Anda di halaman 1dari 67

RELASI ISLAM DENGAN AGAMA LOKAL

Dosen pengampuh : bpk donald qomaidiasyah


tunggaki, M.A.

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 8

Ardiansyah kuku

Candarawan kaida

Riyan moyiu
A. PENDAHULUAN

Agama merupakan segala sesuatu yang


diperoleh atau bisa didapatkan dan bersumber
dari Tuhan, Sedangkan kebudayaan yang
didapatkan atau yang diciptakan dari manusia.
studi agama-agama atau, menurut istilah M. Amin
Abdullah di bagian awal tulisannya, ilmu agama-
agama (The Science of Religions) dalam tradisi
keilmuan yang bersifat historis-empiris
mempunyai beberapa sinonim. Di antaranya
adalah Comparative Religions, The Scientific study
of Religion, Religionwissenschaft, Allgemeine
Religionsgeschichte, Phenomenology of Religios,
History of Religions, dan sebagainya. Dalam studi
agama dengan wilayah telaah yang ditujukan
pada fenomena kehidupan beragama manusia
pada umumnya, biasanya didekati dengan
berbagai disiplin keilmuan yang bersifat normatif-
empiris, bukan normatif-dogmatis.
Maka muncullah cabang-cabang keilmuan agama-
agama seperti Sejarah Agama, (History of
Religion), Psikologi Agama (Psychology of
Religion), Antropologi Agama (Antropology of
Religion),1

Sejarah menunjukkan bahwa sebelum masuk


dan berkembangnya Islam di Indonesia telah
terdapat kepercayaan dan agama yang hidup di
wilayah Indonesia yang dahulu lebih dikenal
sebagai kepulauan Nusantara. Istilah kepulauan
digunakan untuk menyebut gugusan pulau yang
tersebar mulai dari ujung Barat sampai Timur
Indonesia. Wilayah kepulauan Nusantara tersebut
telah dihuni oleh berbagai suku, ras dan etnis
dengan keragaman bahasa dan budaya bahkan
kepercayaan serta agamanya. Animisme dan
dinamisme telah berkembang menjadi
kepercayaan yang dianut oleh penduduk
Nusantara disamping agama Hindu dan Budha
yang datang kemudian. Oleh karenanya terdapat
1
Wikipedia, ‘Agama’, Wikipedia, 2022.
beberapa kerajaan Hindu dan Budha di kawasan
ini sebelum masuknya Islam seperti kerajaan
Majapahit, Sriwijaya, Kutai, Taruma Negara, dan
lain-lain.2

Secara konseptual, “istilah” agama-agama di


Indonesia sudah mendapat permakluman dari
seluruh warga bangsa. Istilah di sini bukan hanya
sekedar definisi terminologinya, namun wacana
publik terlanjur mengatakan bahwa agama adalah
institusi keyakinan yang diakui oleh negara
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
Secara konstitusional -- falsafah negara, Pancasila
sila pertama; “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
mengilhami negara agar melindungi agama-agama
di republik ini dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Hanya saja
yang dimaksud agama-agama di sini adalah yang
“resmi” atau yang diakui negara berjumlah 6
(enam): Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu,

2
Nurkhalis A. Ghaffar, ‘Tasawuf Dan Penyebaran Islam Di
Indonesia’, Jurnal Rihlah, 3.1 (2015), 68–79.
Budha dan Konghucu) agama yang menjadi
“primadonanya”. Artinya, di luar keenam agama
atau keyakinan tersebut dianggap tidak “resmi”
alias tidak diakui secara konstitusional. Kaitannya
dengan ini, wacana co-existence (hidup
berdampingan secara damai) agama-agama yang
ada di Indonesia, baik yang “resmi” maupun yang
tidak, seperti agama lokal/pribumi (Indigenous
religions) (Pat and Luyster, 1991).seringkali
menjadi perbincangan yang menarik. Tulisan
berikut ini akan membahas bagaimana agama
didefinisikan dalam konteks isu-isu kontemporer
yang marak di Indonesia, yang dikaitkan dengan
bagaimana keberadaan agama lokal/pribumi di
Indonesia.

Secara historis, persoalan ini berlangsung


semenjak rezim Orla, berlanjut Orba bahkan
sampai hari ini (pasca reformasi). Bisa dikatakan
untukmencari jawaban dari pertanyaanpertanyaan
itu tidak mudah. Buktinya sampai kajian ini
dipaparkan, persoalan itu masih menjadi bahan
pembahasan yang selalu aktual, dikarenakan ada
agama-agama/keyakinan yang merasa
“dipinggirkan” ataupun dinegasikan
eksistensinya. Untuk itu, seyogyanya mencari
solusi tidak pernah berhenti dikarenakan
tantangan dan kendala selalu mendampingi para
pencari titik temu di antara seluruh agama yang
berada di republik ini.3

Secara konseptual, “istilah” agama-agama di


Indonesia sudah mendapat permakluman dari
seluruh warga bangsa. Istilah di sini bukan hanya
sekedar definisi terminologinya, namun wacana
publik terlanjur mengatakan bahwa agama adalah
institusi keyakinan yang diakui oleh negara
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Istilah
agama lokal, dalam hal ini bisa disamakan dengan
penggunaan istilah agama asli atau agama
pribumi. Yang dimaksud dengan agama asli
adalah sebuah agama yang bukan datang dali luar

3
Suhadi and others, Studi Agama Di Indonesia: Refleksi
Pengalaman, 2016.
suku penganutnya. Karenanya, agama asli kerap
juga disebut agama suku atau kelompok
masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama
sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan
suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh
sukAu penganutnya sebelum agama dunia
diperkenalkan kepada suku itu. Faktanya,
keyakinan dan praktek agama lokal ini masih
dianut dan diyakini serta dijalankan oleh mereka
yang walaupun secara statistik telah tercatat
sebagai penganut agama resmi d`unia. Para pelaku
agama resmi terkadang juga secara bersamaan
meyakini kepercayaan lokal tanpa ia sadari atau
melakukan sinkretisme agama-agama. Dan hal ini
terjadi tidak hanya bagi penganut agama Islam
saja, akan tetapi juga para penganut agama di luar
Islam yang ada di Indonesia.

Dalam Studi Agama, sikap atau reaksi religius


seseorang atau kelompok sosial yang diangkat
sebagai objek studi setara sebagaimana juga dalam
disiplin ilmu lain. Misalnya ilmu ekonomi yang
menjadikan perilaku ekonomi manusia menjadi
objek studi ekonomi. Sampai di sini kita dapat
menarik kesimpulan bahwa objek material studi
agama adalah aspek agama dari diri manusia atau
masyarakat. Sebagaimana juga objek material ilmu
politik adalah aspek politik dan objek material dari
ilmu ekonomi adalah aspek ekonomi dari diri
manusia atau masyarakat. 4

Untuk menemukan perilaku umat beragama yang


melakukan sinkretisme agama tidaklah sulit. Hal
ini bisa ditemui di tempat-tempat yang dipercaya
sebagai tempat keramat yang bernilai sakral.
Masih banyak juga di antara masyarakat yang
meminta pertolongan kepada para dukundukun,
bahkan dukun itu sendiri merupakan penganut
salah satu agama resmi dunia. Media (elektronik
maupun cetak) ikut menawarkan aneka ragam
jimat yang katanya mempunyai kesaktian.
Terkadang pengaruh atau hadirnya elemen-

4
Agung Setiyawan, ‘Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama’:,
Esensia, XIII.Humaniora (2012), 1–20.
elemen agama asli dalam ritual-ritual tersebut
masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya
telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan
luar agama dunia dan para penganutnya tidak lagi
menyadari adanya percampuran dua atau lebih
agama. untuk kasus-kasus tertentu ajaran agama
lokal banyak menampilkan ajaran-ajaran bahkan
perilaku penganutnya yang unik dan berbeda
yang menurut para penganut agama konvensional
atau agama besar (Islam, Kristen, Hindu, Budha)
justru telah mengajarkan ajaran-ajaran yang
menyimpang bahkan menodai. identitas agama
lokal ternyata masih tetap mewarnai kepercayaan
manusia Indonesia meskipun secara formal ia
sudah menganut agama-agama besar. Sebagai
contoh, meskipun seseorang sudah menyatakan
dirinya sebagai penganut agama Islam, akan tetapi
terkadang dalam waktu-waktu tertentu ia
kerapkali mempercayai atau mempraktikkan
tradisi yang justru dianut atau diajarkan oleh
agama lokal seperti aliran kebatinan. 5

Meskipun demikian sebenarnya di Indonesia juga


telah muncul percobaan di sana-sini mengenai
praktik paradigma studi agama baik di jenjang
pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi.
Di jantung akademik kajian Islam, di lingkungan
Perguruan Tinggi Agama Islam, sejak awal tahun
1960an dibuka Ilmu Perbandingan Agama yang
dipelopori oleh Mukti Ali. Dalam
perkembangannya, di banyak tempat di dunia
Ilmu Perbandingan Agama kemudian
bertransformasi menjadi Religious Studies. Dalam
bahasa Inggris tiga disiplin di atas disebut dengan
heology, Science of Religion dan Religious Studies.
Teologi telah lama menjadi kosakata yang cukup
mapan dalam bahasa Indonesia, sedangkan “Studi

5
Karunia Haganta and Firas Arrasy, ‘Agama, Modernisme,
Dan Kepengaturan: Agama Lokal Pasca-1965’, Panangkaran:
Jurnal Penelitian Agama Dan Masyarakat, 5.1 (2021), 29–47
<https://doi.org/10.14421/panangkaran.2021.0501-02>.
Agama” mulai dipakai secara luas sebagai
terjemahan dari istilah Religious Studyies.

Setidaknya sampai saat ini, kita masih sulit


mencari terjemahan yang tepat untuk istilah
science of religion. Secara literal frasa tersebut
dapat diterjemahkan dengan istilah Ilmu Agama.
Tapi ilmu agama di dalam bahasa Indonesia telah
dipakai atau cenderung dipakai sebagai
terjemahan yang maknanya dekat dengan ahli
teologi. Oleh karena itu dalam tulisan ini Science
of Religion sengaja tidak diterjemahkan. Istilah
Religious Studies dan Studi Agama sama-sama
dipakai secara tukar-menukar untuk pengertian
yang sama. Mengapa dipakai secara bersama-
sama? Tujuannya untuk mengulang dan
memastikan bahwa Studi Agama yang dimaksud
dalam tulisan ini adalah Religious Studies sebagai
sebuah disiplin. Pada tingkat ini ada tumpang
tindih, kadang sulit dibedakan, antara istilah
Religious Studies dan Study of Religion. 6

sekali lagi apabila agama dipahami dalam


kategori yang sui generis (esensialis). Oleh karena
itu penting ditegaskan lagi dalam poin kedua ini,
yaitu deinisi agama yang menjadi objek studi
Religious Studies adalah tanpa batas yang tegas.
berbagai metode atau pendekatan dari disiplin lain
dapat dikerahkan dalam studi agama. Dalam Studi
Agama kita dapat menggunakan metode atau
pendekatan dari disiplin lain seperti sejarah,
sosiologi, etnograi, fenomenologi. Karena ada
banyak agama atau tradisi keagamaan maka studi
agama tidak pernah menaruh perhatian
sepenuhnya pada satu agama atau tradisi
keagamaan tertentu yang immune dari agama atau
tradisi keagamaan lain.

6
M.Yusuf Wibisono, Adeng M. Ghozali, and Siti Nurhasanah,
‘Keberadaan Agama Lokal Di Indonesia Dalam Perspektif
Moderasi’, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial
Budaya, 1.2 (2020), 179–86.
Agama leluhur/lokal memiliki karakteristik
khusus yang didasarkan pada fakta empiris bahwa
jauh sebelum agama-agama yang disebutkan di
atas serta agama dari luar Indonesia masuk lewat
penyebaran para misionaris, leluhur atau
masyarakat kuno yang telah mewariskan ajaran
tuntutan keselamatan hidup dan spiritualitas yang
dapat didefinisikan sebagai agama. Paling tidak
berdasarkan ketentuan normatif dalam konteks
hak asasi manusia, masyarakat yang mewarisi
nilai-nilai adat leluhurnya itulah yang disebut
sebagai masyarakat hukum adat, karena dalam
tata kehidupan sosialnya baik dalam tata upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian masih
menggunakan tuntunan adat dan kebijaksanaan
para leluhurnya. 7

7
Sokhi Huda, ‘STUDI AGAMA-AGAMA (Wacana Pengantar
Metodologis) * Oleh: Sokhi Huda **’, February, 2000, 1–20.
Agama-agama non-resmi negara yang
berkembang secara khusus seperti itu lah yang
kemudian dikenal dengan sebutan agama lokal.
Istilah agama lokal merupakan antitesa dari istilah
agama luar atau agama “impor”, yaitu
kepercayaan yang berasal dari sejumlah
peradaban luar Nusantara.2 Menurut Muttaqien,
agama lokal merupakan istilah yang disematkan
terhadap sistem kepercayaan asli Nusantara, yaitu
agama tradisional yang telah ada jauh sebelum
kedatangan agama-agama besar yang sekarang
menjadi agama resmi negara, seperti, Hindu,
Buddha, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghucu.
konteks ini, kata lokal sendiri merujuk pada kata
asli atau pribumi, sehingga secara implisit
menunjukkan bahwa kepercayaan tersebut
merupakan keyakinan yang memang benar-benar
tumbuh, berkembang dan berasal dari peradaban
masyarakat asli setempat.

Agama leluhur/lokal memiliki karakteristik


khusus yang didasarkan pada fakta empiris bahwa
jauh sebelum agama-agama yang disebutkan di
atas serta agama dari luar Indonesia masuk lewat
penyebaran para misionaris, leluhur atau
masyarakat kuno yang telah mewariskan ajaran
tuntutan keselamatan hidup dan spiritualitas yang
dapat didefinisikan sebagai agama. Paling tidak
berdasarkan ketentuan normatif dalam konteks
hak asasi manusia, masyarakat yang mewarisi
nilai-nilai adat leluhurnya itulah yang disebut
sebagai masyarakat hukum adat, karena dalam
tata kehidupan sosialnya baik dalam tata upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian masih
menggunakan tuntunan adat dan kebijaksanaan
para leluhurnya.

Agama-agama luluhur/lokal yang masih hidup di


Indonesia antara lain Parmalim di Sumatra Utara,
Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di
Jawa Barat, Jawa Kawitan di Jawa Tengah, Tonaas
Walian di Sulawesi Utara, Tolotang di Sulawesi
Selatan, Marapu dan Boti di Nusa Tenggara,
Naurus di Pulau Seram Maluku dan lainnya
sebagainya. Konstitusi Undang-Undang Dasar
1945 mengkategorikan agama-agama tersebut di
atas sebagai “Kepercayaan Terhadap Tuhan
YME”. Akan tetapi, layaknya nasib agama-agama
di luar 6 (enam) agama di atas, agama
leluhur/lokal juga mengalami ketertindasan yang
sama. Beberapa peraturan perundang-undangan
menegaskan penindasan terhadap agama
leluhur/lokal atau kepercayaan tersebut, di
antaranya:

1. Penetapan Pemerintah tanggal 3 Januari


1946 No. I/SO, yang menandai berdirinya
Departemen Agama;
2. Pembentukan Panitia interdeparmental
PAKEM pada 1 Agustus 1954;
3. PAKEM menjadi institusi legal dengan
adanya UU no. 15 tahun 1961 tentang
ketentuan-ketentuan pokok Kejaksaan RI;
4. Penetapan Presiden RI No. 1 tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau penodaan Agama;
5. Instruksi Menteri Agama RI No. 4 tahun
1978 yang menetapkan bahwa aliran
kepercayaan adalah bukan agama. Dan
bahwa agama yang diakui oleh
pemerintah adalah: Islam, Katolik,
Kristen Protestan, Hindu dan Budha;
6. Surat Edaran menteri Dalam Negeri RI
bernomor 477/74054 tentang Petunjuk
pengisian kolom Agama pada lampiran
SK Menteri Dalam Negeri No. 221a tahun
1975. Dalam Surat Edaran ini dikatakan
bahwa dalam mengisi formulir model 1
s.d. 7 dan formulir model A dan B
tentang izin perkawinan, berkaitan
dengan kolom agama, maka bagi mereka
yang tidak menganut salah satu dari
kelima agama yang resmi diakui oleh
pemerintah seperti antara lain penganut
kepercayaan terhadap Tuhan yang maha
esa dan lain-lain maka pada kolom
agama pada formulir dimaksud cukup
diisi dengan tanda garis pendek
mendatar atau (–). Ditetapkan lebih lanjut
dalam Surat Edaran itu: Kata
“kepercayaan” di samping kata “Agama”
pada formulir Model 1 sampai dengan
Model 7 supaya dicoret saja;
7. Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1978
tentang GBHN; Kepercayaan terhadap
Tuhan YME tidak merupakan agama dan
pembinaannya tidak mengarah kepada
pembentukan agama baru;
8. Surat Menteri Agama kepada Menteri
Dalam Negeri mengenai pencatatan
perkawinan bagi para penghayat
kepercayaan kepada Tuhan yang maha
Esa pada Tanggal 28 Desember 1979.
Akibat berlakunya peraturan perundang-
undangan tersebut di atas banyak
pelanggaran hak yang terjadi terhadap
kelompok agama lokal. Sebut saja, kasus
pendirian rumah ibadah bagi warga
Parmalim Bale Parsaktian pada tahun
2005, di mana terjadi penolakan warga
jemaat HKBP pimpinan Pdt. AHM
Simanjuntak, hingga kemudian
Pemerintah Kelurahan beserta Polsekta
Medan Area memberikan somasi kepada
Sdr. Ir. Maruli H. Sirait selaku Ketua
Pengurus Aliran Kepercayaan Permalim
dan menolak segala bentuk aktivitas
keperayaan dan peribadatannya.[1] Lalu,
kasus Yeti Riana Rahmadani, seorang
siswi sekolah menengah atas di Bekasi,
Jawa Barat, yang terpaksa memilih
agama Islam untuk mata pelajaran agama
di sekolahnya. Menurut Yeti, dia tak
menghadapi kendala apapun Saya
mengikuti pelajaran agama Islam di
sekolah, tapi kepercayaan saya adalah
kapribaden. 8

Paparan di atas menunjukkan inkonsistensi


peraturan perundang-undangan yang mengatur
kebebasan beragama di Indonesia. Di dalam Pasal
28 E dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, UU
tentang HAM dan UU tentang Ratifikasi Konvensi
Hak Sipil dan Politik memberikan jaminan
kebebasan beragama warga negara. Namun di sisi
lain peraturan perundang-undangan lainnya
seperti UU No.1/PNPS/1965 yang dibuat pada
masa demokrasi terpimpin yang sudah tidak
sesuai dengan semangat reformasi masih berlaku
dan diikuti dengan peraturan perundang-
undangan dibawahnya. UU ini telah diajukan
permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi

8
Moh Rosyid, ‘Konsekuensi Pendidikan Bagi Pemeluk Agama
Lokal’, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 9.1
(2014), 89–112.
(MK) karena dinilai bertentangan dengan
Konstitusi yang menjamin kebebasan beragama.
Namun, MK menolak permohonan para
pemohon judicial review UU No. 1/PNPS/1965
tentang Larangan Penodaan Agama, sehingga
satu-satunya jalan untuk menjamin kebebasan
beragama sebagaimana dijamin dalam konstitusi
dan berbagai undang-undang turunannya menjadi
tidak berjalan. Dengan demikian, secara normatif,
hambatan negara dalam menjamin kebebasan
beragama disebabkan oleh inkonsistensi peraturan
perundang-undangan yang ada. urgensi studi
agama-agama tampak semakin kompeten untuk
konteks Indonesia, karena di Indonesia hidup
subur beberapa agama yang secara konstitusional
maupun sosio-historis memperoleh jaminan dari
negara dan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian, paling tidak ada
empat hal yang diajukan sebagai simpulan.
Pertama, agama “lokal” yang ada diberbagai
daerah mengalami beberapa kali perubahan nama.
Perubahan ini sering disebabkan oleh faktor
eksternal, namun ada juga yang tetap memakai
nama sejak awal berdiri. Agama “lokal” yang oleh
Niel Mulder (1999:3) diduga hanya sebagai bentuk
sinkretisme, dalam riset ini ditolak. Ini karena
mereka memiliki dinamika dan kelangsungan
hidup yang nyata.

Kedua, agama “lokal” kini banyak mengalami


pergeseran makna ajaran dan ritual. Pergeseran ini
dilakukan untuk menghindari hujatan dan stigma
dari masyarakat. Ini penting mereka lakukan
untuk menghindari stereotype, karena ketika
agama sebagaimana dikonsepsikan negara, tidak
akan pernah sama dengan keyakinan mereka yang
lebih dekat sebagai kombinasi adat, moralitas dan
tradisi (Jane Monning Atkinson, Religious in
Dialogue: The Construction of an Indonesian
Minority Religion. 175).

Ketiga, secara umum, agama “lokal” tidak


mengalami perkembangan yang signifikan
terutama kuantitas penganut maupun aktivitas
sosial. Mereka masih memiliki keleluasaan untuk
mengamalkan ajarannya, namun keleluasaan ini
diperoleh akibat kran reformasi yang airnya
merembes hingga ke birokrasi pemerintahan,
sehingga mereka masih mendapatkan pelayanan
publik, seperti Akta Kelahiran, Akta Perkawinan,
KTP dan Akta Kematian.

Simpulan ini seturut dengan pendapat Olaf


Schuman (2000:xxv) yang menyatakan jika negara
tidak lagi terkait dengan prinsip salah satu agama,
maka ia tidak lagi mengurusi soal benar tidaknya
suatu keyakinan agama, melainkan bagaimana
negara memberi jaminan beragama dan
berkeyakinan yang setara kepada semua warga
negara.

Keempat, respon pemuka agama dan pemerintah


pada umumnya dapat menerima kehadiran agama
“lokal” terutama karena pertimbangan HAM dan
terutama UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan yang memberikan
kebebasan bagi setiap individu menjalankan ajaran
agama yang dianutnya.

Simpulan ini memperkuat kembali posisi negara


yang harus mampu mengimplementasikan
seperangkat regulasinya, dan menihilkan
diskriminasi sehingga agama “lokal” tetap
mendapat ruang ekspresi keagamaan yang
proporsional

Empat simpulan di atas mengandung sejumlah


implikasi kebijakan kepada pemangku
kepentingan, antara lain: pertama, pemerintah
sesuai dengan amanat UU Nomor 24 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun
2006, harus memberikan pelayanan hak-hak sipil
kepada penganut kepercayaan dan agama “lokal”.

Kedua, pemerintah secara terus menerus harus


mensosialisasikan PP Nomor 37 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006
sampai ke tingkat paling bawah (desa/kelurahan)
karena masih banyak masyarakat yang awam isi
regulasi tersebut; dan Ketiga, tokoh dan
masyarakat penganut agama mainstream
diharapkan dapat menghargai perbedaan yang
tumbuh dalam masyarakat, sebab selama ini
penganut kepercayaan dan agama “lokal” masih
dan selalu dianggap sebagai ancaman bagi agama
“resmi”.

Tiga implikasi kebijakan tersebut menjadi godot


yang layak ditunggu penerapannya, terutama
dalam dua hal, yakni pertama, bagaimana
perlindungan negara terhadap umat beragama;
dan kedua, bagaimana sikap negara terhadap
kepercayaan dan agama “lokal” yang dianut
sangat lama oleh warga negara di luar enam
agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
Khonghucu).

Sebagai respon atas hasil riset terhadap dinamika


agama “lokal”, sejak akhir tahun 2014,
Kementerian Agama telah merancang salah satu
karya agung dalam melindungi hak-hak sipil,
yakni Rancangan Undang-Undang tentang
Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB).
Meskipun masih berupa rancangan, PUB telah
menjadi hot issue, meskipun masih ada sebagian
kalangan yang mencium aroma sensitif.

Selain berbasis riset, RUU ini adalah respon


pemerintah terhadap amar keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang menolak judicial review
terhadap penodaan agama. Menurut MK, UU
No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama tidak
bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya
memiliki kekuatan hukum yang mengikat kepada
setiap orang. MK menolak seluruh permohonan
para pemohon ketika itu, namun MK juga
memerintahkan kepada pemerintah untuk
merevisi UU tersebut baik dalam lingkup formil
maupun materiil.

Bangunan RUU PUB tegas, yakni berdasarkan


semangat konstitusi untuk melindungai hak-hak
sipil serta mengakomodir berbagai aspirasi dan
kepentingan, tidak hanya dari kelompok
keagamaan mainstream, tetapi juga kelompok
keagamaan minoritas.

Amanat yang sama juga termaktub dalam UU


Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Sipil dan Politik, di mana negara wajib memberi
jaminan dan perlindungan terhadap kelompok
minoritas etnis maupun agama.9

secara serius mengingat keberadaan mereka cukup


mengkhawatirkan seiring dengan derasnya proses
peminggiran dan diskriminasi yang dilakukan
oleh masyarakat (misalnya kelompok agama-
agama mayoritas dan dominan) dan juga negara
atau pemerintah itu sendiri. Memang, selain
kelompok agama mainstream, khususnya umat
Islam dan Kristen, negara (pemerintah) juga
berkontribusi atas merosotnya eksistensi dan
proses marjinalisasi agama-agama asli dan
kepercayaan lokal di Indonesia. Fenomena ini
tentu saja sebuah ironi. Negara yang mestinya ikut
menjaga dan melindungi hak-hak para penganut
agama asli dan kepercayaan lokal sebagai warga
negara tapi justru terlibat dalam marjinalisasi dan
diskriminasi terhadap mereka.
9
Ahmad Muttaqien, ‘Spiritualitas Agama Lokal’, Al-Adyan,
8.1 (2013), 89–102.
misalnya, meskipun Konstitusi (UUD 1945) dan
Ideologi Negara Indonesia (Pancasila) mengakui
secara eksplisit dan implisit agama dan
kepercayaan lokal nusantara, tetapi Pemerintah RI
(misalnya, melalui Penetapan Presiden Nomor 1
Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1969) hanya mengakui secara resmi eksistensi
enam agama,yang ironisnya semuanya adalah
agama impor: Islam, Kristen (Protestan), Katolik,
Buddha, Hindu, dan Konghucu.

Pada masa rezim Orde Baru (Orba), Konghucu


dicoret dari daftar “agama resmi negara” gara-
gara Cina dituduh sebagai dalang dan suporter
komunis. Padahal, mereka hanya dijadikan
sebagai tumbal dan dikambinghitamkan oleh
Soeharto. Rezim Orba juga melarang warga
Tionghoa untuk merayakan tradisi dan budaya
mereka. Setelah Konghucu dicoret, melalui Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1974,
pemerintah akhirnya memutuskan warga Negara
Indonesia untuk mengisi salah satu dari lima
agama resmi yang diakui pemerintah (minus
Konghucu) di “kolom agama” di KTP (Kartu
Tanda Penduduk). Kelak, tahun 2000, mendiang
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
menjadikan Konghucu kembali menjadi agama
resmi negara. Gus Dur juga mencabut berbagai
aturan diskriminatif terhadap masyarakat
Tionghoa serta membebaskan mereka untuk
menjalankan agama, tradisi, dan kebudayaan
mereka secara terbuka di Indonesia.

Maka, demikianlah, sejarah mencatat banyak


penduduk Indonesia, karena ingin selamat dan
supaya lebih gampang urusan mereka, terpaksa
mencantumkan salah satu dari lima agama
tersebut di kolom KTP meskipun tidak sesuai
dengan keyakinan mereka. Meski begitu, ada pula
yang bersikukuh tidak mau mencantumkan agama
dan kepercayaan mereka dan memilih
mengosongkan kolom agama. Mereka yang
bersikeras tidak mau mengisi kolom agama di KTP
tentu saja mendapat perlakuan yang diskriminatif,
baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Misalnya, mereka dipersulit mengurus berbagai
urusan administrasi pemerintahan. Mereka juga
dikucilkan dari berbagai aktivitas sosial-
keagamaan di masyarakat. bukan hanya itu, kelak
jika meninggal, masyarakat juga enggan
menguburkan mereka. Jadi, jangankan waktu
masih hidup, sudah mati pun mereka sengsara. 10

10
Retno Sirnopati, ‘Agama Lokal Pribumi Sasak (Menelusuri
Jejak “Islam Wetu Telu” Di Lombok)’, Tsaqofah, 19.02 (2021),
103 <https://doi.org/10.32678/tsaqofah.v19i02.3656>.
B. METODE
Tulisan ini menggunakan pendekatan kajian
pustaka yang merupakan teori-teori referensi yang
menjadi dasar dalam sebuah penelitian yang
menjawab secara teori tentang permasalahan dari
sebuah ide pokok penelitian. Dengan tujuan
menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil
penelitian lain yang berkaitan erat dengan
penelitian yang dilakukan saat itu,
menghubungkan penelitian dengan literatur-
literatur yang ada, dan mengisi celah-celah
penelitian-penelitian sebelumnya. Sumber yang
sudah diketahui ada yang telah dituliskan ada
pula yang belum. Sumber yang telah dituliskan
maka dapat diperoleh dengan mencarinya di
internet atau di perpustakaan.
Sumber-sumber tersebut bisa berupa jurnal,
artikel, buku, dan sebagainya. Sebagai tambahan,
dalam mengutip teori dalam sebuah literatur maka
kami mencantumkan sumber dimana kita
mengutipnya berupa mencantumkan nama
pengarang, judul buku, halaman dan sebagainya
sesuai dengan pedoman penulisan.

Pasang surut hubungan antara Islam dan agama


lokal ini akan ditelisik melalui metodologi
penelitian sejarah. Metode sejarah sendiri
merupakan suatu proses pengujian dan analisis
yang dilakukan secara kritis terhadap pelbagai
rekaman dan peninggalan yang berasal dari masa
lampau.

Hal mendasar dari metode sejarah ialah cara


terbaik untuk penanganan bukti-bukti sejarah agar
dapat dihubungkan dengan tepat. Dalam proses
ini, bukti tertulis yang berupa dokumen-dokumen
merupakan hal yang terlebih dahulu perlu untuk
dicari.
KAJIAN PUSTAKA

Dahlan, Muhammad, and Airin Liemanto,


‘Perlindungan Hukum Atas Hak
Konstitusional Para Penganut Agama-Agama
Lokal Di Indonesia’, Arena Hukum, 10.1 (2017),
20–39
<https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.201
7.01001.2>

Ghaffar, Nurkhalis A., ‘Tasawuf Dan Penyebaran


Islam Di Indonesia’, Jurnal Rihlah, 3.1 (2015),
68–79

Haganta, Karunia, and Firas Arrasy, ‘Agama,


Modernisme, Dan Kepengaturan: Agama
Lokal Pasca-1965’, Panangkaran: Jurnal
Penelitian Agama Dan Masyarakat, 5.1 (2021),
29–47
<https://doi.org/10.14421/panangkaran.2021.0
501-02>

Huda, Sokhi, ‘STUDI AGAMA-AGAMA (Wacana


Pengantar Metodologis) * Oleh: Sokhi Huda
**’, February, 2000, 1–20
Muttaqien, Ahmad, ‘Spiritualitas Agama Lokal’,
Al-Adyan, 8.1 (2013), 89–102

Rohmadi, Rohmadi, and Muhammad Farijal


Akmal, ‘Korelasi Agama Dan Masyarakat
Dalam Menyikapi Budaya Lokal Di Desa
Sungai Duren’, Jurnal Inovasi Penelitian Dan
Pengabdian Masyarakat, 2.2 (2022), 113–19
<https://doi.org/10.53621/jippmas.v2i2.154>

Rosyid, Moh, ‘Konsekuensi Pendidikan Bagi


Pemeluk Agama Lokal’, Edukasia: Jurnal
Penelitian Pendidikan Islam, 9.1 (2014), 89–112

Setiyawan, Agung, ‘Budaya Lokal Dalam


Perspektif Agama’:, Esensia, XIII.Humaniora
(2012), 1–20

Sirnopati, Retno, ‘Agama Lokal Pribumi Sasak


(Menelusuri Jejak “Islam Wetu Telu” Di
Lombok)’, Tsaqofah, 19.02 (2021), 103
<https://doi.org/10.32678/tsaqofah.v19i02.3656
>

Suhadi, Zainal Abidin Bagir, Samsul Maarif,


Achmad Munjid, Gregory Vanderbilt,
Mohammad Iqbal Ahnaf, and others, Studi
Agama Di Indonesia: Refleksi Pengalaman, 2016

Sukirno, Sukirno, ‘Diskriminasi Pemenuhan Hak


Sipil Bagi Penganut Agama Lokal’,
Administrative Law and Governance Journal, 1.3
(2018), 231–39
<https://doi.org/10.14710/alj.v1i3.231-239>

Tendi, Tendi, ‘Islam Dan Agama Lokal Dalam


Arus Perubahan Sosial’, Al-Tahrir: Jurnal
Pemikiran Islam, 16.1 (2016), 47
<https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v16i1.365>

Wibisono, M.Yusuf, Adeng M. Ghozali, and Siti


Nurhasanah, ‘Keberadaan Agama Lokal Di
Indonesia Dalam Perspektif Moderasi’,
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial
Budaya, 1.2 (2020), 179–86

Wikipedia, ‘Agama’, Wikipedia, 2022

C. PEMBAHASAN
1. Definisi
Agama lokal adalah istilah yang disematkan pada
sistem kepercayaan asli nusantara, yaitu agama
tradisional yang telah ada sebelum kedatangan
agama-agama besar seperti, Hindu, Budha, Islam
dan Kristen di bumi Nusantara ini. Banyak
kalangan masyarakat yang tidak lagi mengetahui
bahwa sebelum kedatangan agama „resmi”,
masuk ke Indonesia di setiap daerah telah ada
agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda
Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di
Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran
Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan
ada beberapa penamaan lain) di Cigugur,
Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa
Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur;
agama Parmalim, agama asli Batak; agama
Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas
Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di
Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di
Pulau Seram di Propinsi Maluku, dan lain-lain.
Didalam Negara Republik Indonesia, agama-
agama asli Nusantara tersebut di degradasi
sebagai ajaran animisme, penyembah berhala /
batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan
kepercayaan asli Nusantara yang diakui
diIndonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk
dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan
perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan
sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu dan
zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan
menghilang, kalaupun ada yang menganutnya,
biasanya berada didaerah pedalaman seperti
contohnya pedalaman Sumatra dan pedalaman
Irian Jaya. Sekalipun secara Antropologis,
kepercayaan-kepercayaan asli Indonesia atau biasa
disebut agama lokal, dapat disebut agama, namun
sampai saat ini pemerintah belum memasukkan
kepercayaan Asli Indonesia tersebut sebagai
agama yang diakui sah untuk dipeluk oleh orang
yang meyakininya. Fakta ini tampaknya
bersumber dari definisi agama yang diberlakukan
pemerintah, sehingga agama-agama tersebut tidak
dikategorikan sebagai agama, maka agama Lokal
hanya dipandang sebagai kepercayaan primitif
yang para penganutnya boleh dijadikan sasaran
penyebaran agama resmi. Dengan melihat pada
spirit ajaran agama lokal, khususnya dalam hal ini
adalah ajaran Sunda wiwitan Madrais, setidaknya
kita dapat melihat bahwa Agama Lokal tidaklah
sesederhana yang kita duga, bahkan sudah
memiliki konsep ajaran yang cukup
Complicated,dan lengkap. Dan cukup layak untuk
dikategorikan sebagai agama.

Tidak semua ilmuan menyepakati istilah agama


langit (samawi) dan agama bumi (ardhi). Namun
secara umum istilah tersebut telah membumi -
untuk tidak mengatakan- lebih diterima
dikalangan akademis. Agama langit merujuk
kepada agama Ibrahim (Abrahamic Religion),
Ibrahim dianggap sebagai bapak agama atau yang
melahirkan tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen
dan Islam yang datang dari Tuhan, rumpun agama
tersebut disebut agama wahyu (revealed
religions). Sedangkan agama bumi dianggap lahir
dan berkembang sesuai dengan perkembangan
peradaban manusia. Selain istilah tersebut,
terdapat juga istilah agama tradisional. Agama
tradisional memuat nilai-nilai, konsep, pandangan,
praktek-praktek tertentu. Weber seperti yang
dikutip Erni Budiwanti menyamakan agama
tradisional dengan cara kerja tukang sihir.

Sedangkan menurut Bellah mengemukakan


bahwa agama tradisional sangat banyak
memberikan tekanan pada masalah-masalah
duniawi dan oleh karena itu menciptakan doktrin
memberi penjelasan rasional secara terbatas.
Diluar kontroversi istilah-istilah tersebut kami
menguraikan definisi tentang agama dari beberapa
tokoh baik dari sosiolog maupun antroplog.
Menurut Edward Burnett Tylor (1832-1917) ahli
folklore yang dikutip Bustanuddin Agus
berpendapat bahwa agama merupakan
kepercayaan kepada wujud spiritual (a belief in
spiritual being). Agama digambarkan sebagai
kepercayaan kepercayaan kepada adanya ruh gaib
yang berpikir, bertindak dan merasakan sama
dengan manusia. Religi seperti inilah disebut
dengan animism. Berbeda dengan Tylor, Lucien
Levy-Bruhl (1857-1945) seorang ahli sejarah dan
filsafat Prancis membantah teori Tylor diatas
karena menurutnya tidak mungkin manusia
primitif berpikir abstrak. Orang primitif bisa saja
mempercayai satu pribadi dengan tumbuh-
tumbuhan atau binatang tertentu sehingga mereka
mudah percaya kepada hewan totem. Sifat mistik
menurut Lucien adalah bahwa seluruh alam
diliputi oleh suatu kekuatan gaib.

Berbeda lagi dengan James George Frazer (1854-


1941), pengagum sekaligus murid Tylor, dia
membedakan religi dengan magi yang sama-sama
cocok bagi masyarakat yang masih berpikir
pralogis. Esensi agama menurutnya adalah
ketergantungan atau kepercayaan kepada
kekuatan supernatural. Adapun Radcliffe Brown
(1881-1955) mendefinisikan agama sebagai
ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang
kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu
kekuatan di luar diri kita yang dinamakan dengan
kekuatan spiritual atau moral. Adapun Auguste
Comte (1798- 1858) ahli sosiologi agama
memahami berpikir religius sebagai berpikir yang
cenderung mencari jawaban yang mutlak tentang
segala hal, seperti mengembalikan sebab segala
peristiwa yang terjadi kepada kehendak Tuhan. 11

Masuk dalam kategori agama bumi ini adalah


agama-agama lokal yang hadir atau muncul di
berbagai belahan daerah Indonesia. Kehadiran
agama-agama lokal tersebut merupakan wujud
sistem keyakinan atau kepercayaan yang lahir dari
budaya setempat. Misalnya hasil penelitian
Clifford Geertz dengan karya monumentalnya The
11
Muhammad Dahlan and Airin Liemanto, ‘Perlindungan
Hukum Atas Hak Konstitusional Para Penganut Agama-
Agama Lokal Di Indonesia’, Arena Hukum, 10.1 (2017), 20–39
<https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2017.01001.2>.
Religion of Java yang menghasilkan tiga tipologi
agama Islam yaitu Santri, Priyai dan Abangan
menurut Parsudi Suparlan merupakan kajian
agama yang dilihat sebagai suatu system social
yang akulturatif serta sinkretik. Menurut catatan
para reformis bahwa Geertz telah menggambarkan
beberapa praktek abangan (dan Priyai) sebagai
tidak Islami, dan kadang-kadang merujuk ajaran
Hindu. Pemujaan terhadap nenek moyang dan
percaya kepada roh dengan pemberian sesaji
sebagai bentuk ritual, magis, dan bentuk-bentuk
mistisme. Demikan juga dengan fenomena agama
lokal suku Sasak yang mendiami pulau Lombok
yang diuraikan dalam tulisan ini yang dikenal
dengan istilah Islam Wetu Telu. Walaupun istilah
Islam Wetu Telu masih kontroversi karena istilah
tersebut dianggap buatan kolonialisme untuk
mengkotak-kotak Islam yang ada di Lombok.
Dengan demikian agama asli Suku Sasak perlu
ditelusuri dan dikaji sehingga masyarakat lokal
Lombok memahami asal usul agama dan akar
budaya budayanya.

Istilah agama lokal menjadi problematik ketika


berhadapan dengan agama dunia karena
memunculkan paradigma negatif. Dalam konteks
Indonesia, agama yang diterima atau resmi ada
enam yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
dan Konghucu. Adapun yang lainnya agama lokal
atau agama tidak resmi yang oleh pennganutnya
dirasakan tidak adil. Agama lokal harus dikaji dan
diteliti dengan pendekatan dan metodologi yang
sesuai karakternya. Setidaknya ada tiga
pendekatan yang digunakan dalam mengkaji
sebuah agama (lokal) yaitu; pertama, pendekatan
‘humanistic’ yaitu pendekatan yang menuntut
perspektif bahwa setiap gagasan dan aktifitas
seseorang atau komunitas yang dikaji adalah
bentuk kreatifitas manusia. Pendekatan ini dalam
ilmu social disebut pendekatan empiris (empirical
study). Kedua, pendekatan ‘interdisiplin’,
pendekatan ini berpandangan bahwa agama,
sekalipun telah disimplikasikan sebagai sebuah
dimensi kebudayaan yang unik, paling tidak dapat
dilihat selalu berkaitan dengan dimensi lain.
Misalnya sejarah, antropologi, sosiologi, filsafat,
psikologi dengan pendekatan, focus dan
penekanan yang berbeda-beda. Pendekatan ketiga,
pendekatan ‘lintas-budaya (cross-cultural).
Pendekatan ini tidak terbatas pada sekedar
membandingkan dua budaya sebagai subyek
kajian, tetapi juga menuntut perlunya dialog
antara peneliti dengan yang diteliti. Adapun teori-
teori yang digunakan diantaranya teori
fenomenologi Emile Durkhem.

Kepercayaan religius selalu dianut oleh kelompok


yang jelas yang menyatakan dan mempraktikkan
ritus-ritus yang sesuai dengan kepercayaan
tersebut. Kepercayaan ini tidak hanya diterima
secara individual oleh semua kelompok, tapi juga
menjadi milik kelompok dan dialah yang
menyatukannya. Individu-individu yang menjadi
bagian dari kelompok merasakan kebersamaan
dengan individu lainnya dengan adanya keimanan
yang diyakini bersama. Fenomena Religius dapat
dibagi menjadi dua kategori: kepercayaan dan
ritus. Yang pertama merupakan pendapat-
pendapat (states of opinium) dan terdiri dari
representasi-representasi, yang kedua adalah
bentuk-bentuk tindakan (action) yang khusus.
Semua kepercayaan religius, yang sederhana
maupun yang kompleks, memperlihatkan satu ciri
umum, yaitu mensyaratkan pengklasifikasian
segala sesuatu, baik yang real atau ideal yang
dapat diketahui manusia kelas yaitu profane dan
sacred. Menurut Durkhem seperti yang dikutip
Daniel L. Pals bahwa dalam masyarakat beragama
manapun, dunia dibagi menjadi dua bagian
terpisah: “dunia yang sakral” dan “dunia yang
profan”, bukan natural dan supranatural. Yang
sakral memiliki pengaruh luas, menentukan
kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota
masyarakat. Sedangkan yang profan tidak
memiliki pengaruh yang begitu besar, hanya
merefleksikan keseharian tiap individu, baik itu
yang menyangkut aktivitas pribadi, atau pun
kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan setiap
individu dan keluarga. Peran penting yang yang
dimainkan keyakinan dan ritual keagamaan dalam
masyarakat jauh lebih penting dari semua itu.
Artinya, fungsi-fungsi yang sacral adalah factor
utama yang berperan dalam masyarakat secara
keseluruhan. 12

12
Sukirno Sukirno, ‘Diskriminasi Pemenuhan Hak Sipil Bagi
Penganut Agama Lokal’, Administrative Law and Governance
Journal, 1.3 (2018), 231–39
<https://doi.org/10.14710/alj.v1i3.231-239>.
2. Korelasi beragama

Umat Islam di Indonesia tidaklah utuh, terdapat


tradisi, pemahaman dan amalan religiusnya
banyak ragamnya, yang merupakan manifestasi
dari keimanan Islam yang dianutnya. Pemahaman
agama akan mendorong bangkitnya organisasi
keagamaan, serta menjadi kelompok agama
tertentu yang membedakan dirinya dari kelompok
pemahaman lainnya. Organisasi kemsyarakatan
atau Ormas dapat muncul dengan pemahaman
tentang agama, kegiatan keagamaan, kegiatan
ekonomi dan sosial, atau ambisi tertentu politik.
Latar belakang umat muslim di Indonesia dapat
direpresentasikan oleh umat muslim dibeberapa
tempat yang memiliki ciri hubungan sosial antar
Non-Muslim, seperti ras, ideologi agama, dan
budaya. Tradisi adat dan budaya lokal tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat.
Islam dan budaya memiliki hubungan yang tidak
dapat dipisahkan, Islam sendiri memiliki nilai
universal dan absolut di segala zaman. Namun,
Islam sebagai dogma tidaklah kaku dalam
menghadapi perkembangan zaman dan
perubahannya. Ketika berhadapan dengan orang,
Islam selalu menampilkan dirinya dalam bentuk
yang fleksibel dan bertemu dengan berbagai
budaya, adat istiadat, atau tradisi. Sebagai fakta
sejarah, agama dan budaya dapat saling
mempengaruhi, karena keduanya memiliki nilai
dan simbol. Agama adalah simbol nilai ketaatan
kepada Tuhan. Budaya juga mengandung nilai
dan simbol agar manusia dapat hidup
didalamnya.

Agama membutuhkan sistem simbol, dengan kata


lain agama membutuhkan budaya religius. Agama
adalah sesuatu yang final, universal, abadi
(parennial) dan tidak mengenal perubahan
(absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat
partikular, relatif dan temporer.

Agama tanpa kebudayaan memang dapat


berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa
kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan
mendapat tempat di masyarakat. Islam merespon
budaya, adat istiadat atau tradisi lokal kapanpun
dan dimanapun, dan bersedia menerima budaya,
adat istiadat atau tradisi lokal, selama budaya,
adat istiadat atau tradisi lokal tersebut tidak
bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist.

Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh


para pemuka agama dan sufi dilakukan tanpa
merusak tatanan masyarakat yang sudah ada. Cara
penyebaran tersebut dijadikan sebagai warisan
paling berharga bagi sejauh umat Islam di
Indonesia dan dijadikan sebagai budaya lokal.
Dari situlah muncul keberagaman tradisi yang
mengandung nilainilai agama Islam. Penyebaran
agama Islam dilakukan dengan damai dan tanpa
adanya peperangan. Analogi penyebaran agama
Islam di Indonesia dapat diperibahasakan dalam
bahasa Sunda yaitu “Herang caina, beunang
laukna”.

Dalam menyebarkan Islam, metode yang


digunakan oleh para ulama yaitu dengan
menggunakan budaya Indonesia yang sudah ada.
Mereka menambahkan sedikit pengaruh-pengaruh
Islam ke dalam budaya yang sudah ada tersebut.
Hal itu menyebabkan Islam tumbuh dengan cara
damai dan tidak terjadi perpecahan yang dapat
memperkeruh dan menimbulkan permusuhan.

Islam dan kebudayaan erat kaitannya antar satu


sama lain. Sasaran utama agama adalah bertumpu
pada Al-Qur’an dan Hadits yang berhubungan
dengan Allah SWT yang menciptakan alam
semesta seisinya dan manusia untuk pedoman
keselamatan akhirat. Pada saat yang sama, tujuan
utama kebudayaan adalah dunia nyata, yang
didasarkan pada gagasan, berdasarkan keyakinan
rasional, berdasarkan Al-Quran dan Hadits, yang
mengarah pada keselamatan di dunia.
Kebudayaan yang khas dimiliki oleh setiap
kelompok masyarakat. Ini dikarenakan
terdapatnya keragaman kondisi antara setiap
masyarakat khususnya untuk masyarakat
tradisional yang ada di desa.

Kebudayaan merupakan cara berpikir dan cara


merasakan kesatuan dalam segala aspek
kehidupan sekelompok orang yang membentuk
kesatuan sosial dalam ruang dan waktu. Cara
berpikir dan perasaan merupakan kebutuhan yang
melekat, sedangkan bentuk ekspresi adalah
bagaimana menerapkan dan bagaimana bertindak
sesuai aturan adat yang dijalankan. Kepercayaan
merupakan salah satu kebutuhan batiniah yang
dibutuhkan oleh setiap manusia. Kebutuhan
tersebut meliputi kepercayaan pada kekuatan
supranatural, roh leluhur sebagainya.

Seperti halnya hal-hal tabu dan acara-acara adat


yang dijalankan dengan tujuan untuk memuja,
mensyukuri, menghormati dan meminta
keselamatan kepada Tuhan dan leluhur terdahulu.
Perasaan segan, takut dan hormat kepada leluhur
terdahulu merupakan sebab terjadinya tradisi
pemujaan dan penghormatan. Perasaan tersebut
timbul dikarenakan masyarakat masih
mempercayai bahwa terdapat hal yang luar biasa,
tidak tampak oleh mata dan diluar nalar
pemikiran manusia seperti hal nya roh-roh leluhur
yang diyakini masih ada hingga sekarang.
Rangkaian acara dan tradisi ini memiliki arti
penting bagi setiap masyarakat yang
mempercayainya.

Hal ini dapat dikatakan sebagai penghormatan


kepada roh leluhur terdahulu dan rasa syukur
kepada Tuhan, syukur yang dimaksud disini
adalah rasa syukur atas kebaikan, rasa terima
kasih kepada yang member nikmat, dan
menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan
keinginan dan tujuan yang baik. Keadaan sosial
saat ini khususnya dalam masyarakat Muslim
masih banyak menjalani ritual warisan leluhur
yang dilatar belakangi oleh ajaran NonIslam dan
masih kental dengan ajaran-ajaran hindu ataupun
animisme. Hal-hal diatas yang merupakan tradisi
atau pun pantangan yang masih terus dipercaya
oleh masyarakat dan susah untuk dihilangkan,
khususnya bagi masyarakat yang sudah lama
menjalankannya hingga turun ke anak cucu.
Sumber-sumber nilai utama kebudayaan yang
dibawa oleh leluhur hingga kini masih dapat
dibaca dalam berbagai naskah kuno atau pun dari
cerita pemangku adat setempat yang tersimpan
dan terjaga rapi hingga sekarang. Nilai-nilai yang
berkembang sampai saat ini adalah buah hasil dari
pemikiran kritis yang dilakukan oleh para orang-
orang bijak dahulu. Kemudian dituangkan dalam
bentuk petuah, falsafah hidup, adat-istiadat, aspek
keagamaan, dan lain-lain. 13

13
Rohmadi Rohmadi and Muhammad Farijal Akmal, ‘Korelasi
Agama Dan Masyarakat Dalam Menyikapi Budaya Lokal Di
Desa Sungai Duren’, Jurnal Inovasi Penelitian Dan
Pengabdian Masyarakat, 2.2 (2022), 113–19
<https://doi.org/10.53621/jippmas.v2i2.154>.
3. Relasi islam dengan agama lokal
Sebagai pedoman yang mengatur kehidupan
manusia agar selalu lurus dan tidak kacau , agama
telah menjadi aspek yang sangat penting dalam
diri seorang individu. Agama menuntun manusia
untuk menjalani kehidupannya sekaligus
mengikat manusia dengan Tuhan melalui hati
serta batinnya.

Terdapat banyak agama yang didalami dan dianut


oleh bangsa Indonesia, dimana enam di antaranya
telah menjadi agama yang sah menurut konstitusi
negara, yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Buddha dan Konghucu. Meski agama yang diakui
negara jumlahnya hanya lima, dalam
kenyataannya banyak sekali agama-agama lain
yang juga ada dan berkembang di
Indonesia.Agama-agama tersebut pada umumnya
merupakan agama yang memiliki sedikit penganut
dan bersifat lokal karena kehadiran serta
perkembangannya sangat terbatas dalam ruang
lingkup geografis tertentu.
Agama-agama non-resmi negara yang
berkembang secara khusus seperti itu lah yang
kemudian dikenal dengan sebutan agama lokal.
Istilah agama lokal merupakan antitesa dari istilah
agama luar atau agama “impor”, yaitu
kepercayaan yang berasal dari sejumlah
peradaban luar Nusantara. Menurut Muttaqien,
agama lokal merupakan istilah yang disematkan
terhadap sistem kepercayaan asli Nusantara, yaitu
agama tradisional yang telah ada jauh sebelum
kedatangan agama-agama besar yang sekarang
menjadi agama resmi negara, seperti, Hindu,
Buddha, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghucu.
Dalam konteks ini, kata lokal sendiri merujuk
pada kata asli atau pribumi, sehingga secara
implisit menunjukkan bahwa kepercayaan
tersebut merupakan keyakinan yang memang
benar-benar tumbuh, berkembang dan berasal dari
peradaban masyarakat asli setempat. Beberapa
sistem kepercayaan berorientasi lokal di bumi
Nusantara adalah Kepercayaan Sunda Wiwitan,
Agama Buhun, Kepercayaan Parmalin. Di antara
agama-agama asli Indonesia, Agama Djawa
Soenda (ADS) merupakan salah satukepercayaan
lokal yang dinamikanya sangat menarik untuk
dikaji. Kepercayaan ini disebut agama lokal karena
hanya berkembang secara terbatas dalam wilayah
Jawa bagian barat atau bisa dikatakan hanya
berkembang di daerah orang Sunda saja, hal itu
menunjukkan bahwa kepercayaan mereka
hanyalah suatu kepercayaan lokal, dan
sebagaimana tertuang dalam pemikiran Weber,
kepercayaan itu memiliki Tuhan yang hanya
bersifat lokal semata. Studi mengenai Agama
Djawa Soenda tidak dapat dilepaskan dari sosok
yang bernama Madrais, perintis sekaligus
pemimpin ADS yang pertama. Madrais sendiri
adalah seorang ahli kebatinan yang memang
memiliki pengetahuan yang dalam mengenai
ilmu-ilmu mistik lokal dan Islam. Madrais, yang
juga dikenal sebagai Rama Alibasa, dilahirkan
pada tahun 1820-an, atau lebih tepatnya pada
tahun 1822 sebagaimana dituturkan oleh
keturunannya. Menurut cerita yang berkembang
di tengah masyarakat Cigugur, Madrais adalah
putra dari pasangan Nyi Kastewi dengan Raden
Alibassa Koesoema Widjajaningrat yang
merupakan bangsawan berpengaruh di wilayah
Lebakwangi dan Gebang.

adalah sosok yang berpengaruh dalam kajian ilmu


kebatinan pada masa dasawarsa-dasawarsa awal
abad ke-20 karena selain menguasai aliran mistik
dan kebatinan lokal, ia juga sangat mumpuni
dalam ilmu mistik Islam.meninggal pada tahun
1939. Kajian mengenai ADS perlu mendapat atensi
yang serius, tidak hanya dari para peneliti
maupun penggiat kelompok kebatinan dan
kepercayaan lokal semata, melainkan juga dari
para peminat serta penggiat Islam. Bagaimanapun,
interaksi dan interaksi ADS dengan Islam terjadi
dengan sangat intens, khususnya ketika komunitas
spiritual tersebut dikaitkan dengan sosok yang
bernama Madrais, pendiri ADS yang memang
pada mulanya adalah seorang kyai dan juga ahli
mistik Islam. Salah satu dinamika menarik dari
komunitas spiritual dan budaya ini adalah
pengaruh perubahan sosial terhadap eksistensi
ADS. Perubahan sosial yang bersifat inheren di
setiap masyarakat itu terus terjadi dari waktu ke
waktu, termasuk di tiga masa kepemimpinan ADS.

Melihat uraian tersebut kajian akan difokuskan


pada relasi Islam dengan agama lokal dalam
konteks perubahan sosial. Pembatasan waktu
dilakukan hanya pada masa kepemimpinan
Pangeran Tedjabuana yang dimulai sejak tahun
1939 hingga 1964. Pada masa Tedjabuana,
perubahan sosial terjadi dengan sangat cepat dan
meliputi hal-hal yang mendasar, termasuk di
antaranya adalah aspek keagamaan yang memang
seringkali menimbulkan polemik serta konflik di
tengah masyarakat. Dalam konteks ini, hampir
setiap konflik yang berhubungan dengan ADS,
selalu melibatkan para pemeluk agama Islam di
dalam pusarannya, seperti saat ADS harus
berhadapan dengan golongan Islam radikal para
pengikut DI-TII Kartosuwiryo dan golongan Islam
fundamentalis. Meskipun konflik dalam dua kasus
yang berbeda ini tidak banyak memakan korban,
namun cukup untuk membuat ADS tidak dapat
berkembang lagi.
Pasang surut hubungan antara Islam dan agama
lokal ini akan ditelisik melalui metodologi
penelitian sejarah. Metode sejarah sendiri
merupakan suatu proses pengujian dan analisis
yang dilakukan secara kritis terhadap pelbagai
rekaman dan peninggalan yang berasal dari masa
lampau.

Agama Djawa Soenda (ADS) berjalan dalam tiga


zaman yang berbeda, mulai dari era kolonial
Belanda, pendudukan Jepang, hingga era
kemerdekaan, saat dipimpin oleh
Tedjabuana.Tedjabuana sendiri adalah anak dari
Madrais yang dilahirkan pada tanggal 22
Rayagung di Cigugur Kuningan. Tanggal
kelahirannya tersebut merupakan salah satu hari
penting dalam tradisi kalender Sunda dan Jawa.
Dalam budaya dan tradisi Agama Djawa Soenda
(ADS) sendiri, tanggal itu merupakan hari bagi
pelaksanaan kegiatan dan upacara Seren Taun.
Menurut Djatikusumah, Tedjabuana lahir pada
tahun 1892 Masehi dan meninggal pada usia 86
tahun pada tahun 1978.Tedjabuana memiliki dua
orang istri, yaitu Ratu Nyi Mas Arinta dan Ratu
Siti Saodah, dan sepuluh orang anak. Dari istri
yang pertama, ia memiliki 3 orang puteri.
Sedangkan dengan istri yang kedua, ia memiliki 7
putera-puteri yang salah satunya adalah
Djatikusumah, pemimpin Masyarakat Adat
Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur.
Selain itu, Tedjabuana juga memiliki seorang
kakak yang bernama Nyi Ratu Sukainten.

Tedjabuana mengalami masa perkembangan jiwa


yang kompleks, di mana kehidupannya tidak
pernah berjalan dengan lancar karena ia selalu
berhadapan dengan pelbagai macam peristiwa
besar di zamannya.

Salah satunya adalah perselisihan penghayat ADS


dengan seorang muslim bernama Hussein yang
menjabat sebagai Sekretaris Desa. Konflik bermula
pada 11 November 1950 ketika para penghayat
ADS enggan untuk melakukan upacara
pernikahan sesuai Peraturan Pemerintah No. 22
Tahun 1946. Awalnya, Tedjabuana akan
menikahkan seorang putrinya dengan memakai
adat dan tata cara budaya Sunda. Tedjabuana
beserta para pengikutnya memilih memakai adat
yang telah mereka jalankan sejak masa
kepemimpinan Madrais dan menolak mentah-
mentah pelaksanaan regulasi pemerintah tersebut
di wilayah adat mereka Isu penolakan ini
kemudian menyebar luas dan dianggap menjadi
biang keresahan sosial di tengah-tengah
masyarakat.41 Akhirnya, pemerintah daerah
Kuningan pun mendesak para penghayat ADS
untuk menaati regulasi daerah. Dalam
perkembangannya, tekanan itu membuat
Tejabuana beserta 7 pengikutnya beralih
kepercayaan menjadi seorang muslim pada
februari 1951. Hal ini terjadi karena Tedjabuana
ingin menikahkan anaknya, Siti Jenar dengan
Raden Subagyaharja, dengan tata cara Islam
sebagai salah satu agama yang diakui negara.
Namun setelah prosesi itu selesai, Tedjabuana
beserta para pengikutnya keluar dari Islam dan
menjalankan kepercayaan lokal mereka.
2 Perilaku itu dikecam penganut agama Islam
karena dianggap sebagai penghinaan yang sangat
mendasar terhadap agama yang mereka junjung
tinggi. Konflik itu terus berjalan tanpa henti
sampai Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat
(PAKEM) melarang adat pernikahan ADS pada
Juni 1964. Sebagian besar penghayat ADS
menentang ketentuan pemerintah tersebut, yang
di antaranya adalah putera dan menantu
Tedjabuana sendiri. Sikap itu membuat mereka
ditahan Kejaksaan Kuningan dengan tuduhan
melakukan perkawinan yang tidak sah.
Mengetahui informasi ini, Tedjabuana yang telah
tinggal di Cirebon menjadi sangat tertekan.Kondisi
tersebut membuat dokter pribadinya, dr. Tju Pie
yang merupakan jamaah Katolik di Paroki
Cirebon, memperkenalkannya kepada Pastor A.
Hidayat Sasmita OSC dan sejumlah pastor lainnya
di Paroki St. Yoseph Cirebon. Perkenalan tersebut
mendekatkan Tedjabuana dengan agama dan
umat Katolik di Cirebon.
Pada tanggal 21 September 1964, Wahyu Camara
Bodas itu dimaknai Tedjabuana sebagai Kristus,
dan karenanya pemimpin ADS itu membuat
keputusan yang sangat mengejutkan dengansecara
resmi membubarkan ADS dan menyatakan diri
masuk ke agama Katolik.

Fenomena konflik pada dasarnya memang bersifat


inheren karena pasti hadir dalam kehidupan setiap
individu dan kelompok masyarakat. karna
mengungkapkan bahwa konflik berlaku dalam
semua aspek relasi sosial, seperti dalam relasi
antar individu, relasi individu dengan kelompok,
dan juga dalam relasi antar kelompok dan
kelompok. Dalam memahami konteks konflik ADS
dengan kaum Islam ini, teori konflik yang dapat
digunakan adalah teori konflik Ralf Dahrendorf.
Munculnya teori ini berawal dari reaksi
pemikirannya terhadap teori fungsionalisme
struktural yang kurang memperhatikan fenomena
konflik dalam masyarakat. Pada masa kolonial
Belanda, Islam berada pada posisi “subordinasi”
karena menjadi pihak yang terdesak oleh Belanda.
Di sisi lain, ADS yang memiliki status khusus di
mata Belanda menjadi pihak yang berada dalam
posisi “superordinasi”.

Kondisi tersebut secara tidak langsung menyeret


kedua belah pihak ke dalam kobaran konflik
keagamaan karena masing-masing kelompok
memiliki perbedaan kepentingan. Pihak yang
memegang posisi lebih tinggi merupakan pemilik
otoritas dan itu digunakan untuk mengendalikan
posisi-posisi di bawahnya. Sementara itu, pihak
yang berada dalam posisi di bawahnya
berkepentingan untuk merubah nasibnya. Dalam
konteks ini, dasar konflik menjadi sesuai dengan
ungkapan Pruitt dan Rubin, yaitu persepsi
mengenai kepentingan yang berbeda, “perceived
divergence of interest”. 14

14
Tendi Tendi, ‘Islam Dan Agama Lokal Dalam Arus
Perubahan Sosial’, Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 16.1
(2016), 47 <https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v16i1.365>.
D. PENUTUP
Banyaknya aliran-aliran kebatinan atau
kepercayaan yang ada di Indonesia, hendaknya
mulai saat ini dipandang sebagai kekayaan
cultural bangsa ini, dan bukan malah dicurigai dan
diperangi sebagaimana pengalaman sejarah. Dari
sana dapat terbangun suatu suasan masyarakat
yang damai dan hidup sosial yang harmonis.
Karena itu, tugas selanjutnya adalah memelihara
dan merawat kearifan lokal itu agar senantiasa
hidup dan menyala dalam hati nurani manusia
Indonesia. Kalau nilai itu terus dipupuk, dirawat
dan selalu menjadi ikhtiar dan tindakan seluruh
manusia Indonesia, mungkin tak akan ada lagi
anak yang harus kehilangan bapak atau ibunya
hanya karena beda agama, pemahaman agama,
aliran politik, etnisitas dan aroma rasis lainnya.
Juga tak akan ada lagi rumah dan harta benda
yang dijarah dan dibakar hanya karena perbedaan
identitas. Setiap konflik terdapat resolusinya, para
leluhur telah memberikan peninggalan warisan.

Anda mungkin juga menyukai