Anda di halaman 1dari 19

Madzhab, Aliran Imam Abu Hanifah dan Imam Hanbali

Rizky Bagus Satria, Rodina Billah, Satria

Email: rizkybagussatria56@gmail.com, rodinabillah26@gmail.com,


satria913@gmail.com

Abstrak: This article tries to provide an explanation regarding the differences


and characteristics that exist between the Madzhab of Imam Abu Hanifah and
Imam Ahmad bin Habal. This research uses comparative analysis of the views
of these two figures. And what are their views and contributions in the field of
Hadith. Based on a review of several books and journals, this research tries to
identify the legal views, schools and methods used by the two schools of
thought. The main findings of this research provide a better understanding of the
two Madhhabs, clarify their contributions to the Islamic intellectual heritage,
and strengthen understanding of the diversity in Islamic legal traditions. In this
research, the author used the Library Research method as a research method.
Keywords: School, Madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Hanbali
Abstrak: Artikel ini mencoba memberikan pemaparan terkait perbedaan dan
karakteristik yang ada di antara Madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
ibn Habal. Penelitian ini menggunakan analisis perbandingan terhadap
pandangan dua tokoh tersebut. Serta bagaimana pandangan mereka dan
kontribusi mereka dalam bidang Hadis. Berdasarkan telaah terhadap beberapa
buku dan jurnal, penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi pandangan
hukum, aliran dan metode yang digunakan oleh kedua Madzhab. Temuan utama
penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kedua Madzhab,
memperjelas kontribusi mereka terhadap warisan intelektual Islam, dan
memperkuat pemahaman tentang keberagaman dalam tradisi hukum Islam.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Library research sebagai
metode penelitian.
Kata Kunci: Aliran, Madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad ibn Hanbal.
Pendahuluan
Islam sebagai agama ang sempurna telah mengatur seluruh aspek kehidupan
para pemeluknya. Hal ini termaktub dalam kitab suci umat islam yang berfungsi
sebagai pedoman dan rujukan setiap problematika dan fenomena yang terjadi. Selain
al-Qur’an, Hadis atau sunnah juga menjadi bagian yang tak bisa terpisahkan dari al-
Qur’an. Karena fungsi Hadis sendiri adalah sebagai penjelas bagi al-Qur’an. Jadi
tidak diherankan, jika Hadis menjadi sumber rujukan kedua bagi umat Islam setelah
al-Qur’an. Namun terkadang, ketetapan ataupun aturan yang ada di dalam al-Qur’an
maupun Hadis masih bersifat global. Maka para Ulama dan cendikiawan Islam
mencoba melakukan ijtihad dengan tetap berpegang teguh pada kedua mash tersebut
untuk meneukan jawaban dari problematika yang tidak dijelaskan secara gamblang di
dalam al-Qur’an ataupun Hadis terkait jawabannya.

Adanya ijtihad ini melahirkan perbedaan pandangan. Yang dari sinilah


melahirkan madzhab-madzhab dan aliran-aliran dalam Islam. Adapun yang perlu
menjadi perhatian, bahwasanya para Imam Madzhab memiliki metode intinbath
hukum tersendiri dalam menetapkan suatu hukum, walaupun dasar yang digunakan
adalah sama, yakni al Qur’an dan as sunnah. Namun apabila dalam suatu masalah
tidak ada penyelesaian hukum di dalam keseluruhan dasar hukum tersebut, maka
mereka berijtihad untuk mencari penyelesaian hal tersebut, maka dalam ijtihad inilah
terjadi penetapan hukum yang berbeda, dikarenakan masing-masing Imam
menggunakan metode yang berbeda.

Pada artikel ini, kami mencoba menguraikan tentang 2 Imam madzhab yakni
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dengan adanya pembahasan ini,
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan tela’ah dan khazanah pengetahuan tentang
metode serta gaya khas seorang ulama’ madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad ibn Hanbal.

Biografi Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah lahir di Kufah, Irak, pada tahun 80 H/699 M, tumbuh
selama periode dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Asal-usulnya dari
keluarga Persia, dengan ayahnya Tsabit dan keluarganya pindah ke Kufah
sebelum kelahirannya. Sejak dini, Abu Hanifah memperlihatkan dedikasi terhadap
studi agama, menghafal Al-Qur'an dan mempelajari fiqh, yang membentuk dasar
untuk kepemimpinan spiritualnya dan pengembangan Mazhab Hanafi. Kunjungan
kakeknya, Zutha, ke Ali bin Abi Thalib, yang kemudian mendoakan kelahiran
seorang keturunan mulia, menandai awal dari perjalanan spiritual Abu Hanifah.1
Dalam kehidupannya, Imam Abu Hanifah tidak hanya menjadi seorang ulama
besar tetapi juga seorang pedagang sukses, mengikuti jejak ayahnya. Kekayaan
dan kesuksesan dalam bisnis tidak mengurangi kegigihannya dalam mempelajari
dan mengajarkan ilmu agama, bahkan di bawah tekanan politik dari gubernur Irak,
Hajjaj bin Yusuf. Komitmen ini membawanya menjadi seorang mujtahid yang

1
Rizem Aizid, Kitab Terlengkap Biografi Empat Imam Mahdzab, Saufa, (2016), 38. 39, 40
dihormati dan seorang guru bagi generasi berikutnya, termasuk melalui
pertemuannya dengan sahabat Nabi, Anas bin Malik, yang memperkuat
kedudukannya dalam hadits dan ilmu agama.2
Imam Abu Hanifah dikenang sebagai pionir dalam pengorganisasian fiqh
Islam, dengan menyusun salah satu kitab fiqh pertama yang mengelompokkan
hukum-hukum Islam secara sistematis, khususnya mengenai tata cara bersuci dan
shalat. Pengaruhnya merentang jauh melampaui masa hidupnya, membentuk dasar
bagi pengembangan fiqh Islam dan inspirasi bagi ulama-ulama berikutnya seperti
Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, dan Bukhari. Keahliannya dalam fiqh,
bersama dengan kedalaman spiritual dan keberhasilan bisnisnya, menjadikannya
salah satu tokoh Islam paling berpengaruh dalam sejarah.3

Karya-karya Imam Hanafi adalah Al-Faraidh sebuah kitab yang khusus


membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut hukum islam,
Asy-Syurut Kitab yang membahas perjanjian, Al-Fiqh al-Akbar kitab yang
membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah oleh Imam Abu Mansur
Muhammad al-Maturudi dan Imam Abu Muntaha al-Maula Ahmad ibn
Muhammad al-Maqnisawi.4

Imam Hanafi wafat pada tahun 150 H pada usia 70 tahun Beliau wafat di
dalam penjara pada masa Khalifah al-Manshur. Beliau tidak meninggalkan
keturunan selain anak laki-laki yang bernama Hammad. Jenazah beliau
dimakamkan di al-Khaizaran di kota Baghdad, Irak. Menurut catatan sejarah,
tahun dimana wafatnya Imam Abu Hanifah adalah tahun yang sama dengan
kelahiran Imam asy-Syafi’i. Sehingga orang-orang banyak menyebut pada waktu
itu adalah tahun wafatnya Imam sekaligus lahirnya Imam 5. Tahun 450 H
didirikanlah sekolah dengan nama Jami’ Abu Hanifah. Ajaran dan ilmu beliau
tetap tersebar melalui murid-muridnya diantaranya ada Abu Yusuf, Abdullah bin
Mubarak, Waki’ bin Jarah ibn Hasan al-Syaibani.6

Madzhab dan Aliran Imam Hanafi


Pengertian Mazhab Hanafi

2
Rizem Aizid, 39.
3
Rizem Aizid, 40.
4
Wildan Jauhar, Biografi Imam Abu Hanifah, Rumah Fiqh Publishing, (2018), 17.
5
Wildan Jauhar, 22.
6
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, (2011), 15.
Mazhab Hanafi merupakan nama dari Kumpulan pendapat-pendapat yang
berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat- pendapat
yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian atau perluasan
pemikiran dari pemikiran yang telah digariskan oleh pendahulunya. Karena itu,
mazhab ini juga disebut dengan istilah ahlu ra'yi pada masa tabi'it tabi'in.7
Mazhab Hanafi termasuk salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Apa itu
Islam Sunni? Islam Sunni adalah suatu aliran teologi yang bersumber dari
pemikiran Abu Hasan al-Asy'ari, salah seorang sahabat Rasulullah Saw. yang
masyhur. Dari sudut pandang sosioteologis, Islam Sunni adalah agama Islam yang
dipahami dan dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam.Dari 100 persen umat Islam
di seluruh dunia, Islam Sunni mengambil bagian 90 persen, sehingga penganut
Islam Sunni disebut sebagai mayoritas. Dari 90 persen Islam Sunni tersebut,
penganut Mazhab Hanafi merupakan yang terbesar, yakni 32 persen. Mereka
tersebar mulai dari Asia Selatan-seperti Turki, Pakistan, India, Bangladesh, Sri
Lanka, dan Maladewa-hingga Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Lebanon,
dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan),
Tiongkok, serta sebagian Afrika Barat.8

Sejarah Perkembangan Mazhab Hanafi


Mazhab Hanafi, sebelum menjadi mazhab terbesar dalam Islam, mengalami
masa-masa sulit, terutama di Mesir dimana keberadaannya tergantung pada
pergantian kekuasaan. Awalnya diperkenalkan di Mesir sekitar tahun 164 H oleh
seorang qadhi Hanafi yang ditunjuk oleh kepala negara Al-Mahdy, mazhab ini
berkembang hingga tahun 358 H di bawah kekuasaan Abbasiyah. Namun, ketika
Dinasti Fathimiyah Syi'ah Ismailiyah menguasai Mesir, Mazhab Hanafi
mengalami penindasan, termasuk larangan dari pemerintah untuk diikuti.
Perubahan terjadi ketika kekuasaan beralih ke Al-Ayyubi, yang menindas Mazhab
Syi'ah dan mendirikan sekolah Mazhab Ash-Shuyufiyah untuk mengajarkan
Mazhab Hanafi, memulihkan pengaruhnya di Mesir. Lebih lanjut, Sultan Shalih
Najmuddin mendirikan Madrasah Ash-Shalihiyah untuk mengajarkan empat
mazhab besar, termasuk Hanafi, sebagai upaya mengintegrasikan berbagai
mazhab di Mesir.9

7
Rizem Azid, 22.
8
Rizem Azid, 23.
9
Rizem Azid, 24.
Penyebaran Mazhab Hanafi di Tunisia berlangsung lancar, didukung oleh
keluarga raja dan menjadi bagian dari sistem kehakiman negara bersama Mazhab
Maliki. Sementara itu, di bawah pemerintahan Turki Utsmani, Mazhab Hanafi
menjadi mazhab resmi dan dominan di posisi kehakiman, meskipun di pedesaan
Mesir masih banyak pengikut Mazhab Syafi'i. Mazhab Hanafi menyebar ke
berbagai negara termasuk Syam, Irak, India, Afghanistan, Kaukasia, Turki, dan
Balkan, dengan pengikut terbesar berasal dari Turki Utsmani dan Al-Bania, serta
komunitas signifikan di India dan Amerika Latin. Keberhasilan penyebarannya
terutama karena dukungan kerajaan yang menggunakan kekuasaannya untuk
menyebarkan mazhab tersebut, menjadikannya salah satu mazhab terbesar dalam
Islam.10

Dasar-dasar Hukum Imam Hanafi

Dasar-dasar-dasar hukum Imam Abu Hanifah sebagai berikut:

a. Kitab Allah (al-Qur‟an)

Al-Qur'an diakui sebagai kata-kata suci dari Allah SWT, dan merupakan dasar
utama dari semua hukum Islam yang berlaku dari awal sampai akhir zaman. Isinya,
yang kebenarannya dianggap mutlak dan tidak bisa dipertanyakan, menjadi acuan
utama dalam menyelesaikan isu-isu hukum dalam Islam. Al-Qur'an, yang isi dan
keasliannya tidak diragukan, diyakini sebagai petunjuk langsung dari Allah SWT,
disampaikan dengan kepastian absolut. Karena itu, hukum-hukum yang terdapat di
dalam Al-Qur'an adalah perintah yang harus diikuti oleh manusia selama masa hidup
mereka.11

b. Al-Sunnah

Abu Hanifah menempatkan al-Sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur'an


dalam menetapkan hukum-hukum Islam, dengan fungsi utama sebagai penjelas dan
pemberi rincian terhadap ajaran-ajaran yang dianggap masih umum dalam al-Qur'an.
Al-Sunnah dianggap oleh Abu Hanifah mampu memberikan penjelasan atau
melengkapi ketentuan yang tidak secara eksplisit disebutkan atau yang masih bersifat
umum dalam al-Qur'an, termasuk dalam hal lafal dan makna. Dalam konteks ini, Abu

10
Rizem Azid, 25.
11
Abu Azam al-Hadi, Pemikiran Hukum Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i tentang Zakat Madu,
al-Hikmah, Vol.2, No.1, (2012), 130.
Hanifah mengategorikan peranan al-Sunnah dalam menjelaskan al-Qur'an menjadi
tiga, yaitu:

1. Bayan taqririy, yang berarti memperkuat dan menjelaskan ajaran al-


Qur'an yang bersifat global, misalnya sunnah yang menjelaskan detail
tentang pelaksanaan ibadah salat, haji, zakat, serta aturan tentang
hukuman bagi pencuri.
2. Abu Hanifah juga membahas tentang nasakh (penggantian atau
pembatalan hukum) dalam al-Qur'an yang bisa terjadi melalui al-
Qur'an itu sendiri atau melalui al-Sunnah, dengan syarat bahwa sunnah
tersebut harus mutawatirah (diterima secara luas), masyhurah
(terkenal), dan mustafidhah (meluas).

Dalam praktiknya, Imam Abu Hanifah sering menggunakan al-sunnah


masyhurah (yang terkenal) dalam mengambil hukum, meskipun menurut sebagian
ulama, pendekatan ini dianggap kurang kuat (hujjah zanniyah) dibandingkan dengan
hadis mutawatir. Abu Hanifah diketahui cenderung memprioritaskan penggunaan
qiyas (analogi atau rasio) dibandingkan hadis jika terdapat konflik antara keduanya,
menunjukkan pendekatannya yang lebih mengutamakan logika atau rasio dalam
menetapkan hukum. Hal ini membuatnya dikenal sebagai ulama yang mengutamakan
pendapat atau analisis (ahl al-ra'yu).12

c. Fatwa para Sahabat (al-ijma‟)

Abu Hanifah menekankan pentingnya mengikuti pendapat para sahabat Nabi


Muhammad dalam menetapkan hukum Islam, mengutamakannya sebagai sumber
hukum setelah al-Qur'an dan hadis. Jika terdapat berbagai pendapat dari sahabat
mengenai suatu masalah, beliau akan memilih salah satu untuk diikuti. Dalam situasi
dimana tidak terdapat pendapat dari sahabat, Abu Hanifah akan berijtihad sendiri
tanpa mengambil pendapat dari para tabi'in. Beliau menyatakan keutamaan fatwa-
fatwa sahabat sebagai sumber hukum dan menegaskan bahwa dalam menetapkan
hukum, beliau tidak menyimpang dari pendapat mereka.

Abu Hanifah juga memberikan prioritas pada pendapat sahabat dibandingkan


dengan penggunaan qiyas. Beliau membedakan antara ketentuan hukum yang berasal
dari ijma' (konsensus) sahabat, yang bersifat mengikat, dengan ketentuan yang berasal
12
Abu Azam al-Hadi, 130.
dari fatwa individu sahabat, yang tidak bersifat mengikat. Beliau menganggap ijma'
masih relevan dan dapat diterapkan oleh para mujtahid dalam menyelesaikan masalah
hukum kontemporer, asalkan kesepakatan tersebut dicapai secara bersama-sama oleh
para ulama.

Pendapat para sahabat mendapatkan tempat yang signifikan dalam metodologi


hukum Abu Hanifah karena ia meyakini bahwa mereka adalah generasi yang paling
dekat dengan ajaran Rasulullah, sehingga pengetahuan dan pernyataan hukum mereka
dianggap penting dan dapat dijadikan acuan dalam mengatur kehidupan masyarakat
Islam.13

d. Al-Qiyas

Abu Hanifah menggunakan metode qiyas sebagai pendekatan terakhir dalam


mengistinbatkan hukum Islam, ketika solusi tidak ditemukan dalam al-Qur'an,
Sunnah, atau perkataan sahabat. Qiyas, dalam praktik Abu Hanifah, berarti
mengaitkan hukum sebuah masalah yang tidak dijelaskan secara spesifik dalam
sumber-sumber utama Islam dengan masalah lain yang hukumnya telah jelas,
berdasarkan persamaan sebab (‘illat) hukum di antara keduanya. Ini menunjukkan
kepiawaian Abu Hanifah dalam menerapkan analogi untuk memecahkan masalah
hukum baru, dengan selalu mempertimbangkan sebab-sebab (‘illat) dan tujuan hukum
dari permasalahan yang ditinjau. Dikenal sebagai ahli qiyas, pendekatan ini
menegaskan keahliannya dalam memahami dan menafsirkan nas al-Qur'an dan al-
Sunnah, serta kemampuannya untuk mengembangkan hukum Islam lebih lanjut dalam
situasi yang belum secara eksplisit diatur oleh sumber primer Islam.14

e. Istihsan

Abu Hanifah menggunakan istihsan, namun tidak dalam bentuk yang


menyimpang dari nas atau qiyas, melainkan sebagai bagian dari qiyas itu sendiri. Ini
karena beliau tidak menggunakan illat qiyas jika hal tersebut bertentangan dengan
kemaslahatan masyarakat yang diakui oleh syariah, atau dengan ijma' (konsensus),
atau dengan nas. Oleh karena itu, Abu Hanifah memilih istihsan sebagai alternatif,
karena lebih dekat dengan tujuan syariah.

13
Abu Azam al-Hadi, 131.
14
Abu Azam al-Hadi, 131.
Imam Hanafi menjelaskan istihsan dengan pendekatan yang dikemukakan oleh
Imam Abu al-Hasan al-Karkhi, yang menyatakan bahwa seorang mujtahid beralih dari
suatu masalah yang menyalahi ketetapan hukum yang sudah ditetapkan, menuju
masalah serupa karena adanya alasan-alasan yang lebih kuat yang mengharuskan kita
untuk beralih dari hukum yang pertama. Definisi ini memberikan gambaran yang
tepat tentang esensi istihsan dalam pandangan Abu Hanifah, menunjukkan bahwa
istihsan terbatas pada masalah-masalah yang bersifat juz'iyyah (tertentu). Jika terdapat
situasi tanpa nas hukum, maka pembahasannya mencakup dua aspek yang saling
bertentangan: 1) Aspek yang jelas mendukung adanya suatu hukum, dan 2) Aspek
yang belum jelas dan membutuhkan adanya hukum yang lain.15

f. Al-„Urf

Imam Hanafi mengakui Al-Urf sebagai salah satu sumber hukum yang diakui,
yang beroperasi di luar batasan nas al-Qur'an dan al-Sunnah. Al-Urf merujuk pada
tradisi-tradisi muamalah yang telah menjadi kebiasaan dan berlangsung lama dalam
masyarakat. Imam Hanafi berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan
Urf yang sahih, yang tidak bermasalah, setara dengan hukum yang didasarkan pada
dalil syar'i. Beliau membagi Urf menjadi dua kategori, yaitu Urf sahih (tradisi yang
benar dan baik), yang tidak bertentangan dengan nas, dan Urf yang tidak bertentangan
dengan nas (Urf fasid), karena Urf sahih dianggap memiliki kualitas hampir setara
dengan hukum yang didasarkan pada dalil syar'i.16

Pemikiran, kontribusi dan karya Imam Abu Hanifah dalam bidang Hadis
Perjalanan perdagangan dan pencarian ilmu yang dilakukan oleh Abu Hanifah
telah membentuk karakter pemikirannya yang unik. Menurut Juliansyahzen, banyak
dari pandangannya yang bersifat progresif dan berbeda dari para ulama lainnya, baik
dalam hal metodologi maupun hasil ijtihadnya. Salah satu metodologi yang
kontroversial di kalangan ulama usul fikih adalah istihsan, yang digunakan oleh Abu
Hanifah dalam menetapkan hukum. Abu Hanifah menggunakan berbagai metode
ijtihad, termasuk merujuk pada Alquran, hadits, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma',
dan juga 'urf.17

15
Abu Azam al-Hadi, 132.
16
Abu Azam al-Hadi, 133.
Abu Hanifah dikenal sebagai seorang intelektual yang cemerlang di dalam
domain hukum Islam. Tak hanya sebagai seorang mujtahid yang ulung, tetapi juga
sebagai perumus metode istimbath hukum yang khas. Salah satu metode khas yang
dikemukakan oleh Abu Hanifah adalah istihsan, di mana ia mampu menghubungkan
ketentuan hukum yang jelas dengan yang samar, atau ketentuan yang umum dengan
yang pengecualian, untuk mengatasi ketidakjelasan dalam hukum. Tidak hanya mahir
dalam berijtihad, Abu Hanifah juga mampu merumuskan metodologi ijtihad, atau
metode penetapan hukum. Karena kemampuannya tersebut, dia ditempatkan pada
tingkat mujtahid yang sangat dihormati.

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang pakar dalam bidang fiqh, jarang
ada yang sepadan dengan keahliannya pada zamannya. Beliau juga memiliki
pengetahuan yang mendalam dalam ilmu kalam. Selama hidupnya, banyak ulama
yang menjadi murid atau mencari ilmu dari beliau, begitu pula dengan para intelektual
yang mengambil manfaat dari pengetahuannya. Setelah wafatnya, beberapa ulama
terkenal seperti Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Hasan bin
Zitad, dan lainnya dianggap sebagai sahabat karib beliau. Meskipun ada perbedaan
pendapat atau sudut pandang dalam beberapa masalah hukum agama, sebagian besar
dari mereka telah menyetujui dan mengikuti jejak yang telah dijalani oleh Imam Abu
Hanifah.18

Jamil Ahmad dalam bukunya "Hundred Great Muslim" menyatakan bahwa


Abu Hanifah telah mewariskan tiga karya utama, yaitu: Fiqh Akbar, Al-'Alim wa al-
Muta’lim, dan Musnad Fiqh Akbar, sebuah ringkasan yang sangat terkenal. Selain itu,
Abu Hanifah membentuk sebuah badan yang terdiri dari para cendekiawan dengan
dirinya sendiri sebagai ketua. Badan ini berfungsi untuk melakukan musyawarah dan
menetapkan ajaran Islam dalam bentuk tulisan serta mengalihkan syariat Islam ke
dalam undang-undang.

Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya "The Spirit of Islam", karya-karya
Abu Hanifah, baik fatwa maupun ijtihadnya pada masa hidupnya belum disusun
secara tertulis. Setelah wafatnya, gagasan-gagasannya dikodifikasikan oleh para
murid dan pengikutnya, membentuk mazhab ahli ra’yi yang hidup dan berkembang.
17
Fachurazi, K. Ismanto,“Kontribusi Fuqaha’ dalam Pengembangan Ekonomi Syariah: Studi
Pemikiran Abu Hanifah”, Journal Of Islamic Economics And Finance, Vol 3, No. 1, (Mei 2023), 58.
18
Farih Miftah, Skripsi: “Studi Komparatif Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I Tentang
Hukum Had Syurb Khamr” (Semarang: UIN Walisongo, 2018), Hal. 48.
Madrasah ini kemudian dikenal dengan beberapa nama, seperti Madrasah Hanafi dan
Madrasah Ahli Ra’yi, selain dikenal sebagai "Madrasah Kufah" menurut sejarah
hukum Islam.19

Abu Hanifah, salah satu tokoh pendiri dari sebuah aliran pemikiran dalam
Islam yang terkenal, diragukan otoritasnya dalam menyampaikan kisah-kisah hadis,
baik melalui lisan maupun tulisan. Oleh karena itu, ia lebih sering dianggap sebagai
seorang ahli hukum Islam yang lebih mengandalkan penalaran pribadi (ra'yu) ketika
berargumentasi. Meskipun demikian, Abu Hanifah sendiri menggunakan hadis
sebagai salah satu sumber utama dalam menyusun pandangan hukumnya. Oleh karena
itu, penting untuk memahami secara mendalam bagaimana Abu Hanifah memilih dan
menggunakan hadis dalam kerangka pemikirannya.

Abu Hanifah adalah salah satu murid yang taat dari generasi Tabi'in, yang
secara aktif terlibat dalam penelitian dan penyalinan hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW. Meskipun keterlibatannya tidak sebesar para ulama hadis seangkatannya yang
secara khusus menyisihkan waktu untuk melakukan perjalanan (rihlah) guna
mengumpulkan hadis, Abu Hanifah juga terlibat dalam kegiatan tersebut, meskipun
tidak sebesar mereka. Ada beberapa ulama hadis di antara para gurunya, yang
membantu Abu Hanifah memahami dan memperhatikan kualitas hadis-hadis yang ia
terima dan kemudian sampaikan kepada murid-muridnya. Hal ini menunjukkan
bahwa Abu Hanifah memiliki pemahaman yang cukup dalam ilmu hadis dan
menggunakan pendekatan yang hati-hati dalam memanfaatkannya dalam konteks
pembelajaran dan ajaran agama.

Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Hilal Al-Syaibani, salah
satu pendiri Mazhab empat yang dikenal dengan Mazhab Hanbali. Lahir pada tahun
164 H/780 di kota Baghdad. Ketika masih kecil, ayahnya meninggal dunia,
meninggalkan keluarganya dengan harta yang pas-pasan. Riwayat mencatat bahwa
Ahmad ibn Hanbal mengklaim dirinya berasal dari suku yang kurang mampu. Dia
hidup sederhana, tinggal bersama rakyat jelata, dan merasakan penderitaan serta
kesulitan mereka. Panggilan sehari-harinya adalah Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal
Muhammad al-Syaibani telah kehilangan ayahnya sebelum lahir, sehingga ia

19
Ibid
dibesarkan hanya oleh ibunya, Syarifah Maimunah binti abd al-Malik al-Syaibani.
Kakeknya, Hanbal ibn Hilal, adalah seorang Gubernur Sarakhs di bawah
pemerintahan Umayyah, namun mendukung Dinasti Abbasiyah yang berperang
melawan Umayyah di Khurasan..20
Imam Hambali pernah mengalami penahanan karena seorang Mutashim
memanggilnya dan bertanya apakah Al-Qur'an dapat dianggap sebagai makhluk
hidup. Imam Hambali menolak untuk menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk
hidup, sebagaimana yang diharapkan oleh Mutashim. Akibat dari jawaban yang tidak
diinginkan oleh Mutashim, Imam Hambali mengalami kekerasan fisik, termasuk
pingsan, diikat, dan dipenjara. Selama masa penahanannya, dia terus didera, dipukul
dengan cemeti, didorong dengan pedang, bahkan dilemparkan ke tanah dan diinjak-
injak. Hukuman ini berlangsung selama pemerintahan Al-Watsiq. Namun, setelah Al-
Watsiq meninggal, jabatan khalifah diambil alih oleh Al-Mutawakkil Billah, yang
kemudian memutuskan untuk membebaskan Imam Hambali dari penjara. Namun,
akibat dari pengalaman penyiksaan yang mengerikan ini, kondisi kesehatan Imam
Hambali terganggu dan ia sering jatuh sakit. Pada akhirnya, beliau meninggal pada
hari Jumat, tanggal 12 Rabi'ul Awal tahun 241 H / 855 M, di usia 77 tahun, dan
dimakamkan di pemakaman Bab Harb di kota Baghdad.21
Imam Hambali memulai perjalanan pembelajarannya dalam ilmu pengetahuan
agama di Baghdad, sebuah pusat keilmuan yang sangat maju pada masanya. Pada usia
16 tahun, beliau meninggalkan Baghdad untuk mengejar ilmu di berbagai kota seperti
Kufah, Bashrah, Syam, Yaman, Mekah, dan Madinah. Dalam kehidupan sehari-
harinya, Imam Hambali dikenal dengan gaya hidup yang sederhana serta memiliki
sifat-sifat mulia dan budi pekerti yang tinggi. Keturunan beliau berkesempatan
bertemu dengan keturunan Rasulullah saw. Beliau terkenal akan wara’, zuhud,
amanah, dan teguh dalam memegang kebenaran, serta menguasai Al-Qur’an dan
bahasa. Sejak masa muda, Imam Hambali sudah menunjukkan kecintaannya pada
hadis Nabi. Salah satu buktinya adalah keinginannya untuk melakukan perjalanan ke
berbagai negeri demi mencari para perawi hadis dari Nabi, tanpa menghiraukan
kesulitan yang mungkin dihadapi. Imam Abdul Malik bin Maimun bahkan pernah
menyatakan kekagumannya, menyebut Imam Hambali sebagai sosok yang paling
20
Muhammad Qomarullah Mengenal Qutub Tis’ah dan Biografi Pengarangnya”, El-Ghiroh, Vol 12,
No. 1, (Februari 2017), 16.
21
Adriyani, dkk, “Perkembangan Pemikiran Fiqih Imam Ahmad Bin Hanbal : Kontruksi Metode
Ijtihad”, Journal Islamic Education, Vol 1, No. 2, (2023), 60.
utama dan penuh penghormatan terhadap hukum-hukum Allah dan sunnah Rasul-
Nya. Ini adalah salah satu contoh nyata dari kecintaan Imam Hambali terhadap
sunnah Nabi.22

Pokok pemikiran Madzhab Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Hadis

Imam Hanbali memberikan kontribusi yang sangat besar bagi umat Islam. Dia
merupakan seorang Ulama yang memiliki kecakapn dalam berbagai ilmu. Seperti
ilmu kalam (teologi), tasawwuf, tafsir, hadist, dan Fiqih. Dari semua bidang ilmu yang
dikuasainya, ilmu hadist dan fiqh yang paling menonjol, sehingga tak heran jika dia
mendapat sebutan sebagai seorang muhaddist (Ahli Hadist) sekaligus Faqi>h atau
Fuqaha (Ahli Fiqih). Menurut TM. Hasbi ash-Shiddieqqy Imam Malik dan Imam
Ahmad ibn Hanbal memiliki persamaan. Yaitu sebagai seorang ahli Fiqih sekaligus
Muhaddist. Hanya saja, Imam Malik lebih konsen pada Fiqih sedangkan Imam
Ahmad ibn Hanbal lebih menonjol dalam bidang Hadis.23
Dalam hal penerimaan terhadap hadith ahad sebagai sumber hukum Islam,
Imam Ahmad bin Hanbal menerima hadis ahad sebagai sumber hukum tanpa
mensyaratkan apapun, kecuali harus S}ah}ih sanadnya sebagaimana al-Syafi’i.
Bahkan beliau juga menerima hadis mursal, namun lebih mendahulukan fatwa
sahabat daripada hadis dhaif .Dalam bidang Hadis Imam Ahmad ibn Hanmbal
berhasil mengumpulkan dan menyusun hadith secara rapi dan sempurna berdasarkan
nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW yang meriwayatkan Hadis. Karya
fenomenalnya yang bernama Musnad Ah}mad ibn Habal tetap ada sampai Hadis Nabi
Muhammad SAW dapat menjaga Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW dari
pemalsuan. Usaha ini juga menjadikan hadith dan sunah Rasulullah terpelihara dan
terhimpun dengan sempurna.
Imam Ahmad ibn H}anbal dikenal sebagai seorang Ulama yang memiliki
integritas yang tinggi. Hal ini ditandai dengan banyaknya komentar positif oleh ulama
yang lain. Abu> Zuhrah mengatakan bahwa Imam Abu> H}anifah merupakan
seorang ulama yang hafal sejuta Hadis sehingga tak heran jika dia mendapat julukan
“Ami>r al-Mukmini>n fi> al-H}adis”. Salah satu karya Imam Ah}mad ibn Hanbal
dalam bidang Hadis adalah al-Musnad. Penyusunan dan pengumpulan Hadis-hadis
yang terdapat dalam Kitab al-Musnad dilakukan dalam jangka waktu sekitar 60 tahun.
22
Ibid,. 61.
23
T.M Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang , 1973),
273.
Adapun terkait kapan awal mula Imam Ah}mad ibn Hanbal melakukan pencarian dan
pembukuan Hadis ada 2 pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Imam Ahmad
tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 H. lebih tepatnya, saat dia berumur 16
tahun.24
Imam Ah}mad Ibn Hanbal menegasakan bahwa Hadis-hadis yang ada di
dalam kitab Musnad nya merupakan Hadis-hadis yang S}ah}ih} dalam
pandangannya. Periwayatan Hadis yang terdapat di dalam Musnadnya dilakukan
secara selektif. Dia hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang
yang tsiqah, dan dipastikan kejujurannya. Imam Ah}mad dikenal sebagai orang yang
memiliki daya ingatan yang cukup kuat. Hal ini terbukti dari banyaknya Hadis yang
dia hafalkan. Meski memiliki daya ingatan yang kuat, dia tetap memiliki catatan
sebagai rujukan hafalannya. Namun, hal ini tidak berlaku bagi para muridnya, sebab
dia tidak memperbolehkan muridnya menulis apa yang dia sampaikan sebelum
memastikan dari catatan beliau. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kebenaran dan
keotentikan hadis yang beliau ajarkan dan terangkan. Karena menurutnya umat Islam
membutuhkan spesialisasi dibidang hadis yang mempelajari, meneliti dan mengkaji
ilmu hadis.25
Imam Ahmad ibn H}anbal menyusun Kitab al-Musnadnya dengan beberapa
metode di antaranya:
1. Sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga
2. Abdurrahmaan Ibn Abi> Bakr, Zaid Ibn Kharijah, Al-H}arits Ibn
Khazamah, dan Sa’d Ibn Maula> Abi> Bakr.
3. Musnad Ahlul-Bait
4. Musnad dari kalangan sahabat-sahabat lainnya, di antaranya: Ibnu Mas’ud,
Ibnu ‘Umar, Abu> Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudriy, Jabir, Anas, Ibnu
‘Amru Ibn Al- ‘Ash, dan yang lainnya, dan demikian seterusnya
5. Musnad penduduk Makkah (Makiyyin)
6. Musnad penduduk Madinah (Madaniyyin)
7. Musnad penduduk Syam (Syamiyyin)
8. Musnad penduduk Kufah (Kufiyyin).
9. Musnad penduduk Bashrah (bashriyyin)
10. Musnad Al-Anshar.
24
Muhammad Qomarullah, Mengenal Qutub Tis’ah dan Biografi…, 17.
25
Nadia, Kehidupan dan Karakteristik Pemikiran Pemikiran Hukum Imam Ahmad ibn Hanbal,
“Comparativa”, Vol. 1 No. 2, (Juli – Desember 2020), 100.
11. Musnad ‘Aisyah dan para shahabiyyat.
12. Kabila-kabilah yang lain.26
Musnad Ah}mad ibn Hanbal merupakan kitab termasyhur yang disusun pada
periode kelima masa perkembangan Hadis, lebih tepatnya pada Abad ketiga Hijriah.
Hadis-hadis yang terdapat di dalamnya, tidak semua diriwayatkan oleh Imam Ahmad
ibn Hanbal. Sebagian hadisnya merupakan tambahan dari putranya yang bernama
Abduallah serta tambahan dari Abu> Bakar al-Qat’i> dan Ahmad ibn Ja’far al-
Qatili>. Musnad Imam Ah}mad memuat Hadis kurang lebih berjumlah 40.000.
10.000 di antaranya diriwayatkan secara berulang-ulang.27
Para Ulama berbeda pendapat dalam menilai derajat Hadis yang terdapat
dalam Kitab Musnad imam Ah}mad ibn Hanbal. Pertama, mengatakan bahwa
seluruh Hadis yang terdapat dalam Kitab Musnad Imam Ah}mad Ibn Hanbal dapat
dijadikan hujjah. pendapat ini didukung oleh Abū Mūsā al-Madīnī yang mengakui
sikap kehati-hatian Imam Ah}mad Ibn Hanbal dalam menrima kebenaran sanad dan
matan. Kedua, bahwa di dalam Musnad Imam Ah}mad ibn Hanbal terdapat Hadis
Dhaif bahkan Mudhu’. Menurut Ibnu al-Jauzi> ada 19 Hadis Maudhu dalam kitab
Musnad tersebut. Sedangkan menurut al-Iraqi>, ada sekitar 39 Hadis Maudhu’ yang
merupakan tambahan dari purta Imam Ah}mad ibn Hanbal, yaitu ‘Abduallah. Ketiga,
Pendapat yang mengatakan bahwa hadis dalam kitab Musnad Imam Ah}mad ibn
Hanbal ada yang S}ah}ih} dan Dhaif. Akan tetapi Hadis dhaif tersebut mendekati
derajat marfu’. Pendapat ini dianut oleh Imam al-Zahabi>, Ibnu H}ajar al-‘Asqlani>,

Ibnu Taimiyah, dan al-Syuyut}i>.28

Pokok Pemikiran Ah}mad ibn Hanbal dalam Bidang Fiqih

Imam Ah}mad bin Hanbal merupakan seorang Ulama yang mahir dalam
banyak bidang keilmuan. Selain Hadis, dia juga sangat mempuni dalam Fiqih.
Sebagaimana kita tahu, dia dikenal sebagai tokoh mazhab yang meletakkan garis
hukum mazhab Hanbali. Meski sebagai pelopor pendiri Madzhab Hanabilah,
sebenarnya Imam Ah}mad ibn Hanbal tidak pernah menulis kitab dalam Fiqih yang
dapat dijadikan pegangan pokok madzhabnya. Oleh karenanya pegangan dalam

26
Amuhammad Misbah, dkk, Studi Kitab Hadis (Dari al-Muwatta’ Imam Malik hingga Mustadrak al-
Hakim), (Malang: Ahlimedia Press, November, 2020), 26.
27
Ibid, 33.
28
Ahmad Sudianto, Metodologi Penulisan Musnad Ahmad ibn H}anbal, “Jurnal As-Salam”, Vol. 1,
No. 1, No. 1, (2017), 13.
madzhab Hanabilah adalah riwayat-riwayat para muridnya yang benar-benar dinukil
dari Imam Ah}mad ibn Hanbal. Ada salah satu tokoh ulama yang sangat berjasa
karena telah menghimpun semua pendapat Imam Ah}mad ibn Hanbal yaitu Abu>
Bakar al-Khallal.
Dalam masalah Fiqih, pemikiran imam Ah}mad ibn Hanbal lebih banyak
dipengaruhi oleh imam al-Syafi’e. Seperti pandangan terkait al-Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber hukum Islam. Imam Ahmad memandang as sunnah memiliki
kedudukan yang sama kuat disamping al-Quran, sehingga tidak jarang beliau
menyebutkan bahwa sumber hukum Islam itu adalah Nash, tanpa menyebutkan al
Quran dahulu ataupun as sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud olehnya sebagai Nash
adalah al Quran dan as sunnah. Meski demikian, karakteristik pemikiran Imam
Ah}mad ibn Hanbal dalam bidang Hadis ialah berdiri di atas dasar Fiqih Hadis. Imam
Ah}mad ibn Hanbal merupakan orang yang menolak pendapat yang berdasarkan pada
pemikiran sendiri dan tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis (Kaum Rasioanlis).
Beliau juga menekankan semangat anti-Ra’yu.29
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Imam Ah}mad ibn Hanbal memiliki metode
yang dipakai secara bertahap. Yang Pertama, dzahirnya al-Qur’an tidak
mendahulukan Sunnah. Kedua, Hanya Rosulullah SAW saja yang berhak untuk
menafsirkan al-Quran, maka tidak ada seorangpun yang berhak untuk menafsirkannya
atau mentakwilkannya karena Sunnah telah banyak menafsirkan dan menjelaskan al-
Quran. Ketiga, Jika tidak ditemukan penafsiran dari Nabi SAW. (Sunnah), maka
beliau memakai penafsiran para sahabat, karena merekalah yang menyaksikan
turunnya al-Quran dan mendengarkan takwilnya dari Rasulullah. Selain itu, para
sahabat dinilai lebih mengetahui Sunnah yang mereka gunakan sebagai penafsir al-
Quran.30
Dasar-dasar hukum istinbat yang dipakai oleh Imam Ah}mad ibn Hanbal di
antaranya, Al-Qur’an, Sunnah, Fatwa Sahabat, Ijma’, Qiyas, Maslahah Mursalah,
Syar’u man Qablana. Mazhab Hanabilah dikenal dengan mazhab yang memiliki
kecenderungan memahami Nash secara tekstual dengan sikap kaku dan kerasnya. Jadi
dapat disimpulkan bahwa Madzhab Hanabilah termasuk madzhab tradisional yang
tekstualis.

29
Husnul Khatimah, Sejarah Pemikiran Hukum Ahmad ibn Hanbal, “Jurnal Liasan al-Hal”, Vol. 11,
No. 1, (Juni, 2017), 164.
30
Husnul Khatimah, Sejarah Pemikiran Hukum…
Pokok Pemikiran Ah}mad bin Hanbal dalam Bidang Teologi

Imam Ah}mad ibn Hanbal hidup pada masa pemerintahan Khalifah al-
Makmun. Pada saat itu, doktrin-doktrin Mu’tazilah. Bahkan, al-Makmun berkeinginan
agar seluruh rakyatnya mengikuti doktrin Mu’tazilah. Kecenderungan ini jelas
membuat kalangan istana terperangkap dalam perseteruan dengan fuqaha dan
muhadditsin. Ini disebabkan karena fuqaha dan muhadditsin mengikuti lebih
mengikuti metode sahabat dan tabi’in dalam ber-istidlal, terutama dalam persoalan
akidah. Teori bahwa al-Qur’an adalah makhluk menjadi instrumen Khalifah untuk
mengakuisisi para ulama. Dalam sejarah, peristiwa yang menyedihkan ini dikenal
dengan “mihnah”. Teori kemakhlukan al-Qur’an ini adalah hasil perpaduan lebih jauh
teori penafian sifat Tuhan yang bertujuan mensucikan (tanzih) Allah. Bagi Mu’tazilah
al-Qur’an haruslah makhluk, diciptakan, karena bila ia qadim maka berpotensi untuk
merusak tauhid, terutama sifat tajassum dan ta’addud al-qudama sebagai
konsekuensinya.31
Imam Ah}mad ibn Hanbal secara tegas menolak pemikiran Mu’tazilah
tersebut. Dia menegaskan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, di mana Maha
Mendengar dan Maha Melihat sebagai salah satu sifatnya. Imam Ah}mad ibn Hanbal
tidak mendapatkan hukuman dari Khalifah al-Ma’mun. Namun, setelah tampuk
kekuasaan berpindah ke tangan al-Mu’tas}im Imam Ah}mad ibn Hanbal diakuisisi
dan dijatuhi hukuman cambuk serta dimasukkan ke penjara. Dari peristiwa ini jelas
bahwa Imam Ah}mad ibn Hanbal merupakan seorang salafiyah yang enggan
membicarakan lebih jauh tentang persoalan tersebut, tetapi mencukupkan diri pada
apa yang jelas dari al-Qur’an.32
Sikap Imam Ah}mad ibn Hanbal terkait ayat-ayat yang Mutasyabihat adalah
lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi / tekstual daripada pendekatan ta’wil. Hal
itu terbukti ketika pada suatu saat Imam Ahmad bin Hanbal dihadapkan dengan
makna hadith Nuzul (yakni Tuhan turun ke langit dunia), rukyah (orang yang beriman
melihat Tuhan di akhirat) dan hadis tentang telapak kaki Tuhan. Respon Imam
Ah}mad ibn Hanbal adalah :

‫نؤمن هبا ونصدقها وال كيف وال معىن‬


31
Muslim Zainuddin, Konstruksi Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad ibn Hanbal: Pendekatan
Sejarah Sosial Hukum Islam, “Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum”, Vol. 12, No. 2,
(Juli-Desember, 2023), 95.
32
Ibid
“Kami mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan
maknanya”
Dari pernyataan ini, tampak jelas bahwa bahwa Imam Ahmad bersikap
menyerahkan/ tafwidh makna-makna ayat dan hadith Mutasyabihat kepada Allah
dan Rosul-Nya, dan mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk, ia sama
sekali tidak mentakwilkan pengertian lahirnya.33

Karya-Karya Imam Ah}mad ibn Hanbal

Imam Ah}mad telah banyak memberikan sumbangsih keilmuan bagi dunia


Islam. Sayanganya tidak semua karyanya bisa kita jumpai saat ini. Hal ini
dikarenakan sebagian dari karya beliau berbentuk risalah sederhana. Beberapa karya
beliau di antaranya:
1. Kitab al-Musnad
2. Kitab Tafsir al-Qur’an
3. Kitab Nasikh wa al-Mansukh
4. Kitab al-Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qur’an
5. Kitab Jawabat al-Qur’an
6. Kitab al-Tarikh g. Kitab al-Manasik al-Kabir
7. Kitan al-Manasik al-Shaghir
8. Kitab Tha’at al-Rasul
9. Kitab al-Illah
10. Kitan al-Shalah
11. Kitab al-Ra’du ‘Ala al-Jahmiah
12. Kitab Hadist Syu’bah
13. Kitab Nafyu al-Tasybih
14. Kitab al-Shahabah34

Kesimpulan

Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad ibn Hanbal merupakan 2 ulama yang
memberikan begitu banyak kontribusi bagi keilmuan dunia Islam. Terutama dalam
bidang Fiqih. Imam Abu Hanifah dikenang sebagai pionir dalam pengorganisasian
fiqh Islam, dengan menyusun salah satu kitab fiqh pertama yang mengelompokkan
hukum-hukum Islam secara sistematis. Sedangkan Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah
33
Husnul Khatimah, Sejarah Pemikiran Hukum…, 165.
34
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf terj, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 446.
tokoh yang mempunyai komitmen keislaman yang tinggi dibidang Fiqih dan Hadis.
Kecintaan Ahmad kepada hadis dan kesetiannya pada Nabi harus dibayar dengan
pengorbanan fisik dan nonfisik. Upaya Ahmad dalam menyelaraskan kata dan
sikap/tindakan adalah semata-mata karena konsistensinya dari kecintaannya tersebut.

Daftar Pustaka

Adriyani, dkk, “Perkembangan Pemikiran Fiqih Imam Ahmad Bin Hanbal :


Kontruksi Metode Ijtihad”, Journal Islamic Education, Vol 1, No. 2, (2023), 60.

Aizid, Rizem. (2016). Kitab Terlengkap Biografi Empat Imam Mahdzab. Saufa 38.
39, 40

Al-Hadi, Abu Azam. “Pemikiran Hukum Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i
tentang Zakat Madu”, al-Hikmah, Vol.2, No.1, (2012), 130.

Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi. (1973). Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. (Jakarta:


Bulan Bintang). 273.

Jauhar, Wildan. (2018). Biografi Imam Abu Hanifah. Rumah Fiqh Publishing. 17.

Ismanto, Fachurazi, K. “Kontribusi Fuqaha’ dalam Pengembangan Ekonomi Syariah:


Studi Pemikiran Abu Hanifah”, Journal Of Islamic Economics And Finance, Vol
3, No. 1, (Mei 2023), 58.

Khatimah, Husnul. Sejarah Pemikiran Hukum Ahmad ibn Hanbal, “Jurnal Liasan al-
Hal”, Vol. 11, No. 1, (Juni, 2017), 164.

Miftah, Farih Skripsi: “Studi Komparatif Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’I Tentang Hukum Had Syurb Khamr” (Semarang: UIN Walisongo, 2018),
Hal. 48.

Misbah, Amuhammad dkk, Studi Kitab Hadis (Dari al-Muwatta’ Imam Malik hingga
Mustadrak al-Hakim), (Malang: Ahlimedia Press, November, 2020), 26.

Mughniyah, Muhammad Jawad (2011). Fiqih Lima Mazhab. Lentera. 15.

Nadia, Kehidupan dan Karakteristik Pemikiran Pemikiran Hukum Imam Ahmad ibn
Hanbal, “Comparativa”, Vol. 1 No. 2, (Juli – Desember 2020), 100.

Qomarullah, Muhammad. “ Mengenal Qutub Tis’ah dan Biografi Pengarangnya”, El-


Ghiroh, Vol 12, No. 1, (Februari 2017), 16.

Sudianto, Ahmad Metodologi Penulisan Musnad Ahmad ibn H}anbal, “Jurnal As-
Salam”, Vol. 1, No. 1, No. 1, (2017), 13.

Zainuddin, Muslim. Konstruksi Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad ibn Hanbal:
Pendekatan Sejarah Sosial Hukum Islam, “Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana
dan Politik Hukum”, Vol. 12, No. 2, (Juli-Desember, 2023), 95.

Anda mungkin juga menyukai