0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
288 tayangan14 halaman
1. Tradisi bolong koping merupakan tradisi tindik telinga bagi laki-laki di masyarakat Bali Aga Tenganan.
2. Tradisi ini dilakukan sejak dini dan merupakan syarat bagi laki-laki untuk bergabung dalam aktivitas sosial dan upacara adat.
3. Meski mengalami modernisasi, tradisi ini tetap dipertahankan di Tenganan.
1. Tradisi bolong koping merupakan tradisi tindik telinga bagi laki-laki di masyarakat Bali Aga Tenganan.
2. Tradisi ini dilakukan sejak dini dan merupakan syarat bagi laki-laki untuk bergabung dalam aktivitas sosial dan upacara adat.
3. Meski mengalami modernisasi, tradisi ini tetap dipertahankan di Tenganan.
1. Tradisi bolong koping merupakan tradisi tindik telinga bagi laki-laki di masyarakat Bali Aga Tenganan.
2. Tradisi ini dilakukan sejak dini dan merupakan syarat bagi laki-laki untuk bergabung dalam aktivitas sosial dan upacara adat.
3. Meski mengalami modernisasi, tradisi ini tetap dipertahankan di Tenganan.
TRADISI BOLONG KOPING MASYARAKAT BALI AGA TENGANAN
PEGRINGSINGAN DI ERA MODERNISASI Kelompok 6 * Progam Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
SARI Tindik telinga, pada masyarakat umum tradisi ini merupakan tradisi yang identik dilakukan oleh seorang wanita. Jika ada seorang laki-laki yang telinganya ditindik maka masyarakat akan berpandangan negatif seperti anak nakal atau brandal, bahkan saat ini tindik telinga dijadikan hal yang diperhitungkan untuk memasuki dunia kerja. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masyarakat Bali Aga Tenganan Pegringsingan. Untuk itu penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang bagaimana latar belakang perkembangan dan keberadaan dari tradisi tindik telinga dalam masyarakat Bali Aga Tenganan di era modernisasi. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, dengan teknik wawancara dan observasi di Desa Tenganan. Pada masyarakat Tenganan tindik telinga biasa disebut dengan bolong koping. Bolong koping adalah sebuah tradisi khusus pada masyarakat Tenganan yang berupa penindikan telinga pada anak laki-laki. Bagi masyarakat ini tindik telinga merupakan hal yang umum dilakukan oleh seorang laki-laki. Tradisi ini merupakan tradisi wajib yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki karena merupakan syarat agar seorang laki-laki dapat memasuki suatu sistem sosial di masyarakat serta untuk bergabung dalam aktivitas upacara dan menjadi anggota dalam sebuah organisasi pemuda (teruna). Sampai saat ini tidak ada seorang pun yang melanggar tradisi ini. Tradisi tindik telinga dalam masyarakat Bali Aga Tenganan tergolong tradisi yang unik dan berbeda dengan tradisi yang ada di daerah lain. Kata kunci : tradisi, bolong koping, anak laki-laki, Desa Tenganan
2
PENDAHULUAN Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan, antara masyarakat dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwi tunggal. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat Herscovits memandang kebudayaan sebagai suatu yang superorganik karena kebudayaan yang turun- temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun setiap individu yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (soerjono soekanto,1982:150). Kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai keseluruhan sistem ide yang mencakup nilai- nilai, kepercayaan, pengetahuan, symbol, adat- istiadat serta kebiasaan- kebiasaan lain yang dimiliki bersama oleh bagian terbesar anggota suatu satuan sosial yang dijadikan pedoman dalam berperilaku dan yang pemilikannya melalui proses belajar. (Molyono, 1991:1989). Berdasarkan pengertian tersebut salah satu unsur kebudayaan ada tradisi adat istiadat dan kebudayaan yang didalamnya mencakup tradisi- tradisi dan ritual- ritual.Pada dasarnya umat agama lebih dihadapkan pada dua model tradisi yaitu tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Pada dasarnya tradisi besar menjadi model keberagaman masyarakat elite kota. Inilah agama yang dikembangkan dari teks dan bersifat efektif. Pola ini tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan mengandung unsur rekayasa intelektual. Banyak pula kalangan antropolog menyebutnya sebagai tekstual tradition, philosophical religion, high tradition, universal tradition. Tradisi kecil merupakan bentuk heterodoks kulit luar budaya agama.Inilah tradisi yang dipraktikkan khalayak umum (ordinary people) dalam kehidupan keseharian mereka.Redvield menyebut merekasebagai helargely unreflective money (1956:70), selain bersifat taken for granted tradisi kecil memasukkan banyak elemen tradisi dan praktik lokal kedalam praktik lokal keagamaan. Karena itu tradisi kecil sering disebut juga local tradition : low tradition dan popular religion. (Sirry, 2003: 30). Berkenaan dengan tradisi, Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki desa adat dengan tradisinya yang beraneka ragam, seperti halnya tradisi yang ada di Desa Tenganan. Tenganan merupakan salah satu desa yang dikategorikan sebagai Bali Aga. Disebut Bali Aga karena masyarakatnya masih memegang teguh tradisi adat mereka.Tindik telinga merupakan salah satu tradisi tersebut.Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh wanita saja, namun 3
juga dilakukan oleh seorang laki- laki.Pada masyarakat Tenganan tradisi tindik telinga disebut dengan bolong koping. Pada pelaksanaan tradisi tindik telinga, dilakukan beberapa ritual- ritual.Menurut Radcliffe Brown suatu ritual berfungsi untuk memantapkan solidaritas sosial, dan solidaritas ini dipertahankan untuk memungkinkan warga masyarakatnya memainkan peranannya yang telah disepakati bersama, yakni memelihara kadar kebersamaan yang menjadi landasan bagi berlangsungnya sistem sosial (Kuper,1996:59). Ketertiban sosial dalam masyarakat diatur dan dijaga melalui tradisi- tradisi berupa norma- norma adat yang berlaku terhadap masyarakat dan memberikan efek keteraturan secara otomatif. Hal ini terjadi disebabkan oleh sifat kecil dari masyarakat. Masyarakat Tenganan memang masih memegang teguh tradisi adat mereka, namun mereka juga tidak menutup diri dari adanya arus modernisasi, akibatnya masyarakat Tenganan juga mengalami perubahan dalam budayanya termasuk dalam pelaksanaan tradisi mereka. Perubahan kebudayaan dapat berwujud penggantian unsur- unsur yang lama dengan unsur- unsur yang baru yang secara fungsional dapat diterima oleh unsur- unsur yang lain, atau menghilangkan unsur- unsur yang lama tanpa menggantinya dengan unsur- unsur yang baru, atau memadukan unsur- unsur yang baru ke dalam unsur- unsur yang lama. Semua ini menunjukkan bahwa tiap kebudayaan terus menerus mengalami perubahan, ini teradi karena kebudayaan terbentuk dari pengalaman manusia dalam menghadapi lingkungannya, sedang gejala- gejala yang berada di dalam lingkungan yang dihadapi oleh manusia terus mengalami perubahan Berdasarkan uraian di atas maka dalam artikel ini akan membahas tentang Tradisi Bolong Koping Masyarakat Bali Aga Tenganan di Era Modernisasi. Pembahasan mengenai tradisi bolong koping ini dihadirkan dengan harapan dapat menjadi sarana pembelajaran, pelestarian, pengapresiasian segala hal yang berkaitan dengan kebudayaan Bali itu sendiri.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di desa Tenganan Pegringsingan pada tanggal 3 Juni 2013. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang meliputi: Wawancara. Wawancara ini dilakukan dengan carakomunikasi tatap muka. Dalam pelaksaannya pewawancara membawa pedoman yang merupakan garis besar mengenai hal- hal yang akan ditanyakan, adapun 4
narasumber yang peneliti wawancarai meliputi: Kepala Desa Tenganan bapak Putu Suarjana (53 tahun), ibu Marki (63 tahun) seorang ibu rumah tangga, bapak Ketut Sudiastika (41 tahun), seorang pengrajin kain gringsing, ibu Nengah Ware (47 tahun ) seorang ibu rumah tangga, selain itu untuk memperkuat data yang dicari, peneliti mengambil beberapa gambar dan melakukan observasi. Dalam pelaksanaan observasi, peneliti memiliki pedoman observasi, yaitu observasi mengenai sejarah tradisi bolong koping, proses pelaksanaan tradisi bolong koping, fungsi dan makna tradisi bolong koping, konsekuensi jika tidak melaksanakan tradisi bolong koping dan eksistensi tradisi bolong koping. Jenis observasi adalah observasi partisipasif (participant observe) dimana peneliti terjun langsung dengan objek penelitian berupa informan, tempat, peristiwa, aktifitas, dokumen, dan benda- benda budaya yang dapat mendukung penelitian ini. Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer.Sumber data primer dari penelitian ini adalah data dari Kepala Desa Tenganan dan warga Desa Tenganan Data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, sumber internet yang berkenaan dengan penelitian ini. Sedangkan teknis analisis data dalam penelitian ini meliputi: 1)Pengumpulan data, dapat diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dari Kepala Desa Tenganan dan warga Desa Tenganan. 2)Penyajian data. Penyajian data dalam laporan penelitian ini menggunakan analisis secara deskriptif. Penyajian data disajikan dalam bab deskripsi hasil penelitian dan analisis hasil pembahasan. 3) Penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan dari penelitian ini dilakukan dengan melihat obyek penelitian yaitu di Desa Tenganan, dan mempertanyakan kembali hasil data yang diperoleh dari wawancara dengan berbagai narasumber, sambil melihat catatan lapangan agar memperoleh pemahaman yang lebih tepat. Selain itu peneliti saling mendiskusikkan agar data yang diperoleh dan penafsiran terhadap data tersebut memiliiki validitas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi kokoh.
PEMBAHASAN Sejarah Tradisi Bolong Koping di Desa Tenganan Bali merupakan salah satu daerah yang sangat erat dengan nilai-nilai magis spiritual. Masih banyak yang menjalankan tradisi-tradisi kuno secara turun temurun, seperti halnya pada Desa Tenganan. Desa adat Tenganan merupakan sebuah desa adat di Bali yang hingga saat ini masih mempertahankan tradisi aslinya. Desa initerletak di bagian timur pulau Bali yaitu sebelah barat 5
Kabupaten Karangasem, dengan jarak 15 kilometer dari pusat Kota Amlapura dan berada sekitar 65 kilometer dari Kota Denpasar. Komplek Desa Tengananterdiri dari 3 garis besar yaitu, komplek pemukiman penduduk, persawahan dan perkebunan desa yang memiliki luas 917.20 hektar dan 0,85% daerahnya dijadikan area pemukiman dengan jumlah penduduk 688 jiwa. Desa ini memiliki beberapa tradisi unik yang hingga sekarang masih dipertahankan dan dijalankan. Salah satu tradisi tersebut yaitu tradisi bolong koping bagi kaum laki-laki. Tradisi bolong koping ini sudah dikenal dan dijalankan oleh masyarakat adat Tenganan sejak sekitar abad ke-11. Dalam bahasa lokalnya dinamakan bolong koping dan pelaksanaan saat penindikannya disebut ngekehi. Penindikan ini berbeda dengan penindikan pada umumnya yang saat ini menjadi trend modern bagi masayarakat umum melainkan ini adalah sebuah tradisi khusus di masyarakat adat Tenganan sendiri. Tradisi bolong koping di Desa Tenganan diperuntukkan pada laki- laki dan pada perempuan namun mempunyai fungsi yang berbeda. Fungsi bagi perempuan pada dasarnya yaitu sebagai perhiasan agar seorang perempuan tampak cantik, sedangkan pada laki laki yaitu sebagai syarat seorang laki- laki agar dapat mengikuti upacara adat. Dalam teori evolusi dikatakan bahwa kebudayaan berkembang dari tingkat rendah dan sederhana, ke tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi dan kompleks. Demikian juga pada tradisi ini berkembang mengikuti jaman meskipun makna dan nilainya masih tetap sama. Dahulu penindikan ini dilakukan hanya sebagai tradisi yang memang wajib dijalankan. Seiring dengan adanya modernisasi laki- laki di Desa Tenganan tak hanya memaknai tradisi ini sebagai syarat untuk mengikuti upacara adat semata, namun juga memaknai tradisi ini untuk memperindah penampilan telinga mereka dengan memakai anting di telinga. Meskipun demikian hingga sekarang tradisi ini tetap dipegang teguh dan dipertahankan oleh masyarakat setempat. Pelaksanaan Tradisi bolong Koping Tradisi ngekehi dilakukan pada anak-anak laki-laki yang usianya telah menginjak umur satu sampai tiga bulan.Adabeberapa tahapan dalam pelaksanaan upacara adat ini.Adapun serangkaian upacara yang dilaksanakan pada upacara ngekehi adalah sebagai berikut: Ngethus Gambut atau potong rambut. Biasanya dilakukan ketika seorang bayi telah berumur tujuh hari.Ritual ngethus gambut ini dilakukan sebelum diadakannya tradisi ngekehi. Adapun ritual 6
ngethus gambut ini bisa dilakukan oleh keluarga si bayi. Baik itu ayah, ibu, maupun sanak saudara lainnya. Pemotongan rambut ini bermakna sebagai pembersihan raga si Bayi Rambut yang di pandang kotor karena dibawa sejak lahir. Upacara Ngekehi (Menindik), setelah dilakukannya ritual ngethus gambut, ritual selanjutnya adalah ritual inti yaitu ngekehi. Ritual ini dilakukan ketika seorang bayi laki- laki berumur satu sampai tiga bulan. Pada zaman dahulu menindik telinga di suku Aga Tenganan, dilakukan dengan alat tradisional yang disebut dengan bluluk. Bluluk adalah semacam buah yang berasal dari pohon buah jakayang berkulit keras. Bluluk merupakan sebutan warga Tenganan bagi buah kolang- kaling.Setelah dipetik dari pohon jaka, buah bluluk dibiarkan sementara waktu untuk menghilangkan getahnya.Setelah itu buah blulukdipotong berbentuk cincin. Buah bluluk yang telah dipotong berbentuk cincin kemudian dipotong disalah satu sisinya, lalu bagian sisi buah bluluk yang telah dipotong dikaitkan ke daun telingahingga menempel erat. Dalam proses penindikan, lubangakan terbentuk sempurna dalam waktu tiga hari atau lebih sempurnanya satu minggu. Setelah lubang terbentuk sempurna bayi laki- laki yang telah ditindik lantas siap memakai anting dari emas maupun perak. Namun setelah dewasa, kaum laki- laki dari Desa Tenganan wajib menghiasi diri dengan anting dari daun pisang ketika digelar upacara keagamaan.
7
Gambar 1.2 Bluluk adalah alat tradisional masyarakat untuk menindik telinga. Berbeda dengan ritual ngethus gambut, ritual penindikan ini dilakukan oleh keluarga bayi yang akan ditindik ataupun oleh seorang juru tindik, namun seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang berkembang dengan pesat membuat tradisi ini mengalami sedikit perubahan pada medianya. Sekarang sebagian masyarakat tidak lagi menggunakan bluluk sebagai alat tindik, melainkan telah digunakannya jasa instansi kesehatan seperti rumah sakit.Karena jika melakukan bolong koping di rumah sakit lebih cepat dan tidak begitu terasa sakit. Berbeda halnya jika bolong koping dilakukan oleh pihak keluarga atau ahli tindik yang menggunakan alat tradisional tentunya waktu yang dibutuhkan cukup lama dan lebih terasa sakit. Proses pelaksanaan tradisi ngekehi ada beberapa syarat yang harus dipersiapkan dalam upacara tersebut. Syarat upacara tersebut semacam sesajen yang disebut dengan nyolasin. Nyolasin adalah sesajen yang semacam tumpeng (banten). Banten yang telah dibuat kemudian di letakkan di kamar bayi yang akan ditindik. Tujuannya adalah untuk meminta izin kepada dewa pengasuh bayi. Sehingga dengan membuat nyolasin, diharapkan upacara ngekehi dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan pihak keluarga. Upacara selanjutnya adalah upacara pengkurisan yang dilakukan setelah seorang anak laki- laki melakukan upacara ngekehi. Ritual ini biasa dilakukan selang satu bulan setelah upacara ngekehi. Mengenai pelaksanaan ritual pengkurisan ini apabila ingin diadakan secara besar-besaran atau sebaliknya tergantung pada kemampuan ekonomi keluarga. Sebelum dilakukan upacara pengkurisan, seorang ibu dari bayi dilarang pergi ke pura karena dianggap belum suci, sehingga ibu dari bayi harus melakukan keramas terlebih dahulu untuk mensucikan diri. Upacara pengkurisan memiliki persyaratan mengenai beberapa jenis makanan yang dijadikan sebagai sarana upacara meliputi: ayam, macam- macam pisang (pisang kayu, pisang sangket,pisang keladi), buntilan (ketan yang direbus kemudian ditumbuk), serta babi hitam. Babi yang dijadikan sarana upacara harus babi hitam karena masyarakat Tenganan mengangggap bahwa babi hitam masih jenis babi asli yang belum terpengaruh dengan kawin silang dengan babi jenis lain, sebelum babi disembelih ada sebuah upacara yang dilakukan sebelum penyembelihan sebagai 8
wujud rasa permohonan ijin kepada dewa bahwa akan dilakukan penyembelihan hewan ciptaanNya. Setelah semua sarana upacara dipersiapkan, anggota keluarga dan para tetangga menuju pura untuk melakukan upacara sebelum dilakukan upacara pengkurisan.Para peserta upacara termasuk si bayi dan orangtuanya melakukan sembahyang di pemerajan (pura). Pelaksanaan sembahyang diawali dengan sulinggih (pendeta) melaksanakan surya sewana/ ngarga tirtayaitu membuka upacara dengan melaksanakan pemujaan ida sahyang widhi kuasa. Selanjutnya para peserta upacara melakukan mepiuningyaitu memohon doa restu akan melakukan upacara. Numur tirta (bea kala, pelukatan, pembersihan, prayascita). Pada tahap ini bayi yang akan melakukan upacara pengkurisandipercikan air suci di sekujur badan si bayi. Pada upacara ini para peserta yang hadir wajib mengenakan baju adat meliputi: gotia (baju adat bagi laki- laki). Biasanya baju adat ini bewarna putih, gringsing (kain adat yang digunakan oleh perempuan saat upacara adat), gedongan (baju adat yang digunakan oleh anak- laki- laki yang akan melakukan upacara pengkurisan). Seusai melakukan sembahyang maka dilakukan upacara pengkurisan, dimana pada upacara ini seorang bayi yang akanmelakukan upacara pengkurisan digendong atau dibopong oleh salahsatu orangtuanya dan kemudian dikuris atau diputar di atas api yang telah diberi doa oleh pemangku adat (ngayun lokal).Setelah upacara di pura selesai keluarga bayi melakukan syukuran di rumah mereka dengan menghidangkan aneka ragam makanan yang disebut banten. Sebagai wujud syukur kepada dewa Indra, dengan dilakukannya serangkaian upacara itu menunjukkan bahwa seorang laki- laki telah diperbolehkan mengikuti berbagai bentuk upacara di pura. Fungsi dan Makna Dari Pelaksanaan Tradisi Bolong Koping Anak laki-laki dan perempuan di masyarakat desa Tenganan wajib melakukan bolong koping, bagi umumnya anak wanita melakukan bolong koping merupakan suatu kewajiban, selain itu perspektif dalam masyarakat memandang bahwa anak laki laki yang memakai tindik itu merupakan sesuatu yang dianggap tidak baik. Pada kenyataannya di desa adat Tenganan kaum laki-laki wajib menindik telinganya, entah itu melalui cara tradisional atau menggunakan cara medis yang modern saat ini. 9
Fungsi menindik telinga pada anak laki-laki di desa Tenganan Bali adalah untuk pelengkap saat upacara adat yang dilakukan di desa tersebut. Pada saat upacara adat, perempuan yang mengikuti upacara adat, telinga yang telah ditindik diberi perhiasan emas atau dalam masyarakat Tenganan biasa disebut dengan suweng crorot (anting perempuan). Sedangkan untuk laki-laki yang mengikuti upacara adat telinganya diberi lintingan daun pisang. Menurut bapak Nengah Wartawan ( 47 Tahun) mengatakan bahwa:Semua anak laki laki bertindik, apabila ada anak laki - laki yang tidak bertindik sudah secara otomatis orang tersebut tidak bisa mengikuti upacara adat di Desa Tenganan, dalam artian orang tersebut telah keluar dari desa adat tersebut. Bolong Koping pada anak laki- laki di Desa Tenganan merupakan tradisi khusus yang dijadikan simbol identitas masyarakat Tenganan.Jika masyarakat Tenganan tidak melakukan bolong kopingatau dalam prosesnya gagal maka orang tersebut tetap dianggap sebagai masyarakat Tenganan namun tidak diperbolehkan megikuti upacara adat. Tradisi Bolong Koping juga berfungsi sebagai sarana memperkuat solidaritas antar warga Tenganan, hal itu dapat diamati ketika dilakukannya upacara pengkurisan dan syukuran. Pada saat itu semua masyarakat Tenganan berbaur menjadi satu tanpa pandang status dan peranan masing- masing, dengan berbaur dan berinteraksi satu sama lain maka akan memperkuat silaturahmi mereka. Dari segi kesehatan bolong koping tidak ada hubungannya dengan faktor kesehatan, jadi tradisi bolong koping hanya dimaksudkan sebagai sarana masyarakat untuk melaksanakan adat istiadat yang telah ada. Tradisi bolong koping masih tetap dijaga keberadaannya karena merupakan syarat seorang laki- laki mengikuti upacara dan juga simbol identitas masyarakat Tenganan.
Eksistensi Tradisi Bolong Koping di Era Modernisasi Tradisi bolong kopingpada anak laki- laki di Desa Tenganan merupakan tradisi yang unik dan jarang ditemui dalam masyarakat lain. Penindikan telinga pada anak laki-laki tersebut dari dulu sampai sekarang memang tidak mengalami perubahan, baik dalam tata cara ataupun pelaksanaan. Sampai saat inipun tradisi penindikan telinga tersebut masih dilaksanakan, karena hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan wajib untuk dilaksanakan. 10
Gambar 1.2 Gambar tindik dengan jarum Gambar 1.3 Gambar tindik dengan bluluk
Masyarakat Desa Tenganan masih memegang teguh tradisi adat mereka, sehingga meskipun banyak wisatawan mancanegara yang datang berkunjung ke Desa Tenganan tetapi tidak merubah tradisi yang telah turun temurun ini. Memang modernisasi telah merubah sebagian kecil ritual tradisi bolong koping di Desa Tenganan. Kini banyak masyarakat Tenganan yang lebih memilih melakukan tindik pada instansi pemerintah seperti rumah sakit dibanding melakukan tindik dengan alat tradisional karena lebih praktis dan tidak terlalu sakit, dibandingkan dengan bolong koping yang dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat yang masih sederhana yaitu Bluluk maka akan terasa lebih sakit. Dengan adanya perubahan pada alat tindik ini, tentunya juga akan merubah bentuk lubang tindik yang dihasilkan, dimana jika menggunakan bluluk lubang yang dihasilkan lebih besar dari pada yang menggunakan jarum tindik. Dalam hal perubahan alat untuk menindik ini, terjadi perbedaan perspektif antara golongan muda dan golongan tua. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa golongan muda cenderung menerima inovasi baru dalam menggunakan alat tindik.Karena mereka menganggap hal itu lebih praktis dan efisien, namun golongan tua cenderung menolak perubahan itu karena menindik dengan jarum tindik akan menghasilkan lubang yang kecil sehingga saat upacara lubang tidak akan bisa untuk memakai daun pisang. Oleh karena itu golongan tua lebih menganjurkan menindik dengan bluluk. Telah dijelaskan pada pembahasan 11
sebelumnya jika laki- laki tenganan wajib menggunakan anting dari daun pisang saat mengikuti upacara, namun seiring dengan adanya inovasi baru dalam proses menindik sehingga menghasikan lubang tindik yang kecil maka dalam mengikuti upacara laki- laki tetap menggunakan anting daun pisang tapi hanya sekedar ditempel, bahkan ada juga yang tidak menggunakan anting daun pisang sewaktu upacara. Tradisi bolong koping ini adalah suatu tradisi yang wajib dilakukan, jika ada yang tidak melakukan tradisi ini secara otomatis orang tersebut tidak boleh mengikuti upacara, bahkan individu yang melanggar tradisi karena tuntutan profesi harus memilih untuk tetap menjadi warga tenganan atau keluar dari Desa Tenganan. Hal ini dilakukan karena masyarakat telah menjadikan tradisi ini symbol identitas mereka.Peraturan mengenai konsekuensi jika tidak melakukan bolong koping memang tidak tercantum dalam hukum tertulis awig- awig, namun ketertiban sosial tersebut diatur dan dijaga melalui tradisi- tradisi berupa norma- norma dan adat yang berlaku terhadap masyarakat dan memberikan efek ketaatan secara otomatis. Selain digunakan sebagai syarat untuk mengikuti upacara, bolong koping juga merupakan syarat agar seorang laki- laki dapat menjadi anggota dalam sekeha teruna (organisasi pemuda). Organisasi ini merupakan suatu organisasi yang wajib di ikuti oleh laki- laki Tenganan, karena mempunyai fungsi ekonomi, sosial, pendidikan, dan juga akan menentukan kedudukan seseorang dalam keanggotaan desa. Setelah sah diakui sebagai anggota sekeha teruna, mereka kemudian mulai menempati posisi dalam struktur keanggotaan dengan sejumlah hak dan kewajiban. Hak- haknya antara lain: mengambil keputusan dalam rapat, serat menerima bagian dari hasil tanah kolektif, sedangkan kewajibannya antara lain: melaksanakan kegiatan upacara adat di lingkungan sekeha teruna, memelihara bangunan milik organisasi (bale petemu, lumbung, dan salah satu bale di Pura Banjar), memelihara galeman selonding yang dikeramatkan, mendirikan dan memelihara ayunan tradisional, memelihara pemandian suci, dan mengikuti pelaksanaan upacara adat yang di selenggarakan oleh organisasi gadis (sekeha deha) pada waktu tertentu.
12
PENUTUP SIMPULAN Tradisi bolong koping di Desa Tenganan merupakan sebuah tradisi yang wajib dilakukan oleh laki-laki di Desa Tenganan, terkecuali laki- laki pendatang (wong angedhok). Tradisi ini dijadikan sebagai syarat agar seorang laki- laki bisa mengikuti upacara.Selain itu tradisi ini juga dijadikan sebagai symbol identitas masyarakat Tenganan. Berdasarkan simpulan hasil penelitian, maka penulis mengemukakan saran sebagai berikut: Pertama, masyarakat Tenganan hendaknya memberi pemahaman tentang tradisi bolong koping kepada generasi muda Desa Tenganan secara menyeluruh agar generasi muda tidak sekedar melakukan tradisi bolong koping semata, namun juga mengetahui makna dari dilakukannya tradisi bolong koping. Kedua, dinas pariwisata dan dinas pendidikan serta kebudayaan kabupaten Karang asem, pembinaan dan pendokumentasian tradisi bolong koping perlu ditingkatkan agar kelestarian tradisi tersebut selalu terjaga. Pendokumentasian dalam bentuk buku terkait dengan legenda atau cerita rakyat yang melatar belakangi tradisi bolong koping perlu dilakukan dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan sebagai alternative bahan ajar di sekolah. Selain itu, publikasi tradisi bolong koping kepada masyarakat luas sangat diperlukan sehingga diketahui oleh seluruh masyarakat
13
Daftar Pustaka Adrianto, A. (2010). Mana Simbolik Ritual Adat Tengger.Tersedia dalam Jurnal Patrawidya. Volume 11.Nomor 3.Halaman 794. Endraswara, S. (2006). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada university Press. Handayani, E.S. (2007). Makna Simbolis Bentuk Penyajian Wayang Wong Sakral dalam Upacara Tradisi Bulan Suro di Dusun Tutup Ngisor Desa Sumber Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang.Skripsi.Universitas Negeri Semarang. Http://wisata.balitourslub.com/budaya-dan-tradisi-di-bali Rogers, Everett M., Thomas M. Steinfatt.(1999).Intercultural Communication. Illinois: Waveland Press, Inc.,1999. Ting-Toomey, Stella. (1999). Communicating Across Cultures. New York: The Guilford Publications, Inc.