Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH

Dosen Pengampu : Dr. Farhan Indra, MA

Kelompok 1:

Qurrata Aini (0403221049)


Aisyatur Rahmah Wiwana (0403221050)
M. Iqbal Fahreza Rambe (0403223199)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH

A. Latar Belakang dan Historis Ushul Fiqh

1. Periode Rasulullah
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada AlQuran dan Sunnah, ushul fiqih tidak
timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman
Rasulullah dan sahabat. Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya
dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah. Rasulullah menunggu
turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak
turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui
sabdanya, yang kemudian dikenal dengan Hadits atau Sunnah. Rasulullah dan
para sahabat juga berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan
wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana,
tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari. 1
Umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-
hukum syar’i, lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah
Rasulullah saja pada masa itu. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih,
seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada terperaktikkan pada zaman
Rasulullah dan Sahabat.2 Praktik-praktik yang di kemudian hari menjadi asal-usul
dari ushul fiqih yang sampai ke tangan kita.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku
dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari
Ummu Salamah).
2. Periode Sahabat
Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada masalah penentuan dan
atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan problem-problem yang dihadapi
tetapi tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam nas Al-Qur’an dan

1
Zulhamdi, Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh (Vol. XI No. 2, Jurnal At-Tafkir, 2018) h. 64
2
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung, Pustaka Setia, 2010) h. 26

3
Sunah. Dalam konteks ini, para ulama sebagai ahli waris para Nabi saw. (waratsat
al-anbiya’) oleh Al-Quran dan Sunnah diberi kewenangan untuk berijtihad guna
menentukan dan atau menetapkan hukum Islam. Karenanya, secara substantif
ushul fiqh pada dasarnya telah tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya kegiatan
ijtihad, yakni sejak masa sahabat. Hanya saja pada masa sahabat ushul fiqh masih
bersifat praktis-terapan, seperti ketika sahabat akan mengeluarkan fatwa atau akan
mengambil keputusan hukum dalam proses peradilan.
Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan beberapa sahabat besar
lainnya dikenal sebagai fukaha lantaran produk-produk pemikiran hukumnya
selalu menjadi acuan umat Islam saat itu. Artinya, pada masa sahabat, ushul fiqh
sejatinya sudah ada, namun belum berwujud sebagai sebuah disiplin keilmuan.3
3. Periode Tabiin
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan
belajar kepada sahabat. Pada masa tabi’in pun kondisinya relatif sama, ushul fiqh
sudah ada dan terus berkembang, namun belum terformulasi secara sistematis.
Pada masa tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan
bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang
muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri
untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id ibn al-Musayyab di Madinah dan
Alqamah ibn al-Qays serta Ibrahim al-Nakha’i di Irak. 4
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath
sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1). Pemalsuan hadits. 2). Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang
memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits).
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas
disertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah
geografis. Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli
hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang
dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk
Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang

3
Baharudin, Ilmu Ushul Fiqh (Lampung, AURA, 2019) h. 13
4
Fatkan, Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa (Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 5 No. 1
2017) h 29

4
baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan
maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.

B. Aliran Ahlul Hadis dan Ahlul Ra’yi


Ilmu ushul fiqh mulai berkembang pada era imam mazhab, yakni pada awal
pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Latar belakang kemunculan ilmu ushul fiqh adalah
lantaran dinamika ijtihad yang berkembang saat itu menimbulkan kegalauan lantaran
kebebasan berijtihad nyaris tanpa kendali5 Terlebih lagi Ketika persoalan agama mulai
bercampur aduk dengan persoalan politik dan Ketika priode dinasti abbasiyyah dunia
islam mulai bersentuhan dengan pemikiran filsafat. Dan pada saat itu terjadi kompetisi
yang tidak sehat. Masing-masing tokoh ulama menciptakan kerangka dan pola berijtihad
sendiri-sendiri.

Keragaman dalam berijtihat inilah yang menimbulkan terjadinya pembagian dua


aliran yaitu dari kelompok ahl-Hadits di Hijaz dan kelompok al-Rayi di Irak. Di antara
kedua aliran tersebut kemudian saling mencela dan saling menyalahkan. Ahl al-ra’yi
mencela ahl al-hadits sebagai tidak menggunakan akal-logika secara memadai dalam
berijtihad, demikian pula sebaliknya ahl al-hadits mencela dan menyalahkan ahl arlra’yi
sebagai terlalu mendewa-dewakan logika dan penalaran dalam beragama, terlalu banyak
berkhayal dan berasumsi dalam berijtihad. Situasinya kemudian diperkeruh oleh para
murid atau pengikut masing-masing aliran yang secara fanatik membela tokoh dan aliran
yang dianutnya sehingga suasana menjadi semakin kacau.

Adapun ahl al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam


pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu.
Kelompok ini merupakan kebalikan dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz
(Mekkah, Madinah dan Thaif) dan memperoleh fiqh dari Zaid bin Tsabit, Aisyah,
Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Sedangkan ahl al-Ra’yi. al-Ra’yi
merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih
banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis, dan al-hadis merupakan
kelompok di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih dominan
menggunakan hadis ketimbang ra’yu. Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan

5
Ibid, h 15

5
bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu
atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq,
khususnya di Bashrah dan Kufah.
Benih-benih pemikiran hukum dengan membedakan intensitas penggunaan Hadis
dan ra’yu yng memunculkan dua aliran besar ahl al-Ra’y dan ahl al-Hadis tidak dipungkiri
pada masa-masa sahabat. Karena dikena ada segolongan sahabat sangat intens
menggunakan Hadis dalam Ijtihadnya dan merasa ragu-ragu dalam menggunakan ijtihad,
namun ada pula yang intens melakukan ijtihad dengan ra’yu dalam berbagai masalah
yang tidak ada nash. Terbaginya ulama pada dua aliran besar, memunculkan berbagai
macam persoalan hukum dan hasil ijtihad. Masing-masing aliran dan kelompok itu
mengklaim bahwa hukum-hukum yang diputuskan mereka, baik dengan menggunakan
hadis maupun dengan menggunakan ijtihad adalah yang terbaik dan benar. Hal ini
berimbas pada terjadinya persaingan tidak sehat di antara dua aliran besar itu dengan
masing-masing membanggakan kelompoknya.

Dari keseluruhan kelompok atau aliran fiqh yang berkembang hanya aliran ahl al-
Madinah dan ahl al-Kufah atau yang kemudian lazim disebut dengan mazhab ahl al-hadis
dan ahl al-ra’yi yang paling menonjol. Beberapa keterangan ada yang memperluas tempat
wilayah beradanya kelompok ahl al-hadis yaitu pada dua tempat di Hijaz, yaitu Makkah
dan Madinah, sedangkan kelompok ahl al-ra’yi, terkadang dinisbahkan kepada penduduk
irak dan terkadang dinisbahkan kepada penduduk kufah. Terfokusnya perhatian kepada
kedua wilayah itu dibanding wilayah lain, sebagaimana tersebut oleh Schacht, disebabkan
informasi perkembangan pemikiran hukum islam dikedua wilayah lebih banyak diterima
oleh para peneliti dibandingkan wilayah atau daerah-daerah lainnya.

Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai berikut:

1. Alqamah bin Qais an-Nakha’I (w. 62 H).


2. Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63).
3. al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).
4. Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
5. al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
6. Metode dalam Pelegeslasian Hukum Islam

6
Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadis adalah para fuqaha yang
tujuh, yaitu:
1. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2. al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3. Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
4. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
5. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
6. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
7. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.)

C. Aliran Mutakallimin dan Aliran Ahnats


Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan
tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak
lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-
Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-
Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul
karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak
dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa
Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya,
dipandang sebagai ringkasan dari al- Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-
Wushul (al-Sul)wa al- Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang
sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi. 6

Perbedaan aliran mutakallimin dan aliran ahnaf ini dikarenakan perbedaan dinamika
ijtihad sehingga menyebabkan lahirnya dua corak dalam proses penyusunan dan
pembakuan teori ilmu ushul fiqh. Di samping al-Syafi’i sendiri sebagai pendiri ilmu ushul
fiqh, ikut tergabung di dalam aliran ini adalah para ulama dari Mazhab Maliki, Hanbali,
Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah, dan Abadiyah. Dengan menggunakan kerangka berpikir
induktif (proses berpikir untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang
berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus), aliran mutakallimin

6
Zulhamdi, Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh (Vol. XI No. 2, Jurnal At-Tafkir, 2018) h. 74

7
membangun metode berpikir rasional-sistematik sebagai parameter dalil, yang kepadanya
semua produk ijtihad dapat dilandaskan.

Adapun corak pemikiran ushul fiqh ahnaf meletakkan dasar-dasar hukum


operasional dalam dataran cabang (furu‘) sebagai landasan operasional ushul fiqhnya.
Pola istinbath hukum seperti ini banyak digunakan oleh ulama-ulama Hanafiyah,
sebagaimana tercermin dalam penisbatan dan penanaman ahnaf bagi aliran pemikiran
ini.7

D. Ulama-ulama Ushul Fiqh


Nabi Muhammad SAW merupakan ahli ushul fiqh pertama. Wahyu al-qur’an yang
diturunkan kepada beliau dijelaskan melalui sunnahnya, baik dalam bentuk ucapan
maupun tindakan. Beliau juga menggunakan qiyas sebuah cara pendekatan ilmiah paling
luas.8 Pada masa Nabi Muhammad SAW. para sahabat juga melakukan ijtihad, dan
dibenarkan oleh beliau. Setelah wafatnya Rasulullah maka ushul fiqih diteruskan oleh
khulafaur rasyidin, lalu di teruskan lagi oleh para tabiin dan diteruskan hingga sekarang
kepada para ulama-ulama besar.

Dalam pertumbuhan pada tingkat pertama ilmu ushul fiqh belum merupakan ilmu
yang berdiri sendiri, melainkan ia masih berserak-serak dalam kitab-kitab fiqh yang
difungsikan oleh fuqaha’ sebagai argumentasi menetapkan hukum fiqh serta untuk
menerangkan cara-cara mengambil hukum dari dalil-dalil yang dikemukakan. Orang
yang pertama-tama mengumpulkan tulisan ushul fiqh yang masih bercampur dengan
kodifikasi fiqh Islam menjadi suatu perangkat ilmu yang terpisah lagi berdiri sendiri
(menurut Ibnu Nadim) adalah Abu Yusuf (wafat pada 182 H), salah seorang murid Imam
Abu Hanifah. Namun tulisan tersebut tidak sampai kepada kita untuk dikaji lebih lanjut.9

Adapun orang yang pertama mengodifikasikan pembahasan dan kaidah-kaidah ilmu


ushul fiqh dalam suatu kitab yang sangat berharga dan dapat dikaji oleh generasi sekarang
ialah Imam Muhammad Idris alSyafi’i. (Imam syafi’i wafat pada tahun 204 H ). Karya
beliau yang kemudian dituturkan kembali oleh muridnya Al-Rabi’ al-Muradi, bernama

7
Bahruddin, Ilmu Ushul Fiqh (Aura: Bandar Lampung,2019). h 19
8
Abdullah Musthafa al-Maraghi, Ulama Ushul Fiqih Sepanjang Masa (IRCiSoD: Yogyakarta,2020) h.31
9
Nurhayati, Fiqh dan Ushul Fiqh (Prenadamedia Group, Jakarta, 2019) h 17

8
Al-Risalah. Di dalam bukunya ini beliau menguraikan Al-Qur’an, penjelasan Sunnah
terhadap Al-Qur’an, dari hal ijtihad, qiyas, dan sebagaimana yang berhubungan dengan
dasar-dasar ber-istinbat. Karena kitab tersebut merupakan kitab ushul fiqh yang pertama
dibukukan orang dan yang dapat sampai kepada kita, maka beliaulah yang terkenal
sebagai perintis ilmu ushul fiqh. Kemudian, muncullah beberapa ulama untuk
meneruskan menyusun ilmu ushul fiqh. Menurut Dr. Mahmud Abdurrahman dalam kitab
Tarikh Ushul al-Fiqh, Imam Syafi’i menulis pertama kali kitab ar-Risalah di kota Makkah
atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi. Saking kagumnya atas karya tersebut,
Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Aku tak akan pernah shalat kecuali di dalamnya aku
akan selalu mendoakan asy-Syafi'i. Sungguh ia adalah pemuda yang sangat jenius".

Setelah lahirnya kitab ar-Risalah al-Jadidah Imam Syafi’i merasa perlu untuk
menyempurnakan lagi ilmu ushul fiqh yang beliau rintis dengan menerbitkan kitab
Jima'ul Ulum. Kitab ini banyak menceritakan tentang golongan yang menolak dalil hadits
Ahad serta bantahannya dan sejenisnya. Disusul setelahnya, Imam Syafi’i menerbitkan
kitab Ikhtilaful Hadits yang menjelaskan perbedaan pendapat para ulama dalam
menyikapi hadits yang beredar. Kitab ini disusun sesuai dengan alur bab ilmu fiqh. Dan
pada akhirnya Imam Syafi’i menutup karya-karyanya dalam ilmu ushul fiqh dengan
menerbitkan kitab Ibthalul Istihsan. Kitab ini banyak mengkritik ulama yang terlalu
berlebihan dalam memakai metode istihsan. Selain itu, Imam Syafi’i juga menulis kitab
Sifatu Nahyi Nabi yang menjelaskan makna larangan (nahyu) dalam hadits Nabi. Ada
beberapa pemikiran yang dibangun oleh imam syafi’I diantaranya:

1. Menjelaskan dalil-dalil yang diambil dalam menentukan hukum yaitu Al-


Qur’an, hadits, ijma', qiyas, serta mempertajam urutannya.
2. Memperkokoh hujjah hadits secara umum dan mengukuhkan hujjah hadits
Ahad secara khusus serta menerangkan tentang tidak adanya pertentangan
secara nyata baik antara Al-Qur’an dan hadits maupun antara satu hadits
dengan hadits lainnya sebagai sumber dalil.
3. Menjelaskan kewajiban mengikuti jalan orang-orang beriman (ijma').
4. Memberikan batasan dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sebagai
patokan hukum serta memberikan syarat yang terperinci dalam menggunakan
Qiyas.

9
5. Memberikan perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah
yang terlalu ekstrem dalam mentakwil sifat Allah.
6. Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab
serta di dalam Al-Qur’an ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam
pelafalan bahasa Arab.
7. Menerangkan tentang amr (perintah) dan nahi (larangan).
8. Menjelaskan naskh dan mansukh (pembatalan hukum).

Setelah imam Syafi’I mencetuskan ilmu ushul fiqh muncullah ulama-ulama lain
yang mencetuskan ilmu ushul fiqh dengan menyusun kitab-kitab dengan metodologi
tersendiri diantaranya adalah Abu Mansur al-Maturidi (333 H), Abu Hasan al-Karkhi
(340H), Abu Bakr al-Jashshash, al-Dabbusi (430 H), al-Bazdawi, al-Sarakhsi(483 H), dan
al-Nasafi (710 H). Setelah kemunculan para ulama-ulama tersebut maka muncullah
ulama-ulama lain yang mecetuskan ilmu ushul fiqh dengan medote yang berbeda-beda.10
Sebagian mereka menyusun kembali ilmu ini lebih sempurna dan sebagian lain ada yang
memberikan komentar secara luas kitab-kitab ushul fiqh yang terdahulu, ada yang
mengumpulkan beberapa kitab ushul fiqh dalam suatu kitab dan ada pula yang
meringkasnya. Mereka itu adalah, antara lain:

1. Imam Abu Hamid al-Gazali (wafat pada tahun 505 H) telah menyusun Kitab
ushul fiqh yang diberi nama al-Mustasfa.
2. Imam Saifuddin al-Amidi (wafat pada tahun 631 H) telah menyusun kitab yang
diberi nama Al-Ihkam fi ushûl al-Ahkam.
3. Imam Muzaaffaruddin al-Bagdadi al-Hanafi (wafat pada tahun 694 H) telah
mengumpulkan kedua kitab ushul karya al-Bazdawi alHanafi dengan karya al-
Amidi, al-Syafi’i, yakni Al-Ihkam.
4. Abu Ishaq al-Syatibi (wafat pada tahun 780 H) telah menyusun kitab ushul fiqh
yang lengkap. Karya besar ini membahas qaidah-qaidah ‘ushûliyah juga
diterangkan maksud syar’i dalam memberikan beban kepada orang mukalaf.
Padahal, pembahasan yang terakhir ini belum pernah dibahas oleh pengarang
ushul fiqh sebelumnya secara mendalam. Kitab yang mudah susunan bahasanya
ini dan jelas tujuannya ini bernama al-Muwafaqat.

10
Bahruddin, Ilmu Ushul Fiqh (Aura: Bandar Lampung,2019). h 21

10
5. Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani (wafat pada tahun 1255 H) telah
menyusun kitab ushul fiqh dengan diberi nama Irsyad al-Fuhul.
6. Syaikh Muhammad al-Hudari Bik (wafat pada tahun 1345 H) juga menyusun
secara ringkas dengan nama Ushûl al-Fiqh.11

Di samping itu, masih banyak karya-karya besar lain yang bermunculan kemudian
baik secara ringkas maupun mendalam, bahkan dengan berbagai bahasa, baik bahasa
Arab maupun bahasa Indonesia.

11
Mukhtar Yahya, Dasar-dasar pembinaan hukum fiqh Isla bhhhmi (Alma'arif, Bandung, 1997)
h 22

11
KESIMPULAN

Ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan sahabat. Setelah Nabi saw. wafat, umat Islam dihadapkan pada
masalah penentuan dan atau penetapan hukum Islam berkenaan dengan problem-problem
yang dihadapi tetapi tidak ditemukan dasar hukumnya secara langsung dalam nas Al-
Qur’an dan Sunah. Pada masa tabi’in pun kondisinya relatif sama, ushul fiqh sudah ada
dan terus berkembang, namun belum terformulasi secara sistematis. Ilmu ushul fiqh mulai
berkembang pada era imam mazhab, yakni pada awal pertengahan abad ke-2 Hijriyah.
Salah satu tokoh atau ulama besar yang mencetuskan ushul fiqh adalah Imam Syafi’I. (w
204 H). Imam Syafi’I, yang dikategorkan sebagai peletak batu pertama dalam sejarah
ushul fiqh dengan sistematika yang masih sederhana, namun muatannya sangat padat dan
berbobot.

Kelompok ahl-Hadits di Hijaz dan kelompok al-Rayi di Irak terjadi perbedaan


karena keragaman dalam berijtihad. Di antara kedua aliran tersebut kemudian saling
mencela dan saling menyalahkan. Ahl al-ra’yi mencela ahl al-hadits sebagai tidak
menggunakan akal-logika secara memadai dalam berijtihad, demikian pula sebaliknya
ahl al-hadits mencela dan menyalahkan ahl arlra’yi sebagai terlalu mendewa-dewakan
logika dan penalaran dalam beragama, terlalu banyak berkhayal dan berasumsi dalam
berijtihad. Aliran mutakallimin dan aliran ahnaf dibedakan karenakan perbedaan
dinamika ijtihad sehingga menyebabkan lahirnya dua corak dalam proses penyusunan
dan pembakuan teori ilmu ushul fiqh.

12
DAFTAR PUSTAKA

al-Maraghi, A. M. (2020). Ulama Ushul Fiqih Sepanjang Masa . Yogyakarta: IRCiSoD.


Bahrudin. (2019). Ilmu Ushul Fiqh . Lampung: AURA.
Fatkan. (2017). Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa. Mizan; Jurnal Ilmu Syariah,
23-38.
Nurhayati. (2019). Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.
Syafei, R. (2010). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Yahya, M. (1997). Dasar-dasar pembinaan hukum fiqh Islami . Bandung: Alma'arif.
Zulhamdi. (2018). Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh . Jurnal At-Tafkir , 62-77.

13

Anda mungkin juga menyukai