juga sebagai sebagai pribadi (Lysen, Individu dan Masyarakat: 4). Setiap anak manusia
yang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya telah memiliki potensi. Potensi yang dimaksud
menurut penulis seperti yang dikemukakan oleh Gardner. Ia menyatakan bahwa
manusia memiliki tujuh kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika
matematika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestik tubuh, kecerdasan musik,
kecerdasan interpersonal, kecerdasan intra personal (Campbel, dkk., 2006: 2-3).
Kecerdasan-kecerdasan ini yang selanjutnya kita sebut sebagai potensi yang tentu saja
tidak sama dimiliki oleh setiap individu. Ada individu yang memiliki kelebihan dalam hal
kebahasaan, tetapi kurang pintar dalam hal musik, ada individu yang lebih pintar
matematika, tetapi tidak pintar tentang kebahasaan. Oleh karena itu, setiap individu
tidak boleh diperlakukan sama. Mereka ingin terlihat berbeda dengan yang lain atau
menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi ini.
Penulis sangat setuju dengan dimensi keindividualan seperti yang telah diungkapkan di
atas. Memang benar bahwa tidak ada manusia yang identik dengan manusia lain di
atas permukaan bumi ini. Bahkan, anak yang terlahir kembar pun pada hakikatnya tidak
memiliki karakter yang persis sama. Dengan kata lain, masing-masing ingin
mempertahankan kekhasannya sendiri. Kekhasan yang dimaksud ini seperti kekhasan
dalam cita-cita, cara belajar, cara menghadapi dan menyelesaikan masalah, cara
berinteraksi dengan orang lain. Karena adanya kekhasan yang dimiliki oleh setiap
manusia ini, dalam proses pembelajaran kekhasan ini tentu harus diperhatikan oleh
peserta didik. Tenaga pendidik tidak dapat boleh memaksakan kehendaknya kepada
kepada subjek didik.
Menurut penulis, memang usaha untuk memperhatikan peserta didik berdasarkan
kekhasan yang dimilikinya merupakan usaha yang baik. Akan tetapi, yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana cara mengimplementasikan hal ini dalam pembelajaran?
Sebagai contoh, apa yang harus dilakukan terhadap anak didik yang tidak suka
pelajaran bahasa Indonesia saat materi bahasa Indonesia diajarkan oleh tenaga
pendidik? Apakah anak didik tersebut diminta oleh gurunya untuk keluar atau diam
saja? Pertanyaan seperti ini tampaknya sering dihadapi oleh peserta didik. Contoh lain
disebutkan, misalnya, anak didik memiliki berbagai gaya belajar. Ada anak didik yang
mudah belajar kalau hanya dengan berdiskusi bersama-teman-teman-teman sekelas,
ada anak didik yang mudah belajar hanya dengan mendengarkan apa yang
disampaikan oleh gurunya, ada anak didik yang mudah belajar dengan cara langsung
mempraktikkan, ada pula anak didik yang mudah belajar hanya dengan membaca
buku. Bagaimanakah gaya belajar yang bervariasi ini dapat diatasi oleh pendidik dalam
suatu proses pembelajaran? Hal seperti ini tampaknya perlu untuk dikaji secara
spesifik.
3.2 Dimensi Kesosialan
Setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi sosialitas. Artinya, mereka dikaruniai benih
kemungkinan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul ini, setiap orang
ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga penjara
merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh setiap manusia karena dengan
diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul itu secara mutlak.
3.3 Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup hanya dengan berbuat
yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu terkandung kejahatan
terselubung. Oleh karena itu, pengertian susila berkembang sehingga memiliki
perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan
sering digunakan istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan
kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika
dan tidak bermoral, sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika
dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya
mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.
Susila sebenarnya mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu
berhubungan erat dengan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai otonom,
nilai heteronom, nilai keagamaan.
Dalam kenyataan hidup, ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran
dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Dalam
pelaksanaannya, keduanya harus dulaksanakan secara sinkron.
3.4 Dimensi Keber agama an
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk beragama. Beragama merupakan kebutuhan
manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat
bertopang. Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan
bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama
melalui proses pendidikan manusia. Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai
dengan perguruan tinggi.
dianggap menjembatani proses perubahan dari kera ke manusia yang tidak sanggup
diungkapkan yang disebut the missing link, yaitu suatu mata rantai yang putus. Ada
suatu proses antara yang tak dapat dijelaskan. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primata atau kera
melalui proses evolusi yang bersifat gradual.
Tanggung jawab berarti keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai
dengan tuntutan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itu perbuatan itu dilakukan
sehingga sanksi apa pun yang dituntut oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh normanorma agama diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini menjadi
jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi
maupun sebagai anggota masyarakat.
6. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini sebenarnya ada dua hal yang saling
bertentangan yaitu rasa bebas dan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Meskipun antara rasa bebas dan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia ini
bertentangan, tetapi sebenarnya saling berkaitan. Memang merdeka adalah rasa
bebas, tetapi kebebasan tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan kodrat manusia.
Orang tidak dapat berbuat bebas tanpa memperhatikan petunjuk dari kata hati. Jika hal
ini tetap dilakukan, kebebasannya itu disebut dengan kebebasan semu. Kebebasan
semu segera diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru
mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis membunuh
berusaha mati-matian untuk menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Di sini terlihat
bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.
7. Kebiasaan Melaksanakan Kewajiban Dan Menyadari Hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut
sesuatu, tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut.
Selanjutnya kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada
dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun hak tentang sesuatu
itu ada, belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak memperoleh perlindungan
hukum). Walaupun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya. Hak
sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban
dipandang sebagai beban. Sebenarnya kewajiban bukan beban, melainkan suatu
keniscayaan (Drijarkara, 1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya
manusia, kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu artinya ia
mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu dilaksanakan, hal
tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran. Adanya keluhuran dari melaksanakan
kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang
sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dsb.
Implementasi dari perbuatan ini adalah orang akan merasa dikhianati, kecewa, dan
akhirnya tumbuh sikap tidak percaya. Kewajiban bukanlah suatu ikatan, melainkan
suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan berarti apa yang diwajibkan menusia
menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerima. Namun, terhadap keniscayaan
itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia boleh memilih dengan
konsekuensi jika taat, akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika
melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia. Berarti realisasi hak dan
kewajiban ini sifatnya relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemenuhan hak
dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini
dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena
pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, hak asasi
manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi, atau harapan yang berfungsi untuk
memberi arah pada segenap usaha untuk menciptakan keadilan.
8. Kemampuan Menghayati Kebahagian
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 7
mengalami hidup yang merdeka. Dengan demikian, jika orang tersebut tidak mengalami
hidup yang merdeka, tentu dapat dikatakan bahwa ia tidak bahagia. Setelah manusia
mengatasi masalah dengan norma-norma yang berlaku, hal terakhir yang dapat
dilakukannya adalah menerima takdir. Takdir merupakan rangkaian yang tak
terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan. Ia erat berkaitan dengan rangkaian
usaha. Berarti seseorang baru dapat dikatakan sudah takdirnya jika ia telah melalui dua
rangkaian yang disebutkan tadi, yaitu usaha dan norma. Salah jika ada orang yang
menempatkan takdir lebih dahulu daripada usaha. Memang sakit adalah takdir, tapi jika
orang tidak berusaha untuk mengatasi sakit tersebut, tentu kemungkinan besar sakitnya
tidak akan sembuh.
Berkaitan dengan wujud sifat hakikat manusia ini, sebenarnya menurut penulis masih
ada wujud sifat hakikat manusia yang lain yang tak dapat diabaikan, yaitu kemampuan
berbahasa. Hal ini pula yang membedakan antara manusia dan hewan (Hidayat, 2006:
24). Artinya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa, sedangkan
hewan tidak. Akan tetapi, pernyataan ini janganlah disamakan dengan ungkapan yang
sering muncul dalam masyarakat, yaitu bahasa binatang. Sebenarnya yang dimaksud
dengan manusia berbahasa, sedangkan hewan tidak adalah bahwa hewan tidak
memiliki karakteristik kebahasaan seperti yang dimiliki oleh manusia. Karakteristik
kebahasaan yang dimaksud, seperti unik, arbitrer, sistematis dan sistemis, simbol,
menggunakan kriteria pragmatik, berkaitan dengan bunyi-bunyi segmental,
mengandung kriteria semantis atau fungsi semantik tertentu, terbatas dan relatif tetap.
Kesimpulan
Manusia sangat jelas berbeda dengan hewan. Hal ini dapat dilihat melalui wujud sifat
hakikat manusia, yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi,
kepemilikan kata hati, moral, tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan hak,
kemampuan menghayati kebahagiaan, kemampuan berbahasa. Ditilik dari segi lain,
manusia ternyata memiliki dimensi-dimensi yang meliputi dimensi individual, sosial,
susila, dan agama. Dalam suatu proses pembelajaran, baik wujud sifat hakikat manusia
maupun dimensi-dimensi manusia yang telah dimiliki oleh setiap peserta didik perlu
dikembangkan. Tujuannya tentu saja agar mereka lebih tahu eksistensi mereka di atas
permukaan bumi ini dan agar mereka lebih tahu bahwa mereka adalah makhluk ciptaan
Allah yang pada hakikatnya berbeda dengan makhluk yang lain sehingga akan terlahir
manusia Indonesia seutuhnya seperti yang diinginkan masyarakat, bangsa, dan agama.
Daftar Bacaan Campbel, dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligences. Depok: Intuisi Press. Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa:
Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: Rosdakarya. Tirtaraharja,
Umar dan L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, 2003.
1.
2.
Filosofis berarti berdasarkan pengetahuan dan penyelidian dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hokum, termasuk termasuk teori yang
mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan (berintikan logika, estetika, metafisika,
epistemology dan falsafah)
Untuk mendapatkan landasan pendidikan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang
bersifat mendasar, sistematis dan Universal tentang ciri hakiki manusia
3.
1.
Afektif : perasaan
A.
LATAR BELAKANG
Sasaran pendidikan adalah manusia, oleh karena itu seorang pendidik haruslah
memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Manusia adalah
mahluk Tuhan yang paling sempurna yang memiliki ciri khas yang secara prinsipiil
bereda dari hewan.
Ciri khas manusia yang membedakan dengan hewan ialah hakikat manusia. Disebut
hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki manusia dan tidak
dimiliki hewan.
Dengan pemahaman yang jelas tentang hakikat manusia maka seorang pendidik
diharapan dapat membuat peta karakteristik manusia, sebagai acuan baginya dalam
bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik.
Untuk mencapai pengetahuan hakikat manusia tersebut maka akan dikemukakan
materi yang meliputi : arti dan wujud sifat hakikat manusia, dimensi dimensinya,
pengembangan dimensi tersebut dan sosok manusia Indonesia seutuhnya.
B.
BATASAN MASALAH
1.
2.
C.
RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.
D.
1.
2.
3.
4.
5.
TUJUAN
Untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah pengantar pendidikan
Untuk mengenal lenih dalam tentang sifat hakikat manusia
Untuk memhami dimensi-dimensi hakikat manusia
Untuk memahami bagaimana pengembangan dimensi hakikat manusia
Untuk mengenal sosok manusia seutuhnya
BAB 2
LANDASAN TEORI/ TINJAUAN PERPUS
A.
PENGERTIAN HAKEKAT
Hakekat itu artinya dasar, pada hakekatnya manusia itu berpendidikan, jika seorang
manusia itu tidak berpendidikan berarti ia buka seorang manusia.
B.
PENGERTIAN PENGEMBANGAN
C.
BAB 3
PEMBAHASAN
A.
1)
2)
KEMAMPUAN BEREKSISTENSI
Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan menempatkan diri dan menerobos.
Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia
terdapat unsur kebebasan .Dengan kata lain,adanya manusia bukanberadaseperti
hewan dan tumbuh-tumbuhan,melainkan meng-adadi muka bumi(drijarkra,1962:6163).Jika seandainya pada diri manusia ini tidak terdapat kebebasan,maka manusia itu
tidak lebih dari hanya sekedar esensi belaka,artinya ada hanya sekedar ber-adadan
tidak prnah meng-ada atau ber-eksistensi.Adanya kemampuan bereksistensi inilah
pula yang membedakan manusia sebagai mahkluk human dari hewan selaku mahkluk
infra human,dimana hewan menjadi orderdil dari lingkungan ,sedangkan manusia
menjadi manajer terhadap lingkungannya.
3)
diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi, kriteria baik/benar dan
buruk/salah harus dikaitkan dengan baik/benar dan buruk/salah bagi manusia sebagai
manusia. Drijarkara menyebutnya dengan baik yang integral.
Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan mampu
membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai
manusia disebut tajam kata hatinya.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang
yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan
dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan. Usaha
untuk mengubah kata hati (gewetan ferming).
4)
MORAL
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka
yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu
sendiri.
Disini tampak bahwa masih ad jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang
yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan
realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya
masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang
memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat). Itulah
sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan,yang oleh
M. J. Langevied dinamakan de opvoedeling omzichzelfswil.
Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan
yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikamanusiaan atau yang jahat, maka
etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian erat
dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai,
maka sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
5)
TANGGUNG JAWAB
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung
jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab
kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri
sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang
mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan
norma-norma sosial. Bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan
masyarakat, hukuman penjara dan lain-lain. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti
menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa dan terkutuk.
Disini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung jawab.
Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan
kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan.
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk
menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
6)
8)
DIMENSI KEINDIVIDUALAN
Lysen mengartikan individu sebagai orang seorang , sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). (Lysen, individu dan masyarakat:4)
Manusia sebagai makhluk individu mempunyai jiwa dan raga yang dalam
perkembangannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua unsur itu merupakan
monodualis, yang selalu berkembang kearah yang lebih baik dan lebih sempurna.
Dalam memberikan pendidikan kepada individu hendaklah para pendidik
memperhatikan perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Setiap anak manusia
yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau
menjadi dirinya sendiri. Seorang pakar pendidikan tersohor ditanah belanda, M.J.
Langeveld bahwa setiap orang memiliki individualitas. (M.J. Langeveld, 1955:54)
Pada abad ke-18 dan 19 aliran Rasionalisme masuk ke sekolah. Aliran ini berpendapat
hendaklah para peserta didik disuruh menghafal sebanyak-banyaknya. Dengan kata
lain, pengetahuan memberikan kepuasan dan kebehagian hidup, dengan semboyan
knowledge is power. Pendidikan yang diberikan kepada peserta didik hendaklah
seimbang antara aspek Kognitif, aspek afektif, aspek psikomotorik,
Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk mendorong
bertumbuh dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud. Pola
pendidikan yang bersifat otoriter serta patologis yang akan menghambat pendidikan.
Tugas pendidik hanya menunjukkan jalan dan mendorong subyek didik bagaimana cara
memperoleh sesuatu dalam mengembangkan diri dengan berpedoman pada prinsip
ing ngarso sungtulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Tujuan utama
pendidikan adalah membantu peserta didik membentuk kepribadiannya, atau
menemukan kediriannya sendiri
2.
DIMENSI KESOSIALAN
Menurut M.J. Langeveld (1955) sifat hakikat manusia adalah makhluk social,
individualitas, dan moralitas. Sifat sosialitas menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan
manusia yang sewajarnya atau menjadi dasar dan tujuan setiap anak dan
kelompoknya. Setiap anak pasti terlibat dalam kehidupan social pada setiap waktu,
yang dimaksud dengan interaksi social adalah suatu hubungan antara dua atau lebih
individu manusia dimana tingkah laku individu yang satu mempengaruhi, mengubah,
atau memperbaiki tingkah laku yang lain.
Sebagai makhluk social, mereka saling membutuhkan, saling membantu, dan saling
melengkapi. Manusia akan selalu berinteraksi dengan manusia lain untuk mencapai
tujuan hidupnya, dan interaksi tersebut merupakan wadah untuk pertumbuhan dan
perkembangan kepribadiannya.
Dalam hal ini, tugas pendidikan ialah mengembangkan semua potensi social sehingga
manusia sebagai makhluk social mampu berperan, dan mampu menyesuaikan diri
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 18
4.
DIMENSI KESUSILAAN
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas
jika didalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung.
Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti
menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah
yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan)
dan etika (persoalan kebaikan). Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang
lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan
sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan,
sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidak senangangan orang lain.
Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila,
serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai,
menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai
merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna
kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan
pedoman dalam hidup. Dilihat asal dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga
macam, yaitu nilai otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut pendapat
seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif (kebaikan menurut kelompok), dan
nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan).
DIMENSI KEAGAMAAN
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas
jika didalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung.
Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti
menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah
yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan)
dan etika (persoalan kebaikan). Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang
lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan
sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan,
sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidak senangangan orang lain.
Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila,
serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai,
menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai
merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna
kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan
pedoman dalam hidup. Dilihat asal dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 19
macam, yaitu nilai otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut pendapat
seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif (kebaikan menurut kelompok), dan
nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan).
C. PENGEMBANGAN DIMENSI HAKEKAT MANUSIA
pendidikan adalah manusia, artinya bahwa pengembangan dimensi hakikat manusia
menjadi tugas pendidik.Ketika terlahir ke dunia manusia telah dikaruniai oleh Tuhan
dimensi manusia dalam wujud potensi, namun belum teraktualisasi menjadi wujud
kenyataan atau aktualisasi.Dan dari kondisi potensi menjadi wujud aktualisasi terdapat
rentang-rentang proses yang mengundang pendidikan untuk berperan.
Meskipun pada dasarnya pendidikasn itu baik tetapi dalam pelaksanaan mungkin saja
terjadi kesalahankesalahan yang secara lazimnya disebut salah didik. Hal itu bisa
terjadi karena pendidik itu adalah manusia biasa, yang tidak luput dari kelemahankelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang terjadi:
1)
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor,
yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas
pendidikan yang disediakan untuk memberi pelayanan atas perkembangannya.
Selanjutnya pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai segi yaitu : wujud
dimensi dan arahnya.
a)
b)
D.
BAB 4
KESIMPULAN
b. Psikologi Praktis
1). Psikodiagnostik
2). Psikologi Klinis dan Bimbingan Psikologis
3). Psikologi Perusahaan
4). Psikologi Pendidikan
Perkembangan merupakan suatu proses sosialisasi dalam bentuk irnitasi yang
berlangsung dengan adaptasi (penyesuaian) dan seleksi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan manusia adalah keturunan, lingkungan, dan manusia itu
sendiri.
Fase-fase perkembangan menurut beberapa ahli psikologi :
a. Menurut Aristoteles
1). 0,0-7,0 : masa anak kecil
2). 7,0-14,0 : masa anak
3). 14,0-21,0 : masa remaja
b. Menurut Mantessori
1). 0,0-7,0 : periode penemuan dan pengaturan dunia luar.
2). 7,0-12,0 : periode rencana abstrak
3). 12,0-18,0 : periode penemuan diri dan kepekaan sosial
4). 18,0- : periode pendidikan tinggi
c. Menurut Comenius
1). 0,0-6,0 : scola matema
2). 6,0-12,0 : scolavernatulata
3). 12,0-18,0 : scola latina
4). 18,0-24,0 : acodemia
3.
PERUBAHAN TINGKAH LAKU AKIBAT BELAJAR
Pengertian belajar dapat disimpulkam sebagai berikut :
a.
Dengan belajar itu belajar itu diharapkan tingkah laku seseorang akan berubah.
b.
Dengan belajar pengetahuan dan kecakapan seseorang akan bertarnbah.
c.
Perubahan tingkah laku dan penambahan pengetahuan ini di dapat lewat suatu
usaha.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar adalah :
a.
Anak yang belajar meliputi faktor fisiologis dan psikologis.
b.
Faktor dari luar :
1). endogen :
a.
fisiologis (kesehatan fisik dan indra)
b.
psikologis :
- adanya rasa ingin tahu.dari siswa.
- kreatif, inovatif de akseleratif
- bermotivasi tinggi.
- adanya sifat kompetitif yang sehat
- kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, aktualisasi diri, kasih sayang
dan rasa memiliki.
2). eksogen :
c.
instrumental (kurikulum, program, laboratorium)
d.
lingkungan (sosial dan non sosial)
Pusat berlangsungnya pendidikan adalah :
a. Keluarga.
b. Sekolah.
c. Masyarakat.
Ciri-ciri keberhasilan pendidikan pada seseorang dapat terlihat pada :
a.
Mengerti benar akan tugasnya dengan baik dan didorong oleh rasa tanggung
jawab yang kuat terhadap dirinya serta terhadap Tuhan.
b.
Mampu mengadakan hubungan sosial dengan bekerja sama dengan orang lain.
c.
Mampu menghadapi segala perubahan dunia karena salah satu ciri kehidupan
ialah perubahan.
d.
Sadar akan dirinya dan harga dirinya sehingga tidak mudah memperjualbelikan
dirinya dan kreatif.
e.
Peka terhadap nilai-nilai yang sifatnya rohaniah.
Pribadi manusia tidak dapat dirumuskan sebagai suatu keseluruhan tanpa sekaligus
meletakkan hubungannya dengan lingkungan. Jadi kepribadian adalah suatu kesatuan
psikofisik termasuk bakat, kecakapan, emosi, keyakinan, kebiasaan, menyatakan
dirinya dengan khas di dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Sedangkan peranan pendidik dalam pengembangan kepribadian adalah menjadi
jembatan penghubung atau media untuk mengaktualisasikan potensi psikofisik individu
dalam menyelesaikan diri dengan lingkungannya.
LATAR BELAKANG
Sasaran Pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik
untuk menumbuhkembngkan potensi-potensi kemanusiannya. Manusia memiliki cirri khas yang
secara prinsipil berbeda dengan hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan
terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Diseut hakikat
sifat manusia karenasecara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat
pada hewan.
Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat manusia akan membentuk peta tentang
karateristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberikan acuan baginya dalam
bersikap, menyusun strategi, metode, dan tehnik, serta memilih pendekatan dan orentasidalam
merancangdan melaksanakan komunikasitransaksionaldi dalam transaksi edukatif. Peta ini juga
akan menjadi landasan karena adanya perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat
dewasa ini, lebih-lebih pada masa mendatang.
2.
Kemampuan bereksistensi
3.
4.
Moral
5.
6.
Rasa kebebasan
7.
8.
menghayati kebahagiaan
Kemampuan
B.Kemampuan bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan
dirinyasebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat
menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya.
Kemampuan menerobos ini bukan saja soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Kemampuan
menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi.
C.Kata hati
Kata hati atau conscieice of Man juga serung disebut dengan istilah hati nurani, lubuk
hati, pelita hati, dan sebagainya. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang ap yang
akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya. Bahkan mengerti juga akibatnya baik atau buruk
bagi manusia sebagai manusia.
D.Moral
Jika kata hati dikatakan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka
yang dimaksud dengan moral adlah perbuatan itu sendiri. Di sini masih tampak bahwa masih
ada jarak antar kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang
tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk
menjembatanijarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu
kemauan.
E.Tanggung jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab ada
bermacam-macam, ada bertanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, dan kepada Tuhan.
F.Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas tidak merasa terikat oleh sesuatu tetapi sesuai denagn
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu rasa bebas dan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia yang berarti ada
ikatan.
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Ambillah missal
tentang sebutan senang, gembira, baahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu.
Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedangmengalami rasa senang
atau gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan. Maka kita bisa menyimpulkan bahwa
kebahagiaan itu rupanya tdk terletak pada keadaannya sendiri secara factual atuapun pada
rangkaian prosesnya tetapi terletak pada kesanggupannya menghayati semua itu dengan
keheningan jiwa, dan menundukan suatu hal di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu :
usah, norma-norma dan takdir. Usaha adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi
masalah hidup. Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu ada norma-norma dan kaidahkaidah. Kemudian takdir merupakan rangkaian yang terpisah dalam proses terjadinya
kebahagiaan. Komponen takdir ini erat bertalian dengan komponen usaha.
PENGEMBANGAN MANUSIA
Seperti telah berulangkali dikatakan sasaran pendidikan adalah manusia sehingga
dengan sendirinya pengembangan manusia menjadi tugas pendidikan. Manusia lahir telah
dikarunia hakikatmanusia tetapi masih dalam potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud
kenyataan atau aktualisasi. Dari kondisi potensi menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan
proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam nenberikan jasanya. Meskipun
pendidikn pada dasarnya adalah baik tetapi dalam pelaksanaannya mungkin saja bisa terjadi
kesalahan yang lazimnya disebut salah didik. Sehubung dengan itu ada dua kemungkinan yang
bisa terjadi, yaitu :
A.
Manusia berpendidikan
B. Manusia Berbudaya
Seorang yang disebut berbudaya adalah seorang yang menguasai dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya nilai-nilai etis dan moral yang
hidup di dalam kebudayaan tersebut . Seseorang dapat saja berpendidikan luas dan
tinggi tetapi hidupnya tidak bermoral. Dalam hal ini orang tersebut berpendidikan tapi
tidak berbudaya.
Menurut peters, seorang terpelajar adalah seorang yang knowledgeable.
Seorang yang berpengetahuan luas (knowledgeable) belum tentu seorang yang
terpelajar oleh karena apa yang dilihatnyaperlu ditransformasikan dalam apa yang
diketahuinya mengenai keseluruhan kehidupan.
PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan yabg baik bukanlah pendidikan yang menyamaratakan manusia
tetapi yang pertama-tama memberikan kesempatan kepada perkembangan manusia itu
yang utuh yang kemudian dilengkapi dengan pengembangan kemampuan khususnya.
Pendidikan umum atau juga berbentuk wajib belajar bagi semua warga Negara, barulah
merupakan dasar pertama dan utama bagi pengembangan seorang manusia yang
utuh. Rumusan pendidikan nasional antara lain :
1. Rumusan Ki Hajar Dewantara
Rumusan pendidikan yang dirumuskan oleh Ki hajar Dewantara di dalam
Taman Siswa dapat kita lihat dengan jelas tergambar dalam asas-asas Taman
Siswa yang di kenal dengan Pancadharma yaitu kodrat alam, kemerdekaan,
kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan.
2. Rumusan M.Safei
Muhammad Safei merumuskan tujuan pendidikan ialah menjadikan manusia
Indonesia yang memiliki seperangkat kelengkapan sikap sebagai berikut :
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 28
Sifat-sifat yang perlu dimiliki peserta didik tersebut ialah untuk menyiapkan
peserta didik memperoleh dua surge yaitu surge di dunia dan surge di akhirat.
Apabila kita simak konsep pemikiran kedua tokoh peletak dasar pendidikan
nasional, maka keduanya memiliki berbagai persamaan yang mendasar. Yang pertama
ialah tujuan pendidikan bukanlah semata-mata untuk mengembangkan kemampuan
intelaktual. Kemampuan intelektual memang perlu tetapi bukan segala-galanya oleh
karena kemampuan intelektual yang telah dikembangkan tujuanny ialah untuk
meningkatkan taraf hidup peserta didik maupun masarakat. Yang kedua pendidikan
tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan, karena kebudayaan yang terus berkembang
merupakan landasan pendidikan. Yang ketiga peranan pendidikan bukan hanya
sekedar penerima nilai-nilai kebudayaan tetapi juga sebagai unsur pengembang
kebudayaan. Dengan demikian kedua tokoh tersebut melihat pendidikan sebagai suatu
proses kehidupan yaitu untuk menolong diri sendiri dan meningkatkan martabat
masyarakat.
Setelah kita jajagi berbagai konsep yang pernah hidup di dalam dunia pendidikan
nasional, maka dapat kita rumuskan bahwa manusia Indonesia yang berpendidikan adalah
sekaligus manusia yang berbudaya. Oleh sebab itu praksis pendidikan nasional haruslah
memenuhi berbagai criteria sebagai berikut :
3. Pendidikan nasional harus dan perlu mengembangkan sikap sopan santun dalam
pergaulan bermasyarakat.
4. Praksis pendidikan di semua lembaga pendidikan ialahmengembangkan manusia
Indonesia yang bermoral dalam tingkah laku.
5. Praksis pendidikan di semua jenis dan jenjeng pendidikan harus dan perlu
mengembangkan rasa kebangsaan Indonesisa, rasa bangag menjadi orang
Indonesia yang berbudaya kebangsaan Indonesia.
tentang diri mereka sendiri sebagai kelompok yang berbeda, diorganisasi, sebagai
kelompok yang diorganisasi secara tetap untuk waktu yang lama dalam rintang
kehidupan seseorang secara terbuka dan bekerja pada daerah geografls tertentu, (2)
kelompok orang yang mencari penghidupan secara berkelompok, sampai turun
temurun dan mensosialkan anggota anggotanya melalui pendidikan, (3) suatu ke orang
yang mempunyai sistem kekerabatan yang terorganisasi yang mengikat anggotaanggotanya secara bersama dalam keselurhan yang terorganisasi.
Pendapat tersebut di atas tidak berbeda dengan pendapat Liton yang dikutip oleh Indan
Encang (1982, p.14) yang menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok
manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat
mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial
dengan batas-batas tartentu.
Pengertian masyarakat tersebut di atas merupakan pengertian yang sangat luas.
Penduduk Indonesia sebagai masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Penduduk yang berpikir tentang dirinya sendiri sebagai suatu kelompok yang
berbeda dengan kelompok penduduk pada suatu masyarakat lain seperti
penduduk Singapura, kelompok Jawa, Sunda, Banjar, Maluku, Sasak merupakan
kelompok bagian dari penduduk Indonesia.
2.
Penduduk Indonesia ini secara relatif mencukupi kebutuhan diri sendiri sebagai
suatu kelompok yaitu mencukupi kehidupannya dalam masyarakatnya terutama
dengan bercocok tanam yang ditopang dengan perindustrian.
3.
Penduduk Indonesia telah ada sebagai kelompok sosial yang diakui pada
periode waktu yang lama sampai sekarang, yaitu sejak Indonesia Merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945.
4.
Mereka hidup dan bekerja dalam beribu-ribu pulau besar dan kecil yang terletak
di daerah geografis antara Samudera India dan Samudra Pasifik antara benua Asia
dan Australia.
5.
Pengarahan anggota dari masyarakat Indonesia ini melalui unit-unit keluarga
yang kecil seperti kelompok-kelompok etnik dan keluarga merupakan kelompok
yang terkecil.
6.
Sosialisasi anak-anak melalui sekolah terutama pada anak-anak umur empat
atau lima tahun sampai 18 tahun baik melalui sekolah negeri maupun swasta baik
melalui pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.
7.
Masyarakat Indonesia ini mengikat anggota-anggotanya melalui sistem yang
digeneralisasikan dan suatu kekerabatan. Sistem ini didasarkan pada prinsipprinsip demokrasi, dalam kehidupan sosial politik, kehidupan ekonomi dan
lapangan kehidupan yang lain. Ikatan yang paling kuat adalah adanya satu
pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan dasar hukum nasional
yang satu yaitu UUD 1945.
Pengertian individu :
Dalam ilmu sosial individu merupakan bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang
tidak dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Umpama keluarga sebagai
kelompok sosial yang terkecil terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah merupakan individu
yang sudah tidak dapat dibagi lagi, demikian pula Ibu. Anak masih dapat dibagi sebab
dalam suatu keluarga jumlah anak dapat lebih dari satu.
Hubungan individu dan masyarakat secara umum :
Hubungan antara individu dan masyarakat telah lama dibicarakan orang. Soeyono
Soekanto (1981, p.4) menyatakan bahwa sejak Plato pada zaman Yunani Kuno telah
ditelaah tentang hubungan individu dengan masyarakat. K. J. Veerger (1986, p. 10)
lebih lanjut menjelaskah bahwa pembahasan tentang hubung individu dan masyarakat
telah dibahas sejak Socrates guru Plato.
Hubungan antara individu dan masyarakat telah.banyak disoroti oleh para ahli baik para
filsuf maupun para ilmuan sosial. Berbagai pandangan itu pada dasarnya dapat
dikelompokkan kedalam tiga pendapat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa (1)
masyarakat yang menentukan individu, (2) individu yang menentuk masyarakat, dan (3)
idividu dan masyarakat saling menentukan.
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 31
tiap-tiap warga negara dan pemerintah, pasal 33 yang mengatur tentang (1)
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan,
(2) cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air dan kekayaan-kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesamya kemakmuran rakyat, pasal 34 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara. Dalam pasal 27 dijelaskan bahwa setiap warga negara
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28
menyatakan tiap-tiap warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat, berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana ditetapkan dalam Undangundang. Pasal 29 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara
kesatuan yang berbentuk Republik dan kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR. Jika pasal demi pasal tersebut di atas diperhatikan maka jelas
bahwa individu dan masyarakat diberi kewajiban dan hak dalam mengejar kehidupan
yang bahagia sejahtera.
Dalam Ketetapan MPR nomor II/MPR/l988 tentang tujuan pembangunan nasional
dijelaskan bahwa pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah
negara Kesatauan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan
berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram,
tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat,
tertib dan damai.
Dan pemyataan ini dapat diketahui bahwa kepentingan individu dan kepentingan
bersama-sama mendapat perhatian dan diberi tempat yang sama dalam menciptakan
kehidupan yang bahagia sejahtera.
Berdasarkan ketetapan MPR NO. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila dijelaskan tentang Pandangan Pancasila terhadap hubungan
individu dan masyarakat bahwa. kebahagian manusia akan tercapai jika dapat
dikembangkan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antara manusia dan
masyarakat. Hubungan sosial yang selarasdan serasi, selaras dan seimbang itu antara
individu dan masyarakat itu tidak netral, tetapi dijiwai oleh nilai-nilal yang terkandung
dalam lima sila dalam Pancasila secara kesatuan.
Dan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan integralisme ini tidak
lain adalah pandangan Pancasila yang memandang hubungan individu dan masyarakat
itu secara serasi selaras dan seimbang dalam menciptakan manusia yang sejahtera
dan bahagia lahir batin, dunia dan akhirat.
Sedangkan kemampuan hewan lebih bersifat instingtif dan kemampuan berfikir sangat
rendah untuk mencari makan, mempertahankan diri dan mempertahankan
kelangsungan hidup jenisnya.
Pada hakikatnya hewan tidak menyadari tugas hidupnya, dan ia melakukan sesuatu
atas dorongan dari dalam jiwanya. Dorongan itu merupakan perintah baginya yang
harus dilaksanakan apabila ia menemui rintangan dari luar, misalnya dihalang-halangi
oleh manusia atau hewan lain, dengan bermacam-macam usaha barulah ia melawan
instingnya.
Lain halnya manusia, selain mahluk instingtif manusia juga mampu berfikir (homo
sapiens) mampu mengubah dan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan rasa
keindahan dan kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu manusia adalah mahluk moral dan
religius.
Dari penjelasan tentang perbedaan manusia dan hewan diatas, kemudian timbul
pertanyaan , apakah manusia itu ?.
Beberapa pandangan tentang hakikat manusia disebutkan secara singkat sebagai
berikut:
Pandangan psikoanalitik
Tokoh psikoanalitik (Hansen, Stefic, Wanner, 1977) menyatakan bahwa manusia pada
dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif.
Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah
ada pada diri seseorang, tidak ditentukan oleh nasibnya tetapi diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan dan insting biologisnya.
Sigmund Freud mengemukakan bahwa struktur kepribadian seseorang terdiri dari tiga
komponen yakni: ide, ego dan super ego. Masing-masing komponen tersebut
merupakan berbagai insting kebutuhan manusia yang mendasari perkembangan
individu.
Dua insting yang paling penting adalah insting seksual dan insting agresi yang
menggerakkan manusia untuk hidup dengan prinsip pemuasan diri. Dengan demikian
fungsi ide adalah mendorong manusia untuk memuaskan kebutuhannya setiap saat
sepanjang hayat tetapi fungsi ide untuk menggerakkan tersebut ternyata tidak dapat
leluasa menjalankan fungsinya karena menghadapi lingkungan yang tidak dapat
diterobos begitu saja. Banyak pertimbangan yang harus diperhatikan yang tidak dapat
dilanggar begitu saja.
Lain halnya dengan ide maka fungsi ego adalah menjembatani tuntutan ide dengan
realitas dunia luar. Dia mengatur dan mengarahkan pemenuhan ide dalam memuaskan
instingnya selalu mempertimbangkan lingkungannya. Dengan demikian ego lebih
berfungsi kepribadian, sehingga perwujudan fungsi ide itu menjadi tidak tanpa arah.
Dalam perkembangan lebih lanjut, tingkah laku seeseorang tidak hanya ditentukan oleh
fungsi ide dan ego saja, melainkan juga fungsi yang ketiga yakni super ego.
Super ego tumbuh berkat interaksi antara individu dan lingkungannya yang terdiri dari
aturan, nilai, moral, adat istiadat, tradisi , dsb. Dalam hal ini fungsi super ego adalah
mengawasi agar tingkah laku seseorang sesuai dengan aturan, nilai, moral, adat
istiadat, yang telah meresap pada diri seseorang. Dengan demikian super ego memiliki
fungsi control dari dalam diri individu.
Demikianlah bahwa kepribadian seseorang berpusat pada interkasi antara ide, ego dan
super ego menduduki peranan perantara antara ide dengan lingkungan dan antara ego
dengan super ego. Sedangkan peranan ego dalam menjembatani ide dengan super
ego dapat dilihat dalam kaitannya dengan kecenderungan seseorang untuk berada
pada dua ekstrem.
Seseorang yang didominasi idenya tingkah lakunya impulsive, dan seseorang yang
didominasi super egonya cenderung berperilaku moralistik.
Dari pandangan yang tradisional di atas berkembanglah paham baru yang disebut
neoanalitik. Paham ini berpendapat bahwa manusia tidak seperti binatang yang
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 37
digerakkan oleh tenaga dalam (innate energy). Tingkah laku manusia itu banyak yang
terlepas dan tidak dapat disangkutkan dari dalam. Manusia pada dasarnya memiliki
kemampuan untuk menanggapi berbagai jenis perangsang dan perwujudan diri itu
hanya sebagian saja yang dapat dianggap sebagai hasil tenagan dalam. Pada masa
bayi, manusia memang menanggapi dunia dengan insting-instingnya untuk memenuhi
kebutuhannya misalnya lapar,. Namun, tingkah laku instingtif tersbut makin dewasa
makin berkurang dan akhirnya sebagian besar tingkah laku tersebut didasarkan pada
rangsangan dari lingkungannya.
Kaum neoanalis pada dasarnya masih meyakini adanya komponen ide, ego dan super
ego, namun lebih menekankan pentingnya ego sebagai pusat kepribadian individu. Ego
tidak dipandang sebagai fungsi pengarah perwujudan ide saja, melainkan sebagai
fungsi pokok yang bersifat rasional dan tanggung jawab atas tingkah laku intelektual
dan sosial individu.
Pandangan Humanistik
Pandangan humanistic (Hansen, dkk, 1977) menolak pandangan freud bahwa manusia
pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki control terhadap
nasibnya sendiri. Tokoh humanis (Rogers) berpendapat bahwa manusia itu memiliki
dorongan untuk menyerahkan dirinya sendiri ke arah positif, manusia itu rasional,
tersosialisasikan dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia
mampu mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri. Jika manusia dalam
keadaan yang memungkinkan dan mempunyai kesempatan untuk berkembang maka
akan mengarahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang maju dan positif, terbebas dari
kecemasan dan menjadi anggota masyarakat yang bertingkah laku secara memuaskan.
Lebih lanjut Rogers mengemukakan bahwa pribadi manusia sebagai aliran atau arus
yang terus mengalir tanpa henti, tidak statis, dan satu kesatuan potensi yang terusmenerus berubah.
Pandangan Adler (1954) bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan
untuk memuaskan dirinya sendiri, namun digerakkan oleh rasa tanggung jawab social
serta oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Lebih dari itu bahwa individu
melibatkan dirinya dalam bentuk usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri dalam
membantu orang lain dan membuat dunia menjadi lebih baik untuk ditempati.
manusia oleh manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk yang cerdik yang tidak
merasa puas dalam keadaan yang aman, tentram, bahagia dan tergoda untuk
melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Namun anehnya, setelah aturan dilanggar
terkuaklah sejarah kemanusiaan yang sejati melalui berbagai ketidak pastian,
perjuangan dan kegagalan. Sejarah kemanusiaan ini sejalan dengan aturan Tuhan.
Pandangan Behaviouristik
Kaum behavioristik (dalam Hansen, dkk, 1977) pada dasarnya menganggap bahwa
manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh factorfaktor yang datang dari luar. Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku
manusia. Dengan demikian kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata
kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh
hukum-hukum belajar, seperti teopri pembiasaan (conditioning) dan peniruan.
Manusia tidak datang ke dunia ini dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya baik
dan jelek, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi kepribadian individu semata-mata
tergantung pada lingkungannya. Tingkah laku adalah hasil perkembanagan individu dan
sumber dari hasil ini tidak lain adalah lingkungan.
Pandangan behavioristik sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat
manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari adanya ciri-ciri penting
yang ada pada manusia dan yang tidak ada pada ciri-ciri mesin atau binatang, seperti
kemampuan memilih, menetapkan tujuan, mencipta. Dalam menanggapi kritik ini
Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuan-kemampuan itu sebenarnya terwujud
sebagai tingkah laku juga yang berkembangnya tidak berbeda dari tingkah laku lainnya.
Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Semua ciri
yang dimiliki oleh manusia harus dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah.
Dibandingkan dengan binatang mungkin manusia adalah binatang yang sangat unik,
binatang yang bermoral , namun manusia tidak dapat dikatakan memiliki moralitas.
Yang disebut sebagai moral itupun mewujudkan dalam tingkah laku sebagai hasil
belajar berkat pengaruh lingkungan. Pendekatan behavioristik tidaklah
mendehumanisasikam manusia, melainkan justru memanusiakan manusia, yaitu
mengatasi kekerdilan manusia. Hanya dalam hubungannya dengan lingkungan yang
didekati secara ilmiahlah kekerdilan manusia dapat diatasi dan harkat manusia
dipertinggi.
Setelah mengikuti beberapa pandangan tentang manusia tersebut di atas dapatlah
ditarik beberapa pengertian bahwa:
1. Manusia pada dasarnya memiliki tenaga dalam yang menggerakkan hidupnya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya;
2. Dalam diri manusia (individu) ada fungsi yang bersifat rasional dan bertanggung
jawab atas tingkah laku sosial dan rasional individu;
3. Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan positif, mampu mengatur dan
mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya sendiri;
4. Manusia pada hakikatnya dalam proses menjadi, berkembang terus tidak
pernah selesai,
5. dalam hidupnya individu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia lebih baik untuk
ditempati;
6. Manusia merupakan suatu keberadaaan berpotensi yang perwujudannya
merupakan ketakterdugaan, namun potensi ini terbatas;
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 39
7. Manusia adalah mahluk Tuhan yang mengandung kemungkinan baik dan jahat;
dan (8) Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku ini
merupakan wujud kepribadian manusia.
mereka
meningkatakan
kualitas
hubungannya
dengan
Jadi Manusia adalah mahluk monodualis ciptaan Tuhan yang dikaruniai status sebagai
Khalifah Allah diatas bumi.Bayi dianugerahi keadaan jasmani yang lemah tetapi
memiliki potensi-potensi jasmaniah berupa konstruksi tubuh lengkap serta rokhaniah
berupa daya cipta,rasa,kar,intuisi,bakat.Faktor-faktor potensi bawaan inilah yang
membedakan manusia yang satu dengan yang lainya yang bersifat unik yang dapat
berkembang dengan adanya pengaruh lingkungan. Sehingga seorang individu akan
menemukan rasa kepribadiannya.
dimensi individual adalah keperibadian seseorang
hal
ini
berlaku
pada
sifat-sfat
fisiknya
maupun
hidup
kejiwaannya
(kerohaniannya).
Setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan bandingannya) dengan adanya
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 41
Dimensi kesosilaan
dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk
bergaul,dengan
adanya
dorongan
untuk
bergaul,setiap
orang
ingin
bertemu
tertentu
pula.
menyatakan
manusia
hanya
menjadi
manusia
jika
berada
diantara
manusia,maksudnya tidak ada seorang manusia pun yang dapat hidup seorang diri
sifat-sifat
sesamanya,dalam
yang
saling
tidak
dicocokinya.hanya
menerima
dan
didalam
berintraksi
memberi,seseorang
dengan
menyadari
dan
Dimensi kesusilaan
Susiala berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan lebih
tinggi.akan tetapi dalm kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat
yang pantas jika didalamyang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan
terselubung. dimensi kesusilaan disebut juga keputusan yang lebih tinggi.kesusilaan
diartikan mencakup etika dan etiket.etika adalah (persoalan kebaikan ) sedangkan
etiket adalah (persoalan kepantasan dan kesopanan ). pada hakikatnya manusia
memiliki
kemampuan
untuk
mengambil
keputusan
susila,serta
sebagainya,sehingga
hidup.Pendidikan
kesusilaan
dapat
berarti
diyakini
dan
menanamkan
dijadikan
kesadaran
pedoman
dan
dalam
kesediaan
Dimensi keberagamaan
pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius.beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat bertopang,agama menjadi sandaran vertikal manusia. dan
Manusia adalah mahluk religius yang dianugerahi ajaran-ajaran yg dipercayainya yang
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 43
menurut
agama
masing-masing.
sadar
dirinya
terpanggil
untuk
berbuat
baik
bagi
orang
lain
dan
nilai-nilai universal yang diakomodasi dan diadaptasi dalam nilai-nilai khas yang
terkandung dalam budaya bangsa.Sebagai manusia Indonesia yang ideal adalah
manusia yang memiliki pikiran,ide,gagasan yang terkristal dalam kelima nilai dasar
dalam Pancasila.
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai cirri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil ( jadi
bukan hanya gradual ) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia
dan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Bahkan
beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu zoon politicon ( hewan yang
bermasyarakat ), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke tier
( Hewan yang sakit ) yang selalu gelisah dan bermasalah.[4]
Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual yaitu suatu perbedaan
yang dengan melalui proses rekayasa dapat dibuat sama keadaannya, misalnya air
yang karena perubahan temperature lalu menjadi es. Seolah-olah dengan kemahiran
rekayasa pendidikan, orang hutan dapat dirubah menjadi manusia.
1. Wujud Sifat Hakikat Manusia
Wujud sifat hakikat manusia yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme yaitu :
1. Kemampuan menyadari diri.
Kaum Rasionalisme menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya
kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya)
memiliki cirri yang khas atau karakteristik diri. Hal ini yang menyebabkan manusia dapat
membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain. Bahkan bukan hanya membedakan,
lebih dari itu manusia bias membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya.
Kemampuan membuat jarak ini berarah ganda yaitu arah keluar dan arah kedalam.
Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek,
selnajutnya aku memanipulasi ke dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuihannya.
Puncak aktifitas yang mengarah keluar ini dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan
arak ke dalam, aku memberi status kepada lingkungannya sebagai subjek yang
berhadapan dengan aku sebagai objek yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan
dan tenggang rasa. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu
yang terpuji. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek social,
sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas
manusia.
1. Kemampuan Bereksistensi
Manusia merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan untuk menerobos dan
mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemempuan menempatkan diri dan
menerobos inilah yang disebut dengan kemempuan bereksistensi. Jika seandainya
pada diri amnesia tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksisitensi, maka
manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar esensi belaka, artinya ada hanya sekedar
berada dan tidak pernah mengada atau bereksisitensi. Adanya kemampuan
bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari
hewan selaku mekhluk infra human, di mana hewan menjadi onderdil dari lingkungan,
sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungan. Kemampuan bereksistensi
perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya,
belajar mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa
depan serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak.
1. Kata Hati
Kata hati merupakan kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan
yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral, kata
hati merupakan petunjuk bagi moral/ perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati yang
tumpul menjadi kata hati yang tajam adalah pendidikan kata hati ( gewetan forming).
Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.
Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral yang didasari oleh kata hati yang
tajam.
1. Moral
Moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi
manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi atau
luhur. Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun
merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral yang buruk, lazimnya
disebut tidak bermoral.
1. Tanggung Jawab
Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu
perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu
perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati,
oleh masyarakat, oleh agama-agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
Dan uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
1. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang
berlangsung dalam keterikatan. Kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan
moral.
1. Kewajiban dan Hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain.
Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada
saat itu belum dipenuhi), begitu sebaliknya.
1. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan
hidup yang disebut kebahagiaan ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi
tidak sulit untuk dirasakan. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai
himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu,
yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan
sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi
dari kesemuanya itu (yang menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu
bentuk penghayatan hidup yang disebut bahagia
[1] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia Jakarta, 2002, hal. 277
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran, Lentera Hati Bandung, 2002. hal. 120
[3] Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan,Rineka Cipta Jakarta, 2005, hal.2
[4] Ibid, hal.3
BAB I
PENDAHULUAN
1.4. Latar Belakang
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik
untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaanya. Potensi kemanusiaan
merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Tugas mendidik hanya
mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika pendidikan memiliki ciri khas
yang secara prinsipil berbeda dengan hewan.
Ciri khas manusia yang membedakanya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu
dari apa yang disebut dengan hakekat menusia. Disebut sifat hakekat manusia karena
secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan.
Pemahaman pendidikan terhadap sifat hakekat manusia akan membentuk peta tentang
karakteristik manusia dalam bersikap, menyusun startegi, metode dan tekhnik serta
memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi
dalam interaksi edukatif.
Sebagai pendidik bangsa Indonesia, kita wajib memiliki kejelasan mengenai hakekat
manusia Indonesia seutuhnya. Sehingga dapat dengan tepat menyusun rancangan dan
pelaksaaan usaha kependidikannya. Selain itu, seorang pendidik juga harus mampu
mengembangkan tiap dimensi hakikat manusia, sebagai pelaksanaan tugas
kependidikanya menjadi lebih profesional.
1.2 Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian latar belakang diatas, dapat diambil beberapa rumusan masalah
antara lain:
a) Apa yang dimaksud dengan sifat hakikat manusia?
b) Bagaimana wujud sifat hakikat manusia?
c) Bgaimana pengembangan wujud sifat hakikat manusia?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
a)
Untuk mengenal lebih dalam tentang sifat hakikat manusia.
b)
Untuk mengetahui wujud sifat hakikat manusia.
c)
Untuk memahami pengembangan wujud sifat hakikat manusia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian sifat dan hakikat manusia
Menurut ahli psikologi menyatakan bahwa hakekat manusia adalah rohani, jiwa atau
psikhe. Jasmani dan nafsu merupakan alat atau bagian dari rokhani. Sifat hakikat
manusia adalah ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil membedakan manusia dari
hewan, meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama dilihat dari
segi biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak
dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan, menyusui anaknya dan pemakan
segala. Bahkan carles darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang menemukan
bahwa manusia berasal dari primat atau kera tapi ternyata gagal karena tidak
ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah
dari primat atau kera.
Disebut sifat hakikat manusia karena secara haqiqi sifat tersebut hanya dimiliki oleh
manusia dan tidak terdapat pada hewan. Karena manusia mempunyai hati yang halus
dan dua pasukannya. Pertama, pasukan yang tampak yang meliputi tangan, kaki, mata
dan seluruh anggota tubuh, yang mengabdi dan tunduk kepada perintah hati. Inilah
yang disebut pengetahuan. Kedua, pasukan yang mempunyai dasar yang lebih halus
seperti syaraf dan otak. Inilah yang disebut kemauan. Pengetahuan dan kemauan inilah
yang membedakan antara manusia dengan binatang.
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 48
4.
Moral
Moral juga disebut sebagai etika adalah perbuatan sendiri. Moral yang singkron dengan
kata hati yang tajam yaitu benar-benar baik manusia sebagai manusia merupakan
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 49
moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur). Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron
dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul
disebut moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak
bermoral. Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilainilai yang tinngi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang
tinggi. Moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah,
yang berperikemanusiaan atau yang jahat.
5. Tanggung Jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung
jawab bermaam-macam yaitu tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat,
dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan
kata hati, misalnya penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada
masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial. Bertanggung jawab
kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama misalnya perasaan
berdosa dan terkutuk.
Tanggung jawab yaitu keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai
dengan tuntutan kodrat manusia. Dengan demikian tanggung jawab dapat diartikan
sebagai keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan
kodrat manusia.
6. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak terikat oleh sesuatu) yang sesuai dengan kodrat
manusia. Kemerdekaan berkait erat dengan kata hati dan moral. Yaitu kata hati yang
sesuai dengan kodrat manusia dan moral yang sesuai dengan kodrat manusia.
7. Kewajiban dan Hak
Kewajiban merupakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh manusia. Sedangkan hak
adalah merupakan sesuatu yang patut dituntut setelah memenuhi kewajiban
Dalam realitas hudup sehari-hari, umumnya diasosiasikan dengan sesuatu yang
menyenangkan. Sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban. Tetapi ternyata
kewajiban bukanlah menjadi beban melainkan suatu keniscayaan.
Realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relatif, disesuaikan dengan
situasi dan kondisi. Jadi, meskipun setiap warga punya hak untuk menikmati
pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang tersedia belum memadai maka orang
harus menerima keadaan relisasinya sesuai dengan situasi dan kondisi.
8. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Kebahagiaan
tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan saja, tetapi merupakan integrasi dari
segenap kesenangan, kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman pahit dan
penderitaan.
Manusia adalah mahluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungan, diri
sendiri dan Tuhan. Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan
masyarakat dengan lingkungannya, dengan diri sendiri dan dengan Tuhan.
Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas
hubungannya sebagai mahluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan
memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Kebahagiaan ini dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat
dikembangkan, yaitu kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha
dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan
penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan
keagamaan.
4. Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum
manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat
dijangkau dengan perantara alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural
yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan
diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos.
Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya. beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat
dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Ph. Khonstam
berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam
lingkungan keluaraga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.
Pemerintah dengan berlandaskan GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam
kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (Pelita V). Di sini
perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama
ditingkatkan, namun harus tetap disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata
pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi dari segisegi afektif harus diutamakan.
2.4 Pengembangan Wujud Sikap Hakikat Manusia
Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujud
potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan. Dari kondisi potensi menjadi
wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk
berperan dalam memberikan jasanya.seseorang yang dilahirkan dengan bakat seni
misalnya, memerlukan pendidikan untuk diproses menjadi seniman terkenal. Setiap
menusia lahir dikaruniai naluri yaitu dorongan-dorongan yang alami (dorongan makan,
seks, dan mempertahankan diri, dan lain-lain). Jika seandainya manusia dapat hidup
hanya dengan naluri maka ia tidak berbeda dengan hewan. Hanya melalui pendidikan
status hewani itu dapat diubah kea rah ststus manusiawi.meskipun pendidikan itu pada
dasarnya baik tetapi pelaksanaannya mungkin saja terjadi kesalahan-kesalahan yang
biasa disebut salah didik.
Hal tersebut dapat terjadi karena pendidik adalah manusia biasa yang tidak luput dari
kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bias
terjadi, yaitu :
1. Pengembangan yang utuh, dan
2. Pengembangan yang tidak utuh.
1. Pengembangan utuh
Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor,
yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas
pendidikan yang disediakan untuk memberikan\ pelayanana atas perkembangannya.
Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sangat pesat yang
memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi
pendidikan.
Pengembangan yang utuh dapat dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:
a. Dari wujud dimensi yaitu, aspek jasmani dan rohani.
b. Dari arah pengembangan yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
2. Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di
dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan
untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi
keindividualan ataupun dominan afektif didominasi oleh pengembangan dominan
kognitif.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan
tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.
2.5 Sosok Manusia Seutuhnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang sempurna. Manusia memiliki akal untukmenghadapi
kehidupannya di dunia ini. Akal juga memerlukkan pendidikan sebagai obyek yang akan
dipikirkan. Fungsi akal tercapai apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan
obyeknya itu sendiri adalah ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya
adalah makhluk peadagogis, makhluk social, makhluk individual, makhluk beragama.
Setiap manusia mempunyai hakekat dan dimensi yang dimilikinya. Dan dalam diri
manusia itu terdapat potensipotensi terpendam yang dapat ditumbuhkembangkan
menuju kepribadian yang mantap.
3.2 Saran
Sebagai calon guru kita seharusnya memperhatikan anak didik dan memberikan
bimbingan agar potensipotensi terpendam yang terdapat dalam diri peserta didik dapat
ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, A. 2010. Manusia dan Pendidikan Hakikat Manusia dan Pengembangannya.
http://m-arif-am.blogspot.com. Diakses pada tanggal 03 Maret 2011.
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 53
menghadapi kesukaran dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat
dan merendahkan diri sendiri dsb. Dia bisa bersatu dengan dirinya sendiri, dia juga bisa
mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu, manusia juga makhluk
yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam,
tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapatpendapat terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam
alam, tetapi tidak berhadapan dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan
hewan, dia tidak bisa memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik.
Lebih lanjut Drijarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah
dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena
dirubah oleh situasi itu.
Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi,
situasi itu berubah dan merubah manusia. Dengan ini dia menyejarah.
Ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab
pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak
rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa
rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens,
homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang berbeda
kita mengenal definisi tentang manusia, di antaranya, manusia sebagai: animal
rationale, animal symbolicum dan animal educandum.
Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah
makhluk multi dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah
yang mau kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah
wajah manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut
kacamata seorang antropolog? Atau yang lainnya? (Poespowardojo, 1978: 3)
Berdasarkan fakta tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran
tentang manusia sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini, yakni pola
pemikiran biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola
pemikiran teologis (lihat Basis Edisi Oktober 1980: 371-375). Penulis sendiri lebih
memilih pola pemikiran yang keempat itu bukan pola pemikiran teologis, melainkan pola
pemikiran religius. Hal ini didasarkan pada rumusan pengertian manusia sebagai homo
religiosus. Sedangkan pola pemikiran biologis, psikologis dan sosial-budaya masih
dapat dipertahankan.
1. Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari
struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang
berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis
meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau
binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya, posisi
vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama
antara proses keturunan dan proses sosial-budaya. Aspek individualitas manusia
bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan
ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak
membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia
dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang
menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi
dengan sesamanya.
2. Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi
eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi.
Tokohtokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger,
Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis
eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian
Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar
manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual. Menurut
Binswanger, analisis Freud sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek
budaya dari eksistensi manusia seperti agama, seni, etika dan mitos. Freud menurut
Binswanger, memahami kebudayaan secara negatif, yakni lebih sebagai penjinakan
dorongan-dorongan alamiah daripada sebagai ungkapan potensi manusia untuk
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 55
memberi arah pada hidupnya. Penelitian psikologis harus diarahkan pada kemampuan
manusia untuk mengatasi dirinya sendiri dalam penggunaan kebebasannya yang
menghasilkan keputusan-keputusan dasar.
Freud dengan psikoanalisisnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya
digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah
laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula memang
sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini tidak memegang kendali atas
nasibnya sendiri, tetapi tingkah lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan
kebutuhan dan instink biologisnya.
Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang manusia.
Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia
pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap
nasib dirinya sendiri. Sebaliknya, pandangan humanistik yang salah satu tokohnya
adalah Rogers mengatakan bahwa manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk
berbagai hal dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri
sendiri.
Pandangan behavioristik pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya
adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol atau dikendalikan oleh
faktorfaktor yang datang dari luar. Penentu tunggal dari tingkah laku manusia adalah
lingkungan. Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata
kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh
hukumhukum belajar seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu
tokoh dari pandangan ini adalah Skinner (Depdikbud, 1984/1985: 1-3)
Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud
dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara
pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan
psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan
dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan
desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan
pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat,
tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau
dorongan itu, yakni pada saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta
merta atau otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar
(eksternal). Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang
berbeda dengan desakan faktor eksternal.
Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming sesuatu yang menggiurkan dari pihak
lain.
3. Manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan
kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuk
sejarah.
Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform
melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah
Erich Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu
proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Yang
dimaksud reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu
kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak
etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau
weltanschauung. Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian,
meskipun orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya,
kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan,
karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras.
Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer (1990:
39-40) seorang filsuf kebudayaan abad 20. Dia merumuskan manusia sebagai animal
symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi
manusia dari Aristoteles, yakni zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial memang
memberi pengertian umum tetapi bukan ciri khasnya (1990:.337). Begitu pula definisi
manusia sebaai animal rationale dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai
D// wayan 2012 HAKEKAT MANUSIA // hal . 56
ruang ini atau di sini), dia juga tidak terbelenggu oleh waktu (waktu ini atau sekarang
ini), tetapi mampu menembus ke masa depan atau ke masa lampau. Kemampuan
menempatkan diri dan menembus inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru
karena mampu bereksistensi inilah, maka dalam dirinya terdapat unsure kebebasan.
2. Kata hati (geweten atau conscience yang artinya pengertian yang ikut serta):
kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik dan yang
buruk bagi manusia sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan
dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik atau yang
buruk, atau pun kemampuannya dalam mengambil keputusan tersebut dari sudut
pandang tertentu saja, misalnya dari sudut kepentingannya sendiri dikatakan
bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Manusia memiliki pengertian yang
menyertai tentang apa yang akan , yang sedang dan yang telah dibuatnya,
bahkan mengerti pula akibat keputusannya baik atau buruk bagi manusia
sebagai manusia..
4. Tanggung jawab: adalah kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang
menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab
kepada diri sendiri, kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri
sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang
mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan
normanorma social, yang berarti siap menanggung sangsi social manakala tanggung
jawab social itu tidak dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung
tuntutannorma-norma agama, seperti siap menanggung perasaan berdosa, terkutuk
dsb.
5. Rasa kebebasan: adalah perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk tidak terikat
oleh sesuatu, selain terikat (sesuai) dengan tuntutan kodrat manusia. Manusia
bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan (sesuai) dengan tuntutan kodratnya
sebagai manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin
apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai
segenap perbuatannya.
6. Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk social. Keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain,
karena yang satu mengandaikan yang lain. Hak tak ada tanpa kewajiban, dan
sebaliknya. Dalam kenyataan sehari-hari, hak sering diasosiasikan dengan sesuatu
yang menyenangkan, sedangkan kewajiban sering diasosiasikan dengan beban.
Ternyata, kewajiban itu suatu keniscayaan, artinya, selama seseorang menyebut dirinya
manusia dan mau dipandang
sebagai manusia, maka wajib itu menjadi suatu keniscayaan, karena jika mengelaknya
berarti dia mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk social.
7. Kemampuan menghayati kebahagiaan: bahwa kebahagiaan manusia itu tidak
terletak pada keadaannya sendiri secara factual, atau pun pada rangkaian prosesnya,
maupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupannya
atau kemampuannya menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan
mendudukkan hal-hal tersebut dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu: usaha,
norma-norma dan takdir.
merupakan satu kesatuan (mono), yakni sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri
sekaligus sebagai makhluk Tuhan Dilihat dari susunan kodratnya, manusia sebagai
makhluk monodualis, maksudnya terdiri dari dua unsur yakni unsur raga dan unsur jiwa
(dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Dilihat dari sifat kodratnya,
manusia juga sebagai makhluk monodualis, yakni terdiri dari unsur individual dan unsur
sosial (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Secara keseluruhan,
manusia adalah makhluk monopluralis seperti disebutkan di depan.
D. Dimensi-dimensi Kemanusiaan
Untuk melengkapi uraian tentang hakekat manusia, berikut disajikan pandangan
pandangan lain yang diambil dari sumber lain pula. Manusia adalah makhluk
berdimensi banyak, yakni dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi
kesusilaan, dan dimensi keberagamaan (Tirtarahardja dan La Sulo, 1985: 16). Jose
Ortega Y. Gasset sebagaimana dimuat dalam Manusia Multi Dimensional; Sebuah
renungan filsafat (1982: 101), mengusulkan dimensi kesejarahan manusia.
1. Dimensi Keindividualan
Bahwa setiap individu memiliki keunikan. Setiap anak manusia sebagai individu
ketika dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi diri sendiri yang berbeda dari
yang lain. Tidak ada diri individu yang identik dengan orang lain di dunia ini. Bahkan
dua anak yang kembar sejak lahir tidak bisa dikatakan identik. Karena adanya
individualitas ini maka setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, daya tahan yang berbeda
.
2. Dimensi Kesosialan
Bahwa setiap manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk hidup bersama
dengan orang lain. Manusia dilahirkan memiliki potensi sebagai makhluk social.
Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara
manusia. Apa yang dikatakan Kant cukup jelas, bahwa hidup bersama dan di antara
manusia lain, akan memungkinkan seseorang dapat mengembangkan
kemanusiaannya. Sebagai makhluk social, manusia saling berinteraksi. Hanya dalam
berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang
menyadari dan menghayati kemanusiaannya.
3. Dimensi Kesusilaan
Manusia ketika dilahirkan bukan hanya dikaruniai potensi individualitas dan
sosialitas, melainkan juga potensi moralitas atau kesusilaan. Dimensi kesusialaan atau
moralitas maksudnya adalah bahwa dalam diri manusia ada kemampuan untuk berbuat
kebaikan dalam arti susila atau moral, seperti bersikap jujur, dan bersikap/berlaku adil.
Manusia susila menurut Drijarkara (dalam Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 20) adalah
manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Agar anak dapat berkembang dimensi moralitasnya, diperlukan upaya pengembangan
dengan banyak diberi kesempatan untuk melakukan kebaikan, seperti memberikan
uang pada peminta-minta, bakti social dsb.
4. Dimensi Keberagamaan
Pada dasarnya manusia adalah makhluk religius, sebagaimana telah disinggung di
depan. Sebagai makhluk religius, manusia sadar dan meyakini akan adanya kekuatan
supranatural di luar dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah
manusia disebut dengan berbagai nama sebutan, satu di antaranya adalah sebutan
Tuhan. Sebagai orang yang beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah
mewahyukan kepada manusia pilihan yang disebut rasul yang dengan wahyu Tuhan
tersebut, manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih
bertaqwa.
5. Dimensi Kesejarahan
Dunia manusia, kata Ortega Y. Gasset, bukan sekedar suatu dunia vital seperti
pada hewan-hewan. Manusia tidak identik dengan sebuah organisme. Kehiduannya
lebihdari sekedar peristiwa biologis semata,. Berbeda dengan kehidupan hewan,
manusia menghayati hidup ini sebagai hidupku dan hidupmu- sebagai tugas bagi
sang aku dalam masyarakat tertentu pada kurun sejarah tertentu. Keunikan hdup
manusia ini tercermin dalam keunikan setiap biografi dan sejarah (dalam
Sastrapratedja, 1982: 106).
Dimensi kesejarahan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk
historis, makhluk yang mampu menghayati hidup di masa lampau, masa kini, dan
mampu membuat rencana-rencana kegiatan-kegiatan di masa yang akan dating.
Dengan kata lain, manusia adalah mekhluk yang menyejarah. Mengenai hal ini sudah
dibahas di depan yakni ketika membiacarakan pandangan Drijarkara.
Semua unsur hahekat manusia yang monopluralis atau dimensi-dimensi
kemanusiaan tersebut memerlukan pengembangan agar dapat lebih meyempurnakan
manusia itu sendiri. Pengembangan semua potensi atau dimensi kemanusiaan itu
dilakukan melalui dan dengan pendidikan. Atas dasar inilah maka antara pedidikan dan
hakekat manusia ada kaitannya. Dengan dan melalui pendidikan, semua potensi atau
dimensi kemanusiaan dapat berkembang secara optimal. Arah pengembangan yang
baik dan benar yakni ke arah pengembangan yang utuh dan komprehensif..
Daftar Pustaka
Cassirer, Ernst. Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. 1990. Manusia dan
Kebudayaan:
Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984/1985. Materi Dasar Pendidikan
Program
Akta Mengajar V. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud.
der Wij, P.A., van. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Dirto Hadisusanto dkk. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Faultas
Ilmu Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta
Drijarkara, N. 1969. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Penerbit Jajasan Kanisius.
Leahy, Louis. 1989. Manusia Sebuah Misteri: Sintesis Filosofis tentang Makhluk
Paradoksal.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Piedade, Joao Inocencio. 1986. Problematika Manusia dalam Antropologi Filsafat
dalam Basis. Ediisi Oktober-1986-XXXV-10.
Sastrapratedja, M. 1982. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Sumitro dkk. 1998. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ilmu
Pendidikan IKIP Yogyakarta.
Umar Tirtarahardja da La Sulo. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Direktorat
Jenderal
Tinggi Depdikbud