Anda di halaman 1dari 6

TUGAS AGAMA HINDU

HUBUNGAN HUKUM HINDU DENGAN BUDAYA, ADAT-ISTIADAT, DAN


KEARIFAN DAERAH SETEMPAT

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK D
Gusti Ayu Ketut Astri Meitasari Hambarsika (04)
I Gusti Agung Wahyu Utama Putra Kukuh (08)
I Komang Satriya Bhayangkara (12)
I Putu Gede Okan Bhaskara Muryananda (16)
Komang Regina Ardyana Putri (20)
Ni Kadek Putri Dariani (24)
Ni Made Ayu Pramistya Putri (28)
Putu Cahyu Sriwidani (32)

SMA NEGERI 1 TABANAN


TAHUN PELAJARAN 2020/2021
A. Pengertian Hukum Hindu

Hukum Hindu adalah hukum agama dalam arti yang sebenar-benarnya. Sebagai
hukum agama, hukum Hindu dapat disejajarkan atau disamakan dengan hukum yang lainnya
yang berlaku di wilayah tertentu dimana umat sedharma berada, dalam arti yang sebenar-
benarnya. Sebagai hukum agama, hukum Hindu disamakan pengertiannya dengan dharma
yang bersumber pada Rta. Agama merupakan norma atau kaidah-kaidah moral yang
bersumber langsung dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari sini tampak ada usaha untuk
mengaitkan nilai-nilai agama dengan praktik kehidupan, misalnya nilai agama itu telah
ditranformasikan ke dalam norma-norma sosial yang mengatur kehidupan manusia di dalam
masyarakat. Hubungan yang demikian tidak terlalu sulit mencari, karena Agama Hindu
memperlihatkan gejala yang multi-kompleks sebagai pandangan hidup yang menyeluruh dan
terpadu. John L. Esposito ketika memberi kata pendahuluan pada buku” Agama dan
Perubahan Sosiopolitik”, hanya melihat hubungaan agama pada dua dimensi, yakni
dikatakan: agama mempunyai suatu hubungan yang integral dan organik dengan politik dan
masyarakat (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:90).

B. Pengertian Hukum Adat

Menurut “Soerjono Soerkarto” yang mengemukakan bahwa hukum Adat bersumber


dari perkembangan perilaku yang berproses melalui cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat
istiadat, baru kemudian menjadi hukum adat.

C. Hubungan Hukum Hindu Dengan Budaya, Adat-Istiadat, Dan Kearifan Daerah


Setempat

Dalam prakteknya di tengah masyarakat memang tampak gejala yang bertautan antara
hukum Hindu dengan Hukum Adat. Kitab-kitab Hukum Hindu dalam bentuk kompilasi
seperti; Adigama, Agama, Kutaragama, Purwadigama dan Kutara Manawa, memang amat
sering dijadikan sumber penyusunan Hukum Adat. Hanya transfer ke dalam Hukum Adat
tidak dilakukan sepenuhnya, karena tidak semua materi dalam hukum Hindu tersebut sesuai
dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini para tetua adat sangat
berperan sebagai tokoh yang bertugas khusus menyaring nilai-nilai hukum Hindu untuk
diselaraskan kebutuhannya sesuai dengan sistem sosial yang berkembang di lingkungan
sekitarnya.
Hukum adat menduduki orbit yang sentral dan telah berperan dominan dalam suatu
lingkungan budaya tertentu, yakni lingkungan masyarakat adat yang mendukungnya.
Konsekuensi dari peran yang dominan itu menjadikan hukum Adat semakin mengakar dan
melembaga dalam interaksi sosial masyarakatnya, dalam arti bahwa kepatuhan masyarakat
terhadap Hukum Adat tersebut tidak dapat dibantahkan. Konsekuensi lainnya adalah
membawa akibat yang sangat fatal, di mana mulai muncul tokoh-tokoh hukum adat yang
tidak lagi menerima anggapan bahwa hukum adat bersumber kepada hukum Hindu,
berkesempatan mengemukakan hasil penelitiannya. Gde Pudja lebih jauh mengemukakan,
“Hukum Hindu- lah yang merupakan sumber dasar dari Adat di Indonesia terutama di
daerah- daerah di mana pengaruh Hindu itu sangat besar. Untuk daerah Bali dan Lombok,
pembuktian itu tidaklah begitu sulit, karena seluruh pola pemikiran dan tata kehidupan
masyarakat yang beragama Hindu, tetap mendasarkan pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang
mereka yakini (Pudja, 19977:192).

Menurut perkataan Soerjono Soekanto, mengenai hukum Adat yang bersumber dari
perkembangan perilaku yang berproses melalui cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat
istiadat, baru kemudian menjadi hukum adat, akan semakin mempertegas mengenai
pembuktian adanya hukum Hindu menjiwai hukum adat. Namun kerangka teori ini akan
melahirkan adat murni, karena ia bersumberkan kepada perilaku menjadi manusia, baik
personal maupun umum. Dalam proses menjadikan kebiasaan, tata dan adat-istiadat, kitab
Dharmasastra atau hukum Hindu sedikit banyak memberi pengaruh, berhubung kebiasaan,
tata kelakuan dan adat istiadat itu dibatasi oleh suatu norma-norma sosial dan norma-norma
agama yang bersumber langsung dari Wahyu Tuhan. Hukum Hindu dalam pembahasan di
muka dinyatakan berdasarkan pada Rta (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:92).

Meskipun dibentangkan secara tersirat dari beberapa uraian di depan, terkecuali


menegakkan keberadaan hukum Hindu yang menjiwai hukum adat, sebenarnya dengan
sendirinya juga mencakup pengertian hukum Hindu menjiwai kebiasaan. Kebiasaan ini
dibatasi dalam konteks-nya yang berakibat pada hukum adat. I Ketut Artadi menggambarkan
kebiasaan itu sebagai berikut. ”Dalam aspek lain hubungan antara warga ini menonjol juga
dalam hal ketaatan terhadap kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati yang dapat berupa
tata susila, sopan santun, hidup dalam pergaulan di suatu desa, yang sedemikian dianggap
patut seperti cara bertegur sapa, tolong-menolong orang yang kena musibah, saling tolong
dalam menanam padi, saling membantu dalam soal membuat rumah dan lain-lain, “(Artadi,
1987:2). Komponen ini terdiri dari pernyataan tersebut berturut-turut adanya penaatan dari
warga, kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati, dan output berupa kebiasaan tolong-
menolong. Ide-ide untuk mematuhi norma sosial dan norma agama, sehingga melahirkan
perilaku sosial yang tolong menolong, seperti terdapat dalam komponen tersebut di atas
merupakan ide-ide yang melahirkan hukum adat. Dengan demikian terdapat hubungan
berantai dan estafet : dari hukum Hindu menjiwai hukum adat, dan penjiwaan itu mengalir
juga menjiwai kebiasaan.

Pembuktian adanya pengaruh hukum Hindu menjiwai hukum adat telah terbukti sejak
berdirinya kerajaan Hindu di Indonesia. Penguatan ini diberikan oleh Gde Pudja ketika
membahas dimulainya pertumbuhan hukum Hindu. Pudja mengatakan, bagian-bagian dari
ajaran-ajaran Hindu dan pasal-pasal dalam Dharmasastra telah disesuaikan dan dipergunakan
sebagai hukum pada masa kerajaan Hindu di Indonesia. Bahkan bukan pada masa kerajaan
Hindu saja, karena secara tidak disadari bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan
berpengaruh pula dalam hukum positif di Indonesia melalui bentuk-bentuk hukum adat.
Bentuk acara Hukum dan kehidupan hukum Hindu yang paling nyata terasa sangat
berpengaruh adalah bentuk hukum adat di Bali dan lombok, sebagai hukum yang berlaku
hanya bagi golongan Hindu semata-mata (Pudja, 1977:34). Dalam berbagai penelitian dan
penulisan Hukum Adat, baik dalam bidang hukum pidana, dalam bidang hukum perdata
terutama hukum waris, hukum kekeluargaan dan perkawinan yang dikatakan hukum adat,
semuanya ternyata hukum Hindu. Baik pengertian, istilah-istilah yang dipakai maupun dasar
filosofinya delapan belas titel hukum atau astadasa wyawahara, pembagian 12 jenis anak,
berbagai jenis pidana adat seperti brahmantia, wakparusia, sahasa dan sebaginya. Semuanya
merupakan hukum agama, ini berarti hukum Adat sebagian besar adalah hukum agama, yakni
hukum adat itu sebagian besar adalah hukum agama Hindu (Pudja, 1997:34-35) dalam
(Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:91).

Tim Peneliti Universitas Udayana Denpasar dalam penelitiannya tentang pengaruh


agama Hindu terhadap hukum pidana adat di Bali, menunjukkan adanya pengaruh hukum
Hindu dalam jenis pelanggaran susila ini : Lokika Sanggraha, Amandel Sanggama, Gamia
Gamana, salah krama, drati-krama, dan wakparusya. (Tim Peneliti Universitas Udayana
Denpasar, 1975 : 47). Semua jenis hukum adat tersebut pernah diterapkan dalam peradilan
Kerta di Bali semasa jaman penjajahan Hindu Belanda di Indonesia. Dari keputusan-
keputusan raad van kerta kita mendapatkan kesimpulan bahwa bentuk hukum perdata,
terutama hukum waris dan perkawinan menempati skala pelanggaran terbesar dibandingkan
bentuk hukum lainnya. Apabila skala pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat ditinjau
secara makro, maka kita harus bertolak pada tiga hal pokok yang dipakai tumpuan memahami
eksistensi hukum adat Bali secara lebih mendasar. Ketiga hal pokok itu adalah Tri Hita
Karana, yakni adanya upaya umum masyarakat itu sendiri. Upaya menegakkan
keseimbangan hubungan masyarakat secara keseluruhan dengan alam Ketuhanan (Mudana
dan Ngurah Dwaja, 2015:93). Berbagai pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat
sebagaimana contoh yang dikedepankan di atas, menunjukkan skala pengaruh hukum Hindu
terhadap hukum adat pada dimensi “Pawongan” dan ”palemahan”. Adanya pengaruh hukum
Hindu terhadap hukum adat, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa hukum adat itu
tidak ada. Gde Pudja mengatakan, hukum adat haruslah tetap ada, sebagai kaidah yang asli
pada masyarakat primer. Namun sejauh ini pembuktian untuk membedakan hukum adat
dengan hukum Hindu, belum banyak dilakukan. Kalau ada, penulisan ini belum sampai
melihat kemungkinan bahwa hukum itu bersumber pada Hukum Hindu. (Pudja, 1977:34).

Demikianlah hubungan hukum Hindu dengan budaya, adat-istiadat, dan kearifan


daerah setempat telah menyatu saling memelihara diantaranya. Keberadaan adat-istiadat di
Indonesia patut dipelihara guna mewujudkan cita-cita bangsa ini yakni menjadi bangsa yang
sejahtera dan makmur serta bahagia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:94).
Daftar Pustaka

hindu, M. (2018, September 4). Hubungan Hukum Hindu dengan Budaya, Adat Istiadat, dan Kearifan
Daerah Setempat. Dipetik Juli 29, 2020, dari mutiarahindu:
https://www.mutiarahindu.com/2018/09/hubungan-hukum-hindu-dengan-budaya-
adat.html

Knowledge & Technology. (2018, September 13). Hubungan Hukum Hindu Dengan Budaya, Adat
Istiadat, dan Kearifan Daerah Setempat. Dipetik Juli 29, 2020, dari tri-learn: https://tri-
learn.blogspot.com/2018/09/hubungan-hukum-hindu-dengan-budaya-adat.html

Sanjaya, N. (2020, April 21). Hubungan Hukum Hindu dengan Budaya, Adat-Istiadat, dan Kearifan
Daerah Setempat. Dipetik Juli 29, 2020, dari teknomu:
https://teknomu.com/2020/04/hubungan-hukum-hindu-dengan-budaya-adat-istiadat-dan-
kearifan-daerah-setempat.html

Anda mungkin juga menyukai