Anda di halaman 1dari 12

Lontong Makanan Tradisional yang Masih Populer

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Ditulis Oleh
Muhammad Fauzan Alif., Cholid Anwar Hidayat

Abstrak
Makanan tradisional merupakan makanan yang diperoleh secara turun temurun dan di
setiap daerah mempunyai ciri khas yang berbeda-beda. Makanan tradisional Indonesia sangat
banyak macamnya, berdasarkan tingkat eksistensinya dalam masyarakat hingga saat ini.
Keanekaragaman makanan tradisional yang ada dipengaruhi oleh keadaan daerah atau tempat
tinggal dan budaya yang ada di daerah tersebut. Dengan banyaknya keanekaragaman makanan
tradisional dalam suatu daerah, tidak sedikit pula makanan tradisional yang hampir terlupakan
oleh masyarakat saat ini. Penelitian ini dilakukan di Wirobrajan, Yogyakarta menggunakan
metode wawancara dengan tujuan untuk untuk mengetahui kepopularan lontong, asal- usul dan
nilai- nilai disekitarnya, serta mengetahui mengapa lontong merupakan makanan tradisional yang
masih popular sampai saat ini.
Kata Kunci: Makanan, Makanan tradisional, Lontong
Abstract
Traditional food is food that is obtained from generation to generation and in each region has
different characteristics. There are many kinds of traditional Indonesian food, based on their
level of existence in society today. The diversity of traditional foods that exist is influenced by
the conditions of the area or place of residence and the culture that exists in the area. With the
diversity of traditional foods in an area, not a few traditional foods are almost forgotten by
today's society. This research was conducted in Wirobrajan, Yogyakarta using the interview
method with the aim of knowing the popularity of lontong, its origins and surrounding values, as
well as knowing why lontong is a traditional food that is still popular today.
Keywords: Food, Traditional food, Lontong
Pendahuluan

Makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuh oleh setiap orang. Makanan
merupakan kebutuhan manusia untuk menunjang kelangsungan hidup yang berguna untuk
pertumbuhan dan membangun sel tubuh, menjaga agar tetap sehat dan berfungsi sebagaimana
mestinya. Dapat dikatakan bahwa fungsi makan secara umum antara lain makanan sebagai
sumber tenaga, makanan sebagai bahan pembangun serta pertumbuhan tubuh, dan makanan
sebagai pengatur aktivitas tubuh. Oleh karena itu, setiap makhluk hidup membutuhkan makan
untuk kelangsungan hidupnya.

Tradisi berasal dari bahasa latin yaitu tradisio, yang berarti kabar atau penerusan. Tradisi
dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang diturunkan secara turun-temurun dari suatu generasi ke
generasi berikutnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tradisional dapat diartikan
sebagai sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat
kebiasaan yang ada secara turun temurun. Tradisional juga dapat didefiniskan sebagai suatu
kebiasaan yang berasal dari leluhur yang diturunkan secara turun temurun dan masih banyak
dijalankan oleh masyarakat saat ini. Sesuatu atau seseorang dikatakan tradisional jika sikap, cara
berpikir, tindakan, atau 10 karakteristik lainnya mengikuti adat, kebiasaan, atau norma yang
diwariskan secara turun-temurun.

Makanan tradisional merupakan wujud budaya yang berciri kedaerahan, spesifik,


beraneka macam dan jenis yang mencerminkan potensi alam daerah masing-masing. Makanan
tidak hanya sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhan gizi seseorang, tetapi juga berguna
untuk mempertahankan hubungan antar manusia, dapat pula dijual dan dipromosikan untuk
menunjang pariwisata yang selanjutnya dapat mendukung pendapatan suatu daerah. Hal ini
membuktikan bahwa di Indonesia tidak hanya dikatakan akan kaya akan alamnya, namun juga
segala keaneka ragaman budaya dan makanan yang ada.

Masing-masing wilayah maupun suku bangsa di Indonesia memiliki makanan tradisional


yang berpotensi untuk dijadikan daya tarik daerahnya. Namun demikian tidak sedikit pula
makanan tradisional yang sebenarnya sangat berpotensi tersebut tidak terjaga kelestariannya dan
bahkan mungkin sudah tidak dikenal lagi oleh sebagian besar penduduknya (Minta Harsana,
2005).
Pada penelitian kali ini akan membahas tentang makanan tradisional yaitu lontong.
Pemilihan konteks Lontong ini diambil berdasarkan keputusan dari kedua penulis, yang mana
kedua penulis sepakat untuk mengangkat konteks ini dikarenakan yang pertama, konteks
Lontong ini sesuai dengan kriteria- kriteria dari tugas yang diberikan, yaitu memakai salah satu
topik yang diberikan yaitu makanan tradisional. Kedua, Lontong merupakan makanan tradisional
yang sudah umum ataupun melekat di nusantara, terutama di daerah Jawa, yang mana akan
memudahkan untuk pencarian data- data yang terkait, mulai dari jurnal- jurnal, hingga
narasumber yang akan diwawancarai sehingga dapat memenuhi pokok- pokok wawancara yang
diberikan, mulai dari profil objek, hingga nilai dan filosofinya. Ketiga, pemilihan konteks
lontong ini juga disepakati dikarenakan pada saat proses penyusunan laporan ini bersamaan
dengan hari raya Idul Fitri, sehingga akan lebih mudah dalam penyusunannya.

Tujuan dari observasi ini adalah untuk mengetahui kepopularan lontong asal- usul dan
nilai- nilai disekitarnya, serta mengetahui mengapa lontong merupakan makanan tradisional yang
masih popular sampai saat ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Wirobrajan, Yogyakarta. Pemilihan tempat ini
karena masyarakat di Wirobrajan, Yogyakarta masih banyak yang makan makanan tradisional
berupa lontong terutama pada saat berkumpul Bersama keluarga besar saat Hari Raya Idul Fitri.
Waktu penelitian dilakukan kurang lebih satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif.

Bogdan dan Tylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku
yang diamati (Lexy J. Moleong, 2010:

Metode kualitatif deskriptif menyesuaikan pendapat antara peneliti dengan informan.


Pemilihan metode ini dilakukan karena analisisnya tidak bisa dalam bentuk angka dan peneliti
lebih mendeskripsikan segala fenomena yang ada dimasyarakat secara jelas. Penelitian ini
dilakukan secara bertahap sesuai dengan jadwal yang telah dikemukakan di atas, yaitu untuk
memperoleh data secara lengkap. Data yang telah didapat dari proses wawancara dan observasi
adakan disajikan dengan bentuk deskripsi dengan menggunakan kata-kata yang mudah
dimengerti. Selain itu ada juga data yang mendukung yaitu denah lokasi dan foto-foto hasil
observasi.
Sumber data dalam penelitian kualitatif deskriptif yaitu melalui wawancara, observasi,
foto, dan lainnya. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Sumber Data Primer


Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di
lapangan. Sumber data primer merupakan data yang diambil langsung oleh peneliti
kepada sumbernya tanpa ada perantara dengan cara menggali sumber asli secara langsung
melalui responden. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Masyarakat yang
ditemui yang berada di Wirobrajan, Yogyakarta.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi kepustakaan
dengan bantuan media cetak dan media internet serta catatan lapangan. Sumber data
sekunder merupakan sumber data tidak langsung yang mampu memberikan data
tambahan serta penguatan terhadap data penelitian.

Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara memperoleh data-data yang diperlukan
dalam penelitian. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan antara lain sebagai berikut:

1. Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J.
Meleong, 2010: 186).
Ciri utama wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka antara pencari
informasi dan sumber informasi. Dalam wawancara sudah disiapkan berbagai macam
pertanyaan pertanyaan tetapi muncul berbagai pertanyaan lain saat meneliti. Melalui
wawancara inilah peneliti menggali data, informasi, dan kerangka keterangan dari subyek
penelitian. Teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas terpimpin, artinya
pertanyaan yang dilontarkan tidak terpaku pada pedoman wawancara dan dapat
diperdalam maupun dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan.
Wawancara dilakukan kepada seluruh masyarakat di Wirobrajan, Yogyakarta yang pada
saat itu ditemui ketika melakukan penelitian. Salah satunya kami melakukan wawancara
dengan ibu Marsyiah yang merupakan pembuat lontong serta pemilik usaha lontong di
daerah Wirobrajan.

Dasar Teoritis
Menurut Fardiaz D (1998), makanan tradisional adalah makanan dan minuman, termasuk
jajanan serta bahan campuran atau bahan yang digunakan secara tradisional, dan telah lama
berkembang secara spesifik di daerah dan diolah dari resep-resep yang telah lama dikenal oleh
masyarakat setempat dengan sumber bahan local serta memiliki citarasa yang relatif sesuai
dengan selera masyarakat setempat.

Menurut Marwanti (2000: 112), makanan tradisional mempunyai pengertian makanan


rakyat sehari-hari, baik yang berupa makanan pokok, makanan selingan, atau sajian khusus yang
sudah turun-temurun dari zaman nenek moyang. Cara pengolahan pada resep makanan
tradisional dan cita rasanya umumnya sudah bersifat turun temurun sehingga makanan
tradisional disetiap tempat atau daerah berbeda-beda.

Dari dua pengertian makanan tradisional di atas, dapat dikatakan bahwa makanan
tradisional merupakan makanan yang diperoleh secara turun temurun dan di setiap daerah
mempunyai ciri khas yang berbeda-beda. Makanan tradisional Indonesia sangat banyak
macamnya, berdasarkan tingkat eksistensinya dalam masyarakat hingga saat ini.
Keanekaragaman makanan tradisional yang ada dipengaruhi oleh keadaan daerah atau tempat
tinggal dan budaya yang ada di daerah tersebut. Dengan banyaknya keanekaragaman makanan
tradisional dalam suatu daerah, tidak sedikit pula makanan tradisional yang hampir terlupakan
oleh masyarakat saat ini.

Menurut Murdijati (2017), makanan tradisional ini dapat dikategorikan menjadi tiga
kelompok, antara lain:

1) Makanan tradisional yang hampir punah, Makanan tradisional yang hampir punah ini
langka dan hampir jarang dapat ditemui mungkin disebabkan karena ketersediaan bahan
dasarnya mulai sulit atau masyarakat pembuatnya mulai tidak mengerjakan lagi atau
terdesak oleh produk makanan lain, contohnya karangan, cethot, entog-entog, getas, es
semlo, dan hawuk-hawuk.
2) Makanan tradisional yang kurang populer, Kelompok makanan tradisional yang kurang
popular adalah makanan tradisional yang masih mudah ditemui, tetapi makin tidak
dikenal dan cenderung berkurang penggemarnya, dianggap mempunyai status sosial lebih
rendah dalam masyarakat, contohnya kethak, adrem, wedang tahu, lemet, bothok
sembukan, dan bajigur.
3) Makanan tradisional yang popular (tetap eksis). Kelompok makanan tradisional yang
popular merupakan makanan tradisional yang tetap disukai masyarakat dengan bukti
banyak dijual , laku, dan dibeli oleh konsumen bahkan beberapa menjadi ikon daerah
tertentu seperti gudeg, emping melinjo, gatot, thiwul, tempe benguk, kipo, dan sate
klathak. Saat ini masyarakat sedang merasakan akibat perubahan pola konsumsi
makanan, baik di negara maju maupun berkembang, peran makanan tradisional untuk
membangun pola makan sehat sangat diperlukan. Dokumentasi masyarakat tradisional
diharapkan mampu memberikan informasi bagi generasi muda untuk mengenal dan
menyadari pentingnya memanfaatkan produk negeri sendiri untuk membangun kesehatan
dan kehidupannya.

Makanan dapat dikatakan menjadi makanan tradisional apabila makanan tersebut


merupakan warisan dan merupakan ciri khas dalam suatu daerah. Pada dasarnya makanan
dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku dari daerah tempat tinggalnya sehingga setiap daerah
memiliki ciri khas makanannya masing masing. Sebagai contohnya antara lain makanan di
daerah pegunungan dengan makanan di daerah pesisir pantai. Daerah pegunungan memiliki
ketersediaan bahan makanan berupa variasi jenis tumbuhan yang dominan seperti umbi-umbian,
padi, kacangkacangan, dan sebagainya.

Sebaliknya di daerah pantai ketersediaan bahan makanan banyak yang berasal dari laut
seperti ikan, udang, cumi, dan lain sebagainya.

Cara pengolahan pada resep makanan tradisional dan cita rasanya umumnya sudah
bersifat turun temurun, serta sedikit sekali adanya inovasi produk. Menurut Sosroningrat (1991),
makanan tradisional mempunyai ciri-ciri antara lain :

1) Resep makanan yang diperoleh secara turun-temurun dari generasi pendahulunya,


2) Penggunaan alat tradisional tertentu di dalam pengolahan masakan tersebut (misalnya
masakan harus diolah dengan alat dari tanah liat),
3) Teknik olah masakan merupakan cara pengolahan yang harus dilakukan untuk
mendapatkan rasa maupun rupa yang khas dari suatu masakan.

Sedangkan menurut Djoko Sutanto dkk (1995), makanan tradisional diartikan sebagai
jenis makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat menurut golongan suku bangsa dan wilayah
spesifik berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1) Diolah menurut resep-resep makanan yang telah dikenal dan diterapkan secara turun-
temurun dalam system sosial keluarga/ masyarakat bersangkutan.
2) Diolah dari bahan-bahan makanan yang tersedia setempat baik merupaka usaha tani
sendiri maupun yang tersedia dalam system pasar setempat
3) Rasa dan tekstur makanan-makanan tersebut memenuhi selera anggotaanggota khusus
keluarga bersangkutan

Sedangkan menurut Djoko Sutanto dkk (1995), makanan tradisional diartikan sebagai
jenis makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat menurut golongan suku bangsa dan wilayah
spesifik berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1) Diolah menurut resep-resep makanan yang telah dikenal dan diterapkan secara turun-
temurun dalam system sosial keluarga/ masyarakat bersangkutan.
2) Diolah dari bahan-bahan makanan yang tersedia setempat baik merupaka usaha tani
sendiri maupun yang tersedia dalam system pasar setempat
3) Rasa dan tekstur makanan-makanan tersebut memenuhi selera anggotaanggota khusus
keluarga bersangkutan.

Makanan tradisional merupakan wujud budaya yang berciri kedaerahan, spesifik,


beraneka macam dan jenis yang mencerminkan potensi alam daerah masing-masing. Makanan
tidak hanya sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhan gizi seseorang, tetapi juga berguna
untuk mempertahankan hubungan antar manusia, dapat pula dijual dan dipromosikan untuk
menunjang pariwisata yang selanjutnya dapat mendukung pendapatan suatu daerah. Hal ini
membuktikan bahwa di Indonesia tidak hanya dikatakan akan kaya akan alamnya, namun juga
segala keaneka ragaman budaya dan makanan yang ada. Masing-masing wilayah maupun suku
bangsa di Indonesia memiliki makanan tradisional yang berpotensi untuk dijadikan daya tarik
daerahnya. Namun demikian tidak sedikit pula makanan tradisional yang sebenarnya sangat
berpotensi tersebut tidak terjaga kelestariannya dan bahkan mungkin sudah tidak dikenal lagi
oleh sebagian besar penduduknya (Minta Harsana, 2005).

Hasil Kajian dan Pembahasan

Makanan tradisional merupakan makanan yang sesungguhnya sangat sering dijumpai.


Makanan dapat dikatakan menjadi makanan tradisional apabila makanan tersebut merupakan
warisan dan merupakan ciri khas dalam suatu daerah. Pada dasarnya makanan dipengaruhi oleh
ketersediaan bahan baku dari daerah tempat tinggalnya sehingga setiap daerah memiliki ciri khas
makanannya masing masing. Makanan tradisional merupakan makanan yang diperoleh secara
turun temurun dan disetiap daerah mempunyai ciri khas yang berbeda-beda.

Keanekaragaman makanan tradisional yang ada dipengaruhi oleh keadaan daerah atau
tempat tinggal dan budaya yang ada didaerah tersebut. Keberadaaan aneka panganan yang
melimpah dipasaran dapat mempengaruhi kesukaan produk makanan tradisional, terutama pada
kalangan remaja. Namun seiring berkembangnya zaman saat ini banyak dijumpai makanan dari
barat yang mulai menggeser makanan tradisional. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran apabila
masyarakat lambat laun akan lebih tertarik dengan masakan luar daripada makanan tradisional
terutama untuk remaja sebagai generasi penerus bangsa.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa masyarakat yang berada
di Wirobrajan, Yogyakarta didapatkan hasil bahwa tradisi pembuatan lontong ini umumnya bisa
kita temui disaat hari raya Idul Fitri, namun ada beberapa toko atau pembuat lontong yang
biasanya menyuplai lontong- lontong ke pasar guna dipakai untuk berjualan di toko makanan
tradisional seperti satai, gulai, dan masih banyak lagi. Tradisi membuat lontong ini biasanya
dimulai seminggu sebelum hari raya Idul Fitri, lalu kemudian semakin dekat dengan hari raya
tersebut, semakin banyak juga jumlah lontong yang ada (dibuat). Lontong yang disajikan pada
saat Idul Fitri lengkap dengan lauk pauknya seperti opor ayam, sambal ati, rendang, dan lain
lainnya sebagai pelengkapnya. Lontong tersebut nantinya akan dimakan setelah sholat Idul Fitri
telah selesai, atau kurang lebih bersamaan dengan tradisi Halalbihalal atau saat sanak saudara
sedang berkumpul. Tradisi memakan lontong ini akan nantinya akan berakhir seiring dengan
berakhirnya masa hari raya. Selain lontong, ada juga ketupat yang disajikan. Ketupat ini hampir
sama dengan lontong berdasarkan teksturnya, akan tetapi yang membedakan adalah jika lontong
dibungkus dengan daun pisang sedangkan ketupat dibungkus dengan janur yang sudah dibentuk
menjadi ketupat.

Selain sebagai makanan tradisional yang disajikan pada saat Hari Raya Idul Fitri dan
dijual dipasar, lontong memiliki makna dan filosofis dan juga nilai nilai budaya dan pndidikan.

Makna filosofi dari ubarampe lontong antara lain yaitu nasi yang mana merupakan
makanan pokok kesaharian masyakarat jawa yang diibaratkan sebagai nafsu atau keburukan di
dalam tubuh manusia dibungkus oleh daun pisang yang diibaratkan sebagai tubuh luaran
manusia yang nantinya lontong ini sesudah dikonsumsi hanya akan menyisakan wadah daun
pisang yang kosong, maka dari itu lontong juga disebut atau memiliki nama lain yaitu “olo e dadi
kotong”.

Nilai budaya yang terkandung dalam lontong ini terdapat kebersamaan pada saat lontong
ini dibuat yang mana juga nantinya akan dimakan secara bersama dengan sanak saudara ataupun
tamu yang datang, juga keramahan saat membagikan lontong kepada warga sekitar. Hal ini juga
sejalan dengan kepercayaan para pembuat lontong yang mana lontong merupakan gambaran dari
dosa- dosa orang muslim yang dileburkan sehingga disaat hari raya Idul Fitri, semua kembali
keawal atau fitrah.
Nilai pendidikan didalam lontong ini terdapat pada pendidikan untuk selalu berbuat
kebaikan dan juga untuk selalu bertanggung jawab. Adapun juga nilai pendidikannya yaitu
berhubungan juga dengan pengembangan karakter peserta didik dalam untuk selalu bersikap baik
dan juga untuk mendidik peserta didik untuk melestarikan adat dan budaya yang ada.

Lontong yang merupakan makanan tradisional Indonesia ini diperkirakan berawal atau
berasal dari saat Islam mulai masuk ke Indonesia atau lebih tepatnya ke tanah Jawa, atau bisa
dikatakan sejarah lontong ini jika menurut sejarahnya, termasuk salah satu budaya yang berupa
makanan yang mana ikut tersebar seiiring penyebaran agama Islam saat itu. Tokoh yang terkenal
memperkenalkan lontong pertama kali kepada masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga, yang
mana awal mula terciptanya lontong ini berawal dari ketupat, atau makanan tradisional saat itu
yang juga dibuat dengan beras namun dibungkus dengan daun kelapa muda atau biasa disebut
janur. Namun karena proses pembuatan ketupat saat itu membutuhkan keahlian atau ketelitian
serta bahan baku khusus yang sudah dibuat atau diolah, membuat masyarakat Jawa saat itu
memilih daun pisang sebagai pengganti dari daun kelapa muda atau janur ini sehingga lebih
mudah untuk dibuat atau diolah. Hal inilah yang membuat lontong menjadi lebih dikenal oleh
masyarakat Jawa secara lebih luas, bahkan hingga hampir seluruh Indonesia. Saking terkenalnya
lontong, cara pembuatan lontong ini juga membuat Negara sekitar seperti Brunei, Malaysia, dan
juga Singapura juga membuat variasi lontong, yang mana tidak lain merupakan budaya serapan
yang dibawa perantau Indonesia ke negara tersebut saat itu.

Kesimpulan

Tradisi pembuatan lontong di Wirobrajan, Yogyakarta ini umumnya bisa kita temui
disaat hari raya Idul Fitri, namun ada beberapa toko atau pembuat lontong yang biasanya
menyuplai lontong- lontong ke pasar guna dipakai untuk berjualan di toko makanan tradisional
seperti satai, gulai, dan masih banyak lagi. Tradisi membuat lontong ini biasanya dimulai
seminggu sebelum hari raya Idul Fitri, lalu kemudian semakin dekat dengan hari raya tersebut,
semakin banyak juga jumlah lontong yang ada (dibuat). Lontong yang disajikan pada saat Idul
Fitri lengkap dengan lauk pauknya seperti opor ayam, sambal ati, rendang, dan lain lainnya
sebagai pelengkapnya. Lontong tersebut nantinya akan dimakan setelah sholat Idul Fitri telah
selesai, atau kurang lebih bersamaan dengan tradisi Halalbihalal atau saat sanak saudara sedang
berkumpul. Tradisi memakan lontong ini akan nantinya akan berakhir seiring dengan
berakhirnya masa hari raya. Selain lontong, ada juga ketupat yang disajikan. Ketupat ini hampir
sama dengan lontong berdasarkan teksturnya, akan tetapi yang membedakan adalah jika lontong
dibungkus dengan daun pisang sedangkan ketupat dibungkus dengan janur yang sudah dibentuk
menjadi ketupat.

Selain sebagai makanan tradisional yang disajikan pada saat Hari Raya Idul Fitri dan
dijual dipasar, lontong memiliki makna dan filosofis dan juga nilai nilai budaya dan pndidikan.

Makna filosofi dari ubarampe lontong antara lain yaitu nasi yang mana merupakan
makanan pokok kesaharian masyakarat jawa yang diibaratkan sebagai nafsu atau keburukan di
dalam tubuh manusia dibungkus oleh daun pisang yang diibaratkan sebagai tubuh luaran
manusia yang nantinya lontong ini sesudah dikonsumsi hanya akan menyisakan wadah daun
pisang yang kosong, maka dari itu lontong juga disebut atau memiliki nama lain yaitu “olo e dadi
kotong”.

Nilai budaya yang terkandung dalam lontong ini terdapat kebersamaan pada saat lontong
ini dibuat yang mana juga nantinya akan dimakan secara bersama dengan sanak saudara ataupun
tamu yang datang, juga keramahan saat membagikan lontong kepada warga sekitar. Hal ini juga
sejalan dengan kepercayaan para pembuat lontong yang mana lontong merupakan gambaran dari
dosa- dosa orang muslim yang dileburkan sehingga disaat hari raya Idul Fitri, semua kembali
keawal atau fitrah.

Nilai pendidikan didalam lontong ini terdapat pada pendidikan untuk selalu berbuat
kebaikan dan juga untuk selalu bertanggung jawab. Adapun juga nilai pendidikannya yaitu
berhubungan juga dengan pengembangan karakter peserta didik dalam untuk selalu bersikap baik
dan juga untuk mendidik peserta didik untuk melestarikan adat dan budaya yang ada.

Lampiran
Daftar Pustaka

Amelia, R., Endrinaldi, & Edward, Z. (2014). Identifikasi dan Penentuan Kadar Boraks dalam
Lontong yangDijual di Pasar Raya Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(3), 457-459

Nitisuari, N., & Wardono, P. (2014). Museum Sejarah Kuliner Traditional Indonesia. Jurnal
Tingkat Sarjana Bidang Senirupa dan Desain (ITB), 1, 1-7.

Savira, F., & Suharsono, Y. (2013). Bab 1 Makanan Tradisional. Journal of Chemical
Information and Modeling, 01(01), 1689–1699.

(3261-Article Text-9989-1-10-20210214.Pdf, n.d.)

Anda mungkin juga menyukai