Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH AGAMA

BAGAIMANA MANUSIA

BERTUHAN

OLEH :

KELOMPOK 1

DEWI SIRSAN (

ESTI RAHAYU (1947041051)

NURUL WIRA ELVIRA (1947041048)

NURPADILA AGUSTINA (1947040032)

PEND. GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


2019

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan

kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu

menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Konsep

Ketuhanan Dalam Islam” yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari

berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh

penyusun dengan berbagai rintangan, baik itu yang datang dari diri penyusun

maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama

pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan

menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para Mahasiswa

Universitas Negeri Makassar. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak

kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya

meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang

akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Makassar, September 2019


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………..i

DAFTAR ISI ……………………………………………...............................……ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………….........................…………1

B. Rumusan Masalah ………………………………......................…………….1

C. Tujuan………………………………………………..............................……2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Spritualisasi sebagai Landasan Kebertuhanan ……….......................3

B. Mengapa Manusia memenuhi Spritualisassi ……………………………..…8

C. Menggali sumber Psikologis, Sosiologis, Fisiologis, dan Teologis tentang

Konsep Ketuhanan ……………………………………………………………….11

D. Membangun argumen tentang cara manusia Meyakini dan Mengimani

Tuhan …………………………………………………………………………….15

E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgesi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia

yang Damai ……………………………………………………………………....18

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan …………………………………………………………....……22

B. Saran …………………………………………...…………………….…….23

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................24


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Problematika ketuhanan merupakan persoalan metafisika yang paling

kompleks dan tua. Pada mulanya orang memecahkan secara wajar yang kemudian

mulai diperdebatkan dan difilsafatkan. Problematika ini kemudian menjadi obyek

kajian dari tokoh agama dan moral, dari ilmuan dan filosof. Didalam ide

ketuhanan manusia menemukan diri sendiri maupun penciptanya dalam ide ini

kita bisa mengetahui sumber kebaikan dan kesempurnaan, sumber eksistensi dan

gerak karena Allah adalah sumber yang segala yang ada, sebab dari segala-gala

dan tujuan puncak. Sementara itu dalam islam, masalah ketuhanan juga

menempati masalah dasar utama keimanan dan keislaman. Keimanan terhadap

Tuhan menjadi standar keabsahan seseorang dalam memeluk agama.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Konsep Spritualisasi sebagai Landasan Kebertuhanan ?

2. Mengapa Manusia memenuhi Spritualisasi ?

3. Menggali sumber Psikologis, Sosiologis, Fisiologis, dan Teologis tentang

Konsep Ketuhanan?

4. Membangun argumen tentang cara manusia Meyakini dan Mengimani

Tuhan?
5. Mendeskripsikan Esensi dan Urgesi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia

yang Damai?

C. Tujuan

1. Mengetahui Konsep Spritualisasi sebagai Landasan Kebertuhanan

2. Mengetahui tujuan Manusia memenuhi Spritualisasi

3. Menggali sumber Psikologis, Sosiologis, Fisiologis, dan Teologis tentang

Konsep Ketuhanan

4. Membangun argumen tentang cara manusia Meyakini dan Mengimani

Tuhan

5. Mendeskripsikan Esensi dan Urgesi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia

yang Damai
BAB II

PEMBAHASAN

A. Menelusuri Konsep Spiritualitas Sebagai Landasan Kebertuhanan

Doe (dalam Montohar, 2010: 36) mengartikan bahwa spiritualitas adalah

dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki. Spritualitas

memberi arah dan arti pada kehidupan. Spritualitas adalah kepercayaan akan

adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita, suatu

kesadaran yang menghubungkan kita langsung kepada Tuhan atau sesuatu unsur

yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. (pendidikan agama islam

untuk perguruan tinggi).

Spritual, spritualitas, spritualitasme mengacu kepada kosa kata latin spirit

atau spiritus yang berarti napas. Adapun kerja spirare yang berarti untuk bernapas.

Berangkat dari pengertian etimologis ini, maka untuk hidup adalah untuk untuk

bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit (Aliah B. Purwakania, 2006:

288). Spirit dapat juga diartikan kehidupan, nyawa, jiwa, dan napas (Hasan

Shadily, 1984: 3278).

Dalam pengertian yang lebih luas spirit dapat diartikan sebagai: 1) kekuatan

kosmis yang memberi kekuatan kepada manusia (yunani kuno); 2) makhluk

immateril seperti peri, hantu dan sebagainya; 3) sifat kesadaran, kemauan, dan

kepandaian yang ada dalam alam menyeluruh; 4) jiwa luhur dalam alam yang

bersifat mengetahui semuanya, mempunyai akhlak tinggi, menguasai keindahan,

dan abadi; 5) dalam agama mendekati kesadaran ketuhanan; 6) hal yang


terkandung dalam minuman keras, dan menyebabkan mabuk (Hasan Shadily,

1984: 3278).

Selanjutnya dalam Ensiklopedi Indonesia spiritual adalah: 1) bentuk

nyanyian rakyat yang bersifat keagamaan, dikembangkan oleh budak-budak

Negro dan keturunan mereka di Amerika Serikat bagian selatan; 2) yang

berhubungan dengan rohani dan eksistensi kristiani yang berdasarkan kehadiran

dan kegiatan roh kudus (s. spiritus) dalam setiap orang beriman dan seluruh gereja.

Adapun spiritualitas adalah kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya

dalam cara berfikir, merasa, berdo’a dan berkarya (Hasan Shadily: 3279).

Memang tampaknya pengertian spiritualitas merangkum sisi-sisi kehidupan

rohaniah dalam dimensi yang cukup luas. Secara garis besarnya spiritualitas

merupakan kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya dalam cara berfikir,

merasa, berdoa, dan berkarya (Hasan Shadily: 3728). Seperti yang dinyatakan

William Irwin Thomson, bahwa spiritual bukan agama. Namun demikian ia tidak

dapat dilepaskan dengan nolai-nilai keagamaan. Maksudnya ada titik singgung

antara spiritual dan agama. (.blogspot.com)

Inti spiritualitas :

Jika kita bisa menerima bahwa kita adalah makhluk spiritual yang hidup

dalam tubuh fisik, maka ; spiritualitas adalah tentang persatuan, kebenaran,

tanggung jawab pribadi, pengampunan, kehendak bebas, cinta dan kedamaian.

Yang paling penting, spiritualitas adalah tentang menciptakan realitas kita sendiri,

mengalami realitas-realitas menjadi kebijaksanaan yang hidup dalam hukum alam


semesta sehingga kita dapat berkembang secara rohani dan kembali ke Penciptaan

Allah SWT.

Spiritual diri kita adalah diri sejati, bukan tubuh kita. Tubuh hanya sebagai

kendaraan bagi jiwa kita. Pengalaman-pengalaman negatif dan positif dapat

membantu jiwa kita berkembang, kearah mana yang akan di tempuh dalam

perjalanan hidup ini.

Relasi spiritualitas dengan agama

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa spiritualitas memang

bukan agama. Akan tetapi, ia memiliki hubungan dari segi nilai-nilai keagamaaan

yang tidak dapat dipisahkan. Titik singgung antara spiritualitas dan agama

tampaknya memang tak dapat dinafikan sepenuhnnya. Keduanya menyatu dalam

nilai-nilai moral. Adapun nilai-nilai moral itu tergolong pada katagori nilai utama

(summum bonum) dalam setiap agama. Dorongan untuk berpegang pada nilai-

nilai moral ini sudah ada dalam diri manusia. Menurut Murthada Muthahhari,

dorongan tersembunyi dalam diri manusia. Dalam konsep ajaran islam, nilai-nilai

moral itu disebut akhlak yang baik atau husn al-akhlaq (Muthada Muthahhari: 55).

Pemahaman ini menunjukkan, bahwa sebenarnya spiritualitas adalah

potensi batini manusia. Sebagai potensi yang memberikan dorongan bagi manusia

untuk melakukan kebajikan. Dengan demikian, tidak mengherankan bila,

spiritualitas ini senantiasa diposisikan sebagai nilai utama dalam setiap ajaran

agama. Dalam agama Hindu, misalnya spiritualitas itu terlukis dari pernyataan

Swami Vivekananda. Ia mengatakan: jika seorang mengenal Tuhan, wajahnya,


suaranya, dan rupanya berubah. Ia menjadi berkat, kesukaan untuk umat manusia

(Franz Dahler dan Eka budianta, 2000: 303).

Selanjutnya dalam nilai-nilai ajaran Kristen kondisi itu dilukiskan sebagai

“ Yesus menjelmakann sekaligus cinta Allah kepada kita dan martabat luhur dari

manusia yang paling hina sekalipun. Katanya: “ Segalasesuatu yang kamu lakukan

untuk salah seorang dariku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk

Aku “ (Matius 25, 31-46). Ini hakiki agama Kristen: Allah mencintai kita, Dia

menerima kita sebagaimana adanya.

Spiritualitas mengacu kepada kepedulian antar sesama. Sisi-sisi

spiritualitas itu digambarkan: “ Berusaha untuk menyelasaikan permasalahan

orang lain bukan saja merupakan kewajiban setiap orang itu adalah salah satu

kesenangan yang paling baik dan luhur dalam kehidupan. Jangkauan cinta

seseorang harus sedemikian luas dan inklusif, sehingga ada ruang di dalamnya

bagi setiap orang. Cinta semacam itu dapat membuat orang merasa, bahwa segala

sesuatu yang ada di dunia ini adalah indah dan cantik.

Gambaran ini paling tidak menunjukkan kandungan nilai-nilai

spiritualitas. Nilai-nilai agung ini harus dibentuk dalam rangkain proses yang

cukup panjang. Langkah awala adalah bagaimana menghargai dan memuliakan

orang lain di luar diri. Dalam konteks ini dijumpai sejumlah pesan-pesan suci

yang termuat dalam Al-qur’an, antara lain: “ Hai orang-orang beriman, janganlah

suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang

diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)….(QS 49: 11).


“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dengki dan prasangka,

sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-

cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian

yang lain…..” (QS 49: 12).

Lebih dari itu manusia juga didasarkan akan latar belakang historis

kejadiannya. Didasarkan akan posisi, fungsi, serta perannya sebagai makhluk

sosial. Makhluk hidup bermasyarakat. Bukan makhluk individu yang hanya

menggambarkan egoismenya. Al-qur’an mengingatkan: “ Hai manusia, kami

menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan

kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal..”(QS

49:13).

Dalam pandangan islam, nilai-nilai yang terkandung dalam

spirituallitas tidak hanya terbatas dalam hubungan antar manusia saja, melainkan

mencakup kawasan yang lebih luas. Meliputi hubungan antar makhluk. Dijelaskan

oleh sang Maha Pencipta: “ Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan

burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat juga

seperti kamu..” (QS 6: 36). Rasulullah saw. bersabda: “ Kasih-sayangilah segala

(apa) yang ada di bumi, maka yang di langit akan mengasih-sayangimu..

Pemikiran filsafat mengacu kepada upaya untuk mengungkapkan

nilai-nilai hakiki. Padahal nilai-nilai hakiki yang mutlak itu termuat dalam ajaran

agama. Spiritualitas itu sendiri berada pada hati nurani agama. Oleh sebab itu,

menurut Nurcholis Madjid: “ jika seorang memahami hati nurani agama, dialog
antar agama menjadi mudah,”. Dengan nilai-nilai spiritualitas sejatinya kedamaian

hidup bisa diwujudkan. Spiritualitas hakekatnya adalah kepedulian lintas agama,

lintas ras, lintas bangsa, maupun lintas geografis. Jelasnya, spiritualitas merupakan

kepedulian paripurna yakni kepedulian lintas makhluk

B. Menanyakan Alasan Mengapa Manusia Memerlukan Spiritualitas

Spiritualitas merupakan pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna

hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan

kesejahteraan seseorang. spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri,

nilai-nilai, moral dan rasa memiliki. Spiritualitas memberi arah dan arti pada

kehidupan. Spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non fisik yang

lebih besar daripada kekuatan diri kita; suatu kesadaran yang menghubungkan kita

langsung kepada Tuhan, atau apapun yang kita namakan sebagai sumber

keberadaan kita. Pengalaman bertuhan (spiritual) adalah pengalaman yang unik

dan autentik. Pengalaman bertuhan dapat menjadi bagian yang sangat erat dan

mempengaruhi kepribadian seseorang, meskipun demikian, dalam kehidupan

modern saat ini, orientasi kehiduan yang lebih menekankan aspek fisik- material

telah menjadikan aspek keberagaman dan spiritualitas yang terpojok kewilayah

pinggiran. Modernisasi disegala bidang sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan

teknologi yang materialistis, hedonis, konsumtif, mekanis, dan inividualistis

akibatnya, manusia modern banyak kehilangan kehangatan spiritual, ketenangan,

dan kedamaian.
Ada enam alasan mengapa kita membutuhkan spiritualitas untuk tetap

mampu mengerjakan panggilan hidup di dunia ini:Karena manusia adalah

makhluk ciptaan yang terbatas, yang memiliki kebebasan untuk memilih.

1. Untuk menjaga integritas diri kita di tengah realita dunia yang fana dan tak

menentu.

2. Untuk mengembangkan hati nurani yang takut akan Tuhan.

3. Untuk mengendalikan dorongan ego dalam diri kita.

4. Menyadarkan bahwa panggilan hidup kita adalah anugerah pemberian dari

Tuhan.

5. Sarana untuk melatih kepekaan diri kita di dalam menggali makna

kenyataan hidup.

Menurut Carl Gustav Jung, manusia modern mengalami keterasingan diri dari

diri sendiri dan lingkungan sosial, bahkan jauh dari tuhan. Dan kegagalan

memaknai hidup mengakibatkan jauh dari rasa aman damai dan tentram.

Agar manusia kembali memiliki etika moral dan sentuhan manusiawi dalam

kehidupannya, maka penguatan spiritualitas perlu dilakukan. Secara filosofi

spiritualis sebagai penguatan visi ilahi, potensi bertuhan, atau kebertuhanan.

Bentuk spiritualis yaitu pelatihan jiwa secara sistematis, dramatis, dan

berkesinambungan dengan memadukan antara pola fikir (tafakkur wa ta’ammul),

olah rasa (tadzawwuq), olah jiwa (riyadhah) dan olahraga (rihlah wa jihad).
Menurut Syahrin Harahao jika manusia memiliki kesadaran dan kecerdasan

spiritualis, maka rohanya akan kuat karena bimbingan maksimal dari hati nurani

tersebut yang menjadikannya lebih dinamis, kreatif, etos kerja tinggi dan lain-lain.

Pengalaman bertuhan (spriritual) adalah pengalaman yang unik dan autentik.

Setiap orang memiliki pengalaman yang khas dalam hal merasakan kehadiran

Tuhan. Pengalaman bertuhan dapat menjadi bagian yang sangat erat dan

mempengaruhi kepribadian seseorang. Meskipun demikian, dalam kehidupan

modern saat ini, orientasi kehidupan yang lebih menekankan aspek fisik-material

telah menjadikan aspek keberagamaan dan spiritualitas terpojok ke wilayah

pinggiran. Modernisasi di segala bidang sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan

teknologi melahirkan sikap hidup yang materialistis, hedonis, konsumtif, mekanis,

dan individualistis. Akibatnya, manusia modern banyak kehilangan kehangatan

spiritual, ketenangan, dan kedamaian.

Sayyed Hossein Nasr melihat fenomena hilangnya spiritualitas sebagai

ketercerabutan manusia dari akar tradisi (sesuatu yang sakral Tuhan) sehingga

manusia hidup di luar eksistensinya. Ketika manusia hidup di luar eksistensinya,

maka ia akan mengalami kehilangan makna hidup dan disorientasi tujuan hidup.

Disorientasi tujuan hidup sering kali membuat manusia modern terjebak pada

budaya instan dan jalan pintas untuk mengejar kesenangan materi dan fisik. Wajar

jika kemudian muncul sikap hidup yang materialistis, hedonis, konsumtif,

mekanis, dan individualistis. Persaingan untuk meraup kesenangan-kesenangan di

atas, pada akhirnya menimbulkan benih-benih konflik yang menimbulkan

hilangnya rasa aman dan damai.


Agar manusia kembali memiliki etika moral dan sentuhan manusiawi dalam

kehidupannya, maka penguatan spiritualitas perlu dilakukan. Penguatan

spiritualitas ini secara filosofis dikatakan sebagai penguatan visi Ilahi, potensi

bertuhan, atau kebertuhanan. Untuk mencapai visi Ilahi yang kokoh, diperlukan

proses pengaktualisasian akhlak Tuhan yang ada dalam diri setiap manusia. Untuk

itu, diperlukan pelatihan jiwa secara sistematis, dramatis, dan berkesinambungan

dengan memadukan antara olah pikir (tafakkur wa ta`ammul), olah rasa

(tadzawwuq), olah jiwa (riyādhah), dan olahraga (riḫlah wa jihād).

Spiritualitas merupakan puncak kesadaran ilahiah menurut Saifuddin Aman

dalam Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Spiritualitas membuat kita mampu

memberdayakan seluruh potensi yang diberikan Tuhan untuk melihat segala hal

secara holistik sehingga kita mampu untuk menemukan hakikat (kesejatian) dari

setiap fenomena yang kita alami. Dalam bahasa yang sedikit berbeda Syahirin

Harahap dalam Membalikkan Jarum Hati mendeskipsikan mereka yang memiliki

kesadaran atau kecerdasan spiritual sebagai orang-orang yang mampu mengarungi

kehidupan dengan panduan hati nurani. Rohani, yang kuat karena bimbingan

maksimal hati nurani tersebut, akan membuat orang lebih dinamis, kreatif,

memiliki etos kerja tinggi, dan lebih peduli, serta lebih santun.

C. Menggali Sumber Psikologis, Sosiologis, Filosofis, dan

Teologis tentang Konsep Ketuhanan

Berikut diuraikan berbagai tesis, teori, argument, baik yang bersifat paikologis,

filosofis, sosiologis, dan teologis menemukenali konsep tuhan dan berketuhanan.


1. Psikologis

Psikologis yaitu mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia

secara ilmiah. Ada dua perspektif yang berbeda tentang potensi bertuhan yaitu

perspektif spiritual dan neurosains.

Spiritual menyangkut roh yang merupakan karunia langsung dari Allah SWT

sejak lahir. Sedangkan neurosains adalah bakat bertuhan dapat dicari jejaknya

dalam bagian-bagian otak yang diangap terkait dengan kecerdasan spiritual.

Menurut Andrew Newberg dan Mark Waldman sistem kepercayaan kita

dibangun oleh gagasan-gagasan yang diajarkan secara intens sehingga tertanam

secara neurologis di dalam memori, dan akhirnya dapat mempengaruhi perilaku

dan pemikiran kita. Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung

selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an

katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man

ahabba syai’anfa huwa `abduhu).

2. Sosiologis

Dalam sosiologi, agama disebut sebagai sebuah sistem budaya karena

merupakan hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Mereka mempelajari

fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama.

Menurut Max Weber menjalankan praktik-praktik keagamaan merupakan

upaya manusia untuk mengubah Tuhan yang irrasional menjadi rasional.


Manusia senantiasa hidup bergerumul dengan ketidakpastian akan hari esok,

keberuntungan, kesehatan dll. Hal ini menyebabkan manusia memiliki keinginan

dan harapan karna keterbatasannya, makadari itu manusia memerlukan kekuatan

dari luar dunia yang tidak terlihat/supranatural.

Dalam Sosiologis, Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang

diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Berkaitan dengan pengalaman manusia,

baik sebagai individu maupun kelompok. Oleh karena itu, setiap perilaku yang

diperankan akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran Agama yang dianut.

3. Filosofi

Banyak filsuf islam yang menjelaskan hakikat tuhan sehingga kita diharuskan

bertuhan, dan terdapat tiga argumen filsafat untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu:

1) dalil al-ḫudūts, 2) dalil al-īmkān, dan 3) dalil al-‘ināyah. Argumen pertama

diperkenalkan oleh al-Kindi (w. 866), yang kedua oleh Ibn Sina (w.1037), dan

yang ketiga oleh Ibn Rusyd (w.1198).

Argumen-argumen diatas semuanya mengaitkan keadaan alam semesta yang

diciptakan tidak tanpa Pencipta. Dan Pencipta sesuatu yang amat besar alam

semesta ini pastilah hanya Allah, Tuhan yang maha esa. Tuhan menjadi sebab

pertama dari segala akibat yang kita lihat saat ini.

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal

budi, yaitu memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang

yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan

menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.


Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan

akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk

menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan

kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang

Tuhan.

4. Teologis

Teologis adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas

dan Tuhan.

Tuhan memperkenalkan diriNya, konsep baik-buruk, dan cara beragama

kepada manusia melalui berbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai

pernyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam,

penciptaan semua makhluk, maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal

melalui firman-Nya dalam kitab suci, dll.

Pengetahuan tentang Tuhan tersebut dalam perspektif teologis tidak terjadi

atas prakarsa manusia, tetapi terjadi atas dasar wahyu Allah SWT. Tanpa inisiatif

Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk yang

bertuhan dan beribadah kepada-Nya.

Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan keberagamaan

harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan

karena dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Artinya,

kesadaran tentang Tuhan, baik-buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau

berasal dari Tuhan sendiri.


Tuhan memperkenalkan diri-Nya, konsep baik-buruk, dan cara beragama

kepada manusia melalui berbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai

pernyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam,

penciptaan semua makhluk, maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal

melalui firman-Nya dalam kitab suci.

D. Membangun Argumen tentang Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan

Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang

tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok

dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam

dengan benar kepada diri seseorang.

Ada dua cara beriman kepada Allah SWT :

a.Bersifat Ijmali : Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali

maksudnya adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara

garis besar.

b.Bersifat Tafshili : Maksudnya adalah mempercayai Allah secara rinci. Kita

wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang

berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya.

(http://miemande.blogspot.com/2019/03/makalah-lengkap-bagaimana-

manusia.html?m=1)
Orang yang beriman kepada tuhan adalab orang yang berkarakter berketuhanan

yang meyakini tuhan sebagai sumber kebenaran.

(https://www.cram.com/flashcards/agama-bagaimana-manusia-bertuhan-8110690)

Mengingat Tuhan adalah Zat Yang Mahatransenden dan Gaib (ghā`ibul

ghuyūb), maka manusia tidak mungkin sepenuhnya dapat mempersepsi hakikat-

Nya. Manusia hanya mampu merespon dan mempersepsi tajalliyāt Tuhan. Dari

interaksi antara tajalliyāt Tuhan dan respon manusia, lahirlah keyakinan tentang

Tuhan. Tajalliyāt Tuhan adalah manifestasi-manifestasi Tuhan di alam semesta

yang merupakan bentuk pengikatan, pembatasan, dan transmutasi yang dilakukan

Tuhan agar manusia dapat menangkap sinyal dan gelombang ketuhanan. Dengan

demikian, keyakinan adalah persepsi kognitif manusia terhadap penampakan

(tajalliyāt) dari-Nya. Dengan kata lain, meyakini atau memercayai Tuhan artinya

pengikatan dan pembatasan terhadap Wujud Mutlak Tuhan yang gaib dan

transenden yang dilakukan oleh subjek manusia melalui kreasi akalnya, menjadi

sebuah ide, gagasan, dan konsep tentang Tuhan.

Tajallī Tuhan yang esa akan ditangkap oleh segala sesuatu (termasuk

manusia) secara berbeda-beda karena tingkat kesiapan hamba untuk

menangkapnya berbeda-beda. Kesiapan (isti’dād) mereka berbeda-beda karena

masing-masing memiliki keadaan dan sifat yang khas dan unik. Karena

penerimaan terhadap tajallī Tuhan berbeda-beda kualitasnya sesuai dengan ukuran

pengetahuan hamba, maka keyakinan dan keimanan pun berbeda satu dengan

yang lain.
Berbicara tentang keimanan, maka ia memiliki dua aspek, yaitu keyakinan

dan indikator praktis. Apabila mengacu pada penjelasan di atas, keyakinan dapat

dimaknai sebagai pembenaran terhadap suatu konsep (dalam hal ini konsep

tentang Tuhan) sehingga ia menjadi aturan dalam hati yang menunjukkan hukum

sebab akibat, identitas diri, dan memengaruhi penilaian terhadap segala sesuatu,

serta dijalankan dengan penuh komitmen.

Adapun indikator praktis keimanan dapat ditengarai dari sikap dan perilaku

yang dilakukan manusia. Orang yang memiliki keimananan kepada Allah harus

dibuktikan dengan amal saleh, yang menjadi indikator praktis tentang iman

tersebut. Indikator keimanan yang praktis dan terukur inilah yang bisa dijadikan

patokan bagiseseorang untuk menilai orang lain, apakah ia termasuk orang baik

atau tidak baik. Nabi mengisyaratkan bahwa indikator keimanan minimal ada 73,

dari yang paling sederhana seperti menyingkirkan duri di jalan umum sampai

indikator yang abstrak seperti lebih mencintai Allah dan rasul-Nya daripada yang

lain.

Keimanan seseorang bertingkat-tingkat dan mengalami pasang surut seperti

sinyal handphone. Ada kalanya seseorang dapat mencapai tingkat keimanan yang

tinggi seperti sinyal handphone yang baru di-charge, namun ada kalanya

seseorang memiliki keimanan yang rendah seperti baterai handphone yang

ngedrop.

Selama seseorang memiliki indikator keimanan walaupun ibarat sinyal HP

hanya tinggal segaris saja, ia tetap dikatakan beriman. Meskipun dikatakan masih
beriman, ia memiliki juga indikator-indikator kekufuran. Apabila si pendosa ini

terus-menerus melakukan indikator-indikator kekufuran dan sampai puncaknya

ketika ia berani secara terang-terangan melawan Tuhan dan rasul-Nya, maka

ketika itu ia dikatakan telah terjerumus dalam kekufuran (yang bersifat mutlak).

Sejalan dengan penjelasan di atas, maka menilai seseorang kafir atau tidak

kafir, bukan dilihat dari keyakinannya, sebab keyakinan tidak bisa dilihat. Yang

dijadikan patokan untuk menilai keimanan dan kekufuran seseorang adalah

amalnya, sebagai indikator praktis yang bisa diukur. Oleh karena itu, kita tidak

boleh dengan gampang menuduh orang kafir, apalagi penilaian tersebut hanya

dilandasi oleh asumsi dan persepsi sepihak.

Iman terbentuk karena peran Tuhan dan manusia. Peran Tuhan dalam

pembentukan iman terletak pada karunia-Nya berupa akal dan potensi

kebertuhanan yang disebut dengan roh. Karena adanya akal dan roh inilah,

manusia mempunyai potensi keimanan kepada Allah. Namun, mengingat potensi

tersebut harus dipersepsi dengan cara tertentu sehingga menjadi keyakinan, maka

iman pun membutuhkan peran manusia. Proses pembelajaran, pembiasaan,

pengalaman, dan indoktrinisasi yang dilakukan oleh guru, orang tua, orang-orang

di lingkungan sekitar, dan kebiasaan sosial juga bisa menjadi faktor lain yang

mempengaruhi pembentukan iman.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan iman identik

dengan pembentukan karakter. Orang yang beriman adalah orang yang

berkarakter. Beriman kepada Allah berarti memiliki karakter bertuhan. Dalam


bahasa agama, karakter identik dengan akhlak. Menurut Imam Ghazali, akhlak

adalah bentuk jiwa yang darinya muncul sikap dan perilaku secara spontanitas dan

disertai dengan perasaan nikmat dan enjoy ketika melakukannya. Oleh karena itu,

orang beriman kepada Tuhan atau memiliki karakter bertuhan adalah seseorang

yang meyakini Tuhan sebagai sumber kebenaran dan kebajikan tertinggi,

mengidentikkan diri dengan cara banyak meniru akhlak Tuhan dalam bersikap dan

berperilaku, dan memiliki komitmen kepada nilai-nilai tersebut. (Syahidin,dkk.

2019. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Makassar:Universitas

Negeri Makassar)

E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia yang

Damai

Manusia adalah makhluk spiritual yang cenderung kepada kebajikan dan

kebenaran. Namun di sisi lain, keberadaan unsur materi dan ragawi dalam dirinya

memaksanya untuk tunduk pada tuntutan kesenangan jasmaniah. Agar manusia

tetap konsisten dalam kebaikan dan kebenaran Tuhan, maka manusia dituntut

untuk membangun relasi yang baik dengan Tuhan. Oleh karena itu, sisi

spiritualitas harus memainkan peran utama dalam kehidupan manusia sehingga ia

mampu merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap gerak dan sikapnya. Apabila

manusia telah mampu mengasah spiritualitasnya sehingga ia dapat merasakan

kehadiran Tuhan, maka ia akan dapat melihat segala sesuatu dengan visi Tuhan

(Ilahi).
Visi Ilahi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh umat manusi sehingga setiap

tindak tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat kecintaan

kepada Tuhan. (https://www.coursehero.com/file/p3ealcq/sederhana-seperti-

menyingkirkan-batu-di-jalanan-sampai-indikator-yang-abstrak/)

Dalam perspektif Islam, manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna.

Kesempurnaan manusia ditandai dengan kesiapannya untuk berbakti kepada

Tuhan karena dalam dirinya telah ditiupkan salah satu tajalli Tuhan yaitu roh.

Ketika manusia masih menjaga dan memelihara fithrah-nya itu, manusia hidup

dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia lebih bisa mendengar dan

mengikuti tuntunan hati nurani, karena nuansa spiritualitasnya begitu maksimal.

Namun, karena godaan materi, yang dalam kisah Adam disimbolkan dengan

syajarah al-khuldi (pohon keabadian), maka manusia sedikit demi sedikit mulai

kehilangan nuansa spiritual dan kehilangan superioritas roh sebagai penggerak

kehidupan manusia dalam koridor visi Ilahi.

Dalam perspektif tasawuf, kejatuhan manusia membuat ia semakin jauh dari

Tuhan (diibaratkan dalam kisah Adam sebagai ketergelinciran manusia dari Surga

yang luhur dan suci ke dunia yang rendah dan penuh problematika). Ketika

manusia makin jauh dari Tuhan, maka ia semakin jauh dari kebenaran dan

kebaikan Tuhan. (Syahidin,dkk. 2019. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan

Tinggi. Makassar:Universitas Negeri Makassar)

Agar manusia dapat tetap konsisten dalam kebaikan dan kebenaran Tuhan,

maka manusia dituntut untuk membangun relasi yang baik dengan Tuhan.
Manusia tidak akan mampu membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan

apabila hidupnya lebih didominasi oleh kepentingan ragawi dan bendawi. Oleh

karena itu, sisi spiritualitas harus memainkan peran utama dalam kehidupan

manusia sehingga ia mampu merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap gerak dan

sikapnya. Apabila manusia telah mampu mengasah spiritualitasnya sehingga ia

dapat merasakan kehadiran Tuhan, maka ia akan dapat melihat segala sesuatu

dengan visi Tuhan (Ilahi).

Visi Ilahi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh umat manusia sehingga setiap

tindak tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat kecintaan

kepada Tuhan sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian serta

pelayanan kepada sesama ciptaan Tuhan. Dengan begitu akan terciptanya dunia

yang damai.

Contoh lain adalah pengaruh agama terhadap kebudayaan

masyarakat Banjarmasin yang terlihat pada tradisi Baayun Maulid. Baayun asal

katanya“ayun” yang diartikan”melakukan proses ayunan”. Asal kata maulid

berasal dariperistiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Sebelum

mendapat pengaruhIslam, maayun anak sudah dilaksanakan ketika masyarakat

masing menganutkepercayaan nenek moyang. Tradisi asalnya dilandasi

oleh kepercayaanKaharingan.Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat

perjuangan dakwah paraulama, akhirnya upacara tersebut bisa

“diislamisasikan”. Dengan demikian,baayun anak adalah salah satu

tradisi simbol pertemuan antara tradisi danpertemuan agama. Inilah


dialektika agama dan budaya, budaya berjalan seiringdengan agama dan agama

datang menuntun budaya.

(https://www.scribd.com/document/361203488/Makalah-Agama-Bab-2)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Spritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik yang lebih

besar daripada kekuatan diri kita, suatu kesadaran yang menghubungkan kita

langsung kepada Tuhan atau sesuatu unsur yang kita namakan sebagai sumber

keberadaan kita.

Agar manusia kembali memiliki etika moral dan sentuhan manusiawi

dalam kehidupannya, maka penguatan spiritualitas perlu dilakukan. Secara filosofi

spiritualis sebagai penguatan visi ilahi, potensi bertuhan, atau kebertuhanan.

Psikologis yaitu mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental

manusia secara ilmiah. Ada dua perspektif yang berbeda tentang potensi bertuhan

yaitu perspektif spiritual dan neurosains.

Dalam sosiologi, agama disebut sebagai sebuah sistem budaya karena

merupakan hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Mereka mempelajari

fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama.

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal

budi, yaitu memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang
yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan

menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.

Teologis adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas

dan Tuhan.

Ada dua cara beriman kepada Allah SWT yaitu bersifat ijmali dan bersifat

tafshili. Visi Ilahi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh umat manusia sehingga

setiap tindak tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat

kecintaan kepada Tuhan sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian

serta pelayanan kepada sesama ciptaan Tuhan, dengan begitu akan terciptanya

dunia yang damai.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh

dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan

berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari

itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam

kesimpulan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Syahidin,dkk. 2019. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi.

Makassar:Universitas Negeri Makassar

Rahmah Aysa,dkk. 2017. Bagaimana Cara Manusia Bertuhan. Mataram:

Universitas Mataram

http://miemande.blogspot.com/2019/03/makalah-lengkap-bagaimana-

manusia.html?m=1

https://www.cram.com/flashcards/agama-bagaimana-manusia-bertuhan-8110690

https://www.coursehero.com/file/p3ealcq/sederhana-seperti-menyingkirkan-batu-

di-jalanan-sampai-indikator-yang-abstrak/

https://www.scribd.com/document/361203488/Makalah-Agama-Bab-

2https://www.scribd.com/presentation/345941518/BAGAIMANA-MANUSIA-

BERTUHAN-pptx

https://www.academia.edu/36716024/Bagaimana_manusia_bertuhan_kelompok

Anda mungkin juga menyukai