Anda di halaman 1dari 22

ITUAL PAWIWAHAN DALAM HUKUM HINDU SERTA FENOMENA FENOMENA YANG

MUNCUL
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu
Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi
secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut
dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup
diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan
mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa
Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup
Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya
Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut "Yatha sakti Kayika
Dharma" yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi
seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam
kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar
disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan
tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.
Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat
membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses
atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut
akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama
Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa
mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama
berdasarkan Dharma.
Dalam urusan pernikahan di Bali terkadang muncul beberapa masalah, salah
satunya pernikahan beda kasta dan fenomena hamil di luar nikah. Kasta sangat
sering menimbulkan pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah yang cukup
rumit. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga
biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan
beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi. Untuk menghindari masalah
yang demikian, diperlukan pemahaman yang benar mengenai hal hal tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Apakah pengertian perkawinan, tujuan, dan sistem perkawinan
menurut Hindu?
1.2.2 Bagaimana syarat perkawinan dan pelaksanaannya menurut hukum
Hindu?
1.2.3 Apa saja fenomena fenomena permasalahan yang sering muncul
dalam ritual perkawinan Hindi di Bali pada dewasa ini?

1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah makan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
untuk mengetahui tentang pengertian perkawinan atau pawiwahan, tujuan,
sistem pawiwahan dalam veda, syarat dan pelaksanaan pawiwahan menurut
hukum Hindu, serta mengenai fenomena fenomena permasalahan yang muncul
dalam ritual pawiwahan Hindu di Bali dewasa ini. Selain itu, pemaparan materi
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kita mengenai upacara upacara
ritual Hindu di Bali khususnya menyangkut masalah pawiwahan dan
membangkitkan minat kita semua untuk menengok sekejap mengenai fenomena
fenomena yang terjadi disekeliling kita, agar kita bisa mencermati dan
membandingkannya dengan apa yang telah tertuang dalam kita suci Veda
apakah hal tersebut bisa dianggap benar ataukah tidak.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PAWIWAHAN (PERKAWINAN)


Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari
kata dasar wiwaha. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
kata wiwahaberasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan;
perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1997:1130). Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari
sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan.
Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan
pengertian perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
2. Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi
perkawinan sebagai berikut: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara
seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama(Subekti, 1985:
23).
3. Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara
seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang
diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
4. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer
Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata
sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial.
tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang
diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk
memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
5. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan
kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula
menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami
istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus
silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-
mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk
maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan
keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang
menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu
saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut
bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah
meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang
dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada
leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).
6. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek
Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa perkawinan ialah
ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
(satya alaki rabi)(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa: pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara
seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang
diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
2.1.1 TUJUAN WIWAHA MENURUT AGAMA HINDU
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk
sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis
kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya
masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita
mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala
bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses
perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat
Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai
berikut:
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah
Artinya : Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki
itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk
dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Kitab Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan wiwaha dalam agama
Hindu mewujudkan 3 hal, meliputi:
1. Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu
dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran
Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra,
Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada
masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma,
Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila
telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui
pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan
dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai
orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai
anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
2. Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan
keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan,
maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga
Pernikahan / pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada
anak/ keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma
kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan
yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua
orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang
tua, suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua
keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis,
damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan
atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut Putra asal kata dari
Put (berarti neraka) dan Ra (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya:
yang menyelamatkan dari neraka. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat
dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan
dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai
makna apa-apa karena ri tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita
berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
3. Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan
mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya.
Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan
ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju
spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan
dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia),
laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat
menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan
berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra
yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: Om Sarwa Sukinah
Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan
undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa
perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah
tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana
diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah
keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan
dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah, Esa dharmah samasenajneyah
stripumsayoh parah
Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya
ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri.
Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau, Jatha nabhicaretam tau
wiyuktawitaretaram
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan,
mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan
jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain (Pudja,
dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak
menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar
perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi
pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka
kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam
kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam
kalyanam tatra wai dhruwam
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula
sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal ( Pudja dan Sudharta,
2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama
Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan
menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang
bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).

2.1.2 SISTEM PAWIWAHAN DALAM VEDA


Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8
bentuk perkawinan sebagai berikut:
1. Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan
baik yang diundang oleh pihak wanita. (Manawa Dharma Sastra, III. 27)
2. Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin
upacara. (Manawa Dharma Sastra, III.28)
3. Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak
timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan
menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci. (Manawa Dharma Sastra,
III.29) Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan
seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai
dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan
dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-
laki. (Manawa Dharma Sastra, III.30)
4. Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima
wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh
pihak wanita.(Manawa Dharma Sastra, III. 31)
5. Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama
cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin
tahu. (Manawa Dharma Sastra, III.32)
6. Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil
paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang. (Manawa
Dharma Sastra, III. 33)
7. Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan
diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat
hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang. (Manawa Dharma Sastra, III.34
2.2 SAH DAN SYARAT PERKAWINAN
Sistem perkawinan di Indonesia dianggap sah selain telah memenuhi syarat-
syarat yang telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya
administrasi untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus
dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil.
Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
pasal 2 ayat 1 dan 2 yang berbunyi; perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya
perkawinan, hanya ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan
menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu tindakan administrasi. Hal
tersebut diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan
perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala
perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan
kepercayaan sudah menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan
memegang peranan yang sangat menentukan, karena pencatatan merupakan
suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara yang membawa
konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava
Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan
administrasi, sebagai berikut:
1. Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua
calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu
harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu
dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga,
wali yang masih ada hubungan darah.
Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang
harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang
berbunyi:
Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya
Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului
dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya
cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama (Pudja dan Sudharta,
2002: 141).
2. Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika
belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka
diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana
dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun
seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal
bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon
suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun
setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan
dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari
sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang
tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas
Hindu dan Budha, 2001: 34).
3. Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974,
dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan
dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari
garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak
mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota
badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa,
penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
4. Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu
disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan
untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua,
akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas
foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah
kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan
sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava
Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci
hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta
upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat
mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia
(Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu
tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam
agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada
Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu
tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi
oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan
didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan
dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah, iha kirtimawapnoti pretya
canuttamam sukham
Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci
dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini
dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)
( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun
adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus
sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan
upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad
Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan
kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi
(estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur,
melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol
mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan
upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan
mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing
diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan
puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha,
2001:36).
4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan
keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai
pelaksanaan yaja harus diyakini kebenarannya. Yaja tidak akan menimbulkan
energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap.
Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi
bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-
simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai
pajangan biasa.
5) Lascarya artinya suatu yaja yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra artinya suatu yaja harus dilakukan sesuai dengan sastra atau
kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yaja disebut Yaja Vidhi.
Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan
pedoman pelaksanaanyaja.
7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan
harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang
memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yaja harus ada mantra atau
nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yaja hendaknya ada
jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yaja hendaknya tidak dilaksanakan dengan
tujuan untuk memamerkan kemewahan.
2.2.1 PERKAWINAN MENURUT HUKUM HINDU
Sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum hindu itu adalah apabila sesuai
atau tidak dengan persyaratan yang ada. Suatu perkawinan Dikatakan sah
menurut hokum hindu ialah :
1. Perkawinan dikatakan sah apabila saat wiwaha dilakukan oleh rohanian
seperti Brahmana atau pandita. Dan juga bisa dilakukan oleh pejabat agama
yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
2. Perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut
agama hindu
3. Berdasarkan tradisi di bali, perkawinan dikatakan sah setelah
melaksanakan upacara biakala sebagai rangkaian upacara wiwaha.
4. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
5. Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, tidak pernah haid, atau sehat
jasmani dan rohani.
6. Calon mempelai cukup umur bagi pria berumur minimal 21 tahun dan
wanita berumur minimal 18 tahun.
7. Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat, atau sapinda.
8. Untuk di Bali upacara perkawinan agar dilakukan:
- Dirumah pihak yang akan berkedudukan purusa
- Diberi tirta pemuput oleh Rohaniawan
- Adanya sajen petak kepada Bhatara bhatari, leluhur dan Hyang Widhi
- Adanya sajen yang diperuntukan persaksian terhadap Buta sebagai
mahluk bawahan
- Adanya sajen yang diayab bersama oleh mempelai
- Kehadiran para saksi seperti perangkat Desa atau banjar dan warga yang
lain.
Perkawinan dilarang atau dicegah apabila :
- Calon mempelai berhubungn darah dala garis keturunan lurus keatas dan
kebawah
- Berhubungan darah daalam garis keturunan memanjang yaiyu antara
saudara dengan saudara orang tua
- Berhubungan semenda, yaitu Mertua. Anak tiri, Menantu, daan Ibu/bapak
tiri
- Berhubungaan saudara dengan istri atau sebagai Bibi atau kemenakan
dari Istri dalam hal seorang Suami beristri lebih dari seorang.
Sarana dan Tata cara Perkawinan
Sarana upacara perkawinan dalam agama Hindu mengenal tiga tingkat yang
terdiri dari : tingkat sederhana, tingkat menengah dan tingkat paling besar.
Sarana upacara yang paling sederhana terdiri dari :
- Air
- Api/dupa
- Bunga/daun
- Buah
- Saksi saksi
- Hari baik /dewasa
- Pendeta/pinandita
Sarana tersebut diatas tidak dapat ditinggalkan dalam pelaksanaan upacara
perkawinan Hindu. Sedangkan tingkatan sarana upacara perkawinan Hindu
dalam bentuk menengah dan besar dapat disesuaikan dengan desa, kala, patra.
Adapun tata cara perkawinan Hindu menurut Drsta di Bali adalah sebagai
berikut:
Vivaha Samskara Menurut Drsta di Bali
Perkawinan Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkatan
yaitu : kecil/nista, sedang/madya, besar/utama. Walau menjadi tiga tingkatan
namun nilai spiritualnya sama.
A. Tata Cara Upacara
- Penyambutan kedua mempelai
Sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan
unsur unsur negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak
mengganggu jalannya upacara.
- Mabyakala
Mabyakala adalah upacara untuk membersihkan lahir bathin terhadap kedua
mempelai terutama sukla swanita yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar
menjadi suputra.
- Mapejati atau pesaksian
Mapejati merupakan upacara kesaksian tentang pengesahan perkawinan
kehadapan Hyang Widhi, juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah
mengikat diri sebagai suami istri yang sah.
B. Sarana / Upakara
Jenis upacara yang digunakan pada upacara ini secara sederhana adalah :
- Banten pemapag, segehan, dan tumpeng dadanan
- Banten pesaksi, pras daksina, ajuman
- Banten untuk mempelai, byakala, banten kurenan dan pengulap
pengambean
Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti :
1. Papegatan
Berupa dua buah canang, dadap yang ditancapkan ditempat upacara, jarak yang
satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan
benang putih dalam keadaan terentang.
2. Tetimpug
Beberapa pohon bambu kecil yang masih muda dan ada ruasnya sebanyak lima
ruas atau tujuh ruas.
3. Sok Dagang
Sebuah bakul berisi buah buahan, rempah rempah, keladi
4. Kala Sepetan
Disimboliskan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat
dengan benang tridatu, diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun dadap. Kala
sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima pakala
kalaan.
5. Tegen Tegenan
Batang tebu atau carang dadap yang kedua ujungnya diisi gantungan bingkisan
nasi dan uang.
Jalannya Upacara
1. Upacara penyambutan kedua mempelai
Begitu calon mempelai masuk pintu halaman pekarangan rumah, disambut
dengan upacara mesegehan dan tumpeng dandanan
2. Upacara mabyakala
Sebelum upacara ini dimulai dengan upacara puja astiti oleh pemimpin upakara.
Pelaksanaannya kedua mempelai melangkahi tetimpug sebanyak tiga kali dan
selanjutnya banten pabyakalaan. Kemudian natab pabyakalaan. Masing masing
ibu jari kedua mempelai disentuhkan dengan telur ayam mentah didepan kaki
sebanyak 3 kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat dengan penglukatan, lalu
berjalan mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut Murwa
Daksina. Saat berjalan mempelai wanita berada didepan sambil menggendong
sok dagangan, diiringi dengan mempelai pria dengan memikul tegen tegenan.
Setiap melewati kala sepetan kakinya yaitu ibu jari kanan kedua mempelai
disentuhkan pada bakul lambang kala sepetan. Mempelai wanita saat berjalan
dicemeti (dipukuli) dengan tiga buah lidi oleh si pria sebagai simbul telah terjadi
kesepakatan untuk sehidup semati. Yang terakhir kedua mempelai memutuskan
benang papegatan sebagai tanda mereka kedua telah memasuki hidu Grhasta.
3. Upacara Mapejati atau Persaksian
Dalam upacara pesaksian kepada Hyang Widhi, maka kedua mempelai
melaksanakan puja bhakti sebanyak lima kali. Setelah mebakti kedua mempelai
diperciki tirtha pembersihan oleh pemimpin upacara. Kemudian natab banten
Widhi Wadhana dan majaya jaya.
Dengan demikian maka selesailah pelaksanaan samskara vivaha. Selesai vivaha
samskara adalah penandatanganan surat perkawinan oleh kedua belah pihak
dihadapan saksi dan pejabat yang berwenang.

2.3 FENOMENA PERMASALAHAN YANG SERING MUNCUL DALAM


RITUAL PERKAWINAN HINDU DI BALI DEWASA INI

2.3.1 PERKAWINAN BEDA KASTA (WARNA/WANGSA) DALAM


MASYARAKAT HINDU DI BALI
Pada uraian ini akan membahas tentang Perkawinan Beda Kasta di Bali. Saat ini
masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu
fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu
peduli masalah kasta. Saat ini bisa dikatakan kasta di Bali yang saya tahu terdiri
dari 3 bagian yaitu :
Golongan 1 : Ida Bagus dan lainnya
Golongan 2 : Cokorda, Anak Agung, Gusti dan lainnya
Golongan 3 : Tidak berkasta

Kasta Dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat di Bali


Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang berkasta
menggunakan bahasa Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang selevel
dan level di atasnya. Sementara ketika berbicara dengan orang yang berkasta
lebih rendah, orang yang memiliki kasta lebih tinggi kadang dianggap bisa
menggunakan bahasa yang biasa atau lebih frontalnya kasar. Dalam kegiatan
sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih tinggi juga biasanya lebih
dihormati. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan secara ekonomi lebih
mampu alias kaya.
Tentu tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang tidak berkasta
namun tetap dihormati. Dan kembali kepada masing-masing orang karena pada
kenyataannya tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang hormat kepada
mereka yang berkasta.
Pernikahan
Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra
bahkan kadang menjadi masalah. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali
pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin
terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih
terjadi. Sebenarnya Hindu tidak mengenal kasta, yang dikenal adalah warna
(berdasarkan profesi) atau wangsa (berdasarkan keturunan). Dalam sistem
sosial-budaya Bali, yang kita kenal adalah wangsa, yakni silsilah keluarga
berdasarkan garis keturunan. Akan tetapi dalam kenyataan dimasyarakat istilah
kasta lebih populer dan dikenal, meskipun yang pada dasarnya tidak ada sistem
kasta dalam agama Hindu. Baik menurut hukum agama maupun hukum negara,
tidak ada hukuman atau ganjaran bagi orang yang menikah beda kasta/wangsa.
Sistem sosial dan budaya Bali menganut sistem Patrilineal. Dalam sistem
patrilineal, maka hukum adat yang berlaku adalah mengikuti garis keturunan,
wangsa, dan waris suami. Mungkin yang kita tahu bahwa seorang laki-laki
dengan kasta (wangsa) bawah yang menikah dengan wanita kasta atas tidak
bisa ikut kasta wanita tersebut, sedangkan jika wanita kasta (wangsa) bawah
menikah dengan laki-laki kasta atas maka si wanita itu bisa ikut kasta laki-laki
tersebut.
Ternyata secara agama tidak dijelaskan akibat dari seorang yang menikah beda
kasta. Tetapi, secara sosio-religius konseksuensinya adalah si wanita harus
mengikuti silsilah keluarga suami, karena si wanita sudah masuk ke dalam
silsilah keluarga sang suami. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang
sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang
lain).
Perkawinan beda kasta sudah ada sejak dulu dan beberapa keluarga yang
dulunya berasal dari wangsa yang berbeda, sekarang juga bisa hidup rukun dan
membina keluarga dengan baik. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah
komunikasi yang baik antara dua keluarga dari calon mempelai. Seandainya,
sudah ada kesepakatan tentang tata cara pelaksanaan upacara dan sebagainya,
mungkin tidak akan ada masalah. Pernikahan beda kasta sendiri dikenal ada dua
macam, yaitu :
a. Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah
yang sudah seringterjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan
kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil
mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang
istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap
mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara
pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau
dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan
keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun zaman sekarang hal
tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih
kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-
nya.
b. Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat
dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan
mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih
rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi
atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya.
Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan
mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai
"nyerod". Menurut berita yang sering beredar, sebagian besar penduduk Bali
lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali
sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan
mengalami penurunan kasta.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat
yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi
daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu
sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak
diperdebatkan lagi.

2.3.2 PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT HINDU


Perkawinan beda agama, bagi kita umat Hindu tidak dibenarkan, karena:
1. Manawa Dharmasastra, Buku ke-III (Tritiyo dhyayah) pasal 27 tertulis:
ACCHADYA CARCAYITWA CA, SRUTI SILA WATE SWAYAM, AHUYA DANAM
KANYAYA, BRAHMA DHARMAH PRAKIRTITAH.
Artinya : Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias dan setelah
menghormat kepada seorang ahli weda yang berbudi bahasa baik yang
diundang oleh ayah si gadis, itulah perkawinan brahma wiwaha.
Tafsirnya: seorang wanita yang hendak dikawini oleh seorang lelaki yang
beragama Hindu (meyakini kitab suci Weda), hendaklah seorang wanita yang
berpendidikan baik (dirias) dan seorang wanita yang taat beragama Hindu
(karena ia harus terlebih dahulu mendapat restu orang tua dan disucikan oleh
seorang Wiku).
2. Oleh karena itu, sesuai dengan isi sloka diatas bila ada perkawinan beda
agama, maka si wanita agar di-Hindu-kan terlebih dahulu dengan upacara sudhi
waddani.
3. Setelah itu barulah pawiwahan dapat dilaksanakan.
Adapun syarat sahnya perkawinan beda agama dalam agama Hindu, yaitu :
1. Pasangan beda agama membuat pernyataan siap masuk Hindu tanpa ada
paksaan dari siapapun di atas kertas bermaterai Rp. 6.000,-
2. Melaksanakan Upacara Sudi Wadani sebagai syarat pengesahan/legalitas
masuk Hindu. Upacara ini dilakukan oleh rohaniawan (Pemangku atau Pendeta)
dengan terlebih dulu mengisi blangko Sudi Wadani yang dapat diambil di Kantor
Parisada (PHDI) setempat.
3. Upacara Perkawinan dapat dilakukan setelah pelaksanaan Sudi Wadani.
Upacara Perkawinan ini dilaksanakan dengan menghadirkan saksi-saksi antara
lain, Rohaniawan, Petugas Pencatat Perkawinan (Bagi Hindu di Luar Bali), Kepala
Dusun, Klian Adat, dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jika dilaksanakan di
Bali, Blangko Catatan Perkawinan sudah tersedia pada Kepala Dusun masing-
masing
4. Blangko Sudi Wadani dan blangko catatan perkawinan yang sudah lengkap
ditandatangani oleh pihak-pihak terkait, kemudian diserahkan ke kantor catatan
sipil setempat untuk dicatat dan mendapatkan Akta Perkawinan
2.3.3 HUBUNGAN SEKS DI LUAR NIKAH MENURUT HINDU
Prinsipnya, hubungan seks di luar nikah oleh agama manapun dilarang. Bagi
pemeluk Hindu di Bali, diuraikan dalam Trikaya Parisudha tentang Kayika, yang
disebut: tan paradara. Pengertian tan paradara ini diartikan luas sebagai
menggoda, bersentuhan seks, berhubungan seks, bahkan
menghayalkan seks dengan wanita/ lelaki lain yang bukan istri/ suaminya yang
sah.
Dalam kitab-kitab suci antara lain Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, dan
Parasaradharmasastra, hubungan seks senantiasa dianggap sebagai hal yang
suci yang hanya diperkenankan setelah melalui proses pawiwahan yang menurut
Manawadharmasastra ada delapan cara.
Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu
yang disahkan oleh PHDI tahun 1987 diatur tentang keadan cuntaka (tidak suci
menurut keyakinan agama Hindu) yang berhubungan dengan masalah seks di
luar nikah (pawiwahan) sebagai berikut:
1. Wanita hamil tanpa beakaon dan memitra ngalang (kumpul kebo), yang
kena cuntaka adalah wanita itu sendiri beserta kamar tidurnya. Cuntaka ini
berakhir bila dia dinikahkan dalam upacara pawiwahan.
2. Anak yang lahir dari kehamilan sebelum pawiwahan (panak dia-diu), yang
kena cuntaka: si wanita (ibu), anak, dan rumah yang ditempatinya. Cuntaka ini
berakhir bila anak itu ada yang meras yaitu diangkat sebagai anak dengan
upacara tertentu.
Jika dihayati lebih jauh, seolah-olah hukuman cuntaka itu hanya ditimpakan
kepada wanita dan anak-anak saja. Pertanyaannya bagaimana mengenai si lelaki
pasangan zina/ kumpul kebonya apakah terkena cuntaka juga? Secara tegas
kesatuan tafsir tidak mengatur, tetapi dosa atas perbuatan paradara jelas
disebutkan dalam Sarasamuscaya. Selain itu pawiwahan yang menyimpang dari
ajaran agama juga dinyatakan sebagai dosa yang disebutkan dalam
Manawadharmasastra dan Parasaradharmasastra.
Di Bali (Desa Pengotan Bangli), Hamil di Luar Nikah Didenda 40 ribu Per
Hari
Menikah bukan sekadar urusan menyatukan dua manusia yang saling mencinta.
Ada makna yang lebih luas lagi, seperti kemauan berbagi beban hidup dan
menyatukan dua atau lebih keluarga. Di Desa Pengotan, Kabupaten Bangli, Bali,
kedua makna pernikahan itu lebih kental terasa.
Tradisi pernikahan di Desa Pengotan memiliki dua keunikan. Pertama, pernikahan
hanya boleh dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun berdasarkan
kalender Hindu. Pernikahan dilakukan pada sasih kapat (bulan keempat) dan
sasih kedasa (bulan kesepuluh) atau dalam kalender Masehi sekitar bulan
September-Oktober dan Februari-Maret.
Kedua, karena hanya berlangsung dua kali dalam satu tahun, pernikahan selalu
dilaksanakan secara massal. Dalam satu kali upacara pernikahan, bisa ada 70
pasang atau sedikitnya hanya 5 pasang pengantin. Oleh karena itu, setiap kali
ada upacara pernikahan massal, suasana di Desa Pengotan mendadak ramai.
Warga dari luar desa juga berbondong-bondong ingin melihat keunikan
pernikahan itu.
Rangkaian upacara pernikahan itu total berlangsung selama enam hari. Tiga hari
sebelum upacara puncak, setiap pasang pengantin menghaturkan canang sedah
berupa sesaji kepada pemimpin adat desa. Ritual itu menyimbolkan
kesungguhan pengantin yang akan melakukan pernikahan. Setelah upacara
pernikahan berlangsung, pengantin pria dan perempuan masih melakukan ritual
pebratan. Selama tiga hari setelah pernikahan, setiap pengantin tidak boleh
keluar dari pekarangan rumah. Mereka pun memanfaatkan waktu untuk
menerima tamu yang ingin mengucapkan selamat.
Pada hari puncak pernikahan, sekitar pukul 10.00 Wita, Pura Penataran Agung
Pengotan yang menjadi tempat pusat kegiatan acara pernikahan mulai ramai.
Para peduluan atau petugas pura mulai menata sesaji. Sapi merupakan
persembahan pokok dalam upacara itu. Dulu setiap pasang pengantin wajib
menyerahkan satu ekor sapi. Sekarang cukup satu ekor sapi untuk semua
pasangan. Perubahan itu dilakukan supaya tidak memberatkan pengantin.
Selain sapi, ada pula sesaji lain yang disiapkan, seperti nasi, daging ayam, dan
buah-buahan. Semua sesaji itu sudah harus tertata rapi sebelum para pengantin
dipanggil masuk ke dalam pura. Setiap pasangan yang memakai baju adat
berupa kain songket khas Bali diarak satu per satu menuju ke pura.
Di luar pura, para pengantin mengikuti ritual pembersihan diri atau pebiak kalan.
Pembersihan diri juga dilakukan di dalam pura oleh para pendeta dan sekaligus
menjadi ritual inti pernikahan massal ini. Sebelum pulang ke rumah, para
pengantin harus melakukan ritual di setiap pura di desa itu yang berjumlah 13
pura.
Sesampainya di rumah adat, setiap pasangan pengantin saling menyuapi
makanan sebagai simbol untuk saling menghidupi. Prosesi itu diiringi kidung
berbahasa Bali yang dinyanyikan tetua desa.
Sesuai dengan kearifan lokal hampir semua prosesi upacara nikah masih asli,
sampai sekarang tidak banyak berubah. Para pemimpin di desa itu pun berusaha
keras melestarikan tradisi satu-satunya di Bali ini karena pernikahan massal ini
mengandung nilai-nilai yang positif. Salah satunya adalah pemberian denda bagi
pengantin perempuan yang hamil di luar pernikahan. Mereka akan didenda Rp
40.000 per bulan hingga pernikahan massal itu berlangsung. Sanksi adat berupa
denda juga berlaku bagi warga Desa Pengotan yang menikah dengan tradisi lain.
Sanksi itu akan ditentukan oleh para pemimpin desa.
Bagi Desa Pengotan yang dihuni 699 keluarga dan sebagian besar di antaranya
bekerja sebagai petani, pernikahan massal itu cukup meringankan beban warga.
Keluarga setiap pasangan pengantin pun menjadi lebih akrab karena banyak hal
yang ditanggung bersama. Kearifan lokal itulah yang perlu dilestarikan.
PERKAWINAN HINDU DENGAN SIMBOL
Kawin dengan Simbol, pada sebuah desa di Gianyar terdapat satu kisah yang
tergolong unik namun sudah lumrah dilakukan menyangkut perkawinan. Di desa
bersangkutan ada seorang pemudi yang hamil di luar nikah. Dan yang
menghamili tidak bertanggung jawab, dia pun menghindar dengan pergi ke luar
daerah. Betapa terenyuh hati si wanita ini, apalagi kehamilannya terus
membesar, sedangkan lelaki yang diharapkan mempertanggujawabkan
perbuatannya tidak juga datang. Wanita yang mengandung itu beserta
keluarganya sempat kebingungan. Di satu sisi ingin menyelamatkan si jabang
bayi yang tak berdosa, makanya tidakk digugurkan. Di lain pihak, bila dibiarkan
sampai bayi itu lahir, berarti harus ada lelaki yang mengawini si wanita hamil ini,
sehingga anak yang lahir nanti sah secara adat maupun agama. Pernah ada
keinginan dari pihak keluarga untuk meminjam' salah satu keluarga laki agar
mau melangsungkan upacara perkawinan. Setelah upacara si laki tadi tidak lagi
ada ikatan tanggung jawab apa pun terhadap si wanita hamil maupun dengan
anaknya kelak. Tetapi, tidak ada keluarganya yang rela melakukan langkah itu,
hingga akhirnya untuk menghilangkan aib sekaligus tidak membuat leteh desa
jika anaknya sampai lahir nanti, si wanita ini memilih tidak menggugurkan
kandungan. Dia rela kawin mengikuti kesepakatan keluarga, yakni dengan simbol
purusa (berwujud adegan). Dan yang menjadi pertanyaan, apakah perkawinan
seperti ini bisa dianggap sah? Bagaimana bila dihubungkan dengan etika yang
berlaku di masyarakat, apakah langkah yang ditempuh wanita hamil tadi beserta
keluarganya bisa dianggap tindakan yang benar, demi untuk menyelamatkan si
bayi dan menghilangkan leteh di desa?
Penyelesaian masalah dari kejadian di atas yaitu Di Bali, kasus seperti hal diatas
itu lumrah disebut lokika sanggraha. Intinya, terjadi kehamilan pada seorang
wanita karena perbuatan seorang lelaki, namun lelaki tersebut tidak mengakui
perbuatannya di kemudian hari. Kasus seperti ini sudah sangat lumrah di Bali,
sebab tidak hanya terjadi di Gianyar, melainkan juga terjadi di mana-mana.
Bahkan sudah terjadi sejak dahulu. Menikahkan wanita yang hamil tersebut
dengan simbol purusa adalah satu-satunya cara terbaik yang selama ini sudah
dipilih dan diterima luas oleh umat Hindu di Bali. Jadi, pernikahan tersebut
adalah sah menurut adat, tradisi, dan kebiasaan, serta norma yang ada sekaligus
dipraktekkan oleh umat Hindu di Bali. Fenomena ini memang tidak bisa
sepenuhnya memuaskan perasaan kemanusiaan kita, apalagi perasaan spiritual
kita yang selalu harus diukur berdasarkan sasuluh sastra, guru, dan sadhu.
Apakah manusiawi, misalnya, menyandingkan sebilah keris yang kita anggap
sebagai simbol purusa dengan seorang pengantin wanita? Mungkin menurut
kaidah-kaidah keagamaan dan norma dalam tradisi hal itu dapat diterima,
namun kenyataannya hal ini tetap tidak memuaskan perasaan kemanusiaan kita.
Oleh karena itu, meskipun perkawinan dengan simbol purusa ini dianggap sah,
namun orang tetap menggugatnya dengan mengajukan pertanyaan, Apakah
perkawinan seperti ini bisa dianggap sah?Logika yang dijadikan dasar
pembenar terhadap pilihan perkawinan dengan simbol purusa ini adalah untuk
menyelamatkan bayi dan menghilangkan leteh di lingkungan desa.
Menyelamatkan bayi di sini mempunyai dua pengertian. Pertama, perkawinan
dengan simbol purusa ini secara otomatis menghindari tindakan menggugurkan
kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong
pembunuhan ( brunahatya ). Kedua, menyelamatkan secara sosial karena
dengan perkawinan yang menggunakan simbol purusa tersebut, anak yang akan
lahir kelak mempunyai kedudukan hukum sebagai anak yang sah. Artinya, anak
itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah. Tentang menghilangkan leteh
lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkawinan dalam agama
Hindu disebut wiwaha , dan wiwaha sebenarnya adalah satu bentuk prayascitta
atau penyucian diri. Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita
hamil di luar nikahyang sebenarnya menjadi sumber leteh disucikan dengan
upacara prayascitta , dan bersamaan dengan itu lingkungan desa yang tercemar
karena perbuatan asusila warganya, juga dianggap bersih atau normal kembali
karena telah dilakukan upacara prayascitta. Jadi, keputusan wanita yang hamil
untuk kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan
yang benar. Selama ini belum ada alternatif lain yang bisa diterima secara
umum. Memang, kadang-kadang ada tawaran dari pihak keluarga, agar wanita
hamil itu menikah dengan salah satu anggota keluarganya secara simbolis.
Artinya, setelah nikah lelaki itu bebas dari tanggung jawab. Tetapi, hal ini sangat
jarang terjadi. Jarangnya pilihan ini dilakukan bukanlah tanpa alasan. Sebab,
perkawinan itu, baik secara spiritual maupun sosial, mempunyai akibat hukum
sehingga tidak bisa dilakukan secara berpura-pura. Ada kalanya pernikahan
antara wanita hamil di luar nikah itu dengan salah satu anggota keluarganya
dilakukan secara sungguh-sungguh. Artinya, lelaki yang adalah keluarganya itu
menerima wanita hamil luar nikah itu, sebagai istrinya yang sah, sehingga
dilangsungkanlah upacara perkawinan yang sebenarnya. Dalam beberapa
catatan hukum adat di Bali, kita menemukan solusi ini pernah dipilih oleh
kalangan yang sangat terbatas. Tetapi, karena masih menyisakan masalah-
masalah ikutan, atau masih menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya
tentang status atau kedudukan anak yang akan dilahirkan kelak, maka langkah
ini tidak menjadi populer. Penerimaan masyarakat atas sah-tidaknya perkawinan
dengan simbol purusa ini, apabila dilihat dari sudut pandang agama, tampaknya
sengaja dikaburkan. Itulah sebabnya, penerimaan oleh masyarakat dibatasi
dalam kerangka norma-norma adat, tradisi, dan kebiasaan yang dipraktikkan
dalam masyarakat Hindu di Bali. Pertanyaan ini adalah bertumpu pada
kenyataan, bahwa titik awal dari kasus lokika sanggraha ini adalah dimulai dari
pelanggaran atas norma agama. Sebagaimana diketahui, seks pranikah yang
menjadi sumber kemelut ini adalah melanggar norma agama Hindu. Dalam
agama Hindu, perkawinan harus dilangsungkan di antara pasangan calon
pengantin pria dan wanita yang masih perawan, atau dikenal dalam purana-
purana dengan terminologi a ksata-yoni. Jadi, dapat dimaklumi apabila upacara
perkawinan dengan simbol purusa ini tetap digugat keabsahannya hingga kini,
karena memang ia dimaksudkan sebagai penyelaras atas ketidakseimbangan
kosmis sebagai akibat tindakan asusila. Usaha penyelarasan itu adalah sebuah
usaha yang sangat berat. Namun, dalam hal menghindari stagnasi dan korban
yang lebih besar sebagai akibat tindakan asusila itu atau tindakan-tindaan
pelanggaraan atas norma-norma agama secara keseluruhan, maka solusi melalui
perkawinan dengan simbol purusa semacam ini, boleh dikatakan jalan keluar
yang sangat cerdas.
Kiranya perlu diingatkan di sini bahwa dalam kasus lokika sanggraha ini, pihak
yang selalu menjadi korban adalah kaum wanita dan keluarganya. Mereka
menerima aib sekeluarga, bahkan desa mereka juga ikut tercemar ( leteh ),
karena ulah satu orang lelaki. Oleh karena itu, kiranya tidaklah berlebihan jika
kita juga ikut mengingatkan para orangtua di Bali, agarsesuai dengan ajaran
agama Hindu: aksata yoni, yang di Bali dituangkan dalam simbol menusuk tikar
daun pandanmenjaga keperawanan putra-putrinya sampai ke jenjang
pernikahan.

BAB III
PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan
wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum
Negara, Agama dan Adat. Suatu perkawinan Dikatakan sah menurut hukum
hindu ialah :
1. Perkawinan dikatakan sah apabila saat wiwaha dilakukan oleh rohanian
seperti Brahmana atau pandita. Dan juga bisa dilakukan oleh pejabat agama
yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
2. Perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut
agama hindu
3. Berdasarkan tradisi di bali, perkawinan dikatakan sah setelah
melaksanakan upacara biakala sebagai rangkaian upacara wiwaha.
4. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
5. Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, tidak pernah haid, atau sehat
jasmani dan rohani.
6. Calon mempelai cukup umur bagi pria berumur minimal 21 tahun dan
wanita berumur minimal 18 tahun.
7. Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat, atau sapinda.
8. Untuk di Bali upacara perkawinan agar dilakukan:
- Dirumah pihak yang akan berkedudukan purusa
- Diberi tirta pemuput oleh Rohaniawan
- Adanya sajen petak kepada Bhatara bhatari, leluhur dan Hyang Widhi
- Adanya sajen yang diperuntukan persaksian terhadap Buta sebagai
mahluk bawahan
- Adanya sajen yang diayab bersama oleh mempelai
- Kehadiran para saksi seperti perangkat Desa atau banjar dan warga yang
lain.

Dalam pembahasan diatas dilihat dari beberapa permasalahan yang ada, kita
dapat mengatakan bahwa itu merupakan sebuah Diskriminasi. Diskriminasi
sendiri merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat. Ini
disebabkan karena adanya kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan
yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik
suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik,
kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi. Dalam pembahasan diatas sudah terlihat jelas bagaimana
masyarakat di Bali masih menganut kebudayaan yang sangat kental yang masih
berlaku disana, dimana dalam sebuah perkawinan tidak sembarang orang dapat
menikahi seseorang, karena di dalam sebuah perkawinan terdapat syarat
bagaimana kedua mempelai tersebut harus mematuhi adat atau budaya yang
sudah melekat disana. Salah satu masalahnya adalah antar golongan atau lebih
dikenal sebagai kasta.
Pernikahan beda kasta akan sah jika disetujui oleh pihak keluarga masing-
masing. Khususnya secara hindu akan terjadi perbedaan upacara dalam bentuk
banten untuk individu masing-masing. Sedangkan untuk pernikahan beda agama
akan sah jika tidak menyimpang dari hukum agama masing-masing dan Undang
Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai perkawinan dengan simbol purusa, logika yang dijadikan dasar
pembenar terhadap pilihan perkawinan dengan simbol purusa ini adalah untuk
menyelamatkan bayi dan menghilangkan leteh di lingkungan desa.
Menyelamatkan bayi di sini mempunyai dua pengertian. Pertama, perkawinan
dengan simbol purusa ini secara otomatis menghindari tindakan menggugurkan
kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong
pembunuhan ( brunahatya ). Kedua, menyelamatkan secara sosial karena
dengan perkawinan yang menggunakan simbol purusa tersebut, anak yang akan
lahir kelak mempunyai kedudukan hukum sebagai anak yang sah. Artinya, anak
itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah. Tentang menghilangkan leteh
lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkawinan dalam agama
Hindu disebut wiwaha , dan wiwaha sebenarnya adalah satu bentuk prayascitta
atau penyucian diri. Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita
hamil di luar nikahyang sebenarnya menjadi sumber leteh disucikan dengan
upacara prayascitta , dan bersamaan dengan itu lingkungan desa yang tercemar
karena perbuatan asusila warganya, juga dianggap bersih atau normal kembali
karena telah dilakukan upacara prayascitta. Jadi, keputusan wanita yang hamil
untuk kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan
yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

Pudja G. dan Rai Sudharta Tjokorda, 1996. Manawa Dharmasastra (Manu


dharmacastra) atau Weda Smreti Compendium Hukum Hindu. Penerbit Hanuman
Sakti.
I Wayan Maswinara, 1999, Parasara Dharmasastra (Veda Smerti Untuk Kali Yuga).
Surabaya, Paramita.
Mantra, I.B.2006.Bhagavadgita.Pemerintah provinsi Bali.
Nesawan, I Nyoman.1987. Pendidikan Agama Hindu. Bandung : Ganeca Exact.
Tjok Rai Sudharta, M.A, Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja.1967. Upadesa :
Tentang ajaran ajaran Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
Annata Gotama, 2000. Mengenal lebih dekat kitab suci Manawa
Dharmasastra.http://www.parisada.org/index.php?
Itemid=29&id=276&option=com_content&task=view
Yayasan Bali Galang
,____.CaturAsrama. http://www.babadbali.com/canangsari/pa-catur-asrama.htm
http://www.tanahlottabananbali.com
2010, Nikah Beda Kasta , Bali; stitidharma.org/nikah-beda-kasta diakses pada 7
Maret 2013
Wira,I Made, 2011, Sistem Kasta di Bali imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/
diakses pada 7 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai