BRAHMAVIDYA
120
menyebabkan berikut ini hanya dijabarkan tentang beberapa definisi tentang
Tuhan yang diambil dari beberapa sumber.
1) Kitab Rg Veda
Definisi tentang Tuhan dapat dujumpai dalam Rg Veda I. 164. 46 yang
menyebutkan: ”Ekam Sad Viprā Bahudhā Vadanti Agnim Yamam Mātarisvānam
Āhuh” yang secara bebas berarti ”Tuhan hanya satu, para arif bijaksana
menyebutkan-Nya dengan banyak nama, seperti Agni, Yama, Matarisva”. Definisi
tersebut secara tegas menyatakan bahwa Tuhan itu Satya dan Esa, namun
penyebutannya oleh para arif bijaksana menggunakan berbagai gelar sesuai
dengan kontektualnya secara fungsional.
Makna yang sama dengan ”Janmādyasya Yatah” juga dapat ditemukan
dalam Rg Veda X. 90.2 yang menyebutkan: ”Purusa Evedam Sarvam Yadbhutam
Yasca Bhavyam, Utamrtatvasesa No Yadannati Rohati” yang berarti ”Tuhan
sebagai wujud kesadaran yang Agung, merupakan asal dari segalanya yang telah
dan akan ada. Ia adalah raja di alam semesta ini yang hidup dan berkembang
dengan makanan-Nya”. Secara sederhana bait dalam Rg Veda tersebut
mengandung makna bahwa Tuhan Yang Maha Esa (Brahman) merupakan asal
mula dari segalanya.
121
penciptaan, karena melebur berarti menciptakan yang baru. Sementara kata
”Yatah” berarti dari mana.
3) Narayana Upanisad 2
Terdapat dua bait dalam Narayana Upanisad 2 yang kemudian menjadi
bait ke-2 dari mantram Tri-Sandya, yaitu ”Narayana evedam sarvam, Yad bhutam
yasca bhavyam, Niskalanko niranjano nirvikalpo, Nirakyatah sudhodevo eko,
Narayanan a dvityo ‘sti kascit”. Bait tersebut jika diterjemahkan secara bebas
berarti ”Tuhan Yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal dan kembali,
baik yang ada dan yang akan ada di alam raya ini. Hyang Widhi maha gaib,
mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, maha suci (tidak
ternoda), tidak terucapkan, tidak ada duanya. Makna yang terkandung dari bait
tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dari apa yang terdefinisikan tentang
Tuhan pada kitab-kitab suci yang telah dikemukakan sebelumnya, namun
tambahannya dalam bait ini adalah jabaran tentang ’ketidak terbatasan Beliau’.
122
Selain itu, pendefinisian tentang Tuhan seperti yang telah dikemukakan di
atas kemudian memunculkan berbagai gelar yang diberikan kepada Tuhan dengan
penamaan masing-masing. Penamaan terhadap Tuhan adalah semacam
pembatasan yang arbitratif dan relatif. Dalam hal ini, aspek penting dalam
mempelajari Ketuhanan adalah berusaha untuk mengenal atau mengetahui Tuhan.
Untuk mengenal dan mengetahui-Nya memerlukan nama, penggambaran tentang
sifat, hakikatnya atau apa saja yang dapat memberikan keterangan yang jelas
dalam membantu untuk menghayati Tuhan. Setiap kali menyebutkan Tuhan,
pikiran dipaksa untuk berfikir tentang Tuhan dalam segala kemampuan pikir
untuk mengenal-Nya, melihat secara mental, baik dengan bantuan kata-kata
maupun cara penggambaran abstrak lainnya yang lebih nyata.
Tuntutan pikiran seperti itu adalah wajar, karena pikiran itu sendiri adalah
satu wujud yang ada secara mental atau non fisik. Tentang keadaan Tuhan secara
mental juga belum cukup, hamba-Nya juga ingin menamakan wujud yang
dibayangkan secara mental dengan kata-kata atau suara. Hal tersebutlah yang
menimbulkan pemberian gelar atau penamaan akan hakikat yang dilihat secara
mental oleh manusia yang terbatas, termasuk kemudian menggambarkannya
dengan wujud nyata.
123
kepentingan manusia dalam memuja Tuhan, maka para Deva lebih dikonkritkan
lagi dalam bentuk simbol dua dimensi, yakni dimensi sakala dan niskala.
Berdasarkan alasan inilah para Deva sebagai manifestasi Tuhan dihadirkan
sebagai wujud Energi yang ada di balik bentuk-bentuk kosmis (Donder, 2007).
Secara theologis semua atribut kemahakuasaan Tuhan dilekatkan kepada seluruh
segmen-segmen alam. Metode teologis ini tidak dapat dikatakan sebagai tindakan
dosa karena ”mempersekutukan Tuhan dengan benda”. Stigma
”mempersekutukan” tidak ada dalam kamus theologi Saguna Brahma dan
pandangan Advaita. Berdasarkan alasan itulah, maka kemahakuasaan Tuhan
dimanifestasikan ke dalam segmen-segmen alam, di antaranya:
1) Deva Surya adalah manifestasi Tuhan yang ada di balik planet matahari,
2) Deva Soma (Chandra) manifestasi Tuhan di balik bulan,
3) Deva Vayu (Bayu) manifestasi Tuhan di balik udara,
4) Deva Agni manifestasi Tuhan di balik api,
5) Deva Marut manifestasi Tuhan di balik angin,
6) Deva Sangkara manifestasi Tuhan di balik pohon atau tumbuhan,
7) Deva Varuna manifestasi Tuhan di balik samudera,
8) Akasa merupakan manifestasi Tuhan sebagai Sang Ayah di balik angkasa, dan
9) Prthivi merupakan manifestasi Tuhan di balik planet bumi ini, dan Dewa-
dewa lainnya.
124
Brahman dibutuhkan. Istilah nirguna digunakan untuk memahami hakikat Tuhan
dalam keadaan hukumnya semula, yang dalam ilmu filsafat dikatakan sebagai
keadaan dalam alam transendental. Sesuatu yang transendental berarti berada di
luar dari lingkaran kemampuan pikir. Jika diibaratkan pikiran itu mempunyai
batas seperti lingkaran (mandala), segala yang ada di luar lingkaran dinamakan
dalam alam transendental. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan
yang Immanen. Jika mengibaratkan pikiran dengan sebuah lingkaran, berarti yang
Immanen ini adalah yang berada dalam lingkaran. Perhatikan gambar berikut.
Gambar V-01
Keadaan untuk Menggambarkan Transedental dan Immanen
125
Brahman), secara simbolis digambarkan dalam kitab Jnanasiddhanta ketika
menjelaskan aspek Utpathi-Sthti-Pralina dari Pranava (Ong-Kara), yaitu tentang
ajaran Sivatattva (Hakikat Tuhan) dalam alam nyata sampai pada alam sunya.
Perhatikan Gambar IV-02!
Gambar V-02
Gelombang Nada untuk menjelaskan Tranecedental dan Immanen
126
1) Penggambaran Anthrophomorphic.
Tuhan dalam hal ini digambarkan sebagai manusia dengan berbagai
kelebihannya, seperti bertangan seribu, berkaki tiga, bertangan empat, dan
sebagainya.
2) Penggambaran Semianthrophomorphic.
Tuhan dalam hal ini digambarkan sebagai setengah manusia atau setengah
binatang. Wujud-wujud Tuhan dalam wujud setengah manusia atau setengah
binatang lebih banyak dijumpai dalam Purana, seperti Deva Ganesha
(Manusia berkepala gajah), Hayagriwa (Manusia yang berkepala kuda), dan
sebaginya.
3) Penggambaran Unanthrophomorphic
Tuhan dalam hal ini digambarkan sebagai binatang saja, seperti Garutman
atau Garuda, sebagai tumbuh-tumbuhan (Soma), dan sebagainya.
127
Nirguna Brahman yang disebut juga sebagai Paramasiwa, dalam kitab
suci Veda mempunyai definisi sebagai berikut.
Apramaya, yaitu kemahakuasaan yang sulit dibayangkan melalui panca indra
karena beliau sangat halus dan sempurna.
Ananta, yaitu kemahakuasaan dilukiskan tiada terbatas, beliau ada di mana-
mana, dan beliau mampu merubah segala sesuatu yang diingini oleh-Nya.
Aupamya, yaitu kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi yang sangat sulit
mencari bandingannya. Karena semua makhluk yang ada di alam semesta
tidak ada menyamai kemahakuasaan-Nya.
Anamaya, yaitu yang Maha Suci. Beliau sangat mulia, tidak pernah menderita
suatu penyakit.
Maha Suksma, yaitu Maha Gaib yang sangat halus.
Sarwagata, yaitu Maha ada, Maha Besar meliputi seluruh jagad raya.
Dhruwa, yaitu sangat tenang, tiada bergerak, stabil namun Ia berada di mana
mana.
Awyayam, yaitu Maha sempurna, walaupun Ia mengisi seluruh alam raya
semesta, kesempurnaan beliau tiada berkurang.
Iswara, yaitu Raja alam semesta. Ia mengatur alam raya semesta, dan tiada
satupun kekuatan yang mampu mengatur beliau.
Swayambhu, yaitu Absolut dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena
Beliau ada dengan sendirinya
Artinya :
Isvara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat
diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada di mana-mana, kekal-
abadi, senantiasa langgeng, tak pernah berkurang.
129
yang mengadakan, tiada berawal dan tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada
terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan. Dalam Brahmasutra dinyatakan
bahwa Tuhan itu,
Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami
ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang
mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Kitab suci
Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang paling
diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha
Esa). Brahman sebagaimana dijelaskan dalam Veda memiliki 3 aspek, yaitu:
1) Sat: sebagai satu-satunya yang Maha Ada
Tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau. Dengan kekuatan-Nya
Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat
banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan
serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada
Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta
ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang
atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.
2) Cit: sebagai Maha Tahu
Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber
segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi
berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju
bentuk yang sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan)
menuju vidya atau maha tahu.
3) Ananda
Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka.
Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak
berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya
semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan
130
oleh materi bersumber pula pada Ananda, bedanya hanya dalam tingkatan.
Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan instingtif yang
dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan kegiatan sex.
Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat sementara yang
kemudian disusul dukha. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan pawali
duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap
benda-benda duniawi.
131
keramat ini adalah binatang mitos, di samping adanya binatang tertentu yang
terdapat di alam yang dianggap keramat.
4) Polytheisme: keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan. Wujud Tuhan
berbeda-beda sesuai dengan keyakinan manusia.
5) Natural Polytheisme: keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan sebagai
penguasa berbagai aspek alam, misalnya: Tuhan Matahari, Angin, Bulan, dan
sebagainya.
6) Henotheisme atau Kathenoisme: keyakinan terhadap adanya Deva yang
tertinggi yang pada suatu masa akan digantikan oleh Deva yang lain sebagai
Deva tertinggi. Hal ini dijumpai dalam Rg Veda, dimana pada suatu masa
Deva Agni menempati kedudukan tertinggi, tetapi pada masa berikutnya Deva
Agni digantikan oleh Deva Indra, Vayu, atau Surya.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pada kitab-kitab purana, Deva-
Deva tersebut di atas diambil alih fungsinya dan digantikan oleh Deva-Deva
Tri Murti. Deva Agni digantikan oleh Brahma, Indra-Vayu digantikan oleh
Wisnu, dan Surya digantikan oleh Civa.
7) Pantheisme: keyakinan bahwa dimana-mana serba Tuhan atau setiap aspek
alam digambarkan dikuasai oleh Tuhan, atau satu Tuhan untuk semua itu.
Tuhan dalam hal ini bersifat universal, satu Tuhan untuk semua.
8) Monotheisme: keyakinan terhadap adanya Tuhan yang satu (Tuhan Yang
Maha Esa). Keyakinan ini dibedakan menjadi,
a. Monotheisme Transcendent: Tuhan dalam hal ini dipandang berada jauh di
luar ciptaan-Nya. Tuhan Yang Maha Esa maha luhur, tidak terjangkau
oleh akal pikiran manusia.
b. Monotheisme Immanent: Tuhan dalam hal ini dipandang sebagai pencipta
alam semester dengan segala isinya, tetapi Tuhan tersebut berada di luar
dan sekaligus di dalam ciptaan-Nya. Hal tersebut dapat diibaratkan dengan
sebuah gelas yang penuh berisi air, kemudian sebagian air tumpah, tetapi
keadaan air di dalam gelas tidak berubah.
9) Monisme: keyakinan terhadap adanya keesaan Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan hakikat alam semesta. Esa dalam segala, segalanya berada dalam
Yang Esa. Sebuah kalimat dalam Brhadaranyaka Upanisad menyatakan,
132
”Srvam Khalvidam Brahman” yang artinya ’segalanya adalah Tuhan Yang
Maha Esa’.
”Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadhanti” artinya Tuhan hanya satu, tetapi
para resi bijaksana menyebut Beliau dengan banyak nama.
133
sifat-sifat yang mendekati Tuhan. Sifat-sifat Tuhan telah banyak disebutkan
dalam kitab suci. Sifat kemahakuasaan dari Tuhan dalam Weda disebutkan ada
empat yang disebut Çadu Sakti, yaitu:
1) Wibhu Sakti: Tuhan Maha Ada yang memenuhi dan meresapi seluruh
bhuana/dunia dan berada dimana-mana, tidak terpengaruh dan tidak berubah
("Wyapi Wyapaka Nir Wikara") dan tidak ada tempat yang kosong bagi
Beliau karena beliau memenuhi segalanya. Beliau ada di dalam dan di luar
ciptaan-Nya.
2) Prabhu Sakti: Tuhan Maha Kuasa yang menjadi raja dari segala raja (Raja
Diraja), yang menguasai segalanya baik dalam hal penciptaan (Utpetti),
pemeliharaan (Stiti), dan Pelebur (Prelina).
3) Jnana Sakti: Tuhan Maha Tahu yang mengetahui segala sesuatu yang terjadi
baik di alam nyata maupun tidak nyata, yang terjadi di masa
lampau(Atita), yang sedang terjadi (Nagata), ataupun yang akan terjadi
(Wartamana).
4) Krya Sakti: Tuhan Maha Karya yang setiap saat tidak pernah berhenti
melakukan aktifitas baik dalam penciptaan, pemeliharaan, pelebur,
pengawasan, penjagaan, sutradara dalam sandiwara kehidupan (demi
memberikan pembelajaran dan pengetahuan) dan segala aktifitas lainnya.
134
8) Yatrakamawasayitwa: Tidak ada yang dapat menentang kehendakNya.
135
antara nama Deva-Deva yang ada hanya tiga Deva sebagai manifestasi Tuhan
yang mempunyai sifat yang mendekati sama dengan Tuhan, yaitu Brahma, Wisnu
dan Çiwa, sehingga ketiganya dijadikan Deva tertinggi dalam agama Hindu yang
disebut di Indonesia disebut Tri Murti.
Gambar V-03
Tri Murti yang diilustrasikan Berbeda dengan Esensi yang Sama
Fungsi para Deva adalah untuk mengatur jalannya roda kehidupan baik
dalam penciptaan, perjalanan waktu, dan peleburan serta proses setelah kematian.
Beliau juga membantu makluk lainnya termasuk manusia untuk bisa mengerti
konsep ketuhanan dan mengatur tatatan hidup manusia, sehingga secara tidak
langsung adalah wakil dari Tuhan yang mengatur segala kehidupan sesuai dengan
tugas-Nya masing-masing dan juga sebagai penghubung antara Tuhan dengan
ciptaan-Nya. Dengan kata lain, apabila manusia melakukan persembahan kepada
salah satu Deva maka sama artinya mereka menyembah Tuhan dan Deva lainnya
karena mereka semua adalah satu tetapi berbeda karena fungsinya. Sama halnya
dengan manusia, dengan menjaga diri sendiri dan menghormati orang lain artinya
kita juga telah menjaga dan menghormati Tuhan, karena Tuhan juga bersemayam
dalam diri manusia.
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hindu tidak menganut
paham monotheisme, politeisme, atheisme, melainkan pantheisme yang bersifat
universal. Hal tersebut menyebabkan Hindu dapat menyatu dengan unsur daerah
dimanapun, tanpa adanya perselisihan, sehingga penyebaran agama Hindu tidak
pernah sekalipun dilakukan melalui kekerasan. Hindu tetap menyembah satu
Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hanya karena sifat
dan kemahakuasaan Beliau sangat sulit untuk bisa dipahami akal manusia yang
masih sangat terbatas, sehingga manusia cenderung untuk menyembah
menifestasinya dalam wujud Deva yang dapat diwujudkan lebih konkrit, yang
136
secara hakiki sebenarnya sama artinya dengan dengan menyembah Tuhan dengan
fungsinya masing-masing. Dalam hal ini konkrisitas Deva antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya bisa berbeda. Deva Çiwa di Bali diilustrasikan dengan
wujud yang berbeda dengan di India, demikian juga halnya dengan Deva-Deva
yang lain. Hal tersebut sangat tergantung pada kemampuan persepsi budaya yang
dimiliki oleh masyarakat di wilayah bersangkutan, namun esensi Deva sebagai
manifestasi Tuhan dengan fungsinya masing-masing umumnya tidak berbeda.
137
sattvam, rajas, atau tamas. Manusia terbentuk oleh keyakinannya, dan keyakinan
itulah sesungguhnya dia (manusia yang bersangkutan).
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan tentang makna kata Sraddha,
tampak sangat sulit mencari padanannya dalam Bahasa Indonesia. Namun
demikian, sesuai dengan yang menjadi kajian pada bagian Brahmavidya, dapat
dikemukakan bahwa kata Sraddha yang dimaksudkan adalah sama dengan
”Keyakinan” atau ”Keimanan”.
Terkait dengan makna tersebut, dalam Bhagavadgita (III. 31 dan IV.39.40)
dikemumakan tentang Sraddha sebagai berikut.
”Mereka yang selalu mengikuti ajaran-Ku dengan penuh keyakinan
(Sraddha) serta bebas dari keinginan duniawi, juga akan bebas dari
keterikatan”
”Ia yang memiliki keimanan yang mantap (Sraddha) memperoleh ilmu
pengetahuan, menguasai panca indriya, setelah memiliki ilmu
pengetahuan dengan segera mencapai kedmaian yang suci. Tetapi
mereka yang dungu, yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, tidak
memiliki keimanan dan diliputi keragu-raguan, orang yang demikian ini
tidak memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di dunia lainnya”
Interpretasi tentang makna Sraddha yang lebih dalam juga dijumpai dalam
Veda lainnya, seperti Rg Veda (terutama pada I.107; V.3, dan II.12.5) atau
Atharva Veda (terutama pada VI.122.3), yang pada intinya berarti ”Keyakinan,
Keperyacaan, atau Keimanan”.
Berdasarkan apa yang telah dimuat dalam pustaka-pustaka suci yang ada,
pada hakikatnya Sraddha dalam Agama Hindu tersebut kemudian dipilah menjadi
lima bagian, disebut Panca Sraddha (Panca = lima; Sraddha =
kepercayaan/keyakinan), yang meliputi:
Gambar V-04
Simbolisasi Tuhan dalam Bentuk Huruf dan Acintya
139
dunia (Siksa Neraka). Namun, orang-orang yang selalu berbuat baik dan suci yang
tidak terikat lagi dengan ikatan dunia akan sampai ke alam nirvana, alam
kelepasan yang lebih dikenal dengan Sorga.
Gambar V-05
Ilustrasi Keberadaan Atma yang memberikan Hidup pada setiap Mahkluk
140
Dalam kitab Vrhaspati Tatva (3) dijelaskan tentang Karmapala sebagai
berikut.
”Wasana naranya ikan karma ginawe ning janma ihatra, ya ta bhinukti
phalanya rin janmanya muwah, yan ahala, yan ahayu, asin phalanya,
kadi anganin dyun wawadah in hingu, huwus hilan hingunya, ikan dyun
inasahan pinahalilan, kawkas, taya ambonya, gandhanya rumaket irikan
dyun. Ndan yatika wasana naraya samankana tekan wasana naranya,
yatika umuparenga irikan atma ya ta raga naranya, ikan wasana pwa
dumadyaken ikan raga, wa ta matanyan mahyu rin karma, harsa
salwirikan karma wasana, ikan wasana pwa ya duweg uparenga irikan
atma”
Terjemahan bebasnya:
”Vasana artinya semua perbuatan yang telah dilakukan di dunia ini,
orang akan menikmati akibat perbuatannya di ala mini, pada kelahiran
nanti, apakah akibat itu akibat yang baik atau buruk. Apa saja perbuatan
yang dilakukannya, pada akhirnya semua itu akan menghasilkan buah.
Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan, walaupun
kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih, namun
tetap saja masa ada bau kemenyannya yang melekat pada periuk itu.
Inilah yang disebut vasana. Seperti juga halnya dengan karma vasana, ia
ada di atma, ia melekat padanya, ia mewarnai atma.
Dengan demikian, melalui ajaran Karmapala semestinya mendorong kita
dalam keseharian untuk berbuat baik yang berlandaskan Dharma, karena
kebaikan itulah yang mengantarkan kita kepada kerahayuan.
Gambar V-06
Ilustrasi Buah Perbuatan (Karmaphala) Setelah Meninggal Sesuai
Perbuatan Waktu Masih Hidup di Dunia
141
menderita. Kelahiran kembali adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Setiap
orang (jiwatman) tidaklah penghuni tetap di neraka atau sorga, maka dari itu
setiap orang harus berusaha meningkatkan dirinya menjadi Nirbanapadam atau
mencapai alam kelepasan atau moksa, sehingga tidak terikat kembali untuk lahir
ke dunia.
Gambar V-07
Ilustrasi Perjalanan Hidup Manusia dari Lahir Sampai Lahir Kembali
Terjemahan bebasnya:
”Menjelama menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama,
Mengapa demikian, karena dia dapat menolong dirinya dari samsara
dengan jalan berbuat baik,
Demikian keuntungan menjelma menjadi manusia”.
Terjemahan bebasnya:
Pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjadi manusia,
Kesempatan yang sungguh sulit diperoleh,
Yang merupakan tangga untuk dating menuju sorga.
Segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya
dilaukan.
142
Dengan demikian jelas terlihat bahwa dalam Agama Hindu menekankan
bahwa perbuatan baik akan mengantarkan manusia pada kehidupan yang lebih
baik pada masa yang akan datang setelah dia mengalami peristiwa kematian, baik
pada saat kembali ke dunia maupun pada saat berada di alam atman.
Gambar V-08
Ilustrasi untuk Menggambarkan Moksha (Menyatu dengan Sang Pencipta)
143
5.2.2 Bhakti
Sraddha dan Bhakti adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti
sisi mata uang yang selalu menjadi satu kesatuan yang utuh. Berkenaan dengan
itu, maka kepercayaan kepada Tuhan (Sraddha) tanpa diikuti dengan berbakti dan
penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bhakti), tidak akan pernah
mencapai kesempurnaan. Demikian juga sebaliknya, Bhakti tanpa Sraddha tidak
akan pernah mencapai kesempurnaan. Seorang Yogi akan mencapai
kesempurnaan bila Bhakti-nya dilandasi dengan Sraddha.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam sloka Bhagavadgita (VI.37 dan 47)
dikemukakan seperti berikut.
Melalui apa yang telah dikemukakan tersebut, jelas dapat dipahami bahwa
sesungguhnya Sraddha dan Bhakti tersebut merupakan satu kesatuan yang
melahirkan kesempurnaan bagi pemeluk Tuhan. Sraddha saja tanpa Bhakti
tidaklah cukup, demikian juga Bhakti tanpa Sraddha adalah tidak mungkin.
Terkait dengan Bhakti itu sendiri, dari beberapa Mantram Veda yang
mengajarkan Bhakti, Maha Rsi Narada dalam kitab Narada Bhakti Sutra (1.2)
mengemukakan bahwa Bhakti itu sesungguhnya adalah Parama Prema atau
Parama Premarupa (Cinta kasih yang sejati, yang tertinggi). Kasih sejati
digambarkan sebagai kasih seorang ibu, bapak, sanak saudara, sahabat. Di dalam
Gurupuja, Tuhan Yang Maha Esa tidak saja digambarkan sebagai seorang ibu dan
144
bapak, tetapi juga sebagai keluarga dan sahabat, pemberi pengetahuan dan
kekayaan. Perhatikan Mantra Gurupuja Stotra 4 berikut.
Terjemahan bebasnya:
”Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya adalah ibu kami,
Bapak kami, sahabat kami, dan keluarga kami.
Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya pemberi pengetahuan,
dan engkau penganugrah kekayaan, Engkau adalah segalanya,
Ya Engkau adalah Dewata tertinggi dari seluruh Dewata”.
145
5.2.4 Empat Jenis Bentuk Bhakti Manusia kepada Tuhan
Manusia adalah mahluk yang diciptakan paling sempurna dibandingkan
dengan mahluk hidup lainnya. Namun demikian, manusia dalam kehidupannya
tidaklah sama, ada yang kehidupannya sengsara, ada yang senang menumpuk
kekayaan, ada yang senang mempelajari ilmu pengetahuan, dan ada juga manusia
yang memiliki keluhuran budi. Berkenaan dengan itu, maka dalam berbhakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa juga dijumpai adanya warna dari kehidupan
tersebut. Hal tersebut secara jelas dijumpai dalam Bhagavadgita (VII.16 – 17)
yang menyatakan adanya empat jenis manusia yang berbhakti kepada Tuhan Yang
Maha Esa, yaitu: (1) orang yang sengsara; (2) orang yang mengejar kekayaan; (3)
orang yang mengejar ilmu pengetahuan; dan (4) orang yang berbudi luhur.
Di antara keempat jenis manusia tersebut, jenis manusia yang paling mulia
adalah Manusia yang berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan keluhuran
budi, karena mereka ini dengan sepenuh hatinya menyerahkan dirinya kepada
Tuhan (Prapatti). Dalam hal ini, Bhakti mereka kepada Tuhan tidak dinodai oleh
keinginan lain selain berbhakti kepada Tuhan, jadi bukan karena mereka sengsara
baru ingin berbhakti, atau karena ingin kaya baru berbhakti, atau karena ingin
pintar baru berbhakti.
Berdasarkan pemaparan tentang Bhakti, maka dapat dikemukakan bahwa
pada dasarnya terdapat dua jenis/bentuk Bhakti, yaitu Para Bhakti dan Apara
Bhakti. Para Bhakti mengandung makna yang sama dengan Prapatti, yaitu
penyerahan diri secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Apara
Bhakti adalah bhakti yang disertai dengan berbagai permohonan. Terkait dengan
Apara Bhakti, terdapat beberapa permohonan yang masih dipandang wajar.
Permohonan yang wajar adalah permohonan yang memohon keselamatan atau
tumbuh kembangnya budi nurani (bhakti yang bersifat sattwam). Sedangkan
bhakti yang bersifat rajas dan tamas seperti bhakti yang memohon kekayaan dan
kekuasaan dipandang sebagai permohonan yang tidak wajar. Hanya sedikit
manusia di dunia ini yang melakukan jenis Para Bhakti. Fenomena bhakti yang
Apara Bhakti merupakan kecenderungan yang dominan dilakukan manusia
146
dewasa ini, bagaikan pengemis datang sembahyang dengan berbagai permintaan
duniawi kepada Tuhan Yang Maha Esa, terutama kekayaan dan jabatan.
147
meliputi, Bhakti Marga (jalan kebhaktian), Karma Marga (jalan perbuatan),
Jnana Marga (jalan pengetahuan/kerohanian), dan Yoga Marga (jalan
yoga/menghubungkan diri kepada Tuhan).
Gambar V-09
Ilustrasi Catur Marga Yoga
(Bhakti Marga; Karma Marga; Jnana Marga; dan Yoga Marga)
148
Bhakta yang seperti ini banyak melakukan Drwya Yadnya (berdana punia), Jnana
Yadnya (belajar-mengajar), dan Tapa Yadnya (pengendalian diri).
Kata ’apara’ artinya ’tidak utama’. Jadi Apara bhakti adalah perwujudan
rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak utama yang biasanya
dipraktekkan oleh orang-orang yang belum mempunyai tingkat kesucian yang
tinggi. Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak
terlibat dalam ritual (upacara Panca Yadjna) serta menggunakan berbagai simbol
(niyasa).
Implementasi Bhakti Marga Yoga dalam Kehidupan Hindu dapat
dikemukakan antara lain:
1) Pelaksanaan Tri Sandya dan Yadjna Sesa
Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti adalah dengan rajin
menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas melalui pelaksanaan Tri
Sandhya, yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari
serta melaksanakan yadjna sesa/ngejot setelah selesai memasak. Dalam
kehidupan sehari -hari sebagai upaya dalam mewujudkan rasa bhakti sekaligus
mendekatkan diri kehadapa-Nya hendaknya melaksanakan puja Tri Sandhya
tersebut dengan tulus dan iklas dan pikiran yang bersih.
149
sering dikenal dengan istilah ”ngotonin sarwa ubuh-ubuhan”.
Keduanya jatuh tepat setiap 210 hari dalam perhitungan Hindu.
Dalam konsep Tri Hita Karana penghormatan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atas pengadaan hewan (Tumpek Kandang) dan tumbuhan
(Tumpek Wariga) dilakukan dengan tulus dan iklas. Dengan kata lain
melaksanakan upacara Tumpek ini adalah realisasi dari konsep Tri Hita
Karana dalam kehidupan, yaitu menciptakan ’harmonisasi ekologi’. Jika
semua itu sudah kita lakukan dengan rasa tulus dan iklas berarti kita telah
melaksanakan ajaran Bhakti Marga Yoga.
Artinya ;
Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa
terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas
dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama.
Seorang yang melaksanakan ajaran Karma Marga Yoga disebut dengan
sebutan karmin adalah orang yang selalu bekerja tanpa pamrih,
mengutamakan pengabdian dan pengorbanan seperti dalam agama hindu
ada slogan mengatakan“rame ing gawe sepi ing pamrih” yang artinya
berbuat baik tanpa pernah berpikir mengharapkan suatu balasan.
Dalam ajaran Karma Marga Yoga, berdasarkan ikatan karma yang terdiri
dari dua bagian yaitu Karma Nirwitta dan Karma Prawritha. Karma Nirwitta
adalah perbuatan yang bebas dari harapan atau hasil. Sedangkan Karma
Prawritha adalah perbuatan/karma yang masih terikat oleh hasil atau imbalan.
Seorang ’karmin’ melaksanakan perbuatan yang tulus ikhlas akan menerima
150
pahala yang berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan
bahagia serta mencapai kesucian lahir bhatin.
Implementasi Karma Marga Yoga dalam Kehidupan Hindu dapat
dikemukakan antara lain:
1) Gotong Royong
Di Bali konsep gotong royong identik dengan ngayah dan matatulungan.
Ngayah bisa dilakukan di pura-pura dalam hal upacara keagamaan, seperti
odalan-odalan/karya. Sedangkan matatulungan ini bisa dilakukan terhadap
antar manuasia yang mengadakan upacara keagamaan pula, seperti upacara
pawiwahan, mecaru dan lain sebagainya. Sesuai dengan ajaran Karma Yoga,
hendaknya ngayah atau matatulungan ini dilakukan secara ikhlas tanpa ada
ikatan apapun, sehingga apa yang kita lakukan bisa memberikan suatu
manfaat.
2) Berbuat Baik
Berbuat baik atau dalam Bahasa Bali mekarma sane melah hendaknya selalu
dilakukan. Dalam Agama Hindu ada slogan mengatakan ”rame ing gawe sepi
ing pamrih” yang artinya berbuat baik tanpa pernah berpikir mengharapkan
suatu balasan. Selain slogan tersebut, dalam hidup bermasyarakat hendaknya
juga menerapkan slogan ”Tat Twam Asi” adalah salah satu dasar untuk ber-
Karma Baik. Engkau adalah Aku, Itu adalah Kamu juga. Suatu slogan yang
sangat sederhana untuk diucapkan, tapi memiliki arti yang sangat mendalam,
baik dalam arti pada kehidupan sosial umat dan juga sebagai diri
sendiri/individu yang memiliki pertanggungjawaban karma langsung kepada
Brahman, karena dalam setiap makhluk pasti ada Tuhan. Pada diriku ada
Tuhan, pada dirimu Juga ada Tuhan. Menghina orang lain berarti juga
menghina Tuhan.
3) Ajaran Karmapahala
Karmaphala merupakan hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan. Kita
percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik
dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi
seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian
pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya.
151
Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala
tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna
mencapai cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang
buruk. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk
neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat
adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka
hukuman nerakalah yang diterimanya.
1) Ajaran Brahmacari
Brahmacari adalah mengenai masa menuntut ilmu dengan tulus ikhlas.
tugas pokok kita pada masa ini adalah belajar dan belajar. Belajar dalam arti luas,
yakni belajar dalam pengertian bukan hanya membaca buku. Tetapi lebih
mengacu pada ketulus iklasan dalam segala hal. Contohnya: rela dan iklas jika
dimarahi guru atau orang tua.
2) Ajaran Aguron-Guron
Merupakan suatu ajaran mengenai proses hubungan guru dan murid.
Namun istilah dan proses ini telah lama dilupakan karena sangat susah
mendapatkan guru yang mempunyai kualifikasi tertentu dan juga sangat sedikit
orang menaruh perhatian dan minat terhadap hal ini. Maka untuk memenuhi
kualifikasi tertentu, hendaknya seorang guru mencari sekolah yang mempunyai
152
kurikulum yang membawa kesadaran kita melambung tinggi melampaui batas-
batas senang dan sedih, bahagia dan derita, lahir dan mati.
3) Ajaran Catur Guru
Ajaran Catur Guru Bhakti senantiasa relevan sepanjang masa, sesuai
dengan sifat agama Hindu yang Sanatana Dharma . Aktualisasi ajaran Guru
Bhakti atau rasa bhakti kepada Catur Guru dapat dikembangkan dalam situasi
apapun, sebab hakekat dari ajaran ini adalah untuk pendidikan diri, utamanya
adalah pendidikan disiplin, patuh dan taat kepada sang Catur Guru dalam arti
yang seluas-luasnya
153
Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan) dan Iswara Pranidhana
(selalu bhakti kepada Tuhan).
3) Asana
Merupakan sikap duduk yang benar, teratur dan disiplin yang selalau
dilakukan setiap kesempatan.
4) Pranayama
Merupakan pengaturan napas, yang menghasilkan ketenangan dan
kemantapaan pikiran serta kesehatan yang baik dengan melalui tiga jalan yaitu
puraka (menarik nafas), kumbhaka (menahan nafas) dan recaka
(mengeluarkan nafas).
5) Pratyahara
Merupakan yaitu mengontrol dan mengendalikan indriya dari ikatan
obyeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.
6) Dharana
Merupakan konsentrasi pikiran pada suatu objek atau cakra dalam Istadevata
7) Dhyana
Merupakan pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu
obyek.
8) Samadhi
Merupakan penyatuan atman (sang diri sejati dengan Brahman). Bila
seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia
akan dapat menerima getaran-getaran suci dan wahyu Tuhan.
154
Hari Raya Nyepi sesuai dengan hakikatnya maka umat Hindu wajib
melakukan tapa, yoga, dan semadi. Brata tersebut didukung dengan Catur
Brata Nyepi sebagai berikut.
Amati Agni, tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu,
Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan
meningkatkan kegiatan menyucikan rohani,
Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan mawas diri.
Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan melainkan
melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widhi.
155