Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh

1. Ushul fiqh sebelum dibukukan


a. Masa sahabat
Wafatnya rasulullah SAW menggores catatan baru dalam penetapan
hukum. Munculnya para sahabat besar setelah Nabi wafat melahirkan
permasalahan baru yang tidak ada pada zaman nabi terkait dengan
metode penetapan hukum. Untuk menetapkan hukum baru maka
diantara sahabat berijtihad dengan bersumber kepada al-qur’andan
hadis. Maka pada masa sahabat ini sumber hukum bukan lagi hanya
Al-Quur’an dan Hadis tetapi ditambah dengan ijtihad sahabat.
Menurut Abu Zahra munculnya ilmu ushul fiqh berbarengan dengan
ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih dahulu dibukukan sebelumnnya.
Karena menurutnya fiqh sebagai produk tidak mungkin terwujud tanpa
adanya metodologi istinbat. Dan metode instinbat ini sendiriadalah inti
dari bagian ushul fiqh.
Fiqh sebagai produk ijtihad telah muncul sejka ,masa sahabat. Dalam
melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakankaidah-
kaidah ushul fiqh meskipun kaidah ushul fiqh ketika itu belum
dibukukan sebagai sebuah disiplin ilmu.kemahiran mereka dalam
ijtihad disamping pengaruh dari bimbingan rasul juga penguasa
mereka terhadap bahasa arab yang sangat baik. Mereka yang kemudian
dikenal dengan melakukan banyak ijtihad adalah mengikuti langsung
praktik tasyri’ dari Rasulullah SAW. Mereka adalah orang yang dekat
dengan rasul selalu menyertainya dan menyaksikan langsung praktik
ijtihad rasul, sehingga mereka sangat memahami bagaimana cara
memahami ayat dan menangkap tujuan pembentukan hukum.
Cara yang dilakukan oleh sahabat dalam ijtihad sebagaimana
dijelaskan oleh Abd Wahab Abu Sulaiman, langkah pertama yang
mereka tempuh adalah mempelajari teks Al-Qur’an dan kemudia
sunnah Nabi. Jika tidak ditemukan pada kedua sumber hukum ini
maka mereka melakukan ijtihad, baik secara perorangan atau
mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan
mereka disebut dengan ijma’ sahabat. Selain menggunakan qiyas,
mereka juga menggunakan istilah yang didasari oleh maslahah
mursalah seperti mengumpulkan al-qur’an dalam satu mushaf.
Dapat disimpulkan, bahwa para sahabat telah menggunakan ijma’, ,
dan istilah (maslahah mursalah) jika hukum sesuatu tidak ditemukan
dalam al-qur’an dan sunnah. Dengan demikian, prakarsa ijtihad yang
dilakukan oleh sahabat setelah wafatnya rasulillah telah mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat ketika itu.1

1
Sapiudin Shidiq,”usul fiqh”,(jakarta,kencana:2017),hlm10-11
b. Masa Tabi’in
Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode berikutnya yaitu
masa Tabi’in, tabi’ al-tabi’in serta iman-imam mujtahid sekitarabad
ke-2 dan ke-3 hijriah. Pada masa ini Daulah Islamiyah sudah semakin
berkembang dan banyak muncul kejadian baru. Berbagai kesulitan,
perselisihan dan pandangan serta pembangunan material dan spiritual
satu per satu bermunculan. Semua persoalan ini menambah beban
kepada imam mujtahid untuk membuka cakrawala yang lebih luas
terhadap lapangan ijtihad yang membawa konsekuensi semakin
meluasnya lapangan hukum syariat islam (hukum fiqih) dan hukum
beberapa peristiwa yang masih bersifat kemungkinan (prediksi).
Sumber yang mereka gunakan pada periode ini adalah sumber hukum
pada dua periode sebelumnya (periode nabi dan sahabat).jadi sumber
hukum fiqih pada periode ini terdiri dari hukum allah ( al-qur’an),
rasulnya (hdis), fatwa dan keputusan sahabat rasul serta fatwa
mujtahid.
c. Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Pada masa imam mujtahid sebelum imam syafi’i dikenal dua tokoh
besar, yaitu Imam Abu Hanifa dan Imam Malik bin Anas. Kedua tokoh
mujtahid ini telah memperlihatkan penggunaan metode yang lebih
jelas.
Imam Abu Hanifa al-Nu’man (w. 150 H), pendiri mazhab Hanafi
menggunakan dasar istinbatnya secara berurutan yaitu Al-Qur’an,
sunnah dan fatwa sahabat jika tidak terdapat pada ketiga sumber
hukum diatas maka ia berpegang kepada pendapat yang disepakati oleh
para sahabat. Imam Abu Hanifa jika dihadapkan oleh beberapa
pendapat yang berbeda, maka ia memilih salah satu pendapat dan tidak
akan mengeluarkan pendapat baru. Imam Abu Hanifa tidak berpegang
kepada pendapat tabiin karena posisinya sejajar dengan mereka. Dalam
melakukan ijtihad, Imam abu Hanifah dikenal sebagai mujtahid yang
banyak menggunakan qiyas dan istihsan.2
2. Pembukuan ushul fiqh
Setelah kekuasaan islam semakin bertambah luas dan bangsa arab sudah
memperluas pergaulannya dengan bangsa lain baik dalam bentuk lisan
maupun tulisan. Sehingga terjadilah penyerapan bahasa asing dalam
bentuk mufradat dan tata bahasa kedalam bahasa arab yang menimbukan
kesamaran –kesamaran dan keungkinan lain dalam rangka memahami nas.
Dari latar belakang itulah, maka perlu disusun batasan-batasan dan kaidah
bahasa, yaitu dengan kaidah itu nas dapat dipahami sebagaiimana orang
arab memahaminya.

2
Sapiudin Shidiq,”usul fiqh”,(jakarta,kencana:2017),hlm12-13
Tercatat dalam sejarah, ketika pembentukan hukum islam sudah semakin
meluas dan permasalahan hukum sudah semakin kompleks. Terjadilah
perdebatan sengit antara ahlul hadis dan ahlu al-rayi. Dipihak lain juga
semakin berani juga orang-orang yang tidak ahli agama (ahlul ahwa),
menjadikan sesuatu sebagai hujah padahal sesuatu itu bukan hujah dan
sebaliknya mereka mengingkari sesuatu yang justru hal itu adalah hujah.
Semua ini merupakan dorongan yang kuat untuk menyusun batasan-
batasan tentang dalil syariat, syarat-syarat serta cara menggunakan dalil.
Penghujung abad ke-2 dan awal abad ke-3 hijriah muncul ulama bernama
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) yang menggagas, meramu,
mensistematikkan, dan membukukan ilmu ushul fiqh.
Setelah imam syafi’i menyusun kitabnya yang monumental itu, kemudian
berbondong-bondonglah ulama menyusun ilmu ushul fiqh baik dalam
bentuk panjang atau lebar (ishab) ataupun ringkas (‘ijaz). Tak ketinggalan
ulama ilmu kalam (ahli teologi), menyusun ilmu ini dengan cara sendiri
begitu juga ulama hanafiah juga menyusun ilmu ushul fiqh ini dengan
menggunakan caranya sendiri. Karya ilmiah dibidang ilmu ushul fiqh
setelah imam syafi’i yang tercatat pada abad ke-3 H antara lain: al-Khabar
al-Wahid, karya Isa Ibn Abban Ibn Sedekah (w. 220 H) dari kalangan
Hanafiyah, al-Naskh wa al-Mansukh oleh Ahmad bin Hambali (w. 164 H-
241 H), pendiri mazhab Hambali dan kitab Ibtal al- Qiyas oleh Daud al-
Zahiri (200 H- 270 H) pendiri mazhab Zahiri.
Berdasarkan penelitian Abdul Wahab Khallaf, beliau menyimpulkan
bahwa ilmu ushul fiqh tidaklah langsung menjadi ilmu yang besar. Akan
tetapi, sedikit demi sedikit terus berkembang menjadi besar. Tercatat
dalam sejarah, setelah mencapai perjalanan 200 tahun barulah ilmu ushul
fiqh tumbuh dengan subur dan terpancar disela sela hukum fiqh.3

Telah dimaklumi bahwa hukum fiqh adalah hasil galian ijtihad. Dan
penggaliannya atau dalam hal ijtihad, tentang nabi sendiri pun diselisihkan oleh
para ulama apakah nabi ada berijtihad atau tidak, walau kita lihat dari
kenyataannya nabi sendiri ada berijtihad. Namun tidaklah dapat disamakan
dengan ijtihad sahabat, tabi’in, dan lainnya. Karena ijtihad nabi terjamin
kebenarannya, dan bila salah seketika itu juga datang wahyu untuk
membetulkannya. Demikian demi terjagannya syariat.4

Oleh karena itu, maka tetaplah dikatakanlah imam Asyafi’i ialah Bapak Ushul
Fiqh, karena beliau dianggap penyusun yang pertaman kalinya.

Setelah ar-risalah ImamAsyafi’i tersebut, barullah timbul kitab ushul fiqh yang
dikarang oleh para ulama baik dari mazhab syafi’i sendiri maupun dari mazhab
3
Sapiudin Shidiq,”usul fiqh”,(jakarta,kencana:2017),hlm13-16
4
Basiq Djalil,”ilmu ushul fiqh”,(jakarta,prenadamedia group:2014),hlm 20
lain. Bentuk dan metode kitab ushul fiqh ini terkadang sama,karena sifatnya hanya
meringkas dari kitab-kitab yanag telah ada, tapi ada juga yang berlainan.
Kemudian muncul kitab ushul fiqh yang dikenal dengan nama Irsyadul Fukhul
yang dikarang oleh Imam Syaukani, yang bersifat evaluasiterhadap materi kitab
ushul fiqh yang ada tanpa menghiraukan mazhab atau alirannya. Kemudian buku
ini diringkas pula oleh salah seorang murid beliau dan diberi nama dengan kitab
husulul makmul.5

5
Basiq Djalil,”ilmu ushul fiqh”,(jakarta,prenadamedia group:2014),hlm 22

Anda mungkin juga menyukai