Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam sebagian masyarakat saat ini banyak yang tidak mengetahui arti
agama yang sesungguhnya, mereka hanya tahu menjalakan syariat syariat agama
menurut kepercayaan masing masing. Yang mana di dalam agama tersebut
mempunyai aturan aturan dalam menjalani hidup antara manusia dengan
manusia, lingkungan, dan yang terakhir tuhan.
Maka dari itu, kelompok kami mengajukan pembahasaan tentang
pengertian agama, cara memeluk agama, persoalan agama serta ciri-ciri agama.
Dan beberapa unsur yang membangun untuk menguatkan hasil kajian kami.

B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
2.
3.
4.

Memenuhi tugas mata ajar Agama Islam.


Untuk mengetahui pengertian agama dalam berbagai bentuk.
Untuk mengetahui cara-cara manusia dalam memeluk agama.
Untuk lebih memahami empat unsur penting dalam agama.
5. Untuk lebih mengerti mengenai pembagian agama, ciri-ciri agama,
penjenisannya, serta mengetahui mengapa manusia membutuhkan
agama.

BAB II
1

AGAMA
A. Pengertian Agama Dalam Berbagai Bentuk
A.1. Pengertian Agama Secara Etimologi
Pengertian agama secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa
sangsekerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi, kemudian dari
kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah
kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan mencapai kebahagiaan.
Di samping itu terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kata
agama berasal dari bahasa sangsekerta yang akar katanya adalah a dan
gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, arti kata agama adalah
tidak kacau atau teratur.
Kata religi - religion dan religio, secara etimologi menurut
winker paris dalam algemene encyclopaedie mungkin sekali dari bahasa
latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka
dimaksudkan bahwa setiap orang yang bereligi adalah orang yang
senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau
dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati hati, maka
dimaksudkan bahwa orang yang bereligi itu adalah orang yang senantiasa
bersikap hati hati dengan sesuatu yang dianggap suci.
Dari etimologis ketiga kata di atas maka dapat diambil pengertian
bahwa agama (religi, din): (1) merupakan jalan hidup yang harus ditempuh
oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram dan
sejahtera; (2) bahwa jalan hidup tersebut berupa aturan, nilai atau norma
yang mengatur kehidupan manusia yang dianggap sebagai kekuatan
mutlak, gaib dan suci yang harus diikuti dan ditaati. (3) aturan tersebut
ada,

tumbuh

dan

berkembang

bersama

dengan

tumbuh

dan

berkembangnya kehidupan manusia, masyarakat dan budaya.

A.1.2. Jenis Makna Etimmologi


Bahasa Inggris
Dalam bahasa Inggris, kata agama diterjemahkan menjadi
religion. Untuk mengkaji kata religion, kami menggunakan metode
yang sama dengan di atas, yakni melalui metode etimologis
Makna Etimologis
Ada dua pendapat mengenai asal-usul kata agama. Pertama, berasal
dari bahasa Indo-German, yaitu gam, identik dengan go dalam bahasa
Inggris yang berarti jalan, cara berjalan, cara-cara sampai pada keridhaan
Tuhan. Namun, menurut Sukardji, orang yang mengatakan bahwa kata
agama berasal dari bahasa Indo-German berarti belum mengetahui
bahasa Sansekerta. Kedua, berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam kitab
Upadeca tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu, disebutkan bahwa
agama tersusun dari kata a yang berarti tidak dan gam yang
berarti jalan. Dalam bentuk harfiah, agama berarti tetap di tempat,
langgeng, abadi, diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke
generasi (Sukardji, 1993: 26-27). Ada pula pendapat lain, yaitu agama
berasal dari kata a yang berarti tidak, dan gama yang berarti
kacau. Maksudnya, orang-orang yang memeluk suatu agama dan
mengamalkan ajaran-ajarannya, hidupnya tidak akan kacau.
Bahasa Arab
Makna Etimologis
Kata agama dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi addien.Munjied mengatakan bahwa arti harfiah dari ad-dien cukup
banyak,

misalnya

pahala,

ketentuan,

kekuasaan,

peraturan,

dan

perhitungan. Fairuzabadi dalam kamusnya, Al-Muhieth, mengatakan


bahwa arti harfiah ad-dien adalah kekuasaan, kemenangan, kerajaan,
kerendahan, kemuliaan, perjalanan, peribadatan, dan paksaan (Sukardji,

1993: 28). Sedangkan menurut Harun Nasution, ad-dien mengandung


arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan
(Jalaluddin, 1996: 12).
A.2. Pengertian Agama Secara Terminology
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama
diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan
tuhan dan sesamanya. Dalam al-Quran agama sering disebut dengan
istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga
mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya
konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna
yang ada pada istilah agama dan religi.
A.2.1. Jenis Makna Terminology
Bahasa Inggris
Makna Terminologis
Webster New 20th Century Dictionary mengungkapkan bahwa definisi
religion adalah the system of rules of conduct and law of action based
upon the recognition of belief in, and reverence for human power of
supreme authority. Batasan itu menggambarkan bahwa religion
adalah suatu sistem peraturan-peraturan dari kegiatan yang semuanya itu
didasarkan pada adanya kepercayaan dan pegangan pada kekuatan yang
Mahakuasa dan norma perilaku manusia yang didasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan (Sukardji, 1993: 33)

Bahasa Arab
MaknaTerminologis
4

Sukardji memberikan definisi ad-dien sebagai undang-undang


kebutuhan yang mendorong dan menjiwai orang berakal dengan
usahanya untuk sejahtera hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di
akhirat (Sukardji, 1993: 34-35)
A.3. Pengertian Agama Secara Fungsional
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu
agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
A.3.1. Fungsi integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti
peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggotaanggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang
membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang
mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompokkelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam
masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang
melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk
dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.

Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. ODea


mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal.
Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau
oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan
manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan
keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas,
ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:

1. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan


manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana
emosional penting yang membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian.
5

2. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan


upacara peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa
aman baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi ketidakpastian dan
ketidakmungkinan yang dihadapi manusia
3. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah
terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan
individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn demikian
agama berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi
pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.
4. Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya,
yaitu memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah
terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan
pada masyarakat yang mapan.
5. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peranserta
manusia dalam ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur
signifikan yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan dan mobilitas
sosial yang berlangsung cepat, sumbangan agama terhadap identitas menjadi
semakin tinggi. Salah satu contoh tentang hal ini dikemukakan oleh Will
Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di tahun 1950-an,
dimana salah satu cara penting dimana orang Amerika membentuk identitasnya
adalah dengan menjadi salah satu anggota dari tiga agama demokrasi, yaitu:
Protestan, katholik, dan Yahudi.
6. Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu,
serta perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Dari keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa
agama memiliki peran yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus
bagi masyarakat. Bagi individu, agamaberperan dalam mengidentifikasikan
individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat
moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Sedangkan bagi kehidupan
bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat

dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang


mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.
A.3.2. Fungsi Disintegratif Agama
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan,
mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama
agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang menceraiberaikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat.
Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat
kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Pada bagian ini, pembicaraan
tentang fungsi disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada
beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama.
Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik sosial yang
bersumber pada agama, yaitu:
a. Perbedaan doktrin dan sikap mental
Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua
kelompok agama yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal
semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah yang seringkali masih terjadi
hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya
perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental yang memandang
bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki kebenaran (claim of
truth) sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna.
Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial
yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran
diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme,
dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup sisi
rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun saling
pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan suprarasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai

senjata untuk menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang
turut memberikan kontribusi akan eksistensi sikap-sikap tersebut.
b. Perbedaan suku dan ras pemeluk agama
Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki
peran dalam mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan
ras, namun kita juga tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku
dan ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja
telah cukup untuk memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur
perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut. Hal
ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene
beragama Kristen merasa menjadi bangsa pilihan yang ditugaskan untuk
mempersatukan kerajaan Allah di dunia dengan menaklukkan bangsa lain
yang non-Kristen.
c. Perbedaan tingkat kebudayaan
Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi
pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Peter
Berger menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama
merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan.
Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan
cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran
dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam
semesta maka munculnya ketegangan yang disebabkan karena perbedaan
tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam
menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran
bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan mengekang
pemikiran tersebut.
Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami
serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan kemajuan
atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi fenomena
kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian
fenomenal terhadap fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara

panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme dalam


mendorong munculnya kapitalisme.
d. Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama
Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas
seringkali menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial. Setidaknya ada
tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena konflik mayoritasminoritas, yaitu: (1) agama diubah menjadi suatu ideologi; (2) prasangka
mayoritas terhadap minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari mayoritas.
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang
mayoritas seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur
dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana
kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu
keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk
menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah
yang pada akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan
sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas yang akan bermuara pada
timbulnya konflik sosial.
Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan
keagamaan diatas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang
terkandung pada masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, sudah
selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh
perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam
memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena
keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan
permasalahan keagamaan yang dihadapi. Ketepatan memilih perspektif tentu
saja akan mampu menghadirkan gambaran riil dari permasalahan yang ada
sehingga harapan untuk memunculkan berbagai soslusi alternative bagi
pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal.
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya
telah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di
masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya

mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain


seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu
sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama
dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu
pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai
fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif
tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar
kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.

B. Cara Manusia Memeluk Agama


1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara
beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan
sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal
keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak
ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal
keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di
lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara
beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada
umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika
berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamanya.
Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain
agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan
tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan
masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk
itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan
pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang
beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama
sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati
(perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran
10

(dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya
dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan
dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan,
mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

C. Empat Unsur Penting Dalam Agama


Setiap agama pada dasarnya terdiri dari empat unsur, yaitu:
1. Ajaran (teori; konsep) sebagai sisi gaib
2. Iman sebagai interaksi antara pelaku dan konsep,
3. Ritus ( upacara) sebagai sistem lambang, dan
4. Praktik (amal) sebagai perwujudan konsep dalam segala segi kehidupan individu
dan masyarakat.
Dalam dnul-islm (agama Islam) keempat unsur itu terungkap melalui Hadis Jibril,
yang mencakup butir-butir di bawah ini.
1. Ajaran Allah sebagai konsep hidup
Dalam dialog tentang iman, Rasulullah menegaskan tentang masalah
terpenting dari dnul-islm, yaitu adanya interaksi antara seorang mumin dengan
ajaran Allah, yang disampaikan (diajarkan) melalui malaikat-malaikatNya, dalam
bentuk kitab-kitab, yang diterima rasul-rasulNya, untuk mencapai tujuan akhir
(kehidupan yang baik di dunia dan akhirat), dengan menjadikan ajaran Allah
sebagai qadar (ukuran; standard; teori nilai) baik-buruk menurutNya. Ajaran
Allah yang dimaksud adalah Al-Qurn. Al-Qurn sebagai qadr atau taqdr adalah
sisi gaib (abstract level) dari dnul-islm, yang merupakan teori nilai untuk
menentukan baik buruknya segala sesuatu menurut pandangan Allah.

2. Iman sebagai interaksi

11

Iman pada hakikatnya adalah interaksi (aksi timbal balik) antara Allah
sebagai pemberi konsep hidup dengan si mumin yang menyambut dawah
(ajakan; tawaran) Allah melalui rasulNya. Selanjutnya, interaksi itu berlangsung
intensif melalui penghayatan si mumin terhadap Al-Qurn, sehingga Al-Qurn
menjadi satu-satunya konsep hidup yang tumbuh subur dalam organ kesadaran
(al-qalbu) si mumin, yang selanjutnya meledak dan membanjir keluar melalui
indra pengucapan (al-lisnu), dan akhirnya menjelma menjadi berbagai bentuk
tindakan dan kretifitas (al-amalu).
Tepat seperti dinyatakan Rasulullah, misalnya dalam hadis riwayat Ibnu Majah:
.
3. Ritus sebagai sistem lambang
Dalam dnul-islm ada sejumlah ritus yang dalam Hadis Jibril disebut
dengan nama Al-Islm pula, yaitu:
a. Syahdah sebagai sumpah setia (bayah). Pada masa Rasulullah jelas bahwa
syahadat (syahdah) adalah sebuah upacara (ritus) untuk menyatakan sumpah
setia seseorang terhadap dnul-islm, alias untuk meresmikan rekrutmen
seseorang atau sejumlah orang sebagai anggota bun-ynul-islm (organisasi
Islam).
b. Shalat sebagai sarana pembatinan nilai-nilai Al-Qurn, sekaligus
pembinaan

jamaah/korp

Islam.

Orang-orang

yang

menyatakan

diri

(bersyahadat) sebagai anggota organisasi Islam tentu harus memahami dan


menghayati konsep organisasinya, yakni Al-Qurn. Hal itu dilakukan melalui
shalat, yang bacaan pokoknya adalah surat Al-Ftihan (ummul-qurn)
ditambah dengan surat-surat lain yang terus dipelajarinya. Selain itu, melalui
shalat jamaah, mereka juga belajar untuk membangun sebuah jamaah atau
korp yang rapi dan kompak.

12

c. Zakat sebagai sistem ekonomi. Zakat, mulai dari zakat harta sampai zakat
fitrah, pada hakikatnya melambangkan kesediaan setiap mumin yang mampu
untuk mendanai organisasi dan memperkuat jamaah. Lebih lanjut, setelah
organisasi menjelma menjadi sebuah sistem yang dipercaya untuk menata
kehidupan umat (jamaah mumin plus komunitas-komunitas lain, seperti
terlihat pada Piagam Madinah), maka zakat itu pun dikembangkan menjadi
sistem ekonomi masyarakat secara umum.
d. Shaum Ramadhan sebagai pembina ketahanan mental dan fisik dalam
menerapkan

nilai-nilai

Al-Qurn.

Seluruh

anggota

organisasi

jelas

membutuhkan pembinaan mental dan fisik, supaya menjadi anggota-anggota


yang militan dan tangguh. Shaum Ramadhan adalah sarana yang tepat untuk
itu.
e. Haji sebagai sarana pemersatu umat Islam sedunia. Ibadah haji merupakan
ritus yang paling istimewa di antara kelima ritus dalam dnul-islm. Melalui
hajilah umat Islam sedunia berkumpul, menjalin persahabatan, persaudaraan,
dan persatuan berdasar kesamaan iman.
4. Praktik sebagai perwujudan konsep
Dnul-islm pada dasarnya adalah agama yang berorientasi pada praktik
(amal). Tapi supaya praktiknya tidak dilakukan sembarangan, Allah
menempatkan rasulNya sebagai tokoh sentral untuk memimpin dan
memberikan contoh penerapan setiap aspek ajaran Islam, mulai dari yang
bersifat individu sampai pada yang bersifat kemasyarakatan. Tegasnya, pribadi
Rasulullah adalah contoh sempurna dari individu mumin, dan masyarakat
yang dibangun beliau bersama jamaahnya juga, otomatis, merupakan bentuk
masyarakat yang ideal. Sebuah masyarakat yang mewakili Al-Qurn sebagai
konsepnya.

13

D. Tiga Persoalan pokok Dalam Agama


1. Tata keyakinan ( credial ), yaitu bagian agama yang paling mendasar berupa
keyakinan akan adanya suatu kekuatan yang supranatural, dzat yang Maha
Mutlak di luar kehidupan manusia.

2. Tata kepribadian (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan
kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan
ketundukannya.

3. Tata aturan, kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur hubungan manusia


dengan manusia, atau manusia dengan alam lainnya sesuai dengan keyakinan
dan peribadatan tersebut.

E. Pembagian Agama Dan Ciri-cirinya


Ada berbagai klasifikasi yang dibuat para ahli tentang pembagian agama, Sidi
Gazalba dalam bukunya Asas Agama Islam menulis bahwa ditinjau dari segi
kebudayaan agama itu terbagi dua bagian, yaitu:
1. Agama Samawy (wahyu)
2. Agama Ardhi (tabii)
Agama Ardhi ialah agama yang lahir dalam kebudayaan, ia adalah cultural
universal atau cabang kebudayaan. Agama Ardhi disebut dalam kepustakaan Barat
Natural Religion (agama alami).

14

Kalau agama Ardhi lahir di bumi, maka agama samawi diturunkan dari
langit dalam bentuk wahyu, karena itu dalam kepustakaan Barat disebut Revealed
Religion (agama wahyu) dan dalam istilah Arabnya disebut Dien as Samawy
(Endang Syaifuddin Anshari, 1982 : 129).
Untuk mengenal perbedaan kedua agama tersebut, maka akan dikemukakan
ciri-ciri atau tanda-tandanya masing-masing.
1. Agama Samawy (wahyu)
Yang tergolong dalam agama samawy adalah:
a. Agama Yahudi
b. Agama Nashrani
c. Agama Islam
Agama Yahudi dan Nashrani yang dimaksudkan disini adalah yang masih
dalam bentuknya yang asli, dan belum mengalami perubahan.
Ciri-ciri agama Samawy antara lain:
a) Secara pasti dapat ditentukan kapan lahirnya, ia bukan tumbuh dalam
masyarakat tetapi diturunkan untuk masyarakat (umat manusia).
b) Disampaikan oleh manusia yang ditunjuk Tuhan sebagai utusan-Nya.
Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan menyalurkan kepada
manusia.
c) Memiliki kitab suci yang keotentikannya bertahan tetap.
d) Ajarannya serba tetap, tetapi tafsirannya/pandangannya dapat berubahubah sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat.
e) Konsepsi ke-Tuhanannya serba Esa.
2. Agama Ardhi (tabii)

15

Yang termasuk dalam agama ardhi (tabii) antara lain :


a.
b.
c.
d.

Agama Konfucu (cina)


Agama Tao/Shinto (Jepang)
Agama Zoroazter( Persia )
Agama hindu/Budha ( India )

3. Ciri-ciri agama antara lain sebagai berikut:


a) Tumbuh secara evolusi dalam masyarakat penganutnya, tidak dipastikan
waktu tertentu kelahirannya.
b) Tidak disampaikan oleh Utusan Tuhan, tetapi hanya oleh pendeta atau
mungkin ahli fakir/ filosof.
c) Umumnya tidak memiliki kitab suci kalaupun ada kitabnya mengalami
perubahan dalam perjalanan sejarah agama karena ia buatan manusia
belaka.
d) Ajaran berubahnya dengan perubahan akal masyarakat penganutnya.
e) Konsep ke-Tuhanan : dinamisme, Animisme, Politaesme, dan paling tinggi
monotheisme nisbhi.
f) Kebenaran prinsip-prinsip ajarannya tak tahan terhadap kritik akal :
mengenai alam nyata satu-satu ketika dibuktikan keliru oleh ilmu dalam
perkembangannya: mengenai alam gaib, tak terjangkau oleh akal.
Demikian ciri-ciri agama ardhi dan agama langit yang dapat dijadikan ukuran,
apakah suatu agama masuk jenis agama ardhi atau agama langit. Sebagai pelengkap dari
uraian tersebut diatas dapat pula dikemukakan pendapat Ahmad Abdullah Al Masdoosi
tentang perbedaaan antara agama langit (wahyu) dengan agama budaya (bumi) sebagai
berikut:
1. Agama wahyu berpokok pada konsep ke-Esaan Tuhan, sedangkan agama budaya
tidak demikian.

16

2. Agama wahyu menyuruh penganutnya untuk beriman kepada Rasul/ Nabi ,


sedangkan agama budaya tidak demikian.
3. Agama wahyu sumber utamanya / tuntunannya, ukuran baik dan buruk adalah
tercantum dalam kitab suci yang diwahyukan. Sedang agama budaya kitab
sucinya tidak diwahyukan.
4. Agama wahyu mempunyai ajaran yang jelas dan tegas sedangkan agama budaya
adalah kabur dan sangat elastis.
Ajaran agama wahyu memberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para
pemeluknya. Para pemeluknya berpegang baik kepada aspek hidup duniawi (the
worldly) maupun aspek spiritual daripada hidup ini. Tidak demikian halnya agama
budaya, misalnya Taoisme menitikberatkan kepada aspek hidup spiritual, sementara
confisianisme lebih menekankan pada aspek duniawi.

F. Pembagian Agama Menurut Penjenisannya


Pembagian agama menurut penjenisannya terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
agama misionaris dan non-misionaris,
agama misionaris adalah agama yang mengharuskan penganutnya

menyebarkan kepada seluruh manusia.


Agama non-misionaris adalah agama yang tidak mengharuskan
penganutnya menyebarkan kepada seluruh manusia.

Sir T.W. Arnold memasukkan Buddhisme, Kristen dan Islam pada golongan
agama missionary. Sedangkan Yudaisme, Brahmanisme dan Zoroasterianisme
dimasukkan pada golongan non missionary.
Sehubungan dengan masalah termaksud, al-Masdoosi antara lain memberi
catatan, bahwa menurut pendapatnya baik agama Nasrani maupun Buddhisme,
ditinjau dari segi ajarannya yang asli, bukanlah tergolong agama missionary,
sebagaimana juga agama-agama lainnya (selain Islam). Jadi menurut kesimpulan
al-Masdoosi hanya Islam sajalah ajarannya yang asli merupakan agama missionary.
Namun dalam perkembangan ternyata kemudian bahwa baik agama Nasrani
maupun Buddhisme menjadi agama missionary.

17

G. Manusia Membutuhkan Agama


Pertanyaan ini bagi kita umumnya mungkin hampir tidak pernah terpikirkan
karena kita memang hidup di lingkungan yang beragama. Pada umumnya kita
beragama secara keturunan dan otomatis kita mengikuti agama orang tua kita.
Selanjutnya kita kemudian mendapat pendidikan yang memperkuat keberagamaan
kita dan setelah dewasa terkadang kita mencari kebenaran dari agama yang kita
anut sejak kecil tersebut.
Kita harus bersyukur bahwa kita lahir dari keluarga yang beragama Islam
dan ini merupakan nikmat besar yang harus disyukuri. Kita tidak bisa
membayangkan apa jadinya kita seandainya lahir dari keluarga yang tidak
beragama. Bisa jadi setelah dewasa akan berusaha mencari kebenaran dalam
agama, atau boleh jadi juga menganggap agama sebagai candu sehingga tidak perlu
beragama, tidak butuh akan Tuhan. Naudzubillah min dzalik.
Istilah agama merupakan terjemahan dari Ad-Din (dalam bahasa Arab). AdDin dalam Al Quran disebutkan sebanyak 92 kali. Secara bahasa, dn diartikan
sebagai balasan yaitu di dalam Al Quran yang menyebutkan kata dn dalam surat
Al-Fatihah ayat 4, Maliki yaumiddin (Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan.
Begitu juga pada sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, ad-dnu nashihah
(Agama adalah ketaatan).Juga dalam Al-Baqarah ayat 256 Laa ikraaha fiddin
(tidak ada paksaan dalam agama ).
Secara istilah, din diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, kepercayaan,
hukum, dan norma yang diyakini dapat mengantarkan seseorang menuju
kebahagiaan manusia. Kebahagian dan keselamatan inilah yang sering menjadi citacita yang ingin dicapai tiap umat manusia di dunia. Siapa sih yang tak mau
bahagia? Tentu sedikit sekali orang yang tak menginginkan hal tersebut. Dan
kebanyakan orang sangat berharap dengan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Melalui sejumlah kajian maka para pemikir dan ulama mencoba
menjawab pertanyaan di atas dan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah :

18

1. Manusia secara naluri dan fitrahnya memang sangat membutuhkan agama.


Manusia pada dasarnya membutuhkan agama karena hal ini yang
membedakan manusia dengan mahluk lain seperti hewan. Dalam beberapa hal,
ada kesamaan antara manusia dengan hewan, yaitu sama-sama sebagai mahluk
Allah SWT, sama-sama mempunyai keinginan-keinginan biologis dan samasama mempunyai perasaan takut, sedih, dan gembira dan lain-lain. Manusia
merupakan mahluk yang unik dan istimewa. Secara fisik manusia lebih lemah
dibandingkan dengan hewan tetapi manusia mempunyai jiwa dan akal yang
dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah dan lain sebagainya.
Al-Quran

Surat

Al-Araf

menerangkan

kepada

kita

bahwa

sesungguhnya di alam ruh manusia sudah berjanji dan menyaksikan bahwa


Allah SWT adalah sang Maha Pencipta.
Juga Al-Quran Surat Al-Baqarah dari ayat 1 s/d ayat 20 menceritakan
golongan-golongan manusia. Para mufasirin menfasirkan bahwa ayat 1 5
menerangkan orang-orang yang beriman, ayat 6 7 menerangkan orang-orang
yang kafir, dan ayat 8 20 menerangkan keadaan orang yang munafik. Dari 20
ayat yang diturunkan pada awal surat ini ternyata hanya 2 ayat saja yang
menerangkan mengenai orang-orang kafir. Hal ini yang ditafsirkan bahwa
kebanyakan manusia sebenarnya beriman namun yang paling banyak jumlahnya
adalah golongan orang-orang atau kaum munafiqin yang senantiasa berada dan
ragu di antara keimanan dan kemunakran mereka.
Adapun dari segi kehidupannya maka manusia terbagi ke dalam tiga
golongan yaitu golongan (a) Manusia yang mengabdikan hidupnya hanya untuk
kehidupan dunia sebagaimana difirmankan QS Al-Anam ayat 29 dan Al-Jatsiyah
ayat 24. (b) Manusia yang tidak mempunyai arah / tujuan hidup yang jelas
sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah ayat 14 (c) Manusia yang
menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang bagi kehidupan di akhirat kelak, hal
ini dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 dan Al-Anam ayat 32.

19

2. Manusia tidak mempunyai jawaban yang pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan


tentang alam semesta.
Pada saat Nabi Adam diturunkan ke bumi maka timbul kebingungan
dalam dirinya tentang bagaimana menghadapi kehidupan di bumi, maka Allah
SWT memberi tuntunan melalui wahyu dan isyarat-isyarat yang diturunkan
kepada beliau. Bahkan sebelum Nabi Adam diciptakan-Nya para malaikat
berdialog dengan Allah SWT tentang mahluk yang akan diciptakan Allah untuk
menjadi khalifah di bumi (Al-Baqarah ayat 30-34). Pertanyaan yang
disampaikan malaikat adalah bentuk keprihatinan kepada manusia yang
cenderung menjadi mahluk pembangkang namun Allah berfirman bahwa Allah
lebih mengetahui daripada apa yang diketahui para malaikat. Dan selanjutnya
Allah memberikan pelajaran mengenai nama-nama benda kepada nabi Adam
sebagai pengetahuan dan menjadikan kedudukan atau derajat Nabi Adam yang
lebih tinggi daripada malaikat sehingga malaikat diperintahkan sujud kepada
Nabi Adam.
3. Manusia sangat membutuhkan pedoman untuk mengatur kehidupan di dunia dan
mempersiapkan dirinya untuk kehidupan di akhirat.
Manusia sebagai mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial sangat
memerlukan aturan dalam seluruh aspek kehidupannya. Mulai dari menyalurkan
kebutuhan yang paling dasar sampai memenuhi kebutuhannnya yang primer,
sekunder dan tersier. Semua aspek kehidupan ada aturannya apalagi untuk
kehidupan di dunia dan akhirat. Ilmuwan barat di antaranya Schumacher
menyatakan bahwa materialisme sudah mati, manusia sekarang mencari
spiritualisme sehingga menurut hemat kita pencaran dan kembalinya manusia
terhadap agama merupakan jawaban yang tepat.

Adapun dari sumber lain mengapa manusia membutuhkan agama :


Agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh
aktifitas lahir dan batin pemeluknya itu diatur oleh agama yang dianutnya.

20

Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan
sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama.
1. Latar Belakang Perlunya Manusia Akan Agama
Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani dan secara
otomatis kedua unsur tersebut memiliki kebutuhan sendiri. Kebutuhan
jasmani dipenuhi oleh sains dan teknologi, sedangkan kebutuhan rohani
dipenuhi oleh kebutuhan akan Agama dan moralitas. Apabila kedua
kebutuhan tersebut telah terpenuhi, menurut Agama, ia akan mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Bahkan Agama menekankan bahwa
kebahagiaan rohani lebih penting dari kebahagiaan materi. Kebahagiaan
materi menurut Agama, bersifat sementara dan akan mudah hancur,
sedangkan kebahagiaan rohani bersifat abadi.
2. Latar belakang fitrah manusia
Fitrah manusia, dalam bentuknya yang murni, selaras dengan hukum
alam. Ia mempersembahkan diri, pasrah, dan tunduk kepada Tuhannya,
sepasrah dan setunduk segala sesuatu dan setiap yang bernyawa. Maka setiap
orang yang menyimpang dari hukum illahi, bukan saja ia bertabrakan dengan
alam, melainkan juga dengan fitrah yang ada dalam dirinya. Akibatnya ia
akan sengsara, gelisah, galau dan bingung.
Manusia kini dihadapkan dengan kekosongan jiwa. Jiwanya kosong
akan hakikat iman serta aturan illahi. Dan fitrahnya yang murni tidak dapat
bertahan lama dengan sesuatu yang hampa. Aturan illahi inilah yang sanggup
mengharmonisasikan gerakannya dengan gerak alam tempat ia hidup.
Disaat berbicara dengan para Nabi, Imam Ali Alaihissalam
menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada
perjanjian yang telah diikat kepada fitrah mereka, yang kelak mereka akan
dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat diatas kertas, tidak
pula diucapkan dengan lidah, melainkan terukir dengan penciptaan Allah
yang terukir dalam kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di setiap permukaan
21

hati murni serta di dalam perasaan batiniah. Adanya setiap manusia dilahirkan
atas dasar ber-Agama Islam, karena Allah telah mengadakan dialog dengan
semua roh manusia sejak manusia pertama sampai manusia yang bakal lahir
diakhir zaman kelak. Sebelum diciptakannya jasad, Allah telah meminta
kesaksian roh di dalam alam arwah. Dan semua roh manusia itu sudah samasama memberikan kesaksianya. Kesaksian dan pengakuan roh-roh semacam
itu dapat di baca dalam Al-Quran surat Al-Araf ayat 172:

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S: Al-Araf: 172)
Mengapa Allah meminta kesaksian lebih dahulu terhadap roh-roh atas dirinya
sebelum diciptakan? Terdapat dua alasan untuk menjawab pertanyaaan tersebut, yaitu:
1.

Agar manusia tidak beralasan dan lupa, karena Roh suci itu, tidak bisa lupa.

2.

Agar manusia tidak melemparkan kesalahan kepada nenek moyangnya yang telah

mempersekutukan Allah dengan Tuhan lainya. Karena Roh nenek moyangnya, cucu,
dan anaknya itu sudah sama-sama memberi kesaksian di hadapan Allah. Roh itulah
yang di tiupkan oleh Allah kedalam jasad manusia setelah sempurna kejadiannya setelah
berumur 4 bulan dalam kandungan ibunya.

22

Terdapat 3 bukti bahwa Roh manusia itu sudah pernah mengadakan perjanjian dengan
allah, yaitu:
1.

Adanya rasa takut dan harap

2.

Adanya rasa estetika

3.

Adanya rasa ber-Tuhan

Menurut ilmu sosiologi, fitrah tersebut dinamakan hasrat bergaul diantaranya yaitu:
1.

Hasrat ingin bergaul

2.

Hasrat ingin mengetahui

3.

Hasrat ingin memberi tahu

4.

Hasrat ingin patuh

5.

Hasrat ingin dihormati


Adanya hasrat itulah setiap manusia, bagaimana jeleknya, akan merasa malu bila

dikatakan jelek. Manusia bagaimana kecil dan hinanya dalam pandangan masyarakat
pasti tidak mau dihina dan direndahkan.
Bukti bahwa manusia merupakan mahluk yang memiliki potensi ber-Agama ini
dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti historis dan
antropologis kita mangetahui pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah
datang informasi mengenai Tuhannya, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan,
sungguhpun Tuhan yang mereka sembah itu terbatas pada data khayalan. Mereka
misalnya memper-Tuhankan pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan
misterius atau mengagumkan. Pohon kayu yang usianya sudah ratusan tahun tidak
tumbang di anggap memiliki kekuatan misterius dan selanjutnya mereka per-Tuhankan.
Kepercayaan demikian itu kemudian dinamakan Agama dinamisme. Selanjutnya
kekuatan misterius tersebut diganti istilah ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan
kecenderungan baik dan buruk yang selanjutnya mereka dinamakan Agama animisme.
Ruh yang memiliki karakter tersebut mereka personifikasikan dalam bentuk dewa yang
jumlahnya banyak dan selanjutnnya dianamakan Agama politeisme. Kenyataan ini
menunjukan bahwa manusia memiliki potensi berTuhan.

23

Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk


bermacam-macam yang keadaanya serba relatif. Dalam keadaan itulan diutus para Nabi
kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah
Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam Agama yang di
sampaikan Nabi. Untuk itu, jika manusia ingin mendapatkan keagamaan yang benar
haruslah melalui bantuan para Nabi. Kepada mereka itu, para Nabi menginformasikan
bahwa Tuhan yang menciptakan mereka dan wajib di sembah adalah Allah. Dengan
demikian sebutan Allah adalah Tuhan, bukanlah hasil karya ciptaan manusia, dan bukan
pula hasil seminar, penelitian dan lain sebagainya. Sebutan nama Allah bagi Tuhan
adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Melalui beberapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa latar belakang
perlunya manusia akan Agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi
untuk ber-Agama. Potensi ber-Agama ini memerlukan bimbingan, pengarahan dan
pengembangan dan seterusnya mengenalkan Agama kepadanya.

3. Kelemahan dan kekurangan manusia


Manusia adalah mahluk berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah
mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Jadi manusia adalah
mahluk mencari kebenaran. Manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani. Kedua
unsur tersebut berasal dari bahasa Arab yaitu roh dan jasad. Roh bisa diartikan nyawa
atau jiwa, jasad berarti tubuh atau raga, sehingga bisa disebut jiwa raga. Masalah jasad
tubuh atau raga, sudah diketahui oleh manusia. Sedangkan masalah roh, nyawa atau
jiwa, ilmu pengetahuan belum berhasil mengetahui hakikatnya. Allah sendiri telah
menyatakan ketidak mamppuan manusia untuk mengetahui masalah roh tersebut. Surat
Al-Isra ayat 85 :

24

Artinya: Mereka menanyakan engkau tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk
urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit sekali. (Q.S Al-Isra : 85)
Berdasarkan ayat tersebut terkandung pengertian:
1.

Hakikat roh, hanya diketahui oleh Allah

2.

Manusia sejak dulu, belum mengetahui hakikat roh tersebut

3.

Ilmu pengetahuan tersebut belum/tidak akan mampu menyingkap rahasia roh itu.
Berarti, manusia belum mampu menyingkap hakikat dirinya. Atau dengan kata

lain, manusia belum mengetahui hakikat manusia itu sendiri. Namun yang harus kita
ketahui hakikat manusia adalah masalah rohnya. Maka roh akan dihadapkan dengan
pengetahuan Agama apa yang seharusnya dianut oleh manusia ini. Apabila kita tidak
memiliki pegangan maka kita akan hanyut dibawa gelombang propaganda.
Dalam Islam terdapat ajaran bahwa manusia dilahirkan atas dasar fitrah. Fitrah
dalam artian memiliki sifat-sifat yang baik, sifat-sifat ke-Tuhanan atau ber-Agama.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Hurairah, bahwa Rosulullah pernah bersabda: tidak ada seorang anakpun yang
dilahirkan, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan Yahudi atau Nasrani dan Majusi. Setelah Abu Huraira menbacakan hadits
tersebut beliau mengatakan bacalah firman Allah yang berisi :

25

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.

(Q.S:

Ar-Ruum;

30)

Ditambahkan oleh Quraish Shihab, bahwa kita diilhami oleh potensi agar
manusia melalui jiwa menangkap makna kebaikan dan keburukan. Namun diperoleh
pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada isyarat
negatifnya.
Sifat-sifat yang cenderung kepada keburukan yang ada pada diri manusia itu
antara lain berlaku dzalim (aniaya), dalam keadaan susah payah (kabad), suka
melampaui batas (anid), sombong (kubbar), ingkar dan lain sebagainya. Karena
itu manusia dituntut agar memelihara kesucian jiwanya, dan tidak mengotorinya.
Untuk dapat menjaga kesucian jiwanya, manusia harus mendekatkan dirinya
kepada Tuhannya dengan bimbingan Agama, dan disinilah letak kebutuhan manusia
akan Agama.
4. Tantangan Manusia
Latar belakang perlunya manusia akan Agama adalah karena manusia dalam
kehidupannya selalu diahadapkan dengan tantangan, baik tantangan yang berasal dari
dalam maupun dari luar. Tantangan yang berasal dari dalam adalah hawa nafsu yang

26

mempengaruhi jasad dan dapat berpengaruh pada tugas jiwa dalam menguasai emosi,
perasaan, dan sikap sentimentilnya.
Semua perbuatan yang dilakukan bersifat kehendak, pasti akan dilakukan dengan
proses berfikir. Proses tersebut biasanya disertai beberapa langkah strategi dan
terkadang strategi itu harus dilaksanakan secara keseluruhan. Akan tetapi dalam sebuah
keadaan, strategi itu dilaksanakan hanya sebagian saja. Terdapat beberapa langkah
dalam berfikir, langkah pertama dalam berfikir adalah merasakan bahwa setiap masalah
pasti ada solusinya. Langkah kedua adalah menentukan masalah yang sedang di hadapi.
Langkah ketiga, memikirkan langkah-langkah yang akan ditempuh sebagai langkah
untuk diselesaikan. Langkah keempat adalah menimbang solusi yang tepat. Langkah
kelima adalah mengambil satu dari sekian banyak solusi yang ada untuk dijadikan solusi
akhir.
Langkah-langkah tersebut akan berjalan didalam jiwa manusia seakan-akan ia
sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Allah berrfifman dalam Al-Quran, dan
sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan
dalam hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya lebih dari urat lehernya.
Banyak unsur yang masuk ketika terjadi dialog dalam diri manusia, kemudian
jiwa akan menentukan kehendaknya dalam menentukan pilihan tertentu sehingga dalam
diri manusia akan terdapat keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan kehendaknya
tersebut. Semua ini akan berlalu dengan sangat cepat malalui rangkaian fisiologi. Yaitu
melalui rangkaian otak dan jasad manusia, lalu lahirlah sebuah perbuatan. Perbuatan
yang tidak didasari pemahaman akan Agama akan membawa sikap manusia melebihi
sikap hewani, karena didasari oleh hawa nafsu dan bisikan syaitan.
Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya manusia
untuk menjauhkan dirinya dengan Tuhannya. Mereka dengan rela mengeluarkan harta
bendanya, tenaga dan fikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai kebudayaan yang
didalamnya terdapat misi untuk menjauhkan manusia dengan Tuhannya.

27

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian agama terbagi dalam 3 bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris
dan Sansekerta. agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia
dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Maka orang yang
beragama adalah orang yang teratur, orang yang tentram dan orang yang
damai baik dengan dirinya maupun dengan orang lain dari segala aspek
kehidupannya.
Setiap agama pada dasarnya terdiri dari empat unsur, yaitu: Ajaran,
iman Manusia sebagai mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial
sangat memerlukan aturan dalam seluruh aspek kehidupannya. Mulai dari
menyalurkan

kebutuhan

yang

paling

dasar

sampai

memenuhi

kebutuhannnya yang primer, sekunder dan tersier. Semua aspek kehidupan


ada aturannya apalagi untuk kehidupan di dunia dan akhirat. sebagai
interaksi antara pelaku dan konsep, ritus ( upacara) sebagai sistem
lambang, dan praktik (amal) sebagai perwujudan konsep dalam segala segi
kehidupan individu dan masyarakat.

28

DAFTAR PUSTAKA

http://ahmadhaes.wordpress.com/2010/01/15/empat-unsur-agama/

http://www.blogger.com/profile/15145036045191787597

http://agushidayatwrote.wordpress.com/2012/05/04/mengapa-man/

Aminuddin. Wahid, Aliaras. Rofiq, Moh. 2010. Membangun Karakter dan


Kepribadian Melalui Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Graha Ilmu:
Yogyakarta dan UIEU-University Press: Jakarta
Departemen Agama RI, 2000. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum, Jakarta, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
Azra, Azyumardi, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum. Jakarta
Saifuddin Ansori, 1998. Kuliah Al Islam, Bandung, pustaka Salman
Daud Ali, Muhammad, 1998. Pendidikan Agama Islam, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Perkasa

29

30

Anda mungkin juga menyukai