Ardiansyah kuku
Candarawan kaida
Riyan moyiu
A. PENDAHULUAN
2
Nurkhalis A. Ghaffar, ‘Tasawuf Dan Penyebaran Islam Di
Indonesia’, Jurnal Rihlah, 3.1 (2015), 68–79.
Budha dan Konghucu) agama yang menjadi
“primadonanya”. Artinya, di luar keenam agama
atau keyakinan tersebut dianggap tidak “resmi”
alias tidak diakui secara konstitusional. Kaitannya
dengan ini, wacana co-existence (hidup
berdampingan secara damai) agama-agama yang
ada di Indonesia, baik yang “resmi” maupun yang
tidak, seperti agama lokal/pribumi (Indigenous
religions) (Pat and Luyster, 1991).seringkali
menjadi perbincangan yang menarik. Tulisan
berikut ini akan membahas bagaimana agama
didefinisikan dalam konteks isu-isu kontemporer
yang marak di Indonesia, yang dikaitkan dengan
bagaimana keberadaan agama lokal/pribumi di
Indonesia.
3
Suhadi and others, Studi Agama Di Indonesia: Refleksi
Pengalaman, 2016.
suku penganutnya. Karenanya, agama asli kerap
juga disebut agama suku atau kelompok
masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama
sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan
suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh
sukAu penganutnya sebelum agama dunia
diperkenalkan kepada suku itu. Faktanya,
keyakinan dan praktek agama lokal ini masih
dianut dan diyakini serta dijalankan oleh mereka
yang walaupun secara statistik telah tercatat
sebagai penganut agama resmi d`unia. Para pelaku
agama resmi terkadang juga secara bersamaan
meyakini kepercayaan lokal tanpa ia sadari atau
melakukan sinkretisme agama-agama. Dan hal ini
terjadi tidak hanya bagi penganut agama Islam
saja, akan tetapi juga para penganut agama di luar
Islam yang ada di Indonesia.
4
Agung Setiyawan, ‘Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama’:,
Esensia, XIII.Humaniora (2012), 1–20.
elemen agama asli dalam ritual-ritual tersebut
masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya
telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan
luar agama dunia dan para penganutnya tidak lagi
menyadari adanya percampuran dua atau lebih
agama. untuk kasus-kasus tertentu ajaran agama
lokal banyak menampilkan ajaran-ajaran bahkan
perilaku penganutnya yang unik dan berbeda
yang menurut para penganut agama konvensional
atau agama besar (Islam, Kristen, Hindu, Budha)
justru telah mengajarkan ajaran-ajaran yang
menyimpang bahkan menodai. identitas agama
lokal ternyata masih tetap mewarnai kepercayaan
manusia Indonesia meskipun secara formal ia
sudah menganut agama-agama besar. Sebagai
contoh, meskipun seseorang sudah menyatakan
dirinya sebagai penganut agama Islam, akan tetapi
terkadang dalam waktu-waktu tertentu ia
kerapkali mempercayai atau mempraktikkan
tradisi yang justru dianut atau diajarkan oleh
agama lokal seperti aliran kebatinan. 5
5
Karunia Haganta and Firas Arrasy, ‘Agama, Modernisme,
Dan Kepengaturan: Agama Lokal Pasca-1965’, Panangkaran:
Jurnal Penelitian Agama Dan Masyarakat, 5.1 (2021), 29–47
<https://doi.org/10.14421/panangkaran.2021.0501-02>.
Agama” mulai dipakai secara luas sebagai
terjemahan dari istilah Religious Studyies.
6
M.Yusuf Wibisono, Adeng M. Ghozali, and Siti Nurhasanah,
‘Keberadaan Agama Lokal Di Indonesia Dalam Perspektif
Moderasi’, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial
Budaya, 1.2 (2020), 179–86.
Agama leluhur/lokal memiliki karakteristik
khusus yang didasarkan pada fakta empiris bahwa
jauh sebelum agama-agama yang disebutkan di
atas serta agama dari luar Indonesia masuk lewat
penyebaran para misionaris, leluhur atau
masyarakat kuno yang telah mewariskan ajaran
tuntutan keselamatan hidup dan spiritualitas yang
dapat didefinisikan sebagai agama. Paling tidak
berdasarkan ketentuan normatif dalam konteks
hak asasi manusia, masyarakat yang mewarisi
nilai-nilai adat leluhurnya itulah yang disebut
sebagai masyarakat hukum adat, karena dalam
tata kehidupan sosialnya baik dalam tata upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian masih
menggunakan tuntunan adat dan kebijaksanaan
para leluhurnya. 7
7
Sokhi Huda, ‘STUDI AGAMA-AGAMA (Wacana Pengantar
Metodologis) * Oleh: Sokhi Huda **’, February, 2000, 1–20.
Agama-agama non-resmi negara yang
berkembang secara khusus seperti itu lah yang
kemudian dikenal dengan sebutan agama lokal.
Istilah agama lokal merupakan antitesa dari istilah
agama luar atau agama “impor”, yaitu
kepercayaan yang berasal dari sejumlah
peradaban luar Nusantara.2 Menurut Muttaqien,
agama lokal merupakan istilah yang disematkan
terhadap sistem kepercayaan asli Nusantara, yaitu
agama tradisional yang telah ada jauh sebelum
kedatangan agama-agama besar yang sekarang
menjadi agama resmi negara, seperti, Hindu,
Buddha, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghucu.
konteks ini, kata lokal sendiri merujuk pada kata
asli atau pribumi, sehingga secara implisit
menunjukkan bahwa kepercayaan tersebut
merupakan keyakinan yang memang benar-benar
tumbuh, berkembang dan berasal dari peradaban
masyarakat asli setempat.
8
Moh Rosyid, ‘Konsekuensi Pendidikan Bagi Pemeluk Agama
Lokal’, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 9.1
(2014), 89–112.
(MK) karena dinilai bertentangan dengan
Konstitusi yang menjamin kebebasan beragama.
Namun, MK menolak permohonan para
pemohon judicial review UU No. 1/PNPS/1965
tentang Larangan Penodaan Agama, sehingga
satu-satunya jalan untuk menjamin kebebasan
beragama sebagaimana dijamin dalam konstitusi
dan berbagai undang-undang turunannya menjadi
tidak berjalan. Dengan demikian, secara normatif,
hambatan negara dalam menjamin kebebasan
beragama disebabkan oleh inkonsistensi peraturan
perundang-undangan yang ada. urgensi studi
agama-agama tampak semakin kompeten untuk
konteks Indonesia, karena di Indonesia hidup
subur beberapa agama yang secara konstitusional
maupun sosio-historis memperoleh jaminan dari
negara dan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian, paling tidak ada
empat hal yang diajukan sebagai simpulan.
Pertama, agama “lokal” yang ada diberbagai
daerah mengalami beberapa kali perubahan nama.
Perubahan ini sering disebabkan oleh faktor
eksternal, namun ada juga yang tetap memakai
nama sejak awal berdiri. Agama “lokal” yang oleh
Niel Mulder (1999:3) diduga hanya sebagai bentuk
sinkretisme, dalam riset ini ditolak. Ini karena
mereka memiliki dinamika dan kelangsungan
hidup yang nyata.
10
Retno Sirnopati, ‘Agama Lokal Pribumi Sasak (Menelusuri
Jejak “Islam Wetu Telu” Di Lombok)’, Tsaqofah, 19.02 (2021),
103 <https://doi.org/10.32678/tsaqofah.v19i02.3656>.
B. METODE
Tulisan ini menggunakan pendekatan kajian
pustaka yang merupakan teori-teori referensi yang
menjadi dasar dalam sebuah penelitian yang
menjawab secara teori tentang permasalahan dari
sebuah ide pokok penelitian. Dengan tujuan
menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil
penelitian lain yang berkaitan erat dengan
penelitian yang dilakukan saat itu,
menghubungkan penelitian dengan literatur-
literatur yang ada, dan mengisi celah-celah
penelitian-penelitian sebelumnya. Sumber yang
sudah diketahui ada yang telah dituliskan ada
pula yang belum. Sumber yang telah dituliskan
maka dapat diperoleh dengan mencarinya di
internet atau di perpustakaan.
Sumber-sumber tersebut bisa berupa jurnal,
artikel, buku, dan sebagainya. Sebagai tambahan,
dalam mengutip teori dalam sebuah literatur maka
kami mencantumkan sumber dimana kita
mengutipnya berupa mencantumkan nama
pengarang, judul buku, halaman dan sebagainya
sesuai dengan pedoman penulisan.
C. PEMBAHASAN
1. Definisi
Agama lokal adalah istilah yang disematkan pada
sistem kepercayaan asli nusantara, yaitu agama
tradisional yang telah ada sebelum kedatangan
agama-agama besar seperti, Hindu, Budha, Islam
dan Kristen di bumi Nusantara ini. Banyak
kalangan masyarakat yang tidak lagi mengetahui
bahwa sebelum kedatangan agama „resmi”,
masuk ke Indonesia di setiap daerah telah ada
agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda
Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di
Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran
Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan
ada beberapa penamaan lain) di Cigugur,
Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa
Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur;
agama Parmalim, agama asli Batak; agama
Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas
Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di
Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di
Pulau Seram di Propinsi Maluku, dan lain-lain.
Didalam Negara Republik Indonesia, agama-
agama asli Nusantara tersebut di degradasi
sebagai ajaran animisme, penyembah berhala /
batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan
kepercayaan asli Nusantara yang diakui
diIndonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk
dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan
perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan
sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu dan
zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan
menghilang, kalaupun ada yang menganutnya,
biasanya berada didaerah pedalaman seperti
contohnya pedalaman Sumatra dan pedalaman
Irian Jaya. Sekalipun secara Antropologis,
kepercayaan-kepercayaan asli Indonesia atau biasa
disebut agama lokal, dapat disebut agama, namun
sampai saat ini pemerintah belum memasukkan
kepercayaan Asli Indonesia tersebut sebagai
agama yang diakui sah untuk dipeluk oleh orang
yang meyakininya. Fakta ini tampaknya
bersumber dari definisi agama yang diberlakukan
pemerintah, sehingga agama-agama tersebut tidak
dikategorikan sebagai agama, maka agama Lokal
hanya dipandang sebagai kepercayaan primitif
yang para penganutnya boleh dijadikan sasaran
penyebaran agama resmi. Dengan melihat pada
spirit ajaran agama lokal, khususnya dalam hal ini
adalah ajaran Sunda wiwitan Madrais, setidaknya
kita dapat melihat bahwa Agama Lokal tidaklah
sesederhana yang kita duga, bahkan sudah
memiliki konsep ajaran yang cukup
Complicated,dan lengkap. Dan cukup layak untuk
dikategorikan sebagai agama.
12
Sukirno Sukirno, ‘Diskriminasi Pemenuhan Hak Sipil Bagi
Penganut Agama Lokal’, Administrative Law and Governance
Journal, 1.3 (2018), 231–39
<https://doi.org/10.14710/alj.v1i3.231-239>.
2. Korelasi beragama
13
Rohmadi Rohmadi and Muhammad Farijal Akmal, ‘Korelasi
Agama Dan Masyarakat Dalam Menyikapi Budaya Lokal Di
Desa Sungai Duren’, Jurnal Inovasi Penelitian Dan
Pengabdian Masyarakat, 2.2 (2022), 113–19
<https://doi.org/10.53621/jippmas.v2i2.154>.
3. Relasi islam dengan agama lokal
Sebagai pedoman yang mengatur kehidupan
manusia agar selalu lurus dan tidak kacau , agama
telah menjadi aspek yang sangat penting dalam
diri seorang individu. Agama menuntun manusia
untuk menjalani kehidupannya sekaligus
mengikat manusia dengan Tuhan melalui hati
serta batinnya.
14
Tendi Tendi, ‘Islam Dan Agama Lokal Dalam Arus
Perubahan Sosial’, Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 16.1
(2016), 47 <https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v16i1.365>.
D. PENUTUP
Banyaknya aliran-aliran kebatinan atau
kepercayaan yang ada di Indonesia, hendaknya
mulai saat ini dipandang sebagai kekayaan
cultural bangsa ini, dan bukan malah dicurigai dan
diperangi sebagaimana pengalaman sejarah. Dari
sana dapat terbangun suatu suasan masyarakat
yang damai dan hidup sosial yang harmonis.
Karena itu, tugas selanjutnya adalah memelihara
dan merawat kearifan lokal itu agar senantiasa
hidup dan menyala dalam hati nurani manusia
Indonesia. Kalau nilai itu terus dipupuk, dirawat
dan selalu menjadi ikhtiar dan tindakan seluruh
manusia Indonesia, mungkin tak akan ada lagi
anak yang harus kehilangan bapak atau ibunya
hanya karena beda agama, pemahaman agama,
aliran politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya.
Juga tak akan ada lagi rumah dan harta benda
yang dijarah dan dibakar hanya karena perbedaan
identitas. Setiap konflik terdapat resolusinya, para
leluhur telah memberikan peninggalan warisan.