Anda di halaman 1dari 17

PLURALISME DAN SEKULARISME: TANTANGAN

RELIGIUSITAS NEGARA MULTIKULTURAL INDONESIA


Zaki Afifi/O300210002

Abstract: Indonesia as a multicultural country chooses to stand on the basis of


the Pancasila state but is not secular and still facilitates all religious practices.
This of course faces challenges and "temptations to establish a system of
pluralism and secularism" both of which are contrary to Islam. Not
infrequently these whispers came from Muslim scholars. Indonesia has been
able to utilize the power of religion well by abandoning pluralism and
secularism in its government system to face a multicultural society and is
expected to be able to maintain this situation in the midst of the existing
challenges.

Abstrak: Indonesia sebagai negara multikultural memilih untuk berdiri dengan


dasar negara Pancasila namun tidak sekular dan tetap memfasilitasi segala
praktik keagamaan. Hal ini tentunya menghadapi tantangan-tantangan dan
godaan untuk menetapkan sistem pluralisme dan sekularisme yang mana kedua
hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak jarang bisikan ini terlontar dari
cendikiawan muslim. Indonesia telah mampu memanfaatkan kekuatan agama
dengan baik dengan meninggalkan pluralisme dan sekularisme dalam sistem
pemerintahannya untuk menghadapi masyarakat multikultural dan diharap
mampu mempertahankan keadaan ini di tengah tantangan-tantangan yang ada.

Keywords: pluralism, secularism, religiusity, multiculture

1
A. PENDAHULUAN
Sekularisme lahir karena kekecewaan Barat terhadap gereja yang menjadi
belenggu terhadap pembaharuan khususnya dalam hal ilmu pengetahuan. Kekecewaan
inilah yang mengantarkan pada stigma terhadap agama yang dianggap tidak mampu
mendampingi perkembangan zaman hingga akhirnya dipisahlah gereja dari kehidupan
untuk mencapai maslahat dalam kehidupan.
Bersama sekularisme, pluralisme dianggap sebagai angin segar oleh beberapa
negara dalam menerapkan sistem pemerintahannya untuk mengatur masyarakat yang
multiultural. Sistem kenegaraan yang sekular, yang mengabaikan aspek keagamaan
ataupun yang tidak mempertimbangkan aspek keagamaan serta sistem yang plural,
yang menganggap tidak ada kebenaran eksklusif yang dimiliki suatu agama dianggap
dapat melahirkan keadilan pada masyarakat multikultural.
Indonesia merupakan negara multikultural yang besar yang memiliki banyak
macam suku, ras, agama, bahasa, dan adat istiadat di dalamnya. Indonesia bukanlah
negara yang berdiri dengan asas keagamaan, namun bukan pula negara yang sekular.
Indonesia memiliki dasar negara berupa pancasila (bukan agama Islam atau apapun)
namun Indonesia menghargai agama, dan bahkan dasar dibentuknya Pancasila itu
sendiri adalah ajaran keagamaan sekaligus kemanusiaan.
Menjadi sebuah ironi bahwa banyak yang mengamini paradigma sekular dan
plural dalam artian ini di Indonesia, bahkan oleh tokoh Islam sendiri. Menyetujui hal
ini berarti ikut kecewa atas belenggu agama yang terjadi pada masa dark age di mana
gereja (agama) membelenggu perkembangan kehidupan. Ini juga berarti menganggap
ajaran Islam tidak pantas untuk diterapkan dalam kehidupan bernegara, atau
menghambat syiar untuk berkomitmen terhadap agama dalam kehidupan, atau bahkan
ingin suatu sistem bernegara dijalankan tanpa ada keterlibatan agama.
Indonesia dengan dasar negara yang sudah disepakati oleh bermacam-macam
identitas warganya dan dengan komitmen untuk menghargai agama akan selalu
menemui tantangan-tantangan khususnya yang berupa sekularisme dan pluralisme
yang akan terus menggempur kesucian agama dalam mendampingi kehidupan
bernegara.
Penulisan Ilmiah ini sebisa mungkin dilakukan dengan menjaga prinsip-prinsip
ta`ṣīl (mengembalikan persoalan pada sumber aslinya yaitu Al Quran dan Sunnah),
taṣwīr (pandangan terhadap realitas sesuai dengan ajaran Islam), tarsyīd (menjaga

2
nilai-nilai Islam selalu ada dalam realitas), taṭwīr (mengawal ilmu pengetahuan sesuai
dengan nilai-nilai Islam), tandzīr (bangunan teori baru sesuai ajaran Islam) dan taṭbīq
(penerapan hasil riset yang Islami memberi maslahat bagi kehidupan manusia).

B. PEMBAHASAN
1. Indonesia Negara Multikultural yang Religius
Negara Indonesia merupakan negara multikultural terbesar di dunia baik
dari segi suku, budaya, bahasa dan agamanya. Robet Hefner dalam penelitiannya
“The Study of Religious Freedom in Indonesia” dan Myengkyo Seo dalam
penulisannya “Defining ‘Religious’ in Indonesia: Toward Neither an Islamic Nor
a Scular State” mengukuhkan bahwa Indonesia merupakan negara yang
berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.1 Agama Islam menjadi identitas mayoritas
di Indonesia.
Meskipun Islam menjadi agama mayoritas, Indonesia sejatinya mengakui
enam agama sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden
Republik Indonesia no 1 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama,
Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang
lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia
ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu
(Confusius).
Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah pekembangan Agama-
agama di Indonesia.2

Negara Indonesia sudah sejak dulu menghadirkan hukum dengan kehadiran


agama di ruang publik, bahkan dalam kartu identitas kependudukan (KTP)
terdapat kolom agama. Ini merupakan fenomena yang jarang didapati di negara-
negara Eropa. Pemerintahanpun secara resmi mengelola/memberi fasilitas
terhadap hal-hal yang bersifat keagamaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama
no. 42 Tahun 20163, bahwa susunan organisasi Kementrian Agama terdiri dari 11
unit kerja: Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat
1
Zulkarnain, Warga Negara Religius sebagai Identitas Kewarganegaraan di Indonesia, Prosiding
Konferensi Nasional Kewarganegaraan III (November 2017).
2
Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama.
3
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 42 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementrian Agama, Bab II, Pasal 4.

3
Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha,
Inspektorat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan
Pelatihan; dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Dari sebelas unit
kerja ini tergambar jelas keterlibatan pemerintah dalam memfasilitasi kehidupan
kebergamaan warganya. Pemerintah memayungi pendidikan Islam,
penyelenggaraan Haji dan Umrah bagi umat Islam, bimbingan masyarakat semua
agama yang dikoordinasikan di tingkat kecamatan di dalam Kantor Urusan
Agama (KUA), bahkan pemerintah juga terlibat dalam penjaminan produk halal
untuk umat Islam.
Selain unit kerja dalam struktur Kementrian Agama Republik Indonesia
tersebut, Pemerintah juga mengakui lembaga-lembaga agama yang berdiri dan
ikut berkontribusi dalam penyelenggaraan praktik keagamaan/ritual, doktrin,
pemeliharaan tempat ibadah dan menerapkan perilaku sebagaimana ajaran agama.
Lembaga-lembaga tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk orang
Islam, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) untuk umat Kristen, Konferensi
Wali Gereja Indonesia (KWI) untuk umat Katolik, Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) untuk umat Hindu, Perwakilan Umat Buddha Indonesia
(WALUBI) untuk umat Budha, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
(MATAKIN). Selain fungsi-fungsi tersebut di atas, lembaga-lembaga ini adalah
lembaga resmi pemerintahan yang juga berfungsi sebagai alat kontrol kerukunan
antar umat beragama serta secara praktis bergerak di bidang sosial maupun
ekonomi dengan berafiliasi pada cabang dari masing-masing lembaga di tingkat
daerahnya.
Di Indonesia agama dan negara tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi
keduanya memiliki hubungan yaitu saling memfasilitasi. Agama memiliki payung
hukum untuk memfasilitasi warganya untuk kepentingan keberagamaannya, serta
negara mendapatkan manfaat-manfaat dalam hal sosial, ekonomi dan kebudayaan
dan pendidikan dari adanya gerakan keagamaan yang terjadi. Negara
memfasilitasi penyelenggaraan peribadatan, pemeliharaan tempat peribadatan, dan
perlindungan dari penodaan terhadap apa yang diyakini pemeluknya. Di sisi

4
satunya, agama membantu bangkitnya perekonomian melalui Badan Zakat
Nasional (Baznas) misalnya, ataupun adanya kurban, zakat, infaq, sadaqah secara
praktik. Negara juga memperoleh manfaat kependidikan, terbantu dalam
pembentukan akhlak dan moral yang baik karena adanya lembaga-lembaga
keagamaan yang bergerak di sektor pendidikan seperti Taman Pendidikan Al
Quran (TPA/TPQ).
Dalam hal pluralisme beragama, beberapa terdapat beberapa perbedaan
pandangan dalam hal menerima keragaman khususnya dalam hal keagamaan.4
a. Pandangan Elite Islam, menegaskan bahwa pluralisme memiliki
arti adanya saling menghargai, namun menolak anggapan bahwa
semua agama benar adanya.
b. Pandangan Elite Kristiani, berpandangan bahwa pluralisme
adalah menerima kebenaran agama lain. Dalam konteks ini
maksudnya adalah bahwa semua agama memiliki ajaran yang
benar, semua harus mengasihi dan tidak merasa benar sendiri.
c. Pandangan elite Hindu tentang pluralisme bahwa perbedaan
adalah absah sebagaimana keragaman dalam agama Hindu.
Dalam konteks ini, umat Hindu dituntut mampu memberikan
penghargaan, karena pluralitas adalah suatu kenyataan ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa.
d. Pandangan Elite Budha, bahwa semua agama memiliki tujuan
sama, yakni mengajak umatnya menjadi orang baik, menghindari
kejahatan dan keburukan. Dengan demikian, semua agama
mempunyai tujuan yang sama, namun menempuh jalan yang
berbeda-beda. Jika ingin mencapai tujuan yang sama, atau
mencapai hidup yang bahagia maka semua umat beragama harus
saling membantu dan menolong sesuai kemampuan masing-masing.

Dari pandangan di atas hanyalah Islam yang menuntut untuk memiliki klaim
eksklusif atas kebenaran. Islam agama mayoritas dan klaim eksklusif atas
kebenaran agamanya ini tetap mengecam segala tindakan intoleransi, maka
pluralisme di Indonesia pada intinya adalah kemampuan untuk hidup
berdampingan dengan damai antar agama dan tidak menonjolkan aspek-aspek
pokok dalam keagamaan serta menjunjung tinggi kerukunan sesama umat
manusia.
Pluralitas berarti keragaman. Pluralisme dalam Oxford English Dictionary
diartikan sebagai keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-
kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman

4
Aulia Diana Devi dan Seka Andrean. Implementasi Pendekatan Teologis Normatif dalam Pluralisme
Beragama di Indonesia. TA’LIM: Jurnal Studi Pendidikan Islam (Januari 2021). Vol. 4, No. 1, hlm. 64.

5
kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. Banyak
yang menganggap menjadi sebuah keharusan dalam pluralisme yaitu
meninggalkan klaim kebenaran terkhusus dalam hal beragama yang banyak
menjadi potensi konflik, meninggalkan fanatisme dan menerima keragaman.
Padahal satu poin yang harusnya dipegang dalam pluralisme hanyalah menerima
realitas keragaman dan potensi konflik muncul bukan karena eksklusivitas dalam
beragama, melainkan ketersesatan pemahaman tentang beragama.
Perbedaan pandangan tentang pluralisme oleh para elit agama ini tidak akan
menjadi permasalahan besar ketika kebijakan pemerintah diambil dengan
mempertimbangkan aspek keagamaan (tidak melakukan sekularisme dalam
kebijakan) sehingga rasa keagamaan dalam diri individu terpenuhi, terlindungi
dan tidak direnggut oleh kebijakan pemerintah.
Anis Malik Thoha menyatakan definisi pluralisme agama sebagai kondisi
hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-
beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau
ajaran masing-masing agama.5
Harda mengutip Dr. Frank Gaetano Morales, seorang cendekiawan Hindu,
juga mengecam keras orang-orang Hindu yang menyamakan agamanya dengan
agama lain. Menurutnya, pernyataan bahwa semua agama adalah sama merupakan
doktrin yang sama sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional. 6 Harda
juga menyimpulkan dalam jurnalnya bahwa pluralisme agama mengalami
penolakan dari kalangan agamawan. Ini menunjukkan bahwa paham ini
bermasalah, mengandung polemik dan sangat problematik jika diterapkan dalam
agama-agama yang ada. Setiap agama melihat pluralisme agama hanyalah kedok
untuk mengikis keyakinan para pemeluk agama yang pada akhirnya emunculkan
orang-orang ateis. Lama kelamaan, agama-agama di dunia ini kehilangan
pengikutnya yang mulai bersikap skeptis terhadap agama. Pluralisme agama tidak
menjadi solusi atas keragaman agama.7

Disebutkan dalam surah Al Kahfi: 29,

5
Armayanto Harda. Problem Pluralisme Agama. TSAQAFAH. (November 2014). Vol. 10, No. 2, hlm.
330.
6
Ibid.
7
Ibid

6
‫َو ُقِل اَحْلُّق ِم ْن َر ِّبُك ْم َفَمْن َش اَء َفْلُيْؤ ِم ْن َو َمْن َش اَء َفْلَيْك ُف ْر ِإَّنا َأْعَتْدَنا ِللَّظاِلِم َني َناًر ا َأَح اَط‬
‫ٍء‬ ‫ِغ‬ ‫ِد‬ ‫ِهِب‬
‫ْم ُس َر ا ُقَه ا َو ِإْن َيْس َت يُثوا ُيَغ اُثوا َمِبا َك اْلُم ْه ِل َيْش ِو ي اْلُو ُج وَه ِبْئَس الَّش َر اُب َو َس اَءْت‬
‫ُمْر َتَفًق ا‬
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-
orang lalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek.
Dalam surah Ali Imran: 85 disebutkan,
‫ِس‬ ‫يِف ِخ ِة ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِم ِد‬
‫َو َمْن َيْبَتِغ َغْيَر اإلْس ال يًنا َفَلْن ُيْق َبَل ْنُه َو ُه َو اآل َر َن اَخْلا ِر يَن‬
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.
Dalam surah Ali Imran: 19 disebutkan,
‫ِع ِه‬
‫ِإَّن الِّديَن ْنَد الَّل اإلْس الُم‬
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.
Dalam perspektif Islam sendiri, eksklusivitas keberagamaan adalah
keniscayaan sebagai konsekuensi dari pengakuan dasar beragama Islam
(syahadatain) yaitu mengakui keesaan Allah sekaligus mengingkari ketuhanan
selain Allah. Namun agama Islam sendiri juga memerintahkan untuk hidup di
tengah pluralisme sebagaimana disebut dalam surah Al Maidah: 48:
‫َل َش ا الَّل َلُك ُأَّم ًة اِح َد ًة َلِك ِل ُل ُك يِف ا آَت اُك َفا َتِبُقوا ا اِت ِإىَل الَّل ِه‬
‫َخْلْيَر‬ ‫ْم ْس‬ ‫َو ْن َيْب َو ْم َم‬ ‫َو ْو َء ُه َجَلَع ْم َو‬
. ‫َمْر ِج ُعُك ْم ِمَج يًعا َفُيَنِّبُئُك ْم َمِبا ُك ْنُتْم ِفيِه ْخَتَتِلُفوَن‬

7
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.
Adapun konsep sekularisme dalam pandangan Islam adalah tertolak. Islam
adalah sebuah sistem ibadah komprehensif dan legislasi (syariah). Menerima
sekularisme berarti meninggalkan syariah. Ini berarti menampik aturan Ilahi dan
penolakan terhadap perintah-perintah Allah. Sekularisme hanya cocok dengan
konsep Tuhan ala Barat yang berpendapat bahwa Tuhan menciptakan dunia dan
membiarkan manusia mengaturnya sendiri.
MUI sendiri berfatwa bahwa sekularisme, pluralisme dan liberalisme
merupakan sesuatu yang haram.8 Pluralisme yang dimaksud adalah paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap
agama adalah relatif. Adapun sekularisme yang dimaksud adalah memisahkan
urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk mengatur pribadi dengan
Tuhan sedangkan hubungan sesama diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan
sosial.
Bafadhol menyatakan tentang dampak buruk sekularisme9:
1. Membuka pintu bagi tumbuhnya paham atheisme.
2. Membuka pintu bagi kerusakan akhlak.
3. Terputusnya hubungan sejarah dengan para pendahulu muslim yang luhur.
4. Terabaikannya pendidikan rohani.
5. Mengaburkan keimanan terhadap perkara-perkara ghaib.
6. Pergeseran nilai-nilai dan norma-norma.
7. Pemisahan aspek religius dari pendidikan akan menimbulkan kepincangan.
Dalam perspektif Islam, Al Quran selalu menjadi pedoman hidup bahkan
untuk mengontrol dinamika akal manusia yang berpotensi terkontaminasi dengan
nafsu. Disebutkan dalam surah An Nahl: 89
‫ِل ِلِم‬ ‫ٍء‬ ‫ِك ِت ِل‬
‫َو َنَّز ْلَنا َعَلْيَك اْل َتاَب ْبَياًنا ُك ِّل َش ْي َو ُه ًد ى َو َر َمْحًة َو ُبْش َر ى ْلُمْس َني‬
8
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme
dan Sekularisme Agama.
9
Bafadhol, Ibrahim. Sekularisme dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan Islam. Edukasi Islami
Jurnal Pendidikan Islam. (Januari 2015). Vol. 4, hlm. 890.

8
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan untuk tidak melepas ajaran keagamaan
dalam kehidupan bernegara dan terlebih ajaran agama adalah bersifat
kemanusiaan dan tidak bertentangan dengan norma kebaikan. Agama akan
menghantarkan manusia pada kebahagiaan sejati di dunia maupun di akhirat.
Nilai-nilai dasar yang dikandung Pancasila sebenarnya tidak sedikitpun
melanggar nilai-nilai agama. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah
dan keadilan sebagai nilai-nilai yang ada dalam Pancasila sama sekali tidak
melanggar ajaran agama bahkan merupakan sebagian dari nilai-nilai religi yang
perlu dilestarikan. Oleh karena itu, penguatan akan nilai-nilai Pancasila yang
relevan dengan nilai-nilai agama perlu dikembangkan dan dimunculkan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.10 Hal ini merupakan upaya untuk menekan
munculnya pemahaman yang keliru akan makna berbangsa dan bernegara.

2. Sejarah Religiusitas Indonesia


Sekitar abad ke-3 dan ke-4 masehi pengaruh agama Hindu dan Buddha
masuk ke Indonesia. Disusul pada abad ke-7 pengaruh Islam dari timur tengah
dibawa masuk oleh pedagang dari berbagai ras (Arab, Cina, India, dll) dan
tersebar di sekitar abad ke 13. Pada abad ke-16 masuk agama Konghucu dari Cina
serta pengaruh Kristen-Katolik dari Eropa.11
Sebelum kemerdekaan Indonesia, di akhir penjajahan Jepang terbagilah
Indonesia dalam dua kelompok besar terkait kemerdekaan Indonesia, yaitu
kelompok kebangsaan dan kelompok agama Islam. Apakah pemerintahan akan
dibentuk secara sekular, hanya mengurus urusan keduniaan warganya, atau
pemerintah menerapkan sistem agama. Akhirnya ditetapkanlah berdasarkan
Pancasila, agama dihormati tapi tidak menjadi dasar penyelenggaraan pemerintah.
Dengan demikian, negara dengan dasar Pancasila bukanlah negara agama, namun
juga bukan merupakan negara sekuler.

10
Mardan Umar. Urgensi Nilai-Nilai Religius dalam Kehidupan Masyarakat Heterogen di Indonesia.
Jurnal Civic Education. (Juni 2019). Vol. 3, No. 1, hlm. 73.
11
Zulkarnain, Warga Negara, hlm. 40.

9
Dalam kehidupan yang beragam agama, disatukan dengan sila pertama
Pancasila yaitu Ketuhanan yang maha esa, maka berarti warga diminta untuk
menyadari bahwa setiap individu adalah makhluk yang bertuhan yang hendaknya
senantiasa bersikap baik dan toleransi. Mohammad Hatta menyatakan tentang hal
ini yaitu bahwa di antara manusia ada yang kaya dan miskin, ada yang berbeda
kecakapan, ada yang bodoh ada yang pintar, tetapi semua makhluk tuhan
dipandang sama.
Klaim individu atas kebenaran agamanya idealnya dimiliki oleh individu
tanpa menonjolkan perbedaan-perbedaan antar agama demi menjaga kerukunan
beragama. Pemeluk agama diharap menjadi pribadi yang agamawan, setia dengan
ajaran agamanya, namun menonjolkan pada kesamaan doktrin antar agama yaitu
pada kerukunan dan toleransi. Merupakan hal biasa bagi pemeluk agama untuk
memberikan keleluasaan kepada pemeluk agama lain dalam menjalankan
peribadatannya, seperti kerelaan hati pemeluk agama non Islam ketika umat Islam
menggunakan jalan raya untuk melakukan ibadah salat ied, pemeluk agama non
Hindu menunda perjalanan udara yang melintasi Bali untuk menghormati
perayaan nyepi, hal lumrah bila pengucapan selamat atas perayaan hari raya umat
beragama terpampang di media termasuk televisi, dll.
Hasyim Asyari pendiri ormas Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa manusia
harus bersatu agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan, dan agar terhindar dari
kehancuran dan bahaya. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah juga menyatakan
dukungan akan hubungan sosial warga negara religius dengan ajaran kesalehan
sosial berdasarkan Al Ma’un 1-7 yang inti pesannya adalah ibadah ritual akan
menjadi tidak bermakna jika tidak mendorong pada semangat cinta kasih dengan
semangat untuk berbagi.
3. Tantangan Religiusitas Indonesia
Indonesia mengakui beberapa agama tertentu untuk dilindungi secara
hukum dan difasilitasi pembangunan tempat peribadatan sekaligus
penyelenggaraan peribadatannya. Kebijakan negara Indonesia sangat
mempertimbangkan aspek keagamaan. Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai
negara yang religius.
Indonesia sebagai negara juga memfasilitasi hari besar keagamaan untuk
bisa dimanfaatkan bagi pemeluk agama dan dapat melaksanakan peribadatan

10
dengan khidmat. Indonesia juga memayungi lembaga-lembaga keagamaan untuk
beroperasi sekaligus ia mendapat manfaat dari berdirinya lembaga keagamaan
tersebut dalam hal ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, dll.
Karakteristik ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjaga
kesucian agama. Pengangkatan isu keagamaan di media berskala nasional menjadi
hal lumrah. Religiusitas Indonesia ini menjadi kekuatan untuk negara dalam
pembangunan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan dimensi lainnya. Masing-
masing agama mengajarkan kerukunan dan perangai mulia dengan tetap
berpegang teguh pada ajaran agama menjadi titik temu dalam kehidupan
multiagama di Indonesia. Sekali lagi agama menjadi kekuatan dengan membekali
doktrin kerukunan pada pemeluknya. Demikian ini adalah keadaan-keadaan ideal
yang menjadikan Indonesia negara multikultural sekaligus religius, memiliki
hubungan baik dengan agama. Keberagamaan yang dijamin negara memuaskan
pemeluk agama. Meskipun memiliki klaim eksklusif terhadap kebenaran, agama
tetap mengajarkan pemeluknya untuk bersikap baik dan rukun kepada sesama
warga negara.
Dengan seperti ini, Indonesia memiliki keunggulan dalam hal menjalankan
pemerintahan negaranya yaitu terpenuhinya rasa kebergamaan warga Indonesia.
Indonesia menjamin keberagamaan warganya dan mampu menjadikan agama
sebagai kekuatan dalam kehidupan plural dan pembangunan. Beberapa negara
sekular mampu menciptakan lingkungan yang multikultural dengan
mengorbankan kebutuhan keberagamaan warganya seperti Amerika Serikat yang
tidak mengakui suatu agama di negaranya dan memisahkan diri dari agama demi
keadilan multikultural.
Pada kenyataan sekarang, negara religius Indonesia menghadapi beberapa
tantangannya yaitu dalam hal sekularisme dan pluralisme agama. Pada praktik-
praktik pemerintahan kerap dijumpai kebijakan yang mengantarakan pada
sekularisme dan pluralisme seperti:
a. Stigmatisasi radikalisme beserta kasus-kasus turunannya seperti gagasan
pembubaran MUI oleh politisi dengan tuduhan paparan radikalisme.
Detasemen Khusus Antiteror (Densus88) menangkap sejumlah
terduga teroris, salah satunya adalah ketua Partai Dakwah Rakyat Indonesia
(PDRI) yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Kota Bekasi Farid Okbah.

11
Selain itu, Densus 88 juga meringkus Anggota Komisi Fatwa MUI Ahmad
Zain An-Najah dalam penangkapan itu. Zain dan Farid diduga mendanai
kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI).12
Nampaknya seruan pembubaran MUI berdasarkan kasus
tertangkapnya salah satu anggotanya ini merupakan hasutan provokasi yang
kemudian ditanggapi oleh para politisi yang kemudian seruan ini menghilang
seiring dengan penjelasan-penjelasan oleh para tokoh tentang tidak
relevannya pembubaran MUI jika dilakukan dengan alasan hal ini, serta
strategisnya peran dan fungsi MUI dalam menjaga keutuhan negara
khususnya dari ancaman sekularisme, dll. Di antara para tokoh tersebut
adalah Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Din Syamsuddin, serta Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Isu provokasi pembubaran MUI ini
harusnya menjadi kewaspadaan adanya upaya-upaya sekularisasi di
Indonesia. Jika hari ini MUI dibubarkan, maka langkah selanjutnya adalah
pembubaran PGI, KWI, dan lembaga keagamaan lainnya.
b. Penghapusan narasi keagamaan termasuk pada peta pendidikan nasional
2020-2025.
Berikut adalah narasi yang disorot tidak ada narasi keagamaan dalam
peta pendidikan nasional
Visi Pendidikan Indonesia 2035. Membangun rakyat
Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul,
terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan
menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haidar Nasir menyoroti


hal ini sebagai dengan mempertanyakannya sebagai sebuah kealpaan atau
kesengajaan denganmengacu pada ayat 5 Pasal 31 UUD Negara 1945,
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.13

12
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211120104226-32-723754/mahfud-soal-tudingan-
pembubaran-mui-provokasi-bersumber-khayalan diakses pada 9 Desember 2021
13
https://news.detik.com/berita/d-5486341/kontroversi-hilangnya-frasa-agama-di-draf-peta-jalan-
pendidikan diakses pada 9 Desember 2021.

12
Beruntung ketika isu ini terangkat, Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset dan Teknologi Nadiem Makarim merespon hal ini sebagai masukan dan
menyatakan bahwa Mendikbudristek tidak akan menghapus narasi
keagamaan karena agama merupakan nilai yang esensial dalam pendidikan
nasional.
c. Adanya indikasi kebebasan sex pada narasi Peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 30 Tahun 2021 Tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan
Tinggi.
Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah pada pasal 5
(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara
verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan
komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau
melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau
identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa
persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon,
dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak
nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau
video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah
dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto
dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang
bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi
Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan
Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi
Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan
Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang
sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada
ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau
mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau
kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;

13
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk,
mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada
tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan
seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik,
dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan
Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak
terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda
atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan
aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan
sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.14

Beberapa narasi pada pasal tersebut disorot karena dianggap


kekerasan/tindak seksual ditentukan atas persetujuan suatu pihak, yang berarti
tindak seksual tidak ditentukan dengan standar ajaran agama.
Kasus-kasus di atas adalah sorotan terjadinya sekularisasi di Indonesia yang
menjadi musuh dari religiustas negara Indonesia. Masih banyak lagi kasus-kasus
sekularisasi yang terjadi sejak lama namun masih “tidak laku” untuk digaungkan,
seperti paham pro-LGBT, paham feminisme, pluralisme, nihilisme dan segala
cabangnya, upaya penghapusan simbol-simbol/praktik-praktik keagamaan di
sekolah, dll. Sekularisasi menjadikan pemeluk agama merasa tidak terpenuhi rasa
keagamaannya, maka hal ini berbahaya jika ditetapkan di Indonesia karena akan
melahirkan distrust terhadap pemerintahan.

C. PENUTUP
Indonesia dalam menghadapi kemultikulturalan memilih untuk menjadi negara
berlandaskan Pancasila namun tidak meninggalkan urusan keagamaan dalam segala
kebijakannya. Karena adanya hubungan baik antara negara dengan agama, maka
Indonesia layak untuk dilabeli sebagai negara yang religius.

14
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 30 Tahun 2021 Tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

14
Indonesia bukanlah negara plural yang memaksa warganya untuk ditanami
ideologi kesetaraan atas kebenaran semua agama, namun tetap menghormati dan
melindungi kebebasan keberagamaan warganya. Indonesia bukanlah negara yang
sekular, sebaliknya Indonesia justru melindungi keberagamaan warganya. Antara
negara dan agama tidak berjalan sendiri-sendiri akan tetapi keduanya memiliki
hubungan fungsional yang selalu bersinggungan: lembaga keagamaan dilindungi oleh
negara dan sebagai timbal balik negara memperoleh profit berupa bantuan dari agama
dalam menunaikan tugas-tugas kebernegaraan baik dari dimensi pendidikan, sosial,
kebudayaan, politik, dan dimensi lainnya. Hal inilah yang menjadikan Indonesia dapat
memanfaatkan kekuatan agama alih-alih menjadi negara sekular yang mengabaikan
urusan keagamaan dalam sistem pemerintahan.
Hubungan baik antara negara dan agama di Indonesia tidak mulus tanpa
tantangan, sebaliknya selalu ada bisikan-bisikan untuk menjadi negara plural dan
sekular yang terdengar menjanjikan, bahkan isu-isu tentang pluralisme dan
sekularisme tidak ragu-ragu untuk diangkat ke permukaan sehingga melahirkan
kebimbangan terkhusus bagi orang awam tentang pentingnya peran agama dalam
kehidupan. Diprediksikan tantangan-tantangan ini akan selalu ada, silih berganti
mengingat banyaknya pihak yang diuntungkan dalam masalah keduniaan apabila
Indonesia menjadi negara yang plural dan sekular.

15
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin. Transmigrasi Ilmu: dari Dunia Islam ke Eropa. TSAQAFAH. (Oktober
2010). Vol. 6, No. 2, 199-213.
Arifin, Syamsul. Konstruksi Wacana Pluralisme Agama di Indonesia. HUMANITY.
(September 2009). Vol. 5, No. 1, 80-92.
Bafadhol, Ibrahim. Sekularisme dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan Islam. Edukasi
Islami Jurnal Pendidikan Islam. (Januari 2015). Vol. 4, 887-895.
Devi, Aulia Diana dan Andrean, Seka. Implementasi Pendekatan Teologis Normatif dalam
Pluralisme Beragama di Indonesia. TA’LIM: Jurnal Studi Pendidikan Islam (Januari
2021). Vol. 4, No. 1, 60-73.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Harda, Armayanto. Problem Pluralisme Agama. TSAQAFAH. (November 2014). Vol. 10,
No. 2, 325-340.
Hudaeri, Mohamad. Menentang Sekularisme: Upaya Membentuk Kesalehan Subjek
Muslim di Banten, Jurnal Theologia. (Desember 2016). Vol. 27, No. 2, 305-329.
Banks, James A. dan Banks Cherry A. McGee. Multicultural Education Issues and
Perspectives. United States of America.
Pachoer, Rd. Datoek A. Sekularisasi dan Sekularisme Agama, Religious: Jurnal Agama
dan Lintas Budaya. (September 2016). Vol. 1, No. 1, 91-102.
Penetapan Presiden Republik Indonesia No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2016 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementrian Agama.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 30 Tahun 2021
Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan
Tinggi.
Umar, Mardan. Urgensi Nilai-Nilai Religius dalam Kehidupan Masyarakat Heterogen di
Indonesia. Jurnal Civic Education. (Juni 2019). Vol. 3, No. 1, 71-77.
Yasak, Muhammad Haris Saifu. Dampak Doktrin Pluralisme Agama terhadap Kehidupan
Sosial. Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. (Maret 2017). Vol. 15,
No. 1, 57-76.

16
Zulkarnain, Warga Negara Religius sebagai Identitas Kewarganegaraan di Indonesia,
Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III. (November 2017).
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211120104226-32-723754/mahfud-soal-
tudingan-pembubaran-mui-provokasi-bersumber-khayalan diakses pada 9 Desember
2021
https://news.detik.com/berita/d-5486341/kontroversi-hilangnya-frasa-agama-di-draf-peta-
jalan-pendidikan diakses pada 9 Desember 2021.

17

Anda mungkin juga menyukai