Anda di halaman 1dari 26

DIVISI PSIKIATRI BUDAYA

ASPEK PSIKIATRI TRADISI OMED OMEDAN


DI BANJAR KAJA, KELURAHAN SESETAN, KOTA DENPASAR

Oleh :
Dr. I Gde Yudhi Kurniawan

Pembimbing
DR.Dr. Cok Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISAS I


BAGIAN/SMF PSIKIATRI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya tulisan
ini bisa diselesaikan. Tugas yang berjudul Aspek Psikiatri Tradisi Omed-omedan di
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas di Divisi Psikiatri Budaya oleh residen Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan juga sebagai suatu upaya
untuk terus mencari dan menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat memberi
manfaat bagi penulis sendiri maupun para pembaca lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.

DR.Dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ selaku pembimbing akademis dan
sekaligus selaku dosen pembimbing dalam penyusunan tulisan ini yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran dan telah meluangkan waktu untuk
memberikan masukan masukan sekaligus banyak memberikan materi dan buku
dalam penulisan tinjauan putaka ini.

2.

Dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ(K) selaku Kepala Bagian SMF Psikiatri FK


UNUD/RSUP Sanglah.

3.

Dr. I Wayan Westa, SpKJ(K) selaku KPS Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah


atas kesempatan yang diberikan.

4.

Drs. I Made Sukaja, MS selaku Kelian Adat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan,
Kota Denpasar yang telah memberikan banyak penjelasan dan informasi dalam
penyusunan tulisan ini.

5.

I Gusti Ngurah Oka Putra, selaku tokoh masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan
Sesetan, Kota Denpasar yang telah memberikan banyak penjelasan dan informasi
dalam penyusunan tulisan ini.

6.

Putu Arya Ananta Jaya, selaku Ketua STT Satya Dharma Kerti Banjar Kaja,
Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar beserta anggotanya yang telah memberikan
banyak penjelasan dan informasi dalam penyusunan tulisan ini.

7.

Seluruh staf pengajar senior dan seluruh staf pengajar lainnya pada Bagian/SMF
Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah yang juga sudah memberikan dukungan baik
berupa ide dan dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka.
i

8.

Rekan-rekan Residen terutama Chief Residen dan residen stase Poli Jiwa yang
telah banyak memberi dukungan dan semangat dalam penulisan tinjauan pustaka
ini.

9.

Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu atas bantuan dan
dukungan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para senior maupun temanteman residen lainnya. Atas masukannya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Hormat saya,

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
II. METODE ........................................................................................................... 2
III. HASIL ............................................................................................................... 3
3.1 Pengertian Omed-omedan ............................................................................. 3
3.2 Sejarah Munculnya Tradisi Omed Omedan .................................................. 3
3.3. Pelaksanaan Tradisi Omed Omedan ............................................................ 4
3.4. Perkembangan Tradisi Omed-omedan ......................................................... 7
3.5. Tradisi Omed-omedan dan Psikiatri............................................................. 9
IV. PEMBAHASAN ............................................................................................. 12
V.KESIMPULAN ................................................................................................. 18

iii

ASPEK PSIKIATRI TRADISI OMED OMEDAN


DI BANJAR KAJA, KELURAHAN SESETAN, KOTA DENPASAR

I. PENDAHULUAN
Kebudayaan merupakan jati diri sebuah bangsa. Jati diri sebuah bangsa akan hilang
di masa depan jika kebudayaan tidak dilestarikan. Pelestarian budaya dapat
diartikan sebagai upaya untuk melindungi budaya bangsa agar dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya dari segala ancaman dan gangguan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Upaya pelestarian ini menjadi
tanggungjawab bersama seluruh elemen bangsa agar budaya tersebut tetap hidup
dan bermanfaat bagi masyarakat baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan berbagai ragam tradisi dan
kebudayaan. Pulau Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang paling
terkenal di dunia. Terletak di sebelah Selatan garis khatulistiwa dan memiliki
bentuk yang menyerupai bentuk ikan. Peradaban mencatat bahwa Bali memiliki
mikrokosmos yang luar biasa tentang sejarah, legenda, kesusasteraan, seni, alam,
dan manusia itu sendiri. Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan,
dan seni ukir beserta berbagai tradisinya yang unik. Keseharian masyarakat Bali
dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan
bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang (Baliprov 2010).
Budaya dapat membentuk timgkah laku manusia, dan sebaliknya manusia
sebagai bagian dari budaya itu membentuk budaya tertentu. Oleh karenanya budaya
dan manusia adalah satu kesatuan yang terkait erat dan saling mempengaruhi satu
sama lain (Azhar et al. 2014).
Omed-omedan adalah salah satu tradisi yang menarik dan unik yang berasal
dari Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar, Bali. Banjar Kaja terletak di
wilayah paling utara Kelurahan Sesetan. Profil Desa Sesetan menyebutkan
Kelurahan Sesetan merupakan salah satu desa di Kecamatan Denpasar Selatan,
Kota Denpasar, dengan luas wilayah mencapai 739 hektar dan secara geografis
terletak pada ketinggian di atas permukaan laut yang membujur ke utara dengan
batas-batas wilayah di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Dauh Puri Klod di

sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Badung, di sebelah Barat berbatasan


dengan Kelurahan Pedungan, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Sidakarya (Denpasarkota 2015).
Tradisi Omed-omedan ini secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan karena erat kaitannya dengan kepercayaan. Tradisi
ini menjadi cukup kontroversial karena dalam berbagai tulisan di media cetak
maupun elektronik sering dikonotasikan sebagai tradisi ciuman masal (Anon
2010) atau kissing ritual(Setiawati 2009) dan bahkan dianggap sebagai suatu
pornoaksi.
Manifestasi perilaku manusia sangat terpengaruh oleh pertimbangan
kultural setempat, maka manifestasi gangguan jiwapun mempunyai bentuk dan
gejala yang terpengaruh oleh budaya setempat. Budaya terdiri atas nilai-nilai baik
yang bersifat eksplisit maupun implisit, pola prilaku dan berbagai ide yang
dituturkan sepanjang sejarah. Karakteristik budaya dibentuk lewat cara pandang,
kepercayaan, sistem nilai dan lainnya seperti adat dan kebiasaan, dimana semua itu
terbentuk dalam beragam bentuk seperti peribahasa, legenda, pemikiran, filososi
dan agama (Azhar et al. 2014)
Hal ini menyebabkan peneliti tertarik untuk meneliti mengenai aspek
psikiatri tradisi Omed-omedan disamping memahami mengenai sejarah munculnya
tradisi Omed-omedan, pelaksanaan tradisi Omed-omedan dan perkembangannya
hingga saat ini.
II. METODE
Monograf ini bertujuan untuk mendiskripsikan aspek psikiatri pada tradisi
Omed-omedan. Pendekatan yang digunakan adalah studi naratif yang berfokus pada
deskripsi tentang serangkaian peristiwa terkait dengan pengalaman manusia. Para
tokoh masyarakat dan pelaku tradisi Omed-omedan diharapkan mampu
memberikan pandangan mereka berdasarkan pengalaman tentang aspek psikiatri
pada tradisi Omed-omedan.
Penentuan subjek menggunakan teknik Purposive Sampling. Purposive
Sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu (Sugiyono 2010). Subjeknya adalah Kelian Adat Banjar Kaja Kelurahan
2

Sesetan, Ketua STT Banjar Kaja Kelurahan Sesetan, tokoh masyarakat Banjar Kaja
Kelurahan Sesetan dan anggota STT Banjar Kaja Kelurahan Sesetan.
Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam,
wawancara semi terstruktur dan observasi untuk data primer serta penelusuran
sumber dari buku, majalah maupun internet untuk data sekunder. Teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data deskriptif kualitatif.
Tahapannya meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan
penerikan kesimpulan.
III. HASIL
3.1. Pengertian Omed-omedan
Omed-omedan atau disebut juga Med-medan merupakan suatu tradisi yang
diadakan oleh pemuda-pemudi di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar
yang dilaksanakan setiap tahun sekali pada hari Ngembak Geni, sehari sesudah
Hari Raya Nyepi.
Hasil wawancara dengan I Gusti Ngurah Oka Putra, sebagai salah seorang
keturunan di Puri Oka Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, kata Omed-omedan berasal
dari kata omed yang berarti tarik. Pengulangan kata dan tambahan akhiran an
menjadi Omed-omedan yang artinya tarik-menarik. Pelafalan orang Denpasar
menjadikan Omed-omedan sering disebut med-medan.
3.2. Sejarah Munculnya Tradisi Omed Omedan
Wawancara dengan I Gusti Ngurah Oka Putra, menyebutkan tradisi Omedomedan ini diperkirakan dimulai kurang lebih pada abad ke 17, dimana pastinya
tidak diketahui karena tidak ada bukti yang tertulis, hanya berdasarkan penjelasan
secara turun-temurun. Tradisi ini berawal dari leluhurnya yang bernama Anak
Agung Made Raka yang dijuluki Ida Bhatara Kompiang oleh sentana-nya menjadi
pemacuk atau mengatur pemerintahan di Desa Sesetan pada waktu itu.
Menjelang Hari Nyepi, Ida Bhatara Kompiang menderita sakit keras, walau
sudah diobati ke berbagai dukun, tetapi tidak sembuh. Beliau sulit berdiri apalagi
berjalan. Beliau berpesan kepada para warga di Banjar Kaja, agar mereka dilarang
menjenguk diri beliau dan jangan mengadakan keramaian atau ribut-ribut di depan

Puri.
Warga di Banjar Kaja pada saat Hari Raya Nyepi sedih dan kecewa, karena
adanya larangan seperti diatas. Di tengah kesedihan dan kekecewaan yang
dirasakan masyarakat pada saat itu, mereka mengadakan permainan saling tarikmenarik yang menimbulkan keributan yang disebut dengan Omed-omedan. Ida
Bhatara Kompiang yang sedang sakit di tempat tidurnya menjadi marah sekali dan
seketika itu juga memerintahkan keluarganya untuk menghantarkan diri beliau ke
depan Puri. Beliau bermaksud akan membentak dan mengusir abdinya agar tidak
melakukan keributan di depan Puri. Sakit beliau dirasakan hilang sama sekali
ketika beliau sampai di depan Puri, bahkan beliau merasa sehat seperti sedia kala.
Beliau kemudian mengurungkan niatnya untuk melarang keramaian tersebut,
bahkan berkehendak sebaliknya. Beliau kemudian bersabda mulai hari ini
keramaian Omed-omedan terus dilaksanakan setiap tahun pada Hari Raya Nyepi.
Masyarakat belum mengenal adanya Catur Brata Penyepian saat itu, sehingga
Omed-omedan masih tetap dilaksanakan pada Hari Raya Nyepi.
Tahun 1980-an dengan adanya pengaturan, penataan, dan pembinaan umat
Hindu secara profesional oleh Parisada Hindu Dharma (pusat), Hari Raya Nyepi
benar-benar dilaksanakan sipeng selama 24 jam (dari pagi sampai pagi esok
harinya). Tradisi Omed-omedan selanjutnya dipindah menjadi keesokan harinya
yakni pada hari Ngembak Geni dan hal ini dteruskan hingga saat ini (Munggah
2008).
3.3. Pelaksanaan Tradisi Omed Omedan
Pada penanggal kaping siki sasih kedasa atau Tahun Baru Saka
dilaksanakan Hari Raya Nyepi Diana masyarakat melakukan catur brata
penyepian. Keesokan harinya dinamakan Hari Ngembak Geni dimana masyarakat
Banjar Kaja juga menyebutnya sebagai dina na-Med-medan (Munggah 2008).
Acara dibuka dengan uraian singkat oleh Prajuru Banjar. Prajuru Banjar
ialah orang-orang yang berstatus sebagai Pengurus Banjar yang terdiri atas Kelihan
Banjar, Kelihan Dinas, dan Ketua Sekaa Teruna-Teruni. Kelihan Banjar memberi
arahan dan petunjuk singkat kepada warga masyarakat yang hadir, khususnya

anggota STT yang akan melaksanakan Omed-omedan agar bermain secara baik,
sopan, dan beretika serta jangan beraksi yang tak senonoh. Tugas dan peran seorang
Kelihan Banjar adalah mengarahkan dan memberi bimbingan dalam rangka
melestarikan tradisi, sehingga acara yang dilaksanakan berjalan dengan lancar.
Acara dilanjutkan dengan acara persembahyangan yang dipimpin oleh Jero
Pemangku Pura Banjar. Selesai persembahyangan, Jero Pemangku memercikkan
air suci tirta, sebagai simbol anugerah Hyang Widhi kepada umatnya disertai
dengan pemberian beberapa butir bija (butir-butir beras yang dibasahkan di pura).
Acara persembahyangan ini dilaksanakan agar umat-umat yang akan melaksanakan
tradisi Omed-omedan ini diberikan kelancaran dan keselamatan oleh Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Acara dilanjutkan dengan Dharma Santi atau Masima Krama. Prajuru
memberikan uraian tentang rangkaian Melis, nyejer, macaru atau tawur, ngerupuk
atau mabuu-buu, Nyepi, dan Ngembak Geni. Acara dilanjutkan dengan berdialog
dengan para hadirin di ruang masima krama atau dharma santi. Acara dialog
diakhiri dengan permintaan maaf antar sesama peserta dharma santi.
Puncak acara pelaksanaan tradisi Omed-omedan dilaksanakan di depan Bale
Banjar Kaja. Acara dimulai dengan tarian Barong yang secara umum
menggambarkan perkelahian babi yang sempat terjadi akibat ditiadakannya
tradisi ini. I Gusti Ngurah Oka Putra, menerangkan sebelumnya tarian Barong ini
tidak ada mengawali Omed-omedan namun setelah pelaksanaan dikelola STT
pelaksanaannya dikemas menjadi lebih menarik salah satunya dengan tarian Barong
Bangkal. Putu Arya Ananta Jaya, Ketua STT Banjar Kaja Kelurahan Sesetan,
menyatakan bahwa pernah beberapa kali penari mengalami kesurupan dan seperti
berteriak-teriak di tengah arena dan kemudian di bawa ke Pura.
Acara puncak Omed-omedan pun dimulai. peserta Omed-omedan
memasuki arena. Kelompok dibagi menjadi dua, di satu sisi berdiri kelompok
remaja putra dan di sisi lain berdiri kelompok remaja putri, yang saling berhadapan.
Semua remaja yang terdaftar sebagai anggota STT diharapkan dan diwajibkan
hadir. Usia anggota STT pada umumnya antara umur 16-30 tahun.

Tiap kelompok ada kepala kelompoknya yaitu anggota yang ditempatkan


pada posisi paling depan, sedangkan anggotanya ada dibelakangnya. Anggota
kelompok semuanya memeluk pinggang teman didepannya. Dengan begitu ada
kepala kelompok untuk putri pada satu sisi dan ada kepala kelompok putranya pada
sisi lawannya. Putu Arya Ananta Jaya, menyatakan saat keluar ke arena Omedomedan beberapa peserta ada yang malu atau grogi namun setelah sampai di arena
perasaan tersebut menghilang dan hanya ada rasa semangat.
Kedua barisan ini akan berputar sekali setelah dibunyikan aba-aba dan
selanjutnya pasangan muda-mudi yang terpilih akan saling dihadapkan, saling
berpegangan, saling berangkulan dan saling tarik menarik. Pasangan kemudian ini
akan diguyur air sehingga basah kuyup dan seketika menciptakan suasana riuh dan
gembira pada peserta dan penonton ditambah suara gamelan yang menambah
kemeriahan. Pasangan muda-mudi setelah berangkulan beberapa saat, kemudian
dipisahkan dan kedua barisan kembali menjauh. Selanjutnya, anggota barisan yang
belum mendapat giliran satu persatu dihadapkan dengan lawan jenis yang berada di
barisan satunya hingga semua anggota masing-masing barisan memperoleh
kesempatan.
Acara ini dipandu oleh pecalang yang telah membagi diri menjadi 3 sub
kelompok yaitu (1) sebagai petugas khusus, yang memberi tanda mulai dan
berhentinya permainan, (2) sebagai petugas ketertiban yaitu mencegah pemain yang
tidak disiplin dan penonton nakal, dan (3) penyiram pemain untuk menghentikan
tiap fase.
Kesepakatan panitia dengan peserta, Omed-omedan akan dihentikan oleh
petugas jika (1) peserta sudah kelihatan letih atau lesu dan (2) posisi matahari telah
menunjukkan waktu sekitar pukul 17.00 WITA (perhitungan final kala/ menang
tidak dijumlah dan tidak di umumkan. Semua peserta omed-omedan saling
bersalaman antar sesamanya dan juga menyalami penonton yang masih berada di
area permainan.
Seluruh peserta Omed-omedan kembali melakukan persembahyangan
sebagai ucapan rasa syukur dan terima kasih karena acara ini telah terlaksana

dengan baik. Selesai persembahyangan kemudian menuju tempat masima krama


tadi dan duduk santai di aula balai banjar.
Disanalah semua warga Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan dan seluruh pejabat
yang hadir (tingkat banjar dan desa) berkumpul untuk beristirahat, sambil
menikmati suguhan kecil yang disediakan panitia. Sambil makan warga
mendengarkan uraian Kelihan Banjar tentang koreksi, peringatan-peringatan, serta
dorongan-dorongan yang diberikan untuk menghadapi acara masima krama dan
omed-omedan tahun depan agar lebih baik.
Kelihan Banjar menutup acara masima krama dan Omed-omedan disertai
ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang berpartisipasi menyukseskan
tradisi ini sekaligus memohon maaf jika ada hal-hal yang tidak memuaskan yang di
alami.
3.4. Perkembangan Tradisi Omed-omedan
I Gusti Ngurah Oka Putra, menyatakan dalam perkembangannya terdapat
berbagai hambatan dalam pelaksanaan tradisi ini. Pada zaman penjajahan tradisi ini
dilarang pelaksanaannya, namun masyarakat tetap mengadakannya secara
sembunyi-sembunyi di tempat yang berbeda.
Tahun 1984-an, para tokoh masyarakat di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan
yang salah satunya I Gusti Ngurah Oka Putra merencanakan meniadakan tradisi
Omed-omedan. Dasar pemikiran beliau pada waktu itu karena mendengar beberapa
cemohan dari luar yang mengatakan bahwa muda-mudi Banjar Kaja, Kelurahan
Sesetan mengadakan hiburan dengan bercium-ciuman dan peluk-pelukan di depan
umum. I Gusti Ngurah Oka Putra menanggapi cemohan tersebut, selaku salah
seorang tokoh masyarakat, pemegang andil besar dalam berlangsungnya omedmedan dan salah seorang pewaris keturunan tokoh Puri Oka di Desa Sesetan
dengan tegas menolak tudingan miring tersebut.
Pada saat Hari Ngembak Geni tiba, di lokasi pelaksanaan tradisi omedomedan dipasang pengumuman bahwa Omed-omedan hari ini ditiadakan. Warga
masyarakat dan para penonton tetap datang dan berkumpul memenuhi tempat yang
biasa di adakan tradisi Omed-omedan, walaupun dipasang pengumuman seperti itu.
I Gusti Ngurah Oka Putra yang saat itu berada di dalam Puri merasakan hal yang
7

pernah dirasakan oleh leluhurnya yakni Anak Agung Made Raka. Beliau
mendengar keributan seperti orang melakukan Omed-omedan, padahal pada saat
itu acara Omed-omedan ditiadakan. Beliau memutuskan untuk keluar Puri setelah
keributan tersebut berkurang dan mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Di
depan Puri, beliau bertanya kepada dua orang penua warga yang kebetulan ada di
tempat itu. Warga tersebut kemudian menjelaskan kepada beliau, bahwa tadi di
tengah kerumunan warga sempat terjadi perkelahian dua ekor babi yang sampai
berdarah-darah, tidak ada yang tahu dari mana datangnya, hingga sesaat setelah
beliau tiba di depan Puri kedua ekor babi itu memisahkan diri dan lari menjauh
kemudian menghilang. Tidak ada orang mengetahui kemana babi-babi itu lari dan
siapa pemiliknya. Mendengar adanya kejadian aneh tersebut, I Gusti Ngurah Oka
Putra bersama Prajuru Banjar dan tokoh masyarakat di tempat itu bermusyawarah
untuk membahas kejadian itu dan menganalisis apa kira-kira yang akan terjadi
akibat peristiwa tersebut. Beliau membayangkan dengan ditiadakannya Omedomedan akan terjadi suatu perang saudara dalam warga Banjar Kaja, Kelurahan
Sesetan. Setelah mendapat keputusan dari musyawarah tersebut, Prajuru Banjar
memanggil pemuda-pemudi Banjar Kaja, agar bersiap-siap dan melaksanakan
tradisi Omed-omedan saat itu juga, seperti tahun-tahun sebelumnya dan akan
berlanjut sepanjang tahun.
Tokoh adat/agama Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan memohon petunjuk
kepada orang yang kesurupan (mapinunas) pada saat piodalan di Pura Bale Banjar.
Jawaban singkat yang diberikan oleh orang yang kerauhan (kesurupan) bahwa
Omed-omedan itu adalah kehendak sesuhunan yang berstana di Pura Bale Banjar
dan harapan agar diteruskan pelaksanaannya. Pengalaman-pengalaman tentang
kejadian-kejadian yang dialami sendiri oleh para abdi dan masyarakat warga
Banjar Kaja, Sesetan itu, disimpulkan oleh warga setempat, bahwa tradisi Omedomedan harus diteruskan, dilestarikan dan dikembangkan, karena para Dewa yang
berstana di Pura Banjar itu memang menghendaki. Warga Banjar Kaja percaya dan
berkeyakinan bahwa petapakan yang disungsung (disembah) di Pura tersebut yang
berwujud Rangda (disebut dengan julukan Ida Ratu Ayu Mas Calonarang), dan
patung Bangkal (disebut Ida Ratu Gede Bangkal Putih), memang menghendaki

tradisi Omed-omedan diadakan, dilestarikan dan dianggap sebagi pelindung,


sebagai pemberi kesejahteraan kepada umat setempat.
Tradisi ini kembali digugat di berbagai media ketika hangat-hangatnya
pembahasan rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi, kembali. I
Gusti Ngurah Oka Putra kembali menegaskan bahwa tradisi ini bukanlah suatu
pornoaksi. Ciuman yang terjadi bukanlah suatu kesengajaan melainkan gesekan
yang tidak bisa dihindarkan saat tarik-tarikan. Bahkan dicontohkan dengan gerakan
Omed-omedan dimana kedua peserta saling berpelukan dengan satu tangan berada
di bawah ketiak dan tangan lainnya diatas bahu. Posisi ini memungkinkan kedua
pipi peserta saling bersentuhan, bahkan karena tarikan teman-temannya, bisa
terjadi gesekan hingga leher. Namun tidak dipungkiri ada oknum peserta yang
nakal hingga terjadi ciuman antar bibir. Mencegah terjadinya hal diatas, selalu
diberikan arahan disertai contoh sebelum dilangsungkannya acara ini.
Tradisi Omed-omedan dikemas lebih menarik dan profesional menjadi
Sesetan Heritage Omed-omedan Festival (SHOF) sejak tahun 2009. Meskipun
sudah menjadi SHOF, acara inti Omed-omedan tidak mengalami perubahan. Acara
ini hanya sebagai pelengkap yang dimulai pagi hari hingga sebelum acara Omedomedan. I Made Sukaja, menyatakan SHOF dikelola oleh STT Banjar Kaja untuk
melatih jiwa organisasi dan entrepreneurship pemuda-pemudi. Acara yang
ditampilkan meliputi bazar kuliner dari warga Sesetan, pameran kesenian, dan
konser musik.
3.5. Tradisi Omed-omedan dan Psikiatri
Ilmu psikiatri melihat sesuatu secara menyeluruh (komprehensif)
berdasarkan aspek biopsikososiospiritual. Begitu juga dalam melihat tradisi Omedomedan ini.
Putu Arya Ananta Jaya, menyatakan usia rata-rata peserta Omed-omedan
adalah 16 sampai 30 tahun. Dasar pemilihan usia pemuda-pemudi menjadi peserta
Omed-omedan tidak diketahui dengan pasti namun dapat dikaitkan dengan jenis
tradisi ini berupa sebuah permainan. Peserta lebih muda cenderung menjadikan
ajang ini sebagai ajang mencari jodoh, namun berbeda dengan peserta yang lebih
tua (diatas 21 tahun) cenderung melihat ajang ini dari sisi niskala atau spiritualnya.
9

Memang diakui ada beberapa pasangan yang dipertemukan melalui Omed-omedan


dan berlanjut hingga pernikahan. I Gusti Ngurah Oka Putra menyatakan pemilihan
pemuda-pemudi dalam tradisi ini karena untuk memainkan tradisi ini memerlukan
banyak tenaga dan dianggap masa ini sebagai masa yang penuh energi yang harus
dicarikan pelampiasannya.
Sepanjang pengalamannya menjadi Ketua STT ada beberapa pemudi
mengeluh dan meminta agar pemuda lebih sopan dalam menjalankan tradisi ini.
Hal ini disikapi dengan pemberian penjelasan baik saat persiapan maupun sesaat
sebelum acara disertai trik untuk menghindari aksi yang berlebihan.
Bagi yang sudah berpacaran, terutama yang bukan berasal dari satu banjar,
hampir semua pemuda-pemudi mengatakan pacar mereka kurang mendukung,
cemburu hingga melarang mengikuti tradisi Omed-omedan. Setelah diberikan
penjelasan mengenai tradisi ini, hampir sebagian besar pacarnya menyetujui
mengikuti tradisi ini. Kurang lebih 10 tahun yang lalu pernah terjadi konflik antara
pemudi Banjar Kaja dengan pacarnya seorang pemuda yang berasal dari luar Banjar
Kaja dimana saat itu pemudanya marah karena pacarnya (pemudi) ikut Omedomedan hingga menarik pacarnya saat acara berlangsung. Setelah beberapa hari
pemudanya tersebut menghaturkan banten permintaan maaf ke Pura Banjar karena
tidak bisa tidur akibat mimpi dikejar-kejar Barong Bangkung.
Wawancara pada anggota STT dilakukan pada empat orang yaitu dua orang
laki-laki dan dua orang perempuan. Responden 1, laki-laki 23tahun, pendidikan S1
menyatakan sudah 7 kali mengikuti Omed-omedan. Perasaannya seminggu
sebelum acara sangat senang dan semangat namun pada saat acara sempat merasa
deg-degan namun setelahnya senang dan bahagia karena daapat melestarikan
tradisi sekaligus bertemu dan berkumpul bersama teman-teman. Pacarnya yang
tidak berasal dari satu banjar juga mendukung tradisi ini meskipun pada awalnya
banyak pertanyaan mengenai tradisi Omed-omedan ini dan tidak pernah datang
untuk menontonnya. Responden 2, laki-laki 24 tahun, pendidikan S1, menyatakan
sudah 7 kali mengikuti Omed-omedan. Perasaannya menyambut acara Omedomedan sangat bersemangat karena akan mendapat kesempatan mencium rekan
perempuan, baginya Omed-omedan adalah tradisi cium-ciuman antar sesama

10

anggota STT. Perasaannya saat acara sangat senang karena menjadi pusat perhatian
apalagi bila mendapatkan giliran menjadi pemain utama. Responden 3, perempuan
18 tahun, pendidikan SMK, menyatakan sudah 2 kali mengikuti Omed-omedan.
Sebelum acara perasaannya malu terutama bila memikirkan nanti saat acara ada
teman sekolahnya menonton. Selama acara perasaannya deg-degan karena takut
terpilih dan pada akhirnya merasa senang karena tidak terpilih. Pacarnya yang tidak
berasal dari satu banjar melarangnya dan cemburu namun karena ini adalah tradisi
dan dorongan orang tua maka dengan terpaksa mengikutinya. Responden 3
menyatakan selain sebagai pelestarian tradisi, Omed-omedan juga bisa
dimanfaatkan untuk mencari pasangan yang berasal dari satu banjar. Responden 4,
perempuan 24 tahun, pendidikan S1 menyatakan hanya pernah satu kali ikut Omedomedan. Perasaannya saat itu malu namun dilawan mengingat ini sebuah tradisi
yang harus dilestarikan. Saat acara perasaannya biasa saja, tidak malu maupun
senang mengingat acaranya singkat dan tidak semua anggota STT mendapat
giliran. Hampir semua responden anggota STT menyatakan senang setelah acara
karena bisa berkumpul bersama teman-teman dan berharap dapat terus
berlangsung.
I Gusti Ngurah Oka Putra menjelaskan bahwa tradisi Omed-omedan ini
secara psikologis dapat menguatkan mental pemuda-pemudi Banjar Kaja dengan
cara menambah rasa percaya diri dan berani tampil di muka umum. Rasa malu
sebelum acara setelah berada di tempat acara menjadi hilang. Secara sosial tradisi
ini dapat menguatkan hubungan antar pemuda-pemudi karena dasar tradisi ini
adalah simakrama.
I Made Sukaja, menjelaskan secara psikologis tradisi ini dapat membangun
jiwa berorganisasi karena jauh hari sebelum acara dibentuk suatu kepanitiaan.
Beberapa tahun terakhir dengan pengembangan acara inti Omed-omedan yang
disertai dengan bazar kuliner dan usaha mikro dari warga Sesetan sehingga dapat
membangun jiwa kewirausahaan. Secara sosial tradisi Omed-omedan menciptakan
rasa kekeluargaan dan mempererat hubungan antar masyarakat sehingga dapat
berperan positif dalam mengurangi ataupun menyelesaikan terjadinya konflik antar
warga.

11

Secara spiritual, I Gusti Ngurah Oka Putra menjelaskan tradisi ini secara
niskala terkait dengan sesuhunan di Pura Bale Banjar yang disungsung. Hal ini
dikaitkan dengan adanya babi yang saling beradu hingga bedarah-darah keika
tradisi ini coba dihentikan. Tradisi ini juga meningkatkan spiritual masyarakat
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, dimana dilakukan persembahyangan bersama
peserta Omed-omedan sebelum acara berlangsung untuk memohon keselamatan
serta kelancaran acara dan kemudian terakhir ditutup dengan persembahyangan
bersama lagi untuk mengucapkan terima kasih karena acara telah berlangsung
dengan lancar.
Putu Arya Ananta Jaya menambahkan adanya kesurupan sebelum acara
Omed-omedan saat dibuka dengan tarian Barong Bangkal dan juga saat
persembahyangan bersama setelah acara berlangsung menunjukkan aspek
spiritualitas dan perhatian sesuhunan di Pura Bale Banjar terhadap pelaksanaan
tradisi ini. Tari Barong Bangkal biasanya ditarikan oleh pemuda anggota STT
menceritakan tentang adanya perkelahian babi akibat ditiadakannya Omedomedan. Kesurupan tidak selalu terjadi saat tarian ini. Putu Arya Ananta Jaya
sendiri pernah kesurupan saat menarikan barong ini. Ia merasakan tubuhnya terasa
panas seperti terbakar, semangat dan tenaga yang besar dan seperti ada yang
mengontrol gerakannya lalu tiba-tiba gelap dan saat teringat sudah ada di dalam
Pura. Berbeda dengan kesurupan yang terjadi saat persembahyangan bersama
setelah acara selesai, hampir selalu terjadi kesurupan dimana wanita lebih sering
mengalami kesurupan.
IV. PEMBAHASAN
Psikiatri budaya memberikan warna tersendiri dalam hal faktor resiko atau
penyebab gangguan jiwa dan juga dalam hal penanganannya. Gangguan jiwa tidak
hanya menggunakan pendekatan secara medik namun juga melihat dari faktor
budaya dalam hal mencari akar permasalahan, menegakkan diagnosis juga dalam
hal memberikan terapi (Kolegium Psikiatri Indonesia, 2008).
Dalam Ilmu Kedokteran Jiwa, manusia dipandang secara Holistik yaitu
BioPsikoSosioBudayaSpiritual. Apa yang terjadi atau dialami oleh seorang

12

individu menjadi sesuatu yang bersifat patologis (psikopatologis) akan dipengaruhi


oleh faktor dari biologi penyebab dasarnya, faktor psikologis atau stresor yang
dialaminya, dan faktor sosial-budaya yang dianut atau diyakini/kepercayaan yang
akan memberikan pengaruh terhadap persepsi tentang sakit-sehat yang dialami oleh
individu tersebut (Kolegium Psikiatri Indonesia 2008).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tradisi merupakan adat
kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat. Sesuai halnya pada tradisi Omed-omedan tradisi ini diwariskan secara
turun-temurun yang berawal Anak Agung Made Raka saat menjadi pengatur
pemerintahan di Desa Sesetan yang diperkirakan pada abad 17. Beliau mendeita
sakit keras dan melarang warganya membuat keributan. Warganya yang kecewa
kemudian membuat permainan tarik-tarikan di depan Puri. Anak Agung Made
Raka ketika melihat permainan itu menjadi sehat seperti sedia kala sehingga beliau
berkehendak keramaian Omed-omedan terus dilaksanakan setiap tahun pada Hari
Nyepi. Acara ini kemudian dipindahkan saat Hari Ngembak Geni dan berlanjut
hingga kini.
Kata Omed-omedan ditinjau dari arti katanya, menurut Tim Penyusun
Kamus Bali-Indonesia, kata dasar maomed-omedan adalah omed, yang diulang dan
mendapat konfiks ma- -an, sehingga kata itu menjadi maomed-omedan yang artinya
bertarik-tarikan (dalam kegiatan ini tanpa alat apapun alias tangan kosong).
Hubungan antara kesehatan mental dan fisik dapat juga terlihat dari sejarah
Omed-omedan. Anak Agung Made Raka yang saat itu menderita sakit keras
kemudian melarang warganya mengunjungi dan membuat keributan. Warga yang
kecewa membuat keributan di depan Puri sehingga menyebabkan Anak Agung
Made Raka marah. Antara mental dan fisik mempunyai hubungan yang sangat erat,
tetapi seberapa jauh eratnya memang belum dapat diketahui secara pasti. Fisik yang
sedang menderita sakit, mental dalam menghadapi problema berbeda dengan pada
waktu fisiknya sehat yaitu antara lain mudah tersinggung (Sundari 2005).
Peserta tradisi Omed-omedan berada dalam rentang umur 16-30 tahun dan
belum menikah. Rentang pemilihan umur ini tidak diketahui alasan dengan pasti
namun menurut Putu Arya Ananta Jaya, menduga karena sifatnya tradisi ini adalah

13

suatu permainan sedangkan menurut I Gusti Ngurah Oka Putra menyatakan karena
usia tersebut sebagai masa yang penuh energi yang harus dicarikan
pelampiasannya.
Masa perkembangan kehidupan usia tersebut termasuk dalam rentang usia
remaja akhir dan dewasa awal. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata
latin adolescere yang artinya tumbuh menjadi dewasa. Sedangkan dewasa awal
adalah masa peralihan dari masa remaja ke masa dewasa.
WHO membagi kurun waktu usia remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu
remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Perserikatan BangsaBangsa (PBB) menetapkan usia 15-24 tahun sebagai pemuda (youth) dalam rangka
keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda
Internasional (Sarwono 2013).
Masa remaja merupakan suatu perkembangan periode transisi antara masa
anak dan masa dewasa yang meliputi suatu perkembangan periode transisi
perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional, dimulai pada saat mereka
pubertas menuju kearah kedewasaan. Perubahan biologis meliputi perubahan fisik,
termasuk perkembangan otak, perubahan hormon pubertas dan semua reflek proses
biologis; perubahan kognitif meliputi perubahan berpikir dan kecerdasan remaja
(Sarwono 2013).
Masa remaja merupakan periode yang penuh dengan badai dan tekanan
yang bergejolak dengan konflik dan suasana hati. Ketegangan emosi terjadi sebagai
akibat dari perubahan fisik dan hormon. Agresi menanggapi perkataan orang tua,
agresi terhadap teman-teman sebaya, kegembiraan dalam pertemuan sosial
semuanya mencerminkan proses sosio-emosional dalam perkembangan remaja.
Perubahan-perubahan sosio-emosional yang berlangsung pada masa remaja
meliputi tuntutan untuk mencapai kemandirian, konflik dengan orang tua dan
keinginan lebih banyak untuk meluangkan waktu bersama teman-teman sebaya
(Santrock 2014).
Terdapat persamaan dan perbedaan remaja di berbagai negara yang
berbeda. Di beberapa negara, tradisi berkelanjutan dalam sosialisasi remaja,
sedangkan di lain tempat, terdapat perubahan substansial dalam pengalaman

14

remaja. Remaja sering mengisi waktu dengan kegiatan yang berbeda, tergantung
pada budaya di mana mereka tinggal. Sebuah ritual adalah upacara yang manandai
transisi individu dari satu status ke status yang lain, terutama menjadi dewasa. Di
budaya primitif, peralihan tradisi sering didefinisikan dengan baik (Santrock 2010).
Menurut Arnet dalam Upton (2012) mengakui bahwa transisi ke masa
dewasa merupakan titik kritis. Ekspektasi dan keyakinan-keyakinan budaya tentang
masa dewasa juga akan menjadi penting. Di negara-negara berkembang pernikahan
kerap menjadi tanda beralihnya seseorang ke masa dewasa (Upton 2012).
Masa dewasa awal ialah periode perkembangan yang bermula pada akhir
usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia
tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan
ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan
pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan
mengasuh anak anak (Upton 2012).
Hal ini sejalan dengan yang dirasakan oleh pendapat beberapa pemudapemudi yang pernah mengikuti Omed-omedan dimana adanya waktu berkumpul
bersama teman-teman diserta rasa senang dan gembira terutama sesudah acara
berakhir. Menurut Putu Arya Ananta Jaya, anggota STT yang takut untuk datang
karena dilarang oleh pacarnya yang tidak satu banjar setelah diberi penjelasan
mengenai makna dan pentingnya tradisi ini akhirnya paham dan diijinkan. Ini
menunjukkan keinginan besar dari anggota STT untuk hadir dan berkumpul
bersama meskipun ada larangan dari orang terdekat.
Masa ini seseorang sudah mencapai kematangan emosi, serta sudah dapat
menilai situasi sebelum bereaksi secara emosional. Kematangan emosi pada remaja
akhir tersebut memberikan reaksi emosional yang lebih stabil dari periode
sebelumnya. Emosi yang meninggi memang menyulitkan orang lain dalam
mengerti remaja, namun emosi yang tinggi ini bermanfaat untuk remaja dalam
mencari identitas dirinya. Dengan adanya emosi-emosi ini, remaja secara bertahap
mencari jalan menuju kedewasaan. Reaksi orang-orang disekitarnya terhadap
emosinya juga akan menyebabkan remaja belajar dari pengalaman untuk
mengambil langkah-langkah yang terbaik (Sarwono 2013).

15

Pergeseran makna Omed-omedan dari tarik-tarikan menjadi suatu ciuman


tidak dipungkiri akibat adanya oknum pemuda-pemudi yang memanfaatkan
kesempatan dalam tradisi Omed-omedan ini. Fenomena ini berkaitan dengan emosi
yang meninggi pada masa remaja disertai kegagalan dalam kematangan emosi.
Remaja

akhir

yang

seharusnya

telah

matang

emosinya

dalam

masa

perkembangannya, sebaliknya malah menunjukkan peluapan emosi pada acara,


saat dan tempat yang tidak tepat, hal ini merupakan ciri-ciri orang yang belum
matang emosinya. Perilaku agresif baik fisik maupun verbal yang ditimbulkan
merugikan mereka dan orang lain.
Mengatasi hal tersebut diatas beberapa upaya telah dilakukan yaitu dengan
memberikan pengarahan sebelum acara berlangsung disertai pemberian contoh
cara pelaksanaan Omed-omedan. Namun hal ini belumlah efektif, terbukti tiap
tahun masih ada oknum yang memanfaatkan untuk berciuman.
Omed-omedan juga memberikan suatu stresor bagi pasangan pemudapemudi yang berbeda banjar, dimana biasanya pasangannya tidak mendukung
untuk mengikuti tradisi ini. Pemuda dan pemudi menjadi belajar dalam mengatasi
suatu permasalahan. Erikson menyatakan bahwa remaja berada pada tahap identitas
versus kebingungan identitas. Tahap ini, remaja ingin menentukan siapakah ia dan
ingin menjadi apakah ia dimasa yang akan dating, remaja mulai menyadari sifatsifat yang melekat pada dirinya, seperti sesuatu yang ia sukai atau tidak suka dan
tujuan-tujuan yang dikejarnya dimasa depan. Seorang remaja berhasil mengatasi
atau menyelesaikan tahapan krisis ini, maka diharapkan ia akan memiliki identitas
diri yang jelas, sehingga ia dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya serta
mampu untuk menentukan peranan-peranan manakah yang paling cocok dan
efektif. Sebaliknya apabila tahapan krisis ini tidak dapat diselesaikannya dengan
baik, maka remaja tersebut memiliki identitas diri yang tidak jelas, ia akan merasa
terisolasi, hampa, cemas dan bimbang. Hal ini akan mempengaruhi kehidupan
dewasanya, karena apa yang terjadi pada masa ini, sangat penting bagi kepribadian
dewasa kelak (Santrock 2010).
Dari keempat responden anggota STT, semuanya menyatakan bahwa
adanya perasaan gembira dan bahagia setelah mengikuti acara ini. Kegiatan fisik

16

seperti olahraga, dapat menguragi tingkat stres dengan mekanisme meningkatkan


produksi endorphin, suatu neutransmiter yang berfungsi melawan stres (Sood
2013). Bermain merupakan sesuatu yang penting bagi kesehatan mental dan fisik
serta kesejahteraan sosial dan emosional. Freud dan Erikson meyakini bahwa
bermain membantu mengatasi kecemasan dan konflik. Bermain dapat melepaskan
ketegangan dan mengatasi masalah-masalah kehidupan. Bermain meningkatkan
afiliasi dengan teman-teman sebaya dengan peningkatan beinteraksi dan
berkomunikasi (Upton 2012).
Tradisi Omed-omedan secara sosial dapat memupuk rasa kesetiakawanan
dan manyama braya antar sesama warga Banjar Kaja dengan konsep saling asih,
saling asah dan saling asuh. Prinsip ini selalu mengutamakan hidup yang selaras,
serasi dan harmonis serta berkeseimbangan dalam hubungannya dengan orang lain.
Menurut Soekanto dalam Munggah (2008) menyatakan dalam mengatasi adanya
tindakan penyimpangan dalam masyarakat dapat dilakukan dengan cara bertahap
yang dimulai dari pendekatan persuasif sampai dengan cara memakai kekerasan
(Munggah 2008). Sejalan dengan pernyataan I Nyoman Sukaja, dimana tradisi
Omed-omedan dapat menciptakan rasa kekeluargaan dan mempererat hubungan
antar masyarakat sehingga dapat berperan positif dalam mengurangi ataupun
menyelesaikan terjadinya konflik. Masyarakat Banjar Kaja menjadikan tradisi
Omed-omedan sebagai katup pengaman dalam menyelesaikan konflik. Sistem
sosial adalah alat untuk membantu menjelaskan tentang kelompok-kelompok
manusia. Kalaupun terjadi konflik maka yang terpenting adalah bagaimana
mendamaikannya (Ismawati 2012).
Pengembangan acara menjadi suatu Sesetan Heritage Omed-omedan
Festival (SHOF) juga memberi dampak ekonomi baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada masyarakat Kelurahan Sesetan sekaligus menjadi daya tarik
wisata dengan fokus wisata budaya.
I Gusti Ngurah Oka Putra menyatakan adanya tradisi Omed- omedan dapat
meningkatkan sisi spiritualitas masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan yaitu
dengan adanya persembahyangan bersama antar peserta Omed-omedan untuk
memohon keselamatan dan kelancaran selama acara berlangsung, kemudian dibuka

17

dengan tari-tarian sakral dan ditutup dengan persembahyangan untuk mengucapka


terimakasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena acara Omed-omedan telah
diberikan kelancaran.
Terjadinya kesurupan saat tarian Barong atau saat persembahyangan
bersama sesudah acara mencerminkan aspek spiritual tradisi ini. Masyarakat Bali
yang mayoritas beragama Hindu melihat kesurupan dalam setiap pelaksaaan
ritualnya sebagai unsur yang memantapkan pelaksanaan ritual tersebut.
LK Suryani (1984) berpendapat kesurupan/kerauhan adalah keadaan
dimana seseorang diambil alih kemampuannya oleh spirit, roh atmannya sendiri,
atau oleh energi lain di luar pemikirannya, sedangkan ahli negara Barat berpendapat
bahwa kesurupan adalah suatu sindrom yang terkait budaya (Diniari & Hanati
2012).
Orang yang kesurupan biasanya mempunyai kepribadian histrionik dengan
keyakinan dan kepercayaan yang kuat sebagaimana halnya keinginan untuk
mengalami kesurupan. Suasana lingkungan yang mendukung seperti bau
wewangian/asap kemenyan, semerbak bunga, nyanyian/kidung, musik/gamelan,
atau suara monoton, sangat mendukung terjadinya kesurupan. Bila kesurupan
terjadi karena konflik dan stres psikologik, maka keadaan ini dinamakan reaksi
disosiatif/konversi. Bila asosiatif terjadi karena pengaruh kepercayaan dan
kebudayaan, maka dinamakan kesurupan/kerauhan (Diniari & Hanati 2012).
V.KESIMPULAN
Tradisi Omed-omedan merupakan suatu kegiatan unik berupa saling tarik
menarik antara pemuda dan pemudi Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kota
Denpasar yang diadakan tiap tahun sekali pada hari Ngembak Geni, sehari setelah
Hari Raya Nyepi. Tradisi ini berawal sekitar abad 17 saat Anak Agung Raka,
penguasa jaman tersebut mengalami kesembuhan dari sakit setelah melihat abdinya
saling tarik-menarik yang menimbulkan kegaduhan. Tradisi ini kemudian terus
dilanjutkan hingga kini dan dikelola secara lebih modern oleh STT Banjar Kaja,
Kelurahan Sesetan menjadi suatu even yang disebut dengan Sesetan Heritage
Omed-omedan Festival.

18

Ilmu psikiatri memandang tradisi ini secara holistik dari sudut pandang
BioPsikoSosioBudayaSpiritual. Bagi pesertanya yang merupakan anggota STT
Banjar Kaja tradisi ini menjadi suatu latihan menghadapi stresor sekaligus belajar
pengendalian emosi untuk menemukan identitas diri sehingga siap memasuki fase
dewasa dalam kehidupan. Tradisi Omed-omedan secara sosial dapat memupuk rasa
kesetiakawanan dan manyama braya antar sesama warga dengan mengutamakan
hidup yang selaras, serasi dan harmonis serta berkeseimbangan dalam hubungannya
dengan orang lain. Begitu pula secara budaya dan spiritual, tradisi ini meningkatkan
hubungan manusia dengan Tuhan melalui persembahyangan bersama memohon
kelancaran acara.
Peran pentingnya tradisi ini dalam membentuk pemuda-pemudi Banjar Kaja
menjadi individu percaya diri sekaligus sebagai pemersatu bagi masyarakat Banjar
Kaja maka sepatutnya tradisi dilestarikan. Dalam rangka menekan pandangan
negatif terhadap tradisi ini diperlukan suatu sangsi tegas bagi pemuda-pemudi yang
melanggar norma-norma kesopanan yang berlaku umum di masyarakat.

19

DAFTAR PUSTAKA
Anon, 2010. Omed-omedan, Tradisi Ciuman Massal Desa Sesetan. Available at:
http://regional.kompas.com.
Azhar, A., Thong, D. & Sosiawan, U., 2014. Kesehatan Jiwa Berwawasan Budaya
dan Komunitas Cetakan I., Jakarta: Alinea-alinea Cipta Kreatif.
Baliprov, 2010. Bali Dari Masa ke Masa. Available at: http://www.baliprov.go.id
[Accessed June 25, 2015].
Denpasarkota,
2015.
Sejarah
Sesetan.
Available
http://sesetan.denpasarkota.go.id [Accessed June 17, 2015].

at:

Diniari, S. & Hanati, N., 2012. Kesurupan, Tinjauan Dari Sudut Budaya dan
Psikiatri. Medicina, 43(1), pp.3740.
Ismawati, E., 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Munggah, I.M., 2008. MED-MEDAN: Tradisi Unik dari Sesetan Cetakan Pe.,
Denpasar: Pustaka Bali Post.
Psikiatri, K., 2008. Modul XI, Psikiatri Komunitas dan Psikiatri Budaya, Program
Pendidikan Dokter Spesialis Kedokte ran Jiwa Indonesia.
Santrock, J.W., 2014. Adolescence Fifteenth ., New York: McGraw-Hill.
Santrock, J.W., 2010. Life-Span Development 13 ed., New York: McGraw-Hill.
Sarwono, L.S., 2013. Psikologi Remaja Cetakan ke., Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada.
Setiawati, I., 2009. `Omed-omedan, the `kissing' ritual of Sesetan. Available at:
http://www.thejakartapost.com.
Sood, A., 2013. The Mayo Clinic Guide to Stress-Free Living, Da Capo Press.
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Sundari, S., 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan, Jakarta: Rineka Cipta.
Upton, P., 2012. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Penerbit Erlangga.

20

21

Daftar Informan
1. Drs. I Made Sukaja, MS. Laki-laki, 62 tahun, pendidikan S2, pekerjaan dosen,
dalam hal ini selaku Kelian Adat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan.
2. I Gusti Ngurah Oka Putra. Laki-laki, 70 tahun, pendidikan SMA selaku tokoh
masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan.
3. Putu Arya Ananta Jaya, Laki-laki, 23 tahun, pendidikan S1 selaku Ketua STT
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan.
4. Tude Angga Wardiana, Laki-laki, 23 tahun, pendidikan S1 selaku anggota STT
Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan kemudian disebut sebagai Responden 1.
5. I Komang Trisnha Hardy, Laki-laki, 24 tahun, pendidikan S1 selaku anggota
STT Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan kemudian disebut sebagai Responden 2.
6. Pio Nita Anggraeni, Perempuan, 17 tahun, pendidikan SMK selaku anggota
STT Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan kemudian disebut sebagai Responden 3.
7. Ni Komang Dewi Suryani, Perempuan, 24 tahun, pendidikan S1 selaku anggota
STT Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan kemudian disebut sebagai Responden 4.

22

Anda mungkin juga menyukai