Dikatakan oleh Lyson bahwa individu adalah orang seorang, sesuatu yang merupakan
suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan
juga sebagai sebagai pribadi (Lysen, Individu dan Masyarakat: 4). Setiap anak manusia
yang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya telah memiliki potensi. Potensi yang dimaksud
menurut penulis seperti yang dikemukakan oleh Gardner. Ia menyatakan bahwa
manusia memiliki tujuh kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika
Penulis sangat setuju dengan dimensi keindividualan seperti yang telah diungkapkan di
atas. Memang benar bahwa tidak ada manusia yang identik dengan manusia lain di
atas permukaan bumi ini. Bahkan, anak yang terlahir kembar pun pada hakikatnya tidak
memiliki karakter yang persis sama. Dengan kata lain, masing-masing ingin
mempertahankan kekhasannya sendiri. Kekhasan yang dimaksud ini seperti kekhasan
dalam cita-cita, cara belajar, cara menghadapi dan menyelesaikan masalah, cara
berinteraksi dengan orang lain. Karena adanya kekhasan yang dimiliki oleh setiap
manusia ini, dalam proses pembelajaran kekhasan ini tentu harus diperhatikan oleh
peserta didik. Tenaga pendidik tidak dapat boleh memaksakan kehendaknya kepada
kepada subjek didik.
Setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi sosialitas. Artinya, mereka dikaruniai benih
kemungkinan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul ini, setiap orang
ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga penjara
merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh setiap manusia karena dengan
diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul itu secara mutlak.
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup hanya dengan berbuat
yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu terkandung kejahatan
terselubung. Oleh karena itu, pengertian susila berkembang sehingga memiliki
perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan
sering digunakan istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan
kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika
dan tidak bermoral, sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika
dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya
mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.
Dalam kenyataan hidup, ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran
dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Dalam
pelaksanaannya, keduanya harus dulaksanakan secara sinkron.
Kenyataan dalam pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa manusia dan hewan hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan
yang melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena
perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa
pendidikan, orang hutan, misalnya, dapat dijadikan manusia. Upaya manusia untuk
mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah ditemukan.
Charles Darwin dengan teori evolusinya telah berjuang untuk menemukan bahwa
manusia berasal dari kera, tetapi temuannya ini ternyata gagal. Ada misteri yang
dianggap menjembatani proses perubahan dari kera ke manusia yang tidak sanggup
diungkapkan yang disebut the missing link, yaitu suatu mata rantai yang putus. Ada
suatu proses antara yang tak dapat dijelaskan. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primata atau kera
melalui proses evolusi yang bersifat gradual.
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya
kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan itu,
manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas. Hal ini menyebabkan
manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan
dengan yang bukan aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya
membedakan. Lebih dari itu manusia dapat membuat jarak dengan lingkungannya, baik
yang berupa pribadi maupun nonpribadi. Kemampuan membuat jarak dengan
lingkungannya berarah ganda. Kedua arah yang terdapat dalam bagan di atas di
dalam pendidikan perlu untuk dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah
keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke
dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.
Yang lebih istimewa adalah manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak
dengan dirinya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa yang
menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk
menyempurnakan diri. Si aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai
subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat kelebihan-
kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada
saat demikian, seorang aku dapat berperan ganda yaitu sebagai subjek dan sekaligus
sebagai objek. Hal inilah yang disebut dengan pendidikan diri sendiri atau oleh
Langeveld disebut self forming.
4. Moral
Moral merupakan suatu perbuatan yang menyertai kata hati. Dengan kata lain, moral
adalah perbuatan itu sendiri. Kadangkala antara moral dan hati masih terdapat jarak.
Artinya, seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum tentu perbuatannya
itu merupakan realisasi dari kata hatinya sendiri. Berarti dalam hal ini diperlukan
kemauan untuk menjembatani jarak di antara keduanya. Yang dimaksud dengan
kemauan adalah kemauan yang sesuai dengan kodrat manusia. Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam adalah moral
yang benar-benar baik bagi manusia. Sebaliknya, moral yang yang tidak sinkron
dengan kata hati yang tajam disebut dengan moral yang buruk sehingga orang yang
melakukan moral yang buruk ini disebut orang yang tak bermoral. Moral disebut juga
dengan etika. Selain etika, juga terdapat kata yang pengertiannya sering disamakan
oleh orang, yaitu etiket. Sebenarnya, antara etika dan etiket tidakla sama. etika tidak
hanya berkaitan dengan perbuatan yang baik/benar, tetapi juga salah/buruk, sedangkan
etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Dengan demikian, berdasarkan
perbedaan pengertian antara etika dan etiket, dapat dikatakan bahwa orang yang
etiketnya tinggi (bersopan santun) bisa jadi moralnya rendah. Berkaitan dengan moral
ini, dalam suatu pembelajaran, peserta didik perlu diajarkan moral-moral-moral yang
baik. Jika ini tidak dilakukan, dunia pendidikan kita akan menghasilkan kaum intelektual
yang tak bermoral.
Tanggung jawab berarti keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai
dengan tuntutan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itu perbuatan itu dilakukan
sehingga sanksi apa pun yang dituntut oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-
norma agama diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini menjadi
jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi
maupun sebagai anggota masyarakat.
6. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini sebenarnya ada dua hal yang saling
bertentangan yaitu rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia”.
Meskipun antara rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” ini
bertentangan, tetapi sebenarnya saling berkaitan. Memang merdeka adalah rasa
bebas, tetapi kebebasan tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan kodrat manusia.
Orang tidak dapat berbuat bebas tanpa memperhatikan petunjuk dari kata hati. Jika hal
ini tetap dilakukan, kebebasannya itu disebut dengan kebebasan semu. Kebebasan
semu segera diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut
sesuatu, tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut.
Selanjutnya kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada
dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun hak tentang sesuatu
itu ada, belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak memperoleh perlindungan
hukum). Walaupun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya. Hak
sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban
dipandang sebagai beban. Sebenarnya kewajiban bukan beban, melainkan suatu
keniscayaan (Drijarkara, 1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya
manusia, kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu artinya ia
mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu dilaksanakan, hal
tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran. Adanya keluhuran dari melaksanakan
kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang
sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dsb.
Implementasi dari perbuatan ini adalah orang akan merasa dikhianati, kecewa, dan
akhirnya tumbuh sikap tidak percaya. Kewajiban bukanlah suatu ikatan, melainkan
suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan berarti apa yang diwajibkan menusia
menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerima. Namun, terhadap keniscayaan
itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia boleh memilih dengan
konsekuensi jika taat, akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika
melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia. Berarti realisasi hak dan
kewajiban ini sifatnya relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemenuhan hak
dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini
dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena
pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, hak asasi
manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi, atau harapan yang berfungsi untuk
memberi arah pada segenap usaha untuk menciptakan keadilan.
Usaha adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup
dengan menghadapi itulah realitas hidup. Oleh karena itu masalah hidup harus
dihadapi. Selanjutnya, usaha untuk mengatasi masalah hidup itu harus bertumpu pada
norma-norma yang berlaku dalam agama dan masyarakat. Artinya, jika masalah hidup
itu diatasi tanpa memperhatikan norma-norma, orang tersebut tentu tidak akan
mengalami hidup yang merdeka. Dengan demikian, jika orang tersebut tidak mengalami
hidup yang merdeka, tentu dapat dikatakan bahwa ia tidak bahagia. Setelah manusia
mengatasi masalah dengan norma-norma yang berlaku, hal terakhir yang dapat
dilakukannya adalah menerima takdir. Takdir merupakan rangkaian yang tak
terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan. Ia erat berkaitan dengan rangkaian
usaha. Berarti seseorang baru dapat dikatakan sudah takdirnya jika ia telah melalui dua
rangkaian yang disebutkan tadi, yaitu usaha dan norma. Salah jika ada orang yang
menempatkan takdir lebih dahulu daripada usaha. Memang sakit adalah takdir, tapi jika
orang tidak berusaha untuk mengatasi sakit tersebut, tentu kemungkinan besar sakitnya
tidak akan sembuh.
Berkaitan dengan wujud sifat hakikat manusia ini, sebenarnya menurut penulis masih
ada wujud sifat hakikat manusia yang lain yang tak dapat diabaikan, yaitu kemampuan
berbahasa. Hal ini pula yang membedakan antara manusia dan hewan (Hidayat, 2006:
24). Artinya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa, sedangkan
hewan tidak. Akan tetapi, pernyataan ini janganlah disamakan dengan ungkapan yang
sering muncul dalam masyarakat, yaitu bahasa binatang. Sebenarnya yang dimaksud
dengan manusia berbahasa, sedangkan hewan tidak adalah bahwa hewan tidak
memiliki karakteristik kebahasaan seperti yang dimiliki oleh manusia. Karakteristik
kebahasaan yang dimaksud, seperti unik, arbitrer, sistematis dan sistemis, simbol,
menggunakan kriteria pragmatik, berkaitan dengan bunyi-bunyi segmental,
mengandung kriteria semantis atau fungsi semantik tertentu, terbatas dan relatif tetap.
Pengertian sosok manusia Indonesia seutuhnya ini adalah perpaduan antara aspek
jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan,
keberagamaan, antara aspek kognitif, afektif, psikomotor (Tirta Raharja dan Sulo,
2006:25). Pengertian tentang sosok manusia Indonesia seutuhnya ini tampaknya
sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003:7).
Kesimpulan
Manusia sangat jelas berbeda dengan hewan. Hal ini dapat dilihat melalui wujud sifat
hakikat manusia, yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi,
kepemilikan kata hati, moral, tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan hak,
kemampuan menghayati kebahagiaan, kemampuan berbahasa. Ditilik dari segi lain,
manusia ternyata memiliki dimensi-dimensi yang meliputi dimensi individual, sosial,
susila, dan agama. Dalam suatu proses pembelajaran, baik wujud sifat hakikat manusia
maupun dimensi-dimensi manusia yang telah dimiliki oleh setiap peserta didik perlu
dikembangkan. Tujuannya tentu saja agar mereka lebih tahu eksistensi mereka di atas
permukaan bumi ini dan agar mereka lebih tahu bahwa mereka adalah makhluk ciptaan
Allah yang pada hakikatnya berbeda dengan makhluk yang lain sehingga akan terlahir
manusia Indonesia seutuhnya seperti yang diinginkan masyarakat, bangsa, dan agama.
Daftar Bacaan Campbel, dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligences. Depok: Intuisi Press. Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa:
Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: Rosdakarya. Tirtaraharja,
Umar dan L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, 2003.
Filosofis berarti berdasarkan pengetahuan dan penyelidian dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hokum, termasuk termasuk teori yang
mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan (berintikan logika, estetika, metafisika,
epistemology dan falsafah)
Untuk mendapatkan landasan pendidikan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang
bersifat mendasar, sistematis dan Universal tentang ciri hakiki manusia
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sasaran pendidikan adalah manusia, oleh karena itu seorang pendidik haruslah
memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Manusia adalah
mahluk Tuhan yang paling sempurna yang memiliki ciri khas yang secara prinsipiil
bereda dari hewan.
Ciri khas manusia yang membedakan dengan hewan ialah hakikat manusia. Disebut
hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki manusia dan tidak
dimiliki hewan.
Dengan pemahaman yang jelas tentang hakikat manusia maka seorang pendidik
diharapan dapat membuat peta karakteristik manusia, sebagai acuan baginya dalam
bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik.
B. BATASAN MASALAH
C. RUMUSAN MASALAH
D. TUJUAN
1. Untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah pengantar pendidikan
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 12
2. Untuk mengenal lenih dalam tentang sifat hakikat manusia
3. Untuk memhami dimensi-dimensi hakikat manusia
4. Untuk memahami bagaimana pengembangan dimensi hakikat manusia
5. Untuk mengenal sosok manusia seutuhnya
BAB 2
A. PENGERTIAN HAKEKAT
Hakekat itu artinya dasar, pada hakekatnya manusia itu berpendidikan, jika seorang
manusia itu tidak berpendidikan berarti ia buka seorang manusia.
B. PENGERTIAN PENGEMBANGAN
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi
bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia
dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Beberapa
filosof seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang
bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier
(hewan yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah.
PEMBAHASAN
Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya
kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Manusia menyadari bahwa
dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia
dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku
(lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu
manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya, baik berupa pribadi
maupun nonpribadi/benda.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar
dan ke dalam.
Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek,
selanjutnya aku memanipulasi ke dalam lingkunganu memenuhi kebutuhan aku.
Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme.
Dengan arah ke dalam, aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia
mereka) sebagai subjek yang berhadapan dengan aku sebagai objek, yang isinya
adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain
aku keluar dari dirinya dan menempatkan aku pada diri orang lain. Di dalam proses
pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang.
Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan
pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.
Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak
(distansi) diri dengan akunya sendiri.
2) KEMAMPUAN BEREKSISTENSI
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk
hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah pengertian yang ikut serta
atau pengertian yang mengikut perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang menyertai
tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya. Jadi pelita hati atau
hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia
yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia.
Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan
tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah ataupun kemampuan dalam mengambil
keputusan tersebut hanya dari sudut pandangan tertentu (misalnya sudut kepentingan
diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi, kriteria baik/benar dan
buruk/salah harus dikaitkan dengan baik/benar dan buruk/salah bagi manusia sebagai
manusia. Drijarkara menyebutnya dengan baik yang integral.
Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan mampu
membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai
manusia disebut tajam kata hatinya.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang
yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan
dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan’. Usaha
untuk mengubah kata hati (gewetan ferming).
4) MORAL
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka
yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu
sendiri.
Disini tampak bahwa masih ad jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang
yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan
realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya
masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang
memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat). Itulah
sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan,yang oleh
M. J. Langevied dinamakan de opvoedeling omzichzelfswil.
Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan
yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikamanusiaan atau yang jahat, maka
etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian erat
dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai,
maka sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
5) TANGGUNG JAWAB
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung
jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab
kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri
sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang
mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan
norma-norma sosial. Bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan
masyarakat, hukuman penjara dan lain-lain. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti
menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa dan terkutuk.
Disini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung jawab.
Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan
kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan.
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk
menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu ‘rasa bebas’ dan ‘sesuai dengan tuntutan kodrat manusia’ yang
berarti ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenanrya memang berlangsung dalam keterikatan.
Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan berbuat bebas
tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabibuta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati,
sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu. Sebab hanya kelihatannya bebas,
tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu segera disusul
dengan sanksi-sanksinya. Di sini terlihat bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan
kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa merdeka apabila segenap
perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya yaitu
kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Implikasi pedagogisnya adalah
sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik dibiasakan
menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan ke dalam dirinya, sehingga dirasakan
sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai
sesuatu yang merintangi gerak hidupnya.
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dan
manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain.
Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesutu
maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Sebaliknya
kewajiban ada oleh karena ada pihak yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak
itu adalah sesuatu yang masih kosong. Sedangkan kewajiban dipandang sebagi
sesuatu beban. Ternyata bukan beban melainkan keniscayan artinya, selama
seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia,maka
kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika mengelakkannya maka ia
berarti mengingkari kemanusiannya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial). Karena
itu seseorang yang semakin menyatu dengan kewajiban, nilai, maka martabat
kemanusiaannya semakin tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain, melaksanakan
kewajiban itu adalah suatu keluhuran.
Wajib bukanlah ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Karena wajib adalah
keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia menjadi tidak merdeka.
Mau atau tidak harus menerimanya. Tetapi terhadap keniscayaan itu sendiri manusia
bisa taat dan bisa juga melanggar.
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan.
Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak
sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban
dibatasi oleh situasi dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat dipenuhi dan tidak
segenap kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan.
Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan
sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa
wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan
disiplin.
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan
hidup yang disebut kebahagiaan ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak
sulit untuk dirasakan. Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami
rasa bahagia.
1. DIMENSI KEINDIVIDUALAN
Lysen mengartikan individu sebagai “ orang seorang ”, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). (Lysen, individu dan masyarakat:4)
Manusia sebagai makhluk individu mempunyai jiwa dan raga yang dalam
perkembangannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua unsur itu merupakan
monodualis, yang selalu berkembang kearah yang lebih baik dan lebih sempurna.
Dalam memberikan pendidikan kepada individu hendaklah para pendidik
memperhatikan perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Setiap anak manusia
yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau
menjadi dirinya sendiri. Seorang pakar pendidikan tersohor ditanah belanda, M.J.
Langeveld bahwa setiap orang memiliki individualitas. (M.J. Langeveld, 1955:54)
Pada abad ke-18 dan 19 aliran Rasionalisme masuk ke sekolah. Aliran ini berpendapat
“hendaklah para peserta didik disuruh menghafal sebanyak-banyaknya”. Dengan kata
lain, pengetahuan memberikan kepuasan dan kebehagian hidup, dengan semboyan
knowledge is power. Pendidikan yang diberikan kepada peserta didik hendaklah
seimbang antara aspek Kognitif, aspek afektif, aspek psikomotorik,
Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk mendorong
bertumbuh dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud. Pola
pendidikan yang bersifat otoriter serta patologis yang akan menghambat pendidikan.
Tugas pendidik hanya menunjukkan jalan dan mendorong subyek didik bagaimana cara
memperoleh sesuatu dalam mengembangkan diri dengan berpedoman pada prinsip “
ing ngarso sungtulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Tujuan utama
pendidikan adalah membantu peserta didik membentuk kepribadiannya, atau
menemukan kediriannya sendiri
2. DIMENSI KESOSIALAN
Menurut M.J. Langeveld (1955) sifat hakikat manusia adalah makhluk social,
individualitas, dan moralitas. Sifat sosialitas menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan
manusia yang sewajarnya atau menjadi dasar dan tujuan setiap anak dan
3. DIMENSI KESUSILAAN
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas
jika didalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung.
Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti
menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah
yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan)
dan etika (persoalan kebaikan). Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang
lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan
sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan,
sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidak senangangan orang lain.
Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila,
serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai,
menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai
merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna
kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan
pedoman dalam hidup. Dilihat asal dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga
macam, yaitu nilai otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut pendapat
seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif (kebaikan menurut kelompok), dan
nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan).
4. DIMENSI KEAGAMAAN
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas
jika didalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung.
Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti
menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah
yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan)
dan etika (persoalan kebaikan). Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor,
yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas
pendidikan yang disediakan untuk memberi pelayanan atas perkembangannya.
Selanjutnya pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai segi yaitu : wujud
dimensi dan arahnya.
Sosok manusia seutuhnya berarti bahwa pembangunn itu tidak hanya mengejar
kemajuan lahiriah, seperti sandang, pangan, kesehatan, ataupun kepuasan batiniah
seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengelurkan pendapat yang bertanggung jawab
melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan diantara keduanya sekaligus
batiniah.selanjutnya juga diartikan bahwa pembanguinan itu merata diseluiruh tanah air
bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan
keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya , antara sesama manusia, antara
manusia dengan lingkungan sekitarnya, keselerasian antar bangsa-bangsa dan juga
keselarasan antara cita-cita hidup didunia dengan kebahagiaan di akhirat.
b. Psikologi Praktis
1). Psikodiagnostik
2). Psikologi Klinis dan Bimbingan Psikologis
3). Psikologi Perusahaan
4). Psikologi Pendidikan
a. Menurut Aristoteles
1). 0,0-7,0 : masa anak kecil
2). 7,0-14,0 : masa anak
3). 14,0-21,0 : masa remaja
b. Menurut Mantessori
1). 0,0-7,0 : periode penemuan dan pengaturan dunia luar.
2). 7,0-12,0 : periode rencana abstrak
3). 12,0-18,0 : periode penemuan diri dan kepekaan sosial
4). 18,0- : periode pendidikan tinggi
c. Menurut Comenius
1). 0,0-6,0 : scola matema
2). 6,0-12,0 : scolavernatulata
3). 12,0-18,0 : scola latina
4). 18,0-24,0 : acodemia
2). eksogen :
c. instrumental (kurikulum, program, laboratorium)
d. lingkungan (sosial dan non sosial)
Pusat berlangsungnya pendidikan adalah :
a. Keluarga.
b. Sekolah.
c. Masyarakat.
Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat manusia akan membentuk peta tentang
karateristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberikan acuan baginya dalam
bersikap, menyusun strategi, metode, dan tehnik, serta memilih pendekatan dan orentasidalam
merancangdan melaksanakan komunikasitransaksionaldi dalam transaksi edukatif. Peta ini juga
akan menjadi landasan karena adanya perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat
dewasa ini, lebih-lebih pada masa mendatang.
Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal
ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah soal sekedar praktek melainkan
praktek yang berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri
sifatnya filosofis normatife. Filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh
diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang hakikat
manusia.
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adnya
kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya
memiliki cirri khas atau karateristik.
B.Kemampuan bereksistensi
C.Kata hati
Kata hati atau conscieice of Man juga serung disebut dengan istilah hati nurani, lubuk
hati, pelita hati, dan sebagainya. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang ap yang
akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya. Bahkan mengerti juga akibatnya baik atau buruk
bagi manusia sebagai manusia.
D.Moral
Jika kata hati dikatakan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka
yang dimaksud dengan moral adlah perbuatan itu sendiri. Di sini masih tampak bahwa masih
ada jarak antar kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang
tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk
menjembatanijarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu
kemauan.
E.Tanggung jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab ada
bermacam-macam, ada bertanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, dan kepada Tuhan.
F.Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas tidak merasa terikat oleh sesuatu tetapi sesuai denagn
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada
ikatan.
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai mahluk sosial.Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak
untuk menuntut sesuatu maka tentu ada kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu yang
pada saat itu belum di penuhi. Dalam relitas hidup sehari-hari umumnya hak diasosiasikan
dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban di pndang sebagai sesuatu beban.
Benarkah kewajiban menjadi beban bagi manusia ?. ternyata bukan beban melainkan suatu
keniscayaan. Artunya selama orang itu menyebut diriny manusia dan mau dipandang sebagai
manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya.
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Ambillah missal
tentang sebutan senang, gembira, baahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu.
Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedangmengalami rasa senang
atau gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan. Maka kita bisa menyimpulkan bahwa
kebahagiaan itu rupanya tdk terletak pada keadaannya sendiri secara factual atuapun pada
rangkaian prosesnya tetapi terletak pada kesanggupannya menghayati semua itu dengan
keheningan jiwa, dan menundukan suatu hal di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu :
usah, norma-norma dan takdir. Usaha adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi
masalah hidup. Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu ada norma-norma dan kaidah-
PENGEMBANGAN MANUSIA
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi
di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi manusia yang terabaikan untuk
ditangani. Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang
pincang dan tdk mantap, dan yang semacam ini disebut pengembangan patologis.
A. Manusia berpendidikan
Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu ?. Dari persepsi kita mengenai konsep
manusia,marilah kita lihat beberapa rumusan tujuan pendidikan dari berbagai pakar.
3. Bagi seoranga pakar yang religious seperti Jasques Maritain berpendapat bahwa
pengertian mengenai hakikat manusia akan melahirkan pengertian mangenai tujuan
pendidikan. Dan selanjutnya tujuan pendidikan itu akan mengarahkan kemampuan-
kemampuan di dalam diri peserta didik yang harus dikembangkan.
B. Manusia Berbudaya
PENDIDIKAN INDONESIA
2. Rumusan M.Safei
Sifat-sifat yang perlu dimiliki peserta didik tersebut ialah untuk menyiapkan
peserta didik memperoleh dua surge yaitu surge di dunia dan surge di akhirat.
Apabila kita simak konsep pemikiran kedua tokoh peletak dasar pendidikan
nasional, maka keduanya memiliki berbagai persamaan yang mendasar. Yang pertama
ialah tujuan pendidikan bukanlah semata-mata untuk mengembangkan kemampuan
Setelah kita jajagi berbagai konsep yang pernah hidup di dalam dunia pendidikan
nasional, maka dapat kita rumuskan bahwa manusia Indonesia yang berpendidikan adalah
sekaligus manusia yang berbudaya. Oleh sebab itu praksis pendidikan nasional haruslah
memenuhi berbagai criteria sebagai berikut :
Dari pengertian tersebut di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa
masyarakat itu kelompok yang terorganisasi dan masyarakat itu suatu kelompok yang
berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok yang lain. Oleh karena
itu orang yang berjalan bersama-sama atau duduk bersama-sama yang tidak
terorganisasi bukanlah masyarakat. Kelompok yang tidak berpikir tentang kelompoknya
sebagai suatu kelompok bukanlah masyarakat. Oleh karena itu kelompok burung yang
terbang bersama dan semut yang berbaris rapi bukanlah masyarakat dalam arti yang
sebenarnya sebab mereka berkelompok hanya berdasarkan naluri saja
Znaniecki menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang meliputi unit
biofisik para individu yang bertempat tinggal pada suatu daerah geografis tertentu
selama periiode waktu tertentu dari suatu generasi. Dalam sosiology suatu masyarakat
Jika kita bandingkan dua pendapat tersebut di atas tampak bahwa pendapat Znaniecki
tersebut memunculkan unsur baru dalam pengertian masyarakat yaitu masyarakat itu
suatu kelompok yang telah bertempat tinggal pada suatu daerah tertentu dalam
lingkungan geografis tertentu dan kelompok itu merupakan suatu sistem biofisik. Oleh
karena itu masyarakat bukanlah kelompok yang berkumpul secara mekanis akan tetapi
berkumpul secara sistemik. Manusia yang satu dengan yang lain saling memberi,
manusia dengan lingkungannya selain menerima dan saling memberi. Konsep ini
dipengaruhi oleh konsep pandangan ekologis terhadap satwa sekalian alam.
Parson menjelaskan bahwa suatu sistem sosial di mana semua fungsi prasyarat yang
bersumber dan dalam dirinya sendiri bertemu secara ajeg (tetap) disebut masyarakat.
Sistem sosial terdiri dari pluralitas prilaku-pnilaku perseorangan yang berinteraksi satu
sama lain dalam suatu lingkungan fsik. Jika masing masing individu ini berinteraksi
dalam waktu yang lama dari generasi ke generasi dan terjadi pada proses sosialisasi
pada generasi tersebut maka aspek ini akan menjadi aspek yang penting dalam sistem
sosial. Dalam berintegrasi dan bersosialisasi ini kelompok tersebut mempergunakan
kerangka acuan pendidikan.
Pendapat tersebut di atas tidak berbeda dengan pendapat Liton yang dikutip oleh Indan
Encang (1982, p.14) yang menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok
manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat
mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial
dengan batas-batas tartentu.
Dalam ilmu sosial individu merupakan bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang
tidak dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Umpama keluarga sebagai
kelompok sosial yang terkecil terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah merupakan individu
yang sudah tidak dapat dibagi lagi, demikian pula Ibu. Anak masih dapat dibagi sebab
dalam suatu keluarga jumlah anak dapat lebih dari satu.
Hubungan antara individu dan masyarakat telah lama dibicarakan orang. Soeyono
Soekanto (1981, p.4) menyatakan bahwa sejak Plato pada zaman Yunani Kuno telah
ditelaah tentang hubungan individu dengan masyarakat. K. J. Veerger (1986, p. 10)
lebih lanjut menjelaskah bahwa pembahasan tentang hubung individu dan masyarakat
telah dibahas sejak Socrates guru Plato.
Hubungan antara individu dan masyarakat telah.banyak disoroti oleh para ahli baik para
filsuf maupun para ilmuan sosial. Berbagai pandangan itu pada dasarnya dapat
dikelompokkan kedalam tiga pendapat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa (1)
masyarakat yang menentukan individu, (2) individu yang menentuk masyarakat, dan (3)
idividu dan masyarakat saling menentukan.
Menurut Peter Jarvis (1986) yang dikutip oleh DR Wuradji MS (1988) Karl Mark,
Bowles, Wailer dan Illich tokoh paham kolektif yang berpendapat bahwa individu tidak
mempunyai kebebasan, kebebasan pribadi dibatasi oleh kelompok elite (kelompok atas
yang berkuasa) dengan mengatas namakan rakyat banyak.
Pandangan individualistis ini yang otomistis ini berakar pada nominalisme suatu aliran
filsafat yang menyatakan bahwa konsep-konsep umum itu tidak mewakili realitas dari
sesuatu hal. Yang menjadi realitas itu individu. Realitas masyarakat itu ada karena
individu itu ada. Jika individu tidak ada maka masyarakat itu tidak ada. Jadi adanya
individu itu tidak tergantung pada adanya masyarakat.
Paham yang memandang hubungan antara individu dan masyarakat dari segi interaksi.
Dari uraian tersebut di atas kita telah mengetahui paham totalisme dan individualisme
yang masih berpijak pada satu kutub. Paham totalisme berpijak pada masyarakat,
sebaliknya paham individualisme. Totalisme mengabaikan peranan individu dalam
masyarakat sebaliknya, paham individualisme mengabaikan peranan masyarakat
dalam kehidupan individu. Oleh karena itu kedua-duanya diliputi oleh kesalahan
detotalisme. Pabam individu memandang manusia sebagal seorang individu itu sebagai
segala-galanya di luar individu itu tidak ada. Jadi masyarakat pun pada dasarnya tidak
ada yang ada hanya individu. Sebaliknya paham totalisme memandang masyarakat itu
segala di luar masyarakat itu tidak ada. Jadi individu itu hanya ada jika masyarakat itu
ada. Adanya individu itu terikat pada adanya masyarakat.
Paham yang ketiga ini memandang masyarakat sebagai proses di mana manusia
sendiri mengusahakan kehidupan bersama mcnurut konsepsinya dengan bertanggung
jawab atas hasilnya. Manusia tidak berada
di dalam masyarakat bagaikan burung di dalam kurungannya, melainkan ia
bermasyarakat. Masyarakat bulcan wadah melainkan aksi, yaitu social action.
Masyarakat terdiri dari sejumlab pengertian, perasaan, sikap, dan tindakan, yang tidak
terbilang banyaknya. Orang berkontak dan berhubungan satu dengan yang lain
menurut pola-pola sikap dan perilaku tertentu, yang entah dengan suka, entah terpaksa
telah diterima oleh mereka. Umumnya dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang akan
menyesuaikan kelakuan mereka dengan pola-pola itu. Seandainya tidak, hidup sebagai
manusia menjadi mustahil. “Masyarakat sebagai proses” dapat dipandang dari dua segi
yang dalam kenyataannya tidak dipisahkan satu dengan yang lain karena merupakan
satu kesatuan. Pertama masyarakat dapat dipandang dari segi anggotanya yang
membentuk, mendukung, menunjang dan meneruskan suatu pola kehidupan tertentu
yang kita sebut masyarakat. Kedua masyarakat dapat ditinjau dari segi pengaruh
struktumya atas anggotanya. Pengaruh ini sangat penting sehingga boleh dikatakan
bahwa tanpa pengaruh ini manusia satu persatu tidak akan hidup. Marilah kita
perhatikan bagaimana jika pengaruh masyarakat yang berupa kepemimpinan, bahasa,
hukum, agama, keluarga, ekonomi, pertahanan, moralitas dan lain sebagainya. Tanpa
Hubungan antara masyarakat dan individu dapat digambarkan sebagai kutub positif dan
kutup negatif pada aliran listrik. Jika dua kutub itu dihubungkan listrik ia akan mampu
memberi kekuatan baginya dan menimbulkan suasana yang cerah. Jika individu dan
masyarakat dipersatukan maka kehidupan individu dan masyarakat akan lebih
bergairah dan suasana kehidupan individu dan kehidupan masyarakat akan lebih
bermakna dan hidup serta bergairrah.
Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui bahwa hubungan individu dan
masyarakat itu dapat ditinjau dari segi masyarakat saja (totalisme), ditinjau dari segi
individu saja (individualisme) dan ditinjau dari segi interaksi individu dan masyarakat.
Dengan memperhatikan tiga pandangan ini maka bagaimana hubungan individu dan
masyarakat di Indonesia? Profesor Supomo menyatakan bahwa hubungan antara
warga negana dan negara Indonesia adalah hubungan yang integral. Driyarkara SY
menyatakan bahwa hubungan masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah hubungan
yang integral (Driyarkara, 1959, p. 225). Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa
paham yang dianut untuk menggambarkan hubungan antara individu dan masyarakat di
Indonesia adalah paham integralisme.
Hubungan individu dan masyarakat dalam Indonesia merdeka seperti yang dimaksud
Prof. Supomo dapat diperhatikan dalam rumusan Proklamasi Kemerdekaan RI,
Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN. Dalam Proklamasi dirumuskan: Kami bangsa
Indonesia dengan mi menyatakan kemerdekaannya. Hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dalam
Perhatian terhadap masyarakat dan individu dapat dijumpai pada pasal-pasal dalam
UUD 1945 seperti pasal 30 yang mengatur hak dan kewajiban warga negara untuk
membela negara, pasal 31 yang mengatur hak dan kewajiban tentang pengajaran bagi
tiap-tiap warga negara dan pemerintah, pasal 33 yang mengatur tentang (1)
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan,
(2) cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air dan kekayaan-kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besamya kemakmuran rakyat, pasal 34 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara. Dalam pasal 27 dijelaskan bahwa setiap warga negara
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28
menyatakan tiap-tiap warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat, berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
undang. Pasal 29 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara
kesatuan yang berbentuk Republik dan kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR. Jika pasal demi pasal tersebut di atas diperhatikan maka jelas
bahwa individu dan masyarakat diberi kewajiban dan hak dalam mengejar kehidupan
yang bahagia sejahtera.
HakikatManusia
Tuhan menciptakan. mahluk yang mengisi dunia fana ini atas berbagai jenis dan
tingkatkan. Dari berbagai jenis dan tingkat mahluk Tuhan tersebut manusia adalah
mahluk yang paling mulia dan memi¬liki berbagai kelebihan.
Keberadaan manusia apabila dibandingkan dengan mahluk lain (hewan), selain
memiliki insting sebagaimana yang dimiliki hewan, manusia adalah mahluk yang
memiliki beberapa kemampuan antara berfikir, rasa keindahan, perasaan batiniah,
harapan, menciptakan dan lain lain.
Sedangkan kemampuan hewan lebih bersifat instingtif dan kemampuan berfikir sangat
rendah untuk mencari makan, mempertahankan diri dan mempertahankan
kelangsungan hidup jenisnya.
Pada hakikatnya hewan tidak menyadari tugas hidupnya, dan ia melakukan sesuatu
atas dorongan dari dalam jiwanya. Dorongan itu merupakan perintah baginya yang
harus dilaksanakan apabila ia menemui rintangan dari luar, misalnya dihalang-halangi
oleh manusia atau hewan lain, dengan bermacam-macam usaha barulah ia melawan
instingnya.
Lain halnya manusia, selain mahluk instingtif manusia juga mampu berfikir (homo
sapiens) mampu mengubah dan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan rasa
keindahan dan kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu manusia adalah mahluk moral dan
religius.
Dari penjelasan tentang perbedaan manusia dan hewan diatas, kemudian timbul
pertanyaan , ”apakah manusia itu ?”.
Beberapa pandangan tentang hakikat manusia disebutkan secara singkat sebagai
berikut:
Pandangan psikoanalitik
Tokoh psikoanalitik (Hansen, Stefic, Wanner, 1977) menyatakan bahwa manusia pada
dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif.
Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah
ada pada diri seseorang, tidak ditentukan oleh nasibnya tetapi diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan dan insting biologisnya.
Sigmund Freud mengemukakan bahwa struktur kepribadian seseorang terdiri dari tiga
komponen yakni: ide, ego dan super ego. Masing-masing komponen tersebut
merupakan berbagai insting kebutuhan manusia yang mendasari perkembangan
individu.
Dua insting yang paling penting adalah insting seksual dan insting agresi yang
menggerakkan manusia untuk hidup dengan prinsip pemuasan diri. Dengan demikian
fungsi ide adalah mendorong manusia untuk memuaskan kebutuhannya setiap saat
sepanjang hayat tetapi fungsi ide untuk menggerakkan tersebut ternyata tidak dapat
leluasa menjalankan fungsinya karena menghadapi lingkungan yang tidak dapat
Pandangan Humanistik
Pandangan humanistic (Hansen, dkk, 1977) menolak pandangan freud bahwa manusia
pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki control terhadap
nasibnya sendiri. Tokoh humanis (Rogers) berpendapat bahwa manusia itu memiliki
dorongan untuk menyerahkan dirinya sendiri ke arah positif, manusia itu rasional,
tersosialisasikan dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia
mampu mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri. Jika manusia dalam
keadaan yang memungkinkan dan mempunyai kesempatan untuk berkembang maka
akan mengarahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang maju dan positif, terbebas dari
kecemasan dan menjadi anggota masyarakat yang bertingkah laku secara memuaskan.
Lebih lanjut Rogers mengemukakan bahwa pribadi manusia sebagai aliran atau arus
yang terus mengalir tanpa henti, tidak statis, dan satu kesatuan potensi yang terus-
menerus berubah.
Pandangan Adler (1954) bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan
untuk memuaskan dirinya sendiri, namun digerakkan oleh rasa tanggung jawab social
serta oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Lebih dari itu bahwa “individu
melibatkan dirinya dalam bentuk usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri dalam
Martin Buber (1961) tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa
manusia berdosa dan dalam genggaman dosa. Buber berpendapat bahwa manusia
tidak dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ini atau itu. Manusia merupakan suatu
keberadaan (eksistensi) yang berpotensi. Namun, dihadapkan pada kesemestaan atau
potensi manusia itu terbatas. Keterbatasan ini bukanlah keterbatasan yang mendasar
(esensial), tetapi keterbatasan factual semata-mata. Ini berarti bahwa yang akan
dilakukan oleh manusia atau perkembanagn manusia itu tidak dapat diramalkan dan
manusia masih menjadi pusat ketakterdugaan (surprise) dunia. Tetapi perlu diingat,
ketakterdugaan ini merupakan ketakterdugaan yang terkekang dan kekangan ini amat
kuat. Manusia itu tidak pada dasarnya baik, atau jahat, tetapi manusia itu dengan amat
kuat mengandung kedua kemungkinan ini. Justru inilah keterbatasan manusia, yaitu
adanya kemungkinan untuk menjadi jahat. Perlu juga diingat bahwa ketetbatasan ini
sifatnya hanya faktual belaka, tidak mendasar. Kejahatan yang ada pada diri manusia
(dilambangkan dengan perbuatan Adam memakan buah larangan di surga) bukanlah
keingkaran pada Tuhan, melainkan semata-mata untuk mewujudkan kemanusiaan
manusia oleh manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk yang cerdik yang tidak
merasa puas dalam keadaan yang aman, tentram, bahagia dan tergoda untuk
melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Namun anehnya, setelah aturan “dilanggar”
terkuaklah sejarah kemanusiaan yang sejati melalui berbagai ketidak pastian,
perjuangan dan kegagalan. Sejarah kemanusiaan ini sejalan dengan aturan Tuhan.
Pandangan Behaviouristik
Kaum behavioristik (dalam Hansen, dkk, 1977) pada dasarnya menganggap bahwa
manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh factor-
faktor yang datang dari luar. Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku
manusia. Dengan demikian kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata
kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh
hukum-hukum belajar, seperti teopri pembiasaan (conditioning) dan peniruan.
Manusia tidak datang ke dunia ini dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya baik
dan jelek, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi kepribadian individu semata-mata
tergantung pada lingkungannya. Tingkah laku adalah hasil perkembanagan individu dan
sumber dari hasil ini tidak lain adalah lingkungan.
Pandangan behavioristik sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat
manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari adanya ciri-ciri penting
yang ada pada manusia dan yang tidak ada pada ciri-ciri mesin atau binatang, seperti
kemampuan memilih, menetapkan tujuan, mencipta. Dalam menanggapi kritik ini
Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuan-kemampuan itu sebenarnya terwujud
sebagai tingkah laku juga yang berkembangnya tidak berbeda dari tingkah laku lainnya.
Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Semua ciri
yang dimiliki oleh manusia harus dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah.
Dibandingkan dengan binatang mungkin manusia adalah binatang yang sangat unik,
binatang yang bermoral , namun manusia tidak dapat dikatakan memiliki moralitas.
Yang disebut sebagai moral itupun mewujudkan dalam tingkah laku sebagai hasil
belajar berkat pengaruh lingkungan. Pendekatan behavioristik tidaklah
mendehumanisasikam manusia, melainkan justru memanusiakan manusia, yaitu
mengatasi kekerdilan manusia. Hanya dalam hubungannya dengan lingkungan yang
Dimensi Individual
Jadi Manusia adalah mahluk monodualis ciptaan Tuhan yang dikaruniai status sebagai
Khalifah Allah diatas bumi.Bayi dianugerahi keadaan jasmani yang lemah tetapi
memiliki potensi-potensi jasmaniah berupa konstruksi tubuh lengkap serta rokhaniah
berupa daya cipta,rasa,kar,intuisi,bakat.Faktor-faktor potensi bawaan inilah yang
membedakan manusia yang satu dengan yang lainya yang bersifat unik yang dapat
berkembang dengan adanya pengaruh lingkungan. Sehingga seorang individu akan
Setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan bandingannya) dengan adanya
individualitas itu setiap orang memiliki kehendak,perasaan,cita-cita, kecenderungan,
semangat,dan daya tahan yang berbeda.contoh sederhananya saja dua oarang murit
sekelas yang mempunyai nama yang sama tidak pernah bersedia untuk di samakan
satu sama lain,arti katanya masing-masing ingin mempertahankan ciri-ciri khasnya
sendiri,gambaran tersebut telah dikekemukakan oleh fancis galton seorang ahli biologi
dan matematika inggris,dari hasil penelitiannya banyak pasangan kembar satu telur
ternyata ternyata tidak sepasang pun yang identik atau sama sifat dan kepribadiannya.
Dimensi kesosilaan
Dimensi kesusilaan
Susiala berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan lebih
tinggi.akan tetapi dalm kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat
yang pantas jika didalamyang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan
terselubung. dimensi kesusilaan disebut juga keputusan yang lebih tinggi.kesusilaan
diartikan mencakup etika dan etiket.etika adalah (persoalan kebaikan ) sedangkan
etiket adalah (persoalan kepantasan dan kesopanan ). pada hakikatnya manusia
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila,serta
melaksanakannya.sehingga dikatakan manusia itu makhluk susila.persoalan kesusilaan
selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai kehidupan.Susila berkembang sehingga
memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih sempurna.
Dimensi keberagamaan
Manusia sejak lahir hingga ajalnya perlu dibantu oleh orang lain.Manusia harus
merasa sadar dirinya terpanggil untuk berbuat baik bagi orang lain dan
Prof. DR. Quraish Shihab mengutip sebuah buku yang berjudul Man the Unknown,
karangan Dr. A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk
mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-
makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan
seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya.[2]
Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang komplek, sempurna dan mempunyai
cirri khas tersendiri yang membedakannya dengan makhluk lain. Cirri khas manusia
yang membedakannya dengan makhluk lain ini terbentuk dari kumpulan terpadu (
integrated) dari apa yang disebut sifat hakekat manusia. Seorang pendidik harus
mampu dan mau memahami tentang sifat hakikat manusia, karena tugas mendidik
hanya mungkin dapat dilakukan dengan benar dan tepat apabila pendidik memiliki
gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sendiri. Karena sasaran dari sebuah
pendidikan adalah manusia. Maksud dan tujuan dari sebuah pendidikan adalah
Sifat dan hakekat manusia menjadi kajian filsafat khususnya filsafat antropologi. Hal ini
menjadi keharusan karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek, melainkan
praktek yang berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan
itu sendiri sifatnya filosofis normative. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan
landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang mendasar. Bersifat normative
karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuh kembangkan sifat hakikat
manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur.[3]
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai cirri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil ( jadi
bukan hanya gradual ) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia
dan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Bahkan
beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu zoon politicon ( hewan yang
bermasyarakat ), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke tier (
Hewan yang sakit ) yang selalu gelisah dan bermasalah.[4]
Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual yaitu suatu perbedaan
yang dengan melalui proses rekayasa dapat dibuat sama keadaannya, misalnya air
yang karena perubahan temperature lalu menjadi es. Seolah-olah dengan kemahiran
rekayasa pendidikan, orang hutan dapat dirubah menjadi manusia.
Wujud sifat hakikat manusia yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme yaitu :
Kaum Rasionalisme menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya
kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya)
memiliki cirri yang khas atau karakteristik diri. Hal ini yang menyebabkan manusia dapat
membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain. Bahkan bukan hanya membedakan,
lebih dari itu manusia bias membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya.
Kemampuan membuat jarak ini berarah ganda yaitu arah keluar dan arah kedalam.
Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek,
selnajutnya aku memanipulasi ke dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuihannya.
Puncak aktifitas yang mengarah keluar ini dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan
arak ke dalam, aku memberi status kepada lingkungannya sebagai subjek yang
berhadapan dengan aku sebagai objek yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan
dan tenggang rasa. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu
yang terpuji. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek social,
sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas
manusia.
1. Kemampuan Bereksistensi
1. Kata Hati
Kata hati merupakan kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan
yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral, kata
hati merupakan petunjuk bagi moral/ perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati yang
tumpul menjadi kata hati yang tajam adalah pendidikan kata hati ( gewetan forming).
Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.
Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral yang didasari oleh kata hati yang
tajam.
1. Moral
Moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi
manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi atau
luhur. Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun
merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral yang buruk, lazimnya
disebut tidak bermoral.
1. Tanggung Jawab
Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu
perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu
perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati,
oleh masyarakat, oleh agama-agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
Dan uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
1. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang
berlangsung dalam keterikatan. Kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan
moral.
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain.
Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada
saat itu belum dipenuhi), begitu sebaliknya.
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan
hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi
tidak sulit untuk dirasakan. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai
himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu,
yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan
sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi
dari kesemuanya itu (yang menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu
bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Disebut sifat hakikat manusia karena secara haqiqi sifat tersebut hanya dimiliki oleh
manusia dan tidak terdapat pada hewan. Karena manusia mempunyai hati yang halus
dan dua pasukannya. Pertama, pasukan yang tampak yang meliputi tangan, kaki, mata
dan seluruh anggota tubuh, yang mengabdi dan tunduk kepada perintah hati. Inilah
yang disebut pengetahuan. Kedua, pasukan yang mempunyai dasar yang lebih halus
seperti syaraf dan otak. Inilah yang disebut kemauan. Pengetahuan dan kemauan inilah
yang membedakan antara manusia dengan binatang.
Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan
yang melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena
perubahan temperature lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa
pendidikan orang utan dapat dijadikan manusia. Padahal kita tahu bahwa manusia
mempunyai akal dan pikiran yang dapat dijadikan sebagai perbedaan manusia dengan
hewan.
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia menjadi delapan, yaitu :
2. Kemampuan Bereksistensi
Kemampuan bereksistensi yaitu kemampuan menempatkan diri, menerobos, dan
mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan
saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan
demikian manusia tidak terbelanggu oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini
(sekarang), tapi dapat menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa
lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut
kemampuan bereksistensi. Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi
inilah maka pada diri manusia terdapat unsure kebebasan. Dengan kata lain, adanya
manusia bukan “ber-ada” seperti hewan dikandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam
kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi (Drijarkara, 1962:61-63).
Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar
belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa,
4. Moral
Moral juga disebut sebagai etika adalah perbuatan sendiri. Moral yang singkron dengan
kata hati yang tajam yaitu benar-benar baik manusia sebagai manusia merupakan
moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur). Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron
dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul
disebut moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak
bermoral. Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-
nilai yang tinngi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang
tinggi. Moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah,
yang berperikemanusiaan atau yang jahat.
5. Tanggung Jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung
jawab bermaam-macam yaitu tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat,
dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan
kata hati, misalnya penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada
masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial. Bertanggung jawab
kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama misalnya perasaan
berdosa dan terkutuk.
Tanggung jawab yaitu keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai
dengan tuntutan kodrat manusia. Dengan demikian tanggung jawab dapat diartikan
sebagai keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan
kodrat manusia.
6. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak terikat oleh sesuatu) yang sesuai dengan kodrat
manusia. Kemerdekaan berkait erat dengan kata hati dan moral. Yaitu kata hati yang
sesuai dengan kodrat manusia dan moral yang sesuai dengan kodrat manusia.
1. Dimensi Keindividuan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu
kebutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan
sebagai pribadi. (Lysen, individu dan masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang
dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi
(seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian
kata M.J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di negeri Belanda)yang
mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J. Langeveld, 1995:54).
Bahkan anak kembar yang berasal dari satu telur pun, yang lazim dikatakan seperti
pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi
tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik dari sifat-sifat fisiknya maupun hidup
kejiwaannya (kerohaniannya). Karena adanya individualitas itu setiap oarang memiliki
kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang
berbeda.
2. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld (M.J.
Langeveld, 1955:54). Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih
kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang
pada hakekatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan
menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu
dipandang sebagai kunci sukse pergaulan. Adanyta dorongan untuk menerima dan
memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi. Seorang bayi sudah dapat
menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang kemudian sebagia
balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada
ibunya.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas dorongan untuk
bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan
sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila dipenjarakan merupakan
hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia. Karena dengan diasingkan di
dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak.
Immanuel Kant seorang filosofis tersohor bangsa jerman menyataknan: Manusia hanya
menjadi manusia jika berada di sekitar manusia. Kiranya tidak ada seorang pun yang
bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas
jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung.
Karena itu pengertian susila berkembangsehingga memiliki perluasan arti menjadi
kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang
mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan
etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan
hak dan kewajiban.
4. Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum
manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat
dijangkau dengan perantara alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural
yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan
diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos.
Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya. beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat
dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Ph. Khonstam
berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam
lingkungan keluaraga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.
Pemerintah dengan berlandaskan GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam
kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (Pelita V). Di sini
perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama
ditingkatkan, namun harus tetap disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata
pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi dari segi-
segi afektif harus diutamakan.
1. Pengembangan utuh
Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor,
yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas
pendidikan yang disediakan untuk memberikan\ pelayanana atas perkembangannya.
Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sangat pesat yang
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan
tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang sempurna. Manusia memiliki akal untukmenghadapi
kehidupannya di dunia ini. Akal juga memerlukkan pendidikan sebagai obyek yang akan
dipikirkan. Fungsi akal tercapai apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan
obyeknya itu sendiri adalah ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya
adalah makhluk peadagogis, makhluk social, makhluk individual, makhluk beragama.
Setiap manusia mempunyai hakekat dan dimensi yang dimilikinya. Dan dalam diri
manusia itu terdapat potensi–potensi terpendam yang dapat ditumbuhkembangkan
menuju kepribadian yang mantap.
3.2 Saran
Sebagai calon guru kita seharusnya memperhatikan anak didik dan memberikan
bimbingan agar potensi–potensi terpendam yang terdapat dalam diri peserta didik dapat
ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.
A. Pengertian Manusia
Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh
manusia dan untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak
dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. Dari beberapa pendapat tentang
pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan pada umumya sepakat bahwa
pendidikan itu diberikan atau diselengarakan dalam rangka mengembangkan seluruh
potensi kemanusiaan ke arah yang positif. Dengan pendidikan, diharapkan manusia
dapat meningkat dan berkembang seluruh potensi atau bakat alamiahnya sehingga
menjadi manusia yang relatif lebih baik, lebih berbudaya, dan lebih manusiawi. Agar
kegiatan pendidikan lebih terarah, sehingga nantinya dapat berdaya guna dan berhasil
guna, maka diperlukan pemahaman yang relatif utuh dan komprehensif tentang hakekat
manusia.
Berbicara tentang hakekat manusia membawa kita berhadapan dengan pertanyaan
sentral dan mendasar tentang manusia, yakni apakah dan siapakah manusia itu? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut telah banyak upaya dilakukan, namun rupa-rupanya
Tokohtokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger,
Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis
eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian
Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar
manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual. Menurut
Binswanger, analisis Freud sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek
budaya dari eksistensi manusia seperti agama, seni, etika dan mitos. Freud menurut
Binswanger, memahami kebudayaan secara negatif, yakni lebih sebagai penjinakan
dorongan-dorongan alamiah daripada sebagai ungkapan potensi manusia untuk
memberi arah pada hidupnya. Penelitian psikologis harus diarahkan pada kemampuan
manusia untuk mengatasi dirinya sendiri dalam penggunaan kebebasannya yang
menghasilkan keputusan-keputusan dasar.
Freud dengan psikoanalisisnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya
digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah
laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula memang
sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini tidak memegang kendali atas
“nasibnya” sendiri, tetapi tingkah lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan
kebutuhan dan instink biologisnya.
Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang manusia.
Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia
pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap
“nasib” dirinya sendiri. Sebaliknya, pandangan humanistik yang salah satu tokohnya
adalah Rogers mengatakan bahwa manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk
berbagai hal dapat menentukan “nasibnya” sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri
sendiri.
Pandangan behavioristik pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya
adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol atau dikendalikan oleh
faktorfaktor yang datang dari luar. Penentu tunggal dari tingkah laku manusia adalah
lingkungan. Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata
kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh
hukumhukum belajar seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu
tokoh dari pandangan ini adalah Skinner (Depdikbud, 1984/1985: 1-3)
Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud
dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara
pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan
psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan
dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan
desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan
pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat,
tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau
dorongan itu, yakni pada saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta
merta atau otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar
(eksternal). Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang
berbeda dengan desakan faktor eksternal.
Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming sesuatu yang menggiurkan dari pihak
lain.
2. Kata hati (geweten atau conscience yang artinya pengertian yang ikut serta):
kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik dan yang
buruk bagi manusia sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan
dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik atau yang
buruk, atau pun kemampuannya dalam mengambil keputusan tersebut dari sudut
pandang tertentu saja, misalnya dari sudut kepentingannya sendiri dikatakan
bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Manusia memiliki pengertian yang
menyertai tentang apa yang akan , yang sedang dan yang telah dibuatnya,
bahkan mengerti pula akibat keputusannya baik atau buruk bagi manusia
sebagai manusia..
4. Tanggung jawab: adalah kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang
menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab
kepada diri sendiri, kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada
diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan
yang mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan
normanorma social, yang berarti siap menanggung sangsi social manakala tanggung
jawab social itu tidak dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan berarti
menanggung tuntutannorma-norma agama, seperti siap menanggung perasaan
berdosa, terkutuk dsb.
5. Rasa kebebasan: adalah perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk tidak terikat
oleh sesuatu, selain terikat (sesuai) dengan tuntutan kodrat manusia. Manusia
bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan (sesuai) dengan tuntutan kodratnya
sebagai manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin
apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai
segenap perbuatannya.
6. Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk social. Keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain,
karena yang satu mengandaikan yang lain. Hak tak ada tanpa kewajiban, dan
sebaliknya. Dalam kenyataan sehari-hari, hak sering diasosiasikan dengan sesuatu
yang menyenangkan, sedangkan kewajiban sering diasosiasikan dengan beban.
D. Dimensi-dimensi Kemanusiaan
Untuk melengkapi uraian tentang hakekat manusia, berikut disajikan pandangan –
pandangan lain yang diambil dari sumber lain pula. Manusia adalah makhluk
berdimensi banyak, yakni dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi
kesusilaan, dan dimensi keberagamaan (Tirtarahardja dan La Sulo, 1985: 16). Jose
Ortega Y. Gasset sebagaimana dimuat dalam Manusia Multi Dimensional; Sebuah
renungan filsafat (1982: 101), mengusulkan dimensi kesejarahan manusia.
1. Dimensi Keindividualan
Bahwa setiap individu memiliki keunikan. Setiap anak manusia sebagai individu
ketika dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi diri sendiri yang berbeda dari
yang lain. Tidak ada diri individu yang identik dengan orang lain di dunia ini. Bahkan
dua anak yang kembar sejak lahir tidak bisa dikatakan identik. Karena adanya
individualitas ini maka setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, daya tahan yang berbeda
.
2. Dimensi Kesosialan
Bahwa setiap manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk hidup bersama
dengan orang lain. Manusia dilahirkan memiliki potensi sebagai makhluk social.
Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara
manusia. Apa yang dikatakan Kant cukup jelas, bahwa hidup bersama dan di antara
manusia lain, akan memungkinkan seseorang dapat mengembangkan
kemanusiaannya. Sebagai makhluk social, manusia saling berinteraksi. Hanya dalam
berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang
menyadari dan menghayati kemanusiaannya.
3. Dimensi Kesusilaan
Manusia ketika dilahirkan bukan hanya dikaruniai potensi individualitas dan
sosialitas, melainkan juga potensi moralitas atau kesusilaan. Dimensi kesusialaan atau
moralitas maksudnya adalah bahwa dalam diri manusia ada kemampuan untuk berbuat
kebaikan dalam arti susila atau moral, seperti bersikap jujur, dan bersikap/berlaku adil.
Manusia susila menurut Drijarkara (dalam Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 20) adalah
manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut.
4. Dimensi Keberagamaan
Pada dasarnya manusia adalah makhluk religius, sebagaimana telah disinggung di
depan. Sebagai makhluk religius, manusia sadar dan meyakini akan adanya kekuatan
supranatural di luar dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah
manusia disebut dengan berbagai nama sebutan, satu di antaranya adalah sebutan
Tuhan. Sebagai orang yang beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah
mewahyukan kepada manusia pilihan yang disebut rasul yang dengan wahyu Tuhan
tersebut, manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih
bertaqwa.
5. Dimensi Kesejarahan
Dunia manusia, kata Ortega Y. Gasset, bukan sekedar suatu dunia vital seperti
pada hewan-hewan. Manusia tidak identik dengan sebuah organisme. Kehiduannya
lebihdari sekedar peristiwa biologis semata,. Berbeda dengan kehidupan hewan,
manusia menghayati hidup ini sebagai “hidupku” dan “hidupmu”- sebagai tugas bagi
sang aku dalam masyarakat tertentu pada kurun sejarah tertentu. Keunikan hdup
manusia ini tercermin dalam keunikan setiap biografi dan sejarah (dalam
Sastrapratedja, 1982: 106).
Dimensi kesejarahan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk
historis, makhluk yang mampu menghayati hidup di masa lampau, masa kini, dan
mampu membuat rencana-rencana kegiatan-kegiatan di masa yang akan dating.
Dengan kata lain, manusia adalah mekhluk yang menyejarah. Mengenai hal ini sudah
dibahas di depan yakni ketika membiacarakan pandangan Drijarkara.
Semua unsur hahekat manusia yang monopluralis atau dimensi-dimensi
kemanusiaan tersebut memerlukan pengembangan agar dapat lebih meyempurnakan
manusia itu sendiri. Pengembangan semua potensi atau dimensi kemanusiaan itu
dilakukan melalui dan dengan pendidikan. Atas dasar inilah maka antara pedidikan dan
hakekat manusia ada kaitannya. Dengan dan melalui pendidikan, semua potensi atau
dimensi kemanusiaan dapat berkembang secara optimal. Arah pengembangan yang
baik dan benar yakni ke arah pengembangan yang utuh dan komprehensif..
Daftar Pustaka
Cassirer, Ernst. Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. 1990. Manusia dan
Kebudayaan:
Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984/1985. Materi Dasar Pendidikan
Program
Akta Mengajar V. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud.
der Wij, P.A., van. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Dirto Hadisusanto dkk. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Faultas
Ilmu Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta
Drijarkara, N. 1969. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Penerbit Jajasan Kanisius.
Leahy, Louis. 1989. Manusia Sebuah Misteri: Sintesis Filosofis tentang Makhluk
Paradoksal.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Piedade, Joao Inocencio. 1986. “Problematika Manusia dalam Antropologi Filsafat”
dalam Basis. Ediisi Oktober-1986-XXXV-10.
Sastrapratedja, M. 1982. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Sumitro dkk. 1998. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ilmu
Pendidikan IKIP Yogyakarta.
Umar Tirtarahardja da La Sulo. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Direktorat
Jenderal
Tinggi Depdikbud