Anda di halaman 1dari 12

186 | JURNAL ILMU BUDAYA

Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

NILAI-NILAI FILOSOFIS DALAM UPACARA ADAT MONGUBINGO


PADA MASYARAKAT SUKU GORONTALO
Moch Zihad Islami1, Yulia Rosdiana Putri2
1, 2
Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

zihadislami16@gmail.com
yuliarosdiana7putri@gmail.com

Abstract

The research is regarding Mongubingo traditional ceremonies in a Gorontalo tribe.


Mongubingo is a series of circumcision custom performed on a baby girl of Gorontalo tribe.
This tradition persists although being criticized in terms of health, women‟s empowerment
and child protection. The research aims to find out philosophical meanings and values of
Mongubingo traditional ceremonies. The research expected to provide a comprehensive
understanding of the whole society regarding Mongubingo traditional ceremonies. The
method used is a qualitative-descriptive approach through literature review, observation,
interview, and documentation. The result of research indicates that Mongubingo tradition is
maintained by the Gorontalo society because of their strong understanding of religious values
through their philosophy. Philosophical values of Mongubingo traditional ceremonies are as
the manifestation of life and character of the girl. The philosophical values are the basis of
their goal to control the morality and social-emotional of children in their development to
adulthood, being a woman according to the custom, culture, and religion of the Gorontalo
tribe.

Keywords : Women Circumcision, Philosophical Values, Local Wisdom.

PENDAHULAN Pembentukan kebudayaan menurut


Masyarakat Indonesia sebagai konsep B. Malinowski mempunyai tujuh
masyarakat yang majemuk dapat dilihat unsur universal yaitu bahasa, sistem
dari keberadaan berbagai macam suku, teknologi, sistem mata pencaharian,
yang di dalam setiap suku bangsa terdapat organisasi sosial, sistem pengetahuan,
ciri khas yang membedakan antara suatu religi, dan kesenian (Soelaeman, 1992).
suku dengan suku lainnya misalnya dalam Dari ketujuh unsur universal tersebut,
hal kebudayaan. Suku bangsa merupakan religi menjadi unsur dengan pengaruh
suatu komunitas manusia yang memiliki paling dominan dalam masyarakat suku
nama, menguasai suatu tanah air, memiliki Gorontalo. Sebab kurang lebih 400 tahun
mitos-mitos dan sejarah bersama, budaya lalu, Gorontalo menjadi salah satu pusat
publik bersama, perekonomian tunggal, penyebaran agama Islam di Indonesia
dan hak serta kewajiban bersama bagi Timur sehingga seiring dengan itu
semua. Suku bangsa yang tersebar di Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan
seluruh wilayah Indonesia ini perdagangan masyarakat (Sinaga, 2005).
mempengaruhi keragaman budaya bangsa Masyarakat suku Gorontalo memegang
Indonesia. Kemajemukan budaya ini kuat adat dan agama dengan berpedoman
menghantarkan masyarakat Indonesia pada falsafah “Adat bersendikan Syara’
pada cara-cara yang khas dan berbeda dan Syara’ bersendikan Kitabullah” yang
dalam mengatur tatanan sosial dalam merupakan pijakan bersama seluruh
kelompok-kelompok masyarakat. masyarakat Gorontalo yang sekaligus
187 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

dijadikan sebagai sistem etika yang mengenai larangan khitan perempuan


menentukan baik buruknya tindakan karena dampak kesehatan bahkan dianggap
seseorang maupun kelompok dalam sebagai pelecehan kaum perempuan.
tatanan sosial Gorontalo. Menurut data UNICEF 2013 mengenai
Salah satu tradisi di masyarakat penyelenggaran khitan bagi perempuan di
suku Gorontalo yang telah dilaksanakan Indonesia, Gorontalo ada di posisi teratas
sejak dulu hingga sekarang adalah upacara mengantongi 83.7 persen, menyusul
khitan bagi bayi perempuan yang kemudian Bangka Belitung 83.2 persen,
dinamakan Mongubingo, yang terdiri atas lalu Banten 79.2 persen, Kalimantan
rangkaian lihu lo limo dan mo polihu lo Selatan 78.7 persen, selanjutnya Riau 74.4
limu. Lihu lo limo adalah suatu niat persen, kemudian Papua Barat 17.8 persen,
kepada sang bayi perempuan yang akan disusul DI Yogyakarta 10.3 persen, Bali 6
dikhitan, sedangkan mo polihu lo limu persen, Papua 3.6 persen, dan NTT 2.7
adalah memandikan lemon kepada sang persen. Di Indonesia sendiri sunat
bayi perempuan untuk disucikan (Sinaga, perempuan adalah hal yang dianggap
2005). wajar. Hal tersebut didukung dengan
Rangkaian unik dari upacara adat kentalnya adat, budaya, agama, serta
Mongubingo adalah setelah prosesi adat dorongan masyarakat, menjadikan
lihu lo limo (khitan), dimana bayi dibawa 'pemotongan' alat genital perempuan ini
ke tempat pelaksanaan mo polihu lo limu dianggap normal dan masih dilakukan
untuk dimandikan dengan air lemon dalam hingga sekarang.
pangkuan ibunya. Adapun siraman yang Mengakarnya upacara adat
pertama dilakukan oleh ibunya, siraman Mongubingo pada masyarakat suku
berikutnya dari pemangku adat, dan Gorontalo tidak dapat dilepaskan dari nilai-
siraman yang terakhir oleh hulango (bidan nilai yang mengemban di dalamnya.
kampung). Upacara khitan bagi Masyarakat Gorontalo memiliki tradisi
perempuan sejak bayi ini dimaksudkan yang nilai-nilainya dipegang teguh dan
sebagai proses pembersihan alat kelamin dijalankan secara turun-temurun. Nilai-
dari kelenjar yang “haram”. Di samping nilai dapat diwujudkan melalui makna
itu, upacara khitan ini juga dimaksudkan simbolik dan filosofis dalam sebuah
sebagai lambang pembuka tabir kebenaran tradisi. Nilai filosofis menurut konsep
dalam ikatan perjanjian suci yang diikat „nilai‟ Schwartz (1992) adalah suatu
antara Allah dengan Nabi Ibrahim yang keyakinan mengenai cara berperilaku dan
kemudian menjadi pola anutan masyarakat tujuan akhir individu, dan digunakan
Gorontalo turun-temurun sampai sekarang sebagai prinsip atau standar dalam hidup
(Sinaga, 2005). seseorang atau kelompok berdasarkan
Para ulama sepakat bahwa khitan tingkat kepentingannya. Sebab itu
wanita ada dalam syariat Islam. Tetapi kemudian konsep nilai filosofis menjadi
mereka berbeda pendapat mengenai status sangat penting untuk perkembangan dan
hukumnya, apakah wajib, sunnah, ataupun pelestarian sebuah kebudayaan yang ada di
hanya anjuran dan suatu kehormatan. Hal suatu masyarakat yang dipercaya memiliki
ini dikarenakan dalil-dalil yang nilai kebaikan bagi masyarakat.
menerangkan khitan perempuan sangat
sedikit dan tidak tegas, sehingga METODE PENELITIAN
memberikan pendapat yang berbeda di Jenis Penelitian
kalangan ulama (Sulthan, 2017). Penelitian ini berusaha menggali
Tradisi khitan di Gorontalo telah nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam
mendapat perhatian langsung dari instansi upacara adat Mongubingo pada masyarakat
HAM dan Perlindungan Anak dan Wanita suku Gorontalo dengan menggunakan
188 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

metode penelitian kualitatif-deskriptif. membandingkan satu datum dengan datum


Penelitian kualitatif memiliki arti sebagai yang lain, dan kemudian secara tetap
prosedur penelitian yang menghasilkan membandingkan kategori dengan kategori
data deskriptif berupa kata-kata tertulis
lainnya (Moleong, 1991). Proses analisa
atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati (Moleong, 1991). data mencakup: 1) Reduksi data, yaitu
melakukan identifikasi data yang
Lokasi dan Waktu Penelitian kemudian memberikan kode pada setiap
satuan agar dapat ditelusuri sumber data
Penelitian ini dilakukan di Kota satuannya. 2) Kategorisasi, yaitu memilah-
Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo. milah setiap satuan ke dalam bagian-
Lokasi tersebut dipilih karena sebagian
bagian yang memiliki kesamaan lalu setiap
besar suku Gorontalo di lokasi tersebut
masih menjalankan dan mempertahankan kategori diberi label. 3) Sintesisasi, yaitu
upacara adat Mongubingo. Peneliti mencari kaitan antara satu kategori dengan
melakukan penelitian lapangan pada kategori lainnya.
masyarakat Gorontalo selama 10 hari, pada
tanggal 24 April- 4 Mei 2019. Teknik Pengambilan Kesimpulan

Teknik Pengumpulan Data


Proses pengambilan kesimpulan
Pengumpulan data penelitian telah dilakukan sebagai kelanjutan dari proses
diperoleh melalui proses wawancara yang analisa data yang terdiri atas reduksi data,
mendalam, observasi yang partisipatif, dan kategorisasi, dan sintesisasi. Metode
dokumentas. Proses wawancara mendalam pengampilan kesimpulan terdiri atas
didasarkan pada gagasan menggali lebih verstehen, interpretasi, dan hermeneutika.
mendalam tentang subjek atau informan
Teknik verstehen dilakukan dengan
untuk menghasilkan data yang lebih
otentik. Dalam penelitian ini, wawancara melakukan penghayatan atas hasil analisa
mendalam ditujukan kepada pelaku dan yang sudah ada. Kemudian, hasil
otoritas adat, akademisi, dan pemerintah penghayatan tersebut diintrepetasikan ke
terkait. Observasi partisipatif dilakukan dalam beberapa poin-poin utama yang
untuk mengetahui beragam perspektif yang nantinya disusun dalam beberapa kalimat.
ada dan membantu dalam memahami Pada langkah terakhir, poin-poin tersebut
interaksi masyarakat. Data observasi
diambil bagian makna- makna tersembunyi
partisipatif terdiri dari catatan lapangan
rinci yang dicatat catatan peneliti dalam yang akan dikombinasikan dalam kalimat-
sebuah buku catatan lapangan. kalimat akhir dan tetap pada kesimpulan.
Dokumentasi diperoleh melalui fakta yang
tersimpan dalam bentuk surat, catatan HASIL DAN PEMBAHASAN
harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata,
jurnal kegiatan dan sebagainya mengenai Secara historis, upacara adat
upacara adat Mongubingo. Mongubingo tidak dapat dilepaskan dari
sejarah islamisasi di Gorontalo.
Analisis Data Hassanudin & Basri Amin (2012)
menuliskan bahwa proses islamisasi
Analisa data dalam penelitian ini Gorontalo dimulai ketika tokoh elite politik
menggunakan metode perbandingan tetap yaitu Raja Amai dari Kerajaan Gorontalo
yaitu suatu analisa data yang secara tetap melakukan pernikahan dengan Putri
Owutango dari Kerajaan Palasa. Raja
189 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

Amai beserta istrinya dan didampingi 8 b. Pagi-pagi hari sebelum diadakan


raja-raja kecil di bawah vasal Palasa yaitu prosesi lihu lo limu (khitan anak
Tamalate, Lemboo, Sitendeng, Hulangato, perempuan), diadakan mongadi
Siduan, Sipayo, Songinti dan Bunuyo salawati (do‟a selamat) yang
membimbing masyarakat serta merancang dilaksanakan oleh imam atau
adat istiadat yang berpedoman pada Islam. hatibi.
Pada tahun 1530 agama Islam c. Setelah prosesi mongadi salawati,
secara resmi menjadi agama kerajaan dan kemudian dilanjutkan dengan
mengatur adat istiadat dengan menyucikan anak perempuan
memasukkan pengaruh Islam didalamnya. dengan cara dibasuhkan air wudlu.
Di dalam kerajaan mulai ditetapkan d. Kemudian anak dipakaikan pakaian
tentang pentingnya adat istiadat adat Gorontalo dan baya lo bo’ute
disesuaikan dengan syariat Islam. Hasil (ikat kepala) untuk menuju prosesi
rumusan ini dikenal dengan prinsip “saraa berikutnya.
topa-topango to adati” artinya “syarah e. Prosesi berikutnya adalah momonto
bertumpu pada adat”. Proses Islamisasi di (memberi tanda suci pada anak
Gorontalo semakin meluas dan perempuan) dengan memberikan
terstrukturisasi. Hal ini terbukti setelah alawahu tulihi (kunyit yang
diberlakukannya suatu pengembangan dicampur kapur) di dahi, leher, di
prinsip hukum adat yang berbunyi:“Aadati bawah tenggorokan, di bahu, dan
hulahulaa to saraa; saraa hulahulaa to pada lekukan tangan dan kaki sang
adati” (adat bersendi syara, syara bersendi anak oleh orang tua sang anak.
adat) (Hassanudin & Basri Amin, 2012). f. Prosesi khitan dilakukan di dalam
Upacara adat Mongubingo kamar dan dilakukan oleh bidan
merupakan salah satu peninggalan kampung (hulango) dengan
berlakunya adat menggunakan dasar ajaran didampingi pihak keluarga. Sang
Islam di Gorontalo sebagai salah satu anak didudukkan di atas bantal
upacara rangkaian kehidupan pada dengan pangkuan orang tuanya.
masyarakat suku Gorontalo yang berupa g. Prosesi khitan dilakukan
serangkaian prosesi adat khitan bagi anak menggunakan duunito (pisau
perempuan yang menginjakkan usia 1-3 bambu), namun sekarang sering
tahun, terdiri atas prosesi lihu lo limo menggunakan pisau kecil yang
(prosesi khitan anak perempuan), mo tajam.
polihu lo limu (mandi lemon), dan h. Ketika proses khitan, hulango
mopohuta’a to pinggae (injak piring). menutupi prosesi tersebut dengan
aluwungo (kain putih).
Prosesi Upacara Adat Mongubingo i. Selaput tipis yang telah dikeluarkan
Sebagian besar masyarakat Gorontalo dari alat vital anak perempuan
menjalankan upacara adat Mongubingo kemudian dimasukkan ke dalam
berdasarkan alur sebagai berikut : belahan limututu (jeruk purut).
1. Prosesi momonto dan lihu lo limo
(memberikan tanda suci dan
mengkhitan bayi perempuan)
a. Satu hari sebelum pelaksanaan
Mongubingo, bidan kampung
(hulango) sudah mempersiapkan
perlengkapan yang dibutuhkan
pada prosesi adat.
190 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

mekar), dilanjutkan siraman


terakhir oleh hulango.
f. Prosesi tepuk mayang yang
dilakukan dengan menggosokkan
bakal buah bulowe (upik pinang)
yang baru dibelah pada seluruh
anggota badan sang bayi.
g. Prosesi berikutnya adalah
memecahkan telur ayam kampung
di kukuran kelapa, kemudian
diletakkan di kedua tangan anak,
sembari itu isi telur yang ada
dikedua tangan anak digoyang-
Gambar 1. Prosesi momonto dan goyangkan ke kanan dan kiri
lihu lo limo dengan bantuan tangan sang ibu
selama tiga kali. Setelah itu, kuning
2. Prosesi mo polihu lo limu (mandi telur tersebut ditelankan mentah-
lemon) mentah kepada sang anak.
a. Sebelum menuju prosesi ini, bayi
perempuan yang memakai baju
adat dan ikat kepala dilepas (dalam
keadaan telanjang).
b. Kemudian ibu dan sang bayi
dibawa ke tempat pelaksanaan mo
polihu lo limu (mandi lemon) yang
telah dihias buah pisang gapi, nanas
beserta daunnya, batang tebu, janur
kuning, daun puring, dan bulowe
(mayang pinang) yang digantung di
atas tempat duduk sang ibu dan
sang bayi saat dimandikan.
c. Sang bayi dipangku oleh ibunya
dan duduk di dudangata (kukuran
kelapa) yang menghadap ke timur.
Gambar 2. Prosesi mo polihu lo limu
d. Prosesi penyiraman yang dilakukan
oleh orang tua sang anak dengan 3. Prosesi mopohuta’a to pinggae (injak
tahulu yilonuwa (air yang piring)
diharumkan). Siraman pertama a. Anak yang telah didandani
dilakukan oleh ibunya, tetapi dapat kemudian memasuki ruangan yang
diwakili oleh nenek atau tantenya, telah dihias untuk prosesi
kemudian siraman kedua oleh mopohuta’a to pinggae.
ayahnya. b. Adapun tujuh buah piring untuk
e. Berbeda dengan prosesi siraman prosesi diisi dengan macam-macam
yang dilakukan orang tua, siraman benda yakni tanah dan tanaman
berikutnya dilakukan oleh rumput, jagung, padi, uang koin,
pemangku adat (bate) atau pegawai daun polohungo (puring), bakohati
syara‟ dengan air perian bambu (ramuan lulur atau bedak yang
kuning yang disiramkan melalui harum), dan bulowe (tangkai
bulowe (mayang pinang yang sudah mayang pinang).
191 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

c. Prosesi injak piring dilakukan simbol dengan objeknya. Dalam sejarah


dengan cara diiringi oleh orang tua pemikiran, simbol mempunyai dua arti
sang anak. Ibu membantu anak yaitu pertama, sebagai pemikiran dan
menginjakkan piring pertama praktek keagamaan. Simbol dianggap
hingga ketujuh, sedangkan ayah sebagai gambaran yang terlihat dari realitas
memayungi setiap langkah sang transenden. Kedua, sistem pemikiran logis
anak. Prosesi injak piring dilakukan dan ilmiah, simbol dipakai dalam arti tanda
tiga kali berturut-turut. abstrak (Agustianto, 2011). Menurut Zoest
d. Kemudian paye yilulo (beras lima (1993) simbol atau tanda merupakan unsur
warna) ditaburkan ke seluruh penting dalam berperilaku dan
ruangan rumah. berkomunikasi agar berbagai makna agar
e. Setelah prosesi selesai, maka pesan dapat dimengerti (Waode Fian
berakhir pula upacara adat Adilia dan Ikhwan M. Said, 2019).
Mongubingo kemudian dilanjutkan Makna simbolik dalam tinjauan
dengan do‟a dan santap bersama. filosofis upacara adat dapat ditemukan
dengan penggunaan simbol-simbol pada
prosesi Mongubingo. Simbol-simbol
berperan sebagai media komunikasi antara
sesama manusia, dan juga menjadi
penghubung antara dunia empirik dengan
dunia yang non-empirik. Terbentuknya
simbol dalam upacara adat Mongubingo
tidak dapat dilepaskan pada pendasaran
konsep hidup dan nilai etis yang dipegang
teguh oleh masyarakat.
Makna filosofis upacara adat
Mongubingo pertama yakni dalam prosesi
momonto dan lihu lo limu. Sebelum anak
memasuki prosesi khitan, anak perempuan
terlebih dahulu menjalani prosesi
pemberian tanda sunci (momonto) dengan
Gambar 3. Prosesi mopohuta’a to dengan memberikan alawahu tulihi (kunyit
pinggae yang dicampur kapur) di dahi, leher, di
Makna Filosofis dalam Upacara Adat bawah tenggorokan, di bahu, dan pada
Mongubingo lekukan tangan dan kaki sang anak
Dalam tinjauan makna filosofis, perempuan oleh orang tua. Makna tanda
satu bahan penting menuju makna filosofis yang diberikan di dahi menunjukkan suatu
adalah simbol. Simbol memiliki arti pernyataan untuk tidak menyembah selain
penting dalam kebudayaan karena simbol kepada Allah. Tanda di leher bermakna
merupakan representasi dari dunia dalam agar anak tidak memasukkan makanan
kehidupan sehari-hari. Orang-orang sangat yang haram di dalam tubuhnya. Tanda di
memerlukan dan membutuhkan simbol tenggorokan merupakan representasi
untuk mengungkap dan menangkap bahwa setiap nafas manusia harus
tentang sesuatu hal. Kebudayaan sebagai senantiasa diiringi dengan dzikir. Tanda di
bentuk nyata pemikiran filsafat bahu merupakan suatu bentuk kesiapan
menggunakan simbol dalam manusia untuk memikul tanggung jawab
pengungkapannya, sebab simbol atas amanah yang diberikan oleh Allah.
mengandung makna atau maksud tertentu Sedangkan tanda yang diberikan pada
yang terjalin dalam hubungan antara lekukan tangan dan kaki bermakna agar
192 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

senantiasa melakukan perbuatan yang fisik maupun batin. Sedangkan daun


sesuai dengan ajaran dan menghindarkan polohungo bermakna sebagai tolak balak,
dari perbuatan tercela (Djibu, 2016). karena bagi masyarakat Gorontalo tanaman
Pada prosesi lihu lo limu poluhungo ditanam di pekarangan rumah
(pengkhitanan), anak perempuan dikhitan dan dipercaya dapat menghindarkan hal-
oleh bidan kampung (hulango); bagi hal yang buruk bagi penghuninya.
masyarakat Gorontalo, hulango memiliki Kemudian sang anak didudukkan di
otoritas terkait adat kelahiran hingga pangkuan ibu di atas kukuran kelapa
kematian. Prosesi khitan dilakukan di (dudungata) dan menghadap ke timur.
dalam ruangan yang gelap dengan Kukuran kelapa mewakili salah satu
mengambil sedikit selaput tipis yang ada di perangkat dapur bagi masyarakat
alat vital anak perempuan, dalam prosesi Gorontalo, anak perempuan diharapkan
khitan digunakan tohetutu (lampu dapat memenuhi kodratnya yaitu
tradisional) sebagai penerang prosesi mengerjakan tugas-tugas rumah tangga
khitan dan saat prosesi khitan hulango bagi keluarga. Upacara mandi lemon
menutupi dirinya dan sang anak dengan diselenggarakan di pagi hari dan dengan
alumbu (kain putih). Tohetutu bermakna menghadap ke arah Timur. Hal ini
sebagai penerang kehidupan, sedangkan dikarenakan arah Timur merupakan arah
kain putih sebagai lambang kesucian. terbitnya matahari yang merupakan sebuah
Secara garis besar prosesi khitan bermakna harapan agar anak selalu dalam keadaan
bahwasannya seorang perempuan perlu segar seperti halnya matahari terbit di pagi
dibatasi hasratnya terhadap lawan jenis, hari. Prosesi berikutnya yaitu siraman
karena pada dasarnya perempuan perlu menggunakan air harum yang sudah
dibatasi agar bisa mengontrol dirinya untuk diramu. Air yang diharumkan tersebut
menjadi perempuan yang sesuai dengan yang terdiri atas kulit lemon yang
adat dan budaya Gorontalo, serta agama dihaluskan, bunga melati, daun onumo
Islam. (daun harum), umonu (ramuan yang sudah
Prosesi mo polihu lo limu (mandi ditumbuk halus), tujuh macam daun
lemon) dilakukan di suatu tempat sekitar polohungo (puring) yang dihaluskan lalu
rumah penyelenggara yang telah dihiasi dan diiris-iris, dan tujuh buah limututu
oleh berbagai macam benda, seperti pisang (lemon Sowanggi) yang sudah diiris-iris.
gapi, batang tebu, tunas kelapa, mayang Pemilihan angka tujuh dipilih karena
pinang, daun puring. Setiap benda-benda bentuk penggambaran watak yang ada
yang digunakan mengandung makna pada setiap anak perempuan di Gorontalo
filosofis. Pisang gapi dan tebu memiliki yaitu: 1) nakal (nene’alo) 2) tidak jujur
rasa yang manis sehingga anak yang diadat (wetetelo) 3) berbicara yang
diharapkan menjadi anak yang manis di menyenangkan orang lain (kureketolo) 4)
mata orang lain, tidak membeda-bedakan membangkang (pa’ingolo) 5) terlalu gesit
antar manusia, dan serta memiliki hati (kekengolo) 6) berbicara tanpa tujuan
yang manis. Tunas kelapa (bulabulolo) 7) kasar (hutatingolo/
merepresentasikan bagaimana pohon bangganga) (Lamusu, 2016). Sedangkan
kelapa dapat tumbuh secara kuat, oleh makna tujuh buah perian bambu kuning
karena itu diharapkan sang anak menjadi yaitu untuk mendapatkan kemuliaan, perlu
manusia yang kuat, bermanfaat, dan mensucikan diri dari dosa lahir yang
memiliki rasa cinta yang tumbuh dan dilakukan oleh tujuh anggota badan, yaitu
bertahan dengan kuat. Mayang pinang mulut, mata, telinga, hidung, kaki, tangan,
pada dasarnya berbau harum, hal ini dan kemaluan (Sinaga, 2005). Makna
bermakna suatu harapan agar kelak prosesi siraman adalah mengharumkan dan
menjadi manusia yang harum baik secara membersihkan diri anak perempuan
193 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

sebelum mencapai usia yang lebih dewasa. sedangkan sang ayah memayungi
Prosesi dilanjutkan dengan tepuk pinang. perjalanan menginjak piring. Prosesi injak
Masyarakat Gorontalo percaya apabila tujuh piring memiliki makna bahwa sang
dalam prosesi tersebut pinang mudah anak harus berjuang untuk menghadapi
pecah, maka sang anak akan mudah dalam berbagai macam bentuk jalan kehidupan,
menempuh hidupnya, sedangkan apaila peran seorang ibu adalah membimbing
tidak mudah pecah, maka sang anak anak sedangkan ayah melindungi. Setelah
dipercaya akan banyak menghadapi injak piring, kemudian beras lima warna
rintangan dalam hidupnya. Selanjutnya (pale yilulo) ditabur ke seluruh ruangan
prosesi pecah telur, penggunaan telur rumah dengan maksud agar tidak
merupakan suatu harapan agar anak memperoleh gangguan dari makhluk halus,
hatinya bulat seperti telur. Dalam prosesi lima warna menggambarkan lima aliran
pecah telur, apabila dalam prosesi kuning yang ada dalam tubuh manusia. Merah
telur pecah, dipercaya maka masa depan merupakan gambaran atas darah merah
sang anak buruk dan tidak dapat menjaga yang mengalir pada tubutuh manusia, putih
kehormatannya karena tidak dapat simbolisasi atas darah putih, ungu
membedakan antara kebaikan dan merepresentasikan warna daging manusia,
keburukan, apabila tidak pecah maka kelak hijau simbol dari urat yang ada di dalam
masa depan sang anak akan baik dan dapat diri manusia, sedangkan warna kuning
menjaga kehormatannya. adalah simbol dari sumsum manusia
Prosesi yang terakhir adalah (Lamusu, 2016).
mopohuta’a to pinggae (injak piring).
Dalam prosesi ini terdapat tujuh buah Nilai Religi
piring yang telah diisi berbagai macam
benda, yaitu segeggam tanah dan tanaman Nilai religius merupakan nilai yang
rumput, biji jagung, padi, uang koin, daun bersumber dari kenyataan yang bersifat
puring, bakohati, dan tangkai mayang mutlak sehingga nilai ini erat kaitannya
pinang. Piring pertama, berisi tanah dan dengan Tuhan. Kepercayaan manusia akan
tumbuhan rumput bermakna kehidupan di nilai keagungan, kesucian, dan keadilan
bumi yang dilambangkan dengan tanah, Tuhan yang bersifat absolut. Tuhan—
perlu memperkuat pendirian, keimanan, sebagai Yang Kudus dan nilainya yang
dan ketakwaan yang dilambangkan dengan disebut sebagai nilai kudus menjelma
tumbuhan rumput. Piring kedua yang dalam nilai religius yang kemudian
berisi jangung bermakna sang anak wajib terkadung dalam aktivitas-aktivitas
mempertahankan kesucian dan kehormatan manusia. Nilai religius berkaitan dengan
dirinya. Piring ketiga berisi padi bermakna bagaimana manusia bersikap dan bertindak
kerendahan hati yang dilambangkan berdasarkan dorongan kepercayaan diri
dengan buah padi yang semakin berisi kepada Sang Pencipta. Nilai religius tidak
maka semakin menunduk. Piring keempat hanya terikat kepada satu pedoman atau
berisi uang koin bermakna rejeki yang ajaran agama, melainkan berkaitan dengan
halal. Piring kelima berisi daun puring sistem kepercayaan terhadap eksistensi
bermakna adat, yaitu menghindarkan diri Tuhan, sebab itu kemudian nilai religius
dari perbuatan yang memalukan diri masih merupakan nilai yang luas
sendiri dan keluarga. Piring keenam berisi cakupannya. Namun, dalam hal ini,
bakohati bermakna penataan diri anak. masyarakat Gorontalo mendasarkan nilai
Piring ketujuh berisi tangkai mayang religius pada ajaran agama Islam untuk
pinang bermakna keharuman nama pribadi menentukan kaidah adat .
dan keluarga perlu dijaga. Injak piring Masyarakat Gorontalo menjalankan
dilakukan dengan bantuan sang ibu syariat agama Islam salah satunya melalui
194 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

adat yang berlaku, yaitu adat yang Gorontalo. Dari hasil wawancara yang
berlandaskan syariat agama Islam. Hal dilakukan terhadap 15 orang tua yang
tersebut tercermin pada falsafah pernah menyelenggarakan upacara adat
masyarakat suku Gorontalo “Adat Mongubingo, sebanyak 93% menjawab
bersendikan syara’, syara’ bersendikan bahwa upacara adat merupakan syariat
kitabullah” (adat berlandaskan syariat, agama Islam yang wajib dilakukan,
syariat berlandaskan kitabullah). Sebab sedangkan sisanya menjawab hanya bagian
itulah, kemudian melalui adat, pemahaman dari adat masyarakat suku Gorontalo
religius masyarakat Gorontalo berpusat. terlepas dari syariat agama Islam. Dari data
Ketika masyarakat Gorontalo memperoleh tersebut, penyelenggaraan upacara adat
pengetahuan mengenai nilai-nilai religius Mongubingo dipahami oleh masyarakat
melalui pengetahuan yang telah suku Gorontalo sebagai sesuatu yang
ditanamkan dalam sistem adat, mereka sakral dan kewajiban beragama ketika
akan lebih mudah menemukan dimensi memiliki anak perempuan. Selain itu,
praktis dalam sistem religi. Melalui adat penerimaan upacara adat Mongubingo
yang berlandaskan nilai-nilai religius, sebagai bagian syariat Islam juga
masyarakat Gorontalo memberikan status mempengaruhi pola pikir masyarakat
adat sebagai hal yang sakral, dan memiliki Gorontalo, terutama orang tua senantiasa
nilai kesucian. memiliki kesadaran pribadi untuk
Bagi masyarakat Gorontalo, menyelenggarakan upacara adat
upacara adat Mongubingo merupakan adat Mongubingo ketika memiliki anak
yang menjadi permulaan anak perempuan perempuan.
memasuki agama Islam. Sang anak mulai Eksistensi nilai religius dalam adat
diikatkan perjanjian pada ajaran agama Mongubingo tersebut merupakan nilai
Islam melalui upacara adat Mongubingo. terdasar yang menjadikan tradisi khitan
Hal tersebut nampak dalam makna filosofis perempuan tetap berlaku secara lestari
prosesi momonto (pemberian gelar suci pada masyarakat suku Gorontalo meskipun
kepada anak perempuan) yaitu untuk tidak banyak mendapatkan kritik dari segi
menyembah selain kepada Allah, tidak kesehatan, pemberdayaan perempuan, dan
memasukkan makanan yang haram di perlindungan anak. Namun sesungguhnya
dalam tubuhnya, nafas yang senantiasa masyarakat suku Gorontalo bukanlah
diiringi dengan dzikir, kesiapan memikul masyarakat yang tertutup, melainkan
tanggung jawab atas amanah yang mereka dapat menerima pengaruh dari
diberikan oleh Allah, serta senantiasa luar. Pengaruh-pengaruh dari luar yang
melakukan perbuatan yang sesuai dengan dating diseleksi dan disesuaikan dengan
ajaran dan menghindarkan dari perbuatan perangkat adat dan agama yang ada berkat
tercela. Dalam artian yang lebih ringkas, kuatnya pengaruh agama dan adat pada
bahwa bayi perempuan secara simbolik msayarakat Gorontalo. Penyesuaian yang
mulai diikatkan dengan ajaran dasar sejak dahulu hingga sekarang adalah
agama Islam melalui upacara adat penyesuaian yang tidak bertentangan
Mongubingo. dengan ajaran agama Islam, serta tidak
Dorongan religius dalam mengucilkan nilai dan makna yang
penyelenggaraan upacara adat Mongubingo terdapat dalam budaya masyarakat
merupakan dorongan terkuat yang Gorontalo (Sinaga, 2005).
dipegang teguh oleh masyarakat
Gorontalo. Melalui dorongan religius, Nilai Etis
upacara adat Mongubingo berstatus
sebagai sebuah kewajiban yang tidak bisa Nilai etis adalah nilai-nilai dan
ditawar dengan apapun bagi masyarakat norma-norma yang menjadi pegangan bagi
195 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

seseorang atau suatu kelompok dalam (prosesi khitan) menyiratkan nilai kebaikan
mengatur tingkah lakunya (Bertens, 2013). agar sang anak kelak mampu menjaga
Dalam pengertian ini, nilai etis berkaitan kemaluannya, prosesi momonto
dengan bagaimana sebuah masyarakat (pemberian tanda suci) mengharapkan agar
menetapkan pedoman tindakan sang anak mampu mengamalkan ajaran
berdasarkan kesepakatan moral, sehingga agama Islam, prosesi lihu lo limu (mandi
menyebabkan adanya penilaian baik dan lemon) mengharapkan kelak sang anak
buruk. Nilai etis juga dapat diartikan dapat menjadi pribadi yang bermanfaat
sebagai kualitas tindakan tertentu yang bagi keluarga dan orang lain.
diharapkan oleh manusia. Penyelenggaraan upacara adat
Posisi Gorontalo sebagai salah satu Mongubingo bagi masyarakat Gorontalo
daerah adat di Indonesia menempatkan adalah sesuatu yang wajib dilakukan.
berbagai tradisi yang sudah berkembang Kewajiban tersebut tidak hanya dalam
sebagai kebiasaan masyarakat yang prosesi khitan bagi anak perempuan
mengandung nilai kebaikan. Sistem adat sebagai inti dari tradisi, melainkan secara
yang dibangun didasarkan pada keseluruhan dari prosesi khitan hingga
pemahaman agar manusia memiliki injak piring. Dari hasil temuan di lapangan,
kualitas tingah laku atau adab yang baik. penyelenggaraan upacara adat Mongubingo
Nilai etis dalam penyelenggaraan adat adalah wajib bagi semua kalangan
yang kuat merupakan sebuah kualitas yang masyarakat suku Gorontalo yang memiliki
diharapkan agar manusia dapat anak perempuan, termasuk semua kalangan
memperoleh penerimaan dari komunitas dalam berbagai kelas ekonomi. Namun
masyarakat. Dengan diberlakukannya adat biasanya masyarakat dengan tingkat
secara turun-temurun, masyarakat suku ekonomi rendah, menengah, dan atas
Gorontalo akan memiliki rasa kepemilikan memiliki perbedaan dalam segi perayaan,
(sense of belonging) terhadap adat, dimana masyarakat dengan tingkat
sehingga akan tetap melestarikannya dari ekonomi rendah dan menengah biasanya
waktu ke waktu. mengadakan upacara adat secara sederhana
Upacara adat Mongubingo adalah dengan hanya melibatkan sanak saudara
tradisi siklus kehidupan yang tidak dapat atau tetangga dan pemangku adat setempat,
dilepaskan dari kehidupan seorang sedangkan apabila penyelenggara dalam
perempuan suku Gorontalo, pasalnya kategori ekonomi atas biasanya mereka
masyarakat suku Gorontalo memiliki adat mengundang pejabat daerah dan beberapa
yang mengatur awal kehidupan hingga baate (pemangku adat daerah).
akhir kehidupan manusia, yang setiap Kendala secara ekonomi dalam
bagiannya memiliki makna filosofis yang penyelenggaraan upacara adat Mongubingo
berbeda. Upacara adat Mongubingo yang tidak menjadi penghambat bagi masyarakat
diperuntukkan bagi bayi perempuan usia suku Gorontalo untuk tetap melakukan
satu hingga tiga tahun tentu dibedakan adat yang dianggap sebagai kewajiban ini,
dengan upacara bagi bayi suku Gorontalo bahkan apabila ada sebuah keluarga tidak
seperti kelahiran atau aqiqah. mampu secara total menyelenggarakan
Dalam adat Mongubingo, anak upacara adat Mongubingo, biasanya
perempuan mulai diajarkan bagaimana ia kerabat dekat atau tetangga secara gotong-
dapat tumbuh kembang menjadi royong membantu proses penyelenggaraan
perempuan yang beradab sesuai dengan adat tersebut.
konsep suku Gorontalo. Hal ini tercermin Konsep kebaikan dalam upacara
dari makna filosofis yang terkandung dari adat Mongubingo tidak hanya dipegang
masin-masing tahapan prosesi adat oleh masyarakat secara individu,
Mongubingo. Dari prosesi lihu lo limu melainkan juga menjadi tanggung jawab
196 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

sosial masyarakat setempat untuk adat Gorontalo. Upacara adat Mongubingo


senantiasa menyelenggarakan adat yang adalah keutamaan bagi bayi perempuan
berlaku dalam lingkup sosial suku dalam mengendalikan nafsu yang ada sejak
Gorontalo. Gotong-royong adalah sebuah dini untuk membentuk perilaku dan
konsep nilai kebaikan agar masyarakat tindakan. Hal ini dilakukan melalui
suku Gorontalo hidup berdampingan antar pengendalian tingkah lakunya dalam
sesama. Dengan demikian, pelestarian masyarakat seiring perkembangan umur
upacara adat Mongubingo sesungguhnya dan kehidupannya sehingga tercapai aspek
tidak hanya berlaku secara personal bagi keluhuran yang diinginkan.
setiap suku Gorontalo, melainkan sudah
menjadi tanggung jawab bersama sebagai KESIMPULAN
kesepakatan hidup bermasyarakat.
Masyarakat suku Gorontalo yang tidak Upacara adat Mongubingo pada
melaksanakan adat dimungkinkan mereka masyarakat suku Gorontalo merupakan
kehilangan sosialitas mereka hidup dalam upacara khitan pada bayi perempuan
sebuah kesamaan filosofis. Sehingga berumur 1-3 tahun yang terdiri atas khitan
secara tidak langsung upacara adat dan diakhiri dengan mandi lemon. Adat
Mongubingo dapat bertahan hingga saat ini Mongubingo ini masih dilestarikan
karena peranan kolektif masyarakat suku pelaksanaannya pada masyaraat Gorontalo
Gorontalo itu sendiri. berdasarkan falsafah pelaksaan adat
Masyarakat Gorontalo juga berdasarkan agama. Melalui berbagai
meyakini bahwa upacara adat Mongubingo simbolisasi dan makna filosofis yang ada
merupakan cara untuk membentuk karakter dalam upacara adat Mongubingo,
dan pola kehidupan, serta tingkah laku masyarakat Gorontalo percaya bahwa
anak perempuan. Mereka mendasarkan tradisi Mongubingo memiliki nilai
melalui tradisi Mongubingo, kelak sang kebaikan. Nilai kebaikan tersebut
anak perempuan terhindar dari tingkah bersumber dari nilai religi yang dianut
laku yang tidak sesuai dengan adat sebagai dasar menjalankan tradisi
setempat, terutama agar dapat membatasi Mongubingo, nilai ini tidak dapat
diri dengan lawan jenis. Dalam beberapa dilepaskan dari masyarakat Gorontalo
kajian medis, khitan perempuan akan karena sejatinya mereka melandaskan
berpengaruh pada pengurangan hasrat seks kehidupannya berdasarkan falsafah
pada perempuan. Bagi masyarakat “Aadati hulahula to saraa, Saraa hulahula
Gorontalo, hal ini bukan hanya dimaknai to kuru’ani” yang berarti adat bersendikan
sebagai reduksi hasrat secara fisiologis syara‟, syara‟ bersendikan kitabullah.
saja, melainkan terkandung sebuah konsep Secara garis besar, nilai filosofis
nilai etis agar kelak perempuan diharapkan yang terkandung dalam upacara adat
senantiasa mampu membatasi dirinya Mongubingo adalah sebuah harapan akan
terhadap lawan jenis, agar perempuan masa depan yang baik bagi anak
dapat menjaga kehormatannya. Kemudian perempuan. Keberadaan nilai-nilai yang
inilah yang dapat dihubungkan bagaimana terkandung dalam upacara adat
konsep upacara adat Mongubingo sebagai Mongubingo merupakan faktor kuat yang
nilai agar perempuan Gorontalo mampu menyebabkan tradisi tersebut tetap eksis
mengendalikan tingkah lakunya. hingga saat ini. Nilai religi adalah nilai
Dapat dikatakan bahwa upacara yang mendasari mengapa upacara adat ini
adat Mongubingo memiliki nilai masih dilakukan hingga sekarang. Melalui
keutamaan moral serta keluhuran (virtue) nilai religi, masyarakat Gorontalo
untuk membentuk karakter anak sesuai memaknai tradisi ini sebagai kewajiban
dengan budaya yang dianut dalam tatanan yang harus dijalankan. Sedangkan nilai etis
197 | JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 8, Nomor 2, 2020 E-ISSN: 2621-5101 P-ISSN:2354-7294

adalah nilai-nilai yang menjadi acuan atau 2020. Harmonisasi Masyarakat


tujuan akhir upacara adat Mongubingo, Tengger Dalam Upacara Yadnya
yaitu pengendalian tingkah laku Karo. Jurnal Ilmu Budaya. Vol. 8.,
perempuan yang diharapkan selalu sesuai No. 1, 140-145.
dengan yang diharapkan oleh masyarakat Moleong, L. J. 1991. Metode Penelitian
Gorontalo. Kualitatif. Bandung: Remaja
Konsep nilai etis yang dibangun Rosda.
melalui upacara adat Mongubingo
Sinaga, M. 2005. Upacara Adat Propinsi
merupakan dasar sebagai tujuan akhir
Gorontalo. Gorontalo: Departemen
kehidupan perempuan di tengah-tengah
masyarakat Gorontalo yaitu menjadi Kebudayaan Dan Pariwisata.
perempuan yang dapat mengontrol Soelaeman, M. 1992. Ilmu Budaya Dasar:
perilaku dan beradab sesuai dengan adat, Suatu Pengantar. Bandung: Pt
budaya, dan agama yang berlaku. Dengan Eresco.
tujuan tersebut, masyarakat Gorontalo Sulthan, S. 2017. Dinamika Khitan Bagi
meyakini bahwa hal ini akan Perempuan Di Kelurahan Bara
menghantarkan mereka pada kebahagiaan Baraya, Kecamatan Makassar,
dunia dan akhirat. Kota Makassar. Makassar: Uin
Alauddin Makassar.
DAFTAR PUSTAKA Waode Fian Adilia Dan Ikhwan M. Said.
2019. Ritual Posuo 'Pingitan' Pada
Agustianto. 2011. Makna Simbol dalam Masyarakat Suku Buton: Kajian
Kebudayaan Manusia. Jurnal Ilmu Semiotika. Jurnal Ilmu Budaya,
Budaya, Vol. 8., No. 1., 1-8. Volume 7, Nomor 2, 273-281.
Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta:
Kanisius.
Djibu, F. 2014. Makna Dan Nilai Tradisi
Mo Polihu Lo Limu Pada
Masyarakat Gorontalo. Universitas
Negeri Gorontalo, Jurusan
Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu
Sosial, Gorontalo.
Hassanudin & Basri Amin. 2012.
Gorontalo Dalam Dinamika
Sejarah Masa Kolonial.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif
Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradigma.
Lamusu, S. A. 2016. Semiotics And Its
Application In Pohutu Aadati Lihu
Lo Limu Devices In Gorontalo.
Humaniora, Vol. 28, Num. 2, 215-
228.
Nofitasari, D.V., Rosyadi,I., Muslimin, M.,
Hendrawan, R., Yudistio,K.,
Sa‟adah, Z., Dharmawan, A.S.

Anda mungkin juga menyukai