Anda di halaman 1dari 22

Hakikat Manusia dan Filsafat Pendidikan

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Semester
Genap Dengan Dosen Pengampu Dr. Edi Suresman, M. Ag

Oleh:
Didin Komarudin (1105010)

M. Ishak (1103906)

Siswo Yudhanto Pradana (1100995)

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2014
KATA PENGANTAR

Alhamdulillāh, segala puji bagi Allāh yang telah memberikan kami segala
nikmat, yaitu nikmat iman dan islam, khususnya nikmat kesehatan sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini sesuai dengan yang
diharapkan. Semoga ṣalawat serta salām tercurah limpahkan kepada panutan alam,
Nabi Muhammad ṣalla allāh alaihi wasallam yang telah menunjukkan kepada kita
ke jalan menuju zaman yang terang benderang penuh dengan cahaya-Nya.
Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah
mendukung kami secara materil dan imateril, dosen pengampu mata kuliah
Filsafat Ilmu, Dr. Edi Suresman M. Ag, dan rekan-rekan satu prodi Ilmu
Pendidikan Agama Islam kami yang telah memberikan dukungan berupa motivasi
dan do’a sehingga makalah ini bisa terealisasi untuk kepentingan pengetahuan.
Namun sebagai manusia yang tak pernah luput dari kekurangan dan
kesalahan, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, terdapat
kekurangan dan kesalahan baik dalam segi sistematika penulisan maupun diksi
yang digunakan. Oleh karena hal itu, kami menerima saran dan kritik dari
pembaca sekalian untuk melengkapi kekurangan dan kesalahan itu, sehingga ke
depannya kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

Hormat kami,

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
A. Latar Belakang.............................................................................................3
B. Rumusan Masalah........................................................................................4
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................4
BAB II HAKIKAT MANUSIA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN....................5
A. Pengertian Hakikat Manusia........................................................................5
B. Pengertian filsafat pendidikan......................................................................9
C. Ruang lingkup dalam filsafat pendidikan...................................................10
D. Peran Filsafat Pendidikan...........................................................................11
E. Latar belakang munculnya filsafat pendidikan..........................................12
F. Aliran filsafat pendidikan moderen ditinjau dari ontologi, epistemologi dan
aksiologi.....................................................................................................13
G. Hubungan antara filsafat, manusia, dan pendidikan..................................16
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................20
A. Kesimpulan................................................................................................20
B. Saran...........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan manusia di muka bumi adalah suatu yang menarik. Selain


manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa segala
peristiwa dan masalah apapun yang terjadi di bumi ini pada akhirnya berhubungan
dengan manusia. Oleh karena itu, menurut Nawawi [CITATION Jal10 \p 131-132
\l 1033 ] dalam usaha mempelajari hakikat manusia diperlukan pemikiran yang
filosofis karena setiap manusia akan selalu berpikir tentang dirinya sendiri.
Pemikiran filosofis dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia. Jawaban itu
merupakan hasil pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar.
Jawaban seperti itu juga digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang
menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk apa hakikat manusia
dan bagaimana kedudukannya dalam realitas dirinya, alam semesta dan hubungan
dengan penciptanya beserta semua aspek yang berhubungan dengan upaya
manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang
berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik dan
bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.
Namun, untuk mencari hakikat manusia dan pendidikan secara komprehensif
adalah suatu hal yang sangat sulit. Hal ini tidak saja karena keunikan karakternya,
tetapi juga karena sangat terbatasnya data dan kemampuan manusia untuk
mengenal dirinya. Alexis Carrel [CITATION Muh11 \p 43 \l 1057 ]
menyebutkan bahwa sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian besar
untuk mengetahui tentang dirinya, namun manusia itu hanya mampu mengetahui
sekelumit saja dari dirinya. Kendati pun telah banyak temuan-temuan dan hasil
penelitian dari para filsuf, ilmuwan, sastrawan, bahkan para ahli di bidang
keruhanian, namun mereka belum berhasil mengetahui manusia secara utuh,
sehingga persoalan-persoalan yang mereka ajukan sampai saat ini pun masih tetap
tanpa jawaban yang pasti.
Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebagai subjek pendidikan
manusia juga merupakan objek pendidikan itu sendiri [CITATION Jal10 \p 132 \l
1033 ].
Berdasarkan pada pemikiran di atas, kami menyusun makalah tentang hakikat
manusia dan filsafat pendidikan. Semoga dapat menambah khazanah pengetahuan
bagi para pembaca umumnya dan bagi penyusun khususnya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, kami menyusunnya ke dalam beberapa rumusan


masalah dalam bentuk pertanyaan, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian hakikat manusia?
2. Apa yang dimaksud pengertian filsafat pendidikan?
3. Apa saja yang menjadi ruang lingkup dalam filsafat pendidikan?
4. Bagaimana peran filsafat pendidikan?
5. Apa yang melatar belakangi munculnya filsafat pendidikan?
6. Bagaimana pendapat aliran filsafat pendidikan moderen ditinjau dari
ontologi, epistemologi dan aksiologi?
7. Bagaimana hubungan antara filsafat, manusia, dan pendidikan?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan memahami pengertian hakikat manusia.


2. Mengetahui dan memahami pengertian filsafat pendidikan.
3. Mengetahui dan memahami ruang lingkup dalam filsafat pendidikan.
4. Mengetahui dan memahami peran filsafat pendidikan.
5. Mengetahui dan memahami latar belakang munculnya filsafat pendidikan.
6. Mengetahui dan memahami pendapat aliran filsafat pendidikan moderen
ditinjau dari ontologi, epistemologi dan aksiologi.
7. Mengetahui dan memahami hubungan antara filsafat, manusia, dan
pendidikan.
BAB II HAKIKAT MANUSIA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Pengertian Hakikat Manusia

Manusia merupakan sebuah subjek dan objek dalam setiap pemikiran


filosofis. Sudah berabad-abad lamanya manusia berusaha memecahkan masalah
yang senantiasa hadir menyelimuti dirinya dan berusaha mengungkap kebenaran-
kebenaran tentang dirinya. Pada akhirnya, usaha manusia itu membuat manusia
bertanya tentang apa itu hakikat manusia?
Untuk menjelaskan hal itu, kita lihat secara etimologi dan secara terminologi
tentang hakikat manusia. Pada dasarnya hakikat manusia itu terdiri dari dua
istilah, yaitu hakikat dan manusia. Istilah pertama, hakikat menurut etimologi
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah inti atau dasar dan kenyataan yang
sebenarnya. Sedangkan menurut terminologi yang diungkapkan oleh Jalius
HR[CITATION HRJ10 \n \l 1033 ],
“Hakikat  adalah berupa apa yang membuat sesuatu terwujud. Dengan kata
lain dapat dirumuskan, hakikat adalah unsur utama yang mewujudkan sesuatu.
Hakikat mengacu kepada  faktor utama yang lebih fundamental. Faktor utama
tersebut wajib ada dan merupakan suatu kemestian. Hakekat selalu ada dalam
keadaan sifatnya tidak berubah-rubah. Tanpa faktor utama tersebut sesuatu tidak
akan bermakna sebagai wujud yang kita maksudkan karena hakekat merupakan
faktor utama yang wajib ada, maka esensinya itu tidak dapat dipungkiri atau
dinafikan.   Keberadaannya (eksistensinya) itu di setiap tempat dan waktu tidak
berubah. Dengan kata lain hakikat itu adalah pokok atau inti dari yang ada. Tidak
akan pernah ada sebuah atribut jika tidak ada hakikat.

Adapun pengertian untuk istilah kedua, manusia menurut etimologi Kamus


Besar Bahasa Indonesia adalah makhluk yang berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain); insan; orang. Selain itu, manusia juga secara bahasa berasal dari
kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau
makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain) [ CITATION
Kam13 \l 1033 ]. Sedangkan menurut terminologi [ CITATION Kam13 \l 1033 ],
manusia adalah
 Nicolaus D. & A. Sudiarja
Manusia adalah bhineka, tetapi tunggal. Bhineka karena ia adalah jasmani
dan rohani akan tetapi tunggal karena jasmani dan rohani merupakan satu
barang.

 Abineno J. I
Manusia adalah “tubuh yang berjiwa” dan bukan “jiwa abadi yang berada atau
yang terbungkus dalam tubuh yang fana”. 
 Upanisads
Manusia adalah kombinasi dari unsur-unsur roh (atman), jiwa, pikiran, dan
prana atau badan fisik.
 I Wayan Watra
Manusia adalah mahluk yang dinamis dengan trias dinamikanya, yaitu cipta,
rasa dan karsa.
 Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany
Manusia adalah mahluk yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang
berfikir, dan manusia adalah mahluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal,
dan ruh), manusia dalam pertumbuhannya dipengaruhi faktor keturunan dan
lingkungan.
 Erbe Sentanu
Manusia adalah mahluk sebaik-baiknya ciptaan-Nya. Bahkan bisa dibilang
manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan
mahluk yang lain.
 Paula J. C & Janet W. K
Manusia adalah mahluk terbuka, bebas memilih makna dalam situasi,
mengemban tanggung jawab atas keputusan yang hidup secara kontinu serta
turut menyusun pola berhubungan dan unggul multidimensi dengan berbagai
kemungkinan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hakikat manusia adalah unsur utama


yang mewujudkan sesuatu, terdiri dari ruh dan jasad atau dikenal pula dengan
istilah jasmani dan rohani.
Persoalan mengenai hakikat manusia dapat diketahui dan dipahami melalui
pemikiran filosofis yang telah diungkapkan oleh para filosof baik di dunia barat
(diwakili oleh orang-orang Eropa) maupun di dunia timur (diwakili oleh para
filsuf Muslim). Adapun pemikiran dari beberapa para filosof itu, yaitu:
1. Plato
Plato berpendapat bahwa manusia itu sebagai suatu pribadi yang tidak
terbatas pada saat bersatunya jiwa dengan raga. Jiwa dan raga bukan
diciptakan secara bersamaan. Jiwa telah ada jauh sebelum ia muncul di
dunia, sedangkan raga manusia diciptakan setelahnya merupakan
instrumen bagi penyempurnaan jiwa di dunia [CITATION Muh11 \p 44 \l
1033 ].
2. Aristoteles
Aristoteles berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk organis yang
fungsionalisasinya tergantung pada jiwa[ CITATION Muh11 \l 1033 ].
3. Rene Descartes
Descartes mengungkapkan bahwa jiwa adalah terpadu, rasional, dan
konsisten yang dalam aktivitasnya selalu terjadi interaksi dengan
tubuh[ CITATION Muh11 \l 1033 ].
4. Schopenhauer
Schopenhauer berpendapat bahwa eksistensi manusia adalah tarik-
menarik daya kehendak dan daya inteleknya[ CITATION Muh11 \l
1033 ].
5. Ibnu Miskawaih
Miskawaih berpendapat bahwa manusia merupakan kombinasi dua
substansi yang secara diametrik bertentangan baik esensi, kualitas,
maupun di segi fungsinya, yakni jiwa dan raga[ CITATION Muh11 \l
1033 ].
6. Raghib al Isfahani
Al Isfahani berpendapat bahwa manusia tersusun oleh unsur bahimah di
satu sisi dan malakiyan di sisi lainnya; yang pertama merupakan unsur
syahwat badani yang terlihat aktivitas-aktivitas seperti makan,minum,
nikah, dan bentuk-bentuk kelezatan badan lainnya. Sedangkan yang kedua
adalah potensi ruhaniah seperti hikmah `adala, juud, hilm, `ilm, naatiq
dan fahm[ CITATION Muh11 \l 1033 ].
Dilihat dari beberapa pernyataan yang telah diungkapkan para filosofis di
atas, Nampak memeliki kesamaan, yaitu bahwa jiwa merupakan hakikat manusia
yang sesungguhnya dan raga merupakan instrumen bagi pengembangan jiwa
manusia.
Selain itu, hakikat manusia secara sederhana juga dapat dipelajari dari
beberapa aliran filsafat berikut:
1. Aliran Materialisme
Aliran ini berpendapat bahwa manusia itu terdiri dari jasmani atau raga
saja. Sebab hanya jasmani atau raga saja yang merupakan sesuatu yang
nyata dan benar, serta bersifat objektif. Tokohnya adalah Ludwig
Feuerbach (1804-1872). Menurut Feuerbach [CITATION Sur09 \p 128 \l
1033 ] di balik manusia tidak ada ‘makhluk’ lain yang disebut jiwa. Sama
seperti tidak adanya Tuhan dibalik alam ini. Selanjutnya ia berpendapat
bahwa manusia itu dinamis, jiwa itu adalah gejala sampingan sebagai
kesan subjektif yang timbul karena secara pribadi menghayati eksistensi
kita sendiri.
2. Aliran Spritualisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang terpenting pada diri manusia adalah
jiwa. Tokoh aliran ini adalah Plato (427-347 SM). Plato [ CITATION
Sur09 \l 1033 ] berpendapat bahwa jiwa lebih agung dari badan, jiwa telah
ada di ‘alam atas’ sebelum masuk ke dalam badan, jiwa itu terjatuh ke
dalam hidup duniawi, lalu terikat kepada badan dan lahirlah manusia yang
fana.
3. Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa jiwa dan raga sama pentingnya. Tokoh
filsafat ini adalah Rene Descartes (1596-1650). Descartes [ CITATION
Sur09 \l 1033 ] berpendapat bahwa substansi yang berpikir, sedangkan
raga merupakan subtsansi yang berkeluasan. Pandangan dualism ini dapat
dibedakan atas pararelisme dan monism. Dalam Pararelisme antara jiwa
dan raga terdapat kesejajaran (pararel), keduanya sederajat. Ada pun
dalam monisme antara jiwa dan raga telah terjadi perpaduan sehingga
manunggal.
4. Aliran Eksistensialisme
Aliran ini berpendapat bahwa hakikat manusia adalah apa yang
menguasai manusia secara menyeluruh. Dalam aliran ini, Jalaluddin dan
Abdullah [CITATION Jal10 \p 130 \n \l 1033 ] berpendapat manusia
dipandang tidak dari sudut materialisme, atau sudut spritualisme maupun
dualism, tetapi dari eksistensi manusia di dunia ini.

Berdasarkan

D. Pengertian filsafat pendidikan

1. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia. Philosophia
terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang dan suka, serta kata sophia
berarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan. Jadi, filsafat adalah cinta
pengetahuan atau dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah cinta pada
ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan.
Dalam pengertian yang lebih luas, Harold Titus [CITATION Jal101 \p
15-16 \l 1057 ] mengemukakan pengertian filsafat sebagai berikut :
 Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis.
 Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
 Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
 Filsafat ialah analisis logis dari bahasan dan penjelasan tentang arti
konsep.
 Filsafat ialah sekumpulan problema-problema yang langsung
mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli
filsafat.
Selanjutnya, menurut Harun Nasution [CITATION Jal101 \p 16 \l 1057 ]
filsafat ialah berpikir menurut tata tertib (logika), bebas (tidak terikat pada
tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai
ke dasar-dasar persoalan. Berpikir seperti ini, menurut Jujun S. Suriasumantri
[CITATION Jal101 \p 16 \l 1057 ] adalah sebagai karakteristik dan berpikir
filosofis. Ia berpandangan bahwa berpikir secara filsafat merupakan cara
berpikir radikal, sistematis, menyeluruh, dan mendasar untuk sesuatu
permasalahan yang mendalam. Begitu pun berpikir secara spekulatif,
termasuk dalam rangkaian berpikir filsafat. Maksud berpikir spekulatif di sini
adalah berpikir dengan cara merenung, memikirkan segala sesuatu sedalam-
dalamnya, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objek sesuatu
tersebut. Tujuannya adalah untuk mencari hakikat sesuatu.

2. Pengertian Filsafat Pendidikan


Menurut Al-Syaibani [CITATION Jal101 \p 19 \l 1057 ], filsafat
pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat
sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses
pendidikan. Artinya filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan
maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam hal ini
filsafat, filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor
yang integral. Sedangkan menurut John Dewey [CITATION Jal101 \p 20 \l
1057 ], filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar
yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun
daya perasaan (emosional) menuju tabiat manusia.
Dalam pandangan John Dewey [CITATION Jal101 \p 21 \l 1057 ],
pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, yang menyangkut : daya pikir (intelektual) maupun daya rasa
(emosi) manusia. Adapun menurut Brubachen [CITATION Jal101 \p 20 \l
1057 ], filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah kereta di depan
seekor kuda dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal
pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh
keuntungan karena punya kaitan dengan filsafat umum. Kendati kaitan ini
tidak penting, tapi yang terjadi ialah suatu keterpaduan antara pandangan
filosofis dengan filsafat pendidikan, karena filsafat sering diartikan sebagai
teori pendidikan dalam segala tahap.

E. Ruang lingkup dalam filsafat pendidikan

Ruang lingkup filsafat adalah semua lapangan pemikiran manusia yanb


komprehensif. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar ada (nyata),
baik material konkret maupun non material (abstrak). Jadi, objek filsafat itu tidak
terbatas. Secara makro, apa yang menjadi objek pemikiran filsafat, yaitu
permasalahan kehidupan manusia, alam semesta, dan alam sekitarnya, juga
merupakan objek pemikiran filsafat pendidikan. Namun secara mikro, ruang
lingkup filsafat pendidikan meliputi :
1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of
education);
2. Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subjeka dan objek pendidikan
(the nature of man);
3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,
agama dan kebudayaan;
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori
pendidikan;
5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat
pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan);
6. Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang
merupakan tujuan pendidikan.

Dengan demikian, dari uraian di atas diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang
menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua aspek yang
berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat
pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan
pendidikan yang baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti
yang dicita-citakan.
F. Peran Filsafat Pendidikan

Secara praktis, filsafat pendidikan memiliki fungsi peranan yang sekurang-


kurangnya dibedakan ke dalam empat hal utama. Keempat hal tersebut antara lain
adalah menginspirasikan, menganalisis, mendeskriptifkan dan menginvestigasi.
Pertama, filsafat pendidikan menjadi ruang inspirasi, khususnya bagi para
pendidik dalam melaksanakan ide-ide tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat
pendidikan, filsuf menjelaskan idenya mengenai pendidikan tersebut, ke mana
diarahkan, siapa saja yang patut menerima pendidikan, bagaimana cara mendidik,
serta apa peran pendidik. Sudah tentu, ide ini didasari oleh asumsi-asumsi tertentu
tentang anak manusia, masyarakat atau lingkungan, dan negara.
Kedua, peran analitis. Dalam peran ini, filsafat pendidikan berarti memeriksa
secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas
validitasnya. Hal ini dimaksudkan agar dalam menyusun konsep pendidikan
secara utuh tidak terjadi kerancuan (tumpang tindih). Di sini filsafat pendidikan
memeriksa bagian-bagian pendidikan secara saksama untuk mengetahui validisi
pendidikan secara gamblang. Hal ini dimaksudkan, selain untuk menghindari
tumpang tindih serta kesimpang-siuran, juga guna untuk mengarahkan tujuan
pendidikan sesuai dengan nilai-nilai yang diinginkan.
Ketiga, filsafat pendidikan memiliki makna preskriptif atau memberi
pengarahan kepada pendidik dalam soal apa dan mengapa pendidikan itu. hal
yang dijelaskan dapat berupa hakikat manusia jika dibandingkan dengan makhluk
lain atau aspek-aspek peserta didik yang memungkinkan untuk dikembangkan.
Proses perkembangan tersebut tergantung pada batas bantuan yang diberikan,
batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan, target pendidikan, perbedaan arah
pendidikan dan bakat serta minat anak.
Keempat, peran investigatif. Di sini filsafat pendidikan memeriksa atau
mengkaji kebenaran suatu teori pendidikan. Pendidik seharusnya mencari sendiri
konsep-konsep pendidikan di lapangan atau melalui penelitian-penelitian. Konsep
yang dipraktikkan tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan, sedankan
posisi filsafat hanya sebagai latar pengetahuan saja.
G. Latar belakang munculnya filsafat pendidikan

Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan (the mother of sciences) yang
mampu menjawab segala pertanyaan dan permasalahan. Mulai dari masalah-
masalah yang berhubungan dengan alam semesta hingga masalah manusia dengan
segala problematika dan kehidupannya. Namun karena banyak permasalahan yang
tidak dapat dijawab lagi oleh filsafat, maka lahirlah cabang ilmu pengetahuan lain
yang membantu menjawab segala macam permasalahan yang timbul.
Disiplin ilmu pengetahuan yang lahir itu ternyata memiliki objek dan sasaran
yang berbeda-beda, yang terpisah satu sama lain. Suatu disiplin ilmu pengetahuan
mengurus dan mengembangkan bidang garapan sendiri-sendiri dengan tidak
memerhatikan hubungan dengan bidang lainnya. Akibatnya, terjadilah pemisahan
antara berbagai macam bidang ilmu, hingga ilmu pengetahuan semakin
kehilangan relevansinya dalam kehidupan masyarakat dan umat manusia dengan
segala macam problematikanya.
Di antara permasalahan yang tidak dapat dijawab oleh filsafat adalah
permasalahan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Padahal menurut John
Dewey [CITATION Jal101 \p 42 \l 1057 ], filsafat merupakan teori umum dan
landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Tugas filsafat adalah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan
pengalaman yang banyak terdapat dalam lapangan pendidikan.
Apa yang dikatakan John Dewey tersebut memang benar. Dan karena filsafat
dan pendidikan memiliki hubungan hakiki dan timbal balik, maka berdirilah
filsafat pendidikan yang berusaha menjawab dan memecahkan persoalan-
persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban secara
filosofis pula. Dengan kata lain, kemunculan filsafat pendidikan ini disebabkan
banyaknya perubahan dan permasalahan yang timbul di lapangan pendidikan yang
tidak mampu dijawab oleh ilmu filsafat. Ditambah dengan banyaknya ide-ide baru
dalam dunia pendidikan yang berasal dari tokoh-tokoh filsafat Yunani.
H. Aliran filsafat pendidikan moderen ditinjau dari ontologi, epistemologi
dan aksiologi

Dalam filsafat pendidikan modern dikenal beberapa aliran, antara lain


progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksionisme
1. Aliran Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progresivisme dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive
menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran
ini beranggapan bahwa kemampuan inteligensi manusia sebagai alat untuk hidup,
untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan
eksperimentalisme karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan
environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
memengaruhi pembinaan kepribadian.
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan,
meliputi : ilmu hayat, bahwa manusia mengetahui semua masalah kehidupan;
antropologi, bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan
demikian dapat mencari hal baru; psikologi, bahwa manusia akan berpikir tentang
dirinya sendiri, lingkungan, pengalaman, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan
mengatur alam.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William
James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.
2. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang di dasarkan nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme
muncul pada zaman Renaisance dengan ciri-cirinya yang berbeda dengan
progresivisme. Dasar pijakan aliran pendidikan ini lebih fleksibel dan terbuka
untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Nilai-nilai yang dapat memenuhinya adalah yang berasal dari kebudayaan dan
filsafat yang korelatif selama empat abad belakang, sejak zaman Renaisance,
sebagai pangkal tmbulnya pandangan-pandangan esensialisme awal. Sedangkan
puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke-19. Idealisme dan
realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini
bertemu sebagai pendukung esensialisme, namun tidak melebur menjadi satu dan
tidak melepaskan karakteristiknya masing-masing.
3. Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memerikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang. Dari pendapat ini, diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil
pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas
dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat,
khususnya filsafat pendidikan.
Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles, kemudian di dukung
dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas yang menjadi pembaru utama di abad
ke-13. Aristoteles dan Thomas Aquinas meletakkan dasar bagi filsafat ini, hingga
pada pokoknya ajaran filsafat ini tidak berubah semenjak abad pertengahan.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman
kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan
pendidikan zaman sekarang. Ini bukanlah berarti nostalgia, melainkan karena
kepercayaan-kepercayaan masa lalu itu berguna bagi abad sekarang. Oleh karena
itu, asas-asas filsafat perenialisme bersumber dari dua filsafat kebudayaan, yaitu
perenialisme-teologis dan perenialisme-sekular yang berpegang pada ide dan cita
filosofis Plato dan Aristoteles.
4. Aliran rekonstruksionisme
Kata rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris rekonstruct, yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme
merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan
membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran
rekonsruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu
berawal dari krisis kebudayaan modern. Meskipun demikian, prinsip yang
dimiliki oleh aliran ini tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran
perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan
yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam
kehidupan. Aliran perenialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke
alam kebudayaan lama (regressive road culture) yang mereka anggap paling
ideal. Sementara itu, aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan
berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok
tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari
kesepakatan antar sesama manusia agar dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga
pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru. Untuk tujuan
tersebut, diperlukan kerja sama antara umat manusia.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia
merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya
intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina
kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang
dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan
umat manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa
merupakan suatu dunia yang di atur dan di perintah oleh rakyat secara demokratis,
bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang
sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan,
sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan
kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,
keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan), dan masyarakat bersangkutan.

I. Hubungan antara filsafat, manusia, dan pendidikan

Filsafat menjadikan manusia berkembang dan mempunyai pandangan hidup


yang menyeluruh dan sistematis. Pandangan itu kemudian dituangkan dalam
sistem pendidikan, untuk mengarahkan tujuan pendidikan. Penuangan pemikiran
ini dimuatkan dalam bentuk kurikulum. Dengan kurikulum, sistem pengajaran
dapat terarah, selain dapat mempermudah para pendidik dalam menyusun
pengajaran yang akan diberikan kepada peserta didik. Melalui proses ini, manusia
menugaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan-aturan dan hukum
yang ada, berusaha menyerap semua yang berasal dari alam, baik yang berasal
dari dalam dirinya atau dari luar dirinya.
Untuk mengembangkan mutu pendidikan, ada lima jalur yang harus
diperhatikan, yaitu :
1. Landasan filsafat untuk menjadi dasar dalam menyusun paradigma bagi
pengembangan ilmu pendidikan. Filsafat yang akan dijadikan dasar
pengembangan tersebut haruslah filsafat pendidikan.
2. Paradigma bagi penyusunan metodologi pengembangan ilmu pendidikan.
Paradigma yang di maksud ialah kerangka pikiran yang dapat menentukan
kita dalam menyusun metodologi pengembangan ilmu pendidikan.
Paradigma inilah yang kelak akan diperkirakan mampu menentukan kita
dalam menyusun metodologi pengembangan ilmu pendidikan.
3. Modal-modal penelitian untuk digunakan dalam penelitian pendidikan.
4. Metodologi pembagian ilmu pendidikan tersebut. Metodologi ini berupa
metode pengembangan teori pendidikan yang diperkirakan dapat
mengembangkan teori-teori ilmu pendidikan kita.
5. Organisasi yang berskala nasional. Organisasi itulah yang diharapkan
merencanakan, memonitor dan merancang hasil-hasil penelitian untuk
disusun secara sistematik dalam batang tubuh ilmu pendidikan. Organisasi
itu diharapkan dapat memberikan jalannya dalam upaya mencari biaya
bagi penelitian yang dimaksud.

Filsafat yang dijadikan basis bagi pengembangan ilmu pendidikan dapat


bersifat universal, yang dapat digunakan di mana pun dan kapan pun.
Pengembangan tersebut dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam pengembangan
pendidikan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, dapat
ditekankan bahwa filsafat tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan, sebab
filsafat itu merupakan jiwa bagi pendidikan. Dan untuk merealisasikan pandangan
filsafat tentang pendidikan, ada beberapa unsur yang dapat dijadikan tonggak
untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut, meliputi (1) dasar dan tujuan
pendidikan, (2) pendidik dan peserta didik, (3) kurikulum, dan (4) sistem
pendidikan.
1. Dasar dan tujuan
Dasar pendidikan merupakan suatu asas untuk mengembangkan bidang
pendidikan dan pembinaan kepribadian, karena pendidikan merupakan
landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Di samping itu, asas
tersebut juga bisa berfungsi sebagai sumber peraturan yang akan digunakan
sebagai pegangan hidup dan pegangan langkah pelaksanaan. Selain itu,
pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Karena tujuan
merupakan salah satu hal penting dalam kegiatan pendidikan, maka tujuan
pendidikan tidak saja akan memberikan arahan ke mana pendidikan harus
ditujukan, tetapi juga memberikan ketentuan yang pasti dalam memilih
materi, metode, alat, evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan. Secara umum,
tujuan pendidikan dapat dikatakan membawa anak ke arah tingkat
kedewasaan. Artinya, membawa anak didik agar dapat mandiri dalam
hidupnya di tengah-tengah masyarakat. Tujuan pendidikan terbagi ke dalam
empat macam berdasarkan tingkatan dan luasnya, yaitu tujuan pendidikan
nasional, tujuan institusional, tujuan instruksional dan tujuan kurikuler.
2. Pendidik dan peserta didik
Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik
dalam satu situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Individu
yan mampu itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, sehat jasmani
dan ruhani, mampu berdiri sendiri dan mampu menanggung resiko dari segala
perbuatannya. Kesediaan dan kerelaan untuk menerima tanggung jawab itulah
yang pertama dan utama dituntut dari seorang pendidik. Dalam lingkungan
keluarga, ayah dan ibu berfungsi sebagai pendidik, yang bertanggung jawab
atas masa depan anak-anaknya. Sedangkan dalam lingkungan sekolah, guru
berfungsi sebagai pendidik yang bertanggung jawab memberi pertolongan
kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar
mencapai tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya
sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial, dan makhluk individu yang mandiri.
Sama halnya di lingkungan masyarakat, pemimpin dan anggota lain yang
berfungsi sebagai pendidik.
3. Kurikulum
Kurikulum merupakan rumusan, tujuan mata pelajaran, garis besar pokok
bahasan penilaian dan perangkat lainnya. Sedangkan pokok pikiran penting
yang biasa dalam kurikulum adalah tujuan pendidikan, bahan pelajaran,
pengalaman dan aspek perencanaan. Kurikulum yang ditetapkan itu harus
berorientasi pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Hubungan antara tujuan pendidikan dan kurikulum adalah hubungan
antara tujuan dan isi pendidikan. Sebagai isi dan jalan untuk mencapai tujuan
pendidikan, maka kurikulum menyangkut masalah-masalah nilai, ilmu, teori,
skill, praktik, pembinaan mental, dan sebagainya. Ini berarti, bahwa
kurikulum itu harus mengandung isi pengalaman yang kaya demi realisasi
tujuan. Dengan kata lain, kurikulum harus kaya dengan pengalaman-
pengalaman yang bersifat membina kepribadian.
Kendati pada dasarnya tujuan pendidikan yang pokok itu tetap, namun ini
tak berarti bahwa kurikulum itu harus tetap. Kurikulum justru harus
berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan
masyarakat untuk apa pendidikan itu diselenggarakan. Dengan demikian,
kurukulum bersifat progresif, berkembang maju, dinamis. Oleh karena itu,
harus ada evaluasi kurikulum.
4. Sistem pendidikan
Sistem pendidikan adalah sistem yang dijadikan tolok ukur bagi tingkah
laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi mengendalikan,
mengatur dan mengarahkan perkembangan masyarakat dalam lapangan
pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu memberikan jawaban-
jawaban yang tepat sehingga kecendrungan dan sikap berpikir masyarakat
tidak terombang-ambing tanpa arah yang jelas. Jadi, sistem pendidikan itu
diperlukan untuk menjawab semua persoalan yang ada, khususnya di bidang
kependidikan.
Pada hakikatnya, dilihat dari segi idealitas sosio-kultural, sistem
pendidikan adalah alat pembudayaan (akulturasi) umat manusia yang paling
menentukan dan diperlukan di antara keperluan hidupnya walau pendidikan
itu timbul dan berkembang dari sumber kultural umat itu sendiri. Sebagai
alat, tentunya pendidikan merupakan aplikasi dari kebudayaan yang berposisi
tidak netral, melainkan selalu bergantung pada siapa dan bertujuan apa
pendidikan itu dilaksanakan.
Adapun korelasi antara filsafat pendidikan dan sistem pendidikan adalah
1. Bahwa sistem pendidikan atau science of education bertugas merumuskan
alat-alat, prasarana, pelaksanaan teknik-teknik dan/atau pola-pola proses
pendidikan dan pengajaran dengan makna akan dicapai dan dibina tujuan-
tujuan pendidikan. Ini meliputi problematika kepemimpinan dan metode
pendidikan, politik pendidikan, sampai pada seni mendidik (the art of
education)
2. Isi moral pendidikan atau tujuan intermediate adalah perumusan norma-
norma atau nilai spiritual etis yang akan dijadikan sistem nilai pendidikan
dan/atau merupakan konsepsi dasar nilai moral pendidikan, yang berlaku
di segala jenis dan tingkat pendidikan
3. Filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi bertugas merumuskan
secara normatif dasar-dasar dan tujuan pendidikan, hakikat dan sifat
hakikat manusia, hakikat dan segi-segi pendidikan, isi moral pendidikan,
sistem pendidikan yang meliputi politik kependidikan, kepemimpinan
pendidikan dan metodologi pengajarannya, pola-pola akulturasi dan
peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

J. Saran

DAFTAR PUSTAKA

HR, J. (2010, Juni 12). Pengertian-hakikat. Retrieved from


Jalius12.wordpress.com:
http://jalius12.wordpress.com/2010/12/06/pengertian-hakekat/

Jalaluddin, & Idi, A. (2010). Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan


Pendidikan. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.

Kamelia. (2013, April 27). Pengertian manusia menurut para ahli. Retrieved
from kamelia11.wordpress.com:
http://kamelia11.wordpress.com/tag/pengertian-manusia-menurut-para-
ahli

Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama.

Surajiyo. (2009). Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai