Anda di halaman 1dari 18

PEMBENTUKAN MADZHAB DAN IMPLIKASINYA

DALAM PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Fiqh
Dosen Pengampu: Dr. M. Ircham, LC., M.Pd.I.

Disusun Oleh:

Tomi Fran Suhendra (63040230152)

Mohamad Arjuna Saputra (63040330121)

Aklifa Rafif Rabbany (63040330155)

Kelas 2D

PROGAM STUDI S1 MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah yang berjudul PEMBENTUKAN MADZHAB
DAN IMPLIKASINYA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM ini
tepat pada waktunya.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak M. Ircham
selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh yang senantiasa membimbing
penyusun dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu menambah
wawasan maupun pengetauhan bagi para pembaca. Kami selaku penulis
makalah mohon maaf atas kekurangan materi atau penjelasan yang kami
sampaikan pada makalah ini, karena kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang dapat membangun semangat kami untuk lebih baik lagi
kedepannya.

Salatiga, Maret 2024

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan hukum yang begitu dinamis, fleksibel dan
lentur menyesuaikan dengan tempat dan waktu (shalih likulli makan wa
likulli zaman). Interaksi Rasulullah dengan sahabat dalam mengatasi realitas
sosiologis tidak mengalami problematika metodologis. Hal ini disebabkan
dinamika perkembangan hukum Islam langsung bisa bertanya jawab dengan
Rasulullah. Kemudian ini berubah setelah Rasulullah wafat, sahabat banyak
dihadapkan persoalan baru yang perlu mendapatkan legalitas syari’ah.
Problem solving yang mereke lakukan adalah ijtihad melalui al-Qur’an dan
al-Sunah serta tindakan normatif Rasulullah yang pernah mereka saksikan
dan alami bersamanya
Selanjutnya perkembangan ini lebih meluas pada masa-masa periode
berikutnya yang mana akan memunculkan mazhab dengan latar belakang
dan sosio-kultur serta politik yang berbeda. Pada masa periode ijtihad dan
keemasan fikih Islam telah muncul mujtahid seperti: Imam Maliki, Hanafi,
Syafi’i, Hanbali, al-Auzai, dan Al-Zahiri. Masa tersebut hanya berlangsung
dua setengah abad, kemudian perkembangan hukum Islam mengalami
kemunduran; ditandai secara kualitas dan kuantitas semangat mujtahid
menurun. Di antara mereka ada yang kembali kepada al-Qur’an dan al-
Sunah, namun kecenderungan yang terjadi mereka mencari dan menerapkan
produk-produk ijtihad para pendahulunya

B. Rumusan Masalah
1. pengertian mazhab?
2. Bagaimana sejarah perkembangan mazhab?
3. Bagaimana pemikiran masingmasing mazhab dalam memahami sumber
hukum Islam?
4. Bagaimana penjelasan mengenai persoalan persoalan kontemporer?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai mahzab
2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai pembentukan mahzab
3. Untuk mengetahui dan memahami mengenai persoalan persoalan
kontemporer.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahzab
Secara bahasa, Mazhab berarti pendapat (view, opinion, ray)
kepercayaan, ideologi (belief, ideology, al-mutaqod), doktrin, ajaran,
paham aliran (doctrine, teaching, school, at ta'lim taat- thoriqah).1
Sementara pengertian mazhab menurut istilah meliputi dua hal :
(1) mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang
Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan
kepada al-Qur’an dan Hadits, (2) mazhab adalah fatwa atau pendapat
seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari
al-Qur’an dan Hadits.
Dari dua pengertiaan tersebut disimpulkan mazhab adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Dari sini,
penggunaan istilah mazhab tidak hanya terbatas pada persoalan hukum,
tapi merambah pada bidang-bidang yang lain semisal teologi. Bahkan
juga terpakai dalam khazanah agama diluar islam.
B. Latar Belakang Timbulnya Mazhab
Imam Yahya dalam bukunya Dinamika Ijtihad NU mendasarkan
paling tidak ada dua pandangan dalam melihat realitas sosial timbulnya
mazhab hukum dalam Islam, yaitu dalam perspektif politik dan
perspektif teologi.
1. Perspektif Politik
pengaruh peristiwa politik dengan perkembangan fikih terjadi
pada abad II H sejak akhir pemerintahan Bani Umayyah hingga masa
munculnya khalifah Bani Abasiyyah. Kemudian pada masa Bani
Abbasiyah ulama dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ulama
Kuffah dan Madinah, di mana pemerintahan Bani Abasiyah lebih
mendukung pada kelompok ulama Kuffah. Setelah itu pada abad III H
kelompok ulama tersebut lebih mengarah pada penokohan pribadi
sebagai contoh: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (terkenal
dengan fikih personal).

1
Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. (Jakarta: Rajawali Raja Grafindo Per sada,
1997), hlm. 72-73
2
Awal abad ketiga hijriyah ini telah berkembang di masyarakat
muslim lebih dari lima ratus mazhab, namun yang mampu bertahan
hanya ada beberapa mazhab yang berkembang, di antaranya Mazhab
Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah, Imamiyah, dan Ibadiyah.
Selanjutnya Huzaemah mengelompokkan fikih pada pada mazhab: a) Ahl
al-Sunah wa al-Jama’ah: (1) ahl al-Ra’yi dikenal dengan Mazhab Hanafi,
(2) ahl al-Hadits dikenal dengan Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. b)
Syi’ah: Syiah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah c) Khawarij d) Sedangkan
Mazhab yang telah musnah yaitu: Mazhab al-Auza’I, al-Zhahiri, al-
Thabari, dan al-Laitsi
2. Perspektif teologi
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 122
sebagai berikut
‫َن َف َر ِم ْن ُك ِّل ِف ْر َق ٍة ِم ْن ُهْم َط ا ِئ َف ٌة‬ ‫َو َم ا َك اَن ا ْل ُم ْؤ ِم ُن وَن ِلَي ْن ِف ُر وا َك ا َّفًة ۚ َفَل ْو اَل‬
‫َر َج ُع وا ِإ َل ْي ِه ْم َل َع َّلُهْم َي ْح َذ ُر وَن‬ ‫ِلَي َت َف َّقُهوا ِف ي الِّدي ِن َو ِل ُيْن ِذ ُر وا َق ْو َم ُه ْم ِإ َذ ا‬
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya
(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Ayat tersebut menjelaskan dua kelompok dalam setiap golongan untuk
memahami ajaran agama dan pengalamannya. Pertama, bagian kecil dari
golongan umat yang mendalami agama, setelah selesai dari usahanya,
mereka memiliki tugas kewajiban mengajarkan ilmu pengetahuan kepada
umatnya. Kedua, bagian besar dari golongan umat yang tidak mendalami
agama, dengan demikian dalam hal agama mereka mendapatkan
pengajaran dari golongan pertama. Golongan pertama ini disebut sebagai
mujtahid, sementara golongan yang kedua disebut sebagai golongan
awam. Golongan awam ini sudah semestinya mengamalkan agamanya
melalui bertanya pada golongan mujtahid yang lebih mengetahui soal
agama. Sebagaimana Allloh SWT juga berfirman dalam al-Qur’an surat
al-Nahl ayat 43 yang memiliki arti “Dan kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka”
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui, Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan
tentang nabi dan kitab-kitab.2
Berarti ada perhatian khusus terhadap orang yang tidak tahu untuk
menanyakan kepada orang yang tahu. Hal ini agar sebanding amalan
yang dijalankan orang yang bertanya sama sebagaimana dengan orang
yang ditanya. menjelaskan golongan awam yang bertanya sebagian kecil
memiliki pemahaman dan kemampuan menganalisa serta menyaring
2
Novita Pancaningrum, Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka Metodologis
(Dinamika Hukum Islam), hlm 397-400
3
jawaban yang diberikan oleh orang yang ditanya (mufti) untuk
diamalkan. Sering kali sebagian besar mereka yang bertanya (mustafti)
mengikuti apa saja yang dikatakan oleh mufti istilah ini dalam ushul fikih
dikenal dengan istilah muqallid, sedangkan usaha mengikutinya
dinamakan taqlid
Ibnu Qayyim pengikut dari mazhab Hanafi menjelaskan tidak ada
keharusan untuk mengikatkan diri pada imam mujtahid tertentu dalam
segala aspek, ia dapat bertanya dengan pendapat yang ia senangi. Bila
dalam suatu masalah ia mengikuti imam yang satu, pada masalah lain ia
boleh bertanya dan mengikuti mujtahid lain. Hal ini tidak ada keharusan
untuk mengikuti mazhab tertentu.
Sementara di sisi lain berbeda halnya dalam mempertahankan
eksistensi konsistensi bermazhab. Para murid dan pengikutnya berusaha
semaksimal mungkin agar orang yang telah berada dalam mazhab itu
tidak keluar dari mazhabnya. Di kalangan mazhab Syafi’i menjelaskan
“bila seorang awam mengikuti dan mengamalkan fatwa imam mujtahid
dalam permasalahan fikih ia tidak boleh meninggalkan mazhab dan
beralih mengikuti mazhab lain.” Ibnu Subki memaparkan sekalipun pada
mulanya tidak ada keharusan berpegang pada satu mazhab, akan tetapi ia
telah bersedia untuk berpegang, selanjutnya ia tetap mengikuti pendapat
mujtahid dan tidak boleh keluar
Ibnu Subki memberikan alternatif bagi yang ingin meninggalkan dan
keluar dari mazhab lain secara keseluruhan dan mengikuti mazhab lain
secara keseluruhan. Ia menutup sama mencampuradukkan mazhab yakni
beramal dalam satu mazhab dan dengan beberapa mazhab yang berbeda
disebut talfiq. Hal ini juga ditolak imam Syafi’i kalau alasannya demi
untuk mencari kemudahan dalam beramal. Berbeda pula dengan
berpegang teguh pada satu mazhab yang ditetapkan pada suatu tempat
yang suatu waktu akan mendatangkan kesulitan.
C. Sejarah Pertumbuhan
Saat Nabi masih hidup, seluruh persoalan hukuns senantiasa
terselesaikan dengan gemilang tanpa menimbulkan perbedan yang
berarti. Hal ini karena Nabi sebagai satu-satunya rujukan dari setiap
persoalan yang ada. Sebagai rujukan tunggal, nabi mampu memberikan
solusi terbaik dan diterima oleh semua kalangan. Nabi sendiri, ketika
menghadapi beragam persoalan, tak jarang juga melakukan ijtihad,
Namun ijtihad yang beliau lakukan, dipastikan kebenarannya, karena
langsung berada dalam bimbingan dan koreksi wahyu. Sehingga, praktis
hal ini membawa kepada nuansa kesatuan hukum yang harmonis3
Pasca nabi wafat, tidak ada lagi pemegang otoritas tunggal persoalan
hukum. Setiap sahabat memiliki posisi yang sama dalam proses legislasi,
tentu dengan pertimbangan alamiah kapabilitas masing-masing. Di sisi

3
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Pen, Matori el-Wustho, Cet. 1. (Bandung
Marja, 2005), hlm. 13.
4
lain, wilayah islam telah merambah kawasan yang lebih luas dengan
beragam tradisi di dalamnya. Hal ini membawa pengaruh semakin
kompleksnya persoalanhukumyangada
Pada posisi ini, para sahabat lantas mengeluarkan fatwa hukum sebagai
respon dari persoalan yang dihadapi, Fatwa ini merupakan fatwa pribadi
yang dihasilkan sebagai akumulasi kognisi keislaman para sahabat yang
berdioalog' dengan realitas kehidupan tempat ia berada
Persinggungan langsung antara hukum dan realitas sosial membawa
nuansa yang khas. Artinya, ketika norma hukum berkolaborasi dengan
tradisi satu wilayah, akan menghasilkan warna hukum yang berbeda
dengan hukum di wilayah lain ketika corak tradisinya berbeda. Dua hal
ini membawa kepada munculnya corak hukum yang berbeda antara satu
sahabat dengan yang lain.
Misalnya, Umar terkenal sebagai sahabat yang cukup "liberal" dalam
memahami dan menerapkan hukum islam. Apa yang beliau pahami lantas
diterapkan tak jarang menyulut perbedaan dengan kalangan sahabat yang
lain. Kebijakan umar untuk tidak memberikan tanah kawasan irak yang
merupakan hasil ekspansi kepada para prajurit, jelas menyalahi tradisi
Nabi. hal ini juga menyulut munculnya protes dari sahabat utama yang
lain, seperti Zubair bin Awwam. Ikhtilaf ini mengindikasikan adanya
pemahaman yang berbeda dikalangan para sahabat terhadap sebuah
persoalan hukum
Pola keragaman pendapat ini juga diwarisi oleh kalangan tabi'in,
generasi pasca sahabat. Tabi'in yang merupakan murid- murid langsung
dari para sahabat, mewarisi pola fikir dari gurunya masing-masing.
Sehingga, tatkala sang guru berbeda dengan guru yang lain, maka corak
perbedaan tersebut juga mewarnai para muridnya. Diera tabiin,
keragaman pendapat para ulama mulai mengerucut dengan nama daerah
sebagai afiliasinya. Kecenderungan pemikiran antara satu kelompok
dengan kelompok lain, terwakili oleh nama daerah dimana kelompok itu
berada. Pada posisi ini, lantas muncul beberapa nama wilayah beserta
para tokoh mentornya dengan corak hukum yang khas yang membedakan
dengan daerah lain.

5
Ada tiga wilayah besar dengan tokoh masing-masing, yaitu pertama,
Hijaz yang kemudia terbagi menjadi dua: Makah dan Madinah. Yang
pertama dengan tokohnya Atha’ bin abi Rabiah. sedangkan yang kedua
dengan Sa'id bin Musayyab sebagai tokoh utamanya. Kedua, Iraq yang
juga terbagi dalam dua wilayah: Kufah dan Bashrah. Wilayah pertama
dengan tokohnya al-Qomah bin al-Qays, sedangkan Bashrah dengan
tokohnya Muslim bin Yasar. Ketiga, Syiria dengan tokohnya Umar bin
Abdul Aziz
Perjalanan selanjutnya, afiliasi mazhab berdasarkn wilayah ini lantas
mengkristal dan berubah menggunakan nama perseorangan, yakni orang
yang paling popular diwilayah tersebut. Mazhab Hijaz lantas mengerucut
dan berganti dengan nama Imam Malik sebagai ulama yang paling
otoritatif di Hijaz.
Mazhab Iraq lantas berubah dengan menggunakan nama ulama' yang
paling populer, ya'ni Imam Abu Hanifah. Begitu juga di daerah lain,
muncul nama-nama besar sebagai rujukan bermazhab, antara lain al-
Awza'i di Syiria, asy-Syafi'i dan juga Ahmad Ibn Hambal, ats-Tsauri, at-
Thabary, dan juga az-zahiry
Dari sini terlihat adanya perubahan pola penisbatan mazhab dari
yang semula bersifat kedaerahan, dan itu berarti merupakan bentuk
kolektifitas dari ulama ulama yang ada dalam wilayah itu, menjadi
penisbatan dengan nama perseorangan. Yang terakhir ini seolah-olah
mereduksi Ulama yang lain, ketika sebuah wilayah hanya 'diwakili oleh
nama seorang Ulama saja.
Perubahan ini, menurut Qodry Azizy, diantaranya diakibatkan oleh
munculnya ketaatan kolektif terhadap tokoh tertentu sehingga
memunculkan satu nama yang melampaui nama-nama ulama lain di satu
wilayah. Namun demikian, pola ketaatan ini tidaklah berarti mutlak
Artinya, ketaatan terhadap seoarang ulama' tidaklah berarti menerima
seluruh pendapat yang ia fatwkan. Karena nyatanya, dalam tataran detail-
detail hukum, para pengikut ulama' tersebut terkadang berbeda dengan
imam mazhabnya
Hal yang demikian terjadi karena memang tidak ada satu ketentuan
yang mengikat bahwa para murid dan pengikut seorang imam mazhab
harus menerima keseluruhan pendapat dari mazhab yang ada. Ada
kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu untuk menelorkan hukum,
meski dalam grand design-nya tetap "berlindung dalam mazhab tertentu”
Di sisi lain, format dari mazhab itu sendiri sejatinya lebih bersifat
alamiah. Maksudnya, kemunculan mazhab-mazhab yang ada lebih
merupakan proses alamiah dan kemestian sejarah, ketimbang sebagai
rancangan baku. Sebab, menurut Anwar Harjono, para Imam mazhab
tidak bermaksud membikin pendapat mereka sebagai sebuah aliran yang
mapan dan diikuti oleh banyak orang. Yang terjadi kemudian adalah
6
proses alamiah dimana pendapat sang mujtahid mendapat 'sambutan
hangat yang lantas diikuti dan membentuk komunitas berupa mazhab.4
D. Faktor lahirnya mahzab dalam hukum islam
Perbedaan yang muncul dikalangan Ulama' hingga melahirkan
mazhab-mazhab, dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu Perbedaan
sumber Hukum, Metode,dan lingkungan.
1. Sumber Hukum
Jumhur ulama dalam tradisi ushul fikih, mengakui adanya empat
dalil hukum yang disepakati, yaitu: al-Qur'an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Keempatnya kemudian dikenal dengan dalil ol-muttafog alaiha.Dua
yang pertama merupakan sumber primer, sementara ijma dan Qiyas
merupakan derivasinya.

Meskipun keempatnya merupakan dalil hukum yang disepakati, namun


ada pengakuan yang berbeda dari masing-masing kelompok mengenai
otoritas keempatnya
Hadis, misalnya, diakui oleh semua mazhab. Namun, ketika
pengakuan itu diarahkan kepada persoalan detail, muncul perbedaan.
Hadis ahad, menurut ulama Syafi'iyyah adalah hadis yang bisa
dijadikan hujjah dan sandaran hukum, namun tidak demikian menurut
ulama Hanfiyyah. Menurutnya, hadis jenis ini tidak memiliki otoritas
untuk menjadi sumber hukum Perbedaan akan pengakuan hadis ahad
ini, kemudian membawa implikasi munculnya perbedaan produk
hukum dari masing-masing mazhah.

2. Metodologi
Perbedaan metode istimbat hukum juga membawa dampak
munculnya perbedaan mazhab. Dalam cakupan metodologi. misalnya,
adanya pola pemahaman noss yang berbeda antara ulama' sunny dengan
kelompok zahiry. Yang pertama menggunakan metode istimbat yang
melibatkan akal dalam berinteraksi dengan nass, sementara yang kedua
cenderung menafikan peran akal. Perabedaan ini pada gilirannya
melahirkan mazhab yang berbeda sebagai manifestasi pabedaan metode
istimbat hukum yang dipakai

3. Lingkungan
Lingkungan yang berbeda juga memberikan pengaruh bagi
munculnya mazhah. Hijaz sebagai daerah yang relatif statis dengan pola
perkembangan sosial yang lamban memiliki warna hukum yang
berbeda dengan Iraq, musalnya. Yang disebut terakhir ini merupakan
wilayah 'metropolitan' yang dinamis dengan keragaman budaya di
dalamnya. Perbedaan antara Hijaz dan Iraq ini, pada gilirannya juga
turut memberikan kontribusi bagi lahirnya mazhab di daerah masing-
masing".

4
Anwar Harjono, Hukum Islam, Keluasan dan Keadilannya, Jakarta Bulan Bintang 1968) hlm. 60
7
E. Empat Mahzab Besar

1. Mahzab Hanafi
Pendiri Mazhab Hanafi adalah al-Imam al-A’zham Abu Hanifah,
an-Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufi. Beliau merupakan keturunan
Persia yang terlahir pada 80 H dan wafat pada 150 H. Imam Abu Hanifah
hidup pada masa pemerintahan Bani Umayyah hingga Bani Abbasyiyah.
Beliau merupakan generasi atba’ at-tabi’in. Sebagian kalangan berpendapat
bahwa Imam Abu Hanifah termasuk dalam golongan tabi’in karena pernah
bertemu dengan sahabat Anas Bin Malik dan meriwayatkan hadist darinya
yaitu “Menuntut Ilmu adalah Fardhu bagi setiap muslim”.
Imam Abu Hanifah merupakan imam ahlur ra’yu dan ahli fiqih dari
Iraq, beliaulah yang mendirikan mazhab Hanafi. Imam Syafi’i pernah
berkata tentang beliau “Manusia memerlukan Imam Abu Hanifah dalam
bidang fiqih”. Selain seorang yang ahli hadist dan fiqih, beliau juga tidak
lupa dengan urusan dunia, oleh karena itulah untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya Imam Abu Hanafi menjadi seorang pedagang kain di kufah.
Imam Abu Hanifah menuntut ilmu hadist dan fiqih dari ulama-
ulama mashur pada zamanya, selama 18 tahun lamanya beliau belajar ilmu
fiqih kepada ulama Hamad bin abi Sulaiman. Imam Abu Hanifah terkenal
sangat berhati-hati dalam menerima dan menyeleksi setiap hadist yang
beliau peroleh, beliau menggunakan qiyas dan istihsan secara meluas. Dasar
dari mazhab Hanafi ialah al-kitab, as-sunnah, ijma’, qiyas dan istihsan. Kitab
imam Abu Hanafi dalam bidang ilmu kalam yaitu, al-fiqh al-akbar. Dan
juga mempunyai al-Musnad dalam bidang hadist.
2. Mahzab Maliki
Imam Malik bin Anas bin Abu Amir al-Asbahi merupakan tokoh
dalam bidang hadist di Madinah setelah zaman tabi’in. Beliau lahir pada
zaman al-Walid bin Abdul Malik dan meninggal di Madinah pada zaman
pemerintahan al-Rasyid. Sama seperti imam Abu Hanifah, beliau juga
hidup pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Imam
Malik menuntut ilmu pada ulama-ulama Madinah. Salah satu diantaranya
adalah Abdul Rahman bin Hurmuz, beliau juga menerima hadist dari
ulama Nafi’ Maula ibnu Umar dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Guru beliau
dalam bidang fiqih ialah Rabi’ah bin Abdul Rahman yang lebih terkenal
dengan sebutan Rabi’ah al-Ra’yi.
Imam Malik merupakan seorang ulama besar yang merupakan
imam dalam bidang ilmu fiqih dan hadist. Salah satu karya monumental
beliau adalah kitab al-Muwatha’. Imam Syafi’i pernah berkata “Malik
adalah guru saya, saya menuntut ilmu darinya. Dia adalah hujjah di antara
saya dengan Allah. tidak ada seorang pun yang berjasa pada saya melebihi
jasa imam Malik, jika nama ulama disebut, maka nama Malik lah yang
paling bersinar”. Imam Malik membangun mazhabnya dalam dua puluh
dasar, lima dari al-Quran dan lima dari as-Sunnah, yaitu nash al-kitab,
Imam Malik terkenal karena sikapnya yang tegas dalam berpegang teguh
kepada As-sunnah, amalan ahli Madinah, al-mashalih al-mursalah,
pendapat sahabat yang sanadnya sah dan istihsan.

8
3. Mazhab Syafi'i.
Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Qurasyi al-
Hasyimi al-Muththalibi Ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi’i. Secara
silsilah beliau bertemu dengan datuknya Rasulullah yaitu melalui jalur
Abdul Manaf. Beliau dilahirkan di Ghazzah, Palestina pada tahun 150 H,
yaitu pada tahun wafatnya Abu Hanifah. Imam Syafi’i merupakan seorang
yatim yang ditinggal wafat ayahandanya ketika beliau berusia sekitar dua
tahun, kemudian oleh ibundanya beliau dibawa ke Makkah yang
merupakan kampung halamannya. Kecerdasan imam Syafi’i memang telah
nampak sedari kecil, ketika anak-anak seusia beliau sedang asyik bermain
imam Syafi’i pada usia yang belia telah mampu menghafal al-quran. Imam
Syafi’i pernah tinggal bersama kabilah al-Badiyah yang dikenal sangat
bagus dan fasih bahasa Arabnya, lewat merekalah imam Syafi’i banyak
belajar puisi dan satra sehingga menjadikan beliau seorang sastrawan yang
terkenal di Arab pada masanya. Al-Asmu’i pernah berkata bahwa syair
Huzail pernah diperbaiki oleh seorang pemuda bernama Muhammad bin
Idris (Imam Syafi’i) hal ini menunjukkan bahwa beliau merupakan
seorang ahli sastra yang cukup terkenal pada masanya.

Imam Asy-Syafi’i belajar kepada muftinya, yaitu Muslim bin


Khalid al-Zanji. Setelah menyelesaikan pendidikanya pada mufti al-Zanji,
imam Syafi’i berangkat ke Madinah untuk belajar pada Imam Malik bin
Anas, waktu itu usia beliau sekitar 15 tahun dan beliau ditempat oleh
imam Malik hingga mampu menghafal kitab al-muwata’ hanya dalam
waktu sembilan malam saja. Beliau juga meriwayatkan hadist dari Sufyan
bin Uyainah, Fudhail bin Iyadh, dan pamanya Muhammad bin Syafi’i.
Selanjutnya Imam Syafi’i berangkat ke Yaman, kemudian ke Baghdad
pada tahun 182 H dan kembali ke Baghdad pada tahun 195 H.
Perjumpaan Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad bin Hambal terjadi
di Makkah pada tahun 187 H dan di Baghdad pada tahun 195 H. Imam
Hambal belajar ilmu fiqih dan ushul fiqih serta ilmu nasikh dan mansukh
al-quran. Sewaktu di Baghdad Imam Syafi’i telah mengarang kitab al-
Hujjah yang mengandung pendahuluan mazhabnya kemudian pada tahun
200 H. Beliau berpindah ke Mesir dan lahirlah mazhab Jadidnya. Dan di
Mesir lah beliau wafat pada akhir bulan Rajab, hari Jumat tahun 204 H.
Beliau di makamkan di al-Qarafah.
Karya-karya Imam Syafi’i yang mashur hingga saat ini adalah
kitab ar-Risalah yang merupakan kitab pertama dalam bidang ushul fiqih
dan kitab al-Umm dibidang fiqih berdasarkan mazhab jadid-nya. Imam
Syafi’i merupakan seorang mujtahid beliau merupakan imam dalam
bidang fiqih, hadist, dan ushul fiqih, beliau berhasil menggabungkan
pemikiran ulama Hijaz dan Iraq. Imam Ahmad pernah berkata “Imam
Syafi’i merupakan orang yang paling alim berkenaan dengan kitab Allah
dan sunah Rasulullah saw.” dan beliau pernha juga berkata “Siapapun
yang memegang tinta dan pena di tanganya, maka dia berhutang budi pada
asy-Syafi’i.”
Sumber mazhab Syafi’i ialah Al-Quran dan As-Sunnah , kemudian
Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil pendapat sahabat sebagai
sumbernya karena boleh jadi pendapat sahabat ada yang salah, beliau juga
9
tidak beramal dengan istihsan yang diterima oleh imam Hanafi dan Maliki.
Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata “Siapa yang melakukan istihsan berarti
ia membuat syariat.” Dia juga telah menolak masalih mursalah dan tidak
setuju menjadikan ‘amal ahl al-Madinah (perbuatan penduduk Madinah)
sebagai hujjah. Ahli Baghdad telah mensifatkan Imam Syafi’i
sebagai Nashir Sunnah (penyokong As-Sunnah).

4. Mahzab Hambali
Imam Abu Abdullah, Ahmad Bin Hambal bin Hilal bin Asad al-
Zuhaili Asy-Syaibani beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H. Beliau
merupakan seorang pengelana dalam menuntut ilmu, beberapa kota yang
pernah beliau singgahi seperti Kuffah, Basrah, Mekah, Madinah, Yaman,
Syam dan Jazirah. Imam Ahmad merupakan murid dari Imam Syafi’i,
beliau berguru sewaktu di Baghdad. Imam Ahmad terkenal dengan
sebutan al-Muhadditsun pada zamanya. Imam Syafi’i pernah berkata “Aku
keluar dari Bahgdad dan aku tidak meninggalkan orang yang lebih takwa
dan paling alim di bidang fiqih selain Ibnu Hambal.”
Semasa hidupnya Imam Hambal banyak mendapatkan cobaan dan
ujian, beliau di penjara dan dipukul karena fitnah yang disebarkan bahwa
beliau berpendapat bahwa al-quran adalah mahluk, ini terjadi pada zaman
kepemimpinan al-ma’min al-mu’tasim, dan al-wasiq.
Dasar mazhab yang dikembangkan oleh Imam Hambal adalah hasil
Ijtihad dari hampir semua prinsip mazhab Imam Syafi’i hal ini tentu tidak
mengherankan karena beliau merupakan murid kesayangan Imam Syafi’i.
Imam Hambal menerima Al-Quran, As-Sunnah, Fatwa Sahabat, Ijma’,
Qiyas, istishab, mashalih mursalah dan dzarai. Imam Hambal sendiri
hingga akhir hayatnya tidak pernah mengarang kitab, namun para
sahabatnya mengumpulkan berbagai pendapat, perkataan, perbuatan serta
jawaban ataupun fatwa Imam Hambal.
F. Perumusan Pemikiran masing-masing Mazhab memahami Sumber
Hukum Islam

1. Mazhab Hanafi, Imam Hanafi (703-767 M) mendeduksi hukum-hukum


Islam dari sumbersumber berikut ini: alQur’an, Sunah, Ijma’ sahabat,
pendapat sahabat pribadi, qiyas (deduksi:analogis) istihsan (preferensi), urf
(tradisi local).

2. Mazhab Maliki, Imam Malik (717-801 M), merumuskan sumber hukum


Islam diurutkan sesuai dengan tingkatannya: al-Qur’an, Sunah, praktek
masyarakat Madinah, Ijma’ sahabat pendapat individu sahabat, qiyas,
tradisi masyarakat madinah, istilah (kemaslahatan), dan urf (tradisi).

3. Mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i (769-820 M) perumusannya dengan: al-


Qur’an, Sunah, Ijma’, pendapat individual sahabat, qiyas, dan istishab.

4. Mazhab Hanbali, Imam Ahmad (778-855 M) sumber hukumnya dengan


merumuskan melalui: al-Qur’an, Sunah, Ijma’ sahabat, pendapat individu
sahabat, Hadits dhoif, dan qiyas.5

5
Novita Pancaningrum, Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka Metodologis (Dinamika
Hukum Islam), hlm 403-405
10
G. Implikasi Mazhab di Indonesia

Perkembangan ilmu pengetahuan agama Islam dalam jaringan


ulama Indonesia banyak di dominasi dari jaringan ulama Mesir. Hal ini
konsekuensi logis dari kajian kitab yang dibawakan ulama pada peredaran
kitab di Indonesia baik berbahasa Arab ataupun yang telah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia.

Saat ini pula banyak santri-santri atau pelajar dari Indonesia belajar
ke Negara timur tengah. Dengan begitu, makin beredar pula pemahaman
ajaran-ajaran mazhab yang telah dibawanya pulang ke kampong halaman.
Jadi tidak heran, muncul beberapa mazhab baru yang berkembang dari
sebelumnya dari beberapa organisasi masyarakat.

Sehubungan dengan fakta sosial masyarakat Indonesia terkenal


dengan mazhab Syafi’i, misalnya organisasi kemasyarakatan NU lebih
menitikberatkan pada mazhab Syafi’i, meskipun juga memasukkan tiga
mazhab lainnya Maliki, Hambali, dan Hanafi. Sedangkan Muhammadiyah
melalui tarjih yang dikeluarkan oleh dewan tarjih yang mereka bentuk
sendiri. Kemudian al-Washliyah berusaha dengan istinbat hukum dengan
menggunakan imam mazhab Syafi’i. Di luar itu semua, masyarakat awam
sering berselisih dengan berbedanya mazhabmazhab ataupun organisasi
yang ada, hanya berbeda pendapat mengemukakan antara satu pendapat
mazhab dengan mazhab lainnya. Sebagaimana NU dan Muhammadiyah.
Perkembangan saat ini bukan hanya mazhab yang empat, namun di
Indonesia sudah berkembang mazhab-mazhab lainnya semisal Syi’ah serta
lainnya
H. Persoalam Kontemporer

1. Ziarah Kubur Hari Jumat, Benarkah Ada Anjurannya?


Ziarah kubur adalah anjuran Rasulullah SAW meski sebelumnya
sempat dilarang olehnya. Lantas, benarkah ada keutamaan berziarah kubur
di hari Jumat? Anjuran ziarah kubur yang disunnahkan bagi umat Islam
dilandasi dari hadits berikut,

‫ِإِّني ُك ْنُت َنَهْيُتُك ْم َعْن ِز َياَرِة اْلُقُبوِر َفُزوُر وَها َفِإَّنَها ُتَذ ِّك ُر ُك ْم اآْل ِخ َر َة‬

Artinya: "Dulu aku melarangmu melakukan ziarah kubur. Sekarang,


lakukanlah ziarah kubur, karena akan mengingatkan kalian terhadap
akhirat." (HR Muslim). Rasulullah SAW juga menganjurkan muslim untuk
berziarah kubur semata-mata dengan tujuan mengingat kematian.
Rasulullah SAW bersabda,

‫ُزوُر وا اْلُقُبوَر َفِإَّنَها ُتَذ ِّك ُر ُك ُم اآلِخ َر َة‬

Artinya: "Lakukanlah ziarah kubur, karena akan mengingatkan kalian


terhadap kematian." (HR Muslim). Larangan ini, mengutip buku Risalah
Shaum karya Wawam Shofwan, sempat berlaku lama pada masa awal
11
Islam yang saat itu masih kental dengan kesyirikan. Namun, tidak
dijelaskan mengenai kekhususan waktu untuk berziarah kubur. Adapun
penjelasan khusus mengenai ziarah kubur hari Jumat dapat disimak pada
ulasan berikut.
Tentang Ziarah Kubur Hari Jumat pengamalan ziarah kubur pada
Jumat disebutkan mengandung keutamaan di baliknya. Hal ini pernah
dijelaskan oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Sakaratul Maut wa
Syiddatuh terjemahan Aep Saepulloh Darusmanwiati saat menceritakan
seorang lekaki dari keluarga Ashim Al Juhdary. Lelaki itu pernah
bermimpi bertemu dengan Ashim dua tahun setelah kematiannya. Ia
kemudian bercerita, ia bertanya pada Ashim untuk memastikan karena
Ashim yang dikenalnya sudah meninggal dunia, "Bukankah kau telah
meninggal dunia?"Ya, aku telah meninggal dunia,"jawab Ashim
Lelaki itu pun bertanya lagi pada Ashim, "Di mana tempatmu
sekarang?" Ashim menjawab, "Demi Allah. aku bersama sekelompok
kawan berada di salah satu taman surga. Kami berkumpul setiap malam
Jumat dan paginya lalu bersama-sama menemui Abu Bakar bin Abdullah
al Muzani. Dari sanalah kami mengetahui kabar kalian."Lelaki itu bertanya
lagi,
"Apakah kalian saling bertemu dengan tubuh kalian atau hanya roh
kalian saja?"Ya, jasad-jasad iitu telah musnah. Kami hanya saling bertemu
roh-roh kami (tanpa jasad),"
Lelaki tersebut kembali bertanya, "Apakah kalian mengetahui
apabila kami menziarahi kalian?"
Dijawabnya, "Ya, kamu mengetahuinya setiap Jumat sore dan
seluruh Jumat (pagi, siang, sore, atau malam) dan setiap Sabtu sampai
matahari terbit,
Saat ditanya, "Mengapa hanya Jumat dan Sabtu, tidak di semua
hari lainnya?"Ashim menjawab, "Hal itu karena keutamaan dan kemuliaan
Jumat."

Meski demikian, ada perbedaan pendapat tentang kekhususan ziarah


kubur hari Jumat di kalangan ulama mazhab. Keterangan ini dijelaskan
dalam Kitab Al Fiqh ala Madzaahib al Arbaah yang diterjemahkan Tim
Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah (PISS) KTB dalam buku Tanya Jawab
Islam. Kitab tersebut menjelaskan, ziarah kubur merupakan amalan sunnah
pengingat kehidupan akhirat. Mazhab Hanafi dan Maliki meyakini hukum
kesunnahannya menjadi muakkad bila dikerjakan pada Jumat, hari
sebelumnya, dan hari setelahnya. Mazhab Syafi'i berpendapat hukum
sunnah dari ziarah kubur dapat menjadi muakkad. Dengan catatan, bila
ziarah kubur dilakukan mulai dari waktu Ashar pada Kamis hingga
terbitnya matahari pada Sabtu. Pernyataan ini juga sesuai dengan pendapat
unggul di kalangan Malikiyah.

Sementara itu, Mazhab Hambali menyebutkan ziarah kubur tidak


menjadi muakkad dan tidak berlaku pula kekhususan pada hari lainnya.
Hal senada juga diyakini oleh Lembaga Riset dan Fatwa Kerajaan Arab
Saudi. Dikutip Hafidz Muftisany dalam buku Fikih Keseharian, lembaga
yang pernah dipimpin Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz melarang
pengkhususan hari Jumat untuk berziarah. Mereka meyakini kedudukan

12
Jumat atau hari lainnya sama.

Wallahu a'lam.

2. Bagaimana Cara Membayar Fidyah Utang Puasa Ramadhan?


Muslim diwajibkan untuk berpuasa selama bulan Ramadhan. Bagi
yang meninggalkannya karena uzur tertentu, wajib mengganti puasa
tersebut. Salah satunya dengan membayar fidyah.
Perintah puasa sendiri termaktub di dalam surah Al-Baqarah ayat 183.
Allah SWT berfirman,

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى اَّلِذ ْيَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَعَّلُك ْم َتَّتُقْو َۙن‬

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu


berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa."

Puasa merupakan ibadah wajib. Apabila seseorang tidak sanggup


melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan karena suatu uzur, maka perlu
menggantinya dengan puasa qadha di luar bulan Ramadhan. Namun, jika
tidak sanggup untuk puasa qadha karena suatu alasan yang diperbolehkan
dalam syariat, maka diperkenankan untuk membayar fidyah. Menurut
buku Serial Cinta Ramadhan karya Edi Purwanto, fidyah secara definisi
adalah memberikan tebusan kepada seseorang. Untuk konteks berpuasa,
fidyah diartikan sebagai memberi tebusan atas puasa yang ditinggalkan
karena alasan syar'i dan tidak mampu mengerjakan puasa lagi. Dilakukan
dengan memberikan sesuatu, misalnya berupa makanan kepada orang
miskin.

Dalil terkait fidyah termaktub di dalam surah Al-Baqarah ayat 184


yang berbunyi,

‫َو َع َلى ٱَّلِذ يَن ُيِط يُقوَن ۥُه ِفْد َيٌة َطَعاُم ِمْسِك يٍن‬

Artinya: "...Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya


(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan
seorang miskin..."
Cara Membayar Fidyah dalam Islam merujuk pada buku 125
masalah Puasa karya Muhammad Anis Sumaji, para ulama sepakat bahwa
fidyah dapat dibayar dengan makanan pokok. Imam Malik dan Imam As-
Syafi'i menyebut ketentuan fidyah yang harus dibayar sebesar 1 mud
gandum atau setara dengan 0,75 kilogram.
Adapun, mazhab Hanafi berpendapat jika fidyah yang dikeluarkan
adalah sebesar 2 mud atau 1/2 sha' gandum setara dengan 1,5 kg. Biasanya
aturan ini digunakan untuk kaum muslimin yang membayar fidyah beras.
Mazhab ini berpendapat, membayar fidyah dengan uang diperbolehkan.
Namun, pembayaran fidyah dengan uang harus sebanding dengan harga
makanan pokok yang dikonsumsi. Buku Jabalkat I susunan Purna Siswa
2015 MHM Lirboyo menjelaskan, jika inti dari kewajiban membayar
fidyah adalah mencukupi kebutuhan fakir-miskin sehingga tidak masalah

13
menggunakan uang asalkan nilainya setara. Salah satunya yang terbaru
ditetapkan yakni, SK Ketua BAZNAS Nomor 6 Tahun 2024 mengenai
Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah kota Yogyakarta, nilai fidyah
dalam bentuk uang setara dengan Rp 30.000/hari/jiwa.

Ketentuan Membayar Fidyah

Membayar fidyah ditetapkan berdasarkan jumlah hari yang


ditinggalkan untuk berpuasa. Setiap satu hari meninggalkan puasa, wajib
baginya membayar fidyah kepada satu orang fakir miskin.
Sementara itu, teknis pelaksanaanya apakah per hari atau sekaligus
satu bulan disesuaikan dengan masing-masing orang.
Menurut buku Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq, ada empat golongan
yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa tetapi wajib membayar
fidyah, yakni memberi makan orang miskin setiap hari yang
ditinggalkannya.
Golongan yang diperbolehkan mengganti puasa Ramadhan dengan
fidyah adalah orang tua renta, perempuan yang lemah, orang sakit
menahun yang sulit harapan sembuhnya, dan para pekerja berat. Ibnu
Abbas RA mengatakan,"Orang tua diperbolehkan untuk berbuka. Sebagai
gantinya, ia memberikan makanan kepada satu orang miskin untuk setiap
harinya. Ia tidak wajib mengqadhanya." (HR Daruquthni dalam Sunan
Daruquthni dan Hakim dalam Mustadrak Hakim. Keduanya mengatakan
hadits ini memiliki sanad yang shahih)
Adapun perempuan lemah yakni ibu hamil dan menyusui. Membayar
fidyah sebab dikhawatirkan kondisi mereka atau anaknya akan terdampak
bila berpuasa. Dijelaskan pada hadits berikut, Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah membebaskan musafir dari puasa dan separuh
salat, dan (membebaskan) perempuan hamil serta perempuan menyusui
dari puasa." (HR Abu Dawud, Nasa'i, Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi.
Menurut Hakim, hadits ini hasan) lalu, menurut ulama Syafi'iyah, orang
yang sakit menahun dan sulit diharapkan kesembuhannya maka dihukumi
seperti orang tua yang renta sehingga wajib baginya membayar fidyah.

14
BAB III
KESIMPULAN

Mazhab dalam bahasa berarti pendapat kepercayaan, ideologi,


ajaran, paham aliran. Secara istilah meliputi jalan pikiran atau metode
yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum
atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa.
Empat mazhab besar adalah Hanafi (berdasarkan al-Qur'an, Sunah,
Ijma’, qiyas, istihsan, urf), Maliki (al-Qur'an, Sunah, praktek Madinah,
Ijma’, qiyas, tradisi, istilah, urf), Syafi'i (al-Qur'an, Sunah, Ijma’, qiyas,
istishab) dan Hanbali (al-Qur'an, Sunah, Ijma’, qiyas, Hadits dhoif).
Faktor timbulnya mazhab adalah perbedaan sumber hukum,
metode dan lingkungan antara ulama.
Persoalan kontemporer adalah tentang ziarah kubur Jumat yang
diperbolehkan menurut Mazhab Hanafi dan Maliki tapi tidak khusus, serta
cara membayar fidyah utang puasa dengan makanan atau uang.
Implikasi mazhab di Indonesia adalah dominasi mazhab Syafi'i di
kalangan NU dan Muhammadiyah serta berkembangnya mazhab baru

15
DAFTAR PUSTAKA

Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. (Jakarta: Rajawali Raja
Grafindo Per sada, 1997), hlm. 72-73

Novita Pancaningrum, Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau Kerangka


Metodologis (Dinamika Hukum Islam), hlm 397-400

Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Pen, Matori el-Wustho, Cet. 1.
(Bandung Marja, 2005), hlm. 13.

Anwar Harjono, Hukum Islam, Keluasan dan Keadilannya, Jakarta Bulan


Bintang 1968) hlm. 60

16

Anda mungkin juga menyukai