Oleh
Pendahuluan
Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara
agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan
umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti
dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek
pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia
memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana. Sementara itu aspek acaraadalah tata cara
pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacarasebagai wujud simbolis komunikasi
manusia dengan Tuhannya. Acara agama adalah wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa
dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua,
yaitu upacara dan upakara. Upacaraberkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang,
hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang
dipersembahkan dalam upacara keagamaan.
Agama Hindu yang diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhanta yang
mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan
kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Indonesia menjadi kekuatan
filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal
ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang
belakangan. Artinya, agama Hindu yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah
sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan induknya,
India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya
dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap
memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama
Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di India.
Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara leksikal
kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwa bermakna
”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu
sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwamemiliki dimensi lain yang tidak didapatkan
dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final,
tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya. Sebagai
contoh, Wisnudisimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata cakra. Ini
adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran
dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan
sebagai filsafat secara an sich,tetapi lebih tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu.
Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa,
Atma tattwa, Karmaphala tattwa, Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).
Sementara itu susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku atau
tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini kurang lebih tepat
karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi juga
berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik harus dilakukan.
Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral. Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran
tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh
dilarang untuk dilakukan, tetapi ”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh
adalah dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan
kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara
etika.
Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu
menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang
”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral
adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika
Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-
masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap
bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan
definisi di atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan
landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-gurunya secara
moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika
hal itu dibenarkan karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.
(3) Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.
Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra,
acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan
peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersamaatau teman. Dapat dibandingkan
dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali diterjemahkan
dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan.
Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat
berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah
makna yang pertama (ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik
dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3)
peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.
”nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra,
yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening anakbi,
dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang aji kinawruhan, haywaning
gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti kawaran ring aji”
Artinya:
Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut dipuja,
patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan lain-lainnya.
Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina
wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci
adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.
Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak
dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama
Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan,
sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku
keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāra mengimplementasikan tattwa dan susila dalam
wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama
hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-
antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan.
Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak hanya
dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial.
Acara agama Hindu sesungguhnya mencakup bidang yang sangat luas terutama berkaitan dengan tradisi
ritual. Acara agama Hindu mencakup hal sebagai berikut : (1) ajaran tentang yadnya; (2) ajaran tentang
hari-hari suci keagamaan; (3) ajaran tentang tempat suci atau tempat-tempat pemujaan; dan (4) ajaran
tentang orang suci (Sudharta&Punyatmadja, 2001).
Artinya:
Weda Sruti merupakan sumber utama daripada dharma (agama Hindu), kemudian Smerti, setelah
itu Sila, Acara dan Atmanastuti.
Acara sebagai kebiasaan memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kata drsta. Drsta berasal dari
urat kata Sansekerta ”drs” yang berarti memandang atau melihat. Kemudian kata ”drsta” memiliki
makna konotatif yang bermakna tradisi (Sudharma,2000). Acara atau drsta dibagi menjadi 5 (lima) hal,
yaitu : (1) sastra drsta berarti tradisi yang bersumber pada pustaka suci atau sastra agama Hindu;
(2) desa drsta berarti tradisi agama yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu; (3) loka drsta adalah
tradisi agama yang berlaku secara umum dalam suatu wilayah; (4) kuna/purwa drsta berarti tradisi
agama yang bersifat turun-temurun dan diikuti secara terus menerus sejak lama; dan (5) kula
drsta adalah tradisi agama yang berlaku dalam keluarga tertentu saja (Sudharma,2000).
Sebagai sebuah sistem religi sebagaimana dikatakan oleh Koentjaraningrat (1987) maka ācāra Agama
Hindu meliputi: (1) adanya emosi keagamaan atau perasaan religius yang mendorong
suatu upācāra dilaksanakan; (2) adanya sistem keyakinan yang melandasi suatu upācāra dilaksanakan
(tattwa); (3) ada sistem upacara yang ditetapkan sesuai dengan jenis upācāra (eed atau dudonan karya);
(4) ada peralatan upācāra yang sesuai dengan tingkatan yajna (nista, madhya, uttama); dan (5) adanya
struktur masyarakat sebagai pendukung dari pelaksanaan upācāra tersebut (umat, orang-orang suci,
institusi keagamaan, dan sebagainya). Apabila kelima komponen ini telah terpenuhi dalam
sebuah upācāra maka secara budaya, upācāra tersebut telah dikatakan berhasil.
Telah dikemukakan di atas bahwa dasar dari pelaksanaan ācāra Agama Hindu adalah Kitab
suci Veda. Dalam kitab suci Catur Veda telah diajarkan tentang pelaksanaan berbagai upacara ritual. Dari
mulai upacara persembahan Homa (api suci) yang dilakukan oleh masing-masing keluarga, sampai
upacara besar seperti Aswamedha yajna (kurban kuda) dan Sarwamedha yajna (kurban seluruh
binatang) telah ditemukan dalam Veda. Kemudian pada zaman Brahmana, kitab-kitab upacara mulai
disusun secara sistematis, yaitu mengenai Panca Mahayajna. Kitab terbesar pada masa ini adalah
Kitab Satapatha Brahmana yang pada intinya memuat tentang Upācāra dan Upakara yajna.
Salah satu konsepsi yang digunakan sebagai dasar dari semua pelaksanaan yajnaialah Tri
Rnam. Konsepsi ini mengajarkan bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia sesungguhnya telah
memiliki tiga hutang yang harus dibayar selama hidup, yaitu hutang kepada Tuhan (Dewa Rnam), hutang
kepada Para Maharsi (Rsi Rnam) dan hutang kepada leluhur (Pitra Rnam). Ketiga hutang ini
sesungguhnya terkait dengan eksistensi manusia di dunia ini. Keberadaan manusia di dunia ini dan
keberlangsungannya (survival) merupakan karya agung dari Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau
menciptakan alam semesta beserta isinya melalui sebuah yajna,menjaga dengan yajna, dan
mengembalikan semua yang ada dengan yajna pula. Setelah Tuhan menciptakan alam semesta,
termasuk di dalamnya manusia, diturunkanlah pengetahuan suci Veda yang menuntun manusia agar
hidup serasi, selaras, dan seimbang dengan alam karena kaharmonisan inilah yang akan membuat
manusia survive kehidupannya. Tentunya, turunnya wahyu Veda tidak dapat dipisahkan dari peranan
para Maharsi yang telah mengabdikan dirinya untuk melaksanakan tapa, brata,
yoga, dan samadhi. Melalui proses inilah Para Maharsi menerima wahyu suci Veda dan kemudian
mengajarkannya kepada seluruh umat manusia. Selanjutnya, ajaran Veda mengalir dan diterima oleh
generasi sekarang karena adanya regenerasi dari para leluhur terdahulu. Proses siklis bahwa setiap yang
lahir akan mati, kemudian terlahir kembali menjadi pedoman bahwa setiap generasi hilang dan muncul
generasi baru. Oleh karena itu kitab Veda yang masih diterima hingga saat ini dan mungkin juga generasi
yang akan datang merupakan keberlanjutan kehidupan manusia dari leluhur-leluhur terdahulu yang dari
generasi ke generasi berikutnya melahirkan keturunan yang berkualitas sehingga keberlanjutan
pengetahuan suci Veda dan keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri tetap terjaga. Demikian
besar hutang manusia terhadap Tuhan, para Maharsi, dan para Leluhur karena beliau-lah eksistensi
manusia di dunia ini terpelihara.
Panca Mahayajna
Sesungguhnya Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya ini melalui sebuah yajna, memelihara
dengan yajna, dan meleburnya juga dengan yajna. Hal ini sebagaimana dikatakan
dalam Bhagavadgita sebagai berikut.
Artinya:
Kamadhuk adalah sapi dari Indra yang dapat memenuhi semua keinginan. Selanjutnya dalam pustaka
suci yang sama disebutkan bahwa:
“Devam bhavayata’nena,
Parasparam bhavayantah,
Artinya:
Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi saling
memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.
Kedua sloka di atas menegaskan bahwa Alam semesta (bhuwana agung), dan manusia (bhuwana alit) ini
diciptakan oleh Prajapati melalui sebuah yajna. Yajna ini pula yang akan memenuhi keinginan manusia
sehingga ia dapat tetap eksis di dunia ini. Oleh karena itu yajna juga harus dilakukan oleh manusia
karena dengan yajnamanusia menghormati para Dewa dan para Dewa akan memelihara manusia. Saat
manusia telah mendapat anugerah dari para Dewa, di mana kehidupannya selalu dipelihara dan
diselamatkan oleh para Dewa maka itulah kebahagiaan yang maha tinggi. Di sini Bhagavadgita berbicara
tentang konsep bhakti, yaitu manusia melakukan yajna untuk berkomunikasi dengan para Dewa, dan
atas yajna tersebut para Dewa akan memberikan anugerah kepada manusia. Inilah puncak dari
konsep bhakti, yaitu manusa bhakti dewa asih (manusia beryajna untuk mendapatkan kasih Tuhan).
Upācāra dalam rangka pelaksanaan ajaran Agama Hindu dapat digolongkan menjadi lima kelompok
besar berdasarkan sasaran dalam pelaksanaannya yang disebut Panca Mahayajna atau sering
disebut Panca Yajna. Yajna adalah suatu pengorbanan yang dilandasi oleh hasrat yang suci untuk
menguhubungkan diri dengan Tuhan. Kelima jenis korban suci tersebut meliputi:
(2) Rsi Yajna, yakni korban suci kepada para Maharsi, dan juga proses untuk menjadi
seorang dwijati tergolong dalam Rsi yajna.
(3) Pitra Yajna, yakni kurban suci untuk menghantarkan roh leluhur mencapai sorga.
(5) Bhuta Yajna, yakni kurban suci untuk memelihara dan memanfaatkan sumber-sumber energi yang
ada di alam agar tetap lestari, seimbang, dan harmoni (satyam, sivam, sundaram).
(1) Dewa Yajna
Upacara-upacara yang tergolong dalam Dewa Yajna meliputi upacara0-upacara sejak pengadaan hingga
pemeliharaan tempat suci. Dimulai dengan pemasangan fondasi (nasarin) hingga penyelesaian
bangunan (mlaspas). Disusul dengan upacara penyucian (makarya) melalui beberapa tahapan.
(a) Tahapan pertama dilakukan upacara penyampaian tekad (Nyanjan/ Matur Piuning) sehubungan
dengan akan diselenggarakannya upacara penyucian. Dalam rangka acara tersebut dilakukan juga
penentuan Pendeta yang akan berperan menuntun dan menyelesaikan upacara serta para tukang
banten yang akan menggarap semua perlengkapan upacara.
(b) Tahapan kedua dilakukan upacara persiapan dalam bentuk upacara penyucian terhadap bahan
perlengkapan upacara, baik yang tergolong eka pramana (tumbuh-tumbuhan) maupun dwi
pramana (hewan). Bahan dari tumbuh-tumbuhan (sarwa tumuwuh/ kekayonan) diwakili oleh beras
dalam upacara Negteg Beras atau Ngingsah Beras. Sedangkan dari golongan binatang (sarwa
prani/wewalungan) diwakili oleh kurban dalam bentuk upacara mapepada.
(c) Tahap ketiga setelah bahan perlengkapan upacara diolah menjadi sarana upacara maka dilakukan
upacara menjalin hubungan harmonis dengan penghuni alam, baik vertikal maupun horizontal terhadap
alam sekitar. Penghuni alam bawah diwakili oleh Para Bhuta Kala dalam bentuk upacara Bhuta
Yajna menjelang puncak karya. Hubungan dengan sesama dilakukan dengan
upacara mapedanan/Medana-dana. Penghuni alam atas diwakili oleh para Dewa, terutama Ista
Dewata dalam bentuk upacara Mendaksiwi.
(d) Tahap keempat setelah Istadewata di-sthana-kan di tempat suci maka dilakukan upacara penyucian
yang bersifat Antropomorfis, yaitu arca, pratima, ”dimandikan” (disucikan) dalam bentuk
upacara Melis/Mekiis/Melasti/Malelasti. Umumnya dilakukan di tepi laut karena laut diyakini sebagai
sumber air suci. Upacara ini juga dapat dilakukan di sumber-sumber air yang disucikan
(pabejian/pasiraman).
(e) Tahap kelima dilaksanakan kegiatan puncak pada hari upacara (Anambut karya) berupa upacara
yang bertema menumbuhkan kekuatan suci (Mamungkah) dalam bentuk mengumpulkan sumber-
sumber kekuatan suci (Pangusabhan) serta mengukuhkan kedudukan sumber-sumber kekuatan suci
(Ngenteg Linggih).
(f) Tahap keenam dilakukan upacara penyuburan sumber-sumber kekuatan suci (Ngeremekin). Jika
upacara yang dilaksanakan tergolong besar maka disusul upacara pelengkap (Negepang Karya) yang
meliputi upacara bertema pertumbuhan (Mekabat Daun), upacara pemenuhan (Ngebekin) dan upacara
penyatuan (Ngingkup).
(g) Tahap terakhir dilaksanakan upacara kunjungan ke tempat kekuatan suci diperlakukan, baik dengan
hubungan vertikal (Nyenukin) maupun secara horizontal (Tegal Linggih). Dilakukan juga kunjungan ke
tempat kekuatan suci berasal dalam bentuk upacara Nuku dan Mapajati.
Setelah upacara pengadaan tempat suci dilaksanakan maka secara berkala dilaksanakan upacara
pemeliharaan sumber kekuatan suci (Ista dewata) yang telah di-sthana-kan di tempat suci ini. Upacara
tersebut merupakan upacara peringatan terhadap hari tumbuhnya atau lahirnya (pawedalan/piodalan)
tempat suci dan dilaksanakan dengan mempersembahkan berbagai sesajeni(Pujawali). Demikianlah
upacara rangkaian Dewa yajna yang dilaksanakan dalam kaitannya dengan pembuatan tempat suci
(pura). Upācāra dalam maknanya sebagai tata cara keagamaan bukan hanya dilakukan dalam prosesi
yang besar dan kompleks, tetapi berbagai bentuk tata cara agama yang dilakukan sehari-hari
misalnya, sembahyang, maturan, mesaiban, dan lain-lain juga merupakan dewa yajna.
(2) Rsi Yajna
Upacara-upacara yang tergolong dalam Rsi Yajna pada prinsipnya ada dua, yaitu penghormatan kepada
orang suci dan prosesi menjadi orang suci. Dalam Agama Hindu yang disebut dengan orang suci adalah
Pinandita dan Pandita dengan tingkat penyucian yang berbeda. Pinandita adalah Ekajati yang disucikan
lewat upacara Pawintenan, sedangkan Pandita adalah Dwijati yang disucikan lewat upacara Padiksan.
Pertama, penghormatan kepada orang suci dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada Beliau.
Dalam agama Hindu di Bali dikenal upacara Rsi Bhojana, yaitu memberikan suguhan makanan kepada
para Wiku. Dalam dimensi sosio-religius para Pandita dibebaskan dari kegiatan ayah-ayahan desa, ini
juga merupakan bentuk penghormatan terhadap orang suci. Umat yang akan mengundang
seorang Pinanditadan Pandita untuk menyelesaikan (muput) sebuah upacara, biasanya
menghaturkan Banten Pangoleman, yang pada intinya juga wujud penghormatan kepada orang suci.
(3) Pitra Yajna
Upacara-upacara yang berhubungan dengan Pitra Yajna sesungguhnya terdiri atas tiga upacara pokok,
yaitu perlakuan terhadap mayat, perlakuan terhadap tulang, dan perlakuan terhadap arwah. Upacara
terhadap mayat disebut sawa wedana atau lebih populer disebut Ngaben. Upacara terhadap tulang
disebut Asti Wedana yang lebih populer disebut Ngasti. Sedangkan pacara terhadap arwah
dinamakan Atma Wedanayang lebih populer disebut dengan Nyekah.
Upacara terhadap tulang diawali dengan upacara mengambil tulang yang sudah terbakar
dengan supit sehingga dinamakan upacara Nyupit. Selanjutnya, tulang-tulang ini diletakkan teratur
sesuai dengan pembagian denah yang mewakili tiga bagian tubuh manusia (tri sarira) sehingga upacara
ini disebut Ngereka. Kemudian tulang tersebut dihancurkan lalu dimasukkan ke dalam nyuh
gading dalam upacara Nguyeg.Setelah berbentuk Puspa Asthi maka kini dilakukan upacara Ngirim yang
disudahi dengan membuang abu tulang (Nguncal) sesuai dengan tradisi, baik mengenai tempat
pembuangan maupun tata cara dalam rangka pembuangannya.
Dalam kehidupan nyata di dunia ini, upacara Pitra Yajna semestinya tidak hanya dimaknai dengan
bentuk upacara kematian. Akan tetapi Pitra Yajna dapat dilakukan pada saat orang tua masih hidup,
yaitu dengan memberikan pelayanan, penghormatan, dan membahagiakan kehidupan Beliau. Semua
pendahulu yang telah berjasa pada manusia sesungguhnya adalah pitara, yang oleh umat Hindu di Bali
disebut Bhatara, patut untuk dihormati.
(4) Manusa Yajna
Upacara perkawinan sebagai langkah awal untuk meneruskan keturunan merupakan fondasi penting
untuk membentuk anak yang suputra. Dalam upacara perkawinan yang terpenting adalah mekala-
kalaan, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menyucikan spermatozoa (sukla) dan sel telur (swanita).
Dengan pembersihan ini diharapkan agar sukla-swanita yang bertemu menghasilkan bibit yang
berbobot. Kemudian dilanjutkan dengan upacara bayi dalam kandungan yang pada prinsipnya
membentuk diri sang bayi sehingga menjadi anak yang suputra. Upacara dalam kandungan sampai bayi
lahir secara garis besar meliputi, nelubulanin (kandungan berumur 3 bulan), pagedong-
gedongan (kandungan berumur tujuh bulan). Saat bayi lahir ada upacara rare wawu embas (bayi
lahir), kepus pungset (lepasnya ari-ari), tugtug kambuhan (bayi umut 42
hari), nigangsasihin/nyambutin (bayi umur 3 bulan), mapetik (mencukur rambut pertama
kali), otonan (bayi berumur 1 oton), tumbuh untu(tumbuh gigi), maketus (gigi tanggal
pertama), rajasinga dan rajasewala (laki-laki/perempuan meningkat
dewasa), matatah/mepandes (potong gigi), dan pawiwahan (perkawinan).
Upacara manusa yajna dilakukan secara terus menerus setiap hari kelahiran disebut dengan otonan. Di
samping itu secara sosiologis, manusa yajna adalah menghargai sesama manusia, memberikan
pelayanan terhadap sesama karena melayani sesama manusia sama artinya dengan melayani Tuhan
(Manawa Sewa, Madhawa Sewa). Dengan demikian upacara manusia yajna bukan saja berbentuk ritual,
tetapi dapat diaplikasikan dalam wujud yang lebih nyata dalam hidup sehari-hari.
(5) Bhuta Yajna
”Ikang Bhuta Ngarania Kapujaning ring atuwuh” (yang dimaksud Bhuta Yajna adalah kurban untuk
seluruh makhluk hidup). Menurut Lontar Sundarigama tersebut bahwa yang dimaksud dengan Bhuta
yajna, bukan hanya terhadap jenis makluk gaib (bhuta kala), melainkan seluruh alam semesta ini untuk
menghadirkan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan alam. Oleh sebab itu tergolong dalam
upacara bhuta yajna antara lain mecaru (menurut jenis dan tingkatannya), sad kertih (manusa kertih,
atma kertih (dilaksanakan dalam upacara Pitra Yajna dan Manusa Yajna), danu kertih, bhuwana kertih,
samudra kertih, dan wana kertih), dan semua upacara tumpek(tumpek bubuh, tumpek kandang, tumpek
landep, tumpek wayang, dan tumpek kuningan).
Pada hakikatnya, semua yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan jalan
untuk menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam
lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruan aspek Tri Hita Karana ini
diimplementasikan dalam kehidupan Desa Pakraman, yang ditandai dengan adanya Kahyangan Tiga.
Oleh karena Desa Pakraman adalah suatu kesatuan adat yang didalamnya mengatur sekelompok
masyarakat adat, maka diperlukan aturan adat yang disebut awig-awig.Pada prinsipnya awig-awig desa
adat mengatur tiga hal utama, yaitu Sukertaning Parahyangan, Sukertaning Pawongan, dan Sukertaning
Palemahan. Dengan demikian jelas bahwa Desa Pakraman bertujuan mewujudkan
kebahagiaan krama dengan melaksanakan aturan-aturan yang baik (sukerta) terkait dengan pelaksanaan
kegamaaan, kemasyarakatan, dan lingkungan. Dalam hal keagamaan, Desa Pakraman merupakan
tempat pelaksanaan Panca Maha Yajna. Dalam hal kemasyarakatan, Desa Pakraman merupakan wadah
hidup bermasyarakat, dengan dasar paras paros sarpanaya, sagalak sagilik salunglung
sabayantaka. Dalam hal palemahan Desa Pakraman merupakan institusi yang menjaga tetap
terpeliharanya konsep Tri Mandala. Mengingat keseluruhan Panca Maha Yajna sebagai identitas
keberagamaan Hindu di Bali dilaksanakan dalam kehidupan Desa Pakraman, maka eksistensi Desa
Pakraman sangat signifikan bagi Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagavad Gita. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali.
Putra, I. Gst. Ag, 2003, Panca Yadnya, Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana dan
Prasarana Kehidupan Beragama, Denpasar.
https://dhanuwangsa.wordpress.com/2010/11/23/acara-agama-hindu/
Sudharta, Tjok. Rai. 1993. Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. Denpasar: Upada sastra.
_____________. 2003. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana
Kehidupan Keagamaan.