Kelompok 1:
1. Periode Rasulullah
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada AlQuran dan Sunnah, ushul fiqih tidak
timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman
Rasulullah dan sahabat. Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya
dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah. Rasulullah menunggu
turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak
turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui
sabdanya, yang kemudian dikenal dengan Hadits atau Sunnah. Rasulullah dan
para sahabat juga berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan
wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana,
tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari. 1
Umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-
hukum syar’i, lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah
Rasulullah saja pada masa itu. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih,
seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada terperaktikkan pada zaman
Rasulullah dan Sahabat.2 Praktik-praktik yang di kemudian hari menjadi asal-usul
dari ushul fiqih yang sampai ke tangan kita.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku
dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari
Ummu Salamah).
2. Periode Sahabat
Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada masalah penentuan dan
atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan problem-problem yang dihadapi
tetapi tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam nas Al-Qur’an dan
1
Zulhamdi, Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh (Vol. XI No. 2, Jurnal At-Tafkir, 2018) h. 64
2
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung, Pustaka Setia, 2010) h. 26
3
Sunah. Dalam konteks ini, para ulama sebagai ahli waris para Nabi saw. (waratsat
al-anbiya’) oleh Al-Quran dan Sunnah diberi kewenangan untuk berijtihad guna
menentukan dan atau menetapkan hukum Islam. Karenanya, secara substantif
ushul fiqh pada dasarnya telah tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya kegiatan
ijtihad, yakni sejak masa sahabat. Hanya saja pada masa sahabat ushul fiqh masih
bersifat praktis-terapan, seperti ketika sahabat akan mengeluarkan fatwa atau akan
mengambil keputusan hukum dalam proses peradilan.
Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan beberapa sahabat besar
lainnya dikenal sebagai fukaha lantaran produk-produk pemikiran hukumnya
selalu menjadi acuan umat Islam saat itu. Artinya, pada masa sahabat, ushul fiqh
sejatinya sudah ada, namun belum berwujud sebagai sebuah disiplin keilmuan.3
3. Periode Tabiin
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan
belajar kepada sahabat. Pada masa tabi’in pun kondisinya relatif sama, ushul fiqh
sudah ada dan terus berkembang, namun belum terformulasi secara sistematis.
Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan
bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang
muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri
untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan
Alqamah ibn al-Qays serta Ibrahim al-Nakha’i di Irak. 4
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath
sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1). Pemalsuan hadits. 2). Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang
memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas
disertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah
geografis. Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli
hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang
dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk
Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang
3
Baharudin, Ilmu Ushul Fiqh (Lampung, AURA, 2019) h. 13
4
Fatkan, Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa (Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 5 No. 1
2017) h 29
4
baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan
maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
5
Ibid, h 15
5
bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu
atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq,
khususnya di Bashrah dan Kufah.
Benih-benih pemikiran hukum dengan membedakan intensitas penggunaan Hadis
dan ra’yu yng memunculkan dua aliran besar ahl al-Ra’y dan ahl al-Hadis tidak dipungkiri
pada masa-masa sahabat. Karena dikena ada segolongan sahabat sangat intens
menggunakan Hadis dalam Ijtihadnya dan merasa ragu-ragu dalam menggunakan ijtihad,
namun ada pula yang intens melakukan ijtihad dengan ra’yu dalam berbagai masalah
yang tidak ada nash. Terbaginya ulama pada dua aliran besar, memunculkan berbagai
macam persoalan hukum dan hasil ijtihad. Masing-masing aliran dan kelompok itu
mengklaim bahwa hukum-hukum yang diputuskan mereka, baik dengan menggunakan
hadis maupun dengan menggunakan ijtihad adalah yang terbaik dan benar. Hal ini
berimbas pada terjadinya persaingan tidak sehat di antara dua aliran besar itu dengan
masing-masing membanggakan kelompoknya.
Dari keseluruhan kelompok atau aliran fiqh yang berkembang hanya aliran ahl al-
Madinah dan ahl al-Kufah atau yang kemudian lazim disebut dengan mazhab ahl al-hadis
dan ahl al-ra’yi yang paling menonjol. Beberapa keterangan ada yang memperluas tempat
wilayah beradanya kelompok ahl al-hadis yaitu pada dua tempat di Hijaz, yaitu Makkah
dan Madinah, sedangkan kelompok ahl al-ra’yi, terkadang dinisbahkan kepada penduduk
irak dan terkadang dinisbahkan kepada penduduk kufah. Terfokusnya perhatian kepada
kedua wilayah itu dibanding wilayah lain, sebagaimana tersebut oleh Schacht, disebabkan
informasi perkembangan pemikiran hukum islam dikedua wilayah lebih banyak diterima
oleh para peneliti dibandingkan wilayah atau daerah-daerah lainnya.
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai berikut:
6
Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadis adalah para fuqaha yang
tujuh, yaitu:
1. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2. al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3. Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
4. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
5. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
6. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
7. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.)
Perbedaan aliran mutakallimin dan aliran ahnaf ini dikarenakan perbedaan dinamika
ijtihad sehingga menyebabkan lahirnya dua corak dalam proses penyusunan dan
pembakuan teori ilmu ushul fiqh. Di samping al-Syafi’i sendiri sebagai pendiri ilmu ushul
fiqh, ikut tergabung di dalam aliran ini adalah para ulama dari Mazhab Maliki, Hanbali,
Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah, dan Abadiyah. Dengan menggunakan kerangka berpikir
induktif (proses berpikir untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang
berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus), aliran mutakallimin
6
Zulhamdi, Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh (Vol. XI No. 2, Jurnal At-Tafkir, 2018) h. 74
7
membangun metode berpikir rasional-sistematik sebagai parameter dalil, yang kepadanya
semua produk ijtihad dapat dilandaskan.
Dalam pertumbuhan pada tingkat pertama ilmu ushul fiqh belum merupakan ilmu
yang berdiri sendiri, melainkan ia masih berserak-serak dalam kitab-kitab fiqh yang
difungsikan oleh fuqaha’ sebagai argumentasi menetapkan hukum fiqh serta untuk
menerangkan cara-cara mengambil hukum dari dalil-dalil yang dikemukakan. Orang
yang pertama-tama mengumpulkan tulisan ushul fiqh yang masih bercampur dengan
kodifikasi fiqh Islam menjadi suatu perangkat ilmu yang terpisah lagi berdiri sendiri
(menurut Ibnu Nadim) adalah Abu Yusuf (wafat pada 182 H), salah seorang murid Imam
Abu Hanifah. Namun tulisan tersebut tidak sampai kepada kita untuk dikaji lebih lanjut.9
7
Bahruddin, Ilmu Ushul Fiqh (Aura: Bandar Lampung,2019). h 19
8
Abdullah Musthafa al-Maraghi, Ulama Ushul Fiqih Sepanjang Masa (IRCiSoD: Yogyakarta,2020) h.31
9
Nurhayati, Fiqh dan Ushul Fiqh (Prenadamedia Group, Jakarta, 2019) h 17
8
Al-Risalah. Di dalam bukunya ini beliau menguraikan Al-Qur’an, penjelasan Sunnah
terhadap Al-Qur’an, dari hal ijtihad, qiyas, dan sebagaimana yang berhubungan dengan
dasar-dasar ber-istinbat. Karena kitab tersebut merupakan kitab ushul fiqh yang pertama
dibukukan orang dan yang dapat sampai kepada kita, maka beliaulah yang terkenal
sebagai perintis ilmu ushul fiqh. Kemudian, muncullah beberapa ulama untuk
meneruskan menyusun ilmu ushul fiqh. Menurut Dr. Mahmud Abdurrahman dalam kitab
Tarikh Ushul al-Fiqh, Imam Syafi’i menulis pertama kali kitab ar-Risalah di kota Makkah
atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi. Saking kagumnya atas karya tersebut,
Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Aku tak akan pernah shalat kecuali di dalamnya aku
akan selalu mendoakan asy-Syafi'i. Sungguh ia adalah pemuda yang sangat jenius".
Setelah lahirnya kitab ar-Risalah al-Jadidah Imam Syafi’i merasa perlu untuk
menyempurnakan lagi ilmu ushul fiqh yang beliau rintis dengan menerbitkan kitab
Jima'ul Ulum. Kitab ini banyak menceritakan tentang golongan yang menolak dalil hadits
Ahad serta bantahannya dan sejenisnya. Disusul setelahnya, Imam Syafi’i menerbitkan
kitab Ikhtilaful Hadits yang menjelaskan perbedaan pendapat para ulama dalam
menyikapi hadits yang beredar. Kitab ini disusun sesuai dengan alur bab ilmu fiqh. Dan
pada akhirnya Imam Syafi’i menutup karya-karyanya dalam ilmu ushul fiqh dengan
menerbitkan kitab Ibthalul Istihsan. Kitab ini banyak mengkritik ulama yang terlalu
berlebihan dalam memakai metode istihsan. Selain itu, Imam Syafi’i juga menulis kitab
Sifatu Nahyi Nabi yang menjelaskan makna larangan (nahyu) dalam hadits Nabi. Ada
beberapa pemikiran yang dibangun oleh imam syafi’I diantaranya:
9
5. Memberikan perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah
yang terlalu ekstrem dalam mentakwil sifat Allah.
6. Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab
serta di dalam Al-Qur’an ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam
pelafalan bahasa Arab.
7. Menerangkan tentang amr (perintah) dan nahi (larangan).
8. Menjelaskan naskh dan mansukh (pembatalan hukum).
Setelah imam Syafi’I mencetuskan ilmu ushul fiqh muncullah ulama-ulama lain
yang mencetuskan ilmu ushul fiqh dengan menyusun kitab-kitab dengan metodologi
tersendiri diantaranya adalah Abu Mansur al-Maturidi (333 H), Abu Hasan al-Karkhi
(340H), Abu Bakr al-Jashshash, al-Dabbusi (430 H), al-Bazdawi, al-Sarakhsi(483 H), dan
al-Nasafi (710 H). Setelah kemunculan para ulama-ulama tersebut maka muncullah
ulama-ulama lain yang mecetuskan ilmu ushul fiqh dengan medote yang berbeda-beda.10
Sebagian mereka menyusun kembali ilmu ini lebih sempurna dan sebagian lain ada yang
memberikan komentar secara luas kitab-kitab ushul fiqh yang terdahulu, ada yang
mengumpulkan beberapa kitab ushul fiqh dalam suatu kitab dan ada pula yang
meringkasnya. Mereka itu adalah, antara lain:
1. Imam Abu Hamid al-Gazali (wafat pada tahun 505 H) telah menyusun Kitab
ushul fiqh yang diberi nama al-Mustasfa.
2. Imam Saifuddin al-Amidi (wafat pada tahun 631 H) telah menyusun kitab yang
diberi nama Al-Ihkam fi ushûl al-Ahkam.
3. Imam Muzaaffaruddin al-Bagdadi al-Hanafi (wafat pada tahun 694 H) telah
mengumpulkan kedua kitab ushul karya al-Bazdawi alHanafi dengan karya al-
Amidi, al-Syafi’i, yakni Al-Ihkam.
4. Abu Ishaq al-Syatibi (wafat pada tahun 780 H) telah menyusun kitab ushul fiqh
yang lengkap. Karya besar ini membahas qaidah-qaidah ‘ushûliyah juga
diterangkan maksud syar’i dalam memberikan beban kepada orang mukalaf.
Padahal, pembahasan yang terakhir ini belum pernah dibahas oleh pengarang
ushul fiqh sebelumnya secara mendalam. Kitab yang mudah susunan bahasanya
ini dan jelas tujuannya ini bernama al-Muwafaqat.
10
Bahruddin, Ilmu Ushul Fiqh (Aura: Bandar Lampung,2019). h 21
10
5. Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani (wafat pada tahun 1255 H) telah
menyusun kitab ushul fiqh dengan diberi nama Irsyad al-Fuhul.
6. Syaikh Muhammad al-Hudari Bik (wafat pada tahun 1345 H) juga menyusun
secara ringkas dengan nama Ushûl al-Fiqh.11
Di samping itu, masih banyak karya-karya besar lain yang bermunculan kemudian
baik secara ringkas maupun mendalam, bahkan dengan berbagai bahasa, baik bahasa
Arab maupun bahasa Indonesia.
11
Mukhtar Yahya, Dasar-dasar pembinaan hukum fiqh Isla bhhhmi (Alma'arif, Bandung, 1997)
h 22
11
KESIMPULAN
Ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan sahabat. Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada
masalah penentuan dan atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan problem-problem
yang dihadapi tetapi tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam nas Al-
Qur’an dan Sunah. Pada masa tabi’in pun kondisinya relatif sama, ushul fiqh sudah ada
dan terus berkembang, namun belum terformulasi secara sistematis. Ilmu ushul fiqh mulai
berkembang pada era imam mazhab, yakni pada awal pertengahan abad ke-2 Hijriyah.
Salah satu tokoh atau ulama besar yang mencetuskan ushul fiqh adalah Imam Syafi’I. (w
204 H). Imam Syafi’I, yang dikategorkan sebagai peletak batu pertama dalam sejarah
ushul fiqh dengan sistematika yang masih sederhana, namun muatannya sangat padat dan
berbobot.
12
DAFTAR PUSTAKA
13