Oleh :
Dr. I Gde Yudhi Kurniawan
Pembimbing
DR.Dr. Cok Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ(K)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya tulisan
ini bisa diselesaikan. Tugas yang berjudul Aspek Psikiatri Tradisi Omed-omedan di
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas di Divisi Psikiatri Budaya oleh residen Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan juga sebagai suatu upaya
untuk terus mencari dan menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat memberi
manfaat bagi penulis sendiri maupun para pembaca lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.
DR.Dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ selaku pembimbing akademis dan
sekaligus selaku dosen pembimbing dalam penyusunan tulisan ini yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran dan telah meluangkan waktu untuk
memberikan masukan masukan sekaligus banyak memberikan materi dan buku
dalam penulisan tinjauan putaka ini.
2.
3.
4.
Drs. I Made Sukaja, MS selaku Kelian Adat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan,
Kota Denpasar yang telah memberikan banyak penjelasan dan informasi dalam
penyusunan tulisan ini.
5.
I Gusti Ngurah Oka Putra, selaku tokoh masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan
Sesetan, Kota Denpasar yang telah memberikan banyak penjelasan dan informasi
dalam penyusunan tulisan ini.
6.
Putu Arya Ananta Jaya, selaku Ketua STT Satya Dharma Kerti Banjar Kaja,
Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar beserta anggotanya yang telah memberikan
banyak penjelasan dan informasi dalam penyusunan tulisan ini.
7.
Seluruh staf pengajar senior dan seluruh staf pengajar lainnya pada Bagian/SMF
Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah yang juga sudah memberikan dukungan baik
berupa ide dan dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka.
i
8.
Rekan-rekan Residen terutama Chief Residen dan residen stase Poli Jiwa yang
telah banyak memberi dukungan dan semangat dalam penulisan tinjauan pustaka
ini.
9.
Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu atas bantuan dan
dukungan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para senior maupun temanteman residen lainnya. Atas masukannya penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Hormat saya,
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
I. PENDAHULUAN
Kebudayaan merupakan jati diri sebuah bangsa. Jati diri sebuah bangsa akan hilang
di masa depan jika kebudayaan tidak dilestarikan. Pelestarian budaya dapat
diartikan sebagai upaya untuk melindungi budaya bangsa agar dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya dari segala ancaman dan gangguan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Upaya pelestarian ini menjadi
tanggungjawab bersama seluruh elemen bangsa agar budaya tersebut tetap hidup
dan bermanfaat bagi masyarakat baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan berbagai ragam tradisi dan
kebudayaan. Pulau Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang paling
terkenal di dunia. Terletak di sebelah Selatan garis khatulistiwa dan memiliki
bentuk yang menyerupai bentuk ikan. Peradaban mencatat bahwa Bali memiliki
mikrokosmos yang luar biasa tentang sejarah, legenda, kesusasteraan, seni, alam,
dan manusia itu sendiri. Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan,
dan seni ukir beserta berbagai tradisinya yang unik. Keseharian masyarakat Bali
dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan
bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang (Baliprov 2010).
Budaya dapat membentuk timgkah laku manusia, dan sebaliknya manusia
sebagai bagian dari budaya itu membentuk budaya tertentu. Oleh karenanya budaya
dan manusia adalah satu kesatuan yang terkait erat dan saling mempengaruhi satu
sama lain (Azhar et al. 2014).
Omed-omedan adalah salah satu tradisi yang menarik dan unik yang berasal
dari Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar, Bali. Banjar Kaja terletak di
wilayah paling utara Kelurahan Sesetan. Profil Desa Sesetan menyebutkan
Kelurahan Sesetan merupakan salah satu desa di Kecamatan Denpasar Selatan,
Kota Denpasar, dengan luas wilayah mencapai 739 hektar dan secara geografis
terletak pada ketinggian di atas permukaan laut yang membujur ke utara dengan
batas-batas wilayah di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Dauh Puri Klod di
Sesetan, Ketua STT Banjar Kaja Kelurahan Sesetan, tokoh masyarakat Banjar Kaja
Kelurahan Sesetan dan anggota STT Banjar Kaja Kelurahan Sesetan.
Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam,
wawancara semi terstruktur dan observasi untuk data primer serta penelusuran
sumber dari buku, majalah maupun internet untuk data sekunder. Teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data deskriptif kualitatif.
Tahapannya meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan
penerikan kesimpulan.
III. HASIL
3.1. Pengertian Omed-omedan
Omed-omedan atau disebut juga Med-medan merupakan suatu tradisi yang
diadakan oleh pemuda-pemudi di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar
yang dilaksanakan setiap tahun sekali pada hari Ngembak Geni, sehari sesudah
Hari Raya Nyepi.
Hasil wawancara dengan I Gusti Ngurah Oka Putra, sebagai salah seorang
keturunan di Puri Oka Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, kata Omed-omedan berasal
dari kata omed yang berarti tarik. Pengulangan kata dan tambahan akhiran an
menjadi Omed-omedan yang artinya tarik-menarik. Pelafalan orang Denpasar
menjadikan Omed-omedan sering disebut med-medan.
3.2. Sejarah Munculnya Tradisi Omed Omedan
Wawancara dengan I Gusti Ngurah Oka Putra, menyebutkan tradisi Omedomedan ini diperkirakan dimulai kurang lebih pada abad ke 17, dimana pastinya
tidak diketahui karena tidak ada bukti yang tertulis, hanya berdasarkan penjelasan
secara turun-temurun. Tradisi ini berawal dari leluhurnya yang bernama Anak
Agung Made Raka yang dijuluki Ida Bhatara Kompiang oleh sentana-nya menjadi
pemacuk atau mengatur pemerintahan di Desa Sesetan pada waktu itu.
Menjelang Hari Nyepi, Ida Bhatara Kompiang menderita sakit keras, walau
sudah diobati ke berbagai dukun, tetapi tidak sembuh. Beliau sulit berdiri apalagi
berjalan. Beliau berpesan kepada para warga di Banjar Kaja, agar mereka dilarang
menjenguk diri beliau dan jangan mengadakan keramaian atau ribut-ribut di depan
Puri.
Warga di Banjar Kaja pada saat Hari Raya Nyepi sedih dan kecewa, karena
adanya larangan seperti diatas. Di tengah kesedihan dan kekecewaan yang
dirasakan masyarakat pada saat itu, mereka mengadakan permainan saling tarikmenarik yang menimbulkan keributan yang disebut dengan Omed-omedan. Ida
Bhatara Kompiang yang sedang sakit di tempat tidurnya menjadi marah sekali dan
seketika itu juga memerintahkan keluarganya untuk menghantarkan diri beliau ke
depan Puri. Beliau bermaksud akan membentak dan mengusir abdinya agar tidak
melakukan keributan di depan Puri. Sakit beliau dirasakan hilang sama sekali
ketika beliau sampai di depan Puri, bahkan beliau merasa sehat seperti sedia kala.
Beliau kemudian mengurungkan niatnya untuk melarang keramaian tersebut,
bahkan berkehendak sebaliknya. Beliau kemudian bersabda mulai hari ini
keramaian Omed-omedan terus dilaksanakan setiap tahun pada Hari Raya Nyepi.
Masyarakat belum mengenal adanya Catur Brata Penyepian saat itu, sehingga
Omed-omedan masih tetap dilaksanakan pada Hari Raya Nyepi.
Tahun 1980-an dengan adanya pengaturan, penataan, dan pembinaan umat
Hindu secara profesional oleh Parisada Hindu Dharma (pusat), Hari Raya Nyepi
benar-benar dilaksanakan sipeng selama 24 jam (dari pagi sampai pagi esok
harinya). Tradisi Omed-omedan selanjutnya dipindah menjadi keesokan harinya
yakni pada hari Ngembak Geni dan hal ini dteruskan hingga saat ini (Munggah
2008).
3.3. Pelaksanaan Tradisi Omed Omedan
Pada penanggal kaping siki sasih kedasa atau Tahun Baru Saka
dilaksanakan Hari Raya Nyepi Diana masyarakat melakukan catur brata
penyepian. Keesokan harinya dinamakan Hari Ngembak Geni dimana masyarakat
Banjar Kaja juga menyebutnya sebagai dina na-Med-medan (Munggah 2008).
Acara dibuka dengan uraian singkat oleh Prajuru Banjar. Prajuru Banjar
ialah orang-orang yang berstatus sebagai Pengurus Banjar yang terdiri atas Kelihan
Banjar, Kelihan Dinas, dan Ketua Sekaa Teruna-Teruni. Kelihan Banjar memberi
arahan dan petunjuk singkat kepada warga masyarakat yang hadir, khususnya
anggota STT yang akan melaksanakan Omed-omedan agar bermain secara baik,
sopan, dan beretika serta jangan beraksi yang tak senonoh. Tugas dan peran seorang
Kelihan Banjar adalah mengarahkan dan memberi bimbingan dalam rangka
melestarikan tradisi, sehingga acara yang dilaksanakan berjalan dengan lancar.
Acara dilanjutkan dengan acara persembahyangan yang dipimpin oleh Jero
Pemangku Pura Banjar. Selesai persembahyangan, Jero Pemangku memercikkan
air suci tirta, sebagai simbol anugerah Hyang Widhi kepada umatnya disertai
dengan pemberian beberapa butir bija (butir-butir beras yang dibasahkan di pura).
Acara persembahyangan ini dilaksanakan agar umat-umat yang akan melaksanakan
tradisi Omed-omedan ini diberikan kelancaran dan keselamatan oleh Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Acara dilanjutkan dengan Dharma Santi atau Masima Krama. Prajuru
memberikan uraian tentang rangkaian Melis, nyejer, macaru atau tawur, ngerupuk
atau mabuu-buu, Nyepi, dan Ngembak Geni. Acara dilanjutkan dengan berdialog
dengan para hadirin di ruang masima krama atau dharma santi. Acara dialog
diakhiri dengan permintaan maaf antar sesama peserta dharma santi.
Puncak acara pelaksanaan tradisi Omed-omedan dilaksanakan di depan Bale
Banjar Kaja. Acara dimulai dengan tarian Barong yang secara umum
menggambarkan perkelahian babi yang sempat terjadi akibat ditiadakannya
tradisi ini. I Gusti Ngurah Oka Putra, menerangkan sebelumnya tarian Barong ini
tidak ada mengawali Omed-omedan namun setelah pelaksanaan dikelola STT
pelaksanaannya dikemas menjadi lebih menarik salah satunya dengan tarian Barong
Bangkal. Putu Arya Ananta Jaya, Ketua STT Banjar Kaja Kelurahan Sesetan,
menyatakan bahwa pernah beberapa kali penari mengalami kesurupan dan seperti
berteriak-teriak di tengah arena dan kemudian di bawa ke Pura.
Acara puncak Omed-omedan pun dimulai. peserta Omed-omedan
memasuki arena. Kelompok dibagi menjadi dua, di satu sisi berdiri kelompok
remaja putra dan di sisi lain berdiri kelompok remaja putri, yang saling berhadapan.
Semua remaja yang terdaftar sebagai anggota STT diharapkan dan diwajibkan
hadir. Usia anggota STT pada umumnya antara umur 16-30 tahun.
pernah dirasakan oleh leluhurnya yakni Anak Agung Made Raka. Beliau
mendengar keributan seperti orang melakukan Omed-omedan, padahal pada saat
itu acara Omed-omedan ditiadakan. Beliau memutuskan untuk keluar Puri setelah
keributan tersebut berkurang dan mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Di
depan Puri, beliau bertanya kepada dua orang penua warga yang kebetulan ada di
tempat itu. Warga tersebut kemudian menjelaskan kepada beliau, bahwa tadi di
tengah kerumunan warga sempat terjadi perkelahian dua ekor babi yang sampai
berdarah-darah, tidak ada yang tahu dari mana datangnya, hingga sesaat setelah
beliau tiba di depan Puri kedua ekor babi itu memisahkan diri dan lari menjauh
kemudian menghilang. Tidak ada orang mengetahui kemana babi-babi itu lari dan
siapa pemiliknya. Mendengar adanya kejadian aneh tersebut, I Gusti Ngurah Oka
Putra bersama Prajuru Banjar dan tokoh masyarakat di tempat itu bermusyawarah
untuk membahas kejadian itu dan menganalisis apa kira-kira yang akan terjadi
akibat peristiwa tersebut. Beliau membayangkan dengan ditiadakannya Omedomedan akan terjadi suatu perang saudara dalam warga Banjar Kaja, Kelurahan
Sesetan. Setelah mendapat keputusan dari musyawarah tersebut, Prajuru Banjar
memanggil pemuda-pemudi Banjar Kaja, agar bersiap-siap dan melaksanakan
tradisi Omed-omedan saat itu juga, seperti tahun-tahun sebelumnya dan akan
berlanjut sepanjang tahun.
Tokoh adat/agama Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan memohon petunjuk
kepada orang yang kesurupan (mapinunas) pada saat piodalan di Pura Bale Banjar.
Jawaban singkat yang diberikan oleh orang yang kerauhan (kesurupan) bahwa
Omed-omedan itu adalah kehendak sesuhunan yang berstana di Pura Bale Banjar
dan harapan agar diteruskan pelaksanaannya. Pengalaman-pengalaman tentang
kejadian-kejadian yang dialami sendiri oleh para abdi dan masyarakat warga
Banjar Kaja, Sesetan itu, disimpulkan oleh warga setempat, bahwa tradisi Omedomedan harus diteruskan, dilestarikan dan dikembangkan, karena para Dewa yang
berstana di Pura Banjar itu memang menghendaki. Warga Banjar Kaja percaya dan
berkeyakinan bahwa petapakan yang disungsung (disembah) di Pura tersebut yang
berwujud Rangda (disebut dengan julukan Ida Ratu Ayu Mas Calonarang), dan
patung Bangkal (disebut Ida Ratu Gede Bangkal Putih), memang menghendaki
10
anggota STT. Perasaannya saat acara sangat senang karena menjadi pusat perhatian
apalagi bila mendapatkan giliran menjadi pemain utama. Responden 3, perempuan
18 tahun, pendidikan SMK, menyatakan sudah 2 kali mengikuti Omed-omedan.
Sebelum acara perasaannya malu terutama bila memikirkan nanti saat acara ada
teman sekolahnya menonton. Selama acara perasaannya deg-degan karena takut
terpilih dan pada akhirnya merasa senang karena tidak terpilih. Pacarnya yang tidak
berasal dari satu banjar melarangnya dan cemburu namun karena ini adalah tradisi
dan dorongan orang tua maka dengan terpaksa mengikutinya. Responden 3
menyatakan selain sebagai pelestarian tradisi, Omed-omedan juga bisa
dimanfaatkan untuk mencari pasangan yang berasal dari satu banjar. Responden 4,
perempuan 24 tahun, pendidikan S1 menyatakan hanya pernah satu kali ikut Omedomedan. Perasaannya saat itu malu namun dilawan mengingat ini sebuah tradisi
yang harus dilestarikan. Saat acara perasaannya biasa saja, tidak malu maupun
senang mengingat acaranya singkat dan tidak semua anggota STT mendapat
giliran. Hampir semua responden anggota STT menyatakan senang setelah acara
karena bisa berkumpul bersama teman-teman dan berharap dapat terus
berlangsung.
I Gusti Ngurah Oka Putra menjelaskan bahwa tradisi Omed-omedan ini
secara psikologis dapat menguatkan mental pemuda-pemudi Banjar Kaja dengan
cara menambah rasa percaya diri dan berani tampil di muka umum. Rasa malu
sebelum acara setelah berada di tempat acara menjadi hilang. Secara sosial tradisi
ini dapat menguatkan hubungan antar pemuda-pemudi karena dasar tradisi ini
adalah simakrama.
I Made Sukaja, menjelaskan secara psikologis tradisi ini dapat membangun
jiwa berorganisasi karena jauh hari sebelum acara dibentuk suatu kepanitiaan.
Beberapa tahun terakhir dengan pengembangan acara inti Omed-omedan yang
disertai dengan bazar kuliner dan usaha mikro dari warga Sesetan sehingga dapat
membangun jiwa kewirausahaan. Secara sosial tradisi Omed-omedan menciptakan
rasa kekeluargaan dan mempererat hubungan antar masyarakat sehingga dapat
berperan positif dalam mengurangi ataupun menyelesaikan terjadinya konflik antar
warga.
11
Secara spiritual, I Gusti Ngurah Oka Putra menjelaskan tradisi ini secara
niskala terkait dengan sesuhunan di Pura Bale Banjar yang disungsung. Hal ini
dikaitkan dengan adanya babi yang saling beradu hingga bedarah-darah keika
tradisi ini coba dihentikan. Tradisi ini juga meningkatkan spiritual masyarakat
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, dimana dilakukan persembahyangan bersama
peserta Omed-omedan sebelum acara berlangsung untuk memohon keselamatan
serta kelancaran acara dan kemudian terakhir ditutup dengan persembahyangan
bersama lagi untuk mengucapkan terima kasih karena acara telah berlangsung
dengan lancar.
Putu Arya Ananta Jaya menambahkan adanya kesurupan sebelum acara
Omed-omedan saat dibuka dengan tarian Barong Bangkal dan juga saat
persembahyangan bersama setelah acara berlangsung menunjukkan aspek
spiritualitas dan perhatian sesuhunan di Pura Bale Banjar terhadap pelaksanaan
tradisi ini. Tari Barong Bangkal biasanya ditarikan oleh pemuda anggota STT
menceritakan tentang adanya perkelahian babi akibat ditiadakannya Omedomedan. Kesurupan tidak selalu terjadi saat tarian ini. Putu Arya Ananta Jaya
sendiri pernah kesurupan saat menarikan barong ini. Ia merasakan tubuhnya terasa
panas seperti terbakar, semangat dan tenaga yang besar dan seperti ada yang
mengontrol gerakannya lalu tiba-tiba gelap dan saat teringat sudah ada di dalam
Pura. Berbeda dengan kesurupan yang terjadi saat persembahyangan bersama
setelah acara selesai, hampir selalu terjadi kesurupan dimana wanita lebih sering
mengalami kesurupan.
IV. PEMBAHASAN
Psikiatri budaya memberikan warna tersendiri dalam hal faktor resiko atau
penyebab gangguan jiwa dan juga dalam hal penanganannya. Gangguan jiwa tidak
hanya menggunakan pendekatan secara medik namun juga melihat dari faktor
budaya dalam hal mencari akar permasalahan, menegakkan diagnosis juga dalam
hal memberikan terapi (Kolegium Psikiatri Indonesia, 2008).
Dalam Ilmu Kedokteran Jiwa, manusia dipandang secara Holistik yaitu
BioPsikoSosioBudayaSpiritual. Apa yang terjadi atau dialami oleh seorang
12
13
suatu permainan sedangkan menurut I Gusti Ngurah Oka Putra menyatakan karena
usia tersebut sebagai masa yang penuh energi yang harus dicarikan
pelampiasannya.
Masa perkembangan kehidupan usia tersebut termasuk dalam rentang usia
remaja akhir dan dewasa awal. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata
latin adolescere yang artinya tumbuh menjadi dewasa. Sedangkan dewasa awal
adalah masa peralihan dari masa remaja ke masa dewasa.
WHO membagi kurun waktu usia remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu
remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Perserikatan BangsaBangsa (PBB) menetapkan usia 15-24 tahun sebagai pemuda (youth) dalam rangka
keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda
Internasional (Sarwono 2013).
Masa remaja merupakan suatu perkembangan periode transisi antara masa
anak dan masa dewasa yang meliputi suatu perkembangan periode transisi
perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional, dimulai pada saat mereka
pubertas menuju kearah kedewasaan. Perubahan biologis meliputi perubahan fisik,
termasuk perkembangan otak, perubahan hormon pubertas dan semua reflek proses
biologis; perubahan kognitif meliputi perubahan berpikir dan kecerdasan remaja
(Sarwono 2013).
Masa remaja merupakan periode yang penuh dengan badai dan tekanan
yang bergejolak dengan konflik dan suasana hati. Ketegangan emosi terjadi sebagai
akibat dari perubahan fisik dan hormon. Agresi menanggapi perkataan orang tua,
agresi terhadap teman-teman sebaya, kegembiraan dalam pertemuan sosial
semuanya mencerminkan proses sosio-emosional dalam perkembangan remaja.
Perubahan-perubahan sosio-emosional yang berlangsung pada masa remaja
meliputi tuntutan untuk mencapai kemandirian, konflik dengan orang tua dan
keinginan lebih banyak untuk meluangkan waktu bersama teman-teman sebaya
(Santrock 2014).
Terdapat persamaan dan perbedaan remaja di berbagai negara yang
berbeda. Di beberapa negara, tradisi berkelanjutan dalam sosialisasi remaja,
sedangkan di lain tempat, terdapat perubahan substansial dalam pengalaman
14
remaja. Remaja sering mengisi waktu dengan kegiatan yang berbeda, tergantung
pada budaya di mana mereka tinggal. Sebuah ritual adalah upacara yang manandai
transisi individu dari satu status ke status yang lain, terutama menjadi dewasa. Di
budaya primitif, peralihan tradisi sering didefinisikan dengan baik (Santrock 2010).
Menurut Arnet dalam Upton (2012) mengakui bahwa transisi ke masa
dewasa merupakan titik kritis. Ekspektasi dan keyakinan-keyakinan budaya tentang
masa dewasa juga akan menjadi penting. Di negara-negara berkembang pernikahan
kerap menjadi tanda beralihnya seseorang ke masa dewasa (Upton 2012).
Masa dewasa awal ialah periode perkembangan yang bermula pada akhir
usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia
tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan
ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan
pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan
mengasuh anak anak (Upton 2012).
Hal ini sejalan dengan yang dirasakan oleh pendapat beberapa pemudapemudi yang pernah mengikuti Omed-omedan dimana adanya waktu berkumpul
bersama teman-teman diserta rasa senang dan gembira terutama sesudah acara
berakhir. Menurut Putu Arya Ananta Jaya, anggota STT yang takut untuk datang
karena dilarang oleh pacarnya yang tidak satu banjar setelah diberi penjelasan
mengenai makna dan pentingnya tradisi ini akhirnya paham dan diijinkan. Ini
menunjukkan keinginan besar dari anggota STT untuk hadir dan berkumpul
bersama meskipun ada larangan dari orang terdekat.
Masa ini seseorang sudah mencapai kematangan emosi, serta sudah dapat
menilai situasi sebelum bereaksi secara emosional. Kematangan emosi pada remaja
akhir tersebut memberikan reaksi emosional yang lebih stabil dari periode
sebelumnya. Emosi yang meninggi memang menyulitkan orang lain dalam
mengerti remaja, namun emosi yang tinggi ini bermanfaat untuk remaja dalam
mencari identitas dirinya. Dengan adanya emosi-emosi ini, remaja secara bertahap
mencari jalan menuju kedewasaan. Reaksi orang-orang disekitarnya terhadap
emosinya juga akan menyebabkan remaja belajar dari pengalaman untuk
mengambil langkah-langkah yang terbaik (Sarwono 2013).
15
akhir
yang
seharusnya
telah
matang
emosinya
dalam
masa
16
17
18
Ilmu psikiatri memandang tradisi ini secara holistik dari sudut pandang
BioPsikoSosioBudayaSpiritual. Bagi pesertanya yang merupakan anggota STT
Banjar Kaja tradisi ini menjadi suatu latihan menghadapi stresor sekaligus belajar
pengendalian emosi untuk menemukan identitas diri sehingga siap memasuki fase
dewasa dalam kehidupan. Tradisi Omed-omedan secara sosial dapat memupuk rasa
kesetiakawanan dan manyama braya antar sesama warga dengan mengutamakan
hidup yang selaras, serasi dan harmonis serta berkeseimbangan dalam hubungannya
dengan orang lain. Begitu pula secara budaya dan spiritual, tradisi ini meningkatkan
hubungan manusia dengan Tuhan melalui persembahyangan bersama memohon
kelancaran acara.
Peran pentingnya tradisi ini dalam membentuk pemuda-pemudi Banjar Kaja
menjadi individu percaya diri sekaligus sebagai pemersatu bagi masyarakat Banjar
Kaja maka sepatutnya tradisi dilestarikan. Dalam rangka menekan pandangan
negatif terhadap tradisi ini diperlukan suatu sangsi tegas bagi pemuda-pemudi yang
melanggar norma-norma kesopanan yang berlaku umum di masyarakat.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anon, 2010. Omed-omedan, Tradisi Ciuman Massal Desa Sesetan. Available at:
http://regional.kompas.com.
Azhar, A., Thong, D. & Sosiawan, U., 2014. Kesehatan Jiwa Berwawasan Budaya
dan Komunitas Cetakan I., Jakarta: Alinea-alinea Cipta Kreatif.
Baliprov, 2010. Bali Dari Masa ke Masa. Available at: http://www.baliprov.go.id
[Accessed June 25, 2015].
Denpasarkota,
2015.
Sejarah
Sesetan.
Available
http://sesetan.denpasarkota.go.id [Accessed June 17, 2015].
at:
Diniari, S. & Hanati, N., 2012. Kesurupan, Tinjauan Dari Sudut Budaya dan
Psikiatri. Medicina, 43(1), pp.3740.
Ismawati, E., 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Munggah, I.M., 2008. MED-MEDAN: Tradisi Unik dari Sesetan Cetakan Pe.,
Denpasar: Pustaka Bali Post.
Psikiatri, K., 2008. Modul XI, Psikiatri Komunitas dan Psikiatri Budaya, Program
Pendidikan Dokter Spesialis Kedokte ran Jiwa Indonesia.
Santrock, J.W., 2014. Adolescence Fifteenth ., New York: McGraw-Hill.
Santrock, J.W., 2010. Life-Span Development 13 ed., New York: McGraw-Hill.
Sarwono, L.S., 2013. Psikologi Remaja Cetakan ke., Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada.
Setiawati, I., 2009. `Omed-omedan, the `kissing' ritual of Sesetan. Available at:
http://www.thejakartapost.com.
Sood, A., 2013. The Mayo Clinic Guide to Stress-Free Living, Da Capo Press.
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Sundari, S., 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan, Jakarta: Rineka Cipta.
Upton, P., 2012. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Penerbit Erlangga.
20
21
Daftar Informan
1. Drs. I Made Sukaja, MS. Laki-laki, 62 tahun, pendidikan S2, pekerjaan dosen,
dalam hal ini selaku Kelian Adat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan.
2. I Gusti Ngurah Oka Putra. Laki-laki, 70 tahun, pendidikan SMA selaku tokoh
masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan.
3. Putu Arya Ananta Jaya, Laki-laki, 23 tahun, pendidikan S1 selaku Ketua STT
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan.
4. Tude Angga Wardiana, Laki-laki, 23 tahun, pendidikan S1 selaku anggota STT
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan kemudian disebut sebagai Responden 1.
5. I Komang Trisnha Hardy, Laki-laki, 24 tahun, pendidikan S1 selaku anggota
STT Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan kemudian disebut sebagai Responden 2.
6. Pio Nita Anggraeni, Perempuan, 17 tahun, pendidikan SMK selaku anggota
STT Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan kemudian disebut sebagai Responden 3.
7. Ni Komang Dewi Suryani, Perempuan, 24 tahun, pendidikan S1 selaku anggota
STT Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan kemudian disebut sebagai Responden 4.
22