Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

“MAZDHAB HANAFI”

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas mata kuliah Fiqh


Dosen Pengampu: Rukiana Khasanah, M.Pd

Disusun oleh:
Muhammad Fahri Al khusaini

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ISLAMIYYAH


KARYA PEMBANGUNAN PARON
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Fiqih merupakan ilmu yang mengatur tentang hukum-hukum Islam. Dalam
lingkungan Islam, ilmu fiqih terus menglami perkembangan yang cukup pesat dari zaman
Rasulullah SAW sampai sekarang. Sepeninggal Rasulullah SAW para sahabat mulai
melakukan ijtihad untuk menentukan suatu hukum, kemudian pada masa tabi’in
perkembangan ilmu fiqih berkembang cukup pesat. Pada masa tabi’in inilah mulai muncul
beberapa imam madzhab seperti imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
Empat imam madzhab diatas memiliki cara pandang dan dasar-dasar tersendiri dalam
menentukan hukum maupun kaidah-kaidah fiqih, baik tentang fiqih ibadah, muamalah,
maupun bidang fiqih lainnya. Para umat muslim di dunia juga menganut madzhab-madzhab
dari empat madzhab tersebut. Menurut sejarah, dari kekempat imam madzhab, madzhab
Hanafi adalah permulaan madzhab.

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah
1.Bagaimana sejarah dan biografi dari imam Abu Hanifah?
2.Apa dasar pemikiran madzhab imam Abu Hanifah?
3.Bagaimana perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain?

3.Tujuan Penulisan
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.Untuk mengetahui sejarah dan biografi dari imam Abu Hanifah
2.Untuk mengetahui dasar pemikiran madzhab imam Abu Hanifah
3.Untuk mengetahui perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain
BAB II
PEMBAHASAN
1.Sejarah dan Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah (699 Masehi).
Nama kecilnya ialah Nu’man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau keturunan dari
bangsa Persi (Kabul-Afganistan) tetapi sebelum beliau dilahirkan ayah beliau sudah pindah
ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena sesudah berputra, ada di antaranya yang
dinamakan Hanifah, maka dari itu beliau mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan
Abu Hanifah. Tetapi ada riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu
Hanifah, karena beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-
sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan “Hanif” dalam bahasa
Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar. Beliau wafat pada
bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Bagdad.
Pendidikan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sejak kecil suka kepada ilmu pengetahuan, terutama yang
ada hubungannya dengan agama Islam. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama tabi’in
seperti Ata’ bin Abi Rabah dan Imam Nafi’ Maula Ibnu Umar. Beliau juga belajar ilmu hadits
dan fiqh dari ulama-ulama yang terkemuka di negeri itu. Guru yang paling berpengaruh pada
dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulaiman.
Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya
Imam Abu Hanifah memang seorang ahli tentang fiqh dan ilmu kalam dan
pada saat beliau hidup banyak yang berguru padanya. Di bidang ilmukalam beliau menulis
kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asqar dan al-Fiqh al-Akbar. Tetapi dalam bidang ilmu fiqh
tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis
sebuah buku fiqh sewaktu hidupnya.
Ciri-ciri Khas Fiqh Mazhab Hanafi
Dalam membentuk hukum, Imam Abu Hanifah menempatkan al-Qur'an sebagai landasan
pokok, kemudian sunah sebagai sumber kedua. Beliau juga berpegang pada fatwa sahabat
yang disepakati, tetapi jika suatu hukum tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia
melakukan ijtihad. Illat ayat-ayat hukum dan hadits, terutama dalam bidang mu’amalah,
menurut pandangannya perlu sejauh mungkin ditelusuri sehingga berbagai metode ijtihad
dapat difungsikan antara lain qiyas dan istihsan. Metode istihsan telah banyak berperan dalam
membentuk pendapat-pendapat fiqh Imam Abu Hanifah dan membuat mazhabnya lebih
dinamis, realistis dan rasional. Mazhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut :
a. Fiqh Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada fiqh muamalah
b. Fiqh Imam Abu Hanifah memberikan penghargaan khusus kepada hak
seseorang baik pria maupun wanita.
2.Dasar–Dasar Pemikiran Madzhab Abu Hanifah.
Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas da istihsan.
Beliau mempergunakan qiyas dan istihsan apabila beliau tidak memperoleh nash dalam
Kitabullah, Sunnatur Rasul atau ijma’. Dengan kita memperhatikan cara-cara yang di tempuh
Abu Hanifah untuk beristinbath, nyatalah bahwa dasar-dasar hokum Fiqh dalam madzhabnya,
ialah:
1.Al Kitab
Secara etimologis, lafal qur’an sama dengan lafal qira’at. Ia merupakan bentuk
masdar menurut wazn (pola) fu’lan, seperti lafal gufran dan syukran. Bentuk kata kerjanya
adalah qara’a yang berarti al-jam’u wa al dammu, yakni menghimpun dan mengumpulkan.
Dengan demikian lafal qur’an dan qira’at secara etimologis berarti menghimpun dan
memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainya. Firman Allah dalam
surah al-Qiyamah (75):17-18:
‫م َع ُه َوق ُْرآنَ ُه َفِإذَا َق َرْأنَا ُه َفاتَّ ِب ْع ق ُْرآنَ ُه‬ َ ‫ِإنَّ َعلَ ْي َنا‬
ْ ‫ج‬
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
2.As Sunnah
Sunnah (Arab, al-Sunnah, bentuk pluralnya al-sunan) secara etimologis
mengandung makna “cara dan jalan hidup”, baik yang berkualitas baik maupun buruk.
Sunnah di bagi menjadi 5, yaitu:
Sunnah qauliyyah
Sunnah fi’liyah
Sunnah taqririyah
Sunnah yang materinya berupa penggambaran sikap Nabi.
Sunnah yang materinya berupa penggambaran citra fisik Nabi.
3.Al Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad sesudah
wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu perkara.
Kedudukan ijma’
Sehubungan dengan kedudukan ijma’, ummat islam di bedakan
menjadi dua golongan, yakni golongan ahlu sunnah wal jama’ah (sunni) dan golongan non
sunni (Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah). Golongan non Sunni memandang bahwa ijma’
bukanmerupakan hujjah syar’iyyah. Sunni berkeyakinan bahwa ijma’ merupakan hujjah
syar’iyyah. Menurut mereka ijma’ adalah dalil syara’ yang berbobot qath’i.
4.Al Qiyas
Secara etimologis makna qiyas adalah “hakiki” (pengukuran) dan bermakna
majazi (persamaan). Secara terminologis yaitu: menghubungkan sesuatu kepada sesuatu yang
lain perihal ada atau tidak adanya hokum berdasarkan unsure yang mempersatukan keduanya,
baik berupa penetapan maupun peniadaan hokum/sifat dari keduanya.
5.Al Istihsan
Istihsan secara etimologis mengandung arti “menganggab sesuatu itu
baik”. Secara terminologis, istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiyas
jaili kepada tuntutan qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau
berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hokum kully kepada tuntutan hokum juz’iy
berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional.
Menurut Ibnu Al-Arabi, istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil
dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsah karena berbeda hukumnya dalam
beberapa hal. Ibnu Al Arabi menambahkan, istihsan adalah beramal dari salah satu dari dua
dalil yang paling kuat, berpegang kepada dalil umum apabila dalil itu bias terus berlaku dan
berpegang kepada qiyas apabila qiyas itu berlaku umum.
Menurut Ibnu Rasyid, istihsan adalah meninggalkan qiyas dalam
menetapkan suatu hokum karena qiyas itu menimbulkan ketentuan hokum yang terkesan
berlebihan atau tidak wajar. Ibnu Rasyid berpandangan, pada beberapa kasus penetapan
hukum tidak dilakukan dengan qiyas, tetapi diahlikan darinya karena ada pengertian yang
mempengaruhi dalam penetapan hokum yang mengkhususkan kasus tersebut.

3.Perbandingan madzhab imam Abu Hanifah dengan imam yang lain


Kewajiban orang Islam apabila ia sendiri sukar mencari hukum langsung dari dalil-
dalilnya, ialah bertanya kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak mesti
ia menganut madzhab tertentu, karena tidak ada kewajiban kecuali yang telah diwajibkan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Allah tidak mewajibkan seorang untuk bermadzhab
dari sesuatu madzhab dari imam-imam madzhab. Dalam penerapannya, berikut adalah contoh
perbandingan madzhab imam Hanafi dengan imam madzhab lainnya. Contohnya adalah
shalat sunnah bagi musafir.
Bagi musafir yang menunaikan shalat sunnah, sah baginya kearah manapun sesuai
dengan konsessus ulama. Dalam masalah ini, ada beberapa pendapat para fuqaha, yatiu:
Menurut madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi, pensyaratan kiblat bagi orang yang sakit atau sedang
menaiki kendaraan adalah arah manapun yang memungkinkan. Hukum ini juga berlaku bagi
musafir atau ketakutan yang mencekam karena musuh atau pencuri dan atau serangan
binatang buas. rdhu
Khusus untuk shalat yang dilakukakn diatas kendaraan atau binatang tumpangan, jika
mungkin hendaknya berhenti dahulu. Tetapi jika dengan berhentinya mengakibatkan efek
negatif, misalnya ditinggal rombonganmaka boleh menunaikan shalat dengan berdiri.
Madzhab ini menambahkan bahwa shalat yang diperbolehkan adalah shalat sunnah muakad.
Namun kebolehan itu tidak berlaku dalam shalat fardhu, witir, nadzar, dan jenazah. Shalat-
shalat tersebut tidak boleh ditunaikan diatas binatang kecuali ada udzur.
Bagaimana prosesi shaltnya? Dalam melakukan rangkaian gerakan, ia bisa melakukannya
dengan isyarat, (ima’) dengan menghadap kearah manapun karrena darurat Sekali lagi, dalam
kondisi ini, tidak ada persyaratan menghadap kiblat. Jadi shalatnya tetap sah sekalipun dalam
tubuh atau kaki binatang tersebut terdapat najis.
Menurut madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki seseorang boleh melakukan shalat sunah, baik dengan
menghadap kiblat atau lainnya, jika dikhawatirkan dengan turun, aakan terjadi bahya yang
tidak diinginkan, misalnya serangan penjahat atau serangan binatang buas. Hal tu juga
berlaku bagi mereka yang berada dalam tandu dengan tetap duduk diatasnya dan tandu tetap
masih berjalan.
Dalam keadaan ini, gerakan rukun, seperti sujud dan ruku bisa diganti dengan isyarat,
misalnya gerakan sujud lebih rendah dibanding gerakan ruku. Kondisi tanah tid ak harus
bersih dan mereka tidak boleh berbicara.
Ada beberapa syarat yang ditetapkan demi keabsahan penunaian shalat sunah dalam
perjalanan, yaitu:
Perjalanan itu telah mencapai jarak minimal 89 KM. Bagi mereka yang melakukan perjalanan
karena kemaksiatan tidak mendapat keringanan apapun.
Dalam perjalanan itu sebagai penunggang. Tidak berjalan atau duduk saja. Bagi mereka yang
perjalanannya menggunakan fasilitas perahu atau kapal, tetap wajib baginya menghadap
kiblat. Jika memang perahu atau kapal tersebut berputar arah, maka ikut berputar.
perjalanan itu dalam kondisi normal, misalnya tidak terbalik atau kakinya terikat.
Menurut madzhab Syafi’i
Menurut madzhab Syafi’i seorang musaafir baik dalam perjalanan jauh atau dekat,
dalam jangka waktu yang lama atau sebentar, boleh melakukan shalat sunnah di atas
kendaraanya. Namun keringanan tersebut tidak berlaku bagi perjalanan maksiat. Juga mereka
yang berjalan. Wajib bagi mereka untuk tetap menyempurnakan syarat dan rukun yang telah
ditetapkan syara’.
Dalam melakukan shalat sunah tersebut, gerakan ruku dan sujud bisa digantikan
dengan isyarat. posisi tubuh ketika sujud harus lebi rendah dibanding ketika ruku. Syaratny,
shalat tersebut dimulai dengan menghadap kiblat jika memungkinkan. Jikaa seseorang
menunaikan shlat dengan memegang tali kendaraan hewan yang disitu terdapat najis, maka
shalatny tidak sah, baik najisnya basah atau kering. Perinciannya adalah sebagai berikut:
Jika seseorang menaiki tandu, wajib baginya menghadap kiblat selama menunaikan rukun
shalat. Kalau tidak bisa sebagian saja, misaalnya sujud dan ruku. Hal itu dianggap mudah dan
sangat memungkinkan. Jika memang menyulitkan cukuplah baginya menghadap kiblat saat
takbiratul ihram. Itupun juga memungkinkan.
Jika hewannya berhenti dan memungkinkan untuk merubah arah serta tali kendali ada
ditangannya, maka ini memudahkannya mengendalikan jalannya hewan tersebut. Jika sulit
dan tidak memungkinkan untuk mengendalikannya, tidak wajib baginya menghadap kiblat
karena keadaan ini cukup menyulitkannya.
Untuk seorang nahkoda, tidak diwajibkan menghadap kiblat. Hal ini mengingat resiko yang
ditimbulkan jika ia memaksakan hal itu.
Menurut madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, bahwa kebolehan tersebut hanya untuk mereka yang
menaiki kendaraan, baik itu perjalanan dekat atau jauh. Gerakan sujud dan rukunya c
ukup dengan isyarat. Caranya posisi tubuh waktu sujud bungkuknya lebih rendah dibanding
ruku.
Kewajiban menghadap kiblat tetap harus ditunaikan bagi mereka yang menunggang
kendaraan, tetapi didaerahnya sendiri. Itu tidak bisa dikatakan musafir. Jadi kembali
kehukum semula. Lebih lanjut mereka boleh melkukan hal itu diatas keledai atau sejenisnya.
Beda halnya dengan shalat diatas binatang najis, disitu harus ada alas suci yang meanghalangi
interaksi langsung dengan kulitnya. Dengan kata lain, carilah alas atau penutup apapun untuk
memisahkan tubuh dengan bagian najis pada tubuh binatang tersebut.
Secara umum bisa dikatakan bahwa sekiranya memang mungki ke arah kiblat, maka
ia tidak boleh merubah kearah yang lebih mudah. Jika seseorang berada diatas kapal atau
perahu besar, maka ia harus menghadap kiblat jika memungkinkan . Begitu juga dengan
gerakan ruku dan sujud. Jika dia mungkin menhgadap kiblat, tapi tidak memungkinkan untuk
ruku dan sujud, maka menghadap kiblat harus diprioritaskan. Untuk ruku dan sujud cukup
dengan isyarat.
Kesimpulan
Para fuqaha sepakat bahwa menunaikan shalat diatas kendaraan dalam
perjalanan jauh, hukumnya boleh. Begitu juga mereka sepakat akan posisi ruku dan sujud
yang diganti dengan isyarat. Mereka bebeda pendapat jika jaraknya pendek. Dalam hal ini
imam Syafi’i dan Hambali membolehkan. Tidak demikian dengan madzhab Hanafi dan
Maliki.
Menurut mdzhab Hanafi dan Maliki, menghadap kiblat dalm kondisi ini tidak
menjadi syarat dalam shalat. Tidak demikian dengan madzhab Syaafi’i dam Hambali. Dua
madzhab ini lebih lanjut mngatakan, hal ini dilakukan pada awal seseorang melakukan
takbiratul ihram, ketikan memungkinkan. Jika tidak memungkinkan karena udzur, gugurlah
kewajibannya. Ketika awal hendak melakukan shalat sunah, dan ia tidak mampu menghadap
kiblat, tidak masalah.
Jika binatang tunggangan mengandung najis, hal ini tidak masalah menurut
madzhab Hanafi dan Maliki. Bagi madzhab Syafi’i itu tidak diperbolehkan. Lebih lanjut
menurut madzhab Hambali, shalatnya sah dengan syarat ada penghalang (satir) yang suci
diatasnya.
Shalat fardhu yang dilakukan diatas binatang hukumnya tidak sah, kecuali jika
semua rukun dan syarat sudah ditunaikan. Barang siapa yan shalat diatas perahu, hendaknya
ia menghadap kiblat sekadar memungkinkan. Jika perahunya berputar, ia boleh merubah arah
meskipun masih dalam keadaan shalat.

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.Ciri-ciri khas fiqh mazhab Hanafi adalah fiqh imam Abu Hanifah lebih menekankan pada
fiqh muamalah dan memberikan penghargaan khusus kepada hak seseorang baik pria maupun
wanita.
2.Dasar pemikiran madzhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunah, ijma, qiyas, dan istihsan.
3.Madzhab Hanafi memiliki perbedaan dengan madzhab imam fiqih yang lain, namun dasar
mereka dalam menetapkan hukum itu sama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai dua
sumber utama.

DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, 2011, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:AMZAH
Chalil, Moenawar, 1986, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta : Bulan Bintang
Musyafa’, Fadholan Mu’thi, 2007, Shalat di Pesawat dan Angkasa, Tuban: Syauqi Press
Syaltut, Mahmud, 2005, Perbandingan Masalah Madzhab dalam Masalah Fiqih, Jakarta:
Bulan Bintang
Teungku Muhammad Hasbi, 1999 , Pengantar Iilmu Fikih, Semarang: Pustaka Rizki Putra

Anda mungkin juga menyukai