Anda di halaman 1dari 36

BAB V

BRAHMAVIDYA

5.1 Konsepsi Tuhan dalam Agama Hindu


5.1.1 Mendefinisikan Tuhan
Siapa atau apakah yang dimaksud dengan Tuhan? Jawaban atas
pertanyaan tersebut akan menjadi dasar dalam memberikan definisi tentang
Tuhan, walaupun disadari bahwa tidak mungkin mendefinisikan Tuhan, karena
sudah disadari bahwa Tuhan Acintyarupa, yaitu tidak berwujud dan tidak dapat
digambarkan, bahkan tidak terpikirkan dengan pikiran manusia. Dalam Bahasa
Jawa disebut dengan Tan Kagrahita Dening Manah Mwang Indriya, atau dalam
Bahasa Inggrisnya disebut dengan Impersonal God. Namun demikian, untuk
pertimbangan praktis definisi tentang Tuhan dibutuhkan sebagai titik tolak untuk
berfikir tentang pengetahuan-Nya (Brahmavidya). Mendefinisi sesuatu semestinya
harus benar-benar memberikan gambaran yang jelas dan lengkap tentang yang
didefinisikan. Kesulitan dalam memberikan definisi tentang Tuhan karena Tuhan
mencakup pengertian yang sangat luas, tidak terbatas, dan serba mutlak.
Terlepas dari kesulitan tersebut, sumber-sumber yang mengungkapkan
tentang adanya Tuhan dan Ketuhanan sebagai ajaran dengan berbagai aspeknya
terdapat di dalam kitab Veda Sruti (Mantra, Brahmana, dan Aranyaka). Selain
kitab Mantra (Rg Veda, Sama Veda, Yayur Veda, dan Atharva Veda) terdapat
pula kitab Smrti (Vedanga dan Upaveda) yang memuat tentang pokok-pokok
Ketuhanan dalam Agama Hindu. Demikian juga yang terdapat dalam
Bhagavadgita yang dipandang sebagai Veda kelima Agama Hindu.
Khusus mengenai Ketuhanan, kitab yang paling detail dan paling lengkap
pembahasannya dijumpai pada Brahma Sutra. Hal tersebut sesuai dengan judul
dan arti Brahma Sutra, yaitu memuat pokok-pokok pengertian tentang Brahman.
Kitab Mahanirvana Tantra merupakan kitab Tantra (Mistik) yang isinya
membahas mengenai sifat Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai pengertian
menurut cara penghayatannya, sebagai ajaran yang diwahyukan oleh Tuhan
melalui dialog antara Deva Çiva dan Devi Parvati. Mengingat banyaknya sumber-
sumber yang membahas tentang konsepsi ketuhanan, keterbatasan yang dimiliki

120
menyebabkan berikut ini hanya dijabarkan tentang beberapa definisi tentang
Tuhan yang diambil dari beberapa sumber.

1) Kitab Rg Veda
Definisi tentang Tuhan dapat dujumpai dalam Rg Veda I. 164. 46 yang
menyebutkan: ”Ekam Sad Viprā Bahudhā Vadanti Agnim Yamam Mātarisvānam
Āhuh” yang secara bebas berarti ”Tuhan hanya satu, para arif bijaksana
menyebutkan-Nya dengan banyak nama, seperti Agni, Yama, Matarisva”. Definisi
tersebut secara tegas menyatakan bahwa Tuhan itu Satya dan Esa, namun
penyebutannya oleh para arif bijaksana menggunakan berbagai gelar sesuai
dengan kontektualnya secara fungsional.
Makna yang sama dengan ”Janmādyasya Yatah” juga dapat ditemukan
dalam Rg Veda X. 90.2 yang menyebutkan: ”Purusa Evedam Sarvam Yadbhutam
Yasca Bhavyam, Utamrtatvasesa No Yadannati Rohati” yang berarti ”Tuhan
sebagai wujud kesadaran yang Agung, merupakan asal dari segalanya yang telah
dan akan ada. Ia adalah raja di alam semesta ini yang hidup dan berkembang
dengan makanan-Nya”. Secara sederhana bait dalam Rg Veda tersebut
mengandung makna bahwa Tuhan Yang Maha Esa (Brahman) merupakan asal
mula dari segalanya.

2) Kitab Brahma Sutra


Definisi tentang Tuhan dapat dijumpai dalam Kitab Brahma Sutra I. 1.2
yang mengemukakan bahwa ”Janmādyasya Yatah” yang secara bebas dapat
diterjemahkan ”Tuhan ialah dari mana asal semua ini”. Pengertian yang
terkandung dalam definisi tersebut bahwa Tuhan adalah asal dari segala yang ada,
berarti semua ciptaan, yaitu alam semesta beserta semua isinya termasuk deva-
deva dan yang lainnya berasal dari Tuhan.
Tuhan adalah Prima Causa yang keberadaa-Nya bersifat mutlak, karena
harus ada sebagai asal atau sumber atas semua yang ada. Kata ”Janmādi” juga
diartikan asal sebagai sumber yang memelihara dan mem-pralaya (melebur
kembali) pada saatnya. Dengan demikian kata ”Janmādi” berarti penciptaan dan
peleburan. Hal ini menunjukkan bahwa peleburan juga diartikan sama dengan

121
penciptaan, karena melebur berarti menciptakan yang baru. Sementara kata
”Yatah” berarti dari mana.

3) Narayana Upanisad 2
Terdapat dua bait dalam Narayana Upanisad 2 yang kemudian menjadi
bait ke-2 dari mantram Tri-Sandya, yaitu ”Narayana evedam sarvam, Yad bhutam
yasca bhavyam, Niskalanko niranjano nirvikalpo, Nirakyatah sudhodevo eko,
Narayanan a dvityo ‘sti kascit”. Bait tersebut jika diterjemahkan secara bebas
berarti ”Tuhan Yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal dan kembali,
baik yang ada dan yang akan ada di alam raya ini. Hyang Widhi maha gaib,
mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, maha suci (tidak
ternoda), tidak terucapkan, tidak ada duanya. Makna yang terkandung dari bait
tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dari apa yang terdefinisikan tentang
Tuhan pada kitab-kitab suci yang telah dikemukakan sebelumnya, namun
tambahannya dalam bait ini adalah jabaran tentang ’ketidak terbatasan Beliau’.

4) Atharwa Veda X. 8.1.


Atharwa Veda X.8.1 juga mendefiniskan Tuhan yang tidak terbatas
dengan satu bait, yaitu ”Yo bhutam ca bhavyam ca, Sarvam yas candhitisthati,
Svar yasyaca kevalam tasmai, Iyesthaya Brahmam namah” yang terjemahan
bebasnya berarti ”Tuhan Yang Maha Esa hadir di mana-mana, asal dari segalanya
yang telah ada dan yang akan ada. Ia penuh dengan rahmat dan kebahagiaan, kami
memuja Engkau Tuhan yang maha tinggi”. Bait dalam Atharwa Veda tersebut
pada dasarnya sama dengan makna bait-bait dalam kitab suci sebelumnya, namun
ada satu hal yang terlihat disini berbeda, yaitu Tuhan tidak saja Maha Esa dan
sumber dari segalanya, tetapi juga sumber kebahagiaan hidup.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan tersebut di atas
masih sangat terbatas sesuai dengan kemampuan manusia dalam mendefinisikan,
sehingga Tuhan menjadi terbatas. Tuhan tidak terbatas sebagaimana yang
terkandung dalam definisi tersebut, dan tidaklah mungkin memberikan batasan
pada Tuhan, karena Beliau sangat tidak terbatas dan manusia tidak mungkin
menjangkau kebenaran-Nya.

122
Selain itu, pendefinisian tentang Tuhan seperti yang telah dikemukakan di
atas kemudian memunculkan berbagai gelar yang diberikan kepada Tuhan dengan
penamaan masing-masing. Penamaan terhadap Tuhan adalah semacam
pembatasan yang arbitratif dan relatif. Dalam hal ini, aspek penting dalam
mempelajari Ketuhanan adalah berusaha untuk mengenal atau mengetahui Tuhan.
Untuk mengenal dan mengetahui-Nya memerlukan nama, penggambaran tentang
sifat, hakikatnya atau apa saja yang dapat memberikan keterangan yang jelas
dalam membantu untuk menghayati Tuhan. Setiap kali menyebutkan Tuhan,
pikiran dipaksa untuk berfikir tentang Tuhan dalam segala kemampuan pikir
untuk mengenal-Nya, melihat secara mental, baik dengan bantuan kata-kata
maupun cara penggambaran abstrak lainnya yang lebih nyata.
Tuntutan pikiran seperti itu adalah wajar, karena pikiran itu sendiri adalah
satu wujud yang ada secara mental atau non fisik. Tentang keadaan Tuhan secara
mental juga belum cukup, hamba-Nya juga ingin menamakan wujud yang
dibayangkan secara mental dengan kata-kata atau suara. Hal tersebutlah yang
menimbulkan pemberian gelar atau penamaan akan hakikat yang dilihat secara
mental oleh manusia yang terbatas, termasuk kemudian menggambarkannya
dengan wujud nyata.

5.1.2 Saguna Brahman dan Niguna Brahman


5.1.2.1 Saguna Brahman (Personal God)
Tuhan menurut Monotheisme Trancendent digambarkan dalam wujud
Personal God (Tuhan yang Berkepribadian), dan disebut juga dengan Saguna
Brahman. Dalam konsep Theologi, ketuhanan Saguna Brahman inilah yang
dihadirkan dengan berbagai macam manifestasi Tuhan yang disebut Deva.
Pemujaan terhadap Tuhan bagi kebanyakan orang harus menghadirkan sosok
Deva.
Bagi kebanyakan orang kehadiran Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai
para Deva juga masih dianggap belum mampu dihayati secara nyata (konkrit),
karena masih mengandung unsur simbol yang abstrak. Dikatakan demikian karena
kehadiran Tuhan dalam manifestasi sebagai sosok Deva hanya mengandung
simbol satu dimensi (niskala) saja, yang sulit dibayangkan. Untuk membantu

123
kepentingan manusia dalam memuja Tuhan, maka para Deva lebih dikonkritkan
lagi dalam bentuk simbol dua dimensi, yakni dimensi sakala dan niskala.
Berdasarkan alasan inilah para Deva sebagai manifestasi Tuhan dihadirkan
sebagai wujud Energi yang ada di balik bentuk-bentuk kosmis (Donder, 2007).
Secara theologis semua atribut kemahakuasaan Tuhan dilekatkan kepada seluruh
segmen-segmen alam. Metode teologis ini tidak dapat dikatakan sebagai tindakan
dosa karena ”mempersekutukan Tuhan dengan benda”. Stigma
”mempersekutukan” tidak ada dalam kamus theologi Saguna Brahma dan
pandangan Advaita. Berdasarkan alasan itulah, maka kemahakuasaan Tuhan
dimanifestasikan ke dalam segmen-segmen alam, di antaranya:
1) Deva Surya adalah manifestasi Tuhan yang ada di balik planet matahari,
2) Deva Soma (Chandra) manifestasi Tuhan di balik bulan,
3) Deva Vayu (Bayu) manifestasi Tuhan di balik udara,
4) Deva Agni manifestasi Tuhan di balik api,
5) Deva Marut manifestasi Tuhan di balik angin,
6) Deva Sangkara manifestasi Tuhan di balik pohon atau tumbuhan,
7) Deva Varuna manifestasi Tuhan di balik samudera,
8) Akasa merupakan manifestasi Tuhan sebagai Sang Ayah di balik angkasa, dan
9) Prthivi merupakan manifestasi Tuhan di balik planet bumi ini, dan Dewa-
dewa lainnya.

Kemahakuasaan Tuhan yang dimanifestasikan ke dalam segmen-segmen


tertentu inilah yang melandasi filosofi theologi Saguna Brahma, sehingga
kehadiran para Deva dalam sistem pemujaan sangat popular dalam Agama Hindu.
Personifikasi Tuhan ke dalam bentuk yang lebih konkrit ini dalam Bahasa
Inggrinya disebut Personal God. Dalam theologi Saguna Brahma-lah (personal
God) tersedia berbagai metodologi-theologis yang secara metodologis dirancang
untuk membantu setiap manusia bagaimanapun adanya dapat sampai kepada
Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan theologi Hindu lebih tepat disebut Theologi
Kasih Semesta (Donder, 2006).
Keterbatasan manusia untuk mewujudkan Tuhan dalam keadaan tanpa
sifat yang disebut Nirguna atau Sunya inilah sebagai penyebab mengapa Saguna

124
Brahman dibutuhkan. Istilah nirguna digunakan untuk memahami hakikat Tuhan
dalam keadaan hukumnya semula, yang dalam ilmu filsafat dikatakan sebagai
keadaan dalam alam transendental. Sesuatu yang transendental berarti berada di
luar dari lingkaran kemampuan pikir. Jika diibaratkan pikiran itu mempunyai
batas seperti lingkaran (mandala), segala yang ada di luar lingkaran dinamakan
dalam alam transendental. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan
yang Immanen. Jika mengibaratkan pikiran dengan sebuah lingkaran, berarti yang
Immanen ini adalah yang berada dalam lingkaran. Perhatikan gambar berikut.

Gambar V-01
Keadaan untuk Menggambarkan Transedental dan Immanen

Segala sesuatu yang terjadi dalam wilayah Immanen dapat diketahui.


Mengetahui disini berarti dapat membedakan, dan itu dapat dilakukan melalui
pengenalan sifat-sifatnya. Mengenal secara immanen berarti mengenal secara
limitatip, secara relatif, secara riil, dan lain-lain. Jika dikaitkan dengan pengenalan
Tuhan dalam alam immanen, berarti mengenal Tuhan dalam keadaan sifat-sifat
yang ada inilah disebut dengan Saguna Brahman, yaitu Tuhan dengan sifat
hakikat menurut pikiran manusia. Dalam Theologi yang menjadi bahan kajian
adalah Tuhan dalam aspek Saguna Brahman, bukan dalam Nirguna Brahman.
Nirguna Brahman merupakan pengakuan yang pada hakikatnya mengakui
keberadaannya, dibuktikan atau tidak. Tuhan hanya dalam pikiran manusia yang
tidak terpikirkan.
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan alam immanen
(Saguna Brahman) yang dibedakan dengan alam transcendental (Sunya/Nirguna

125
Brahman), secara simbolis digambarkan dalam kitab Jnanasiddhanta ketika
menjelaskan aspek Utpathi-Sthti-Pralina dari Pranava (Ong-Kara), yaitu tentang
ajaran Sivatattva (Hakikat Tuhan) dalam alam nyata sampai pada alam sunya.
Perhatikan Gambar IV-02!

Gambar V-02
Gelombang Nada untuk menjelaskan Tranecedental dan Immanen

Bindu (Windhu) dilukiskan sebagai titik centrum. Jika diibaratkan seperti


suara, Bindu adalah sumber suara yang bergema ke luar. Gema merupakan
resonansi suara yang di dalam ilmu mantra disebut nada. Gema akan
bergelombang menggetarkan alam sekitarnya, sehingga tampak seolah-olah
seperti lingkaran suara yang makin jauh dari pusatnya semakin melemah dan
akhirnya hilang sama sekali. Daerah dimana resonansi itu tidak terdengar dengan
yang terdengar merupakan batas yang memisahkan antara daerah yang memiliki
sifat suara dengan daerah yang tanpa memiliki sifat suara yang dalam hal ini
dikenal dengan nama Sunya (Void)
Penggambaran personifikasi Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda
sebagai Saguna Brahman (Personal God) pada dasarnya dapat dikelompokkan
menjadi tiga, sebagai berikut.

126
1) Penggambaran Anthrophomorphic.
Tuhan dalam hal ini digambarkan sebagai manusia dengan berbagai
kelebihannya, seperti bertangan seribu, berkaki tiga, bertangan empat, dan
sebagainya.
2) Penggambaran Semianthrophomorphic.
Tuhan dalam hal ini digambarkan sebagai setengah manusia atau setengah
binatang. Wujud-wujud Tuhan dalam wujud setengah manusia atau setengah
binatang lebih banyak dijumpai dalam Purana, seperti Deva Ganesha
(Manusia berkepala gajah), Hayagriwa (Manusia yang berkepala kuda), dan
sebaginya.
3) Penggambaran Unanthrophomorphic
Tuhan dalam hal ini digambarkan sebagai binatang saja, seperti Garutman
atau Garuda, sebagai tumbuh-tumbuhan (Soma), dan sebagainya.

5.1.2.2 Nirguna Brahman (Impersonal God)


Sebagaimana disebutkan dalam Veda, Tuhan sebagai Nirguna Brahman
adalah Tuhan yang tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan tidak
bisa dipikirkan dengan pikiran manusia. Dalam bahasa Sanskerta sebagaiman
telah dikemukakan pada bagian awal bab ini, keberadaan ini disebut Acintyarupa
yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia. Tidaklah mudah untuk
memberikan penjelasan tentang Tuhan karena keterbatasan akal manusia. Hal ini
sakaligus menunjukkan bahwa begitu kecilnya manusia dihadapan Sang
Penciptanya (Tuhan), sehingga sudah menjadi kewajiban untuk membaktikan
dirinya dihadapan-Nya sebagaimana tertuang dalam sabda suci Rg veda X.129.6
yaitu:
”Sesungguhnya siapakah yang mengenal-Nya. Siapa pula yang dapat
mengatakan kapan penciptaan itu. Dan kapan pula diciptakan alam
semesta ini, diciptakan dewa-dewa. Siapakah yang mengetahui kapan
kejadian itu?”
Sabda suci yang serupa juga terungkap dalam Bhagavadgita X.2 yang
artinya: ”Baik para dewa maupun resi agung tidak mengenal asal mulaKu.
Sebab dalam segala hal, Aku adalah sumber para dewa dan resi agung”.

127
Nirguna Brahman yang disebut juga sebagai Paramasiwa, dalam kitab
suci Veda mempunyai definisi sebagai berikut.
 Apramaya, yaitu kemahakuasaan yang sulit dibayangkan melalui panca indra
karena beliau sangat halus dan sempurna.
 Ananta, yaitu kemahakuasaan dilukiskan tiada terbatas, beliau ada di mana-
mana, dan beliau mampu merubah segala sesuatu yang diingini oleh-Nya.
 Aupamya, yaitu kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi yang sangat sulit
mencari bandingannya. Karena semua makhluk yang ada di alam semesta
tidak ada menyamai kemahakuasaan-Nya.
 Anamaya, yaitu yang Maha Suci. Beliau sangat mulia, tidak pernah menderita
suatu penyakit.
 Maha Suksma, yaitu Maha Gaib yang sangat halus.
 Sarwagata, yaitu Maha ada, Maha Besar meliputi seluruh jagad raya.
 Dhruwa, yaitu sangat tenang, tiada bergerak, stabil namun Ia berada di mana
mana.
 Awyayam, yaitu Maha sempurna, walaupun Ia mengisi seluruh alam raya
semesta, kesempurnaan beliau tiada berkurang.
 Iswara, yaitu Raja alam semesta. Ia mengatur alam raya semesta, dan tiada
satupun kekuatan yang mampu mengatur beliau.
 Swayambhu, yaitu Absolut dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena
Beliau ada dengan sendirinya

Definisi tentang Tuhan sebagai Nirguna Brahman tersebut, meskipun telah


berusaha menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap sajaTuhan menjadi
terbatas. Berkenaan dengan itu, kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau
pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan yang
tidak terbatas itu tidak pernah akan menjangkau kebesaran-Nya, sehingga kitab-
kitab Upanisad menyatakan tidak ada definisi yang tepat untuk-Nya, yaitu Neti-
Neti (Na + iti, na + iti), yang artinya bukan ini, bukan ini.
Paramaśiva yang merupakan bagian dari Tri Purusha juga adalah
Cetana/Purusa atau kejiwaan/kesadaran yang tertinggi (Tuhan), suci, murni, sama
sekali belum kena pengaruh maya (Acetana/Pradhana/Prakrti), tenang, tentram,
128
tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal tiada berakhir, ada di mana-mana, maha
Tahu, tidak pernah lupa. Berkenaan dengan itu maka diberi gelar Nirguna
Brahman (Para Brahman). Dalam Vrhaspati Tattva 7-10, disebutkan:

”Paramaśiva tattva ngaranya”:


Yang disebut Paramaśiva Tattva yaitu:
”Aprameyam anirdesyam anaupamyam anamayam suksmam sarvagatam
sarvatam nityam dhruvam avyayam isvaram”.
(Vrhaspati Tattva.7)

Artinya :
Isvara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat
diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada di mana-mana, kekal-
abadi, senantiasa langgeng, tak pernah berkurang.

”Aprameyam anantatvad anirdesyam alaksanam anaupamyam anadrsyam


vimalatvadanamayam”.
(Vrhaspati Tattva. 8)
Artinya:
Tak dapat diukur, karena Dia tak terbatas, tak dapat diberi jenis, karena dia
tak punya sifat, tak dapat diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti Dia,
tak dapat dikotori, karena Dia tak bernoda.

”Sukamanca anupalabhyatvad vyapakatvacca sarvagam nityakarena


sunyatvam acalatvacca tad dhruvam”.
(Vrhaspati Tattva. 9)
Artinya:
gaib, karena Dia tak dapat diamati, berada di mana-mana, karena Dia
menembus segalanya, kekal-abadi, karena Dia suci murni, dan selalu
langgeng karena Dia tak bergerak.

”Avyayam paripurnatvad saumyabhavam tathaiva ca Siwa tattvam idam


uktam sarvatah parisamsthitam”.
(Vrhaspati Tattva.10)
Artinya:
Tak pernah berkurang, karena Dia maha sempurna, begitu pula
keadaannya tengan, inilah Śiva Tattva (Paramaśiva Tattva) yang
menempati segala-galanya.

Dengan memperhatikan kutipan tersebut maka telah terbayang dalam


pikiran bahwa Tuhan Paramaśiva adalah Tuhan dalam keadaan suci murni. Tuhan
Paramaśiva tidak ada sesuatu yang dapat mempengaruhi-Nya, sehingga sukarlah
untuk memberi pembatasan dan memang Beliau tak terbatas, telah ada tanpa ada

129
yang mengadakan, tiada berawal dan tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada
terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan. Dalam Brahmasutra dinyatakan
bahwa Tuhan itu,

”Tad avyaktam, aha hi”


Artinya :
”sesungguhnya Tuhan tidak terkatakan”.

Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami
ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang
mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Kitab suci
Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang paling
diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha
Esa). Brahman sebagaimana dijelaskan dalam Veda memiliki 3 aspek, yaitu:
1) Sat: sebagai satu-satunya yang Maha Ada
Tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau. Dengan kekuatan-Nya
Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat
banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan
serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada
Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta
ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang
atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.
2) Cit: sebagai Maha Tahu
Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber
segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi
berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju
bentuk yang sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan)
menuju vidya atau maha tahu.
3) Ananda
Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka.
Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak
berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya
semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan

130
oleh materi bersumber pula pada Ananda, bedanya hanya dalam tingkatan.
Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan instingtif yang
dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan kegiatan sex.
Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat sementara yang
kemudian disusul dukha. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan pawali
duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap
benda-benda duniawi.

Alam semesta ini adalah fragmen-Nya Tuhan. Brahman memiliki


prabawa sebagai asal mula dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh
waktu tempat dan keadaan. Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah
sansekerta untuk menamakan sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang
selalu berubah baik nama maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan
keadaan) Brahman.
Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah
sampai manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun
bnda-benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih rendah.
Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar
Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.

5.1.3 Keyakinan dalam Filsafat Ke-Tuhan-an


Jika dilandasi pemikiran filsafat ke-Tuhan-an, pandangan tentang Tuhan
Yang Maha Esa yang ada di dunia ini terdiri dari beraneka macam keyakinan, di
antaranya dapat dikemukakan sebagai beikut.
1) Animisme: keyakinan akan adanya roh, bahwa segala sesuatu di alam semesta
ini didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda.
2) Dinamisme: keyakinan terhadap adanya kekuatan-kekuatan alam yang dalam
hal ini dapat berupa mahkluk (personal) atau tanpa wujud. Tuhan dalam hal
ini disebut sebagai Super Natural Power (kekuatan alam yang tertinggi).
3) Totemisme: keyakinan akan adanya binatang keramat yang sangat dihormati.
Binatang tersebut diyakini memiliki kesaktian. Pada umumnya binatang

131
keramat ini adalah binatang mitos, di samping adanya binatang tertentu yang
terdapat di alam yang dianggap keramat.
4) Polytheisme: keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan. Wujud Tuhan
berbeda-beda sesuai dengan keyakinan manusia.
5) Natural Polytheisme: keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan sebagai
penguasa berbagai aspek alam, misalnya: Tuhan Matahari, Angin, Bulan, dan
sebagainya.
6) Henotheisme atau Kathenoisme: keyakinan terhadap adanya Deva yang
tertinggi yang pada suatu masa akan digantikan oleh Deva yang lain sebagai
Deva tertinggi. Hal ini dijumpai dalam Rg Veda, dimana pada suatu masa
Deva Agni menempati kedudukan tertinggi, tetapi pada masa berikutnya Deva
Agni digantikan oleh Deva Indra, Vayu, atau Surya.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pada kitab-kitab purana, Deva-
Deva tersebut di atas diambil alih fungsinya dan digantikan oleh Deva-Deva
Tri Murti. Deva Agni digantikan oleh Brahma, Indra-Vayu digantikan oleh
Wisnu, dan Surya digantikan oleh Civa.
7) Pantheisme: keyakinan bahwa dimana-mana serba Tuhan atau setiap aspek
alam digambarkan dikuasai oleh Tuhan, atau satu Tuhan untuk semua itu.
Tuhan dalam hal ini bersifat universal, satu Tuhan untuk semua.
8) Monotheisme: keyakinan terhadap adanya Tuhan yang satu (Tuhan Yang
Maha Esa). Keyakinan ini dibedakan menjadi,
a. Monotheisme Transcendent: Tuhan dalam hal ini dipandang berada jauh di
luar ciptaan-Nya. Tuhan Yang Maha Esa maha luhur, tidak terjangkau
oleh akal pikiran manusia.
b. Monotheisme Immanent: Tuhan dalam hal ini dipandang sebagai pencipta
alam semester dengan segala isinya, tetapi Tuhan tersebut berada di luar
dan sekaligus di dalam ciptaan-Nya. Hal tersebut dapat diibaratkan dengan
sebuah gelas yang penuh berisi air, kemudian sebagian air tumpah, tetapi
keadaan air di dalam gelas tidak berubah.
9) Monisme: keyakinan terhadap adanya keesaan Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan hakikat alam semesta. Esa dalam segala, segalanya berada dalam
Yang Esa. Sebuah kalimat dalam Brhadaranyaka Upanisad menyatakan,

132
”Srvam Khalvidam Brahman” yang artinya ’segalanya adalah Tuhan Yang
Maha Esa’.

”Agama Hindu adalah agama politheisme yang menyembah banyak


Tuhan?”. Hal ini sering didengar dari saudara beda agama yang mungkin belum
mengerti tentang konsep ketuhanan dalam Hindu, sehingga sering muncul
pemikiran yang cenderung merendahkan, karena dinilai ketidakjelasan Tuhan
mana sebenarnya yang disembah. Hindu bukan agama monotheisme, politheisme,
atheisme ataupun lainnya. Konsep agama Hindu adalah lebih cenderung ke
’Pantheisme’ yaitu agama yang secara filosofi menganut ketuhanan universal
(satu Tuhan untuk semua).
Berbeda dengan monotheisme yang hanya menyembah satu Tuhan, tetapi
sayangnya hanya berpihak pada satu kelompok saja, sedangkan kelompok lain
adalah kaum musuh yang harus dibasmi. Atau paham politheisme yang jelas-jelas
menunjukkan perbedaan dan penyembahan berhala.
Kenapa Agama Hindu disebut Pantheisme? Memang terdapat perbedaan
dalam proses tata cara penyembahan dan bahkan perbedaan nama Beliau yang
disembah sesuai dengan alirannya, tetapi sebenarnya mereka tetap menyembah
satu Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hal itu tidak
lepas karena Beliau mempunyai banyak gelar seperti yang disebutkan oleh sloka-
sloka sebagai berikut.

”Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa” yang artinya


berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada Dharma/Tuhan yang lainnya.

”Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadhanti” artinya Tuhan hanya satu, tetapi
para resi bijaksana menyebut Beliau dengan banyak nama.

Siapakah sebenarnya Tuhan dalam Agama Hindu? Tuhan dalam Agama


Hindu disebut Brahman (bukan Dewa Brahma) atau di Bali biasa disebut Ida Sang
Hyang Widhi Wasa yang artinya Tuhan yang maha besar dan tahu segalanya.
Segala sesuatu tentang Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak dengan
mudah dapat dipahami, kecuali yang sudah memiliki hati yang tulus, bijaksana,
dan tidak terikat apapun dengan masalah keduniawian, karena telah memiliki

133
sifat-sifat yang mendekati Tuhan. Sifat-sifat Tuhan telah banyak disebutkan
dalam kitab suci. Sifat kemahakuasaan dari Tuhan dalam Weda disebutkan ada
empat yang disebut Çadu Sakti, yaitu:
1) Wibhu Sakti: Tuhan Maha Ada yang memenuhi dan meresapi seluruh
bhuana/dunia dan berada dimana-mana, tidak terpengaruh dan tidak berubah
("Wyapi Wyapaka Nir Wikara") dan tidak ada tempat yang kosong bagi
Beliau karena beliau memenuhi segalanya. Beliau ada di dalam dan di luar
ciptaan-Nya.
2) Prabhu Sakti: Tuhan Maha Kuasa yang menjadi raja dari segala raja (Raja
Diraja), yang menguasai segalanya baik dalam hal penciptaan (Utpetti),
pemeliharaan (Stiti), dan Pelebur (Prelina).
3) Jnana Sakti: Tuhan Maha Tahu yang mengetahui segala sesuatu yang terjadi
baik di alam nyata maupun tidak nyata, yang terjadi di masa
lampau(Atita), yang sedang terjadi (Nagata), ataupun yang akan terjadi
(Wartamana).
4) Krya Sakti: Tuhan Maha Karya yang setiap saat tidak pernah berhenti
melakukan aktifitas baik dalam penciptaan, pemeliharaan, pelebur,
pengawasan, penjagaan, sutradara dalam sandiwara kehidupan (demi
memberikan pembelajaran dan pengetahuan) dan segala aktifitas lainnya.

Selain sifat kemahakuasaan di atas, Tuhan/Brahman/Ida Sang Hyang


Widhi Wasa juga memiliki sifat sebagaimana yang disebutkan dalam kitab
Wrhaspati Tattwa yang disebut sebagai Asta Iswara, yaitu:
1) Anima: Tuhan bagaikan setiap atom yang mempunyai kehalusan yang bahkan
lebih halus dari partikel apapun
2) Lagima: Sifat Tuhan yang sangat ringan bahkan lebih ringan dari ether
3) Mahima: Dapat memenuhi segala ruang, tidak ada tempat kosong bagi Beliau
4) Prapti: Segala tempat bisa dicapai, Beliau dapat pergi kemanapun yang
dikehendaki dan Beliau telah ada.
5) Prakamya: Segala kehendak-Nya akan selalu terjadi.
6) Isitwa: Tuhan merajai segala-galanya, dalam segala hal yang paling utama
7) Wasitwa: Menguasai dan dapat mengatasi apapun.

134
8) Yatrakamawasayitwa: Tidak ada yang dapat menentang kehendakNya.

Tuhan yang merupakan sumber dari segala kehidupan (Parama Atma)


juga memiliki sifat-sifat sebagai berikut.
1) Achintya: tak terpikirkan
2) Awikara: tak berubah-ubah
3) Awyakta: tak terlahirkan.
4) Achodya: tak terlukai oleh senjata
5) Adhaya: tak terbakar oleh api
6) Akledya: tak terkeringkan oleh angin
7) Achesyah: tak terbasahi oleh air
8) Nitya: kekal abadi
9) Sarwagatah: ada dimana-mana
10) Sthanu: tak berpindah-pindah
11) Acala: tak bergerak
12) Sanatana: selalu dalam keadaan sama
13) Atarjyotih: maha sempurna sesempurna-purnanya.

Sifat-sifat Tuhan sebagaimana telah dikemukakan tersebut sangat


menyulitkan bagi orang awam untuk bisa mengerti dan memahami Tuhan.
Pengertian dan pemahaman terhadap Tuhan hanya dapat dilakukan pada mereka
yang sudah memiliki keyakinan teguh, berusaha untuk memahami dan
menghayati keberadaan Beliau, melepaskan semua ikatan terhadap keinginan
duniawi, dan memasrahkan diri sepenuhnya untuk Beliau.
Lalu apakah fungsi Deva-Devi? Apakah mereka bukan Tuhan? Deva
berasal dari kata ”Div” yang artinya sinar suci dari Tuhan. Deva adalah bagian
dari Tuhan sebagaimana mahluk lainnya, termasuk manusia yang merupakan
percikan terkecil-Nya Tuhan, karena merupakan sumber dari segala kehidupan.
Namun Deva berbentuk Sarira/roh/atma yang mempunyai sifat dan
kemahakuasaan yang hampir sama dengan Tuhan. Deva-Deva inilah yang
diwujudkan manusia sebagai manifestasi Tuhan dengan fungsi masing-masing,
sehingga manusia dapat lebih mudah untuk mengerti dan memahami Tuhan. Di

135
antara nama Deva-Deva yang ada hanya tiga Deva sebagai manifestasi Tuhan
yang mempunyai sifat yang mendekati sama dengan Tuhan, yaitu Brahma, Wisnu
dan Çiwa, sehingga ketiganya dijadikan Deva tertinggi dalam agama Hindu yang
disebut di Indonesia disebut Tri Murti.

Gambar V-03
Tri Murti yang diilustrasikan Berbeda dengan Esensi yang Sama

Fungsi para Deva adalah untuk mengatur jalannya roda kehidupan baik
dalam penciptaan, perjalanan waktu, dan peleburan serta proses setelah kematian.
Beliau juga membantu makluk lainnya termasuk manusia untuk bisa mengerti
konsep ketuhanan dan mengatur tatatan hidup manusia, sehingga secara tidak
langsung adalah wakil dari Tuhan yang mengatur segala kehidupan sesuai dengan
tugas-Nya masing-masing dan juga sebagai penghubung antara Tuhan dengan
ciptaan-Nya. Dengan kata lain, apabila manusia melakukan persembahan kepada
salah satu Deva maka sama artinya mereka menyembah Tuhan dan Deva lainnya
karena mereka semua adalah satu tetapi berbeda karena fungsinya. Sama halnya
dengan manusia, dengan menjaga diri sendiri dan menghormati orang lain artinya
kita juga telah menjaga dan menghormati Tuhan, karena Tuhan juga bersemayam
dalam diri manusia.
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hindu tidak menganut
paham monotheisme, politeisme, atheisme, melainkan pantheisme yang bersifat
universal. Hal tersebut menyebabkan Hindu dapat menyatu dengan unsur daerah
dimanapun, tanpa adanya perselisihan, sehingga penyebaran agama Hindu tidak
pernah sekalipun dilakukan melalui kekerasan. Hindu tetap menyembah satu
Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hanya karena sifat
dan kemahakuasaan Beliau sangat sulit untuk bisa dipahami akal manusia yang
masih sangat terbatas, sehingga manusia cenderung untuk menyembah
menifestasinya dalam wujud Deva yang dapat diwujudkan lebih konkrit, yang

136
secara hakiki sebenarnya sama artinya dengan dengan menyembah Tuhan dengan
fungsinya masing-masing. Dalam hal ini konkrisitas Deva antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya bisa berbeda. Deva Çiwa di Bali diilustrasikan dengan
wujud yang berbeda dengan di India, demikian juga halnya dengan Deva-Deva
yang lain. Hal tersebut sangat tergantung pada kemampuan persepsi budaya yang
dimiliki oleh masyarakat di wilayah bersangkutan, namun esensi Deva sebagai
manifestasi Tuhan dengan fungsinya masing-masing umumnya tidak berbeda.

5.2 Sraddha dan Bhakti


5.2.1 Sraddha
Sraddha dilihat dari akar katanya berasal dari ”Srat” yang berarti
”Kebenaran (Satyanamani)”. Sedangakan istilah Sraddha secara simantik dan
aplikatif, terdapat dua jenis kata yang sangat dekat dengan bunyinya, namun
maknanya lain. Pertama, kata Sraddha yang berarti ”upacara terakhir bagi
seseorang yang telah diupacarakan dengan pembakaran jenazah, yang disebut
dengan Antyesti atau Mrtyusamskara dan penyucian roh yang disebut Pitrapinda
atau Sapindikarana”. Upacara ini pernah dilakukan pada masa Kerajaan
Majapahit, yaitu pada saat Prabu Hayam Wuruk melakukan upacara Sraddha
untuk neneknya yang berana Dyah Gayatri. Di Bali, upacara Sraddha sejenis juga
dilakukan yang disebut dengan Nuntun atau Ngelinggihang Dewa Hyang, atau
disebut juga dengan upacara Atmasiddhadewata.
Kedua, kata Sraddha dalam The Practical Sanskrit-English Dictionary
memiliki arti sebagai berikut.
1) Sraddha: kepercayaan, ketaatan, ajaran, keyakinan; kepercayaan kepada
Sabda Tuhan Yang Maha Esa, Keimanan Agama; Ketenangan jiwa, kesabaran
dalam pikiran; Akrab, intim, kekeluargaan; Hormat, menaruh penghargaan;
Kuat, penuh semangat; Kandungan Ibu yang berumur lama.
2) Sraddhalu: Kepercayaan penuh keimanan; Kerinduan, keinginan terhadap
sesuatu.
Dalam Bhagavadgita (XVII. 2-3) ditemukan ada tiga jenis Sraddha, yaitu
yang bersifat Sattvam, Rajas, dan Tamas, sesuai dengan sifat umum yang dimiliki
oleh manusia. Keyakinan tiap orang sangat tergantung pada sifat (watak)-nya,

137
sattvam, rajas, atau tamas. Manusia terbentuk oleh keyakinannya, dan keyakinan
itulah sesungguhnya dia (manusia yang bersangkutan).
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan tentang makna kata Sraddha,
tampak sangat sulit mencari padanannya dalam Bahasa Indonesia. Namun
demikian, sesuai dengan yang menjadi kajian pada bagian Brahmavidya, dapat
dikemukakan bahwa kata Sraddha yang dimaksudkan adalah sama dengan
”Keyakinan” atau ”Keimanan”.
Terkait dengan makna tersebut, dalam Bhagavadgita (III. 31 dan IV.39.40)
dikemumakan tentang Sraddha sebagai berikut.
”Mereka yang selalu mengikuti ajaran-Ku dengan penuh keyakinan
(Sraddha) serta bebas dari keinginan duniawi, juga akan bebas dari
keterikatan”
”Ia yang memiliki keimanan yang mantap (Sraddha) memperoleh ilmu
pengetahuan, menguasai panca indriya, setelah memiliki ilmu
pengetahuan dengan segera mencapai kedmaian yang suci. Tetapi
mereka yang dungu, yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, tidak
memiliki keimanan dan diliputi keragu-raguan, orang yang demikian ini
tidak memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di dunia lainnya”

Dalam Adnyana IV, Sloka 9, Sri Krisna juga mengatakan bahwa:


”Ia yang mengerti tentang kebenaran kelahiran-Ku dan memahami
tentang hakekat perbuatan, ketika ia meninggalkan badannya ia akan
dating kepada-Ku”

Interpretasi tentang makna Sraddha yang lebih dalam juga dijumpai dalam
Veda lainnya, seperti Rg Veda (terutama pada I.107; V.3, dan II.12.5) atau
Atharva Veda (terutama pada VI.122.3), yang pada intinya berarti ”Keyakinan,
Keperyacaan, atau Keimanan”.
Berdasarkan apa yang telah dimuat dalam pustaka-pustaka suci yang ada,
pada hakikatnya Sraddha dalam Agama Hindu tersebut kemudian dipilah menjadi
lima bagian, disebut Panca Sraddha (Panca = lima; Sraddha =
kepercayaan/keyakinan), yang meliputi:

1) Widhi Tatwa (Widhi Sraddha): Percaya dengan adanya Tuhan


Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Widdhi Sraddha) yang
dimaksud dalam hal ini juga kepercayaan terhadap berbagai manifestasi-Nya.
Tuhan adalah Ia yang kuasa atas segala yang ada. Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi
138
Wasa maha tunggal adanya dan tidak terjangkau oleh pikiran manusia, sehingga
orang membayangkan Beliau dengan berbagai wujud dan sebutan sesuai dengan
kemampuannya. Beliau dengan berbagai sebutan/gelar. Ia dipanggil Brahma
sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, Visnu sebagai pemelihara alam
beserta isinya, dan Siva sebagai pemralina alam beserta semua isinya, serta
banyak lagi yang lainnya. Tuhan maha tahu dan ada di mana-mana, sehingga tidak
ada yang dapat disembunyikan kepada Beliau.

Gambar V-04
Simbolisasi Tuhan dalam Bentuk Huruf dan Acintya

2) Atma Tatwa (Atma Sraddha): Percaya dengan adanya Atman.


Hidupnya hidup disebut dengan Atma, yaitu percikan kecil dari Parama
Atma yang tertinggi. Kepercayaan pada Atma yang menghidupkan semua mahluk
memberikan makna, bahwa jika Atma meninggalkan badan kasarnya maka
mereka akan mati, alat-alat tubuhnya akan hancur dan kembali ke asalnya (Panca
Maha Butha).
Atma yang menghidupkan badan disebut Jivatman, yang dapat
dipengaruhi oleh Karma sebagai hasil perbuatan di dunia. Hal tersebut
menyebabkan Atman tidak selalu dapat kembali kepada asalnya (Paratma Atma).
Jika Atma tidak menyatu dengan Paratma Atma maka dia akan kembali ke dunia
melalui proses kelahiran yang disebut Punarbawa.
Menurut ajaran dalam Agama Hindu, Jivatman orang yang meninggal
dapat naik menuju alam sorga atau turun dan jatuh menuju alam neraka. Hal ini
sangat tergantung pada baik buruknya perbuatannya selama di dunia (subha atau
asubha karma). Berdasarkan hukum Karmapala, orang-orang yang berbuat buruk
dalam kehidupannya di dunia akan jatuh ke neraka. Di nerakalah mereka akan
mendapatkan hukuman sesuai dengan keburukannya yang telah dialkukan di

139
dunia (Siksa Neraka). Namun, orang-orang yang selalu berbuat baik dan suci yang
tidak terikat lagi dengan ikatan dunia akan sampai ke alam nirvana, alam
kelepasan yang lebih dikenal dengan Sorga.

Gambar V-05
Ilustrasi Keberadaan Atma yang memberikan Hidup pada setiap Mahkluk

3) Karmapala Tatwa (Karmapala Sraddha)


Perbuatan pada hahikatnya merupakan energi yang dilepaskan. Menurut
hukum yang berlaku dalam ilmu alam, energi yang dilepas akan berusaha kembali
sesuai dengan kekuatan pelepasannya. Terkait dengan Karmapala, apapun yang
diperbuat oleh mahluk ciptaan Tuhan (termasuk Manusia) pasti akan membawa
akibat tidak saja pada orang lain dan lingkungan, namun juga pada dirinya sendiri.
Akibat tersebut dapat baik atau buruk tergantung pada perbuatan yang dilakukan.
Akibat yang baik dari hasil perbuatan yang baik akan memberikan kesenangan,
sedangkan akibat yang buruk dari hasil perbuatan yang buruk akan memberikan
kesusahan.
Berkenaan dengan itu, sebagai manusia yang dilengkapi dengan Manah
semestinya dalam hidupnya selalu berbuat baik, karena semua orang
menginginkan kesenangan dan hidup tentram, sehingga akibat yang diterimapun
menjadi baik. Buah dari perbuatan (Karma) ini disebut dengan Phala. Buah
perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan atau dinikmati. Tangan yang
menyentuh es seketika dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-
bulan untuk memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas, ada
yang nyata, ada yang dalam angan, dan ada yang abstrak. Bekas dari perbuatan
tersebut disebut dengan Karmavasana.

140
Dalam kitab Vrhaspati Tatva (3) dijelaskan tentang Karmapala sebagai
berikut.
”Wasana naranya ikan karma ginawe ning janma ihatra, ya ta bhinukti
phalanya rin janmanya muwah, yan ahala, yan ahayu, asin phalanya,
kadi anganin dyun wawadah in hingu, huwus hilan hingunya, ikan dyun
inasahan pinahalilan, kawkas, taya ambonya, gandhanya rumaket irikan
dyun. Ndan yatika wasana naraya samankana tekan wasana naranya,
yatika umuparenga irikan atma ya ta raga naranya, ikan wasana pwa
dumadyaken ikan raga, wa ta matanyan mahyu rin karma, harsa
salwirikan karma wasana, ikan wasana pwa ya duweg uparenga irikan
atma”

Terjemahan bebasnya:
”Vasana artinya semua perbuatan yang telah dilakukan di dunia ini,
orang akan menikmati akibat perbuatannya di ala mini, pada kelahiran
nanti, apakah akibat itu akibat yang baik atau buruk. Apa saja perbuatan
yang dilakukannya, pada akhirnya semua itu akan menghasilkan buah.
Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan, walaupun
kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih, namun
tetap saja masa ada bau kemenyannya yang melekat pada periuk itu.
Inilah yang disebut vasana. Seperti juga halnya dengan karma vasana, ia
ada di atma, ia melekat padanya, ia mewarnai atma.
Dengan demikian, melalui ajaran Karmapala semestinya mendorong kita
dalam keseharian untuk berbuat baik yang berlandaskan Dharma, karena
kebaikan itulah yang mengantarkan kita kepada kerahayuan.

Gambar V-06
Ilustrasi Buah Perbuatan (Karmaphala) Setelah Meninggal Sesuai
Perbuatan Waktu Masih Hidup di Dunia

4) Samsara Tatwa (Punarjanma Sraddha): Percaya adanya Punarbawa


Jiwa atau roh tidak selamanya di neraka atau di sorga, ia akan lahir lagi ke
dunia ini. Kelahirannya kembali ke dunia ini disebut Punarbawa (Punarjanma)
atau Samsara, lingkaran kelahiran. Bagaimana kelahirannya, tergantung pada
karmavasana-nya. Jika ia membawa karma yang baik, lahirlah ia menjadi orang
yang berbahagia, berbadan sehat, dan berhasil cita-citanya (Kerta Raharja),
sebaliknya jika ia membawa karma yang buruk, ia akan lahir menjadi orang yang

141
menderita. Kelahiran kembali adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Setiap
orang (jiwatman) tidaklah penghuni tetap di neraka atau sorga, maka dari itu
setiap orang harus berusaha meningkatkan dirinya menjadi Nirbanapadam atau
mencapai alam kelepasan atau moksa, sehingga tidak terikat kembali untuk lahir
ke dunia.

Gambar V-07
Ilustrasi Perjalanan Hidup Manusia dari Lahir Sampai Lahir Kembali

Terkait dengan Punarbawa, berikut ini dikemukakan 2 sloka (4 dan 6)


yang terdapat dalam Sarasamuscaya, yaitu:
”Iyam hi yonihprathama yonih jagatipate,
Atmanan sakyate tratum karmabhih subha laksanaih,
Apan ikan dadi wwan, uttama juga ya, nimitta nin mankana,
Wnan ya tumuhun awaknya sanken sansara, maka sadhanan
subhakarma,
Hinan in kottaman in dadi wwan ika”.

Terjemahan bebasnya:
”Menjelama menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama,
Mengapa demikian, karena dia dapat menolong dirinya dari samsara
dengan jalan berbuat baik,
Demikian keuntungan menjelma menjadi manusia”.

”Sopanabhutam svagasya manusyam prapya durlabham,


Tathatmanam samadayad dhvamseta na purnayatha paramarthanya,
Penpenen ta pwa katemwanikin si dadi wwan,
Durlabha wi ya ta, saksat handa nin mara rin swarga ika,
Sanimitta nin tan tiba muwah ta pwa damlakna”

Terjemahan bebasnya:
Pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjadi manusia,
Kesempatan yang sungguh sulit diperoleh,
Yang merupakan tangga untuk dating menuju sorga.
Segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya
dilaukan.
142
Dengan demikian jelas terlihat bahwa dalam Agama Hindu menekankan
bahwa perbuatan baik akan mengantarkan manusia pada kehidupan yang lebih
baik pada masa yang akan datang setelah dia mengalami peristiwa kematian, baik
pada saat kembali ke dunia maupun pada saat berada di alam atman.

5) Moksha Tatwa (Moksha Sraddha): Percaya adanya Moksa.


Moksha artinya kelepasan, yang dapat dicapai manusia jika dia mampu
terlepas dari ikatan duniawi. Moksha-lah yang menjadi tujuan akhir dari pemeluk
Agama Hindu. Orang yang telah mencapai moksa tidak dilahirkan kembali ke
dunia, karena tidak ada apapun yang mengingatnya lagi di dunia. Ia telah bersatu
dengan Parama Atma atau Atma yang tertinggi atau Sang Hyang Widhi Wasa.
Bila air sungai telah menyatu dengan air laut, maka air sungai akan kehilangan
identitasnya. Tidak ada perbedaan lagi antara air sungai dengan air laut. Demikian
juga halnya dengan Atman yang mencapai moksa. Atman telah bersatu dengan
Brahman atau Paramatma. Pada saat itulah dapat mengatakan Aham Brahma
Asmi yang artinya Aku adalah Brahma.

Gambar V-08
Ilustrasi untuk Menggambarkan Moksha (Menyatu dengan Sang Pencipta)

143
5.2.2 Bhakti
Sraddha dan Bhakti adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti
sisi mata uang yang selalu menjadi satu kesatuan yang utuh. Berkenaan dengan
itu, maka kepercayaan kepada Tuhan (Sraddha) tanpa diikuti dengan berbakti dan
penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bhakti), tidak akan pernah
mencapai kesempurnaan. Demikian juga sebaliknya, Bhakti tanpa Sraddha tidak
akan pernah mencapai kesempurnaan. Seorang Yogi akan mencapai
kesempurnaan bila Bhakti-nya dilandasi dengan Sraddha.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam sloka Bhagavadgita (VI.37 dan 47)
dikemukakan seperti berikut.

”Seseorang yang mampu mengontrol dirinya sendiri, walaupun ia


memiliki Sraddha, apabila pikirannya mengembara kemana-mana, jauh
dari yoga, apakah yang akhirnya akan diperoleh wahai Sri Krisna,
tentunya gagal mencapai kesempurnaan di dalam yoga”
”Di natara yogi, yang memuja Aku dengan penuh keyakinan yang
mantap, yang hatinya menyatu kepada Aku, inilah menurut-Ku yogi yang
paling sempurna”

Hal tersebut kembali ditegaskan dalam Bhagavadgita (VII.22), yang


mengemukakan bahwa, ”berpegang teguh pada keyakinannya itu, mereka
berbhakti melalui keyakinannya itu, dari padanya memperoleh apa yang
diharapkan mereka, yang sebenarnya akan terkabulkan oleh-Ku”.

Melalui apa yang telah dikemukakan tersebut, jelas dapat dipahami bahwa
sesungguhnya Sraddha dan Bhakti tersebut merupakan satu kesatuan yang
melahirkan kesempurnaan bagi pemeluk Tuhan. Sraddha saja tanpa Bhakti
tidaklah cukup, demikian juga Bhakti tanpa Sraddha adalah tidak mungkin.
Terkait dengan Bhakti itu sendiri, dari beberapa Mantram Veda yang
mengajarkan Bhakti, Maha Rsi Narada dalam kitab Narada Bhakti Sutra (1.2)
mengemukakan bahwa Bhakti itu sesungguhnya adalah Parama Prema atau
Parama Premarupa (Cinta kasih yang sejati, yang tertinggi). Kasih sejati
digambarkan sebagai kasih seorang ibu, bapak, sanak saudara, sahabat. Di dalam
Gurupuja, Tuhan Yang Maha Esa tidak saja digambarkan sebagai seorang ibu dan

144
bapak, tetapi juga sebagai keluarga dan sahabat, pemberi pengetahuan dan
kekayaan. Perhatikan Mantra Gurupuja Stotra 4 berikut.

”Twam eva mata ca pita tvam eva,


Twam eva bandhus ca sakha tvam eva,
Twam eva vidya dravinam tvam eva,
Twam eva sarvam mama deva-deva.”

Terjemahan bebasnya:
”Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya adalah ibu kami,
Bapak kami, sahabat kami, dan keluarga kami.
Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya pemberi pengetahuan,
dan engkau penganugrah kekayaan, Engkau adalah segalanya,
Ya Engkau adalah Dewata tertinggi dari seluruh Dewata”.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan tentang Bhakti, dapat dipahami


bahwa pada dasarnya pengertian Bhakti tersebut sangat dekat dengan pengertian
Yajjna, yaitu pengorbanan yang tulus dengan landasan kesucian hati dan
berseminya kasih sayang.

5.2.3 Pentingnya Bhakti


Bhakti menjadi sangat penting dilakukan oleh Umat Hindu mengingat
bahwa manusia itu dibelengu oleh enam hal seperti yang tertuang dalam
Bhagavadgita (XII.9), yaitu: (1) Janma-Mertyu: kelahiran-kematian; (2) Jara-
Vyadhi: Usia Tua-Penyakit; (3) Duhkha-Dosa: Duka-Dosa. Setiap orang yang
terlahirkan dan hidup tidak akan dapat melepaskan diri dari usia tua, penyakit,
duka, dosa, dan kematian. Kelahiran hidup pasti akan diakhiri dengan kematian.
Di dalam perjalanan kehidupan manusia akan selalu tumbuh dan pasti tidak akan
lepas dari usia tua. Sedangkan dalam menjalani kehidupan, penyakit pasti pernah
juga akan menjangkiti seseorang. Selain itu, dalam menjalani kehidupan rasa duka
pasti pernah dirasakan, sedangkan dosa adalah hal yang sangat manusiawi
dilakukan oleh manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, walaupu hanya
setitik dosa. Tan hana wong swasta anulus, tidak ada manusia yang sempurna,
dalam kehidupan manusia pasti pernah melakukan kesalahan walaupun tanpa
disengaja.

145
5.2.4 Empat Jenis Bentuk Bhakti Manusia kepada Tuhan
Manusia adalah mahluk yang diciptakan paling sempurna dibandingkan
dengan mahluk hidup lainnya. Namun demikian, manusia dalam kehidupannya
tidaklah sama, ada yang kehidupannya sengsara, ada yang senang menumpuk
kekayaan, ada yang senang mempelajari ilmu pengetahuan, dan ada juga manusia
yang memiliki keluhuran budi. Berkenaan dengan itu, maka dalam berbhakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa juga dijumpai adanya warna dari kehidupan
tersebut. Hal tersebut secara jelas dijumpai dalam Bhagavadgita (VII.16 – 17)
yang menyatakan adanya empat jenis manusia yang berbhakti kepada Tuhan Yang
Maha Esa, yaitu: (1) orang yang sengsara; (2) orang yang mengejar kekayaan; (3)
orang yang mengejar ilmu pengetahuan; dan (4) orang yang berbudi luhur.
Di antara keempat jenis manusia tersebut, jenis manusia yang paling mulia
adalah Manusia yang berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan keluhuran
budi, karena mereka ini dengan sepenuh hatinya menyerahkan dirinya kepada
Tuhan (Prapatti). Dalam hal ini, Bhakti mereka kepada Tuhan tidak dinodai oleh
keinginan lain selain berbhakti kepada Tuhan, jadi bukan karena mereka sengsara
baru ingin berbhakti, atau karena ingin kaya baru berbhakti, atau karena ingin
pintar baru berbhakti.
Berdasarkan pemaparan tentang Bhakti, maka dapat dikemukakan bahwa
pada dasarnya terdapat dua jenis/bentuk Bhakti, yaitu Para Bhakti dan Apara
Bhakti. Para Bhakti mengandung makna yang sama dengan Prapatti, yaitu
penyerahan diri secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Apara
Bhakti adalah bhakti yang disertai dengan berbagai permohonan. Terkait dengan
Apara Bhakti, terdapat beberapa permohonan yang masih dipandang wajar.
Permohonan yang wajar adalah permohonan yang memohon keselamatan atau
tumbuh kembangnya budi nurani (bhakti yang bersifat sattwam). Sedangkan
bhakti yang bersifat rajas dan tamas seperti bhakti yang memohon kekayaan dan
kekuasaan dipandang sebagai permohonan yang tidak wajar. Hanya sedikit
manusia di dunia ini yang melakukan jenis Para Bhakti. Fenomena bhakti yang
Apara Bhakti merupakan kecenderungan yang dominan dilakukan manusia

146
dewasa ini, bagaikan pengemis datang sembahyang dengan berbagai permintaan
duniawi kepada Tuhan Yang Maha Esa, terutama kekayaan dan jabatan.

5.2.5 Cara untuk Berbhakti


Untuk dapat berbakti kepada Tuhan secara tulus iklas, menurut kitab
Bhagavata Purana (VII. 52.23) terdapat 9 bentuk atau metode yang mendidik
manusia senantiasa Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan
Navavidhabhakti.
a. Sravanam: berbhakti dengan mempelajari keagungan Tuhan Yang Maha Esa
melalui membaca atau mendengarkan kitab-kitab suci.
b. Kirtanam: berbhakti dengan selalu mengucapkan/menyanyikan nama-nama
Tuhan Yang Maha Esa.
c. Smaranam: berbhakti dengan selalu mengingat nama Tuhan atau dengan
bermeditasi tentang Tuhan.
d. Padasevanam: berbhakti dengan cara memberikan pelayanan kepada Tuhan
Yang maha Esa, termasuk dalam hal ini adalah melayani, menolong berbagai
mahluk ciptaan-Nya.
e. Arcanam: berbhakti dengan jalan memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
f. Dasya: Berbhakti dengan jalan melayani Tuhan, dalam pengertian mau
melayani mereka yang membutuhkan pertolongan dengan penuh keiklasan dan
kasih sayang.
g. Sakya: berbhakti dengan memandang Tuhan Yang Maha Esa sebagai sahabat
sejati yang memberikan pertolongan ketika dalam bahaya.
h. Atmanivedanam: berbhakti dengan jalan menyerahkan diri secara total kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Memperhatikan apa yang dimaksud dalam Navavidhabhakti seperti


tersebut di atas maka untuk mendekati diri pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
wujud Sraddha dan Bhakti, dalam Agama Hindu terdapat fleksibelitas yang
memberikan peluang untuk menempuh jalan (Marga) yang dipandang sesuai
dengan pribadi masing-masing umat-Nya. Jalan atau Marga tersebut secara garis
besar dapat diklasifikasikan menjadi empat yang disebut dengan Catur Marga

147
meliputi, Bhakti Marga (jalan kebhaktian), Karma Marga (jalan perbuatan),
Jnana Marga (jalan pengetahuan/kerohanian), dan Yoga Marga (jalan
yoga/menghubungkan diri kepada Tuhan).

Gambar V-09
Ilustrasi Catur Marga Yoga
(Bhakti Marga; Karma Marga; Jnana Marga; dan Yoga Marga)

5.2.5.1 Bhakti Marga


Bhakti Marga Yoga adalah suatu proses atau cara mempersatukan atman
dengan Brahman atas dasar sujud bhakti yang tulus ikhlas, dan cinta kasih yang
mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sujud bhakti kepada Tuhan Yang
Maha Esa bisa diaplikasikan melalui pelaksanaan Tri Sandya, mempersembahkan
sesaji sesuai dengan kemampuan umat masing-masing.
Seorang yang melaksanakan ajaran Bhakti Marga Yoga disebut dengan
sebutan bhakta, adalah orang yang penuh cinta kasih secara tulus ikhlas kepada
Tuhan, alam semesta, dan semua ciptaan Tuhan. Dalam ajaran Catur Marga Yoga
sebagaimana telah dikemukakan, dari caranya mewujudkan ada dua tingkatan
bhakti, yaitu Para bhakti dan Apara bhakti.
Jika diuraikan , kata ’para’ artinya ’utama’. Jadi Para bhakti adalah
perwujudan rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang utama yang
biasa dipraktekkan oleh orang-orang yang pengetahuannya tinggi dan kesuciannya
sudah meningkat. Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan para bhakti antara lain
sedikit terlibat dalam ritual tetapi banyak mempelajari Tattwa Agama dan
kuat/berdisiplin dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama, sehingga dapat
mewujudkan Trikaya Parisudha dengan baik dimana Kayika (perbuatan), Wacika
(ucapan) dan Manacika (pikiran) selalu terkendali dan berada pada jalur dharma.

148
Bhakta yang seperti ini banyak melakukan Drwya Yadnya (berdana punia), Jnana
Yadnya (belajar-mengajar), dan Tapa Yadnya (pengendalian diri).
Kata ’apara’ artinya ’tidak utama’. Jadi Apara bhakti adalah perwujudan
rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak utama yang biasanya
dipraktekkan oleh orang-orang yang belum mempunyai tingkat kesucian yang
tinggi. Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak
terlibat dalam ritual (upacara Panca Yadjna) serta menggunakan berbagai simbol
(niyasa).
Implementasi Bhakti Marga Yoga dalam Kehidupan Hindu dapat
dikemukakan antara lain:
1) Pelaksanaan Tri Sandya dan Yadjna Sesa
Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti adalah dengan rajin
menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas melalui pelaksanaan Tri
Sandhya, yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari
serta melaksanakan yadjna sesa/ngejot setelah selesai memasak. Dalam
kehidupan sehari -hari sebagai upaya dalam mewujudkan rasa bhakti sekaligus
mendekatkan diri kehadapa-Nya hendaknya melaksanakan puja Tri Sandhya
tersebut dengan tulus dan iklas dan pikiran yang bersih.

2) Pelaksanaan Pada Hari-Hari Keagamaan


Implementasi Bhakti Marga Yoga juga dapat dilihat pada hari-hari keagaman
Hindu, seperti hari Saraswati, Tumpek Wariga, Tumpek Uye, dan Tumpek
yang lainnya. Hari Saraswati adalah hari turunnya ilmu pengetahuan dengan
memuja dewi yang dilambangkan sebagai ilmu pengetahuan, yaitu Dewi
saraswati. Hari Saraswati jatuh pada hari Saniscara Umanis Watugunung dan
diperingati setiap 210 hari. Pada hari ini semua pustaka terutama Weda dan
sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi
Saraswati untuk diberikan upacara.
Tumpek Wariga merupakan upacara untuk menghormati keberadaan tumbuh-
tumbuhan sebagai mahluk hidup didunia atau dikenal dengan istilah ”ngotonin
sarwa entik-entikan”. Tumpek Uye atau Tumpek Kandang upacara dalam
menghormati keberadaan hewan atau binatang yang hidup di dunia yang

149
sering dikenal dengan istilah ”ngotonin sarwa ubuh-ubuhan”.
Keduanya jatuh tepat setiap 210 hari dalam perhitungan Hindu.
Dalam konsep Tri Hita Karana penghormatan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atas pengadaan hewan (Tumpek Kandang) dan tumbuhan
(Tumpek Wariga) dilakukan dengan tulus dan iklas. Dengan kata lain
melaksanakan upacara Tumpek ini adalah realisasi dari konsep Tri Hita
Karana dalam kehidupan, yaitu menciptakan ’harmonisasi ekologi’. Jika
semua itu sudah kita lakukan dengan rasa tulus dan iklas berarti kita telah
melaksanakan ajaran Bhakti Marga Yoga.

5.2.5.2 Karma Marga


Kata ’karma’ artinya ’perbuatan’. Jadi Karma Marga Yoga adalah suatu
proses mempersatukan atman dengan Brahman melalui kerja atau perbuatan tanpa
ikatan, tanpa pamrih, tulus dan ikhlas, penuh dengan amal kebajikan dan
pengorbanan.

Dalam Bhagavadgita tentang Karma Yoga dinyatakan sebagai berikut:


Tasmad asaktah satatam karyam karma samacara, asakto hy acaran
karma param apnoti purusah.

Artinya ;
Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa
terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas
dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama.
Seorang yang melaksanakan ajaran Karma Marga Yoga disebut dengan
sebutan karmin adalah orang yang selalu bekerja tanpa pamrih,
mengutamakan pengabdian dan pengorbanan seperti dalam agama hindu
ada slogan mengatakan“rame ing gawe sepi ing pamrih” yang artinya
berbuat baik tanpa pernah berpikir mengharapkan suatu balasan.

Dalam ajaran Karma Marga Yoga, berdasarkan ikatan karma yang terdiri
dari dua bagian yaitu Karma Nirwitta dan Karma Prawritha. Karma Nirwitta
adalah perbuatan yang bebas dari harapan atau hasil. Sedangkan Karma
Prawritha adalah perbuatan/karma yang masih terikat oleh hasil atau imbalan.
Seorang ’karmin’ melaksanakan perbuatan yang tulus ikhlas akan menerima

150
pahala yang berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan
bahagia serta mencapai kesucian lahir bhatin.
Implementasi Karma Marga Yoga dalam Kehidupan Hindu dapat
dikemukakan antara lain:
1) Gotong Royong
Di Bali konsep gotong royong identik dengan ngayah dan matatulungan.
Ngayah bisa dilakukan di pura-pura dalam hal upacara keagamaan, seperti
odalan-odalan/karya. Sedangkan matatulungan ini bisa dilakukan terhadap
antar manuasia yang mengadakan upacara keagamaan pula, seperti upacara
pawiwahan, mecaru dan lain sebagainya. Sesuai dengan ajaran Karma Yoga,
hendaknya ngayah atau matatulungan ini dilakukan secara ikhlas tanpa ada
ikatan apapun, sehingga apa yang kita lakukan bisa memberikan suatu
manfaat.
2) Berbuat Baik
Berbuat baik atau dalam Bahasa Bali mekarma sane melah hendaknya selalu
dilakukan. Dalam Agama Hindu ada slogan mengatakan ”rame ing gawe sepi
ing pamrih” yang artinya berbuat baik tanpa pernah berpikir mengharapkan
suatu balasan. Selain slogan tersebut, dalam hidup bermasyarakat hendaknya
juga menerapkan slogan ”Tat Twam Asi” adalah salah satu dasar untuk ber-
Karma Baik. Engkau adalah Aku, Itu adalah Kamu juga. Suatu slogan yang
sangat sederhana untuk diucapkan, tapi memiliki arti yang sangat mendalam,
baik dalam arti pada kehidupan sosial umat dan juga sebagai diri
sendiri/individu yang memiliki pertanggungjawaban karma langsung kepada
Brahman, karena dalam setiap makhluk pasti ada Tuhan. Pada diriku ada
Tuhan, pada dirimu Juga ada Tuhan. Menghina orang lain berarti juga
menghina Tuhan.
3) Ajaran Karmapahala
Karmaphala merupakan hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan. Kita
percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik
dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi
seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian
pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya.

151
Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala
tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna
mencapai cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang
buruk. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk
neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat
adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka
hukuman nerakalah yang diterimanya.

5.2.5.3 Jnana Marga


Kata ’jnana’ artinya ’kebijaksanaan filsafat’ (pengetahuan). Jadi Jnana
Marga Yoga adalah suatu proses penyatuan atman dengan Brahman melalui ilmu
pengetahuan suci dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.
Seorang yang melaksanakan ajaran Jnana Marga Yoga disebut dengan sebutan
jnanin adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan suci untuk mencapai
kebenaran yang sempurna. Dengan ilmu pengetahuan suci orang akan sanggup
melepaskan diri dari ikatan karma.
Implementasi Jnana Marga Yoga dalam Kehidupan Hindu dapat
dikemukakan antara lain:

1) Ajaran Brahmacari
Brahmacari adalah mengenai masa menuntut ilmu dengan tulus ikhlas.
tugas pokok kita pada masa ini adalah belajar dan belajar. Belajar dalam arti luas,
yakni belajar dalam pengertian bukan hanya membaca buku. Tetapi lebih
mengacu pada ketulus iklasan dalam segala hal. Contohnya: rela dan iklas jika
dimarahi guru atau orang tua.

2) Ajaran Aguron-Guron
Merupakan suatu ajaran mengenai proses hubungan guru dan murid.
Namun istilah dan proses ini telah lama dilupakan karena sangat susah
mendapatkan guru yang mempunyai kualifikasi tertentu dan juga sangat sedikit
orang menaruh perhatian dan minat terhadap hal ini. Maka untuk memenuhi
kualifikasi tertentu, hendaknya seorang guru mencari sekolah yang mempunyai

152
kurikulum yang membawa kesadaran kita melambung tinggi melampaui batas-
batas senang dan sedih, bahagia dan derita, lahir dan mati.
3) Ajaran Catur Guru
Ajaran Catur Guru Bhakti senantiasa relevan sepanjang masa, sesuai
dengan sifat agama Hindu yang Sanatana Dharma . Aktualisasi ajaran Guru
Bhakti atau rasa bhakti kepada Catur Guru dapat dikembangkan dalam situasi
apapun, sebab hakekat dari ajaran ini adalah untuk pendidikan diri, utamanya
adalah pendidikan disiplin, patuh dan taat kepada sang Catur Guru dalam arti
yang seluas-luasnya

5.2.5.4 Raja Yoga Marga


Raja Marga Yoga adalah suatu proses penyatuan Atma dengan Brahman
melalui pengendalian diri, pengendalian pikiran dan pengekangan diri dengan
mendalami tapa, brata, yoga, dan semadhi. Tapa dan brata merupakan suatu
latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita ke arah
yang positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan
samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman dengan
melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
Seorang yogi akan dapat menghubungkan dirinya dengan kekuatan rohani
melalui Astanga Yoga, yaitu delapan tahapan yoga untuk mencapai moksha.
Astanga Yoga diajarkan oleh Maha Rsi Patanjali dalam bukunya yang
disebut Yoga Sutra Patanjali. Adapun bagian-bagian dari ajaran Astangga Yoga
yang dimaksud adalah sebagaimana dikemukakan berikut.
1) Yama
Merupakan suatu bentuk larangan yang harus dilakukan oleh seorang dari segi
jasmani. Misalnya, dilarang membunuh (Ahimsa), dilarang berbohong (Satya),
pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya (Asteya), pantang
melakukan hubungan seksual (Brahmacari) dan tidak menerima pemberian
dari orang lain (Aparigraha).
2) Nyama
Merupakan pengendalian diri yang lebih bersifat rohani. Misalnya, Sauca
(tetap suci lahir batin), Santosa (selalu puas dengan apa yang datang),

153
Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan) dan Iswara Pranidhana
(selalu bhakti kepada Tuhan).
3) Asana
Merupakan sikap duduk yang benar, teratur dan disiplin yang selalau
dilakukan setiap kesempatan.
4) Pranayama
Merupakan pengaturan napas, yang menghasilkan ketenangan dan
kemantapaan pikiran serta kesehatan yang baik dengan melalui tiga jalan yaitu
puraka (menarik nafas), kumbhaka (menahan nafas) dan recaka
(mengeluarkan nafas).
5) Pratyahara
Merupakan yaitu mengontrol dan mengendalikan indriya dari ikatan
obyeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.
6) Dharana
Merupakan konsentrasi pikiran pada suatu objek atau cakra dalam Istadevata
7) Dhyana
Merupakan pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu
obyek.
8) Samadhi
Merupakan penyatuan atman (sang diri sejati dengan Brahman). Bila
seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia
akan dapat menerima getaran-getaran suci dan wahyu Tuhan.

Implementasi Yoga Marga dalam Kehidupan Hindu dapat dikemukakan


antara lain:
1) Ajaran Astangga Yoga
Sebagaimana terlah dikemukakan, Astangga Yoga merupakan delapan
anggota dari Raja Yoga yang terdiri dari Yama, Niyama, Asana, Pranayama,
Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi adalah delapan anggota (anga)
dari Rajayoga, Ia akan membentuk disiplin etika yang memurnikan hati.
2) Catur Brata Penyepian

154
Hari Raya Nyepi sesuai dengan hakikatnya maka umat Hindu wajib
melakukan tapa, yoga, dan semadi. Brata tersebut didukung dengan Catur
Brata Nyepi sebagai berikut.
 Amati Agni, tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu,
 Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan
meningkatkan kegiatan menyucikan rohani,
 Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan mawas diri.
 Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan melainkan
melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widhi.

Mengenai Catur Marga Yoga, kelengkapannya akan dibahas lebih lanjut


dalam Bab VI pada saat mengkaji Catur Marga Yoga. Hal ini dilakukan karena
materi satu dengan lainnya saling berkaitan. Catur Marga Yoga pada bab ini lebih
ditekankan sebagai wujud Bhakti, sementara pada bab VI lebih ditekankan
sebagai jalan dalam menuju Tuhan.

155

Anda mungkin juga menyukai