Anda di halaman 1dari 13

1

REPRESENTASI SIKAP TOLERANSI ANTAR UMAT ISLAM DAN


HINDU PADA ERA GLOBALISASI DI DESA KAMPUNG GELGEL,
KECAMATAN KLUNGKUNG, KABUPATEN KLUNGKUNG

Oleh:

Dewa Made Mega Prawira, (2180211006)


S.Sos

PROGRAM STUDI MAGISTER KAJIAN BUDAYA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR
2

2021

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, itu dibuktikan


dengan beragamnya etnis, agama, bahasa, budaya, dan adat-istiadat. Untuk
persoalan agama, negara Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi, melainkan
secara konstitusional negara mewajibkan warganya untuk memeluk satu dari
agama-agama yang diakui eksistensinya sebagaimana tercantum di dalam pasal 29
ayat (1) dan (2) UUD 1945. Negara memberi kebebasan kepada penduduk untuk
memilih salah satu agama yang telah ada di Indonesia yaitu agama Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Abdul Kadir ( 1992 : 344) mengenai potensi integrasi akan
terjadi apabila terdapat suasana keharmonisan hubungan dalam dinamika
pergaulan terutama intern umat beragama dan antar umat beragama. Sebaliknya,
potensi disintegrasi akan menjadi kenyataan apabila terdapat suasana saling curiga
dan persaingan dalam dinamika baik intern umat beragama maupun antar umat
beragama (Abdul Kadir,1992:344) dalam lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?
dataId=6666, diakses tanggal 11 Maret 2018 .

Kekerasan demi kekerasan bergulir silih berganti yang bermula dari


persoalan vertikal tetapi kemudian bersinggungan dengan persoalan horizontal,
dalam hal ini etnisitas dan keagamaan. Kasus Ketapang, yang bermula dari
pertikaian antara preman dan penduduk setempat, kemudian berlanjut berubah
konflik “SARA” antara etnik Ambon yang Kristen dan etnik Jawa yang Islam, di-
mulai dengan pelemparan pada tempat ibadah masjid, selanjutnya tindakan
balasan berupa pembakaran toko-toko dan tempat ibadah gereja (Maliki
2000:185). Semua kasus-kasus antar umat beragama di atas tidak perlu terjadi jika
3

antar umat beragama dapat saling menghargai dan menghormati kebebasan orang
lain dan menyadari bahwa perbedaan itu bukan suatu penghalang dalam
mewujudkan persaudaraan di antara mereka.

Konflik SARA yang sering terjadi akhir-akhir ini menjadi ancaman yang
serius terhadap integrasi bangsa Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia harus
dipandang sebagai salah satu alat untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa dengan selalu mengembangkan sikap toleran, saling menghargai satu
dengan lainnya. Keberagaman atau kehidupan dalam lingkungan majemuk
merupakan sumber kekayaan budaya bangsa. Setiap perwujudan mengandung
ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari perwujudan yang lain. Tidak mungkin
pula apabila semua perwujudan itu sama karena menunjukkan tidak akan ada
perkembangan atau kemajuan pada suatu bangsa. Atas dasar pemahaman tersebut
kebhinnekaan yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebenarnya untuk
memenuhi kepentingan bersama agar dapat hidup sejahtera. Dalam kehidupan
masyarakat yang serba majemuk, berbagai perbedaan yang ada seperti dalam
suku, agama, ras atau antar golongan, merupakan realita yang harus di
dayagunakan untuk memajukan negara dan bangsa Indonesia, menuju cita-cita
yang diinginkan yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Toleransi yang ada dapat
dilihat secara nyata dari aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan sehari-hari di
Desa Kampung Gelgel secara gotong royong baik itu kegiatan yang menyangkut
kepentingan umum maupun kepentingan perseorangan. Individu-individu yang
berbeda agama bekerjasama dengan tidak memandang status perbedaan agama
yang dianut. Berdasarkan latar belakakang di atas, maka penulis tertarik untuk
membahas masalah Representasi Sikap Toleransi Antar Umat Islam dan Hindu
Pada Era Globalisasi di Desa Kampung Gelgel.

Pada masyarakat Muslim di desa kampung Gelgel terjadi proses integrasi


sosial yang mantap dengan masyarakat lokal yang di mana mereka mampu
menjalin hubungan harmonis sejak abad ke XIV. Mereka hidup rukun, damai,
penuh toleransi, bahkan terjadi akulturasi, amalgamasi, sehingga ada yang tadinya
4

Hindu, kemudian menikah dengan orang Islam, sehingga Bali di kenal sebagai
wilayah kondusif bagi kehidupan toleransi beragama. Komunitas-komunitas
Muslim yang sudah berakar sejak lama, di beberapa wilayah di Bali, seperti di
Desa Pegayaman Buleleng, Kampung Jawa Buleleng, Dusun Wonosari Denpasar,
Desa Kampung Gelgel Klungkung, dan lain-lain. Mereka tak hanya menjadi
komunitas eksklusif, tetapi juga berinterakasi dan bergaul secara sosial dengan
masyarakat Hindu di sekitarnya (Dhurrorudin Mashad, 2014). Masyarakat desa
kampung Gelgel merupakan representatif toleransi umat beragama di Bali pada
era globalisasi saat ini. Oleh karena itu, penulis mengangkat tema toleransi umat
beragama karena saat ini Indonesia krisis kebhinnekaan, yang diwakili oleh
masyarakat desa kampung Gelgel di Klungkung.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian kecil ini, penulis membahas mengenai keintegrasian


masyarakat Muslim Gelgel dengan masyarakat lokal yang mayoritas beragama
Hindu yang rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah keberadaan masyarakat Muslim di desa kampung


Gelgel, kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung?
2. Bagaimana kerukunan umat Muslim dan umat Hindu di desa kampung
Gelgel sebagai refleksi toleransi umat beragama pada era globalisasi?
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah


sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah keberadaan masyarakat Muslim di desa


kampung Gelgel, kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung.
2. Untuk mengetahui kerukunan umat Muslim dengan umat Hindu di
desa kampung Gelgel sebagai refleksi toleransi umat beragama pada
era globalisasi.
5

1.4 Kerangka Teori

Dalam menunjang suatu penelitian, penggunaan teori merupakan hal yang


pokok sebagai acuan dasar bagi seorang peneliti untuk menyelesaikan suatu
penelitian. Adapun teori yang cukup relevan dengan penelitian mengenai
kehidupan toleransi umat beragama di desa kampung Gelgel ini adalah teori
integrasi. Menurut Ralph Linton, integrasi adalah proses perkembangan progresif
dalam rangka mewujudkan persesuaian yang sempurna antara unsur-unsur, yang
secara bersama mewujudkan kebudayaan universal (total culture) (Ralph Linton,
1984:266). Definisi ini berangkat dari paradigma bahwa setiap kebudayaan
merupakan formasi yang bagian-bagiannya saling menyesuaikan. Masuknya
setiap unsur kebudayaan baru tentu akan mengganggu keseimbangan yang telah
ada. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian-penyesuaian unsur-unsur
kebudayaan tersebut menjadi universal. Sedangkan menurut Soetrisno Kutoyo,
integrasi sosial adalah gambaran tentang terjadinya pembauran warga masyarakat
menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat ke dalam satu kesatuan sosial, atau
dengan kata lain integrasi sosial merupakan proses penyesuaian di antara unsur-
unsur yang saling berbeda dalam kehidupan sosial (masyarakat) sehingga
menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi fungsinya bagi masyarakat
(Sutrisno, 2004:144).

Dari dua konsep diatas, terlihat bahwa integrasi sosial menekankan


penyesuaian antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kebudayaan termasuk
masyarakat, dalam rangka menciptakan atau mencapai universalitas dan mencapai
suatu pola yang serasi. Dalam kaitannya dengan toleransi umat Muslim dengan
Hindu di desa kampung Gelgel, terjadi pembauran masyarakat Muslim dengan
Hindu Gelgel yang terjalin sejak abad ke XIV. Representasi sikap toleransi yang
ada di desa kampung Gelgel ialah masyarakat Muslim bersama masyarakat lokal
turut berpartisipasi apabila ada upacara keagamaan. Misalnya, ketika masyarakat
lokal mengadakan pernikahan, maka masyarakat Muslim Gelgel membantu
6

kegiatan tersebut, seperti: bersih-bersih, memasak, dan sebagainya. Sebaliknya,


jika masyarakat Muslim Gelgel mengadakan upacara Idul Fitri, maka masyarakat
lokal, serta keluarga kerajaan Gelgel diundang untuk silahturahmi atau makan
bersama secara guyub dan akrab. Mereka juga turut menjaga keamanan bila ada
warga yang melaksanakan upacara keagamaan, seperti: pernikahan, Nyepi,
Ngaben, dan lain sebagainya. Menurut Koentjaraningrat dalam Fredieman Asmi,
aktivitas seperti itu menggambarkan bahwa memang demokrasi asli Indonesia di
dalam masyarakat itu sebenarnya adalah suatu demokrasi yang terbatas fungsi dan
ruang lingkupnya, karena hanya mengenai kehidupan dalam batas-batas struktur
kekerabatan (Asmi, 2017:11).

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif


adalah penguraian tentang kejadian-kejadian berdasarkan data-data baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam
Sumaryanto, 2001: 2) penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah dengan cara wawancara dan studi kepustakaan.
7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Keberadaan Masyarakat Muslim Gelgel

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Sahidin selaku


Perbekel Desa Kampung Gelgel, pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir
sebagai raja Gelgel I (1380-1460), yaitu sebagai raja Bali pernah mengadakan
kunjungan ke kraton Majapahit pada abad ke XIV. Setelah melaksanakan
kunjungan, raja diantar dan dikawal oleh 40 orang pengawal dari Majapahit yang
beragama Islam. Para pengawal tersebut menjadi Abdi Dalem di kerajaan Gelgel,
karena kerajaan Majapahit dan kerajaan Gelgel memiliki hubungan diplomatik
yang baik, mereka pun diberikan tempat tinggal di sebelah timur kerajaan Gelgel
pada waktu itu (sekarang menjadi Desa Kampung Gelgel), yang sekaligus menjadi
benteng untuk mempertahakan kerajaan Gelgel, sehingga peran dari 40 pengawal
ikut serta menjaga keamanan kerajaan Gelgel dari berbagai ancaman.

Sekian lamanya tinggal di Gelgel, para pengawal ini kemudian


membangun sebuah Masjid yang bernama Nurul Huda. Pada awalnya, tiangnya
terbuat dari pohon Santan, sedangkan atapnya terbuat dari daun kelapa yang
disebut Kelabang, saat ini Masjid Nurul Huda telah direnovasi dan menjadi salah
satu Masjid terbesar dan tertua di kabupaten Klungkung. Setelah sekian lama
menetap di Gelgel, ada beberapa pengawal kerajaan Majapahit yang pergi ke
kampung asalnya dan ada juga sebagian yang pergi ke Karangasem, yaitu ke
kampung Saren Jawa. Dalam perkembangan selanjutnya wilayah ini berkembang
menjadi sebuah kampung karena diikuti oleh migrasi ke dua yang berjumlah 100
orang Muslim. 100 orang Muslim tersebut dipimpin oleh Dewi Fatimah yang
merupakan utusan dari kerajaan Demak. Utusan tersebut gagal mengislamkan
8

Dalem Watu Renggong, kaum Muslim anggota ekspedisi yang berjumlah sekitar
100 orang tidak diusir dan justru diberikan mereka memilih tinggal di Bali.
Bahkan, kepada mereka diberikan pelungguhan (sebidang tanah Gelgel bahkan
ditambah kampung Lebah) (Sutama, 2015:5).

2.2 Kerukunan Umat Muslim Dengan Umat Hindu di Desa Kampung Gelgel
Sebagai Refleksi Toleransi Umat Beragama Pada Era Globalisasi

Integrasi berasal dari bahasa Inggris integration yang berarti kesempurnaan


atau keseluruhan. Menurut Soetrisno Kutoyo, integrasi sosial adalah gambaran
tentang terjadinya pembauran warga masyarakat menjadi satu kesatuan yang utuh
dan bulat ke dalam satu kesatuan sosial, atau dengan kata lain integrasi sosial
merupakan proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam
kehidupan sosial (masyarakat) sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang
serasi fungsinya bagi masyarakat (Sutrisno, 2004:144). Pada masyarakat desa
kampung Gelgel, masyarakat Muslim Gelgel dengan masyarakat lokal telah
membaur, serta berinteraksi dalam rangka mencapai kemakmuran. Integrasi sosial
yang terjalin pada masyarakat desa kampung Gelgel menimbulkan rasa toleransi
umat beragama, serta rasa saling membutuhkan, hal ini sangat berpengaruh
terhadap keintegrasian, tentu akan ada implikasi terhadap aspek sosial dan
budaya. Dari fakta yang ada implikasi yang paling besar pengaruhnya adalah dari
tujuh unsur budaya. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh
ketatakelakuan yang harus didapatnya dengan belajar (Koentjaraningrat,
144:2015). Kebudayaan seperti kita ketahui adalah suatu yang sangat melekat
yang ada pada daerah tertentu yang menjadi ciri khas dari suatu wilayah itu
sendiri yang akan selalu terharmonisasi dan bersifat turun temurun.

Toleransi adalah sikap terbuka untuk menghargai atau membolehkan


seseorang untuk hidup dengan damai, bentuk toleransi yang diwakili oleh
masyarakat Muslim di desa kampung Gelgel yang hidup berdampingan bersama
masyarakat lokal yang mayoritas beragama Hindu sebagai refleksi toleransi umat
9

beragama pada era globalisasi adalah mereka diberikan tempat tinggal oleh
kerjaan Gelgel, serta membangun Masjid untuk beribadah. Sejak pertemuan di
Jawa Timur pada abad ke XIV, di kerajaan Gelgel telah menjalin hubungan
diplomatik yang harmonis dengan kerajaan Majapahit, sehingga menimbulkan
integrasi antara masyarakat Muslim Gelgel dengan masyarakat lokal Gelgel.

Representasi sikap toleransi yang ada di desa kampung Gelgel ialah


masyarakat Muslim bersama masyarakat lokal turut berpartisipasi apabila ada
upacara keagamaan. Wujud dari sikap toleransi umat Muslim dan umat Hindu di
desa kampung Gelgel ialah ketika masyarakat lokal mengadakan pernikahan,
maka masyarakat Muslim Gelgel membantu kegiatan tersebut, seperti: bersih-
bersih, memasak, dan sebagainya. Sebaliknya, jika masyarakat Muslim Gelgel
mengadakan upacara Idul Fitri dan bulan Puasa, maka masyarakat lokal, serta
keluarga kerajaan Gelgel diundang untuk silahturahmi atau makan bersama
secara guyub dan akrab yang mereka sebut sebagai Magibung, hidangan yang di
santap adalah Sagi. Sagi adalah makanan yang di sajikan di atas nampan yang
berisi nasi dan lauknya berupa tempe, tahu, daging ayam, sayur mayur, dan lain-
lain yang ditutup dengan Saab. Setiap Sagi isinya berbeda, namun tidak
menyurutkan rasa kekerabatan dan toleransi umat beragama. Mereka juga turut
menjaga keamanan bila ada warga yang melaksanakan upacara keagamaan,
seperti: pernikahan, Nyepi, Ngaben, dan lain sebagainya. Hal inilah sebagai
refleksi sikap toleransi pada era globalisasi, yang di mana umat Muslim dan umat
Hindu di desa kampung Gelgel hidup berdampingan yang terjalin sejak abad ke
XIV, mereka hidup saling membutuhkan satu sama lainnya, tidak ada perasaan
ingin saling menjatuhkan maupun saling fitnah seperti pada peredaran berita-
berita palsu atau hoax di jagat media sosial yang sumbernya berasal dari dunia
antah berantah.
10

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Desa kampung Gelgel merupakan desa Muslim tertua di Bali yang sudah ada
sejak abad ke XIV, di mana Dalem Ketut Ngelesir sebagai raja Gelgel I (1380-
1460), yaitu sebagai raja Bali pernah mengadakan kunjungan ke kraton Majapahit
pada abad ke XIV. Setelah melaksanakan kunjungan, raja diantar dan dikawal
oleh 40 orang pengawal dari Majapahit yang beragama Islam. Para pengawal
tersebut menjadi Abdi Dalem di kerajaan Gelgel, karena kerajaan Majapahit dan
kerajaan Gelgel memiliki hubungan diplomatik yang baik, mereka pun diberikan
tempat tinggal di sebelah timur kerajaan Gelgel pada waktu itu (sekarang menjadi
Desa Kampung Gelgel), yang sekaligus menjadi benteng untuk mempertahakan
kerajaan Gelgel, sehingga peran dari 40 pengawal ikut serta menjaga keamanan
kerajaan Gelgel dari berbagai ancaman. Bukti berdirinya desa kampung Gelgel ini
adalah adanya bangunan Masjid Nurul Huda yang telah berdiri sejak abad ke XIV.
Namun karena telah direnovasi, tidak ada bekas bersejarah dari bangunan yang
sudah ada sejak abad ke XIV ini. Saat ini, Masjid Nurul Huda menjadi Masjid
tertua dan terbesar di kabupaten Klungkung.

Representasi sikap toleransi yang ada di desa kampung Gelgel ialah


masyarakat Muslim bersama masyarakat lokal turut berpartisipasi apabila ada
upacara keagamaan. Wujud dari sikap toleransi umat Muslim dan umat Hindu di
desa kampung Gelgel ialah ketika masyarakat lokal mengadakan pernikahan,
maka masyarakat Muslim Gelgel membantu kegiatan tersebut, seperti: bersih-
bersih, memasak, dan sebagainya. Sebaliknya, jika masyarakat Muslim Gelgel
mengadakan upacara Idul Fitri dan bulan Puasa, maka masyarakat lokal, serta
11

keluarga kerajaan Gelgel diundang untuk silahturahmi atau makan bersama


secara guyub dan akrab yang mereka sebut sebagai Magibung, hidangan yang di
santap adalah Sagi. Sagi adalah makanan yang di sajikan di atas nampan yang
berisi nasi dan lauknya berupa tempe, tahu, daging ayam, sayur mayur, dan lain-
lain yang ditutup dengan Saab. Setiap Sagi isinya berbeda, namun tidak
menyurutkan rasa kekerabatan dan toleransi umat beragama. Mereka juga turut
menjaga keamanan bila ada warga yang melaksanakan upacara keagamaan,
seperti: pernikahan, Nyepi, Ngaben, dan lain sebagainya. Hal inilah sebagai
refleksi sikap toleransi pada era globalisasi, yang di mana umat Muslim dan umat
Hindu di desa kampung Gelgel hidup berdampingan yang terjalin sejak abad ke
XIV, mereka hidup saling membutuhkan satu sama lainnya, tidak ada perasaan
ingin saling menjatuhkan maupun saling fitnah seperti pada peredaran berita-
berita palsu atau hoax di jagat media sosial yang sumbernya berasal dari dunia
antah berantah.
12

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sutama, Putu. 2015. Komunitas Islam Di Desa Gelgel, Klungkung, Bali
(Latar Belakang Sejarah, Peninggalan, Dan Potensinyasebagai Sumber Belajar
Sejarah Di Sma). Singaraja: Artikel Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha.

Asmi, Fredieman. 2017. Perantau Manggarai Di Kelurahan Sesetan, Kecamatan


Denpasar Selatan. Denpasar: Skripsi S1 Program Studi Antropologi, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

Hadisaputro, Muhda. 2002. Peranan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama


Dalam Ketahanan Masyarakat.lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=6666.
Diakses tanggal 11 Maret 2018.

Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Kutoyo, Soetrisno. 2004. Sosiologi. Jakarta: Grasindo.

Linton, Ralph. 1984. Antropologi: Suatu Penyelidikan Tentang Manusia.


Bandung: Jemmars.

Maliki, Z. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa. Yogyakarta: Galang Press.

Mashad. Dhurorudin. 2014. Muslim Bali Mencari Kembali Harmoni yanga


Hilang. Jakarta. Puataka-Al Kautsar.
13

Anda mungkin juga menyukai