Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KEHIDUPAN BERSYARAKAT

PPG PRAJABATAN UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

TAT TWAM ASI

DISUSUN OLEH:
BAHASA INGGRIS
Kelompok 1
PPG PRAJABATAN BERSUBSIDI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)
PRAJABATAN BERSUBSIDI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018
PENDAHULUAN
Tulisan dengan topik bahasan ‘Tat Twam Asi’ ini dibuat untuk memenuhi
tugas Kehidupan Bersyarakat Program Pendidikan Profesi Guru. Materi yang ada di
dalam tulisan ini merupakan hasil kompilasi yang memuat materi saduran dari
beberapa sumber dengan sedikit pengembangan dari penyusun.

Penyusun tulisan ini menyadari bahwa dalam tulisan ini mungkin masih
akan ditemukan kesalahan dan menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
predikat sangat baik. Untuk itu, saran dan kritik membangun sangat diharapkan
oleh penyusun untuk menjadikan tulisan ini menjadi lebih baik kedepannya.

Akhirnya, penyusun berharap tulisan ini dapat membawa manfaat baik


dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat pembaca. Akhir kata,
penyusun mengucapkan terim kasih.

Medan, April 2018

Tim Penyusun

TIM PENYUSUN:
BAHASA INGGRIS Kelompok 1

- Adi Lumban Gaol


- Beny Septian Panjaitan
- Boy Atlaliust Simangunsong
- Fariza Yusrizal
- Gustu Ertati Purba
- Jelita Sitorus
- Meriska Ambarita
- Mindo Masintan S.
- Nadya Rizki Ardhani
- Nurul Jannah
- Siti Khairin Nashroh
- Yulia

Tat Twam Asi


Pendahuluan
Bila dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan suatu
keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in
diversity).Seperti halnya saebuah taman bunga yang tumbuh di sekeliling taman
membuat taman menjadi indah. Kita sebagai komponen bangsa Indonesia harus
menyadarai kondisi yang demikian. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa
keberhasilan dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia berkat
tergalangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga kita mampu
mewujudkan kemerdekaan.

Ajaran Tat Twam Asi sangat selaras dengan ideologi Negara yaitu pancasila.
Dengan demikian setiap warga Negara mempunyai hak untuk mengaktualisasikan
ajaran dan budayanya ditengah-tengah masyarakat sepanjang tidak bertentangan
dengan tatanan yang berlaku di masyarakat tersebut serta tetap mengutamakan rasa
persatuan dan kesatuan bangsa.

Dari uraian di atas kiranya perlu digaris bawahi bahwa ajaran agama
merupakan pedoman dan tuntunan bagi umatnya dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun perlu diingat bahwa umat
beragama adalah warga Negara Indonesia, oleh karena itu harus mengetahui dan
memahami empat ( 4 ) pilar utama yaitu : Pancasila sebagai ideologi Negara, Negara
Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), Wawasan kebangsaan dan Bhineka Tunggal
Ika.

Dengan empat pilar utama diatas maka setiap warga Negara yang sekaligus
umat beragama dan berbudaya hendaknya tetap mempertahankan NKRI yang
berideologi pancasila dengan mengembangkan wawasan nasionalnya bahwa
Indonesia adalah Negara yang multikultural yang perlu dijaga ditumbuh
kembangkan dan dipertahankan sampai kapan saja.

Pengertian
Tat Tvam Asi (atau diucapkan Tat Twam Asi oleh penutur Bahasa Indonesia)
merupakan frasa yang berasal dari Bahasa Sansekerta. Secara harafiah, Tat Twan Asi
berarti “[Itu] adalah kau” atau “kau adalah [itu]”, dimana ‘Tat’ berarti ‘[itu]’ dan
dalam sumber lain berarti ‘ia’, ‘Twan’ berarti ‘kau’, dan ‘Asi’ berarti ‘adalah’1.
Pada hakikatnya, Tat Twam Asi merupakan salah satu dari beberapa ajaran
susila dalam agama Hindu2, dimana susila adalah istilah lain yang digunakan saling
menggantikan dalam kehidupan dengan etika dan moral yang merujuk pada segala
hal yang baik.
Purnawati (2014) dalam tulisannya di ‘Media Agama Hindu’ menyebutkan
bahwa, “maksud yang terkandung dalam ajaran Tat Twan Asi ini adalah ‘Ia adalah
kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama’”.
Pada akhirnya frasa Tat Twam Asi mengandung makna ‘aku adalah kamu,
kamu adalah aku, dan kita semua adalah sama’.

Nilai Filosofis
Merujuk pada pernyataan Purnawati bahwa Tat Twam Asi memiliki maksud
aku (si penutur) adalah kamu, kamu adalah aku, dapat dipahami bahwa frasa ini
mengajarkan kita nilai filosofi bila kita menolong orang lain berarti kita juga sudah
menolong diri sendiri, dengan pemahaman bahwa pernyataan itu tidak sama
dengan ‘menolong diriku sendiri sama dengan menolong orang lain’, meski secara
tidak langsung berakhir pada ide yang sama.
Bentuk implementasi dari Tat Twan Asi adalah memandang semua manusia
sama, saling menghormati sesama manusia, mencintai lingkungan, dan merasakan
penderitaan orang lain. Dimana semua pemahaman tersebut berakhir pada kebaikan
untuk diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain.

Ajaran Susila dan Tat Twam Asi


Ajaran Tat Twan Asi selain merupakan jiwa filsafat sosial, juga merupakan
dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha untuk mencapai perbaikan moral. Susila
adalah tingkah laku yang baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras

1 Tat Tvam Asi. Wikipedia. Diakses dari: https://en.wikipedia.org/wiki/Tat_Tvam_Asi


2 Tat Twam Asi. Nikomang Purnawati. Diakses dari: http://materiagamahindu.blogspot.co.id/2014/12/tat-
twam-asi.html
dan rukun diantara sesama makhluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Tuhan.
Sebagai landasan atau pedoman guna membina hubungan yang selaras, maka kita
mengenal, mengindahkan, dan mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh-
sungguh yaitu :
1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran atau norma-norma masyarakat
yang timbul dari hatinya sendiri (bukan paksaan dari luar).
2. Rasa tanggung jawab atas tindakannya tersebut.
3. Lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.

Di dalam Chandogya Upanisad 6,8,7 terdapat suatu dalil yang berbunyi


sebagai berikut :
“Tat Twam Asi”
Yang artinya: Dikaulah itu, dikaulah semua itu, semua makhluk adalah
engkau.

Engkaulah awal mula roh (jiwatma) dan zat (prakerti) semua makhluk. Aku ini
adalah makhluk yang berasal dari-Mu. Oleh karena itu jiwatma ku dan prakerti ku
tunggal dengan jiwatma semua makhluk dan dikau sebagai sumber ku dan sumber
semua makhluk.Oleh karena itu aku adalah engkau: aku adalah Brahman “aham
brahmasmi” (Brhadaranyaka Upanisad 14.10). Menurut ajaran Upanisad, tutur-
tutur, dan Bhagawadgita dikatakan bahwa ada satu atma yang memberi hidup
kepada semua makhluk dan menggerakan alam semesta yang disebut Paramatma.
Adapun atma yang terdapat dalam diri tiap-tiap makhluk, adalah bagian dari
Paramatma itu sendiri. Bagian dari Paramatma yang ada didalam disebut juga
jiwatma. Sastra-sastra agama adalah sumber atau dasar dari tata susila (ethika) yang
bersifat kokoh dan kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan dimana bangunan
yang bersangkutan harus didirikan. Jika landasannya itu tidak kuat atau kokoh,
maka bangunan itu akan mudah roboh dengan sendirinya. Demikian pula halnya
dengan tata susila bila tidak dilandasi dengan pedoman sastra-sastra agama yang
kokoh dan kuat, maka tata susila tidak akan meresap dan mendalam di hati
sanubari kita. Tata susila sering juga disebut dengan ethika (sopan santun). Ethika
dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia memiliki wiweka, yaitu
kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk,
yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila dengan
wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaanya dalam hidup dan kehidupan ini.

Perilaku Sebagai Implementasi Dari Ajaran Tat Twam Asi


Dalam kehidupan sehari-hari, manusia memiliki dua sifat yang sangat kontradiktif
yaitu sifat kedewataan (Daiwi Sampat) dan sifat keraksasaan (Asuri Sampat). Salah
satunya dengan mengimplementasikan ajaran Tat Twam Asi dalam kehidupan
sehari-hari. Adapun betuk-bentuk ajaran Tat Twam Asi yaitu:
1. Memandang Semua Manusia itu Sama
Pada dasarnya, semua manusia itu sama. Maka kita sebagai manusia harus
bersikap adil terhadap sesame manusia dari segala golongan.
2. Menyucikan Perkataan (Manacika Parisudha) dalam Karma Patha yaitu:
1. Tidak berkata jahat (Ujar Ahala).
Kata-kata jahat yang terucap akan dapat mengganggu hubungan baik dengan
orang lain.
2. Tidak berkata kasar (Ujar Apargas)
Seperti mencaci dan mencela. Kata-kata kasar dapat menyakiti perasaan
orang lain dan mengganggu hubungan dengan orang lain.
3. Tidak Memfitnah (Raja Pisuna)
Ada pepatah yang mengatakan memfitnah lebih kejam daripada
pembunuhan. Dalam jaman era globalisasi seperti sekarang ini banyak orang
dalam persaingan hidup melakukan persaingan hidup dengan cara
memfitnah agar lawan dengan mudah dapat dikalahkan.
4. Tidak mengeluarkan kata-kata yang mengandung kebohongan
Perbuatan berbohong seing dilakukan oleh orang untuk menutupi
kekurangan yang ada dalam dirinya agar tidak dianggap lemah oleh orang
lain.

3. Merasakan Penderitaan Orang Lain


Ukuran rasa kemanusiaan seseorang adalah apabila dia dapat merasakan
penderitaan orang lain sebagai penderitaannya. Karena dirasakan sebagai
penderitaannya maka ia sendiri akan ikut aktif menanggulangi penderitaan
orang lain. Ikut serta menanggulangi penderitaan orang lain adalah sesuai
dengan kemampuan dan swadharma masing-masing.
Kalau keadaan suka dan duka itu diatasi secara bersama-sama, maka berbagai
beban hidup itu akan dirasakan ringan dan tidak terlalu menyusahkan. Karena
itu orang yang dalam keadaan suka seharusnya berlapang dada membantu
sesama yang sedang dirundung penderitaan. Inilah hakekat dari Ajaran Tat
Twam Asi.

4. Catur Paramita
Catur Paramita merupakan salah satu landasan atau pedoman untuk
melaksanakan ajaran Susila ataun Etika dalam ajaran Agama Hindu. Catur
Paramita berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Catur (empat) dan Paramita
(sikap dan sifat yang utama), jadi Catur Paramita adalah empat macam sikap
atau sifat yang utama yang patut dijadikan landasan bersusila.
a. Adapun bagian dari Catur Paramita yaitu:
Maîtri artinya senang mencari kawan dan bergaul. Dimana tahu
menempatkan diri dalam masyarakat, ramah tamah dan baik hati. Segala
perilakunya dapat menyenangkan atau membahagiakan orang lain.
b. Karuna artinya belas kasihan. Dimana maksunya selalu memupuk rasa kasih
sayang terhadap semua makhluk.
c. Mudita artinya selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira dan sopan.
d. Upeksa artinya senantiasa mengalah demu kebaikan, walaupun disinggung
perasaannya oleh orang lain, ia tetap tenang dan selalu berusaha membalas
kejahatan dengan kebaikan (suka memaafkan).

Selain itu, terdapat beberapa hal yang sesuai (tidak mengganggu) dengan norma
atau etika, yaitu:
a. Tidak Menyakiti atau Tidak Membunuh (Ahimsa
Pada umumnya ahimsa diartikan tidak memunuh secara fisik, namun
sebenarnya walaupun tidak secara fisik, tetapi apabila suatu perilaku
menyebabkan orang lain sakit hatinya juga tergolong perbuatan ahimsa. Ahimsa
yang tergolong perbuatan Daiwi Sampad (Kedewaan). Orang yang berhasil
menumbuhkan sifat ini akan lebih mudah meraih karunia. Dengan
terpeliharanya ahimsa berarti tidak ada kekeraan didunia ini. Hakikat dari
manusia hidup di dunia adalah bersaudara. Melakukan suatu tindak kekerasan
adalah suatu pelanggaran dari Tat Twam Asi.
b. Tidak Mencuri, Merampok, Mengambil Hak Orang lain secara tidak sah, dan
tidak nepotisme seta tidak rakus.
Intinya seseorang tidak terikat pada hal-hal duniawi, serta sering melakukan
amal adalah suatu perbuatan yang harus dijaga agar tercipta suatu kedamaian di
hati, di dunia, dan di akhirat.
c. Tidak Berzinah
Berzinah merupakan perbuatan yang sangat hina dan terkutuk. Zinah adalah
sikap yang menimbulkan kemerosotan moral yang dilarang agama.
Diantaranya yang termasuk perzinahan adalah:
- Melakukan hubungan badan dengan suami/istri orang lain
- Melakukan hubungan badan antara pria dengan wanita secara tidak sah.
- Melakukan hubungan badan secara paksa.
- Melakukan hubungan badan yang dilarang agama.

Contoh Riil Ajaran Tat Twam Asi dalam Kehidupan Masyarakat

1. Ketika Bali ditimpa bencana Bom beberapa tahun lalu, sebagai akibat dari
bencana tersebut bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Bali sendiri,
melainkan juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat
dunia pun juga ikut terkena biasnya. Apabila seorang anak mendapat
halangan atau kecelakaan sehingga anak tersebut merasa sedih, rasa sedih
yang diderita oleh anak yang bersangkutan juga dirasakan oleh orang tuanya.
Demikian juga yang lainnya akan selalu dirasakan secara kebersamaan atau
sosial oleh masing-masing individu yang bersangkutan. Jiwa sosial ini
seharusnya diresapi dengan sinar-sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan tidak
dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata.
2. Kegiatan ngayah, dimana dalam kegiatan ngayah yang dilakukan di pura
segala bentuk pekerjaan dilakukan bersama-sama. Tanpa membagi-bagi
tugas yang ringan maupun tugas yang berat. Dimana kegiatan yang
dikerjakan dilakukan dengan hati yang tulus ikhlas.
3. Seperti jika ada orang yang meninggal dalam suatu masyarakat, maka kita
sebagai bagian dari masyarakat turut serta membantu keluarga tersebut
dimana bentuk partisipasi kita dalam membantu atau ikut merasakan
kesedihan keluarga tersebut adalah dengan cara menyumbangkan sesuatu
seperti beras serta ikut mengantar orang yang meninggal tersebut ke kuburan
sebagai bentuk toleransi kita dalam masyarakat yang sedang mendapatkan
bencana.
4. Kegiatan gotong-royong merupakan salah satu termasuk ajaran dari Tat
Twam Asi. Dalam kegiatan gotong-royong ini memiliki makna kebersamaan
untuk meringankan beban bersama, seperti melakukan gotong-royong
membersihkan lingkungan sekitar. Hal ini mencerminkan suatu kerja sama
sebagai cermin dari tat twam asi dalam masyarakan bali seperti halnya kita
mengenal Peribahasa, “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing”.

Tat Twam Asi dan Pendidikan Indonesia

Manusia adalah mahluk budaya, yang membutuhkan belajar dalam proses


pembudayaannya karena manusia tidak berbudaya sejak kelahirannya, seperti apa
yang disampaikan oleh Koentjaraningrat bahwa kebudayaan dapat menjadi milik
diri manusia sehingga menjadi karakteristiknya yang esensial dibanding dengan
hewan hanyalah melalui belajar. Dengan kata lain, agar manusia mampu mengolah
akal pikirnya dan juga menjadi manusia yang manusiawi, diperlukan suatu pola
pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.

Dalam pelaksanaannya, proses belajar terwujud melalui pendidikan. Sesuai


dengan apa yang tercantum dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 tahun 2003 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini
menunjukkan bahwa hakekat pendidikan tidak hanya mengacu pada
pengembangan intelegensi akademik tetapi juga pada pengembangan emosional,
dan spiritual manusia.

Menurut Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed., pendidikan tidak hanya bertujuan
menghasilkan manusia yang pintar dan terdidik tetapi yang lebih penting ialah
manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilized human being). Dan
menurutnya, sistem pendidikan yang menghasilkan manusia yang terdidik dan
berbudaya adalah sistem pendidikan yang didasarkan pada kebudayaan Indonesia
yang bhineka/ beraneka ragam. Ini mengindikasikan bahwa betapa pentingnya
penanaman nilai-nilai budaya. Dikatakan bahwa hanya manusia yang berbudaya
yang dapat bertahan (resistant) terhadap perubahan – perubahan global yang sangat
cepat bahkan mungkin mengoyahkan konsep diri yang ada pada manusia dan
bahkan perdamaian dunia. Untuk itu, Pendidikan Nasional Indonesia harus
didasarkan pada kebudayaan lokal dan nasional, karena dalam rangka mewujudkan
manusia Indonesia yang damai hanya mungkin terwujud di dalam suatu
pendidikan yang dimulai di dalam masyarakat lokal yang berbudaya. Hal ini
menunjukkan betapa penting dikembangkannya kembali nilai – nilai kearifan lokal
yang mengandung nilai – nilai luhur bangsa dalam pendidikan Indonesia, karena
budaya yang mengandung nilai – nilai luhur bangsa perlu dipertahankan dan
diinternalisasi oleh anak – anak bangsa.

Dewasa ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada konflik – konflik sosial


budaya dalam masyarakatnya. Sepertinya, konsep pendidikan yang ada sudah
mulai bergeser bahkan kehilangan hakekat maknanya sebagai proses pembudayaan
manusia yang mengarahkan manusia untuk menjadi manusia yang manusiawi dan
tahu hakekat dirinya sebagai manusia yang seutuhnya. Manusia sudah mulai
kehilangan konsep diri, konsep kemanusiaan dan konsep toleransi dan saling
pengertian antar manusia. Disadari sepenuhnya bahwa Indonesia ditinggali oleh
berbagai etnik dan suku, dengan budaya dan kehidupan yang beragam, namun
sesungguhnya diantara keberagaman itu terdapat satu nilai universal yang harus
selalu tertanam dan menjadi konsep diri dalam setiap individu untuk tetap bisa
berinteraksi dan bergaul dalam masyarakatnya yang beragam yaitu toleransi,
sehingga akan tercipta kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang aman dan damai.

Terkait dengan pemaparan di atas, tampak bahwa konsep toleransi perlu


ditanamkan kembali dalam pendidikan Indonesia dalam rangka memupuk
kerukunan dan keharmonisan hidup, yang mana sesungguhnya konsep toleransi
tersebut sudah ada sejak nenek moyang bangsa Indonesia mengada dan menjadi
kearifan lokal. Di Bali khususnya, dikenal konsep Tat Twam Asi yang merupakan
salah satu konsep Hindu yang juga merupakan kearifan lokal. Konsep ini dijadikan
landasan kehidupan, untuk mewujudkan kerukunan antar sesama.

Konsep Tat Twam Asi merupakan konsep agama Hindu yang selanjutnya
berkembang menjadi kearifan lokal masyarakat Bali. Nilai yang terkandung didalam
konsep Tat Twam Asi dijadikan landasan berpikir, berbuat, dan berprilaku yang
diwariskan dan diajarkan dari generasi ke generasi selanjutnya dalam kehidupan
keluarga dan masyarakatnya untuk kemudian dilaksanakan dalam kehidupan nyata
sehingga terwujudlah kehidupan yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk.

Konsep Tat Twam Asi mungkin dikenal dengan sebutan yang berbeda dalam
budaya yang berbeda, namun nilai inti yang terkandung didalamnya yang
membuatnya bisa menjadi landasan pendidikan yang universal yaitu bagaimana
kita belajar untuk hidup berdampingan menggunakan segala kemampuan diri
untuk kebaikan bersama dan pemahaman antar sesama serta menolong sesama.
Nilai universalnya mengajarkan kepada kita semua tentang arti pentingnya
mengahargai satu sama lain sebagai umat yang percaya akan adanya Tuhan sebagai
Pencipta seluruh makhluk yang ada. Meskipun Beliau disebut dengan nama yang
berbeda, namun pada hakekatnya tetap satu. “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangruwa” demikian Hindu menyebutnya. Ketika kita meyakini dan
menyadari bahwa kita tidaklah berbeda dengan manusia yang lainnya, maka tidak
akan ada perpecahan dan isolasi diri serta deskriminasi dalam segala aspek
kehidupan. Dengan penanaman konsep pendidikan seperti ini tentu saja, manusia
satu dan yang lainya dapat saling merasakan penderitaan dan kebahagian orang lain
bahkan tertanam konsep saling membantu dalam kehidupannya. Dengan demikian
secara emosional dan spiritual, manusia belajar bagaimana hidup yang harmonis.

Bagaimana Pengenalan Konsep Tat Twam Asi di Sekolah

Untuk membentuk jati diri bangsa melalui pendidikan dapat dilakukan


dengan cara mengembalikan pembelajaran pada kearifan lokal. Salah satu kearifan
lokal yang penting untuk dijadikan landasan pendidikan adalah konsep Tat Twam
Asi, dalam rangka mengajarkan pentingnya penghargaan akan perbedaan. Dengan
pemahamam konsep bahwa kita ini sama maka akan terbentuk generasi yang
berpendidikan, berbudaya, dan berperikemanuasiaan, serta mampu mengatasi
tantangan masa depan.

Dalam ranah pendidikan yang ada dalam mayarakat yang multi budaya
tentu penanaman konsep Tat Twam Asi dalam pembelajaran sangat diperlukan,
dalam rangka peningkatan kualitas mutu sumber daya manusia dan mengantarkan
anak didik menuju kedewasaan yang sejati, agar mereka menjadi bijaksana,
berakhlak mulia cerdas dan berbudi luhur sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional yang tercantum dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Konsep Tat Twam Asi, yaitu ‘Aku adalah kamu. Kamu adalah aku’ dapat
ditanamkan dalam berbagai bidang ilmu. Yang menjadi ujung tombak adalah guru.
Guru berperan penting dalam penanaman konsep kearifan lokal ini dalam
pembelajaran. Guru harus mampu menanamkan konsep dalam diri peserta didik
bahwa dalam keberagaman dan kemajemukan, terdapat persamaan yang hakiki,
bahwa manusia itu sama di mata penciptanya. Dalam pendidikan, pembelajaran
hendaknya diarahkan pada usaha mengubah sikap dan perilaku anak didik menjadi
manusia yang cerdas dan berbudi pekerti yang luhur, menanamkan disiplin yang
tinggi, jujur dan penuh dengan tanggung jawab, menumbuh kembangkan sikap
bakti kepada Tuhan, guru, orang tua dan masyarakat, menumbuh kembangkan
minat dan bakat untuk tekun belajar dan senantiasa suka bekerja keras, ihklas, dan
siap sedia menghadapi berbagai tantangan. Dan tentunya selalu mengajarkan agar
peserta didik memandang perbedaan dan keberagaman sebagai sesuatu yang patut
dihargai. Perbedaan yang ada harus dijadikan acuan menuju pemahaman akan
pentingya persatuan dan toleransi antar sesama. Dalam pembelajaran, diharapkan
dengan pemahaman konsep Tat Twam Asi, peserta didik serta semua komponen
pendidikan dapat saling memahami dan mampu menerima perbedaan yang ada
dengan penuh keikhlasan dan pengertian serta toleransi.

Dalam wujud nyata di kelas, konsep Tat Twam Asi dapat dilakukan dengan
membiasakan siswa membantu sesama, menanamkan sikap welas asih, dan saling
memaafkan, serta mau menerima perbedaan yang ada, sehingga nantinya peserta
didik menjadi manusia yang berbudaya dan berkualitas secara akademik, spiritual,
dan emosional.

Tat Twam Asi, mungkin sebuah slogan, namun sesungguhnya, ini adalah
ajaran agar manusia bisa bersikap saling menghargai satu dengan yang lainnya dan
saling menghormati karena pada hakekatnya manusia berasal dari satu sumber,
yaitu atman yang merupakan percikan terkecil dari Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang
Hyag Widhi Wasa. Aku adalah kamu, kamu adalah aku. Itulah inti dari konsep Tat
Twam Asi, yang mempunyai makna yang sangat mendalam dalam kehidupan ini.

Tat Twam Asi dan Pelayanan Kesehatan

Terkait dengan kegiatan-kegiatan dalam pelayanan kesehatan, ajaran Tat


Twan Asi merupakan jiwa dari filsafat sosial pelayanan, dimana juga mengajarkan
dasar dari tata susila dan moralitas sebagai individu yang memberikan pelayanan
kesehatan pada masyarakat. Bagaimana membentuk Susila yaitu tingkah laku yang
baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras antara pemberi pelayanan
kesehatan dengan pengguna pelayanan kesehatannya (pasien), yang dalam hal ini
adalah sebagai sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Sebagai landasan/pedoman
guna membina hubungan yang selaras, maka kita mengenal, mengindahkan, dan
mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh-sungguh sebagai berikut:
1. Prilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran/norma-norma masyarakat yang
timbul dari hatinya sendiri (bukan paksaan dari luar).
Bagaimana seorang pemberi pelayanan kesehatan memperlakukan pasien
dengan sepenuh hati dan keikhlasan, memahami apa yang dibutuhkan seorang
pasien dan penyampaian tutur kata dan bahasa tubuh yang penuh welas asih,
sebagaimana merasakan dirinya sendiri pada posisinya bila sebagai seorang
pasien yang tengah merasakan kesehatannya terganggu dan memerlukan
pelayanan kesehatan.

2. Rasa tanggung jawab atas tindakannya itu.


Merasakan bahwa kesembuhan pasien adalah tanggung jawab penuh seorang
pemberi pelayanan kesehatan, sehingga ia akan berupaya sepenuh hati dengan
segenap daya upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal.

3. Lebih mendahulukan kepentingkan umum dari pada kepentingan pribadi.


Dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang pemberi pelayanan
kesehatan ia akan memprioritaskan segala sesuatunya untuk kepentingan
umum, bukan hanya mencari keuntungan pribadi semata.

Bila dimaknai dengan hati, ajaran Tat Twam Asi dalam Pelayanan Kesehatan
adalah sebuah ikatan yang harmonis dalam kehidupan kemanusiaan. Selayaknya
kodrat manusia untuk saling berkaitan satu dengan lainnya. “Aku adalah Kamu”
dimana aku sebagai seorang pemberi pelayanan kesehatan akan menggunakan
empati dan penuh rasa tanggung jawab terhadap pasien atau pengguna pelayanan
kesehatan tanpa membeda-bedakan seseorang.

Tat Twan Asi dalam Perspektif Agama

A. Islam
Hadits Riwayat Muttafaq Alaih:

Artinya
“Engkau lihat orang-orang mukmin dalam saling mengasihi, saling mencintai, dan
saling menolong seperti satu tubuh yang apabila satu anggota tubuhnya sakit,
tertariklah semua anggota tubuh lainnya (ikut sakit) dengan tidak dapat tidur dan
panas (demam).” (HR. Muttafaq Alaih)

Pada hadist tersebut, Tat Tuam Asi mengisyaratkan adanya sifat saling
mengasihi, saling mencintai, dan saling menolong dalam kehidupan beragama.
Menurut ajaran Islam, Tat Tuam Asi harus dikembangkan dan dilestarikan oleh
Setiap orang karena melalui sifat tersebut akan terwujud kasih sayang dan
persatuan serta kesatuan yang kukuh. Setelah terjalinnya kesatuan tersebut, maka
semua orang akan beranggapan bahwa orang lain adalah saudara atau keluarganya
sendiri. Yang pada akhirnya akan timbul rasa empati saat melihat orang lain
tersakiti dan akan membela jika orang lain dihina. Seperti yang dituliskan dalam
hadist Riwayat Bukhari:

Artinya:
“Tidaklah beriman seseorang di antaramu hingga ia mencintai keluarganya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari).

B. Katolik dan Kristen Protestan

Dalam konteks Tat Twan Asi, alkitab telah menyatakan sebuah ayat:

Roma 12:15 berkata:

“Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang


yang menangis”.

Dalam ayat tersebut, dijelaskan benar adanya ketika melihat orang bersedih, maka
kita seharusnya ikut bersedih, sebaliknya jika melihat orang senang maka kita
seharusnya ikut senang. Ayat ini sangat mendukung konteks Tat Twan Asi yakni
“Aku adalah Kamu dan Kamu adalah Aku” yakni seseorang merasakan apa yang
tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita, jika dia bersedih maka kita bersedih,
jika ia senang maka kita juga senang.

C. Hindu

Pada dasarnya, Tat Twam Asi berasal dari ajaran Agama Hindu yakni berasal
dari bahasa Sansekerta, kata ”tat” dari suku kata ”tad” yang berarti ”itu” atau ”dia”.
Kata ”tvam’ berasal dari suku kata ”yusmad” yang berarti ”kamu” dan ”asi” berasal
dari urat kata ” as(a) ” yang berarti ”adalah”. Jadi secara sederhana prasa ”Tat
Twam Asi” bisa diartikan ” kamu adalah dia” atau ”dia adalah kamu”.

Hal tersebut juga didukung dengan adanya kalimat di dalam kitab Upanisad
yang berbunyi “Brahman Atman Aikyam” yang artinya Brahman dan Atman
(jiwatma) adalah tunggal. Oleh karena jiwatma semua makhluk tunggal dengan
Brahman (Hyang Widhi Wasa), maka jiwatma suatu makhluk tunggal juga sama
dengan semua jiwatma dan sama dengan jiwatma (roh) semua makhluk. Jadi
kesadaran akan tunggalnya jiwatma (roh) kita dengan jiwatma (roh) orang atau
mahluk lain akan menimbulkan kesadaran bahwa kita sebenarnya satu dan sama
dengan orang atau mahluk lain. Selain itu, dalam kitab Yajur Weda 40.7 disebutkan :
Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atman yang sama dan
dapat melihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat
dalam ikatan dan bebas dari kesedihan.

Oleh karena itu, dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi,
manusia akan dapat merasakan berat dan ringan dalam hidup dan kehidupan ini
berdampingan adanya dan sulit dipisahkan keberadaannya. Dengan demikian maka
dalam hidup ini kita hendaknya selalu saling tolong menolong, merasa senasib dan
sepenanggungan.

D. Buddha
Salah satu cita-cita Boddhisattva adalah menolong semua makhluk yang
menderita dengan “bilamana masih ada setangkai daunpun yang menderita, saya
tidak akan memasukinya meskipun pintu nirvana itu sudah terbuka untuk saya.”
Dari kalimat ini, dapat ditarik hubungannya dengan Tat Twam Asi, yaitu jika
seseorang menderita maka yang lainnya akan merasakan dan akan menolong.
Melalui kalimat ini, penganut agama Buddha akan merasakan empati terhadap
orang-orang sekitar.

Dari Perspektif Sosial


Di Indonesia, satu kota yang sangat mengadopsi budaya Tat Twam Asi
adalah Bali. Hal tersebut didasarkan karena mayoritas penduduk di kota Denpasar,
Bali adalah penganut agama Hindu yang merupakan pencetus adanya Tat Twam
Asi. Bukti nyata adanya penerapan Tat Twam Asi dalam kehidupan bermasyarakat
adalah saat konflik antardesa tentang kasepekang (Kasepekang adalah istilah hukum
adat di pulau Bali untuk mereka yang dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat
berdasarkan awig awig / hukum adat yang berlaku di daerah itu sampai yang
bersangkutan membayar kewajiban denda adat). Jika Tat Twam Asi tidak
dilibatkan, maka konflik akan makin melebar. Kalau sudah menjadi kasepekang,
untuk sembahyang ke Pura pun tidak diperbolehkan, apalagi untuk ngaben. Maka
dibangunlah Pura Jagadnatha yang merupakan terobosan untuk pembebasan
menyembah Tuhan. Pura ini dipergunakan oleh semua umat Hindu, tanpa melihat
kasta. Desa kala patra jadi diingat oleh semua umat Hindu.

Bagi penduduk Bali, Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan
ajaran agama Hindu. Wujud nyata/riil dari ajaran ini dapat kita cermati dalam
kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia
dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang dimotifasi oleh
keinginan manusia yang bersangkutan. Sebelum manusia sebagai makhluk hidup
itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya, seperti manusia sebagai makhluk, individu,
sosial, religius, ekonomis, budaya, dan yang lainnya. Semua itu harus dapat
dipenuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan
situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimilikinya, betapa susah yang
dirasakan oleh individu yang bersangkutan.

Disinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan,


sehingga seberapa berat masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan
memahami dan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan
berat dan ringan hidup dan kehidupan ini. Semua diantara kita ini tahu bahwa berat
dan ringan (Rwa Bhineda) itu ada dan selalu berdampingan adanya, serta sulit
dipisahkan keberadaanya. Demikian adanya maka dalam hidup ini kita hendaknya
selalu sering tolong menolong, merasa senasib dan sepenanggungan.

Kesimpulan
Pada akhirnya, Tat Twam Asi memberikan satu pesan. Jangan berpikir jika
kamu hanya bagian kecil dari satu keseluruhan/kesatuan yang besar, maka kamu
bukan apa-apa. Kamu adalah bagian dari itu dan itu tidak akan sempurna tanpa
kamu. Jadi, keseluruhan/kesatuan yang besar itu adalah kamu. Dan sebagai
pewujudaannya, setiap pribadi yang memahami dan menerima ajaran itu akan
merasa dirinya adalah bagian dari sekumpulan orang, dengan kesadaran bahwa
dengan dia membantu orang lain yang ada di sekitarnya, dia juga sudah membantu
dirinya sendiri.

Saran
Dengan memahami nilai Tat Twam Asi, pembaca paham dan menerima nilai
saling memiliki dan saling menghormati dalam kehidupan bermasyarakat. Rasa
saling memiliki satu sama lain diharapkan mampu melahirkan rasa persaudaraan.
Rasa saling menghormati diharapkan mampu menciptakan kehidupan sosial yang
daman dimana perbedaan yang ada dalam diri masing-masing individu bukan lagi
jadi semata faktor pembeda, tapi lebih dari itu, menjadi unsur pemersatu setiap
individu. Dimana setiap ‘aku’ akan menjadi ‘kita’.

Referensi internet:
http://fdwiyanto.blogspot.co.id/2011/11/tat-twam-asi-dalam-pemberian-pelayanan.html

http://hindualukta.blogspot.co.id/2015/06/peranan-tat-twam-asi-dalam-kehidupan.html

https://kompiangyaniari.wordpress.com/2015/01/13/ajaran-susila-dan-tat-twam-asi/
(Diakses 19 April 2018, 10.19 a.m.)
https://luhangelianawati.wordpress.com/2014/06/24/tat-twam-asi-dan-pendidikan-
indonesia/

Anda mungkin juga menyukai