Anda di halaman 1dari 18

FIQIH DALAM MASA JUMUD DAN STAGNASI

DINAMIKA PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN KONTEMPORER

Mochamad Deni Leo Arif Bijaksono


Email : denileomochamad@gmail.com
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Nahdatul Ulama

Abstrak

Perubahan adalah sebuah keniscayaan, yang harus disikapi oleh hukum Islam dalam bentuk
ijtihad akan tetapi dalam kondisi seperti ini justru muncul sikap taqlid yang menghasilkan “masa
jumud”. Dalam tulisan ini disimpulkan bahwa “masa jumud” hukum Islam dikarenakan: (1)
wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas, (2) perpecahan pemerintahan Islam, (3) asumsi
Hukum Islam sudah terkodifikasi secara mapan, dan (4) munculnya kelompok pemberi fatwa
yang serampangan. Sebagai respon maka pada masa modern para pemikir muslim kontemporer
menggalakkkan adanya reaktualisasi ajaran Islam dan reinterpretasi terhadap nas nas yang sudah
ada, dengan harapan akan diperoleh konklusi hukum yang lebih akomodatif (mampu menjawab
tantangan zaman), yang ditandai dengan ragam munculnya problematika aktual yang
membutuhkan legitimasi dari hukum Islam. Fiqih adalah pemahaman yang mendalam tentang
hukum-hukum Islam. Fiqih kontemporer mengacu pada perkembangan pemikiran fiqih dalam
masa kini, yang melibatkan persoalan-persoalan kontemporer yang sedang diselesaikan atau
bahkan persoalan baru yang muncul. Dalam masa jumud dan stagnasi, dinamika perkembangan
fiqih dapat mengalami tantangan. Tantangan tersebut dapat berasal dari perubahan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi pemahaman dan penerapan hukum-hukum Islam.
Selain itu, tantangan juga dapat muncul dari perubahan teknologi dan perkembangan ilmu
pengetahuan yang memerlukan penyesuaian dalam pemahaman fiqih. Dalam menghadapi
tantangan kontemporer, para pakar hukum Islam belajar dengan giat untuk memahami dan
menyelesaikan masalah-masalah yang muncul. Mereka menggunakan berbagai metodologi
penyelesaian masalah dan berusaha mengembangkan pemikiran fiqih yang relevan dengan
kondisi zaman sekarang.
Kata kunci: Fiqih, masa jumud, stagnasi, dinamika perkembangan, tantangan kontemporer.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Periode ini dimulai dari abad 10-11 M (310 H) sejak berakhirnya kekuasaan Bani Abbas
sampai abad ke 19. Periode ini, ditandai dengan menyebarkan pusat-pusat kekuasaan Islam di
beberapa wilayah, sehingga umat Islam sendiri dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan
berada dalam kegetiran. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah) lemah, maka akan
muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga hilanglah pesaudaraan dan persatuan di kalangan
umat Islam dan sebaliknya menjadi permusuhan. Pada masa ini, hukum Islam mulai mengalami
stagnasi (jumud). Hukum Islam tidak lagi digali dari sumber utamanya (al-Qur’an dan Sunnah),
para ulama pada masa ini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran dan pendapat
dalam mazhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat mulai ada kecenderungan baru, yakni
mempertahankan kebenaran mazhabnya dengan mengabaikan mazhab lain, seolah-olah
kebenaran merupakan hak prerogatif mazhab yang di anutnya, sehingga tak salah jika masa ini
merupakan fase pergeseran orientasi dari al-Qur’an dan Sunnah menjadi orientasi kepada
pendapat ulama.Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhabmazhab
fiqh. Namun kecenderungan yang tidak begitu baik segar dalam perkembangan fiqh yakni
munculnya ketergantungan kepada mazhab dan tumbuhnya perasaan berkecukupan secara
meluas dan mendalam1.

Fenomena keberagamaan manusia dalam masa ini terus mengalami perubahan. Hal ini
berbanding lurus dengan perubahan gaya hidup, system sosial, tekhnologi dan persoalan hidup
manusia yang semakin kompleks. Semua itu telah memaksa setiap kepercayaan (religion) untuk
menyelaraskan dan menyesuaikan diri dengan keadaan manusia tersebut. Sejatinya perubahan ini
adalah sebuah keniscayaan, apalagi di tengah perubahan yang semakin terasa di abad ini. Maka
sebuah kepercayaan akan ditinggalkan oleh para pengikutnya jika tidak mampu menjawab
problematika ini. Sehingga tak salah, jika Kiai Muhith, menyatakan bahwa perubahan adalah
sebuah keniscayaan. Sedangkan cara yang digunakan dalam merespon perubahan tersebut dalam
1
Asmani Jamal Makmur, 2014. “Fikih Sosial Kiai Sahal Sebagai Fikih Peradaban,” Al- Ahkam; Jurnal Pemikiran
Hukum Islam 24, no. 1
konteks fiqh adalah dengan ijtihad.Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ijtihad bisa
digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut tentang
hukum Islam2.

Namun dalam fakta historis, pada Periode dinasti Abbasiyah tercatat sebagai pcriode
dibentuknya mazhab Fiqh, berikut dimulainya upaya penulisan ilmu pengetaluan. Akan tetapi
justru pada periode setelah itu para ulama sudah lemah keinginannya untuk mencapai tingkatan
mujtahid mutlak, semisal Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Hanbali. Mereka sudah merasa cukup
mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh para imam mujtahid sebelumnya. Dalam
kondisi inilah dimulai masa taqlid3.

Padahal para ulama tersebut mempunyai tanggung jawab terkait ijtihad ini. Tanggung jawab
ini terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama’ mujtahid dari generasi berikutnya.
Dalam konteks inilah tulisan ini hadir. Maksudnya tulisan ini hadir dalam rangka merasa perlu
adanya pamahaman yang komprehensif terkait taqliddan ijtihad salah satunya dengan
memahaminya dari aspek sejarahnya. Hal ini dikarenakan bahwa hukum itu tidaklah dibuat, akan
teapi tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, sebagaimana yang dipaparkan oleh pelopor
mazhab Sejarah Hukum, Von Savigni. 4

Para ulama berupaya menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan mengembangkan


pemikiran mazhabnya secara internal melalui pembuatan ringkasan-ringkasan (mukhtasyar)
terhadap kitab-kitab fiqh yang terlalu tebal. Bahkan, mazhab ada yang disebut mukhtasyar jiddan
yang merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para ulama pada fase ini melakukan
ulasan-ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah) serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat
penjelasannya (khasiyyah) terhadap kitab-kitab fiqh yang ringkas atau kurang luas, sehingga
dalam proses belajar fiqh menjadi berat, yakni harus menguasai, menghafal dan menjaga seluruh
isi kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam) yang ditempuh. Selain itu, aktifitas ulama
juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat yang berbedabeda dalam suatu mazhab, baik
itu dari segi riwayah atau pun dirayah.
2
Muhammad Mahrusillah, 2018. “FIKIH SOSIAL KIAI SAHAL MAHFUDH:PENGEMBANGAN KEMANDIRIAN EKONOMI
PESANTREN DAN MASYRAKAT,” Jurnal Al-Mizan 2, no. 02,hal 101
3
Andi Darna, 2021. “PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA: KONSEP FIQIH SOSIAL DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM HUKUM KELUARGA,” Jurnal El-Usrah UIN Ar- Raniry Aceh 4, no. 1 hal 97
4
Hasan Asari, Sejarah Islam Modern: Agama dalam Negoisasi Historis Sejak Abad XIX, (Medan: Perdana
Pusblishing, 2019), hal 14
B .RUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan peneliti dalam menulis penelitian artikel jurnal ini. Maka di anggap
perlu mencari permasalahan pokok. Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang
menjadi rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana masa jumud dan stagnasi?


2. Bagaimana dinamika perkembangan fiqih pada masa jumud dan stagnasi?
3. Apa yang menjadi tantangan hukum islam dalam masa kontemporer?

C. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang akan dicapai dalam penelitian
ini, di antaranya adalah :

1. Untuk menjelaskan bagaimana masa jumud dan stagnasi


2. Untuk mengetahui bagaimana dinamika perkembangan yang terjadi pada masa
jumud dan stagnasi
3. Untuk mengetahui apa aja tantangan hukum islam yang di hadapi dalam masa
kontemporer

D. METODE PENELITIAN

Sebuah penelitian selalu memerlukan metode atau cara agar penelitian itu dapat terlaksana
dengan baik dan terarah, sehingga tujuannya dapat tercapai secara optimal dan sampai pada
kesimpulan ilmiah. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library research), yaitu dengan
jalan melakukan penelitian terhadap sumbersumber tertulis, maka penelitian ini bersifat
kualitatif. Dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti
kitab/buku, artikel, skripsi, jurnal, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif.

2. Sumber data
Data yang diambil dari penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan yang terdiri dari dua
jenis sumber yaitu primer dan sekunder:

Sumber primer adalah rujukan utama yang akan dipakai yaitu kitab suci Alquran dan
terjemahannya, antara lain:

a. Kitab Jam'u Jawami' al-musannafat yang berisi Tafsir fara'id Al-Qur'an dalam bahasa
melayu
b. Buku Ahkam al-Fuqaha Fi Muqarrirat al-Mu'tamarat al-Nahdlat
c. Ushul fiqih
d. Epistemologi islam, tentang ilmu pengetahuan hukum islam termasuk fiqih

Sumber sekunder sebagai pelengkap, antara lain:

a. Tantangan hukum islam di abad modern


b. Buku Fiqih kontemporer
c. Tarikh tasyrik
d. Konsep pembaruan dalam islam perspektif Muhammad Abduh

3. Teknik pengumpulan data


Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode dokumentasi yaitu suatu kegiatan
penelitian yang dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang digunakan
tidak terbatas dengan hanya pada buku-buku namun berupa bahan dokumentasi, agar dapat
ditemukan berbagai teori hukum, pendapat, dalil, guna menganalisis masalah, terutama masalah
yang berkaitan dengan masalah yang sedang dikaji.
4. Analisis data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan data analisis dekskriptif yaitu pertama,
dilakukan proses pengumpulan data mengenai topik pembahasan yaitu berkenaan dengan Fiqih
dalam masa Jumud dan Stagnasi: Dinamika Perkembangan dan tantangan Kontemprorer.
Kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut, setelah penulis mengetahui data yang
tersedia dari berbagai sumber yaitu primer dan sekunder, maka langkah berikutnya adalah
melakukan reduksi data dan kemudian dilakukan penyajian data dan artinya bahwa penulis
menelaah Fiqih dalam masa Jumud dan Stagnasi: Dinamika Perkembangan dan tantangan
Kontemporer dengan melakukan penelusuran melalui buku Tarikh tasyri dilengkapi dengan
ilmu hukum islam, serta pendapat-pendapat para ulama sebagai sumber pendukung.

5. Tahap-tahap penelitian

a. Menyusun proposal penelitian


Pada tahap ini peneliti menyusun proposal yang akan digunakan untuk penelitian,
sesuai dengan sumber data yang diperlukan dalampenelitian
b. Tahap pelaksaan penelitian
Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data-data dengan:
1. Mencari data-data akurat yang berhubungan dengan tema yang peneliti akan bahas,
seperti kitab tafsir, buku, jurnal, skripsi, artikel dan lain-lain.
2. Mengecek keaslian data-data yang sudah ditemukan dan yang berhubungan dengan
tema peneliti
3. Mendokumentasikan data-data yang diperoleh dari data-data tersebut.

c. Mengidentifikasi data
Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian terhadap buku buku terkait dengan
tema, diidentifikasikan agar lebih mempermudah dalam menganalisa sesuai dengan
tujuan yang diinginkan.
d. Tahap akhir penelitian
a) Menyajikan data dalam bentuk deskripsi artikel jurnal
b) Menganalisa data sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Masa Jumud dan Stagnasi

Umat Islam pernah mengalami masa keemasan, yang kemudian dikenal dengan istilah the
Golden Age of Islam, yakni masa sejak runtuhnya Daulah Umayyah (sekitar abad ke-2 H)
sampai pertengahan abad ke-4 H. Salah satu khalifah yang memimpin pada masa ini, Harun ar-
Rasyid,memberi perhatian besar dan penghargaan yang tinggi terhadap dunia ilmu pengetahuan,
terutama fiqh. Salah satu contoh perhatiannya adalah ketika Imam Malik (93 H-179 H) diminta
mengajarkan kitab Muwatta’-nya kepada kedua anaknya, al-Amin dan al-Makmun. 5

Pada awal abad ke-3 H, di tengah-tengah pesatnya perhatian ulama terhadap Perkembangan
fiqh, mulai terjadi “pemasungan” terhadap kebebasan berpendapat. Khalifah al-Makmun, al-
Mu’tashim dan al-Wasiq berusaha keras Untuk memaksakan ideology mu’tazilah kepada para
ulama. Kondisi demikian Menyebabkan para ulama mulai “tertekan” dan secara perlahan mereka
mulai Menampakkan dukungannya terhadap ideology mu’tazilah Sejak saat itu, Mu’tazilah
menjadi sasaran kecaman pedas dan kritik tajam oleh para ulama, Terutama Ahmad b. Hanbal
(164 H-231 H).

Seiring dengan pemasungan kebebasan berpendapat tersebut terjadi pro dan Kontra
terhadap pemerintahan Daulah Abbasiyah. Para ulama yang tinggal di Daerah-daerah tertentu
mulai mengadakan ”pembelaan” terhadap mazhabnya. Hal ini menimbulkan sikap ta’assub
(fanatisme) secara berlebihan dari ulama Kepada para imam dan ajaran-ajarannya. Pada masa ini
merupakan masa yang Sangat menyedihkan, di mana pertikaian (niza’/tanazu’) terjadi di mana-
mana Dan berlangsung sangat lama. Kondisi social politik pada saat itu mulai tidak Menentu.
Pada pertengahan abad ke-4 H pemerintah Daulah Abbasiyah Terpecah-pecah menjadi negara-
negara kecil yang mempunyai otonomi sendiri-Sendiri yang saling bersaing dan berperang. Hal
ini berlangsung terus-menerus Sampai jatuhnya Bagdad, ibukota Daulah Abbasiyah ke tangan
Hulagu Khan, Panglima tentara Tartar pada tahun 656 H.

Pada waktu yang bersamaan kegiatan-kegiatan di bidang fiqh ditangani oleh Orang-orang
yang semata-mata hanya mengincar jabatan hakim(qadi),tanpa Keahlian ilmiah yang memadai.
Farouq Abu Zaid, sebagaimana dikutip oleh Mun’im Sirry, mengemukakan bahwa mereka
mencukupkan diri dengan Menghafal hukum-hukum mazhab yang menjadi pedoman pengadilan,
tanpa Harus berpikir dan berijtihad atau melakukan pembaharuan di bidang hukum. Mereka
cukup menerapkan sepenuhnya hukum-hukum yang dihasilkan para Imamnya tanpa melakukan
apa pun. Tidak mengherankan jika para ahli ilmu Fiqih seperti itu mudah terbawa arus penguasa
dan menuruti maksud-maksud Mereka, meskipun untuk itu harus mengorbankan kepentingan-
kepentingan fiqh Dan hukum syara’.6
5
Arief Aulia, 2017, “METODOLOGI FIQH SOSIAL M.A. SAHAL MAHFUDH,” Jurnal El- Maslahah 7, no. 02,hal 87
6
Nurrohman,2019, Syari’at islam dan Hukum Nasional (Problematika Transformasi dan Integrasi Hukum Islaim
Kedalam Hukum Nasionall, Jurnal Tajitid, Vol. 26, No. 2,hal 171
Wajar sekali jika dalam kondisi seperti itu banyak dijumpai orang-orang Yang tidak
mengerti Hukum Islam dan tidak memiliki keahlian di bidang hokum Namun mereka berani
memberikan fatwa-fatwa dan memutuskan hukum. Akibatnya, jabatan pemberi fatwa (mufti)
dipangku oleh orang-orang yang

justru membelokkan tujuan fatwa itu sendiri, padahal pemberi fatwa (mufti), tidak boleh
sembarangan dalam memberikan fatwa-fatwanya. Mufti harus mempunyai kualifikasi-kualifikasi
tertentu dalam memberikan fatwa. Pada masa ini, hukum Islam mulai mengalami stagnasi
(jumud). Huku Islam tidak lagi digali dari sumber utamanya (al-Qur’an dan Sunnah), para ulama
pada masa ini lebih banyak sekadar mengikuti dan mempelajari pikiran dan pendapat dalam
madzhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat mulai ada kecenderungan baru, yakni
mempertahankan kebenaran madzhabnya dengan mengabaikan madzhab lain, seolah-olah
kebenaran merupakan hak prerogative madzhab yang dianutnya, sehingga tak salah jika masa ini
merupakan fase pergeseran orientasi dari al-Qur’an dan Sunnah menjadi orientasi kepada
pendapat ulama.

Periwayatan pendapat-pendapat para imam tanpa melalui verifikasi ilmiah yang memadai
sehingga menimbulkan keanekaragaman pendapat imam dalam satu persoalan. Dalam penentuan
masalah zakat sapi atau ketentuan besarnya zakat bagi seseorang yang mempunyai 41-59 ekor
sapi misalnya, Imam Abu Hanifah ( 80 H-150 H) disebutkan mempunyai tiga pendapat yang
berbeda.

Satu pendapat diriwayatkan dari Hasan as-Syaibani (131-189 H/748804 M), salah seorang
ahli fiqh pengikut Abu Hanifah, menyebut bahwa setiap pertambahan sepuluh (artinya sampai
berjumlah 50 sapi) wajib dizakati seperempat musinnah. Dari Abu Yusuf (113-182 H/731-798
M), salah seorang murid Abu Hanifah yang menjadi qadi (hakim) di Bagdad pada masa Khalifah
Harun ar-Rasyid, diriwayatkan bahwa Abu Hanifah (w. 150H) berpendapat tidak wajib baginya
zakat sampai berjumlah 60 sapi, tetapi ada pendapat lain dari Abu Hanifah – meskipun tidak
diketahui perawinya –bahwa setiap bertambah satu, wajib dizakati empat per sepuluh musinnah. 7

Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa bagaimana mungkin seorang imam (dalam hal ini
Imam Abu Hanifah) mempunyai tiga hukum yang berbeda dalam satu persoalan? Dalam

7
Yayan Sopian, Tarikh Tasyri Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2018), hal 54
penelitian sejarah, sebagaimana disinggung oleh Mun’im Sirry, telah terjadi „manipulasi“ dalam
periwayatan pendapat para imam akibat adanya orang-orang yang tidak ahli di bidang hukum
tetapi mereka memberi fatwa berdasarkan kehendaknya sendiri dengan mencari justifikasi dari
para imam mazhab. Kondisi fiqih yang demikian inilah yang menyebabkan sebagian ulama
mengatakan bahwa „pintu ijtihad telah tertutup“.Pernyataan "pintu ijtihad telah tertutup" ini
sudah lama dikenal di dunia Islam dan dunia ilmu pengetahuan Islam. Fazlur Rahman, salah
seorang pemikir Islam abad modern, mengemukakan. 8

Tidak seorang pun yang benar-benar mengetahui kapankah “pintu ijtihad” tersebut ditutup
dan siapa sesungguhnya yang telah menutupnya. Di mana pun juga kita tidak dapat menemukan
pernyataan bahwa tertutupnya “pintu ijtihad” tersebut adalah perlu atau memang diinginkan, atau
mengenai penutupan “pintu ijtihad” itu sendiri, walaupun kita dapat menemukan penilaian-
penilaian dari para penulis kemudian hari bahwa pintu ijtihad telah tertutup.

Apa yang dikemukakan Fazlur Rahman ini menarik untuk dicermati. Rahman cenderung
berpendapat bahwa walaupun secara formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup oleh siapa pun juga
– atau oleh siapa pun juga yang mempunyai otoritas besar dalam Islam – namun suatu keadaan
secara lambat laun serta pasti telah melanda dunia Islam di mana seluruh kegiatan berpikir secara
umumnya terhenti.

Muhammad Abu Zahrah juga mengemukakan pendapat yang senada dengan Fazlur
Rahman. Menurut Abu Zahrah bahwa pada masa itu mujtahid fi al-syar’i (mujtahid mustaqil)
semakin langka dijumpai sehingga sebagian pengikut mazhab dari golongan mutaakhkhirin
berpandangan bahwa ulama pada masa itu telah menutup ”pintu ijtihad”. Pendapat ini dibantah
oleh Hanafiyah dan Hanabilah bahwa ”pintu ijtihad” selalu terbuka (anna bab al-ijtihad bi kulli
anwa’ihi maftuhun) dan tidak ada seorang pun yang dapat menutupnya.9

Meskipun ada pendapat bahwa „pintu ijtihad tidak pernah tertutup” dan bahkan selalu
terbuka, namun taklid pada masa itu semakin bertambah mengakar. Ia dijadikan landasan hukum
dan fatwa. Keadaan ini juga memaksa para ulama dan fuqaha untuk mengambil pendapat para
imam masa lalu secara penuh, terutama imam mazhab empat. Mereka lupa bahwa fatwa-fatwa

8
Hasan Asari,2019 Sejarah Islam Modern: Agama dalam Negoisasi Historis Sejak Abad XIX, (Medan: Perdana
Pusblishing), hal 68
9
Nawawie, H. (2014). Tarikh Tasyri’. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, hal 21
yang pernah dikemukakan oleh para imam mazhab adalah merupakan jawaban terhadap
persoalan-persoalan yang mereka hadapi, di mana persoalan zaman (waktu), tempat, kondisi
masyarakat dan persoalan yang dihadapi pada waktu itu berbeda dengan persoalan yang dihadapi
oleh para ulama pada era Selanjutnya. Pada buku Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum
Islam karya Yayan Sopyan menambahkan bahwa faktor yang menyebabkan taqlid dan
Kemunduran ini dikarenakan dua faktor, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal
merupakan faktor-faktor yang muncul dari tubuh umat Islam, Sedangkan faktor eksternal adalah
faktor yang muncul di luar tubuh umat Islam.10

B. Dinamika Perkembangan fiqih pada masa Jumud dan Stagnasi

1. Masa Sebelum Masa Jumud

Bila kita mempelajari perkembangan atau priodesasi sejarah Islam, sejarah hukum Islam,
Sejarah Peradaban Islam, maka kita dapat menyusunnya priode Rasul, priode sahabat, priode
tabi’in, priode tabi’ tabi’in, priode mazhab, priode jumud dan priode tajdid. Periode-periode ini
biasa dilanjutkan dengan priode modern dan new modern. Masing-masing priode ini mempunyai
ciri khas tergantung kepada objek kajian yang akan dibahas dalam masing-masing priode
tersebut. Bila dilihat dari sejarah peradaban Islam maka para penulis akan membahas kemajuan
peradaban Islam, baik itu dari segi Arsitektur atau kemajuan ilmu pengetahuan. 11

Selanjutnya bila dilihat dari sisi perkembangan pensyariatan hukum Islam, maka peneliti
akan melihat kemajuan hukum Islam dalam masing-masing priode tersebut ditambah dengan
kemajuan hukum dalam masa-masa kerajaan hukum Islam sampai pada era kemajuan yang
disebut dengan masa modern demikian juga bila dilihat dari segi metode dan perkembangan
hukum Islam (fiqh). Perkembangan hukum Islam (fiqh) mencapai puncak kejayaan tertinggi
pada masa mazhab, dimana pada masa ini semua pendapat para mujtahid mulai dari masa
sahabat dikumpulkan dan dibuat sistematis untuk selanjutnya ditulis di dalam kitab-kitab
mazhab. Baik itu ditulis oleh Imam mazhab sendiri atau juga di tulis oleh murid-murid mereka
dengan menyandarkan semua isi kitab kepada pendapat Imam mereka.Tradisi menulis di masa
maszhab sangat dipengaruhi oleh tradisi yang berkembang, untuk ini penulis melihat sangan

10
Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A. 2018, Μ.Η.,TARIKH TASYRI’ SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM, penerbitan
pada PT BajaGratindo Persada, Depok, Rajawali Printing hal 50
11
Yayan Sopian, 2018. Tarikh Tasyri Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: PT Raja Grafindo Persada), hal 77
dipengaruhi oleh apa yang diajarkan oleh Nabi, sehingga berpengaruh pada tradisi Imam
mazhab.12

Seperti : Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama yang memiliki kecerdasan yang luar
biasa sehingga sampai saat pendapatnya sangat mewarnai fiqh yang berlalku di seluruh dunia,
sampai-sampai ketika membahas perbandingan mazhab pasti mengambil salah satu pendapat
yang akan dibandingkan adalah pendapat mazhab Hanafi. Beliau tidak memiliki kitab yang ia
tulis sendiri, tetapi kitab-kitab dalam mazhab Hanafi sangat banyak, semuanya ditulis oleh
murid-murid beliau. Pada awalnya pendapat-pendapat Imam Hanafi tidak banyak menggunakan
dalil, ini sebagai bukti kalau beliau adalah ahl ar-ra’yi, namun dalam kitab-kitab murid beliau
semua pendapatnya mempunyai dalil, ini juga sebagai bukti bahwa dalil-dalil terhadap pendapat
Hanafi di muat oleh murid-murid, tentu saja dalam memuatnya bukanlah sembarangan tetapi
dipahami dengan menggunakan metode yang digunakan Hanafi.

Urutan kedua adalah Imam Malik, pada masa Imam Malik tradisi menulis Sudan mulai ada,
dimana Imam Malik memiliki satu kitab yang sangat populer yaitu Kitab al-Muwaththa’. Kitab
ini pada masa khalifah al-Makmun pernah diminta untuk dijadikan pegangan para hakim namun
tidak diizinkan karena beliau takutkan akan matinya ijtihad di tangan para hakim. Dari sisi
sistematis kitab ini disusun dengan menggunakan sistematika fiqh, yang diawali dengan bab
ibadah, munakahat, muamalah dan jinayah. Sedangkan dari segi materi beliau lebih banyak
menggunakan dalil, terlebih lagi dalil-dalil Hadis, ini juga membuktikan bahwa Imam Malik
adalah ulama yang digolongkan kepada ahl al-hadis.13

Selanjutnya mazhab ke empat adalah mazhab Syafi’i, Imam Syafi’i mempunyai dua kitab
yang sangat populer yaitu kitab al-Umm sebagai kitab fiqh dan al-Risalah sebagai kitab Ushul
Fiqh. Kitab al-Risalah di tulis sebagai pembelaan diri Abdurrahman al-Mahdi sebagai ahl al-
hadis yang tinggal dikalangan ahl al-Ra’yi sampai saat ini kita ini dikenal sebagai kita Ushul
Fiaq pertama.

Kemudian terakhir adalah mazhab Hanabali, Imam Ahmad bin Hanbal menulis kita yang
populer dalam bidang hadis yakni kita Musnad Ahmad bin Hanbal. Kendati ia menulis kitab

12
Rohman, F. (2017, Januari-Juni). Kontribusi Para Fuqaha’ Periode Taqlid. Jurnal Studi Hukum Islam, 4(1), hal 145
13
Nurrohman, 2012, Formalisasi Syariat Islam di indonesia, Jurnal Ar-Risalah, Vol. 12, No. 1,hal 63
hadis tetapi ia lebih populer sebagai ulama fiqh, sampai ia lebih dikenal dengan tokoh utama
mazhab Hambali.

2. Masa Jumud

Masa mazhab adalah masa yang sangat sempurna dalam sejarah perkembangan hukum
(fiqh), pada masa ini munculnya para mujtahid muthlaq yang berpikir mandiri dengan tidak
menyandarkan pendapatnya kepada mujtahid-mujtahid tertentu atau juga tidak menyandarkan
pendapat mereka kepada kelompok atau mazhab tertentu. Mereka yang menjadi mujtahid
muthlaq ini selanjutnya mengimami lahirnya Mazhab : Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi’i dan Mazhab Hambali.

Upaya yang mereka lakukan sebagaimana disebutkan sangat luar biasa dalam berijtihad
sampai kepada mensistematisasikan meterai hukum berdasarkan pikiran mereka. Kemudian
mengkaji ilmu secara lengkap dan hampir tidak ada yang celah dan luang untuk para pengkaji
selanjutnya.

Pada masa Jumud para mujtahid tetap ada dan mereka melakukan ijtihad, ijtihad yang
mereka lakukan tidak mandiri (sebagai mujtahid muthlaq) tetapi bergantung pada mazhab
tertentu, seperti yang dilakukan oleh Imam Nawawi yang berijtihad sebagai pengikut mazhab
Syafi’i demikian juga dengan Imam al-Gazali. Dan Ibn Thaimiyyah berijtihad sebagaipengikut
Mazhab Hambali. Demikian juga halnya dengan mujtahid-mujtahid yang lain yang
kenyandarkan ijtihadnya kepada mazhab tertentu. Selanjutnya kegiatan mujtahid pada masa
Jumud adalah mensyarah kitab-kitab yang ditulis oleh ulama mazhab. Pengakuan terhadap
hebatnya Imam Mazhab dan lengkapnya kitab-kitab yang ditulis oleh Imam mazhab, membuat
ulama-ulama selanjutnya tidak berani berijtihad bahkan sampai kepada menutup pintu ijtihad.
Karena tidak adanya ijtihad lagi maka kegiatan ulama setelah mensyarah kitab-kitab kemudian
menyusun kitab-kitab mukhtasar.14

Inilah bentuk pola pikir pada masa Jumud sehingga selanjutnya muncul dalam masyarakat
istilah taqlid, ittiba’ dan selanjutnya muncul istilah bid’ah. Yang jelas pada masa Jumud ini pola

14
Ahmad Faisal,2010 “Nuansa Fiqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh,” Jurnal Al-Ulum IAIN Sultan Amai Gorontalo 10,
no. 2,hal 186
yang dianut dikalangan ulama adalah berpikir pesimis dan sikit sekali mereka memunculkan
inovasi yang rasional.

3. Generasi Jumud

Kemajuan teknologi saat ini tidak bisa dibendung dan sebenarnya juga tidak perlu
dibendung, karena teknologi merupakan hasil dari kemajuan karya dan karsa (budaya) manusia.
Teknologi disesuaikan dengan perkembangan zaman, bila zaman masih dalam masa pertanian
maka teknologi juga disesuaikan dengan kebutuhan petani, jika kemajuan menuju era industri
maka teknologi disesuaikan dengan kebutuhan era industri, demikian selanjutnya dengan
kemajuan media dan telekomunikasi. Sebenarnya tidak ada cita-cita dari kemajuan teknologi
untuk membuat manusia dirugikan, malah sebenarnya kemajuan teknologi menjadikan manusia
hidup lebih mudah, lebih capat dan lebih pasti.Namun ketika teknologi mencapai kemajuan yang
luar biasa kita melihat kreatifas generasi muda mulai hilang, karena menurut mereka semua
kebutuhan dan permasalahan hidup telah mampu dijawab dan dipenuhi oleh teknologi.
Berbanding dengan kemajuan yang dilakukan oleh ulama mazhab yang melahirkan masa dan
generasi yang Jumud.

Ada beberapa bukti dikalangan generasi muda untuk dapat kita masukkan kedalam pola
pikir Jumud, diantaranya bila kita bertanya tentang cita-cita mereka selalu menjawab tidak tau
dan tidak ada upaya yang mereka lakukan untuk mengetahui masa depan, mereka selalu
mengkritisi apa yang orang lain lakukan tetapi mereka tidak mempunyai gambaran masa depan
sebagai ganti dari apa yang mereka kritisi. Ketidakmampuan menggambar masa depan tentu di
karenakan mereka merasa kemajuan saat ini melampaui kemampuan mereka, sehinga mereka
merasa terkagum-kagum dengan keadaan yang ada. Paling nanti mereka akan berupaya memoles
keindahan masa kemajuan demi keindahan masa selanjutnya. Untuk itu diperlukan munculnya
para tajdid yang mempunyai kemampuan untuk mengajak generasi muda membentuk pola pikir
yang inovatif, rasional, optimis dan berorientasi ke depan. 15

C. TANTANGAN HUKUM ISLAM MASA KONTEMPORER

15
Nurrohman, (2015), Hukum Islam di Era Demokrasi: Tantangan dan Peluang bagi Reformasi Politik Syari’at Islam
di Indonesia, Jurnal Addin, Vol. 9, No. 1, hal 124
Tantangan Internal hukum Islam yang ada sekarang, pada umumnya merupakan hasil ijtihad
ulama terdahulu, yaitu hasil ijtihad para ulama masa keemasan hukum Islam periode keemasan
yang sejak awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat hijriyah. Para ulama yang datang
kemudian, sudah merasa puas dengan hasil ijtihad para ulama terdahulu, mereka tidak
membutuhkan lagi ijtihad baru, mereka cukup menerapkan hasil ijtihad yang sudah ada. Apabila
dicermati secara seksama, secara internal ada beberapa faktor yang menjadi tantangan hukum
Islam di masa modern, yaitu :

1. Hukum Islam bercampur baur dengan hukum adat setempat. Tidak dapat dipungkiri,
bahwa hukum Islam dapat bercampur-baur dengan hukum adat (daerah setempat),
karena masuknya Islam di suatu daerah mengakibatkan terjadi interaksi sosial dengan
masyarakat setempat yang telah memiliki akar adat dan budaya yang begitu kuat. Proses
intraksi yang berlangsung begitu lama, sehingga dalam masyarakat, terkadang sulit
dibedakan mana hukum Islam yang murni, mana hukum adat setempat dan mana hukum
yang sudah bercampur dengan hukum adat setempat, karena mereka menganggap adat
(urf) merupakan salah satu metode pengambilan hukum, sehingga keberadaannya tidak
dapat dipisahkan dalam sistem hukum Islam.
2. Hukum Islam umumnya tidak berlaku pada negara yang mayoritas berpenduduk
muslim. Tidak berlakunya hukum Islam secara formal pada negara-negara yang
mayoritas Islam seperti Indonesia, merupakan suatu yang menarik diteliti, padahal
dalam ajaran Islam, terdapat penekanan untuk menerapkan hukum Islam bila sedang
memutuskan suatu perkara.
3. Belum munculnya kader mujtahid yang serius. Belum munculnya kader mujtahid yang
serius, sebagai bukti masih adanya rasa enggan untuk berijtihad di kalangan mujtahid,
karena hampir semua persolaan fiqh yang muncul sudah dibahas oleh ulama-ulama fiqh
terdahulu melalui buku-buku fiqh yang diterbitkan. Di samping itu, calon ulama dan
ulama-ulama Islam lebih banyak tertarik pada wilayah politik praktis, apalagi disinyalir
wilayah ini cukup menjanjikan dalam hal profit. Sedangkan wilayah fiqh, masih
dianggap kering dan lemah dari sisi profit.
4. Belum adanya kepercayaan kepada penegak hukum. Belum adanya kepercayaan kepada
penegak hukum khususnya penegak hukum dari lembaga-lembaga peradilan Islam, hal
itu terjadi karena kurangnya publikasi dengan baik dari lembaga ini tentang eksistensi
dan peranannya dalam menegakkan hukum Islam secara formal. Sehingga ummat Islam
lebih banyak memilih untuk menyelesaikan masalahnya. Disamping itu para penegak
hukum (hakim) sudah banyak yang terkontaminasi dengan istilah mafia peradilan,
sogok menyogok dan lainlain. Sehingga citranya sudah tidak baik dimata masyarakat.
5. Dunia Islam masih menganggap rendah hukum dan sarjana hukum Islam. Pandangan
dunia Islam yang masih menganggap rendah hukum dan sarjana hukum Islam lebih
disebabkan oleh kuatnya dominasi hukum Barat (orientalis) dalam dunia Islam,
sehingga timbul sikap remeh terhadap eksistensi hukum, sehingga menjadikan sarjana
hukum Islam merasa tidak memiliki percaya diri dan otoritas yang penuh untuk
melakukan ijtihad secara serius.
6. Bahasa hukum Islam Kuno. Pengunaan bahasa hukum Islam masih terkesan kuno,
karena istilah-istilah (term) hukum umumnya sudah dimonopoli oleh hukum Barat,
sehingga istilah-istilah hukum Islam menjadi tersisihkan.

Dalam konteks Indonesia, hukum Islam yang cocok dengan daerah tertentu belum tentu
cocok dengan daerah lain. Hukum Islam yang dirumuskan dalam kitab-kitab fiqih klasik juga
belum tentu cocok dengan kondisi masa kini. Oleh karena itu qonunisasi atau orang menyebut
formalisasi hukum Islam berpotensi mengekang perkembangan hukum Islam yang selalu
berkembang akibat dibukanya pintu ijtihad. Sebab hukum Islam yang ditetapkan oleh Negara
dalam bentuk qanun akan cepat ketinggalan zaman. Contohnya adalah Kompilasi Hukum Islam
yang dilegalkan atau disahkan penggunaannya melalui instruksi presiden pada tahun 1991.
Kompilasi yang baru berumur satu setengah dasa warsa ini telah menuai banyak kritik dari
banyak intelektual muda Islam di Indonesia karena beberapa bagiannya sudah tidak relevan
dengan perkembangan zaman.

Tantangan Ekternal, ada dua real eksternal yang dihadapi hukum Islam dalam perjalanan
sejarahnya hingga saat ini. Pertama, Pandangan negatif dari sebagian orientasi tentang eksistensi
hukum Islam, dan kedua : munculnya berbagai masalah-masalah baru yang membutuhkan
ketetapan hukum yang cepat dan tepat. Tantangan hukum Islam eksternal yang lain adalah
munculnya berbagai macam persoalan-persoalan baru di abad modern ini sebagai konsekuensi
dari perkembangan peradaban manusia, yang menuntut jawaban dan ketetapan hukum dengan
segera, misalnya munculnya fenomena cybersex yang kini sedang melanda dunia, praktik
cloning atau masalah beredarnya pil penghancur janin (aborsi) merek RU-486, yang baru-baru
ini disahkan pemakaiannya oleh pemerintah Amerika Serikat, yang katanya telah melalui
perdebatan selama 12 tahun. Pemakaian pil aborsi tersebut akan memudahkan proses aborsi,
tanpa harus ditangani oleh dokter atau dukun.

PPENUTUP

Kesimpulan

Umat Islam pernah mengalami masa keemasan, yang kemudian dikenal dengan istilah the
Golden Age of Islam, yakni masa sejak runtuhnya Daulah Umayyah (sekitar abad ke-2 H)
sampai pertengahan abad ke-4 H. Salah satu khalifah yang memimpin pada masa ini, Harun ar-
Rasyid,memberi perhatian besar dan penghargaan yang tinggi terhadap dunia ilmu pengetahuan,
terutama fiqh.

Dinamika Perkembangan fiqih pada masa Jumud dan Stagnasi, ada 3 yaitu Masa
Sebelum Masa Jumud, Masa Jumud, Generasi Jumud.

Tantangan Internal hukum Islam yang ada sekarang, pada umumnya merupakan hasil
ijtihad ulama terdahulu, yaitu hasil ijtihad para ulama masa keemasan hukum Islam periode
keemasan yang sejak awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat hijriyah. Para ulama
yang datang kemudian, sudah merasa puas dengan hasil ijtihad para ulama terdahulu, mereka
tidak membutuhkan lagi ijtihad baru, mereka cukup menerapkan hasil ijtihad yang sudah ada.

Saran

Dengan disusunnya ini semoga dapat menambah pengetahuan serta wawasan para
pembaca. Penulis menyadari penulis buat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis sarankan agar pembaca mempunyai referensi lain terkait materi yang dipaparkan penulis.
Apabila ada benarnya maka itu semata-mata karena. Pertolongan Allah SWT, dan apabila ada
kesalahan maka itu murni dari kesalahan penulis. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar penulis dapat memperbaiki
lagi pada penulisan yang selanjutnya.

DAFTAR RUJUKAN
Abdul Ghofur dan Sulitiyono, (2014), Peran Ulama dalam Legislasi Modern Hukum Islam,
Jurnal Asy-Syirah, Vol. 49, No. 1

Asmani Jamal Makmur, 2014. “Fikih Sosial Kiai Sahal Sebagai Fikih Peradaban,” Al-
Ahkam; Jurnal Pemikiran Hukum Islam 24, no. 1

Andi Darna, 2021. “PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA: KONSEP


FIQIH SOSIAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM HUKUM KELUARGA,” Jurnal El-
Usrah UIN Ar- Raniry Aceh 4, no. 1

Ahmad Faisal,2010 “Nuansa Fiqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh,” Jurnal Al-Ulum IAIN
Sultan Amai Gorontalo 10, no. 2

Arief Aulia, 2017, “METODOLOGI FIQH SOSIAL M.A. SAHAL MAHFUDH,” Jurnal
El- Maslahah 7, no. 02

Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A. 2018, Μ.Η.,TARIKH TASYRI’ SEJARAH PEMBENTUKAN
HUKUM ISLAM, penerbitan pada PT BajaGratindo Persada, Depok, Rajawali Printing hal 50

Hasan Asari,2019 Sejarah Islam Modern: Agama dalam Negoisasi Historis Sejak Abad
XIX, (Medan: Perdana Pusblishing).

Muhammad Mahrusillah, 2018. “FIKIH SOSIAL KIAI SAHAL


MAHFUDH:PENGEMBANGAN KEMANDIRIAN EKONOMI PESANTREN DAN
MASYRAKAT,” Jurnal Al-Mizan 2, no. 02

Nurrohman, (2015), Hukum Islam di Era Demokrasi: Tantangan dan Peluang bagi
Reformasi Politik Syari’at Islam di Indonesia, Jurnal Addin, Vol. 9, No. 1

Nurrohman, 2012, Formalisasi Syariat Islam di indonesia, Jurnal Ar-Risalah, Vol. 12, No. 1

Nurrohman,2019, Syari’at islam dan Hukum Nasional (Problematika Transformasi dan


Integrasi Hukum Islaim Kedalam Hukum Nasionall, Jurnal Tajitid, Vol. 26, No. 2

Nawawie, H. (2014). Tarikh Tasyri’. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.


Rohman, F. (2017, Januari-Juni). Kontribusi Para Fuqaha’ Periode Taqlid. Jurnal Studi
Hukum Islam, 4(1)

Yayan Sopian, 2018. Tarikh Tasyri Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: PT Raja
Grafindo Persada).

Yayan Sopyan,2010, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok:


Gramatha Publishing. Abdul Ghofur dan Sulitiyono, (2014), Peran Ulama dalam Legislasi
Modern Hukum Islam, Jurnal Asy-Syirah, Vol. 49, No. 1

Anda mungkin juga menyukai