Anda di halaman 1dari 14

Laporan Penelitian

Tradisi Lolal di Dusun Sendanghaji Kecamatan Merakurak,


Kabupaten Tuban
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Multikultural semester 7
Program Studi Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu:
Irfa’i A. Mubaidilla, M.Pd

Oleh :
Nama anggota kelompok 3

1. Nisa Mulia (202501007)


2. Oktaviana (202501095)
3. Aniqotul Faridah ( 202501009)
4. Nur Akmala Shofiya (202501034)
5. Devi Kholifatin Nurul Faiz 202501037

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA TUBAN
2023
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas izin dan karunianya kami dapat
menyelesaikan observasi multikultural ini dengan baik. Tidak lupa sholawat serta salam
kami curahkan kepada Rasulullah SAW dengan ucapan Allahumma Sholli Ala Sayyidina
Muhammad, Semoga syafaatnya bisa mengalir pada kita nanti di hari kiamat nanti.
Laporan observasi kami yang berjudul “Tradisi Lokal di dusun Sendaghaji Kecamatan
Merakurak ,Kabupaten Tuban” ini sengaja kami susun untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah “Pendidikan Multikultural”. Peneliti menyadari bahwa dalam
penulisan laporan observasi ini tidak lepas dari bimbingan serta bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Irfa’i A. Mubaidilla, M. Pd. I. Selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Multikultural di kelas PAI Semester VII A
2. Teman-teman kelompok 3 yang ikut membantu dalam penyusunan laporan observasi ini.
Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan laporan observasi ini masih jauh dari kata
sempurna. Akan tetapi dengan disusunnya laporan observasi ini, peneliti berharap semoga
laporan observasi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca
kedepannya.
Akhir kata dari peneliti, apabila dalam penulisan laporan observasi ini masih banyak
kekurangan baik dari penulisan, pengolahan kata, dan lain sebagainya peneliti mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Tuban, 10 Desember 2023


Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara multikultural yang memiliki banyak tradisi yang
menjadi ciri khas setiap daerahnya. Dengan keanekaragaman suku, ras, dan budaya
menjadikan Indonesia sebagai negara multikultural. Multikultural merupakan kata
sifat yaitu multi dan culture. Secara umum kata multi berarti banyak, ragam, dan atau
aneka. Kata culture bermakna kebudayaan, kesopanan dan atau pemeliharaan.
Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku dan budaya yang berlimpah
dan bermacam-macam, dengan begitu negara Indonesia menjadi salah satu negara
dengan objek wisata yang melimpah serta berisikan pengetahuan mengenai suku dan
budaya yang terdapat pada setiap daerah, sehingga berwisata tidak hanya sekadar
jalan-jalan namun juga dapat menambah wawasan mengenai kebudayaan yang
dikunjungi.(Abdullah, 2011: 105).
Paham multikulturalisme lahir dilatarbelakangi adanya kebutuhan akan pengakuan (the
need of recognition) terhadap kemajemukan budaya yang menjadi realitas sehari-hari
banyak bangsa termasuk Indonesia (Tilaar,2004:24).
Berbicara mengenai tradisi di Indonesia, masing-masing daerah tentunya mempunyai
tradisi yang masih berlaku dari zaman nenek moyang hingga sekarang, tradisi tersebut
dijaga agar kelestarian mengenai budaya yang terdapat dalam daerah tersebut terjaga
dengan baik dan dapat dilanjutkan hingga penerus selanjutnya. Pemerintah pun ikut
andil dalam menjaga kelestarian budaya yang terdapat pada daerah tersebut, sehingga
sektor wisata dapat berisikan. Wawasan mengenai budaya. Di Tuban sendiri terdapat
banyak sekali tradisi lokal yang masih dilestarikan hingga saat ini. Beberapa tradisi
lokal tersebut antara lain: sedekah bumi/manganan, Sortana,Mitoni,Kelemen, Mudun
Lemah, tayuban/sindir, ketoprak, rabu wekasan dan masih banyak lagi. Fokus
penelitian kali ini bertempat di dusun Sendanghaji, Kecamatan Merakurak, Kabupaten
Tuban. Disana terdapat beberapa tradisi lokal antara lain: bumi/manganan,
Sortana,Mitoni,Kelemen, Mudun Lemah, Untuk lebih jelasnya peneliti akan
menjelaskan hasil dan pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tradisi manganan di dusun Sendanghaji?
2. Bagaimana tradisi sortana di dusun Sendanghaji?
3. Bagaimana tradisi mitoni di dusun Sendanghaji?
4. Bagaimana tradisi kelemen di dusun Sendanghaji?
5. Bagaimana tradisi mudun lemah di dusun Sendanghaji?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas peneliti melakukan observasi di lokasi tersebut
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui pelaksanaa tradisi manganan di dusun Sendanghaji.
2. Mengetahui pelaksanaa tradisi sortana di dusun Sendanghaji.
3. Mengetahui pelaksanaa tradisi mitoni di dusun Sendanghaji.
4. Mengetahui pelaksanaa tradisi kelemen di dusun Sendanghaji.
5. Mengetahui pelaksanaa tradisi mudun lemah di dusun Sendanghaji.
BAB II
KAJIAN TEORI

Tradisi yang disebut juga dengan ritual adat ini adalah bentuk tradisi masyarakat
Indonesia dan masih banyak digunakan oleh masyarakat pendukungnya. Peran upacara
selalu untuk mengingatkan orang tentang hubungan mereka dengan masyarakat. Sampai
saat ini, keberadaan upacara keagamaan, dalam berbagai bentuk dan metode, masih dikenal
dan dipraktikkan dengan baik. Tradisi dalam arti lain adalah adat dan kebiasaan yang telah
diwariskan secara turun temurun dan masih diwariskan oleh masyarakat. Masyarakat
biasanya. Memanifestasikan dirinya sebagai semacam penilaian bahwa cara terbaik untuk
memecahkan masalah adalah melalui sarana yang ada. Tradisi biasanya masih dianggap
sebagai metode atau model terbaik sampai ada pilihan lain. Radisi dapat muncul di tengah-
tengah masyarakat, menyebar ke adat, budaya, adat tetangga, dll, dan dijadikan model
kehidupan. Istilah tersebut tidak pernah dikenal kecuali jika berkaitan dengan budaya,
pewarisan dari satu generasi ke generasi lainnya, atau praktik interaksi antar kelompok.
Tradisi bisa dikatakan hasil ciptaan manusia yang selaras dengan inti keyakinan agama.
Tentu saja, Islam membenarkannya. Hal ini menunjukkan bagaimana Warrisongo tetap
mempertahankan tradisi Jawa yang tidak menyimpang dari ajaran Islam (Dendy Sugono,
2008:1543).
Tradisi adalah ruh budaya, tanpa tradisi budaya dapat bertahan, dan dengan tradisi
hubungan antara individu dengan masyarakatnya dapat harmonis. Tradisi memperkuat
sistem budaya. Kebudayaan diharapkan akan lahir ketika tradisi-tradisi yang ada di
masyarakat menghilang. Tradisi biasanya didasarkan pada filosofi hidup masyarakat dan
diproses berdasarkan kepercayaan dan nilai- nilai yang diakui kebenaran dan kegunaannya.
Jauh sebelum munculnya agama, orang memiliki pendapat tentang diri mereka sendiri.
Lingkungan alam dan alam gaib mempengaruhi tradisi, khususnya tradisi keagamaan
tertentu. Memang peradaban manusia pasti menemukan ritual yang berpadu dengan
kekuatan supranatural (Abu Yasid, dkk, 2005:249).

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, dengan jenis penelitian deskriftif. Penelitian kualitatif adalah suatu
proses penelitian untuk memahami fenomena-fenomena manusia atau sosial dengan
menciptakan gambaran yang menyeluruh dan kompleks yang dapat disajikan
dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari sumber
informan, serta dilakukan dalam latar setting yang alamiah (Walidin, Saifullah &
Tabrani, 2015: 77).
Tujuan dari penelitian deskriftif ini adalah untuk memberikan gambaran
tentang suatu gejala yang terjadi dimasyarakat tertentu. Dalam penelitian ini
peneliti berusaha menggali informasi dan mendeskrifsikan tentang pengembangan
alat evaluasi tes dan non tes.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian tentang tradisi lokal yang peneliti pilih yaitu bertempat di Dusun
Sendangsari, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data di lapangan dalam rangka mendeskripsikan dan
jawaban permasalahan yang sedang diteliti, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)observasi, (2)wawancara
(3) dokumentasi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

“Tradisi Lokal di Dusun Sendanghaji Kecamatan Merakurak,


Kabupaten Tuban”

Dusun Sendanghaji adalah desa yang berada di kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban,
Jawa Timur, Indonesia. Desa Sendanghaji ini terdiri dari 2 dusun yaitu dusun sadang dan
terate ini memiliki tradisi yang sama, akan tetapi fokus penelitian kali ini difokuskan di
dusun Sendanghaji yang memiliki 8 RT dan 2 RW.
Kembali ke fokus penelitian kali ini, peneliti akan memaparkan sedikit hasil observasi dan
wawancara peneliti terkait budaya lokal di dusun Sumberhaji yang peneliti laksanakan
pada hari Sabtu, 10 Desember 2023 kemarin. Adapun hasil dari observasi dan wawancara
terkait tradisi lokal tersebut yaitu:
1. Manganan / Sedekah Bumi
Masyarakat dusun Sendanghaji mayoritas penduduknya bermatapencaharian
sebagai petani Seperti yang kita ketahui, kebanyakan dari masyarakat agraris
biasanya memiliki tradisi khusus yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi
tersebut adalah tradisi manganan atau yang lebih dikenal masyarakat dengan
sebutan sedekah bumi. Tradisi manganan ini merupakan bentuk syukur masyarakat
kepada roh nenek moyang atas hasil panen dan keselamatan yang telah diberikan
(Kawana, 2017:1004).Tradisi manganan biasanya dilakukan di lagsanakan setelah
panen dengan menyembelih 2 sapi untuk 2 desa.
Bapak Mulyani menjelaskan bahwa manganan atau sedekah bumi di desa
Sendaghaji merupakan bentuk akulturasi dengan nilai-nilai agama Islam. Hal
tersebut dapat dilihat dari manganan yang dulunya ditujukan untuk memberi makan
roh nenek moyang, sekarang disisipi dengan bacaan dzikir dan do'a yang ditujukan
kepada arwah sesepuh yang sudah wafat. Tradisi manganan di dusun Sendanghaji
biasanya dilakukan setahun sekali pada bulan syawal, dzulqaidah (selo), ataupun
Dzulhijjah (besar). Disini masyarakat biasanya ada yang membawa buceng
(tumpeng) dan panggang ayam yang kemudian dimakan bersama-sama dan sisanya
dibawa pulang.
Pada acara manganan ini biasanya masyarakat dusun Sendanghaji mengadakan
tayub/sindir,solawatan dan lain Sebagai nya . Tradisi manganan merupakan suatu
tradisi yang identik dengan syukuran, yang di dalamnya terdapat berbagai ragam
bentuk kegiatan dan makanan yang mengandung nilai- nilai, nasehat, atau pesan
secara langsung untuk masyarakat setempat. Tradisi ini telah menjadi adat istiadat
dan sudah dikenal seluruh lapisan masyarakat. Tradisi manganan dilestarikan
dengan cara diwariskan dari generasi ke generasi (Alimanda, 2004: 69), Tradisi
manganan ini juga sering diidentikkan dengan tradisi nyadran atau disebut sedekah
bumi. Pada dasarnya sama belaka antara nyadran, sedekah bumi dan manganan.
Ketiganya memiliki persamaan yaitu sama-sama diwujudkan oleh suatu kelompok
atau masyarakat dalam rangka memberikan penghormatan terhadap apa yang
mereka rasakan dan percayai sebagai yang gaib, seperti arwah leluhur. Mayoritas
orang Sendanghaji melakukan Manganan dengan membaca Tahlil bersama warga”.
Pada mulanya tradisi manganan dipandang sebagai bagian dari tradisi Hindu-
Budha. Awalnya disebut nyadran, yakni sejenis upacara penghormatan atau
peringatan pada nenek moyang yang kemudian diubah menjadi manganan. Kalau
ada yang percaya hal-hal gaib yang disebut dayang ataupun mbah buyut (nenek
moyang), sebenarnya itu bukan demit, setan ataupun iblis, melainkan yang
dimaksud adalah orang yang telah berjasa pada zaman dahulu untuk desa tersebut.
Tradisi manganan kini menjadi tradisi masyarakat muslim di Desa Sendanghaji,
Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban karena mengandung nilai- nilai Islam
dan keseluruhan adat istiadat Jawa.
2. Sortana
Kebiasaan yang dilaukan oleh orang-orang yang ada di dusun sendaghaji ketika ada
seseorang yang meninggal dunia, sebagai berikut: Ketika ada orang yang sudah
meninggal maka salah satu dari family akan pergi ke musolla terdekat untuk
memberi tahukan kabar duka tersebut dengan cara di umumkan dengan
menggunakan microfon agar tetangga lainnya mengetahui kabar duka tersebut. Dan
setelah itu biasanya para tetangga yang mendengar akan hadir ke rumah orang yang
telah meninggal orang yang laki-laki sebagian biasanya ada yang pergi ke kuburan
untuk menggali kuburan dan sebagian lagi membantu untuk mengurusi pemandian
dan lain-lain.
Adapun di dusun Sendanghaji perempuan biasanya sebagian membantu di dapur,
mengaji yasin dan sebagian lagi membaca burdah. Dan bagi pelayat yang
membawa anak yang masih kecil, kupingya dikasih kapur, orang sumber papan
menyebut kegiatan ini dengan membuang (menolak balak) balak dan pihak
keluarga dari orang yang meninggal membagikan uang recehan yang di bungkus
dengan Koran, dengan tujuan untuk meringankan beban psikologis terhadap orang
yang ditinggal.
Dan tuan rumah juga membakar keminyan di dalam rumah dan di tempat
pemandiannya karena supaya mayat kembali dalam keadaan harum dan juga
diyakini bahwa dengan hal tersebut mayat akan didekati malaikat, karena malaikat
suka terhadap wewangian. Setelah mayat selesai dimandikan, dikafani dan di
sholati, sebelum diantar ke kuburan, mayat dibawa ke depan rumah lurus dengan
pintu hal ini bertujuan untuk memamitkan mayat kepada keluarganya karena hari
itu adalah hari terakhir mayat tersebut melihat keluarganya dan tetangganya. Dan
saat itu posisi mayat dihadapkan ke rumahnya karena pada saat itu adalah hari
terakhir mayat tersebut melihat rumahnya yang selama masa hidupnya dia tempati.
Dan juga dari pihak keluarga ada yang mengambil genting rumahnya dan
dijatuhkan yang itu menandakan patahnya hati karena ditinggal oleh orang yang
selama hidupnya tinggal satu rumah bersama orang yang meniggal tersebut
(mayat).
Dan setelah itu barulah mayat di antarkan ketempat peristirahatan terakhirnya
(kuburan). Dan setelah mayat sudah di kubur dan orang yang membantu sudah
pulang, jika orang yang meninggal mempunyai anak yang masih belum baligh
anaknya tersebut dimandikan di atas kuburan orang. Dan setelah itu barulah mayat
di antarkan ketempat peristirahatan terakhirnya (kuburan). Dan setelah mayat sudah
di kubur dan orang yang membantu sudah pulang, jika orang yang meninggal
mempunyai anak yang masih belum baligh maka anaknya tersebut dimandikan di
atas kuburan orang tuanya yang meninggal dengan menggunakan air kelapa muda
yang di belah tepat diatas kepala anak tersebut. Namun kebiasaan seperti ini tak
lagi dilakukan oleh masyarakat dusun sumber papan karena menurut para
“HABAIT” kegiatan semacam ini tidak sesuai dengan syari’at islam, bahkan
menurut mereka kegiatan semacam ini mengandung unsur kemubaddziran (isyraf)
dan sebagian dari mereka juga ada yang mengatakan kegiatan ini adalah kebiasaan
yang dilakukan oleh orang budha.
Setelah mayat di antarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya (kuburan) di dusun
Sumber Papa nada istilah memberi “SORTANA” yang diberikan kepada orang
yang menggali kuburan pertama kali, orang yang mebaca talqin, dan yang
mewudhu’I mayat tersebut. Isi dari sortana ini adalah sebuah talam di dalamnya
ada 2 piring, piring yang satu di isi nasi dan yang satunya di isi lauk, mangkok yang
di isi kuah, cangkir yang di isi kopi, dan gelas yang di isi air dan semua itu di
berikan dengan wadahnya kepada ketiga orang yang telah di sebut tadi.Dan mulai
malam pertama sampai malam ke Tujuh tuan rumah ataupun orang yang mendapat
Musibah mengaakan acara tahlian, dan setiap orang Yang menyumbang tahlil mdi
beri sebungkus nasi Sebagai tanda terima kasih atas sumbangan tahlil Dan do’anya.
Berdasarkan wawancara Bapak Mulyani beliau mengatakan bahwa tradisi ini
masayarakat setempat masih melestarikan tradisi sortana. Selain itu Sortana ini
juga sudah menjadi tradisi turun temurun yang tidak bisa ditinggalkan.
3. Mitoni
Mitoni adalah perayaan tujuh bulan usia kehamilan. Mitoni artinya menjelang pitu
dalam bahasa Jawa artinya tujuh. Maksud diadakan acara mitoni adalah
mensyukuri kesehatan ibu bayi janin atau yang sifatnya tolak balak. Di daerah
tertentu budaya ini juga disebut tingkeban. Mitoni diadakan untuk kehamilan anak
pertama dan kehamilan medeking atau anak ketiga dengan harapan semoga menjadi
anak yang sholeh atau sholehah, menjadi anak yang berlimpah dalam rezekinya,
hormat pada orang tua, berguna bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsa
(Purwadi, 2005: 135).
Mitoni/ningkebi, tingkeban, penyelenggaraannya sesuai adat dijatuhkan hari Selasa
atau Sabru pada tanggal gasal. Seyogyanya antara tanggal tujuh dan lima belas
menurut kalender Jawa. Pemilihan tanggal gasal itu melambangkan umur
kehamilan tujuh bulan yang hitungannya adalah gasal. Dilaksanakan siang hari
biasanya mulai jam sebelas siang (Purwadi, 2005: 135). Ada beberapa piranti yang
diperlukan dalam acara mitoni, diantaranya: who-wohan, punar dua buah, kembang
setaman, daun dadap srep daun, daun. Beringin, daun andong, janur dan mayang.
Juga disediakan berbagai macam jenang: jenang abang, jenang putih, jenang
kuning, jenang ireng, jenang waras, jenang sengkolo (Gunasasmita, 2009: 39).
Persiapan dan perlengkapan upacara mitoni terdiri dari sajen siraman, kenduri dan
persiapan di tempat mandi, persiapan tumpeng robyong yaitu nasi yang dibentuk
kerucut ditempatkan di bakul nasi dari bambu delengkapi lauk pauk. Juga disiapkan
lima macam bubur (bubur baro-baro, bubur merah, merah putih, bubur putih dan
palang). Untuk kenduri disiapkan aneka makanan seperti nasi majemukan,
seperangkat nasi dengan lauk pauk, ketupat komplit, rujak dan dawet, nasi kering
dengan lauk pauk berupa kedelai, kacang, wijen yang digereng sangan (tanpa
minyak) dicampur dengan gula merah. Sedangkan untuk perlengkapan mandi,
disiapkan air bunga. Gayung dibuat dari tempurung kelapa (Purwadi, 2005: 141-
144).
Nadzaran secara bahasa berasal dari kata nadzara yang berarti “janji untuk
melakukan sesuatu”. Sedangkan secara istilah, Nadzaran diartikan sebagai janji
kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu ketika tercapai hajatnya sebagai
bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semisal ada warga Sumur Pahit yang
bernadzar ketika ia diberikan hasil panen yang melimpah ia akan menyembelih
kambing, maka ketika hal tersebut terwujud warga tersebut wajib menyembelih
kambing sebagai tebusannya. Menurut keterangan Mbah Tarji, biasanya warga
yang bernadzar akan membawa kambing sembelihannya tersebut ke Sumur Pahit
untuk disembelih, kemudian dagingnya akan dimasak dan dibagikan kepada warga
disekitar rumahnya.
4. Kelemen
Masyarakat Desa Sendanghaji memiliki suatu tradisi yang cukup unik dimana
tradisi itu sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang bermata pencaharian
sebagai petani. Tradisi ini berawal dari cerita rakyat yang merupakan bentuk
penuturan (cerita) yang tersebar secara lisan dan diwariskan secara turun temurun
dikalangan masyarakat pendukungnya secara tradisional (konvesional). Cerita
rakyat pada dasarnya tersimpan dalam ingatan manusia, sehingga cerita rakyat
tidak pernah memiliki bentuk yang tetap. Perubahan-perubahan itu dipengaruhi
oleh sebab-sebab antara lain; dalam proses penyebarannya, dan penuturannya yang
tidak mampu diingat secara menyeluruh.
Tradisi tersebut oleh masyarakat disebut tradisi upacara keleman. Upacara keleman
adalah upacara yang dilakukan ketika sawah pertanian akan diberi air irigasi agar
sawah dapat menampung air yang banyak, sehingga sawah terlihat tenggelam
dengan banyaknya air sebelum ditanami padi. Dengan harapan hasil panen yang
diperoleh bisa maksimal. Konon, di lakukan di sendang Ternyata orang tersebut
pada musim panen menuai hasil panen yang lebih dari biasanya, biar hasil panen
yang bagus Seperti itu ada do’a nya tersendiri sehingga masyarakat mencoba untuk
mengikuti cara yang dilakukan orang tersebut dengan tujuan agar hasil panennya
nanti juga melimpah. Oleh karena itu sampai sekarang tradisi tersebut terus
menerus di laksanakan dan dilestarikan.
5. Mudun Lemah
Mudun lemah ini merupakan tradisi siklus kelahiran. Tradisi ini dilakukan saat
anak mencapai umur tujuh bulan, sebagaimana diadakan tradisi tersebut,
maksudnya memperkenalkan si anak untuk pertama kalinya menginjakan tanah
atau bumi. Lebih lanjut dikemukakan oleh Indiarti et al. (2019), bahwa mudun
lemah adalah ritual selametan yang diadakan setelah sang anak kira-kira berusia
tujuh bulan, atau masa-masa anak sudah dianggap telah siap menginjak tanah untuk
pertama kalinya (Indiarti, 2019:54).
Menurut Masyarakat Sendanghaji, anak tujuh bulan harus diselamati ketika
pertama kali menginjakkan kaki di tanah. Selain itu, mudun lemah juga
dilaksanakan untuk menghormati bumi dimana manusia tinggal serta menjalankan
kehidupannya. Mudun lemah juga bertujuan menolak bala dan menghindari
dampak negatif. Secara harfiah, mudun berasal dari bahasa Jawa yang artinya
turun, dan lemalı artinya tanah atau bumi, jadi mudunl lemah mempunyai arti turun
tanah atau menginjakkan kakinya ke tanah atau bumi (Busro et al., 2018; Tim KKN
MIT DR XII, 2021). Jadi, asal usul mudun lemah adalah kegiatan yang
dilaksanakan oleh orang tua ketika seorang anak mulai menginjakkan kaki ke
tanah, saat anak berusia tujuh bulan dengan tujuan sebagai ungkapan syukur
(Busro, dkk, 2018: 127-147).

Pada masyarakat mudun lemah dikenal juga dengan nama tedhak sinten atau tedhak
siti. Berbeda dengan di Jawa, masyarakat Suku Sunda mengenal mudun lemah
dengan istilah turun tanah. Dengan demikian, mudun lemah menggambarkan
persiapan sang anak untuk menjalani kehidupan masa depan dengan benar dan
sukses, dengan. Hidayah Tuhan dan bimbingan orangtua sejak masa kanak-kanak,
dengan menjalani kehidupan yang baik dan benar di bumi sekaligus tetap merawat
dan menyayangi bumi, selain itu untuk mengingat bahwa bumi atau tanah sudah
memberikan banyak hal untuk menunjang kehidupan manusia.
Mudun lemah menurut Ibu……..narasumber yang diwawancarai, mudun lemah
adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orangtua saat anak mencapai usia tujuh atau
delapan. Bulan dengan tujuan mengungkapkan rasa syukur agar anak dapat segera
berjalan dan dapat mencapai cita-cita baik yang diharapkan oleh orangtuanya.
Lebih lanjut, Ibu Tari mengemukakan orangtua zaman dulu beranggapan
dilakukannya Mudun lemah itu untuk menolak bala karena sejak usia tujuh atau
delapan bulan, anak sudah mulai melakukan banyak aktivitas dan mulai banyak
mengenal hal baru dalam kehidupannya. Mudun lemah biasa dilakukan oleh
masyarakat kemantren sebagai kegiatan simbolis saat anak pertama kali
menginjakkan kaki ke tanah. Menurut masyarakat kemantren, saat anak mulai
menginjakkan kaki ke tanah berarti anak sudah dapat melaksanakan berbagai
macam aktivitas untuk mengembangkan kemampuannya. Dalam kegiatan mudun
lemah diperlukan berbagai macam perlengkapan guna menunjang pelaksanaan
kegiatan mudun lemah. Dalam mudun lemah terdapat perlengkapan sebagai bagian
dari mudun lemah. Perlengkapan itu berupa sesaji selametan, juwadah uli, sekar,
tangga, sangkar ayam, perhiasan, dan barang bermanfaat lain, Sesaji selametan
merupakan berbagai macam makanan atau kue yang disediakan dalam mudun
lemah (Musdalifah, dkk, 2021:61-65).

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Dusun Sendaghaji merupakan salah satu dusun yang berada di desa Bektiharjo kecamatan
Semanding kabupaten Tuban. Desa bektiharjo ini terdiri dari 2 Dusun terkait tradisi lokal
yang ada di daerah Tuban ini peneliti fokuskan di dusun Sendaghaji Tuban. Alasan peneliti
meneliti tradisi lokal di dusun ini yaitu dikarenakan dusun ini memiliki tradisi lokal yang
jarang ditemui di daerah lain. Adapun tradisi lokal yang dimaksud tersebut adalah tradisi
Manganan, sortana, kelemen, Mudun lemah, Mitoni. Tradisi ini sendiri merupakan tradisi
yang sudah diwariskan secara turun temurun dan dilestarikan warga hingga saat ini.
DAFTAR RUJUKAN

Abdullah Aly. 2011. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. Cet. I. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Alimanda 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.

Abu Yasid, Figh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer, Yogyakarta: Pus Pelajar, 2005. Him. 249

Busro, B., & Qodim, H. (2018). Perubahan Budaya dalam Ritual Slametan Kelahiran di
Cirebon, Indonesia. Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat, 14(2), 127-147.

Dendy Sugono,2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,. Him. 1543.

Devi, Amalia. 2015. “Solidaritas Sosial dalam Peristiwa Kematian pada Masyarakat Dusun
Ngulu Tengah, Desa Pracimantoro, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri” dalam
Sosialitas: Jurnal Ilimah Pendidikan Sosiologi Antropologi, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta. Vol 5, No 2 (2015)

H.A. Tilaar. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa depan dalam


transformasi pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana.

Indiarti, W., & Nurchayati, N. (2019), Olah Rasa Ujung Timur. Elmatera Publishing.

Musdalifah, A., & Yunanto, T. A. R. (2021). Tradisi Tedhak Siten Terkandung Konsep Self
Efficacy Masyarakat Jawa. Pamator https://doi.org/10.21107/pamator.v14i1.9559 Journal,
14(1), 61-65

Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa -Menggali Untaian Kearifan Lokal.

Subagya, Tri. 2005. Menemui Ajal: Etnografi Jawa tentang Kematian. Yogyakarta: Kepel
Press.

Walidin, W., Saifullah, & Tabrani. (2015). Metodologi penelitian kualitatif & grounded
theory. FTK Ar-Raniry Press.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai