Anda di halaman 1dari 12

POTENSI KONFLIK INTERN UMAT HINDU DAN SOLUSINYA

A. PENDAHULUAN
Agama Hindu memiliki beraneka ragam budaya baik menyangkut ritual,
filsafat dan teologi. Keanekaragaman ini dimungkinkan karena Agama Hindu
menganut konsep Adikara dan Ishta dewata. Adikara adalah penerapan ajaran
agama berdasarkan tingkat-tingkat pemahaman umat. Adikara melahirkan
berbagai sistem pemujaan, jalan-jalan spiritual (catur marga). Ishta dewata
melahirkan berbagai sampradaya dengan pemujaan dewa tertentu sebagai yang
tertinggi (Sarma, 1987: 66-67). Keberanekaan ini menjadi ciri khas agama Hindu
yang sangat liberal dan sekaligus demokratis. Karena motonya mencari
mahardika dengan kemahardikaan. Tuhan tidak terbatas tidak terbatas pula cara
mencapainya. Gandhi mengatakan sesungguhnya agama itu ada, sebanyak
manusia ada.
Keberadaan agama Hindu di Bali telah memberikan warna tersendiri baik bagi
Agama itu sendiri maupun budaya Bali. Sifat ajaran Veda yang mengalir dari
sumbernya di India merangkul apa yang dilalui namun tidak mengubah esensinya.
Konsep yang sangat bagus ini di samping memberikan kebebasan umat Hindu
dalam aktivitas keagamaan baik yang menyangkut Tattwa, Susila dan Upakara
juga mengandung potensi konflik yang cukup besar kalau tidak dipahami
esensinya dan dikelola dengan baik, bisa menjadi bumerang bagi umat Hindu
sendiri.
Sebagai contoh kasus sampradaya yang menjadi salah satu pemicu konflik
parisadha yang berbuntut adanya dua parisadha Bali versi Campuan dan Besakih.
Hal ini erat kaitannya dengan keberadaan IKSCON (Hare Krishna) di Indonesia
khususnya di Bali yang masih menimbulkan konflik sampai sekarang meskipun
sudah dilarang oleh Kejaksaan tetap dirangkul oleh parisada Pusat (majalah Hare
Krishna Maha Yajna Edisi November-Desember 2001, Bali Post, 24 September
2001) dan Parishada versi Besakih. Adanya konflik antar soroh, wangsa yang
berbuntut masalah sarwa sadhaka dimana kelompok tertentu dianggap
menghegemoni kehidupan beragama Umat Hindu di Bali. Secara teologis, susila
maupun ritual dan tidak ada pemecahannya. Baik Parisadha maupun Desa
Pekraman belum menemukan solusi terbaik terhadap masalah ini. Ini sangat
berbahaya karena pengikutnya terus bertambah dan mereka berhasil merekrut
pengikut baik dari kalangan intelektual dan masyarakat awam. Terlebih lagi
pengikutnya terkenal agresif dan profokatif dalam mengkritisi Agama Hindu di
Indonesia dan di Bali khususnya.

B. POTENSI KONFLIK
Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin kompleksnya permasalahan
yang dihadapi oleh umat Hindu di Bali faktor-faktor pemicu konflik dalam
masyarakat Hindu di Bali adalah :

a. Wangsa atau soroh.


Menurut Nashir (1999 : 98) pelapisan sosial dalam masyarakat
seperti perbedaan tingkat/status sosial dan ekonomi antar pemeluk agama
maupun para pemimpinnya, yang antara lain dapat melahirkan
kecemburuan sosial. Startifikasi sosial ini merupakan faktor yang cukup
kuat dapat mempengaruhi faktor-faktor lainnya, karena bersifat komplek
struktural. Konsep Varna dalam Veda yang kemudian disalahtafsirkan
menjadi kasta, merupakan sumber konflik yang potensial di Bali (Realitas
Varna dan Kasta di Bali. Makalah disampaikan oleh I Made Titib, pada
Diskusi program kajian Hindu di STAHN Denpasar tgl 13 Mei 2001, hal.
3). Adanya hak-hak istimewa yang didapatkan oleh kelompok tertentu
dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan, kemudian muncul istilah tri
sadhaka mengundang protes kelompok lain.

b. Kepentingan ekonomi dan Politik


Kepentingan-kepentingan nyata setiap kelompok masyarakat
termasuk para pemeluk agama dan para pemimpin setiap kelompok agama
yang sama dalam memperebutkan sumber-sumber kehidupan ekonomi dan
politik sebagai kebutuhan sosial yang penting. Termasuk dalam

2
memperebutkan aset kekuasaan politik, seperti menjadi anggota DPR,
masuk ke dalam birokrasi pemerintah, dan sebagainya. Kepentingan ini
dipengaruhi oleh tingkat stratifikasi sosial dari masing-masing kelompok
umat maupun para pemimpinnya. (Nashir, 1999 : 99)
Konflik yang terjadi di Bali pun banyak dipicu oleh faktor ini.
Tetapi beberapa elit yang berkonflik mengkemasnya dengan wacana agama
dan soroh sehingga mendapat dukungan dari sorohnya.

c. Faham/Penafsiran Agama
Perbedaan pemahaman atau penafsiran terhadap ajaran agama yang
antara lain melahirkan sifat fanatisme berlebihan terhadap sekte atau
sampradaya atau faham keagamaan yang dianut oleh setiap kelompok
agama di lingkungan intern agama yang sama, baik pada level umat maupun
pemimpinnya. Perbedaan paham ini juga terkait dengan kondisi stratifikasi
sosial dan kepentingan ekonomi serta politik antar kelompok maupun
pemimpin agama di lingkungan intern agama yang sama. (Nashir, 1999 :
99)
Di Bali adanya dua kutub yang berseberangan antara kelompok
yang meyakini bahwa apa yang sudah ada di Bali yang diwarisi dari jaman
dahulu merupakan hal yang mutlak dan berlaku sepanjang jaman. Dipihak
lain kelompok yang tidak puas terhadap tatanan yang sudah ada, mereka
menganggap kelompok pertama berusaha mempertahankan status quo.
Kelompok ini menyebut dirinya kelompok reformis dengan motto kembali
kepada Veda. Kelompok kedua ini didukung oleh kelompok yang
menyebut diri mereka sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual yang
sebagaian besar berkiblat ke India. Kelompok-kelompok ini sebagaian besar
adalah bagian dari suatu organisasi internasional yang beberapa tidak
mengakui Agama Hindu modern sekarang ini. Mereka lebih suka menyebut
diri mereka penganut peradaban Veda. Srila Prabhupada, pendiri Hare
Krishna dengan tegas menolak disebut Hindu, ”Kadang-kadang orang India
baik yang berada di dalam maupun di luar India berfikir bahwa kami sedang

3
mengajarkan agama Hindu, tetapi sesungguhnya bukanlah
demikian….Orang-orang seharusnya tidak berfikir bahwa kami tidak sedang
mengajarkan suatu sekte keagamaan. Tidak…..” (Prabhupada, 1980 : 105).
Selanjutnya beliau menyatakan, “Walaupun berkedudukan sebagai sarjana
besar, pertapa, orang yang berumah tangga dan para swami, mereka yang
disebut pengikut agama Hindu, mereka semua tidak berguna dan merupakan
cabang yang kering dari agama Veda”, (Hinduism To Day, Oktober 1989
halaman 32.) Beberapa dari kelompok ini sangat fanatik terhadap guru
kerokhanian mereka dan menganggap ajarannya paling benar dan
cenderung mencaci maki kelompok lain dan menonjolkan sikap eksklusif
sehingga sangat tidak mendukung pluralisme yang tengah mengejala di
seluruh dunia.
Hare Krishna adalah kelompok sempalan dari Gaudiya Vaishnava
yang didirikan oleh enam Gosvami (orang suci Vaishnava) yang
terkemuka adalah Jiva Gosvami dan Rupa Gosvami yang banyak menulis
tentang Filsafat Gaudiya Vaishnava yang didirikan oleh Sri Chaitanya
Mahaprabhu. Sri Chaitanya oleh kelompok ini diyakini sebagai inkarnasi
Krishna pada jaman kali yang berwarna keemasan (Ridjasa, 1982 : 54)
Beliau menjelma sebagai penyembah mengajarkan Sankirtana Yajna, yaitu
memuja Tuhan (Krishna) dengan mengucapkan Maha Mantra Hare
Krishna, Hare Krishna, Krishna, Krishna, Hare, Hare. Hare Rama, Hare
Rama, Rama, Rama, Hare, Hare. Guru modern dari Gaudiya Vaishnava
adalah Srila Bhaktivinode Thakur. Beliau banyak menulis buku dan
menerbitkan majalah. Murid beliau Srila Bhaktissidhanta Saraswati adalah
guru dari Srila Prabhupada, pendiri dari ISKCON (International Society
For Krishna Consciousness) Masyarakat Internasional untuk Kesadaran
Krishna, di New York, Amerika Serikat atas petunjuk Srila Bhaktisidhanta
Saraswati. Secara teologis pengikut Hare Krishna memuja Sri Krishna
sebagai Kepribadian Tuhan Tertinggi Bhagavan (Ridjasa, 1982 : 49)
dalam wujud arca beliau dengan sistem pemujaan yang khas seperti di
India atau tepatnya seperti di negara bagian Benggala Barat. Dalam

4
kelompok ini tidak dibenarkan memuja Dewa atau perwujudan Tuhan
yang lain selain Sri Krishna sebagai Kenyataan Tertinggi sering disebut
sebagai avidhi purvakam (meminjam istilah Bhagavad Gita). Mengikuti
Filsafat Dvaita dari Madhva (1239-1319) mereka memiliki pandangan
sendiri terhadap Vedanta yang selama ini selalu dikaitkan dengan Sri
Sankaracharya . Menurut mereka Kebenaran Mutlak dipahami melalui tiga
tahap Brahman adalah aspek yang menyerap ke segala penjuru terhadap
segala apa yang ada, sebagai bagian yang tidak berwujud dari Bhagavan
(Krishna), merupakan topik bahasan Upanishad-upanishad.(22)
Paramatma artinya diri tertinggi yang berada berdampingan dengan atma
di dalam hati setiap makhluk. Paramatma itulah sebagai saksi,
menyaksikan seluruh tindak tanduk atma selama dalam hidupnya di dunia
ini. Menyadari hubungan antara atma dan paramatma adalah tujuan
Astangga Yoga yang diaarkan oleh Patanjali dalam bukunya Yoga Sutra.
(23) dan Bhagavan adalah Pribadi Teringgi dari Yang Mutlak. Beliau juga
disebut Parabrahman, Brahman yang tertinggi dan sumber dari
Paramatma. (24). Dalam Brahma Samhita salah satu kitab suci yang
dianggap otoritatif oleh kelompok ini karena diyakini disusun oleh Dewa
Brahma menyebutkan,”Isvarah Parama Krsnah sac-cid-ananda vigrahah”
artinya : Pengendali yang paling Tinggi ialah Krsna yang memiliki wujud
abadi, pengetahuan yang sempurna dan berbahagaia. Menurut Bhagavata
Purana (1.328) Krsnalah sumber segala avatara. Bhagavan Krsna
mengembangkan diri menjadi Narayana, Vasudeva dan Maha Vishnu.(25)
Mengucapkan nama Tuhan selain Krishna juga dianggap sesat
(aparadha). Aturan pemujaan dan disipilin spiritual yang diterapkan sangat
ketat. Seperti tidak boleh makan daging, berjudi, minum minuman keras
dan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan. Pengikut
sampradaya ini diwajibkan untuk berjapa enam belas kali putaran setiap
hari. Satu putaran tasbih berisi seratus delapan manik-manik. Ada juga
aturan-aturan lain yang harus diikuti secara teliti antara lain membaca
Bhagavad Gita versi Prabhupada dan Srimad Bhagavatam secara teratur.

5
Buku yang paling tinggi kedudukannya adalah Sri Chaitanya Caritamrita
yang ditulis oleh Krsnadasa Kaviraja. Buku ini menceritakan kehidupan
Sri Chaitanya Mahaprabhu. Mereka juga diwajibkan untuk melakukan
inisiasi yang dilakukan oleh seorang guru kerokhanian yang telah ditunjuk.
(Makalah, Samskara/Sadhana dan Sadhya dalam Brahma Madhva Gaudia
Sampradaya oleh I Ketut Suyadnya, SH halaman 9)
Mengingat aturan yang sedemikian ketat dan orientasi teologis
yang sangat berbeda dengan umat Hindu di Bali yang memuja Shiva
sebagai Realitas Tertinggi dengan segala manifestasinya, sedangkan
menurut paham Hare Krishna Shiva adalah salah satu avatara Vishnu yang
bertugas untuk menghancurkan alam semesta ini pada hari kiamat. Shiva
juga bertugas untuk melaksanakan tamo guna. Shiva adalah penyembah
Vishnu, seperti dinyatakan dalam Srimad Bhagavatam (12.13.16)
vaisnavanam yatha sambhuh. Tafsir ini tentunya sulit diterima oleh umat
Hindu di Bali yang berada dalam satu komunitas desa pekraman yang
telah memiliki tujuan yang jelas dan banyak bertentangan dengan tujuan
organisasi Hare Krishna apapun namanya. Karena sulitnya komunikasi
sering terjadi konflik dengan masyarakat lokal yang berpuncak dengan
dilarangnya segala aktvitas organisasi ini tanggal 8 Mei 1984 dengan SK
Kejaksaan Agung No:KEP/107/JA/5/1984. (Makalah Hare Krishna
Brahma Madhva Gaudiya Sampradaya oleh I Made Amir, halaman 6).
Walaupun telah dilarang kelompok ini tetpa melakukan aktivitasnya secara
sembunyi-sembunyi pada masa orde baru dan beberapa kali pernah
digerebek oleh aparat keamanan. Di era reformasi ini kelompok ini seolah
mendapat angin segar. Mereka berusaha merangkul kelompok reformasi
dan masuk ke lembaga-lembaga Hindu dengan kekuatan dana mereka.
Upaya-upaya ini dilakukan agar status mereka sebagai organisasi terlarang
dicabut. Kelompok ini didukung oleh kalangan intelektual dan kelompok
marginal.

6
Kelompok pertama mendapat dukungan umumnya dari kalangan
Tri Wangsa khususnya wangsa Brahmana dan kelompok puri. Konflik
keduanya berpuncak dengan pecahnya Parishada Bali.

d. Mobilitas Kegiatan Dakwah/Umat


Usaha-usaha mempertahankan atau memperluas jumlah pengikut
paham maupun gerakan penyebaran agama yang dilakukan oleh setiap
kelompok agama di lingkungan umat beragama yang sama, termasuk dalam
melakukan mobilitas sosial kelompok terutama para elit pemimpinnya.
Kualitas dan kuantitas maupun jenis mobilitas ini dipengaruhi oleh faktor
stratifikasi sosial, kepentingan ekonomi dan politik, serta faham keagamaan
pada setiap kelompok keagamaan. (Nashir, 1999 : 99)
Di Bali beberapa sampradaya kelompok spiritual sangat agresif
dalam mencari pengikut. Mereka menempuh berbagai cara dengan
menyebarkan buku-buku ajaran kelompok mereka, masuk dalam berbagai
organisasi sosial, berusaha menguasai media sebagai corong penyebaran
pahamnya. Cara-cara mereka mirip cara-cara misionaris Kristen, karena
pada umumnya mereka berkembang pertama kali di dunia Barat. Beberapa
masuk dalam New Religion. (Hinduism To Day halaman : 33)

C. SOLUSINYA
Untuk mencari solusi dari permasalahn di atas akan dikaji dengan
menggunakan teori Fungsionalisme Struktural dan teori Konflik.

1. Fungsionalisme Struktural
Fungsionalisme adalah salah satu persepektif di dalam sosiologi yang
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari elemen-elemen atau
bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dimana bagian yang satu
tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain dan perubahan
pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan sehingga guna

7
mempertahankan keseimbangan yang sudah pernah ada maka diciptakan
perubahan pada bagian-bagian lain. (Tisera, 2002 : 138).
Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh para sosiolog yang menyamakan
masyarakat dengan organisme. Misalnya organ tubuh manusia dapat berfungsi
dengan baik kalau semua anggota tubuh menjalankan fungsinya dengan baik.
Berdasarkan pandangan ini kita bisa mengatakan bahwa masyarakat Hindu
di Bali terbentuk dari berbagai elemen seperti soroh, ekonomi, politik, hukum,
adat, agama, pemerintahan dan lain-lain. Setiap elemen di dalam keseluruhan
yang disebut masyarakat itu harus menyumbangakan sesuatu atau menjalankan
dfungsi masing-masing dengan baik supaya masyarakat secara keseluruhan bisa
bertahan atau berfungsi secara normal. Kemacetan salah satu elemen mengganggu
stabiltas secra keseluruhan.
Robert K. Merton salah satu pendukung teori itu, melengkapi
fungsionalisme struktural dengan konsep-konsep baru seperti disfungsi dan fungsi
laten. Menurut Merton tidak semua kenyataan sosial itu bersifat fungsional. Ada
kenyataan sosial yang fungsional untuk kelompok tertentu tetapi disfungsional
(tidak berfungsi) untuk kelompok lainnya. Konflik inter umat Hindu bisa
dianalisis dengan menggunakan kerangka pikiran disfungsi dan fungsi laten dari
Robert K. Merton.

1.1 Disfungsi Institusi Parishada


Dalam konflik Hare Krishna, penyebab utama konflik adalah disfungsi
atau ketidakberfungsian institusi Parishada sebagai lembaga umat Hindu tertinggi
yang diharapkan mampu memecahkan masalah keumatan baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Bagaimana Parishada yang merupakan majelis agama
Hindu mengayomi suatu organisasi Internasional yang mengaku bukan Hindu.

1.2 Disfungsi Institusi Politik


Beberapa konflik yang bernuansa politik seperti disebutkan di atas juga
diakibatkan kebijakan politik Orde Baru yang menerapkan manajemen top down.
Kebijakan yang bersifat sentralistik dan didominasi pemerintah pusat, kadang

8
harus mengorbankan keanekaragaman potensi masyarakat yang ada. Masyarakat
merasa terkungkung dan tidak bebas menyalurkan pendapatnya. Pelarangan Hare
Krishna dan pembatasan yang berbau India (bidang spiritual) tanpa mengkaji
lebih dalam telah menyisakan potensi konflik yang meledak pada era reformasi
ini.

2. Teori Konflik
Teori konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang
menurut pendukung-pendukungnya tidak cukup mendalami persoalan-persoalan
konflik di dalam masyarakat. Menurut David Lockedwood equilibrium seperti
yang dikemukakan oleh fungsionalisme struktural adalah mkonsep yang kweliru
tentang kenyataan sosial. Menurut dia, dengan asumsi-asumsi seperti
keseimbangan dan keteraturan sosial, maka kenyataan sosial seperti
ketidakstabilan dan konflik dianggap sebagai suatu penyimpangan padahal dalam
kenyatan ada hal-hal tertentu di dalam masyarakat yang mau tidak mau tidak mau
menciptakan konflik. Menurut fungsionalisme struktural setiap elemen pembentuk
masyarakat itu menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat sebagai keseluruhan
sehingga masyarakat bisa berfungsi secara baik atau bisa mempertahankan
equillibrium. Sedangakan menurut teori konflik, elemen-elemen pembentuk
masyarakat itu memepunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga mau tidak
mau mereka harus terlibat dalam konflik.
Sekalipun teori ini muncul sebagai reakssi atas fungsionalisme struktural,
namun teorri ini sudah mempunya akar di dalam karya Marx. Karl Marx
mengembangakn beberapa asumsi tentang masyarakat yang di kemudian hari
menjadi batu pijakan teori konflik, seperti :
 Masyarakat tersusun dari jaringan relasi yang bersifat
sistematis, namun relasi-relasi itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
yang saling bertentangan.
 Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem sosial di dalam dirinya
menimbulkan konflik.

9
 Karena itu konflik merupakan sesuatu yang tak tereklakkan dan
merupakan satu ciri dari sistem sosial.
 Konflik yang demikian cenderung tampak dalam kepentingan yang
berbeda-beda.
 Konflik sering kali terjadi karena pembagian sumber-sumber daya dan
kekuasaan yang tidak merata.
 Konflik telah memungkinkan terjadinya perubahan di dalam
masyarakat.
Selain dipengaruhi oleh Marx, teori konflik juga dipengaruhi oleh tokoh-
tokoh teori elit seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels
yang berpendapat bahwa dalam setiasp organisasi hanya kelompok kecil orang
saja yang berkuasa yang merteka sebut kelompok elit. Kelompok ini selalu
berusaha bersama-sama untuk mempertahankan posisinya dan menggunsakan
posisi itu untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain, teori elit mengemukakan
secara eksplisit argumen yang mengatakan bahwa alasan yang paling dasariah
untuk suatu konflik adalah perbedaan kepentingan dan kekuasaan. (Tisera,
2002 :153)
Dewasa ini pendukung-pendukung utama dari teori konflik sering kali
dikaitkan dengan sejumlah ilmuwan sosial terkenal seperti yang berasal dari
Frankfurt School (Horkheimer, Adorno, Fromm, Marcuse, Habermas, Wright
Milla) dan beberapa ilmuwan sosial lainnya seperti Ralf Dahrendorf, Lewis
Coser, dan Randal Collins. Sekalipun mereka menguraikan banyak hal yang
berbeda namun hampir semuanya sepakat dalam hal bahwa konflik disebabkan
oleh kepentingan yang berbeda-beda di antara segmen-segmen tertentu di dalam
masyarakat.
Konflik penafsiran agama antara dua kubu golongan tradisional dan
pembaharu diakibatkan kurangnya dialog di antara keduanya. Hal ini karena
tidak adanya suatu lembaga atau mediator yang menjadi penengah keduanya,
malahan Parishada yang nota bene merupakan lembaga yang paling
berkompeten memecahkan masakah ini ikut berkonflik, karena krisis figur.
Kelompok pertama menolak tanpa kompromi kelompok ke dua seperti yang

10
diungkapkan oleh Pedanda Gunung di Besakih menolak mentah-mentah
keberadaan sampradaya (Dharma Wacana Parisada Hindu Dharma Indonesia
Propinsi Bali Di Pura Agung Besakih Tgl 1 Januari 2002 hal 10) Kelompok ini
lupa bhwa pola keberagamaan kita telah berubah dari agraris menuju industri.
Konsekwensinya paradigma keberagamaan kita pun akan dan semestinya
berubah. Keberadaan sampradaya dan kelompok-kelompok spiritual merupakan
fakta sosial sebagai tanggapan atas perubahan pola keberagamaan dari agraris
komunal menuju industri individual. Keberadaan mereka tidak bisa ditolak
begitu saja tetapi diakomodasikan atau dicari jalan keluarnya. Kelompok kedua
mengabaikan sistem keberagamaan di Bali yang terpola sedemikian ketat dengan
desa pekramannya, hendaknya jangan main sruduk saja, sehingga tidak
mendapat simpati dari masyarakat umum atau grass root. Wacana kembali ke
Veda perlu di reinterpretasi lagi karena wacana ini oleh sementara orang
dianggap ngambang, karena tidak semua pola keberamaan di Bali menyimpang
dari Veda. Mereka berkutat di kalangan intelektual dengan wacana-wacana yang
terlalu normatif mengabaikan realitas di masyarakat, sering ditunggangi oleh
kelompok yang menyebut dirinya sampradaya. Maka solusinya seperti
disebutkan di atas adalah membentuk lembaga independen seperti dalam Agama
Kristen yang khusus menangani konflik intern Hindu. Dengan terbentuknya
lembaga seperti itu maka kemungkinan besar bisa diadakan dialog. Dari dialog
akan timbul saling pengertian diantara keduanya, baru bisa dilakukan
kesepakatan.

11
DAFTAR PUSTAKA
Nashir, Haedar. 1999. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Prabhupada, Swami A.C. Bhaktivedanta. 1980. The Science of Self Realization.
Sydney. The Bhaktivedanta Book Turst.
Ridjasa, I Made. 1982. Atma-Tatwa. Bangli : Parishada Kabupaten Bangli.
Sharma, D.S. 1987. A Primer of Hinduism. Madras : Sri Ramakrishna Math.
Subramanyaswami, Sivaya. 1998. “Can it Be That the Hare Krishnas Are Not
Hindu ?’. Dalam Hinduism Today, Oktober Kapaa Hawaii.
-----------------------------------1998. “Who Then Are the Hindus ?” Dalam
Hinduism Today, Oktober. Kapaa, Hawaii.
Tisera, Guido. 2002. Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian. Maumere :
LPBAJ.

12

Anda mungkin juga menyukai