Anda di halaman 1dari 11

Bab1

PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Dalam sebagian masyarakat saat ini banyak tidak mengetahui arti agama yang
sesungguhnya, mereka hanya tahu menjalakan syariat syariat agama menurut kepercayaan
masing masing. Yang mana di dalam agama tersebut mempunyai aturan aturan dalam
menjalani hidup antara manusia dengan manusia, lingkungan, dan yang terakhir tuhan.
Maka dari itu, kelompok kami mengajukan pembahasaan tentang pengertian agama
menurut; etimologi, terminologi, dan fungsional. Dan beberapa unsur yang membangun
untuk menguatkan hasil kajian kami.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agama menurut pengertian secara etimologi, terminology
dan fungsional?
2. Memaparkan penjelasan mengenai pengertian agama?
1.3 Tujuan
Dapat mempelajari dan memahami arti dari kata agama, menurut pengertian secara
etimologi, termnologi dan fungsional dan dapat menelaah kajian dan batasaan pengertian
agama sehingga tidak terjadi kekacauan dari sudut pandang agama.

BabII
PEMBAHASAAN
2.1 Pengertian Agama Secara Etimologi
Pengertian agama secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa sangsekerta, yang
berasal dari akar kata gam artinya pergi, kemudian dari kata gam tersebutmendapat awalan a
dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan mencapai
kebahagiaan.
Di samping itu terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari
bahasa sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya
kacau. Jadi, arti kata agama adalah tidak kacau atau teratur.

Kata religi - religion dan religio, secara etimologi menurut winker paris dalam
algemene encyclopaedie mungkin sekali dari bahasa latin, yaitu dari kata religere atau religare
yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang bereligi adalah orang yang
senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari
kata religere yang berarti berhati hati, maka dimaksudkanbahwa orang yang bereligi itu
adalah orang yang senantiasa bersikap hati hati dengan sesuatu yang dianggap suci.
Dari etimologis ketiga kata di atas maka dapat diambil pengertian bahwa agama (religi,
din): (1) merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan
kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera; (2) bahwa jalan hidup tersebut berupa aturan,
nilai atau norma yang mengatur kehidupan manusia yang dianggap sebagai kekuatan mutlak,
gaib dan suci yang harus diikuti dan ditaati. (3) aturan tersebut ada, tumbuh dan berkembang
bersama dengan tumbuh dan berkembangnya kehidupan manusia, masyarakat dan budaya.
2.1.a Jenis Makna Etimmologi
Pertama, bahasa Inggris
Dalam bahasa Inggris, kata agama diterjemahkan menjadi religion. Untuk mengkaji
kata religion, kami menggunakan metode yang sama dengan di atas, yakni melalui metode
etimologis
Makna Etimologis
Ada dua pendapat mengenai asal-usul kata agama. Pertama, berasal dari bahasa IndoGerman, yaitu gam, identik dengan go dalam bahasa Inggris yang berarti jalan, cara
berjalan, cara-cara sampai pada keridhaan Tuhan. Namun, menurut Sukardji, orang yang
mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Indo-German berarti belum mengetahui
bahasa Sansekerta. Kedua, berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam kitab Upadeca tentang
Ajaran-ajaran Agama Hindu, disebutkan bahwa agama tersusun dari kata a yang berarti
tidak dan gam yang berarti jalan. Dalam bentuk harfiah, agama berarti tetap di
tempat, langgeng, abadi, diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke generasi
(Sukardji, 1993: 26-27). Ada pula pendapat lain, yaitu agama berasal dari kata a yang

berarti tidak, dan gama yang berarti kacau. Maksudnya, orang-orang yang memeluk
suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya, hidupnya tidak akan kacau.
Kedua, bahasa Arab
Makna Etimologis
Kata agama dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi ad-dien. Munjied mengatakan
bahwa arti harfiah dari ad-dien cukup banyak, misalnya pahala, ketentuan, kekuasaan,
peraturan, dan perhitungan. Fairuzabadi dalam kamusnya, Al-Muhieth, mengatakan bahwa
arti harfiah ad-dien adalah kekuasaan, kemenangan, kerajaan, kerendahan, kemuliaan,
perjalanan, peribadatan, dan paksaan (Sukardji, 1993: 28). Sedangkan menurut Harun
Nasution, ad-dien mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan,
kebiasaan (Jalaluddin, 1996: 12).
2.2 Pengertian Agama Secara Terminology
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau
tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Quran
agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam
sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep
yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama
dan religi.
2.2a Jenis Makna Terminology
Pertama, bahasa Inggris
Makna Terminologis

Definisi yang diberikan para ahli sangat banyak. Saya sendiri menyimpan kira-kira 12
definisi. Namun, definisi-definisi itu hanya menampilkan salah satu segi agama saja. Saya
hanya akan memberikan beberapa definisi saja yang menurut saya paling lengkap.

Webster New 20th Century Dictionary mengungkapkan bahwa definisi religion adalah the
system of rules of conduct and law of action based upon the recognition of belief in, and
reverence for human power of supreme authority. Batasan itu menggambarkan bahwa
religion adalah suatu sistem peraturan-peraturan dari kegiatan yang semuanya itu
didasarkan pada adanya kepercayaan dan pegangan pada kekuatan yang Mahakuasa dan
norma perilaku manusia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan
(Sukardji, 1993: 33)
Kedua, bahasa Arab
MaknaTerminologis

Sukardji memberikan definisi ad-dien sebagai undang-undang kebutuhan yang mendorong


dan menjiwai orang berakal dengan usahanya untuk sejahtera hidup di dunia dan kebahagiaan
hidup di akhirat (Sukardji, 1993: 34-35)
2.3 Pengertian Agama Secara Fungsional
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai
faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
2.3.a Fungsi integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama
dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat
maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh
kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam
masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilainilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang
kuat di masyarakat.

Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. ODea mengungkapkan bahwa


agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan
tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang
memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan
jaminan dan keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas,
ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:

a. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia
yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana emosional penting
yang membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian.
b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara
peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas
yang lebih kuat ditengah kondisi ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dihadapi
manusia
c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk,
mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan individu dan disiplin
kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn demikian agama berfungsi untuk membantu
pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola masyarakat sehingga membantu
ketertiban dan stabilitas.
d. Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu
memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah terlembaga bisa dikaji
kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama agama yang
menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada masyarakat yang mapan.
e. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peranserta manusia dalam
ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam
identitasnya. Dalam periode perubahan dan mobilitas sosial yang berlangsung cepat,
sumbangan agama terhadap identitas menjadi semakin tinggi. Salah satu contoh tentang hal
ini dikemukakan oleh Will Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di
tahun 1950-an, dimana salah satu cara penting dimana orang Amerika membentuk

identitasnya adalah dengan menjadi salah satu anggota dari tiga agama demokrasi, yaitu:
Protestan, katholik, dan Yahudi.
f. Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta
perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Dari keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa agama memiliki
peran yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu,
agamaberperan dalam mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menghibur ketika
dilanda kecewa, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Sedangkan bagi
kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat
dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan
menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.
2.3.b Fungsi Disintegratif Agama
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat,
dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat
memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu
kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali
mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Pada bagian ini,
pembicaraan tentang fungsi disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada
beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama.
Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik sosial yang bersumber pada
agama, yaitu:
a. Perbedaan doktrin dan sikap mental
Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama
yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta
sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak
disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental yang
memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki kebenaran (claim of truth)
sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna.

Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang
berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya
sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut
sedikit banyak telah menutup sisi rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk
membangun saling pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan suprarasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk
menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi
akan eksistensi sikap-sikap tersebut.
b. Perbedaan suku dan ras pemeluk agama
Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam
mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak
bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik sosial.
Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk memunculkan konflik sosial, maka
masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut. Hal
ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene beragama Kristen
merasa menjadi bangsa pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan kerajaan Allah di dunia
dengan menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen.
c. Perbedaan tingkat kebudayaan
Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi pembudayaan
manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Peter Berger menjelaskan fenomena
ini dengan menegaskan bahwa agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad
raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan
cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran dominan dalam
menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan
yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama
dalam menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran bagi
perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan mengekang pemikiran tersebut.
Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta menafsirkan
ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan kemajuan atau kemunduran masyarakat
pemeluknya dalam menghadapi fenomena kehidupan sosial yang berubah dengan sangat

cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap fenomena ini adalah apa yang diungkapkan
secara panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme dalam mendorong
munculnya kapitalisme.
d. Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama
Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi
faktor penyebab munculnya konflik sosial. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan
dalam melihat fenomena konflik mayoritas-minoritas, yaitu: (1) agama diubah menjadi suatu
ideologi; (2) prasangka mayoritas terhadap minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari
mayoritas.
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang mayoritas seringkali
mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi
sehingga sulit untuk dibedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah
menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang
untuk menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah yang pada
akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang terhadap
kelompok minoritas yang akan bermuara pada timbulnya konflik sosial.
Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan keagamaan diatas,
kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang terkandung pada masalah-masalah
keagamaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama
memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam
memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena keagamaan
dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan permasalahan keagamaan
yang dihadapi. Ketepatan memilih perspektif tentu saja akan mampu menghadirkan gambaran
riil dari permasalahan yang ada sehingga harapan untuk memunculkan berbagai soslusi
alternative bagi pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal.
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah menunjukkan
kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah
fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu
melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu,
disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama

dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi
disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara
akademik, maka pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang
ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum
yang ada.
2.4 PENDAPAT WILLIAM JAMES TENTANG AGAMA
Agama sesungguhnya tidak mudah diberikan definisi atau dilukiskan, karena agama
mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa
di dunia. Watak agama adalah suatu subyek yang luas dan kompleks yang hanya dapat
ditinjau dari pandangan yang bermacam-macam dan membingungkan. Akibatnya, terdapatlah
keanekaragaman teori tentang watak agama seperti teori antropologi, sosiologi, psikologi,
naturalis dan teori kealaman. Sebagai akibat dari keadaan tersebut, tak ada suatu definisi
tentang agama yang dapat diterima secara universal.
Kesulitan serupa dialami oleh William James saat berusaha menemukan pengertian
agama yang dapat mencakup keseluruhan aspek yang memang inherent dengan agama, baik
sebagai fakta sejarah, prinsip-prinsip dan kondisi psikologis yang menyertainya.
Keberagaman teori telah mengakibatkan agama dipahami sebagai berkaitan dengan rasa
ketergantungan, berasal dari rasa takut, tak dapat dipisahkan dari kehidupan seksual,
diidentifikasi dengan rasa ketakterbatasan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, James kemudian
mengakui bahwa dalam mengetengahkan terminologi agama, ia tidak dapat berangkat dari
teologi, sejarah agama atau antropologi. Yang paling bisa ia kerjakan adalah merumuskan
pengertian agama melalui pendekatan psikologis.
Bagi seorang psikolog, demikian James selanjutnya, kecenderungan keberagamaan
seseorang setidak-tidaknya mesti merupakan bagian menarik dari sekumpulan fakta yang
berkaitan erat dengan konstitusi mentalnya. Masalahnya kemudian adalah, apa saja yang
menjadi kecenderungan keberagamaan itu? Apa signifikansi filosofisnya?
Menurut James, pemahaman yang logis akan mempersembahkan dua macam kerangka
jawaban. pertama, berhubungan dengan watak agama, asal usul dan sejarahnya. Kedua,
berhubungan dengan signifikansi agama. Kerangka jawaban yang pertama jelas merupakan
proposisi eksistensial (existencial judgement), sedangkan yang kedua adalah proposisi tentang

nilai (a proposition of value) atau proposisi spiritual (a spiritual proposition). Ini berarti
bahwa sebagai suatu fenomena yang berkategori existencial judgement, agama dapat
diungkap sosoknya melalui kajian-kajian tentang sejarah dan asal usulnya serta, kemudian,
bagaimana kondisi-kondisi geografis tertentu berpengaruh terhadap inti ajaran yang
dikembangkan oleh seorang tokoh agama. Sedangkan kedudukan agama sebagai proposisi
spiritual, mengetengahkan seperangkat nilai wahyu yang menjadi pedoman hidup bagi
seseorang.
Menurut William James, penggabungan dua macam pendekatan itu cukup membantu
terutama sepanjang mengetengahkan deskripsi agama berdasarkan fakta dan logika. Akan
tetapi secara esensial, agama memiliki derajat kompleksitas yang lebih tinggi. Telaah
psikologis menampilkan sisi lain agama, karena menurut teori ini setiap fenomena agama
melibatkan emosi yang sangat mendalam; ada rasa takut keagamaan (religious fear), rasa
kagum keagamaan (religious awe), rasa senang keagamaan (religious joy), dan sebagainya.
Sebenarnya, perasan-perasaan itu bersifat alamiah yang ditujukan kepada obyek-obyek itu
sendiri. Rasa takut keagamaan hanyalah rasa takut biasa yang sering mencekam dan
menghinggapi hati manusia.
Kompleksitas fenomena keagamaan semacam itu kemudian membuat James menarik
suatu definisi luas (overal definition) tentang agama, yang diakuinya sendiri sebagai agak
arbitrer. Dalam hal ini James menyatakan:
"Agama dengan demikian mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), tindakan (acts) dan
pengalaman individual manusia dalam kesendirian mereka, saat mencoba memahami
hubungan dan posisi mereka dihadapan apa yang mereka anggap suci."
Sungguhpun definisi itu cukup luas, tetapi menurut James, tetap akan melahirkan
kontroversi baru, terutama menyangkut kata suci (divine). Sebab, banyak sistem pemikiran
yang dianggap religius namun tidak secara positif mengasumsikan adanya zat yang mahasuci.
Budhisme termasuk dalam kategori ini. Meski misalnya, Budha dianggap berposisi sebagai
Tuhan, tetapi secara keseluruhan, sistem Budhis itu atheis.
Menurut James, pengalaman keagamaan bersifat unik dan membuat setiap individu
mampu untuk menyadari: Pertama, bahwa dunia merupakan bagian dari sistem spiritual yang
dengan sendirinya memberikan nilai bagi dunia inderawi; kedua, bahwa tujuan utama

manusia adalah menyatukan dirinya dengan alam yang lebih tinggi itu; ketiga, bahwa
keyakinan agama membangkitkan semangat baru dalam hidup; dan keempat, bahwa agama
mengembangkan kepastian rasa aman dan damai serta menyegarkan cinta dalam hubungan
kemanusiaan, seperti halnya kepercayaan keagamaan teistik, menimbulkan konsekwensikonsekwensi praktis yang memuaskan, apakah atheisme berarti konsep yang benar?

Bab III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kata agama ternyata sangat sulit didefinisikan. Sebabnya adalah mungkin karena
agama berbentuk keyakinan (Jalaluddin, 1996: 11). Namun, dengan melakukan metode
etimologis dan terminologis, kita paling tidak dapat membayangkan makna dari kata
agama. Selain itu, ternyata agama mempunyai hasil translate ke beberapa bahasa lain
yang kesemuanya itu dapat membongkar makna dan pengertian dari kata agama.
3.2 Saran
Dari pembahasan di atas pemakalah menyarankan kita untuk tahu tentang pengertian
agama. seperti apa yang di jabarkan tentang pengertian agama secara etimologi, terminology
dan fungsional, ini dapat di terapkan dalam kehidupan kita sehari hari sehingga tidak ada
kesalahan pahaman tentang mengartikan kata .agama.

Anda mungkin juga menyukai