Anda di halaman 1dari 3

UJIAN AKHIR SEMESTER FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA


TAHUN AKADEMIK 2020/2021
Mata Kuliah : STUDI HUKUM ISLAM

Dosen : Moh. Hatta, MHI

Sifat : WFH

Waktu : Juni 2021

Jam :

Soal- soal

1. Mengapa Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (Imam Hanbali) lebih populer dikenal
sebagai ahli hadits dari pada ahli fiqih?
2. Bagaimana sikap al-Syafi’i dan Imam Hanbali dalam menghadapi penyelewengan
terhadap agama ( ttg memakhlukkan al-Qur’an/khalq Alqur’an) yang dilakukan oleh
kaum rasionalis ( seperti syiah, khawarij dan muktazilah)?
3. Mengapa terjadi kejumudan dan kemandekan pemikiran fikih pasca imam mazhab? Dan
apa yang dilakukan oleh para ulama saat itu?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan metode istinbath? Dan pendekatan apa yang
dilakukan atau dikembangkan dalam melakukan istinbath ini ?
5. Coba deskripsikan secara singkat bagaimana pemikiran hukum Islam dalam lembaga
keagamaan (Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) !!

&&&SELAMAT MENGERJAKAN&&&
Habibur Rokhman, 05030320068, HPI C2
JAWABAN

1. Sudah bisa kita ketahui bahwa Ahmad bin Hambal lebih dikenal dengan pembela hadist
Nabi, dapat dilihat dari cara yang digunakan pada memutuskan hukum. Beliau tidak suka
terlalu menggunakan akal, tetapi kalau keadaannya terpaksa atau sangat perlu dan sebatas
ditentukan hadits yang menjelaskannya. Ahmad bin Hanbal sangat berhati-hati tentang
riwayat hadits, dikarenakan hadits sebagai dasar dan tidak bisa didapatkan faedahnya
tanpa memiliki riwayatnya. Beliau juga berkata “Barangsiapa yang tidak mengumpulkan
hadits dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenai hadist tersebut dan tidak
boleh sembarangan memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan fatwanya”.
2. Sikap Imam Syafi’i terhadap Syiah Rafidhah terlalu keras. Yunus bin Abdul A’la pernah
mengatakan: "Bila ada yang menyebut kelompok Syiah Rafidhah dan ada imam Syafi’i.
Beliau akan mencela mereka dengan celaan yang paling buruk, lalu beliau mengatakan:
"mereka adalah komplotan yang sangat jahat!"
3. Karena bervarian pola berpikir ilmu fiqh tersebut seperti normatif, liberal dan moderat
yang masing-masing memiliki sosok panutan (imam) dan juga memiliki pengikut setia
(muqallid) yang berupaya mempertahankan hasil “penal” (ijtihad) para imam. tentang
niat Allah dan Rasul-Nya yang tertuang dalam Al-Qur'an dan Hadist. Diduga mereka
menebar benih-benih kekacauan, tidak lagi ingin berusaha mandiri dalam memproduksi
produk ijtihad. Memang hal ini bermanfaat, khususnya dengan menumbuhkan dan
mengembangkan epistemologi fiqh, namun dapat berimplikasi negatif bagi
perkembangan fiqh. Keberangkatan ini ditandai dengan terbentuknya mazhab fiqh,
perlahan tapi pasti mazhab ini kemudian menggeser keberanian para ulama untuk
berijtihad, yang pada akhirnya mengakibatkan stagnasi yang luar biasa. Ilmuwan (ulama')
biasa menyebutnya sebagai periode taqlid. Periode ini dimulai dari dari pertengahan abad
ke-4 Hijriah hingga akhir abad ke-13 Hijriah. Waktu gelap disiplin fiqh dan masa subur
epistemologi fiqh. Memasuki abad ke-14 Hijriyah hingga kini, bermunculan tokoh-tokoh
bergerak yang berusaha membangkitkan disiplin keilmuan fiqh "tidur panjangnya". Tidak
hanya bangun, tetapi juga membangun kembali dan mengembalikan kekuatan ilmu fiqih,
sehingga dapat melahirkan produk ijtihad yang lebih bijak melakukan gerakan
pengembangan sosial budaya budaya politik dimana ijtihad ditemukan selesai. Baru-baru
ini, studi tentang keberadaan fiqh. Muslim kontemporer mulai merasa penting, terutama
untuk meminimalkan tabrakan antara fiqh klasik dan isu kontemporer.
4. Secara garis besar metode dan kaidah yang digunakan untuk melakukan istinbāṭ hukum
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu melalui pendekatan kebahasaan (ṭuruq lafẓiyyah) dan
dan pendekatan makna atau ruh nash ṭuruq ma’nawiyah atau maqāṣid asy-syarīah.
Dalam istinbāṭ hukum dengan pendekatan kebahasaan hal pertama yang mendapat
perhatian dari para ulama ushul fiqh adalah pengertian lafadz dalam kaitannya dengan
posisi lafadz di dalam kalimat.
5. MUHAMMADIYAH
Pemikiran hukum islam Muhammadiyah adalah nalar fikih yang tidak dibangun semata
melalui dalil-dalil tafcilî dan tidak hanya berkutat pada ranah amaliah praktis,
sebagaimana fikih klasik pada umumnya. Tapi dibangun di atas serangkaian metodologi
yang tersistem dan menyatu dengan sumber kewahyuan dan prinsip-prinsip hukum Islam.
Sehingga nalar fikih Muhammadiyah memiliki karakteristik khas dengan kentaranya apa
yang disebut dengan teori pertingkatan norma atau dalam Bahasa manhaj tarjih disebut
sebagai hirarki norma.

NU
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kontribusi NU
sebagai salah satu institusi/ Ormas Islam yang diakui dan diikuti pandangan hukumnya.
Hal ini diperkuat sebuah lembaga yang dibentuk oleh NU yang bertugas khusus dalam
pengkajian hukum Islam dan pemberi fatwa yaitu bahsul masa‘il. Walaupun terdapat
banyak perbedaan dalam masalah hukum dengan institusi lain seperti Muhammadiyah,
NU sampai sekarang masih tetap bertahan (survive) berkontribusi dalam hukum Islam di
Indonesia.
Secara umum dalam bidang pemikiran hukum dapat dikatakan bahwa NU telah
melakukan ijtihad ketika menghadapi persoalan-persolan kontemporer seperti yang
tercermin dalam keputusan-keputusannya misalnya mengenai Islam yang moderat–NU
mengusungkan Islam Nusantara, kepemimpinan wanita, dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan bahwa NU tidak hanya berpatokan kepada Kitab-kitab klasik, namun juga
memperhatikan perkembangan isu kontemporer.

Anda mungkin juga menyukai