Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah merupakan hal yang sangat perlu untuk kita pelajari. Karena dari
sejarahlah kita tahu mengenai apa, serta bagaimana suatu hal dapat terjadi. Salah
satunya sejarah mengenai terbentuknya kesepakatan nama Hindu. Dalam lahir,
muncul atau masuknya Agama Hindu telah menjadi sejarah bagi bangsa
Indonesia serta bagi Agama Hindu sendiri. Latar belakang lahirnya Agama Hindu
telah tercantum dalam sejarah Agama Hindu, dimana tidaklah mungkin Agama
Hindu muncul dan lahir begitu saja, tentunya ada sesuatu yang membuat Agama
Hindu dapat lahir dan berkembang hingga saat ini.
Agama Hindu, dikenal dengan agama yang memiliki bermacam-macam
dewa dalam Tri Murti serta adanya bermacam-macam kasta. Tidak hanya itu,
Agama Hindu juga terkenal akan berbagai budaya yang dimilikinya, baik itu
berupa sarana upakara maupun nyanyian-nyanyian atau mantra suci. Hal-hal
tersebut menjadikan Agama Hindu memiliki daya tarik tersendiri untuk dipelajari.
Untuk mempelajari Agama Hindu lebih mendalam, tentunya harus diketahui
terlebih dahulu mengenai sejarah Agama Hindu itu sendiri.
Agama Hindu sebenarnya lahir, tumbuh dan berkembang dari tradisi atau
alam pikiran ajaran kitab Weda. Penganut ajaran Weda adalah suku bangsa Arya.
Ajaran Weda diturunkan di India tepatnya di lembah sungai suci Sindhu, yang
kemudian sampai di Indonesia melalui beberapa proses atau fase-fase. Zaman ini
dimulai dengan datangnya bangsa Arya ke India, dengan menempati lembah
sungai Sindhu yang dikenal dengan nama Punjab (daerah lima aliran sungai).
Perkembangan Agama Hindu hingga dapat tumbuh dan berkembang hingga ke
Indonesia seperti dalam sejarah Agama Hindu, tentunya dilatar belakangi oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan Agama Hindu itu sendiri. Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sejarah Agama
Hindu yang akan dimulai dari asal-usul nama Hindu.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal usul nama Hindu?
2. Bagaimana sejarah India Kuno?
3. Bagaimana perkembangan Agama Hindu di India?
4. Bagaimana Agama Hindu di Indonesia?
5. Apa saja data peninggalan sejarah di Indonesia?
6. Bagaimana sejarah Agama Hindu di Bali?
7. Bagaimana peranan Agama Hindu dalam mewujudkan persatuan dan
kesatuan?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui asal usul nama Hindu.
2. Untuk mengetahui sejarah India Kuno.
3. Untuk mengetahui perkembangan Agama Hindu di India.
4. Untuk mengetahui Agama Hindu di Indonesia.
5. Untuk mengetahui data peninggalan sejarah di Indonesia.
6. Untuk mengetahui sejarah Agama Hindu di Bali.
7. Untuk mengetahui peranan Agama Hindu dalam mewujudkan persatuan dan
kesatuan.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi Mahasiswa
Untuk memberikan informasi kepada mahasiswa lainnya mengenai asal usul
nama Hindu, sejarah India Kuno, perkembangan Agama Hindu di India,
Agama Hindu di Indonesia, sejarah Agama Hindu di Bali, serta peranan
Agama Hindu dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan.
2. Bagi Penulis
Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai asal usul nama Hindu,
sejarah India Kuno, perkembangan Agama Hindu di India, Agama Hindu di
Indonesia, sejarah Agama Hindu di Bali, serta peranan Agama Hindu dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Nama Hindu
Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Santana Dharma
"Kebenaran Abadi", dan Vaidika-Dharma "Pengetahuan Kebenaran") adalah
sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan
dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran
(Arya).
Pendiri Hinduisme tidak diketahui dan titik awalnya merujuk pada masa
pra-sejarah. Hinduisme juga merupakan tradisi religious utama yang tertua.
Menurut Yong Choon Kim, Hinduisme juga seringkali disebut sebagai agama
ahistoris dan nonhistoris, karena tidak memiliki awal sejarah dan tidak ada pendiri
tunggal. Menurut tradisi, seseorang tidak dapat menjadi seorang Hindu kecuali ia
dilahirkan dalam keluarga Hindu.
Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM
dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama
ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam
dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.
Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa
Sansekerta). Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai
Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang
salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan
kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta-sastra suci dari
kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang
hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah
Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para Brahmana. Pada
zaman munculnya agama Buddha, Agama Hindu sama sekali belum muncul
semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.

3
Agama Hindu lahir dan berkembang pertama kalinya dilembah sungai
suci Sindhu di India. Agama Hindu adalah sebuah agama yang berasal dari anak
benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme)
yang merupakan kepercayaan sebangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan
muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM.
Agama Hindu sebagaimana nama yang dikenal sekarang ini, pada awalnya
tidak disebut demikian, bahkan dahulu ia tidak memerlukan nama, karena pada
waktu itu ia merupakan agama satu-satunya yg ada di muka bumi. Sanatana
Dharma adalah nama sebelum nama Hindu diberikan. Sanatana dharma yang
memiliki makna "kebenaran yg kekal abadi" dan jauh belakangan setelah ada
agama-agama lainnya barulah ia diberi nama untuk membedakan antara satu
dengan yang lainnya. Sanatana dharma pada zaman dahulu kala dianut oleh
masyarakat di sekitar lembah sungai SHindu, penganut Weda ini disebut oleh
orang-orang Persia sebagai orang indu (tanpa kedengaran bunyi s), selanjutnya
lama-kelamaan nama indu ini menjadi Hindu. Sehingga sampai sekarang
penganut Sanatana Dharma disebut Hindu.
Agama Hindu adalah suatu kepercayaan yang didasarkan pada kitab suci
yang disebut Weda. Weda diyakini sebagai pengetahuan yang tanpa awal tanpa
akhir dan juga dipercayai keluar dari nafas Tuhan bersamaan dengan terciptanya
dunia ini. Karena sifat ajarannya yang kekal abadi tanpa awal tanpa akhir maka ia
disebut sanatana dharma.
Agama ini timbul dari bekasbekas runtuhan ajaranajaran Weda dengan
mengambil pokok pikiran dan bentukbentuk rupa India purbakala dan berbagai
kisah dongeng yang bersifat rohani yang telah tumbuh di semenanjung itu
sebelum kedatangan bangsa Arya. Dengan sebab ini para peneliti menganggap
Agama Hindu sebagai kelanjutan dari ajaranajaran Weda dan menjadi bagian
dari proses evolusinya. Menurut para sarjana, Agama Hindu terbentuk dari
campuran antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya.

4
Agama Hindu adalah suatu agama yang berevolusi dan merupakan
kumpulan adat-istiadat dan kedudukan yang timbul dari hasil penyusunan bangsa
Arya terhadap kehidupan mereka yang terjadi pada satu generasi ke generasi yang
lain sesudah mereka datang berpindah ke India dan menundukkan penduduk
aslinya serta membentuk suatu masyarakat sendiri diluar pengaruh penduduk asli
itu.
Sejarah Agama Hindu dimulai dari zaman perkembangan kebudayaan
kebudayaan besar di Mesopotamia dan Mesir. Karena rupanya antara tahun 3000
dan 2000 sebelum Masehi di lembaga sungai Indus sudah ada bangsabangsa
yang peradabannya menyerupai kebudayaan bangsa Sumeria di daerah sungai
Eufrat dan Tigris, maka terdapat peradaban yang sama di sepanjang pantai dari
Laut Tengah sampai ke Teluk Benggal. Penduduk India pada zaman itu terkenal
sebagai bangsa Dravida. Bangsa Dravida adalah bangsa yang berkulit hitam dan
berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting. Sistem kepercayaan
bangsa Dravida sebelum masuknya Agama Hindu. Bangsa Dravida melahirkan
budaya pertapaan menyiksa diri yang beranggapan bahwa jiwa itu tidak sama
dengan badan, jika mereka menyatukan badan dengan jiwa maka itu dianggap
sebagai bentuk kekekalan. Sistem kepercayaannya seperti orang meditasi, bertapa
mengembara, selimbat (tidak menikah), melatih fikiran, mencari jalan kematian
dan kelahiran (mencapai kebebasan). Nama India diambil dari sungai Indus.
Perkataan Ind dan Hindu keduanya berarti bumi yang terletak di belakang Sungai
Indus, dan penduduknya dinamakan orang-orang India atau orang-orang Hindu.
Antara tahun 2000 dan 1000 sebelum Masehi dari sebelah utara masuk ke
India kaum Arya, yang memisahkan diri dari kaum sebangsanya di Iran yang
memasuki India melalui jurangjurang di pegunungan Hindu Kush. Bangsa Arya
itu serumpun dengan bangsa Jerman, Yunani dan Romawi dan bangsa-bangsa
lainnya di Eropa dan Asia. Mereka tergolong dalam apa yang kita sebut rumpun-
bangsa Indo-German. Bangsa Arya adalah bangsa yang berkulit putih dan
berbadan tanggap, bentuk hidungnya melengkung sedikit. Kepercayaan bangsa

5
Arya sebelum masuk Agama Hindu, Pada awalnya bangsa Arya belum mengenal
sistem kepercayaan yang mapan dan terorganisir. Mereka melakukan pemujaan-
pemujaan yang ditujukan pada fenomena-fenomena alam, seperti: sungai, gunung
dan pegunungan, laut, halilintar, matahari, bulan bintang, batu-batu besar, pohon-
pohon besar, dan lain-lain. Tetapi terkadang fenomena alam menjadi sesuatu yang
menakutkan bagi mereka, yang mereka anggap alam menjadi marah, murka,
bahkan mengamuk. Dengan pengalaman tersebut, mereka memulai melakukan
pemujaan-pemujaan terhadap fenomena-fenomena alam tersebut bertujuan untuk
menentramkan fenomena-fenomena alam yang mereka anggap sebagai
pengganggu. Bangsa Arya mempunyai tahap-tahap dalam sistem kepercayaan
yaitu:
1. Totheisme atau Totemisme atau Antrophomorphisme, adalah tahap di mana
persembahan yang mereka berikan masih sangat sederhana kepada fenomena-
fenomena alam (sungai, batu, guning, pohon, dan sebagainya).
2. Polytheisme, pada tahap ini mereka beranggapan bahwa fenomena-fenomena
alam tersebut dianggap memiliki suatu kekuatan dan mereka menganggapnya
sebagai dewa. Mereka mulai memuja dewa-dewa seperti: Dewa Air (Baruna),
Dewa Matahari (Surya), Dewa Angin (Bayu), dan lain-lain.
3. Henotheisme, di tahap ini mereka cenderung memfavoritkan pada dewa-dewa
tertentu untuk suatu periode, sehingga kefavoritan menjadi berganti-ganti
untuk satu periode sesuai dengan keadaan. Bila pada musim kemarau, mereka
memuja dan memfavoritkan kepada Dewa Hujan, pada musim bercocok
tanam mereka memuja Dewa Air, dan sebagainya.
4. Monotheisme, pada tahap ini mereka hanya memuja pada satu dewa yang
mereka kenal sebagai dewa pencipta segalanya (Pajapati), mereka
beranggapan bahwa Pajapati adalah sebagai pencipta alam semesta. Pajapati
sering dianggap sebagai dewa yang bertugas menciptakan semua hal dan
kemudian berkembang gagasan tentang Brahma. Dari tahap
Antrophomorphisme, Polytheisme, kemudian tahap Henotheisme, sampai

6
pada tahap Monotheisme itu disebut tahap Yadnya Marga atau Karma Marga,
karena mereka cenderung masih melakukan upacara-upacara persembahan
atau upacara kurban dengan tujuan agar mendapatkan berkah, pahala,
kebahagiaan, dan keselamatan.
5. Monisme atau Pantheisme, adalah tahap di mana mereka tidak lagi
menyembah dewa-dewa. Mereka meyakini atau berprinsip bahwa ada suatu
sumber dari segala sesuatu, yaitu yang mereka namakan sebagai Roh
Universal (Maha Atman). Dan mereka juga meyakini bahwa setiap benda atau
bentukan memiliki Roh Individu yang mereka namakan Puggala Atman. Di
tahap ini yang semakin berkembang mereka melakukan suatu pencarian,
bagaimana agar Puggala Atman dapat bersatu dengan Maha Atman.
Setelah bangsa Arya menempati sungai Indus, bercampurlah mereka
dengan penduduk asli bangsa Dravida. Semula orang beranggapan bahwa
kebudayaan India itu seluruhnya merupakan kebudayaan yang dibawa oleh
bangsa Arya, tetapi setelah penggalianpenggalian di Mohenjo Daro dan Hatappa,
berubah pandangan orang. Ternyata kebudayaan bangsa Arya lebih rendah dari
pada bangsa Dravida. Jadi dapat dikonstatasi dengan jelas, bahwa Agama Hindu
tumbuh dari dua sumber yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran
keagamaan dua bangsa yang berlainan, tetapi kemudian lebur menjadi satu.

2.2 Sejarah India Kuno


Penemuan kebudayaan di sungai India Kuno, berawal pada abad ke-19
(tahun 1870), dan mulai dieksplorasi oleh bangsa Inggris. Hingga sekarang,
penggalian kebudayaan sungai India Kuno tidak pernah berhenti, bahkan
menemukan lagi sebuah aliran sungai kuno lainnya, pada dua sisi aliran sungai
kuno ini tidak sedikit ditemukan juga peninggalan kuno lainnya. Di dalam sejarah
India Kuno terdapat perdapan Lembah sungai Indus, peradaban Mohenjodaro dan
Harappa, Invansi bangsa Arya.

7
1. Peradaban Lembah Sungai Indus
Peradaban Lembah Sungai Indus, 2800 SM1800 SM, merupakan
sebuah peradaban kuno yang hidup sepanjang Sungai Indus dan Sungai
Ghaggar-Hakra yang sekarang Pakistan dan India Barat. Peradaban ini sering
juga disebut sebagai Peradaban Harappan Lembah Indus, karena kota
penggalian pertamanya disebut Harappa, atau juga Peradaban Indus Sarasvati
karena Sungai Sarasvati yang mungkin kering pada akhir 1900 SM. Panjang
Sungai Indus kurang lebih 2900 kilometer. Pemusatan terbesar dari Lembah
Indus berada di timur Indus, dekat wilayah yang dulunya merupakan Sungai
Sarasvati kuno yang pernah mengalir. Sisa peradaban Lembah Sungai Indus
ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu Mohenjodaro dan Harappa.
Kebudayaan Indus ini didukung oleh bangsa Dravida yang berbadan pendek,
berhidung pesek, berkulit hitam, berambut keriting. Kebudayaan Indus
berhasil diteliti oleh seorang arkeolog Inggris, Sir John Marshal, yang dibantu
Banerji (orang India).
Mata pencaharian bangsa Dravida adalah bercocok tanam, yang
dibuktikan dengan ditemukannya cangkul, kapak, dan patung Dewi Ibu yang
dianggap lambang kesuburan. Hasil pertanian berupa gandum dan kapas.
Sudah ada saluran irigasi untuk mencegah banjir serta untuk pengairan sawah-
sawah rakyat. Dalam perdagangan terlihat adanya hubungan dengan Sumeria
di Lembah Eufrat dan Tigris, yang diperdagangkan adalah keramik dan
permata.
Perkembangan kepercayaan Lembah Sungai Indus. Masyarakat
Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini
disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya,
masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena
pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah
yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan
khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di

8
tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh
Mother Goddess, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja
orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak
lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang
lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu
dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan
bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap
duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya
gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak
dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek
pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan
lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal
sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.Sudah mengenal sistim
kepercayaan menyembah banyak dewa (politeisme) serta segala sesuatu yang
dianggap keramat. Contohnya adalah pohon pipal dan beringin yang oleh
umat Buddha dianggap pohon suci, binatang yang dipuja adalah gajah dan
buaya.
Kita tidak tahu banyak tentang peradapan Lembah Indus. Namun,
patung-patung para dewi yang dibuat pada zamannya memberi kesan bahwa
orang-orang Lembah Indus sangat menekankan pentingnya kesuburan wanita.
Beberapa dewa dan dewi Hindu, seperti Shiva, mungkin merupakan
keturunan dari para dewi yang hidup pada zaman sebelumnya.
2. Peradaban Mohenjodaro dan Harappa
Munculnya peradaban Harappa lebih awal dibanding kitab Veda, saat
itu bangsa Arya belum sampai India. Waktunya adalah tahun 2500 sebelum
masehi, bangsa Troya mendirikan kota Harappa dan Mohenjondaro serta kota
megah lainnya didaerah aliran sungai India. Tahun 1500 sebelum masehi,
suku Arya baru menjejakkan kaki di bumi India Kuno. Asal mula peradaban
India, berasal dari kebudayaan sungai India, mewakili dua kota peninggalan

9
kuno yang paling penting dan paling awal dalam peradaban sungai India, yang
sekarang letaknya di kota Mohenjodaro, propinsi Sindu Pakistan dan kota
Harappa dipropinsi Punjabi.
Mohenjodaro adalah salah satu situs dari sisa-sisa permukiman
terbesar dari Kebudayaan Lembah Sungai Indus, yang terletak di propinsi
Sind, Pakistan. Dibangun pada sekitar tahun 2600 SM, kota ini adalah salah
satu permukiman kota pertama di dunia, bersamaan dengan peradaban Mesir
Kuno, Mesopotamia dan Yunani Kuno. Arti dari Mohenjo-daro adalah Bukit
orang mati. Seringakali kota tua ini disebut dengan Metropolis Kuno di
Lembah Indus.
(Peta kota Mohenjodaro dan Happah. Pembangunan kota Harappa
adalah pada masa sebelum bangsa Arya memasuki wilayah peradaban
Lembah Hindus, yakni sekitar 2500 SM. Bangsa asli India mendirikan kota
megah dikawasan ini hingga tahun 1500 SM ketika bangsa Arya mulai
bercampur dengan penduduk asli)
Harappa ialah sebuah kota di Punjab, timur laut Pakistan sekitar 35 km
tenggara Sahiwal. Kota ini terletak di bantaran bekas Sungai Ravi. Munculnya
peradaban Harappa lebih awal dibanding kitab Veda, saat itu bangsa Arya
belum sampai India. Waktunya adalah tahun 2500 sebelum masehi, bangsa
Troya mendirikan kota Harappa dan Mohenjondaro serta kota megah lainnya
didaerah aliran sungai India. Kota modernnya terletak di sebelah kota kuno
ini, yang dihuni antara tahun 3300 hingga 1600 SM. Di kota ini banyak
ditemukan relik dari masa Budaya Indus, yang juga terkenal sebagai budaya
Harappa. Harappa memiliki lay-out kota yang sangat canggih.
Mohenjodaro dan Harappa merupakan kota terbesar yang berada di
lembah sungai Indus. Mohenjo-daro dan Harappa merupakan peradaban yang
tinggi nilainya, yang ditandai dengan adanya kota yang teratur penataannya.
Rancangan kota Mohenjodaro dan Harappa termasuk kota pertama di dunia
yaitu menggunakan sanitasi sistem. Penataan masa pembangunan yang

10
diterapkan oleh kota Mohenjodaro adalah organisasi grid. Jalan yang ada
berupa saling tegak lurus dan berjajar sehingga membentuk blok-blok (berupa
kotak-kotak) yang digunakan sebagai tempat pendirian bangunan. Konsep ini
dapat dilihat pada penataan kawasan perumahan modern maupun apartemen
yang tiap rumah tertata sangat rapih dan berada dijalur lurus.
Didalam kota rumah-rumah individu atau kelompok dibangun dalam
suatu pemukiman dengan memungkinkan sirkulasi udaranya, dengan jalan
agar selalu mendapatkan udara yang segar. Dengan kata lain sistem sirkulasi
udara di Mohenjodaro pada waktu itu sudah ada. Air yang berada dirumah-
rumah bersal dari sumur. Dari sebuah ruangan yang tampaknya terlah
disishkan untuk mandi, air limbah diarahkan kesaluran tertutup yang berbasis
di jalan utama. Indus kuno sistem pembuangan air kotor dan saluran air yang
dikembangkan dan digunakan dikota-kota diseluruh wilayah Indus jauh lebih
maju dari pada yang ditemukan di lokasi perkotaan kontemporer di Timur
Tengah dan bahkan lebih efisien dari pada yang ada di banyak daerah di
Pakistan dan India. Mohenjodaro dan Harappa juga menggunakan sistem
irigasi, hal ini dilihat dari pembuatan pemukiman sudah dipertimbangkan agar
rumah-rumah tidak terkena banjir dengan membuat jalan air. Semua rumah
memiliki fasilitas air dan saluran air. Saluran air kota yang digunakan sebagai
pembuangan air dibangun dibawah tanah dengan menggunakan bahan batu
bata.
Mengingat banyaknya patung-patung ditemukan di lembah Indus telah
secara luas menyatakan bahwa orang-orang Mohenjodaro dan Harappa
menyembah patung yang di sebut ibu dewi yang melabangkan kesuburan.
Beberapa lembah Indus menunjukan swastika yang dikemudian hari, agama
dan mitologi, khususnya di India agama-Agama Hinduisme dan Jainisme.
Bukti paling awal unsur-unsur Hindu yang ada sebelum dan sesudah awal
periode harappa ditemukan simbol-simbol Hindu yang berupa siva lingam.

11
Kota Mohenjodaro dan Harappa hilang menjadi kota mati sekitar
tahun 1750 SM. Beberapa faktor yang mengakibatkan penduduknya
meninggalkan kota adlah adanya invansi yang dilakukan oleh bangsa Arya ke
daerah peradaban Hindustan pada sekitar tahun tersebut. Pada tahun itu
hingga 1000 tahun setelahnya, tidak ada pembanguna kota dengan peradaban
tinggi lagi di wilayah tersebut.
Puing-puing bekas bangunan yang masih berada di kota tersebut
tampak sangat teratur dalam penataannya. Puing-puing tersebut terbuat dari
bahan yang sama, yakni batu bata tanah liat. Kondisi masa lalu
memperlihatkan bahwa system kota yang di terpakan di kota Mohenjodaro
dan Harappa sudah sangat maju dengan adanya teknik penataan kota seperti
masa sekarang, yakni adanya pola jalan raya dan adanya saluran air bawah
tanah.
3. Invansi Bangsa Arya
Pendukung peradaban Lembah Sungai Gangga adalah bangsa Arya.
Mereka datang dari daerah Kaukasus dan menyebar ke arah timur. Bangsa
Arya memasuki wilayah India antara tahun 200-1500 SM, melalui Celah
Kaibar di Pegunungan Hirnalaya dan Widya Kedna.
Bangsa Arya adalah bangsa peternak dengan kehidupan yang terus
mengembara. Setelah berhasil mengalahkan bangsa Dravida di Lembah
Sungai Indus dan menguasai daerah yang subur, akhirnya mereka hidup
menetap.
Selanjutnya, mereka menduduki Lembah Sungai Gangga dan terus
mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaan campuran antara kebudayaan
bangsa Arya dengan bangsa Dravida dikenal dengan sebutan kebudayaan
Hindu.
Perkembangan sistem pemerintahan di Lembah Sungai Gangga
merupakan kelanjutan sistem pemerintahan masyarakat di daerah Lembah
Sungai Indus. Runtuhnya Kerajaan Maurya menjadikan keadaan kerajaan

12
menjadi kacau dikarenakan peperangan antara kerajaan-kerajaan kecil yang
ingin berkuasa. Keadaan yang kacau, mulai aman kemBali setelah munculnya
kerajaan-kerajaan baru. Kerajaan-kerajaan tersebut di antaranya Kerajaan
Gupta dan Kerajaan Harsha.
Selama bertahun-tahun kita mengetahui bahwa Bangsa Arya datang
menginvasi bangsa Dravida. Mereka meninggalkan daerahnya karena telah
terjadi desakan bangsa-bangsa. Kedatangannya di India harus menyingkirkan
terlebih dulu masyarakat sebelumnya, yakni masyarakat pendukung
kebudayaan Mohenjodaro dan Harappa yaitu bangsa Dravida yang berciri-ciri
berhidung pipih, bibir tebal, serta kulit hitam (menurut kitab Veda). Dengan
kemajuan kebudayaannya, mereka dapat menggeser suku bangsa Dravida ke
arah selatan, ke wilayah yang kurang subur.
Veda dibawa oleh bangsa Arya yang memenangkan perang dengan
bangsa Dravida yang lebih dahulu menempati lembah sungai Indus. Ini
artinya bahwa kitab Veda bukan berasal dari India tapi dibawa dan
berkembang di India. Kitab Veda yang dibawa oleh bangsa Arya dibuat
setelah kebudayaan Mohenjodaro dan Harappa runtuh, sekitar 1500 SM.
Setelah bangsa Arya berhasil mengusir suku bangsa Dravida, ia menetap di
lembah sungai Indus, pasca runtuhnya kota Mohenjodaro dan Harappa.

2.3 Perkembangan Agama Hindu di India


Perkembangan Agama Hindu di India dibagi menjadi 3 (tiga) zaman,
yaitu:
1. Zaman Weda
Zaman weda di India dinyatakan telah dimulai sejak datangnya bangsa
arya yang berasal dari laut kastia 2500 tahun sebelum masehi, dengan
menempati wilayah lembah sungai sindhu, yang juga dikenal dengan Punyab
atau daerah lima aliran sungai. Bangsa arya adalah tergolong ras bangsa Indo-
Eropa, yang terkenal sebagai bangsa pengembara yang cerdas, tangguh dan

13
terampil. Zama weda merupakan zaman penulisan kitab suci weda yang
pertama yaitu Rg. Veda.
Kehidupan umat berAgama Hindu pada masa ini didasarkan atas
ajaran-ajaran yang tercantum pada weda samhita, yang lebih bnayak
menekankan pada pembacaan perapalan ayat-ayat veda secara oral, yaitu
dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda adalah
kitab suci dan sumber ajaran Agama Hindu. Semua ajaran Agama Hindu
bernafaskan dan dijiwai oleh weda. Oleh karena itu Agama Hindu mengakui
kewenangan weda. Weda adalah wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, yang diyakini oleh umatnya bersifat anadi/ananta yaitu tidak
berawal dan tidk berakhir serta kapan diturunkan, berlaku sepanjang zaman.
Namun demikian dikalangan para sarjana Hindu dan barat seperti; Lokamaya
Tilakshastri dan Bal Gangadhar, masing-masing telah berkesepakatan bahwa
weda sebagai kitab suci Hindu diwahyukan sekitar 6000 tahun sebelum
masehi dan 4000 sebelum masehi oleh para Maharsi. Ada 7 Maharsi sebagai
penerima wahyu weda, diantaranya; Grtasamada, Wiswamitra, Atri,
Bharadwaja, Wasistha, Kanwa dan Wamadewa. Di samping itu ada juga
disebutkan Maharsi lainnya seperti Wiyasa, Swayambhu dan yang lainnya.
Para zaman wedalah penulisannya dilaksanakan. Adapun disebut-sebut
sebagai penulis weda antara lain: Rg. Weda ditulis oleh Maharsi Pulaha, Sama
Weda oleh Maharsi Jaimini, Yajur Weda oleh Maharsi Waisampayana, dan
Atharwa Weda oleh Maharsi Sumantu. Weda sebagai sumber ajaran Agama
Hindu terdiri dari kitab-kitab Sruti dan Smerti. Kitab-kitab Sruti menurut sifat
dan isinya dibedakan menjadi empat bagian, antara lain; Mantra, Brahmana,
Aranyaka, dan Upanisad.
2. Zaman Brahmana
Zaman Brahman ditandai dengan terbitnya kitab-kitab Brahmana
sebagai bagian dari kitab Weda Sruti yang juga disebut karma kanda. Kitab-
kitab Brahmana berisikan doa-doa serta penjelasan Upacara korban dan

14
kewajiban-kewajiban keagamaan. Perkembangan Agama Hindu pada jaman
Brahmana terpusatkan pada keaktifan bathin dan rohani dalam pelaksanaan
upacara korban. Dengan demikian kedudukan kaum Brahmana mendapatkan
perlindungan yang istimewa, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan
dinasti Chandragupta Maurya (322-298) sebelum masehi dikerajaan Magadha
dimana Brahman Canakya atau Kautilya diposisikan sebagai pembantu
kerajaan.
Adapun ciri-ciri utama lainnya para Brahmana mendapatkan posisi
yang ideal pada masa itu adalah:
a. Upacara korban atau yajna mendapat porsi yang dominan
b. Para Brahmana atau Pendeta menjadi golongan yang terhormat dan
berkuasa
c. Kelompok-kelompok masyarakat pasraman berkembang dengan suburnya
d. Pemujaan dewa-dewa menjadi berkembang fungsinya
e. Terbitnya berbagai kitab-kitab sutra
Sedangkan kehidupan masyarakat dikelompokkan menjadi 4(empat)
asrama sesuai dengan warna dan dharmanya masing-masing, antara lain:
a. Brahmacari asrama atau masa belajar
b. Grahastha asrama atau masa berumah tangga
c. Wanaprastha asrama atau masa bertapa
d. Sanyasin, yaitu masa pengabdian hidup secara penuh demi kepentingan
dharma tanpa mengenal kemBali kekampung halamanya.
3. Zaman Upanisad
Berakhirnya zaman Brahmana dilanjutkan dengan zaman Upanisad.
Kehidupan beragama pada zaman ini bersumber pada ajaran-ajaran kitab
Upanisad yang tergolong kitab-kitab weda sruti yang dijelaskan secara
filosofis. Pada zaman ini pula konsepsi akan keyakinan terhadap Panca Sradha
dijadikan titik tolak dan penentu dalam penerapan ajaran agama oleh para arif-
bijaksana dan para Maharsi. Disamping itu konsepsi tujuan hidup dan tujuan

15
agama (catur purusartha dan moksartham jagadhita ya caiti dharma)
diformulasikan menjadi lebih jelas lagi.
Kata Upanisad berarti duduk dekat dengan guru untuk menerima
wejangan-wejangan suci yang bersifat rahasia. Ajaran Upanisad hanya
diberikan oleh para gurunya kepada murid-murid yang setia dan patuh
bertempat di tengah hutan dengan jumlah yang terbatas dan sistem pasraman.
Ajaran Upanisad disebut pula dengan nama rahasiopadesa atau aranyaka
yang artinya ajaran rahasia yang ditulis di tengah hutan. Adapun isi pokok
ajaran Upanisad itu adalah berhubungan dengan pembahasan tentang hakekat
panca sradha tattwa. Disebut-sebut sampai saat ini banyak jumlah kitab-kitab
upanisad itu ada 108 buah kitab.
Dengan sistem pengajaran pasraman itu akhirnya timbulah berbagai
aliran filsafat keagamaan yang masing-masing menunjukan untuk menemukan
kebahagiaan (moksa)dengan caranya sendiri-sendiri. Adapun jumlah aliran
filsafat yang ada pada saat itu sebanyak 9 (sembilan) jenis yang disebut juga
dengan nama Nawa Darsana antara lain:
a. Kelompok Astika (Sad Darsana), terdiri dari :
1) Nyaya
2) Waesisika
3) Mimamsa
4) Samkhya
5) Yoga
6) Wedanta
b. Kelompok Nastika (Tri Darsana), terdiri dari :
1) Budha
2) Carwaka
3) Jaina

16
2.4 Agama Hindu Di Indonesia
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu
pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Sindhu di India. Dilembah sungai
inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk
Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke
seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang
dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang
masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
1. Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis",
menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui
penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang
(Waisya) India.
2. Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia
dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai
di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-
kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka
sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat
lama ini, maka terjadi penyebaran Agama Hindu di Indonesia.
3. Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya
terhadap penyebaran Agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula
pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu
India ke Indonesia.

2.5 Data Peninggalan Sejarah di Indonesia


Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan
Agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa

17
prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri
Agastya menyebarkan Agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai
Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar
jasa Rsi Agastya dalam penyebaran Agama Hindu, maka namanya disucikan
dalam prasasti-prasasti seperti:
1. Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama
Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon
kekuatan suci dari Beliau.
2. Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan
kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak
istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra,
artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kemBali dalam
pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena
mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

2.6 Sejarah Agama Hindu di Bali


Selanjutnya Agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan Agama
Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan
dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara
Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa
Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai
pembaharu Agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2,
yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup
besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan
dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan
dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad

18
inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan
sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang.
Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan Agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke
Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam
teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong,
kehidupan Agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya
Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat
besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan
tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu
(Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali
pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai
tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di
Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di
SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di
Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme
tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan
pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian
pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil
menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang
menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan
pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan
Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada
Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu
Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
1. Enam Tokoh Suci Dalam Perkembangan Agama Hindu di Bali
a. Danghyang Markandeya

19
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang
(sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir
(sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-
unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di
Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta
kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, BeBali
(Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau
beBali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat
tinggal beliau dinamakan Bali.Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya
daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena
penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut
petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan beBali
atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad
Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan
Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi
berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari
dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai
simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam
hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau
mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada
Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari
Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang
Tumuwuh yang menciptakan getah.
b. Mpu Sangkulputih
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih
meneruskan dan melengkapi ritual beBali antara lain dengan membuat
variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan
menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun
pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras,

20
injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang
sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan,
segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu,
beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk
menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran
spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi
sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga
pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat
dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam
pemujaan Hyang Widhi
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan
peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual
hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi
beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan
pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
c. Mpu Kuturan
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari
Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di
Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang
suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte
yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata,
Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan
Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut iwa Sidhanta merupakan sekte
yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja
Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya
dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah
yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih
rendah.Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan

21
antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya
ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak
negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang
bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas
sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi
kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari
Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu
semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4
orang Brahmana bersaudara yaitu:a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di
Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari
Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun
caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.b. Mpu Ghana, penganut
aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan
tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel.
Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di
Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6),
candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M),
selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)d. Mpu Gnijaya, pemeluk
Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan,
bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala
mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di
bukit Bisbis (Lempuyang). Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di
Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu
Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di
Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca

22
Pandita atau Panca Tirtha karena beliau telah melaksanakan upacara
wijati yaitu menjalankan dharma Kabrahmanan. Dalan suatu rapat
majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga
kekuatan pada saat itu, yaitu :o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh
Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidango Dari pihak Ciwa diwakili
oleh Mpu Semeruo Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali
AgaDalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana
menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri
Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan
yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang
Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi
keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di
Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut Ciwa Budha sebagai
persenyawaan Ciwa dan Budha.Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus
mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang
Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama: Pura
Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan
dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), Pura Puseh untuk memuja
kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa, Pura
Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara
Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa. Ketiga pura
tersebut disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan
umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu
organisasi Desa Pakraman yang lebih dikenal sebagai Desa Adat.
Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu
Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum
keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan

23
huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna
(Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang
diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau
mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali
mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan
Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat,
dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg
(Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti
adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider).
d. Mpu Manik Angkeran
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh
Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra
Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kemBali
ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah
genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai
kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu
disebut segara rupek.
e. Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri
terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad
ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan
kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan
pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong,
dll.
f. Danghyang Dwijendra
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa
dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di

24
Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang
bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan
Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan
Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau
Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan
Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah
pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa
mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata
dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan
peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah
leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman
dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan
ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya
sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau
kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung,
Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung
Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.
Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk
memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah
didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau
pernah bermukim membimbing umat misalnya :
1) Pura Purancak,
2) Pura Rambut siwi,
3) Pura Pakendungan,
4) Pura Hulu watu,
5) Pura Bukit Gong,
6) Pura Bukit Payung,
7) Pura Sakenan,

25
8) Pura Air Jeruk,
9) Pura Tugu,
10) Pura Tengkulak,
11) Pura Gowa Lawah,
12) Pura Ponjok Batu,
13) Pura Suranadi (Lombok),
14) Pura Pangajengan,
15) Pura Masceti,
16) Pura Peti Tenget,
17) PuraAmertasari,
18) Pura Melanting,
19) Pura Pulaki,
20) Pura Bukcabe,
21) Pura Dalem Gandamayu,
22) Pura Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada
kehidupan berAgama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual
yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali
.
2.7 Peranan Agama Hindu dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan
Pentingnya rasa persatuan dan kesatuan telah dirasakan sejak timbulnya
kebangkitan nasional, telah bergema di kalangan pemuda yang melahirkan
sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yang secara tegas bersumpah untuk
satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
Diharapkan setiap orang rela berkorban karena pada hakikatnya persatuan
Indonesia lahir dari kesadaran untuk mencapai kemerdekaan. Agar rasa persatuan
tetap berkembang perlu ditanamkan rasa cinta tanah air, cinta bangsa, cinta
negara, selanjutnya kecintaan itu diabdikan dan diamalkan sebesar-besarnya
untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

26
Setiap warga negara berkewajiban mengerti dan menyadari hasrat
persatuan dalam kebhinnekaan dengan menerima berbagai perbedaan sebagai
nikmat dari-Nya. Kitab suci Veda menuntun bukan saja individu, tetapi setiap
warga masyarakat menuju keselamatan sejak lahir sampai mati, juga dalam hal
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan keserasian dan
keselarasan persatuan dan kesatuan dapat diwujudkan. Dengan berpikir bersama-
sama, gagasan-gagasan sama akan mufakat, akan mendapatkan keputusan yang
tepat untuk maju bersama dengan niat yang sama.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
3.1.1 Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Santana Dharma
"Kebenaran Abadi", dan Vaidika-Dharma "Pengetahuan
Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua
India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda
(Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran
(Arya).
3.1.2 Veda dibawa oleh bangsa Arya yang memenangkan perang dengan
bangsa Dravida yang lebih dahulu menempati lembah sungai
Indus. Ini artinya bahwa kitab Veda bukan berasal dari India tapi
dibawa dan berkembang di India.
3.1.3 Perkembangan Agama Hindu di India dibagi menjadi 3 (tiga)
zaman, yaitu: Zaman Weda, Zaman Brahmana, Zaman Upanisad.
3.1.4 Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu
ke Indonesia, yaitu: Krom (ahli - Belanda) dengan teori Waisya.,
Mookerjee (ahli - India tahun 1912), Moens dan Bosch (ahli -
Belanda).
3.1.5 Data Peninggalan Sejarah di Indonesia, Prasasti Dinoyo (Jawa
Timur), Prasasti Porong (Jawa Tengah).
3.1.6 Kedatangan Agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8.
Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-
prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa
Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di
Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

28
3.1.7 Kitab suci Veda menuntun bukan saja individu, tetapi setiap warga
masyarakat menuju keselamatan sejak lahir sampai mati, juga
dalam hal kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat yang dapat penulis sampaikan melaui
makalah ini ialah sebagai berikut:

3.2.1 Bagi mahasiswa: agar lebih mendalami materi ini dengan


refrensi lain, jangan berhenti hanya dengan satu refrensi.

3.2.2 Bagi masyarakat umum: agar menumbuhkan rasa cinta ilmu


dengan membaca dan mendalami materi ini terlepas dari keberadaan makalah
ini. Jagalah ketertarikan kita dalam memperoleh suatu ilmu dalam kehidupan.

29
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014. Ajaran Hindu Dharma.
Tersedia di: wartahindu.com
Diakses pada: 22 November 2016
Bali Media Info. 2014. Sejarah Agama Hindu di Pulau Bali.
Tersedia di: www.balimediainfo.com
Diakses pada: 23 November 2016
Bernard, Michael. 2015. Asal-Usul Agama Hindu.
Tersedia di: www.scribd.com
Diakses pada: 22 November 2016
Ifrahike. 2015. Sejarah Agama Hindu.
Tersedia di: dokumen.tips
Diakses pada: 22 November 2016
Sugiarta, Nopen. 2016. Mengenal Ajaran Sanatana Dharma-Hindu.
Tersedia di: www.mantrahindu.com
Diakses pada: 23 November 2016

30

Anda mungkin juga menyukai