengambilan hukum. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa Sunnah atau Hadits yang
digunakan harus Marfu’, yakni diatributkan langsung kepada Nabi SAW.
3) Ijma’ Sahabat
Imam Hambali mengakui Ijma’ para sahabat, dan menempatkannya sebagai
sumber hukum pada posisi ketiga diantara prinsip-prinsip dasar lainnya. Namun
demikian, ia mengesampingkan Ijma’ diluar era para sahabat dan memandangnya
sebagai Ijma’ yang tidak akurat, dengan alasan terlalu banyaknya jumlah para ulama dan
terpencar-pencarnya mereka di sepanjang imperium Islam. Dalam pandangan Imam
Hambali, Ijma’ sesudah berlalunya era sahabat adalah sesuatu yang mustahil.
4) Pendapat Individual Sahabat
Jika sebuah persoalan muncul dalam wilayah di mana para sahabat telah
mengungkapkan pendapatnya yang saling bertentangan, sebagaimana Imam Malik,
Imam Hambali mempercayai semua pendapat individu para sahabat yang beraneka
ragam itu. Oleh karenanya, sebagai konsekuensinya, dalam mazhabnya berkembang
banyak hal mengenai ketetapan hukum yang beragam mengenai kasus-kasus individual.
5) Hadits Da’if
Untuk ketetapan hukum atas suatu kasus dimana tidak ada satu pun dari empat
prinsip di atas yang bisa menawarkan solusi, Imam Hambali cenderung menggunakan
Hadits da’if daripada menggunakan Qiyas. Namun demikian, ini harus dengan syarat
Da’if-nya hadits bukan karena adanya fakta bahwa salah satu dari para perawinya adalah
orang Fasik atau Kazab.
6) Qiyas
Sebagai jalan terakhir, yaitu ketika sejumlah prinsip-prinsip di atas tidak bisa
diterapkan secara langsung, Imam Hambali secara enggan menerapkan prinsip Qiyas dan
mengambil solusidengan bersandar pada satu atau lebih prinsip-prinsip sebelumnya.
f. Peta Penyebaran Mazhab Hambali
Sebagian besar pengikut Mazhab Hambali tersebar di Palestina dan Saudi Arabia.
Tetap eksisnya Mazhab Hambali di Saudi Arabia, sesudah hampir tidak ditemukan lagi di
negeri muslim manapun, adalah karena adanya fakta bahwa pendiri yang di namakan
Gerakan Revivalis, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, pernah belajar kepada para
Ulama yang menganut Mazhab Hambali, dan dengan demikian secara tidak resmi menjadi
Mazhab Fiqh dan Gerakan Revivalis tersebut. Ketika Abdul Aziz bin Sa’ud merebut
sebagian besar semenanjung Arabia dan mendirikan Dinasti Sa’ud, ia menjadikan Mazhab
Hambali sebagai dasar dari sistem hukum kerajaan.