Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muhammad Amada

Tarbiyah Eksekutive AE-2


Semester ( V )
Dosen : Zaenal Arifin, M.Pd.I
Mata Pelajaran : PPMDI

Disusun Untuk Memperoleh Nilai Mata Kuliah PPMDI

Jawab :
1. Fazlurrahman : Tertutupnya Pintu Ijtihad Membahas Membuka Pintu Ijtihad
Membuka Pintu Ijtihad Fazlur Rahman
Berdasarkan temuan historis Rahman mengenai empat prinsip dalam evolusi
perkembangan yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijthad dan ijma’  dalam bukunya Islamic Methodology
in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaharuan (hukum)
Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi
yaitu perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.
Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara
sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal
merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal nabi SAW yang
kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman
menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah
hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya
tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.
kemudian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang
dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses
ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi
ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang.
Rahman kemudian menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad. Rahman mendobrak doktrin ini
dengan beberapa langkah, antara lain:
1.        Menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam
masyarakat muslim
2.        Menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad
3.        Memperluas cakupan ranah ijtihad klasik.

Dasar Filosofis dan Kerangka Pemikiran Fazlur Rahman


Yang menjadi dasar filosofis pemikiran Fazlur Rahman, antara lain:
1)      Bahwa dalam perjalanan sejarah telah terjadi penggeseran dari otoritas sunnah Nabi
menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadist.
2)      Sunnah Nabi merupakan sunnah yang ideal, sunnah yang hidup merupakan
interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi'in terhadap sunnah ideal
tersebut. Sedang hadits merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan.
3)      Sunnah dan Hadits ada perbedaan yang sangat penting : secara garis besara Sunnah
merupakan sebuah fenomena praktis yang ditujukan kepada norma-norma behavioral,
sedangkan Hadits tidak hanya menyampaikan norma-norma hukum tetapi juga
keyakinan-keyakinan dan prinsip-prinsip relegius.
4)       Kandungan aktual sunnah dari generasi-generasi Muslim di masa lampau secara
garis bersarnya adalah produk ijtihad apabila ijtihad ini, melalui interaksi pendapat secara
terus menerus, akhirnya dapat diterima oleh semua ummat atau disetujui secara
konsensus (ijma'). Karena sebagian besar kandungan dari keseluruhan hadits adalah tidak
lain dari Sunnah ijtihad dari generasi pertama kaum muslimin.
Kemudian, yang menjadi kerangka pemikiran Fazlur Rahman adalah:
a.    Umat Islam mengalami krisis metodology yang tampaknya sebagai penyebab
kemunduran pemikiran Islam ke masa depan, karena menurutnya metodology sebagai
titik pusat penyelesaian krisis intelektual Islam.
b.    Pada zaman Sahabat awal periode I, umat Islam menggunakan dua sumber pokok
(al-Qur'an dan Hadits) yang sifatnya sangat dinamis dan historis, tetapi pada akhir
periode I dan awal periode II pemikiran keagamaan umat Islam menjadi normatif yang
sifatnya kaku dan formal, sehingga hasil pemikiran Islam bersifat a hisrtoris dan
dokmatis. Fenomena ini disebabkan oleh pengaruh (penetrasi) pemikiran Barat.
c.    Fazlur Rahman, melihat ada kekeliruan konsepsional pemikiran sarjana-sarjana Barat
tentang konsep Sunnah yang menyebabkan sarjana-sarjana Barat tersebut menolak
konsep Sunnah Nabi.
d.    Rahman menyatakan bahwa ketidakserasian hubungan antara “Sunnah - Ijtihad - dan
ijma'” dan evolusi serta perkembangan Sunnah Nabi menjadi Hadits, yang menurutnya
pemikiran umat Islam akan menjadi statis dan menghadap ke masa lampau. Melihat
fenomena ini Rahman menyatakan umat Islam memerlukan pemikiran secara
metodologis tentang Islam Normatif dan Islam Historis dengan membedakannya secara
tegas. Selain itu menurutnya Islam normatif sebagai kriteria untuk menilai Islam historis.
Untuk itu, Rahman menyarankan agar pemikir-pemikir Muslim perlu melakukan
dekonstruksi dan rekonstruksi total atas warisan sejarah Muslim dalam berbagai aspek.

Rahman mengajak kita untuk menelusuri lebih dahulu, tentang pernyataan, Pintu Ijtihad
di dalam Islam ditutup, menurut Rahman, tidak seorangpun yang benar benar mengetahui
kapankah pintu ijtihad tersebut tertutup? Dan siapakah sebenarnya yang telah menutupnya?.
Disamping itu juga kita tidak dapat menemukan pernyataan bahwa tertutupnya pintu ijtihad
tersebut adalah perlu ada atau memang diinginkan atau mungkin mengenai penutupan "pintu
ijtihad itu sendiri", walaupun kita dapat menemukan Penilaian penilaian dari para penulis
dikemudian hari, bahwa pintu ijtihad tertutup. Penilaian penilaian tersebut dikenakan pula pada
keadaankeadaan di masa lampau dan sejauh yang dapat kita saksikan, tidak setuju pada
pernyataan tertentu mengenai penutupan pintu ijtihad.
Dengan demikian kita dapat menarik kesimpulan bahwa walaupun secara formal pintu
ijtihad tidak pernah tertutup oleh siapapun juga walaupun punya otoritas yang besar dalam Islam,
namun suatu keadaan secara lambat laun serta pasti melanda Islam (termasuk di Pakistan),
dimana seluruh kegiatan berfikir secara umumnya terhenti.
Menurut Masyalu Zuhdi, munculnya fatwa pintu ijtihad tertutup itu terjadi pada akhir
abab IV H. fatwa ini sebenarnya mempunyai tujuan yang positif, yaitu untuk mencegah orang
orang yang tidak memenuhi syarat berijtihad berani memberikan fatwa fatwa dengan sesuka
hatinya kepada masyarakat. Dan untuk menghindari terjadinya fatwa fatwa yang bersimpang siur
dan tidak terkendalikan, sehingga membingungkan umat. Disamping itu, fatwa tentang
tertutupnya pintu ijtihad itu dapat pula menimbulkan akibat akibat yang negatif, diantaranya.
1. Berhentinya perkembangan fiqih, yang mengakibatkan fiqih Islam menjadi statis.
2. Umat Islam menjadi statis dan tidak kritis, yang menyebabkan kemunduran dan
keterbelakangan umat Islam.
3. Fokus perhatian umat Islam dan ulama berpindah dari AlQur'an dan Sunnah kepada fatwa
fatwa imam madzhabnya dan dasar-dasar pemikirannya, yang mereka pandang seolah nash-
nashnya. Dan kalau mereka memahami nash, nash AlQur'an dan sunnah, maka dimaksudkan
untuk memperkuat mandzhabnya.

2. Mohammed Arkoun : Dekontruksi

Pemikiran Dekonstruksi Kritik Nalar Islam dari Muhammed Arkoun 

Sebagai mana dijelaskan bahwa Mohammed Arkoun ini mengambil rasionalitas dan juga
mengambil sikap kritis pemikiran barat dalam memahami agama. Menurut Arkoun ini
merupakan sebuah solusi untuk menciptakan pemikiran Islam yang mampu menjawab tantangan
modernisasi. Saat itu sekitar abad ke 16, pemikiran Islam mengalami kemandekan. Maka
berdasarkan kegundahan Arkoun ini dia mengajukan proyek “Kritik Nalar Islam”. Dalam kritik
nalar Islam, Arkoun ini menggunakan metode kajian sejarah. Dengan historisme ini
dimaksudkan untuk melihat sebuah fenomena sosial dan budaya melalui Perspektif historis,
bahwa masa lampu harus dilihat menurut strata historikalnya.

Muhammed Arkoun menekankan bahwa teks Al-Qur’an ini, ada di tengah-tengah kita
adalah sebuah hasil dari tindakan pengajaran, yakni teks yang berasal dari bahasa kemudian
ditranskripsi kedalam bentuk sebuah teks. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diterima dan
disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia. Selama tidak kurang dari dasawarsa,
kemudian dibukukan setelah memasuki masa sahabat Utsman, sekitar itu satu setengah periode
setelah Nabi Muhammad wafat.
Muhammed Arkoun menganggap bahwa Islam ini sebagai fakta yang berkembang secara
historis (sejarah). Arkoun menegaskan bahwa semua yang memiliki otoritas keilmuan sebagai
penentu sifat yang paling utama kebenaran, pemikiran, atau kebajikan semestinya ini bisa
dikenai kritik intelektual, melontarkan kritik strukturalis. Dengan demikian, ia akan leluasa atau
bebas melontarkan kritik struktuuralis multi disipliner terhadap dominasi serta kemapanan
otoritas alim Ulama’ di setiap institusi-institusi maupun pemerintahan muslim, baik yang klasik
atau yang modern.

3. Muhammad Syahrur : Pemikiran Hukum Islam

Memaknai Sumber Hukum Islam

Berikut ini penulis paparkan pandangan Shahrur terhadap empat sumber hukum Islam yaitu
Ummu al-Kitab, Sunnah, Qiyās, dan Ijma'.

a. Ummu al-Kitab

Sebagaimana telah dipaparkan, Shahrur memaknai umm al-kitab sebagai sekumpulan


ayat-ayat muhkamat. Ia mengklasifikasi ar-risälah ke dalam lima dimensi pokok, yaitu: (a)
hudud, (b) ibadah, (c) akhlak, (d) ajaran-ajaran yang bersifat khusus dan umum yang bukan
tasyri', (e) ajaran-ajaran yang bersifat periodik (al-marhaliyah). Artinya, umm al-kitab
merupakan sumber hukum yang menjelma dalam beberapa dimensi di atas.

Kelima dimensi pokok tersebut menjadikan risalah Muhammad saw. tetap langgeng dan
acceptable tanpa terhalang oleh aspek spasial-temporal. Namun demikian, hal tersebut baru bisa
mewujud jika dua karakter dasar dari Islam dapat dipahamani secara holistik. Oleh Shahrur,
keduanya adalah hanifiyah dan istiqamah. Yang pertama dimaknai sebagai sifat yang original
(aşlī) dan dapat berubah (mutaghayar) dari agama. Ia merupakan deviasi dari jalan lurus yang
merupakan kualitas kultural yang mempunyai watak yang berbeda-beda. Sedangkan yang kedua
dipahami sebagai sifat yang tetap (tsawabit) selaku penyimpul yang senantiasa berubah dan
membentuk relasi dialektik ('alaqah jadaliyah) antara keduanya." Dengan ini, ketika menjumpai
naș, maka keduanya mesti dijadikan spirit tanpa menganaktirikan salah satunya.

b. Sunnah

Shahrur tetap memandang Sunnah Nabi sebagai sebuah pedoman. Hanya saja, ia
memahaminya dengan konsep tersendiri yang paparannya sebagai berikut:

1. Sunnah Nabi, yaitu segala hal yang dilakukan, dikatakan dan disetujui oleh Nabi saw.
bukanlah wahyu Allah swt. Menurutnya, andaikan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa
ada hal-hal yang diwahyukan kepada Nabi saw. yang tidak ada dalam al-Qur'an, maka hal
tersebut bukanlah berarti segala yang bersumber dari beliau adalah wahyu. Untuk mendukung
argumennya, Shahrur mengemukakan Q.S. an-Najm [53]: 3-4, dan Q.S. at-Tahrim [66]: 3.10
2. Sabda Nabi dengan segala bentuknya, baik yang berstatus mutawatir maupun āhād, hanyalah
untuk dijadikan sebagai pertimbangan semata (istithna') karena lahir sebagai keputusanhukum
yang notabene bisa berubah seiring bergulirnya ruang dan waktu. Dalam hal ini, Shahrur
menetapkan sebuah prasyarat untuk menerima hukum-hukum yang terdapat dalam Sunnah Nabi
yaitu tidak bertentangan dengan al-Qur'an.

3. Sunnah Nabi merupakan tahap penyesuaian awal dengan kenyataan hidup sehingga dalam
kerangka aplikatifnya menjadi pilihan pertama untuk merealisasikan wahyu selaku ide absolut.

4. Sunnah Nabimerupakan cermin kebenaran pertamayangmenggambarkan interaksi antara al-


Qur'an dengan realitas objektif yang muncul saat diturunkannya.

5. Sebagian besar ayat-ayat hukum adalah madaniyah yang diturunkan hanya dalam kurun
sepuluh tahun. Padahal, beliau diutus untuk segenap umat manusia dan tidak ada lagi risalah
samawiyah setelah itu. Untuk itu, Shahrur menandaskan bahwa penerapan ayat-ayat hukum pada
alam realitas adalah aplikasi relatif-historis.

6. Konsep keadilan ('adalah) dan ijmak para sahabat Nabi saw. tidak mesti dijadikan cermin
untuk seluruh problematika kontemporer lantaran berbedanya lingkup perjalanan sejarah yang
dialami masing-masing generasi." Shahrur berprinsip bahwa al-Qur'an telah merangkum banyak
hal sebagai ide umum dan absolut.

Secara umum, Shahrur membagi Sunnah ke dalam dua bagian besar, yaitu: sunnah a-
risalah dan sunnah an-nubuwwah (an-nabawiyah). Yang pertama mengandung kepatuhan dan
kedurhakaan, sementara yang kedua mengandung pembenaran dan pendustaan. Ia menegaskan
bahwa term an-nabi dan ar-rasul amatlah esensial didistingsikan. Segala perintah atau larangan
yang memakai term an-nabi semisal "ya ayyuha an-nabi" mengandung ajaran-ajaran dan
petunjuk atau kondisi khusus Nabi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan perihal halal dan
haram. Untuk itu, ketaatan (tha 'ah) terkait erat dengan posisi ar-risalah yang contohnya banyak
dijumpai seperti "athi'u Allah wa ar-Rasûl" atau "laqad kāna lakum fi rasulillah uswatun
hasanah"

Selanjutnya, Shahrur membagi ketaatan (tha'ah) kepada dua macam, yaitu: ketaatan yang
bersambung (tha 'ah muttasilah) dan ketaatan yang terpisah (tha'ah munfaṣilah). Ketaatan
pertama adalah ketaatan kepada Rasul saw. yang disandingkan dengan ketaatan kepada Allah
swt. Sedangkan ketaatan kedua yaitu ketaatan kepada Rasul saw. yang tersendiri dari ketaatan
Allah swt. semasa hidup beliau (bukan setelah matinya) yakni pada urusan keseharian (umur
yawmiyah) dan hukum-hukum periodik (ahkām marhaliyah), ketetapan- ketetapan yang
dipraktikkannya seperti kepala negara, qadhi, panglima perang, serta yang berhubungan dengan
aspek kehidupan lainnya seperti urusan makanan, minuman, pakaian dan sebagainya."

Yang paling menarik untuk dicermati dari pemahaman Shahrur tentang Sunnah adalah
definisi yang dikemukakannya yaitu tata-cara menerapkan hukum Ummu al-Kitab, la
memandang Sunnah sebagai pola interaksi Nabi saw. dengan mashara'at zamannya. Hal tersebut
dipicu oleh semangat akseptabilitas Islam sepanjang zaman. Atas dasar itu, ia berpandangan
bahwa pola interaksi dengan semangat serupa mesti terus dihidupkan hingga penghujung zaman.
Dengan demikian, kapasitas Sunnah sebagai sumber hukum tidaklah terlalu luas. Pandangan
Shahrur ini tidaklah luput dari kritik. Thahir Syawwaf menilai bahwa Shahrur lebih
mendahulukan kondisi waktu dan tempat ketimbang Islam itu sendiri." Dalam pandangan
Shahrur, dimensi ruang dan waktulah yang dijadikan patokan. Untuk menguatkan pandangannya
itu, ia juga menyoroti kodifikasi hadits dan masa hidup para fuquha' yang empat dan imam-imam
hadits seperti Bukhari (lahir 196 H) yaitu pada paroh kedua abad II Hijriyah bertepatan dengan
periode awal masa Abbasiyah. Menurutnya, sebab utama pengumpulan hadith adalah bersifat
politis semata. Sejak tergantikannya Khulafa' ar-Rasyidin dan munculnya Daulah Umawiyah,
sekte-sekte Islam mulai bermunculan yang dilatari oleh desakan politik.

c. Qiyas

Qiyas atau menganalogikan sesuatu yang ada (syahid) dengan yang tidak ada ghaib)
adalah bathil. Yang Shahrur maksudkan adalah meng qiyas kan mashara'at kontemporer dengan
mashara'at yang telah dihadapi Nabi saw. karena itu hanyalah usaha sia-sia. Bahkan, ia
menyatakan bahwa para fuqaha' yang menjadikan qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam
mestilah bertanggungjawab atas keterbelakangan Islam."

Telah disinggung sebelumnya bahwa yang dibutuhkan adalah ijtihad terhadap ayat-ayat
hukum dengan cara penyesuaian dengan realitas objektif. Dengan paradigma seperti itu, Shahrur
telah menyeret eksistensi qiyās (analogi) -sebagaimana pengertian yang berkembang selama ini-
ke zona degradasi sumber hukum dan mengukuhkan ijtihad sebagai elemen penting vis a vis
ayat- ayat hukum. Konsep qiyas yang dikemukakan dalam fiqih tidak berarti sama sekali, dan
pengertian qiyas telah menjadi: "mengemukakan dalil-dalil dan bukti- bukti atas kesesuaian
ijtihad tentang hal-hal yang dinashkan oleh al-Qur'an dengan kenyataan hidup secara objektif ".

d. Ijma'

Pemahaman Shahrur tentang ijma' juga terbilang kontradiktif dengan pemahaman


mayoritas yang menyebutnya sebagai kesepakatan ulama salaf atau mayoritas fuqaha.
Menurutnya, pengertian seperti ini adalah keliru karena belum tentu kesepakatan mereka
berkorelasi secara tepat dengan fenomena kekinian. Untuk itu, ia mendefinisikan ijma' sebagai
kesepakatan mayoritas untuk menerima tasyri' yang berkaitan dengan kondisi mereka. Dalam
implementasinya, yang dibutuhkan adalah kemerdekaan alias kebebasan untuk mengekspresikan
pandangan di setiap elemen mashara'at." Dengan pengertian ijma' seperti itu, Thahir Syawwaf
menilai bahwa Shahrur tidak mengakui ijma' sebagai salah satu pedoman dalam hukum dengan
pemaknaan yang lain."

4. Harun Nasution : Islam Rasional


Harun Nasution (1919-1998) dikenal luas oleh kaum intelegensia Indonesia sebagai salah
seorang ilmuan yang tekun mendalami berbagai bidang kajian keislaman, seperti ilmu kalam,
falsafah, dan tasawuf. Salah satu dari kontribusinya adalah pengenalan pendekatan baru dalam
studi Islam, yaitu. pendekatan filsafat dengan titik tekan pada rasio, “Rasionalisme” (akal) atau
yang lebih dikenal dengan Islam Rasional. Perhatian Harun Nasution bukan saja terfokus pada
bidang keilmuan Islam, tetapi juga terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam, khususnya
di Indonesia. Di tengah maraknya isu-isu disharmonis, ketidakrukunan, kekerasan bahkan
konflik, yang mengatasnamakan agama, maka pemikiran Islam rasional yang digagas oleh Harun
Nasution merupakan solusi tawaran dalam memahami agama dalam rangka menwujudkan
kerukunan umat beragama. Pemikran Islam rasional tidak hanya terbatas bagi umat Islam dalam
mamahami agama secara rasional, tetapi dapat diterapkan pada agama lain dalam memahami
agama secara rasional. Dengan pemahaman agama secara rasional, maka dapat membangun
kerangka berpikir yang rasional dalam menyikapi persoalan umat manusia dan pemahaman
agama secara rasional memberi kontribusi yang besar bagi terwujudnya kerukunan umat
beragama.

5. Nurcholis Majid : Islam Inklusif

Tentang Islam Inklusif

Nurcholish adalah seorang pemikir Islam yang inklusif. Ia juga sering dijuluki sebagai
salah satu cendekiawan Muslim paling terkemuka di Indonesia dewasa ini. Pikiran-pikiran
mengenai keislamannya terkait erat dengan dua dimensi kehidupan umat Islam, yaitu
keindonesiaan, dan kemodernan. Merajut tiga segi umat Islam inilah (keislaman-kemodernan-
keindonesiaan) membawa Nurcholish pada upaya pemikiran membangun peradaban Indonesia
modern yang didasarkan pada Islam yang inklusif." Peradaban memang kata kunci yang sangat
sering dipakainya. Dan la sangat merindukan terwujudnya peradaban Indonesia (dengan
kontribusi yang kuat dari agama-agama). Karena itu Nurcholish mempelajari banyak khazanah
filsafat modern, sekaligus tradisi lama agama yang inklusif yang masih relevan untuk
diaktualkan kembali.

Salah satu masalah keislaman yang paling kuat Nurcholish kemukakan, adalah masalah
inklusivisme ini. Menurut Nurcholish, inklusivisme adalah salah satu sendi yang sangat
menentukan keberhasilan bangsa Indonesia membangun peradabannya yang adil, terbuka, dan
demokratis. Tanpa sikap inklusif, tak mungkin ada demokrasi. Karena itu Nurcholish
menyiapkan fondasi demokrasi ini dengan dasar-dasar normatif-teologis terlebih dahulu. Dari
Nurcholishlah kemudian dikenal luas istilah-yang pada mulanya berasal dari al-Qur'an-kalimat-
un sawa' (titik temu, common word) agama-agama. Bahwa semua agama itu bertemu pada satu
ultimate concern yang sama pada tingkat transenden, dan keprihatinan etis, pada tingkat imanen.
Agama-agama di Indonesia menurut Nurcholish, berperanan penting dan menentukan
perkembangan Indonesia modern yang demokratis."
Nurcholish mempersiapkan dasar teologis umat Islam untuk bisa menerima inklusivisme
ini, agar dengan demikian umat Islam mau berperan aktif dalam mengembangkan pemikiran
keindonesiaan modern tanpa halangan keagamaan apa pun. Nurcholish sangat sadar umat Islam
akibat perjuangan melawan kolonialisme yang panjang telah mengidap mentalitas fight against
(melawan dari), yang memang sangat relevan di masa perjuangan kemerdekaan, tetapi di masa
reformasi yang lebih demokratis sekarang ini, umat Islam (dan agama-agama di Indonesia) harus
pro-aktif mengembangkan pemikiran dan aksi yang sifatnya fight for (berjuang untuk), misalnya
demokrasi.

Sudah sejak 1992, ketika Nurcholish untuk pertama kalinya memperkenalkan paham
Islam inklusifnya dengan kata kunci "Islam yang hanif," Nurcholish mengkhawatirkan bahaya
keberagamaan yang cenderung fundamentalistik dan bersifat kultus pada masyarakat Muslim
Indonesia. Dari analisis atas corak keberagamaan yang cenderung fundamentalistik dan kultus di
dunia modern, Nurcholish menyimpulkan bahwa cara keberagamaan yang demikian sama sekali
bukan masa depan. Karena keberagamaan seperti itu tidak terbuka sama sekali terhadap
perkembangan dan perubahan zaman, dan cenderung bersifat tertutup, tidak kreatif, dan
berorientasi ke masa lalu. Maksudnya, masalah baru zaman kini, direspon dengan cara lama yang
sudah tidak relevan lagi.

Perkembangan zaman dewasa ini membutuhkan corak keber- agamaan yang berbeda
sama sekali dengan masa lalu. Beberapa kata kunci yang ditekankan Nurcholish: keberagamaan
dewasa ini perlu lebih inklusif, yaitu terbuka, adil, dan demokratis. Tiga kata kunci dari
Nurcholish ini, perlu disandarkan pada fondasi yang dia sebutnya sebagai "keislaman yang
hanif". Istilah yang lebih teknis adalah keislaman yang al-hanifiyah al-sambah yaitu "keislaman
yang terbuka pada kebenaran, yang membawa pada kelapangan hidup." Inilah dasar Islam
inklusif Nurcholish.

Istilah keislaman yang inklusif diambil Nurcholish dari khaza- nah keagamaan. Sebelum
Nurcholish memperkenalkan istilah ini, kecenderungan keberagaman yang eksklusif telah
mewarnai corak keberagamaan masyarakat Indonesia. Dewasa ini, berdasarkan survey-survey
yang dilakukan lembaga survey independen, diketahui dengan jelas, kecenderungan
keberagamaan masyarakat Indonesia, yang mayoritasnya adalah Muslim, secara umum bersifat
intoleran dan tidak terbuka, khususnya pada masalah-masalah antaragama. Hal ini bertolak
belakang dengan paham Islam inklusif yang dikembangkan Nurcholish mengenai al-banifiyah al-
sambah, yaitu keberagamaan yang terbuka pada kebenaran, yang membawa kelapangan hidup.

Apa yang dipikirkan Nurcholish pada tahun 1992 itu, sekarang jauh lebih relevan dari
masa-masa sebelumnya." Corak keberagamaan masyarakat Islam Indonesia yang eksklusif,
tertutup, dan intoleran perlu dikoreksi oleh pemahaman holistik Islam inklusif. Keislaman yang
inklusif adalah bentuk keislaman yang akan membawa masyarakat Muslim lebih terbuka, adil,
dan demokratis. Dari segi dunia modern, keislaman yang inklusif adalah fondasi teologis dan
filosofis untuk masyarakat Muslim bisa menerima sepenuhnya ide-ide kemajuan yang telah
direnungkan manusia dalam sejarah pergulatan pemikiran modern, seperti demokrasi. Keislaman
yang inklusif adalah keislaman yang "perenial," yang abadi, yang tidak akan berubah sepanjang
masa karena sejalan dengan hati nurani manusia yang disebut fitrah."

Menurut Nurcholish, ada dua jenis fitrah yang berhubungan: yaitu fithrah munazzalah,
yaitu "fitrah yang diturunkan" berupa kitab suci yang merupakan petunjuk untuk umat manusia;
dan fithrah majbalah, yaitu fitrah yang tertanam kokoh dalam diri manusia, yaitu hati nurani.
Hati nurani sendiri artinya adalah hati yang bercahaya, yang maksudnya adalah hati yang penuh
dengan kebaikan yang merupakan fitrah kemanusiaan. Seseorang yang hidup sepenuhnya dengan
hati nuraninya, akan memenuhi apa yang merupakan inti ajaran agama. Oleh karena keislaman
yang inklusif selaras dengan fitrah manusia, di mana dengan fitrah inilah manusia diciptakan.
Menurut Nurcholish, Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dalam fithnah. Kemudian
fishnah itu membuat manusia mempunyai kecenderungan dasar suci(hanif), termasuk sikap dasar
menerima kebenaran sebagai perwujudan perjanjian primordial manusia dan Tuhan."

Pikiran-pikiran Nurcholish didasari oleh kearifan klasik Islam yang diberi konteks baru
pergulatan Islam Indonesia dewasa ini. Hasilnya adalah keislaman yang inklusif, yang
menurutnya cocok dengan apapun pemikiran terbaik manusia Indonesia berkaitan dengan
kehidupan sosial-politik. Itu sebabnya Nurcholish dengan pemikiran keislaman inklusifnya
sesungguhnya bukan hanya menyumbangkan sesuatu untuk umat Islam, tetapi corak
keislamannya betul-betul sejalan dengan apa pun yang terbaik dari dasar-dasar kehidupan
kebangsaan. Islam yang inklusif memberi ruang selebar-lebarnya untuk komitmen bersama, yang
disebut sebagai kalimat-un sawa' (titik temu). Keislaman yang inklusif mendorong umat Islam
Indonesia memberi yang terbaik bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Bagi Nurcholish tidak ada pertentangan antara keislaman, ke- modernan, dan
keindonesiaan. Tiga hal tersebut telah dikembang-kannya secara simultan, dengan rajutan yang
akan menghasilkan masa depan Indonesia yang lebih baik, yang lebih demokratis, lebih adil, dan
lebih terbuka.

6. Abdurrahman Wahid : Islam Kosmopolitan

Pemikiran Islam kosmopolitan yang dikemukakan Gus Dur merupakan salah satu
indikasi adanya kelompok kecil yang mengambil peran dalam mewarnai corak sistem di
masyarakat menuju sistem dan tatanan yang lebih baik. Pandangan Islam kosmopolitan adalah
suatu pandangan yang mengakui perlunya reformulasi substansial dari peradaban yang ada,
kerangka institusional, moral, spiritual, dan etika sosial guna merespons hak-hak dasar universal
menghormati agama, idicologi dan kultural lain serta menyerap sisi-sisi positif yang ditawarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam kosmopolitan menuntut adanya sikap inklusif, pengakuan
adanya pluralisme budaya dan heterogenitas politik sehingga umat Islam dapat berdialog dengan
peradaban global, memunculkan sikap kritis, dan mengoreksi budaya sendiri.

Pemikiran Islam kosmopolitan yang dikemukakan Gus Dur lebih memberikan perhatian pada
persoalan-persoalan kemanusiaan universal dan menghindari simbolisme serta formalisasi Islam
dalam melawan kekuatan yang datang dari luar Islam. Konsep ini berakar pada ajaran universal
islam sebagaimana termaktub dalam lima jaminan dasar berikut ini: Keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an- nafs), Keselam keyakinan
agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-adin), keselamatan
keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi dari
gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik
dan profesi (hifdzu al-aqli)

Anda mungkin juga menyukai