MUNCUL
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah makan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
untuk mengetahui tentang pengertian perkawinan atau pawiwahan, tujuan,
sistem pawiwahan dalam veda, syarat dan pelaksanaan pawiwahan menurut
hukum Hindu, serta mengenai fenomena fenomena permasalahan yang muncul
dalam ritual pawiwahan Hindu di Bali dewasa ini. Selain itu, pemaparan materi
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kita mengenai upacara upacara
ritual Hindu di Bali khususnya menyangkut masalah pawiwahan dan
membangkitkan minat kita semua untuk menengok sekejap mengenai fenomena
fenomena yang terjadi disekeliling kita, agar kita bisa mencermati dan
membandingkannya dengan apa yang telah tertuang dalam kita suci Veda
apakah hal tersebut bisa dianggap benar ataukah tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan
wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum
Negara, Agama dan Adat. Suatu perkawinan Dikatakan sah menurut hukum
hindu ialah :
1. Perkawinan dikatakan sah apabila saat wiwaha dilakukan oleh rohanian
seperti Brahmana atau pandita. Dan juga bisa dilakukan oleh pejabat agama
yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
2. Perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut
agama hindu
3. Berdasarkan tradisi di bali, perkawinan dikatakan sah setelah
melaksanakan upacara biakala sebagai rangkaian upacara wiwaha.
4. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
5. Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, tidak pernah haid, atau sehat
jasmani dan rohani.
6. Calon mempelai cukup umur bagi pria berumur minimal 21 tahun dan
wanita berumur minimal 18 tahun.
7. Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat, atau sapinda.
8. Untuk di Bali upacara perkawinan agar dilakukan:
- Dirumah pihak yang akan berkedudukan purusa
- Diberi tirta pemuput oleh Rohaniawan
- Adanya sajen petak kepada Bhatara bhatari, leluhur dan Hyang Widhi
- Adanya sajen yang diperuntukan persaksian terhadap Buta sebagai
mahluk bawahan
- Adanya sajen yang diayab bersama oleh mempelai
- Kehadiran para saksi seperti perangkat Desa atau banjar dan warga yang
lain.
Dalam pembahasan diatas dilihat dari beberapa permasalahan yang ada, kita
dapat mengatakan bahwa itu merupakan sebuah Diskriminasi. Diskriminasi
sendiri merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat. Ini
disebabkan karena adanya kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan
yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik
suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik,
kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi. Dalam pembahasan diatas sudah terlihat jelas bagaimana
masyarakat di Bali masih menganut kebudayaan yang sangat kental yang masih
berlaku disana, dimana dalam sebuah perkawinan tidak sembarang orang dapat
menikahi seseorang, karena di dalam sebuah perkawinan terdapat syarat
bagaimana kedua mempelai tersebut harus mematuhi adat atau budaya yang
sudah melekat disana. Salah satu masalahnya adalah antar golongan atau lebih
dikenal sebagai kasta.
Pernikahan beda kasta akan sah jika disetujui oleh pihak keluarga masing-
masing. Khususnya secara hindu akan terjadi perbedaan upacara dalam bentuk
banten untuk individu masing-masing. Sedangkan untuk pernikahan beda agama
akan sah jika tidak menyimpang dari hukum agama masing-masing dan Undang
Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai perkawinan dengan simbol purusa, logika yang dijadikan dasar
pembenar terhadap pilihan perkawinan dengan simbol purusa ini adalah untuk
menyelamatkan bayi dan menghilangkan leteh di lingkungan desa.
Menyelamatkan bayi di sini mempunyai dua pengertian. Pertama, perkawinan
dengan simbol purusa ini secara otomatis menghindari tindakan menggugurkan
kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong
pembunuhan ( brunahatya ). Kedua, menyelamatkan secara sosial karena
dengan perkawinan yang menggunakan simbol purusa tersebut, anak yang akan
lahir kelak mempunyai kedudukan hukum sebagai anak yang sah. Artinya, anak
itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah. Tentang menghilangkan leteh
lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkawinan dalam agama
Hindu disebut wiwaha , dan wiwaha sebenarnya adalah satu bentuk prayascitta
atau penyucian diri. Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita
hamil di luar nikahyang sebenarnya menjadi sumber leteh disucikan dengan
upacara prayascitta , dan bersamaan dengan itu lingkungan desa yang tercemar
karena perbuatan asusila warganya, juga dianggap bersih atau normal kembali
karena telah dilakukan upacara prayascitta. Jadi, keputusan wanita yang hamil
untuk kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan
yang benar.
DAFTAR PUSTAKA