Anda di halaman 1dari 14

AGAMA, KEBUDAYAAN, DAN PERADABAN

Muflihah
Pendidikan Agama Islam
Program Pasca Sarjana Magister (S2)
Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon
mufahra06@gmail.com

ABSTRAK
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara
misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan daam pertemuan itu. Manusia tidak
hanya berdiam diri ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons. Dalam kaitan ini
ada juga yang mengaitkan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal
yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman
dalam hidupnya.

Agama di Indonesia telah menerima akomodasi budaya dari awal peradaban. Sebagai
contoh Agama Islam, dimana Islam sebagai agama faktual banyak memberikan norma-norma
atau aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Jika dilihat dari
kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas. Pertama, Islam
sebagai konsespsi sosial budaya dan Islam sebagai realitas budaya.Islam sebagai konsepsi
budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan tradisi besar, sedangkan Islam sebagai realitas
budaya disebut dengan tradisi kecil atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate,
bidang-bidang yang “Islami” yang dipengaruhi Islam. Tradisi besar Islam adalah doktrin-
doktrin original Islam yang permanen atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar.
BAB I
AGAMA

A. Definisi Agama

Kata agama berasal dari bahasa sansekerta dari kata „a‟ berarti tidak dan „gama‟ berarti
kacau. Kedua kata itu jika digabungkan menjadi arti “tidak kacau”. Jadi fungsi agama dalam
pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau kelompok agama yang hubungannya
dengan Tuhan, sesamanya, dan alam agar tidak kacau.

Agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok
manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas
dalam agama adalah eksistensi Tuhan. Tuhan dan hubunga manusia dengan-Nya merupakan
aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk dan bagian dari benda alam termasuk
dalam kategori fisika. Dengan demikian, filsafat membahas agama dari segi metafisika dan
fisika. Namun, titik tekan pembahasan filsafat agama lebih terfokus pada aspek metafisiknya
ketimbang aspek fisiknya. Aspek fisik akan lebih terang diuraikan dalam ilmu alam, seperti
biologi dan psikologi serta antropologi.1

Tingkatan dien (agama) itu ada tiga; Islam, yaitu berserah diri kepada Allah Ta‟ala
dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan serta berlepas didi dari
syirik, Iman, yaitu percaya kepada Allah, Malaikay-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya hari
akhir dan takdirnya, Ihsan, yaitu menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-
Nya.2

Secara etimologi, istilah agama banyak dikemukakan dalam berbagai bahasa, antara
lain Religion (Inggris), Religie (Belanda), Religio (Yunani), Ad-Din,4 Syari‟at, Hisab
(ArabIslam) atau Dharma (Hindu). Menurut Louis Ma‟luf dalam AlMunawar pengertian
agama dalam Islam secara spesifik berasal dari kata “ad-Din” (Jamak: “Al-Adyan” yang
mengandung arti “Al-Jaza wal Mukafah, Al-Qada, Al-Malik-al-Mulk, As-Sulton, At-Tadbir,
Al-Hisab”). Moenawar Cholil menafsirkan kata “AdDin sebagai mashdar dari kata kerja “-ََ‫دَان‬
َ‫ يدين‬yang mempunyai banyak arti, antara lain: cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-

1
Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), Cet. Ke-1, p. 18.
2
. Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abd. Lathif, Pelajaran Tauhid untuk Pemula, terjemahan Ainul Haris Arifin
Thayib, Judul asli, Muqarrarut tauhid kitab Ta‟limilin nasyi‟ah, (Jakarta: Darul Haq, 1998), p. 19.
undang, taat dan patuh, meng-Esa-kan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat,
agama”.3

Religi berasal dari kata latin. Menurut suatu pendapat, asalnya relegere, yang berarti
mengumpulkan, membaca. Agama memang kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan
harus dibaca. Pendapat lain mengatakan, kata itu berasal dari religare yang berarti mengikat.
Ajaran-ajaran agama memang memiliki sifat mengikat bagi manusia, yakni mengikat
manusia dengan Tuhan.4

Pengertian itu juga yang terdapat dalam bahsa inggris yaitu religion yang berasal dari
bahasa latin, yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio
termuat peraturan tentang bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas
tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungan antar sesamanya (horizontal). Agama
timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang
menakutkan tapi sekaligus mempesonakan. Manusia tidak hanya berdiam diri ia harus atau
terdesak secara batiniah untuk merespons.

B. Peran Agama

Agama berperan penting dalam kehidupan setiap manusia, dan bagaimana agama juga
dapat menjadi alasan atau faktor seseorang maupun kelompok masyarakat dalam
memperjuangkan kepentingan dan tindakan radikalisme sehingga menimbulkan perpecahan
dan konflik. Saya banyak melihat berita bahwa ada kalanya Pemuka Agama memberikan
nasihat kepada umat bahwa untuk menjaga toleransi dan menjunjung tindakan kasih serta
damai sejahterah ditengah masyarakat namun ada kalanya juga adanya utusan maupun
nasihat untuk memecah belah masyarakat dunia seperti mendeklarasikan bahwa agama
tertentu adalah sangat baik dan menjatuhkan ajaran agama lainnya. Agama memang berperan
dalam menciptakan perdamaian dan konflik di tengah masyarakat namun tidak dipungkiri
bahwa umat pemeluk yang berperan aktif dalam menciptakan perdamaian di dunia, agama
menjadi pedoman serta norma-norma dengan memberikan ajaran mengenai perbuatan yang
baik dan jahat serta tindakan yang dilarang agar terhindar dari murka Tuhan. Setiap agama
memiliki kebaikan dan kesamaan antar satu agama dengan agama yang lainnya, maka untuk

3
Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Agama (Wisata Pemikiram dan Kepercayaan Manusia), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), Cet. Ke-4, p. 10
4
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979) jil, 1, p. 9.
menciptakan perdamaian kita sebagai umat harus melakukan tindakan-tindakan sebagai
berikut:

 Mencari kesamaan yang ada, bukan mencari perbedaan yang bersinggungan


antar ajaran agama
 Berdialog dengan umat agama lainnya
 Toleransi
 Menghormati aturan dan pelaksanaan ibadah agama lain
 Sikap terbuka dan mau menerima ajaran agama lain

C. Fungsi Agama

Agama islam hakekatnya adalah sistem keyakinan dan prinsip-prinsip hukum serta
petunjuk perilaku manusia yang didasarkan pada Al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad ulama yang
bertujuan untuk kebahagiaan dunia akherat dan husnul khotimah. Agama memiliki banyak
fungsi, berikut beberapa fungsi agama dari sekian banyak fungsiagama dalam islam: Agama
islam berfungsi sebagai tuntunan bagi manusia agar memiliki akhlakul karimah, seperti yang
telah disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Sesungguhnya saya diutus hanya untuk
menyempurnakan akhlaq mulia”.
Agama dianggap sebagai cara efektif untuk mengukuhkan atau memperkuat rasa
percaya diri. Ada kepercayaan-kepercayaan tertentu seperti “kerja sebagai ibadah”,
“tanggungjawab atau tugas adalah bersifat ilahi,” dan lain-lain ajaran yang ada dalam
berbagai agama memberi penguatan kepada individuindividu dan sekaligus memperkuat rasa
percaya diri.
Philip Goldberg yang merangkum berbagai fungsi agama memberi daftar fungsi
agama sebagai berikut:5
1. Transmisi atau pewarisan: yakni untuk meneruskan ke setiap generasi suatu “sense of
identity” melalui kebiasaan-kebiasaan, cerita, dan kelanjutan historis yang dimiliki
bersama.
2. Translasi atau penerjemahan: yakni untuk menolong individu-individu menafsirkan
peristiwa-peristiwa kehidupan, mendapatkan suatu rasa bermakna dan bertujuan, dan
memahami hubungan-hubungannya dengan keseluruhan yang lebih besar (baik
dalam arti sosial maupun kosmis).

5
https://stie-igi.ac.id/wp-content/uploads/2020/03/Bab-1-2.pdf
3. Transaksi: yakni untuk menciptakan dan mempertahankan suatu komunitas yang
sehat, dan memberi penuntun terhadap perilaku-perilaku moral dan hubungan-
hubungan etis.
4. Transformasi: yakni sebagai pengembangan kedewasaan dan pertumbuhan yang
terus- menerus, menolong umat beragama untuk merasa lebih penuh dan komplet.
5. Transendensi: yakni untuk memuaskan kerinduan untuk memperluas batasan-batasan
diri yang dipersepsikan, menjadi lebih sadar terhadap aspek kehidupan yang lebih
sakral, dan mengalami persekutuan/ penyatuan dengan dasar keberadaan yang
mutlak.

BAB II
KEBUDAYA

A. Definisi Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata latin Colore, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah.

Kata “Budaya” berasal dari Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni bentuk jamak dari
“Budhi” (akal). Jadi, budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan akal. Selain itu kata
budaya juga berarti “budi dan daya” atau daya dari budi. Jadi budaya adalah segala daya dari
budi, yakni cipta, rasa dan karsa.6

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,


moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh sekumpulan anggota
masyarakat.7 Merumuskan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah

6
Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 16
7
Soerjono, Soekanto. Sosiologi suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 150-151
(material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat8

Kebudayaan adalah cara berfikir dan merasa, menyatakan diri dalam segi kehidupan
manusia yang membentuk masyarakat, dalam satu ruang dan waktu. (Gazalba. 1989:15)
Budaya atau yang biasa disebut culture merupakan warisan dari dari nenek moyang terdahlu
yang masih eksis sampai saat ini. Suatu bangsa tidak akan memiliki ciri khas tersendiri tanpa
adanya budaya-budaya yang di miliki. Budaya-budaya itupun berkembang sesui dengan
kemajuan zaman yang semakin modern. Kebudayaan yang berkembang dalam suatu bangsa
itu sendiri di namakan dengan kebudayaan lokal, karena kebudayaan lokal sendiri merupakan
sebuah hasil cipta, karsa dan rasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suku bangsa yang
ada di daerah tersebut. Di dalam kebudayaan suatu pasti menganut suatu kepercayaan yang
bisa kita sebut dengan agama. Agama itu sendiri iyalah sistem atau prinsip kepercayaan
kepada Tuhan atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran
kebhaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan yang dianut oleh suatu
suku/etnik tersebut.

B. Peran Budaya

Pendidikan adalah kegiatan belajar mengajar antara pendidik dan peserta didik agar
peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang
diturunkan dari satu generasi ke genaris berikutnya melalui pengajaran yang dilakukan di
sekolah dan lingkungan sekitar. Kebudayaan sendiri memiliki arti merupakan hasil dari nilai
-nilai budaya yang ditanamkan oleh masyarakat di lingkungan tertentu dan pendidikan itu
tidak luput dari adanya nila-nilai budaya . Pendidikan kebudayaan merupakan kegiatan
memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai budaya di suatu daerah tertentu.

Sehingga peran masyarakat di sekitar sangat berperan penting dalam menguatkan dan
memajukan kebudayaan melalui pendidikan. Pendidikan di Indonesia masih belum tepat
sasaran dalam menginternalisasikan atau memperkenalkan budaya-budaya Indonesia kepada
muridnya. Hal tersebut bisa terjadi karena kurangnya sosialisasi nilai-nilai budaya dari
Lembaga Pendidikan dan masyarakat di lingkungan tersebut. Sehingga para siswa masih
banyak belum mengetahui secara mendalam tentang kebudayaan Indonesia. Maka dari itu
perlu adanya peran dari Lembaga Pendidikan untuk memberikan wadah untuk membantu

8
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi UI, 1964), h. 115.
para siswa agar lebih mengenal kebudayaan Indonesia seperti : kebudayaannya, adat istiadat,
kesenian, dan sebagainya.

Tujuan pendidikan budaya untuk para generasi bangsa yaitu mengembangkan potensi
afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang memiliki nilai-nilai budaya,
menanamkan jiwa kepimimpinan dan tanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa dan
mengembangkan kebiasaan dan perilaku yang sesuai dengan tradisi budaya bangsa.
Pendidikan yang tujuannya untuk memajukan kebudayaan tidak hanya terkandung nilai nilai
budaya tetapi terdapat juga nilai religious , kejujuran, toleransi, kedisiplinan, kemandirian
dan rasa cinta tanah air. Semua nilai-nilai tersebut dapat membentuk kepribadian yang baik
bagi para siswa.

C. Fungsi Budaya
1. Fungsi Pengembangan
Pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi
peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan
karakter bangsa.
2. Fungsi Perbaikan
Memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat;
3. Fungsi Penyaringan
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa juga dapat berfungsi untuk menyaring
budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
BAB III
PERADABAN

A. Definisi Peradaban

Dalam bahasa Arab, peradaban biasa diderivasi dari kata alhadâra. Dan ini diartikan
dengan: “Peradaban, dalam pengertian yang umum, adalah buah dari setiap usaha yang
dilakukan oleh manusia untuk memperbaiki kondisi hidupnya. Sama saja, apakah usaha yang
dilakukan untuk mencapai buah tersebut benar-benar yang dituju, atau tidak. Baik buah
tersebut dalam bentuk materi (mâddiyyah) atau imateri (ma„nawiyyah).9

Sejarah manusia merupakan narasi yang tersusun dari serangkaian peradaban, seperti
Mesopotamia kuno, Mesir, Yunani, Persia, India, Cina, Aztek, Mayan dan seterusnya—jika
dilanjutkan, daftar nama negara-negara kuno itu akan menjadi lis yang panjang. Setidaknya,
inilah perspektif yang umum digunakan oleh para sarjana. Peradaban bukanlah suatu entitas
yang bersifat natural. Demi mendapatkan pemahaman komprehensif terhadap suatu
peradaban tertentu, konsep keterkaitan peradaban yang satu dengan peradaban yang lain ini
tak dapat diabaikan. Dalam pembahasan peradaban, terdapat dua kesalahpahaman yang harus
dibongkar dan kemudian perlu diluruskan. Dua kesalahpahaman itu lazim disebut dengan
“teori kokon (cocoon theory)” dan “teori personifikasi peradaban (personification of
civilization)”. Teori kokon mengedepankan gagasan bahwa suatu peradaban mempunyai filter
protektif (protective skins) yang senantiasa memelihara dan melestarikan kemurniannya.
Tentunya, teori kokon ini masih perlu untuk dikritisi dari berbagai arahnya, sebab
sebagaimana disinggung di atas satu peradaban dengan peradaban yang lain saling terjalin.
Lagi pula, sikap arogan yang memosisikan suatu peradaban terpisah dari peraban lain sama
sekali tak dapat dimengerti. Adapun teori personifikasi peradaban menganggap bahwa suatu
peradaban selain sebagai entitas yang bersifat natural adalah entitas biologis yang hidup dan
mempunyai tujuan.

Dengan kata lain, peradaban harus selalu hidup dan berfungsi sebagaimana konsep
organisme yang hidup. Berbeda dengan teori kokon dan personifikasi, bahwa sebenarnya
suatu peradaban tidak lebih dari sekadar kombinasi partikular bahkan unik dari serangkaian
ide dan praktik yang digagas oleh manusia sebagai aktor dan agen sejarah (human history)

9
Husein Mu‟nis, al-H}ad}ârah: Dirâsah fî Us}ûl wa „Awâmil Qiyâmihâ wa Tat}awwurihâ, (Kuwait: Serial
buku „Âlam al-Ma„rifah, 1978), 13.
yang sesungguhnya. Jadi, sejarah manusia tidaklah tersusun dari kumpulan narasi-narasi
peradaban yang terpisah satu sama lain, melainkan narasi-narasi individu dan kolektif yang
melahirkan serangkaian ide dan praktik yang kemudian disebut sebagai peradaban
(civilization).

Dengan demikian, teori kokon dan personifikasi memang benar-benar harus


dibongkar dan dikritisi. Cocoonists dari kalangan Muslim menganggap bahwa peradaban
Islam terbangun di atas pondasi original yang bersifat ilahi. Mereka, lebih jauh, memutus
segala keterkaitan peradaban Islam dengan peradaban lain; peradaban Islam sama sekali tidak
terkontaminasi oleh peradaban apapun. Cocoonists akan merasa bangga apabila dapat
mempertahankan bahwa Islam merupakan peradaban mandiri, dan sebaliknya mereka akan
merasa lemah jika tak dapat mempertahankannya. Dalam pandangan sarjana non-Muslim
pada umumnya, sebenarnya terdapat banyak keuntungan jika sarjana Muslim mengaitkan
antara peradaban Islam dengan peradaban lainnya, seperti peradaban Yunani. Peradaban
Yunani memang yang paling masuk akal dalam persoalan ini, terutama mazhab
rasionalismenya.

Budaya merupakan keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil kerja manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Jadi
budaya diperoleh dengan cara belajar.

B. Peran Peradaban

Membangun peradaban adalah suatu pendekatan kualitatif, yang tidak bisa


diterjemahkan dengan alat ukur atau terminologi yang bersifat eksak. Ukuran mencapai
peradaban adalah pencapaian kebahagiaan umat manusia (termasuk tataran individual),
sehingga perlu dikembangkan sebuah pendekatan yang padat nilai (values ended).
Ukuran pencapaian kebahagiaan umat lekat sekali dengan etika dan moral yang
berhubungan dengan masalah nilai-nilai hidup manusia. Nilai hidup bukanlah seperangkat
aturan (rule) tetapi merupakan apresiasi atau lebih tepat dinyatakan sebagai 'iluminasi'
yang mendalam yang memuat gurat-gurat batas antara adil dan tidak adil, baik dan buruk,
benar dan salah, alat dan tujuan, bisa juga antara hak dan kewajiban. Sedangkan nilai-
nilai merupakan sistem yang ditakrifkan sebagai kebudayaan atau lebih tepatnya sebuah
peradaban.
Dengan demikian bila pembangunan pendidikan dan pembangunan bidang lain
misalnya politik, ekonomi, kesejahteraan, ketenagakerjaan dilihat sama-sama memberikan
perhatian terhadap upaya membangun peradaban, ukuran untuk mencapainya akan beragam
dan tidak akan menghasilkan sebuah kajian yang sama-sama bermakna. Ukuran terhadap
'keadilan', 'pemerataan', dan 'kemakmuran' akan tampak beragam akibat ditentukan oleh
pertimbangan ilmu yang berlainan. Membangun pendidikan harus mempertimbangkan
idealisms yang tinggi dan tuntutan yang kuat di kalangan masyarakat. Membangun
peradaban dalam proses pendidikan bertujuan agar orang Indonesia tidak menjadi kerdil,
namun menjadi pribadi yang tangguh dan besar.

BAB IV
HUBUNGAN AGAMA DENGAN BUDAYA DAN PERADABAN

A. Agama sebagai sistem budaya

Kebudayaan merupakan sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk
yang berbudaya, berupa perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat
merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung
kebudayan tersebut, karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku,
maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu
yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan
masyarakat.

Hubungan kebudayaan dan agama, dalam konteks ini agama dipandang sebagai realitas
dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial maupun
budaya. Agama, dan juga sistem kepercayaan lainnya, seringkali terintegrasi dengan
kebudayaan. Agama tidak hanya dapat didekati melalui ajaran-ajaran atau lembaga-
lembaganya, tetapi juga dapat didekati sebagai suatu sistem sosial, suatu realitas sosial di
antara realitas sosial yang lain. Talcott Parsons menyatakan bahwa “agama merupakan suatu
komitmen terhadap perilaku; agama tidak hanya kepercayaan, tetapi perilaku atau amaliah.”
Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat.

 Pengaruh Agama terhadap Sistem Budaya


Dalam hubungan agama dengan budaya, doktrin agama yang merupakan konsepsi
tentang realitas, harus berhadapan dengan realitas, bahkan berurusan dengan perubahan
sosial. Dalam perspektif sosiologis, agama dilihat fungsinya dalam masyarakat. Salah sau
dari fungsi itu adalah memelihara dan menumbuhkan sikap solidaritas di antara sesama
individu atau kelompok. Solidaritas merupakan bagian dari kehidupan sosial keagamaan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat beragama, atau lebih tepatnya solidaritas merupakan
ekspresi dari tingkah laku manusia beragama. Banyak penulis mengikuti kembali pandagan
Durkheim yang menyatakan bahwa fungsi sosial agama adalah mendukung dan melestarikan
masyrakat yang sudah ada. Agama bersifat fungisonal terhadap persatuan dan solidaritas
sosial. Oleh karena itu, masyarakat memerlukan untuk menopang persatuan dan
kesolidaritasan.
Agama dipandang sebagai sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam
kehidupan manusia yang digunakan sebagai titik referensi bagi seluruh realitas. Disini dapat
dikatakan bahwa agama berperan mendamaikan kenyataan-kenyataan yang saling
bertentangan untuk mencapa suatu keselarasan atau harmoni di dalamnya, seperti hidup dan
mati, kebebasan dan keharusan, perubahan dan ketetapan, kodrati dan adikodrati, sementara
dan abadi.

Dengan demikian, baik dalam konteks budaya maupun dinamika kehidupan


masyarakat, peran agama sangat menonjol. Oleh karena itu, Geertz merupakan orang yang
pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah sistem budaya.
Dalam karyanya berjudul “Religion as a Cultural System”, memberikan arah baru bagi kajian
agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang
mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap
agama sebagai bagian kecil dari sistem budaya, Geertz berkeyakinan bahwa agama adalah
sistem budaya sendiri yang membentuk sistem karakter masyarakat. Ia mendefinisikan agama
sebagai: “a system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting
moods and motivations of a general order of axistence and clothing this conceptions with
such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.”10

10
Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011) Hlm: 36
Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan
suatu konsepsi tertentu. Norma atau nilai keagamaan yang seharusnya diinterpretasikan
sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut
mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupaka modes for reality dan di sisi
yang lainnya ia merupakan modes of reality.Yang pertama menunjukkan suatu eksistensi
agama sebagai suatu sistem dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmicorder tertentu,
sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia. Oleh karena itu, ia merupakan
pandangan-pandangannya untuk meneliti agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang
tertuang dalam The Religion of Java maupunIslam Observed merupakan dua buku yang
bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat11.

B. Agama dan peradaban

Sebagaimana diketahui, Islam tak dapat dipandang sebagai agama atau budaya
semata, sebab kedua sudut pandang itu akan mereduksi universalitas Islam. Selanjutnya,
apakah untuk mengidentifikasi Islam, ia dapat dipandang sebagai peradaban? Namun
sebelum menjawabnya, harus diketahui terlebih dahulu apakah hakikat peradaban dan Islam.
peradaban dalam konsepsi Barat adalah kemajuan dan perkembangan fisik saja (meskipun
dikaitkan dengan intelektualitas, namun selalu dikaitkan dengan manusia (people) dan
masyarakat (society), bahkan negara (country), dan letak geografis (geographical region).
Yang mungkin mendekati, meskipun tidak mendalam, konsep peradaban menurut Islam
adalah definisi yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu:

1. Kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak


sama tingkatnya;
2. Hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.”
Kemudian peradaban dikaitkan dengan keadaban, yang maknanya: ketinggian tingkat
kecerdasan lahir batin; kebaikan budi pekerti (budi bahasa, dan sebagainya):
melanggar manusia.12

11
Ibid, Hlm: 37
12
Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2012), 7.
BAB V
KESIMPULAN

Islam hanya dapat diidentifikasi sebagai peradaban: suatu proyek peradaban yang
berproses. Islam tak dapat dipandang hanya sebagai agama ataupun budaya semata. Namun
demikian, pemahaman sarjana studi Islam terutama sarjana Muslim—dengan teori kokon dan
personifikasi peradaban Islam yang nampaknya terlanjur melekat perlu diluruskan. Sebagai
pengganti dimensi ekslusif dan nonhumanistis kedua teori tersebut, dimensi inklusif dan
humanistis harus digemakan dan dibanggakan. Pemetaan yang sistematis dan eksplorasi
kesalahpahaman pandangan tentang Islam dengan dua istilahnya yang agak “menggelitik”
yakni teori kokon dan personifikasi merupakan kontribusi keilmuan yang tak bisa dianggap
remeh. Sarjana-sarjana lain, selanjutnya, akan mengapresiasi keterkaitan peradaban-
peradaban dunia sebagai suatu entitas yang tak dapat begitu saja memisahkan diri dari yang
lain.
Jadi peradaban Barat begitu materialistis. Menurut al-Qaradawi memang salah satu
“ruh” peradaban Barat modern adalah “Materialisme” (al-Mâddiyyah), di samping memiliki
paham yang buruk mengenai Tuhan; sekuler (al-naz‟an al-‟almâniyyah); benturan (al-sirâ‟)
yang tak kenal kedamaian, ketenangan, dan cinta; dan peradaban yang sombong terhadap
bangsa lain.13 Dari sana kemudian peradaban Barat tampil sebagai peradaban yang sekuler,
karena dipicu oleh Renaisans itu. Sehingga di abad modern derajat manusia turun drastis
hanya sebagai bagian dari mesin, mesin raksasa teknologi modern. Di sini pandangan tentang
manusia menjadi tereduksi. Ringkasnya, manusia benar-benar menjadi tidak merdeka.14
Padahal dalam konsepsi Islam manusia adalah khalifah Allah di atas bumi-Nya, yang sangat
dimuliakan oleh Allah bahkan oleh seluruh malaikat-Nya. Karena dalam konsepsi peradaban
Islam, tujuan dasar diciptakannya manusia adalah untuk melaksanakan tiga fungsi penting:
(1) beribadah kepada Allah; (2) sebagai khalifah Allah di muka bumi; dan (3) memakmurkan
bumi Allah.

13
Yusuf al-Qaradawi, al-Islâm H}ad}ârat al-Ghad, (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. I, 1416 H/1995 M), 13-23.
14
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, 115-117. 44 Cermati dan hayati, QS. al-Baqarah [2]: 30-33
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Abdullah. 2007. Agama dalam Ilmu Perbandingan. Bandung: Nuansa Aulia.
Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abd. Lathif. 1998. Pelajaran Tauhid untuk Pemula,
terjemahan Ainul Haris Arifin Thayib, Judul asli, Muqarrarut tauhid kitab Ta’limilin
nasyi’ah. Jakarta: Darul Haq.
Ary H. Gunawan. 2000. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai
Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Bakhtiar,Amsal. 2007. Filsafat Agama (Wisata Pemikiram dan Kepercayaan Manusia),
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Husein Mu‟nis, al-Hadarah: Dirâsah fî Usul wa ‘Awamil Qiyamiha wa Tatawwuriha,
Kuwait: Serial buku „Alam al-Ma„rifah.
Kuntowijoyo. 2006. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Muchtar, Ghazali, Adeng. 2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta
Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Nasution. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press.
Soerjono, Soekanto. 2009. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta:
Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI
Yusuf al-Qaradawi, al-Islâm Hadârat al-Ghad, (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. I, 1416
H/1995 M)
https://stie-igi.ac.id/wp-content/uploads/2020/03/Bab-1-2.pdf diunggah pada Kamis, 21
Oktober 2021

Anda mungkin juga menyukai