DISUSUN OLEH:
Ade Surya Akbar
220706008
DOSEN PENGAMPU:
Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kuliah Lapangan yang berjudul “Keberadaan
Etnis Jawa dan Wajik di Desa Sempajaya (Peceren), Museum Pusaka Karo, dan Rumah Adat
Gugung Tirto Meciho, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara”. Laporan ini
disusun guna memenuhi tugas dari Ibu Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si, pada mata kuliah
Metode Sejarah dan Sejarah Etnik Program Studi S-1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada Ibu Dosen Pengampu,
teman-teman, dan terkhususnya informan yang sudah membantu penulis dalam mengumpulkan
berbagai informasi sehingga penulis dapat menuangkan ide-ide yang dimiliki ke dalam sebuah
laporan ini. Semoga laporan ini dapat menambah wawasan bagi pembaca serta menjadi ilmu
yang bermanfaaat.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
kedepannya bisa menjadi evaluasi bagi penulis. Demikian yang bisa saya sampaikan, saya
ucapkan terimakasih.
i
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mencakup lebih dari 17.000 pulau yang
dihuni oleh sekitar 273 juta penduduk, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara di urutan
keempat dalam jumlah populasi terbanyak di dunia. Hal ini pula yang menyebabkan Indonesia
memiliki banyak sekali keanekaragaman budaya, etnis, agama maupun bahasa yang dapat
ditemukan di negara ini. Selain itu, Indonesia juga memiliki banyak sekali sektor pariwisata yang
menjadi pusat ekonomi terpenting di Indonesia. Pariwisata merupakan sektor industri yang sangat
strategis, karena mampu membuka peluang-peluang bisnis yang dapat dikelola oleh masyarakat
Berastagi merupakan salah satu kota yang terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara yang
mengembangkan sektor perekonomian terbesar bagi Sumatera Utara melalui bidang pariwisatanya.
Beberapa potensi alam di Kota Berastagi yang dijadikan sebagai tempat wisata yang ramai
dikunjungi dan diminati oleh wisatawan lokal yaitu Gunung Sibayak, Gunung Sinabung, Bukit
Gundaling dan yang lainnya. Tidak hanya potensi alamnya, Berastagi juga memiliki wisata kuliner
yang sudah jadi ikonik di wilayah tersebut. Wisata kuliner yang dimaksud terletak di Desa
Sempajaya (Peceren), Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Desa ini terkenal
akan kuliner etnis Jawa seperti Wajik dan Cendol yang menjadi ikon di desa ini. Etnis Jawa juga
terkenal di desa ini karena etnis ini sudah menjalin kerja sama dalam hal perdagangan dan hidup
rukun dengan penduduk asli di desa ini yaitu Etnis Karo. Di desa ini juga terdapat bangunan rumah
adat Karo “Siwaluh Jabu” atau wisatawan menyebutnya dengan sebutan Rumah Adat Gugung
Tirto Meciho. Selain itu, terdapat pula museum yang menyimpan berbagai koleksi barang-barang
1
Nurlisa Ginting, Julaihi Wahid, The Role of Place Identity in Planning Heritage Tourisme, Jurnal IJPD, Vol. 3 No.2,
Oktober 2018, hal. 17.
1
pusaka masyarakat Karo yang terletak tidak jauh dari Desa Sempajaya.
2. HEURISTIK
Dalam Ilmu Sejarah, heuristik dikenal sebagai salah satu metode penelitian sejarah. Jadi,
dapat dikatakan bahwa heuristik adalah serangkaian tahapan dalam pengumpulan sumber-sumber
dari berbagai jenis data penelitian sejarah yang berkaitan dengan riset perihal adat istiadat, sosial
budaya, stratifikasi sosial, dan pergaulan keseharian melalui observasi, wawancara, dokumentasi,
dan sebagainya. Secara sederhana, heuristik merupakan aturan sederhana dan efisien yang umum
digunakan manusia untuk membentuk penilaian terhadap suatu hal dan biasa digunakan untuk
membuat keputusan.
Pada tahap mengumpulkan informasi-informasi yang akan dimuat dalam laporan penelitian
ini diperlukan yang namanya metode penelitian dengan pendekatan studi kualitatif yang pada tahap
ini penulis menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah informasi atau
kesaksian dari seseorang yang pernah melihat peristiwa atau terlibat langsung dalam peristiwa
sejarah. Informasi tersebut dapat berupa tulisan, lisan, ataupun audio visual. Sumber primer dibuat
selama periode waktu masa lampau menurut sudut pandang pelaku selaku pengamat langsung
peristiwa pada masa itu. Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak
terlibat secara langsung dalam peristiwa sejarah pada masa lampau. Sama seperti sumber primer,
sumber ini bisa berupa tulisan, lisan, dan audio visual. Sumber sekunder tidak memberikan bukti
secara langsung oleh pelaku, namun sumber sekunder ini memberikan informasi yang berasal dari
data primer yang sudah di rekonstruksi atau ditafsirkan. Dalam artian, sumber sekunder merupakan
sebuah informasi yang sudah disampaikan kepada orang lain secara turun-temurun.
Sumber primer yang digunakan oleh penulis adalah informasi lisan yang disampaikan oleh
informan yang merupakan penduduk asli atau sudah lama menetap di desa tersebut. Informasi-
2
informasi yang disampaikan informan kemudian di rekam dan di dokumentasikan oleh penulis
untuk dijadikan bukti atau bahan acuan dalam menulis laporan. Selain informasi lisan, penulis juga
menjadikan objek berupa benda-benda peninggalan dan juga penelitian sebelumnya seperti buku,
jurnal, skripsi dan arsip untuk dijadikan sebagai sumber sekunder dalam laporan penelitian ini.
3. STUDI PUSTAKA
Studi Pustaka atau studi kepustakaan merupakan proses membaca sejumlah referensi yang
rata-rata berupa tulisan baik dari buku, artikel, jurnal dan yang lainnya untuk dijadikan sebagai
Desa Sempajaya (Peceren) adalah sebuah nama suatu wilayah di Kecamatan Berastagi,
Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Desa ini merupakan salah satu dari 6 Desa dan 4 Kelurahan di
wilayah Kecamatan Berastagi yang terletak 2 km ke arah timur dari Kecamatan Berastagi dan 15
km dari Ibu Kabupaten. Desa Sempajaya mempunyai luas wilayah seluas ± 650 hektar. Luas
wilayah dari desa ini mencakup persawahan, pemukiman, perkebunan atau hutan rakyat, perikanan,
hutan milik negara, pendidikan, perkantoran, lapangan, pemakaman, tempat beribadah, dan hutan
rimba.2
penduduk Desa Sempajaya 15% bersuku Karo dan 85% pendatang. Saat ini Desa Sempajaya di
huni oleh berbagai macam suku yakni Karo, Mandailing, Nias, Tapanuli, Aceh, China, dan juga
Jawa. Dengan berbagai macam suku dan agama yang ada, hal ini membuat masyarakat lebih
2
Anggi Dwi Patma, “Nilai-Nilai Pendidikan Sosial Dalam Tradisi Merdang Merdem Pada Masyarakat Karo Di Desa
Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo”, Skripsi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2021,
hal. 45.
3
menjaga solidaritasnya walaupun adanya perbedaan dalam lingkungan mereka. Hal ini pula yang
membuat masyarakat akan menjaga kerukunan dan kesatuan agar terciptanya kepentingan
bersama. 3 Seperti informasi yang disampaikan oleh salah satu informan yang sudah lama mendiami
wilayah tersebut, Ibu Eva (40) mengatakan bahwa adanya berbagai etnis di desa ini tidak menjadi
penghalang bagi masyarakat untuk hidup berdampingan dan rukun. Sehingga, desa ini tidak pernah
terjadi konflik antara dari penduduk asli di desa ini dengan suku pendatang. 4
Etnis Jawa adalah etnis yang paling besar jumlahnya di Indonesia dan secara umum banyak
mendiami Pulau Jawa. Seiring berjalannya waktu adanya masalah-masalah kependudukan di pulau
tersebut yang ditambah dengan kedatangan etnis lain tentunya dapat menambah masalah
kependudukan atau biasanya disebut dengan kepadatan penduduk. Untuk menanggulangi masalah
tersebut pemerintah mengadakan program transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari daerah
yang padat ke daerah yang jarang penduduknya, yaitu ke luar Pulau Jawa dan salah satunya adalah
Pulau Sumatera. Migrasi ini juga bertujuan agar masyarakat di Pulau Jawa dapat memperbaiki taraf
pada masa tumbuh dan berkembangnya perkebunan-perkebunan milik Belanda dan orang Eropa
miskin di Jawa yang sedang mengalami paceklik, melalui agen pencari kuli dengan menggoda
Sedikit gambaran bahwa Berastagi merupakan daerah yang sangat subur dan sejuk yang
3
Ibid, Hal. 46-48.
4
Hasil wawancara dengan Ibu Eva pada tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 14.45 WIB, di Jalan Dusun V Teknol, Desa
Sempajaya, Berastagi.
5
David Lucas, Pengantar Kependudukan, Yogyakarta: UGM Press, 1990, hal. 1.
6
Kasim Siyo, Wong Jawa di Sumatera Sejarah, Budaya, Filosofi & Interaksi Sosial, Medan: Pujakesuma, 2008, hal.
73.
4
disertai dengan kekayaan alamnya yang melimpah sehingga sangat memungkinkan untuk
melakukan berbagai aktivitas kehidupan seperti pertanian maupun pariwisata. Aktivitas tersebut
menjadi sektor perekonomian yang paling utama di daerah ini. Sektor pertanian umumnya banyak
dikelola oleh para penduduk asli yang beretnis Karo dan Batak Toba, demikian pula dengan sektor
pariwisata yang juga dikelola oleh penduduk asli sendiri di bawah naungan pemerintah daerah.
kemakmurannya tersebut sehingga banyak orang berusaha untuk datang ke Berastagi. Akibatnya,
menimbulkan kekhawatiran bagi penduduk asli, yakni orang-orang Karo bahwa suatu saat nanti
akan tergeser kedudukannya sebagai penduduk asli ataupun pemilik daerah tersebut.7
Ketika masa Kolonial Belanda di Tanah Karo terkhususnya di Berastagi, selain dijadikan
sebagai pekerja di perkebunan-perkebunan milik Belanda, orang-orang Jawa juga banyak bekerja
sebagai pesuruh di villa-villa yang dibangun dan dimiliki oleh penguasa-penguasa Belanda. Orang
Jawa juga banyak bekerja sebagai buruh baik itu buruh tani, buruh bangunan, dan buruh lainnya.
Alasan banyak dari mereka menjadi buruh dikarenakan kurangnya kemampuan mereka dalam
mengolah tanah pertanian serta kurangnya modal. Mereka juga menggantungkan hidupnya dalam
sektor perdagangan akan tetapi masih dalam ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
Perdagangan yang dijalankan oleh etnis Jawa biasanya dengan berjualan makan-makanan
baik dalam jumlah yang besar seperti rumah makan, toko kue atau makanan, warung pecal, warung
wajik, berjualan kue keliling, berjualan bakso dan sebagainya yang sangat berkaitan dengan usaha
makanan atau masakan. Hal ini dikarenakan adanya anggapan dari suku-suku lain seperti halnya
suku Batak Toba dan kenyataan yang menyatakan bahwa orang-orang Jawa merupakan orang yang
7
Seselia Dormauli, “Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Etnis Jawa di Berastagi (1968-1986)” Skripsi
Universitas Sumatera Utara, 2009, hal. 46.
5
pandai dalam hal masak-memasak atau membuat makanan. Sehingga mereka memanfaatkan
Wajik merupakan makanan tradisional khas pernikahan adat Jawa yang terbuat dari bahan
dasar beras ketan, santan kelapa, dan gula merah. Kudapan yang sudah ada sejak jaman Majapahit
ini, masuk dalam jajanan klasik khas Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wajik sendiri memiliki
sebutan yang berbeda-beda di setiap tempat. Nama wajik sendiri lebih terkenal di daerah Pulau
Jawa.
yang sudah menjadi ikonik di desa ini. Banyak masyarakat pendatang khususnya Etnis Jawa yang
menjadikan makanan ini sebagai ladang usaha seperti membuka warung-warung wajik dan
diselingi dengan hidangan lain khas jawa seperti pecal, cendol, dan lainnya.
Seperti keterangan Rendy Suryawan (30) seorang wiraswasta yang meneruskan usaha
Warung Wajik dan Cendol milik keluarga, beliau mengatakan bahwa usaha wajik yang
dikembangkan narasumber sebenarnya usaha milik keluarga yang sudah diturunkan secara turun
temurun dari Zaman Kolonial Belanda, Jepang, hingga sekarang. Usaha ini bermula ketika ibunya
dari nenek narasumber yang semulanya berjualan tauco keliling menggunakan tampah berkeliling
dari asrama polisi dan diminta oleh warga Jepang pada saat itu untuk membuat cemilan dan snack
basah maupun kering. Sehingga tercetuslah ide untuk membuat hidangan wajik dan juga kacang
hijau. Tidak hanya itu saja, warga Jepang juga meminta agar dibuatkan minuman yang segar
sehingga terpikir untuk membuat cendol yang pada akhirnya menarik minat warga tidak hanya
wiarga Jepang namun juga warga lokal pada masa itu. Hal inilah yang mendasari untuk membuka
usaha dengan menun utama wajik dsan cendol yang dikembangkan sampai tahun 1947, dan
8
Ibid, hal. 48-49.
6
diteruskan hingga sekarang dan sudah memasuki Generasi Ke-2.
Beliau juga memberikan keterangan hal yang memotivasi untuk mengembangkan usaha ini
sebenarnya iseng-iseng. Namun, setelah dipikir lebih lagi ada sesuatu hal yang unik dikarenakan
usaha yang dijual berupa hidangan khas Jawa (wajik dan cendol) tetapi mereka buka usaha di
wilayah yang penduduk aslinya suku Karo. Itu sebabnya keluarga informan mempertahankan usaha
ini sampai sekarang dikarenakan memiliki keunikan tersendiri. Namun, seiring berjalannya waktu
usaha beliau ini sudah menambahkan menu-menu terbaru untuk dijual seperti pecel, bandrek,
hingga merambah ke menu masakan minang seperti Sate Padang dan juga Salak Bulek (Salak
Lauak) yang didasari karena adanya pernikahan antara keluarga beliau dan juga masyarakat dari
suku Minang. Sehingga, dapat disimpulkan pula bahwa beliau ingin mengembangkan usaha ini
dengan cara mengenalkan suatu makanan yang tidak ada di Tanah Karo ini ke penduduk asli desa
ini agar dapat merasakan dan bisa mengenali makanan tradisional dari etnis Jawa yang merupakan
Menurut Pak Putri (50) yang merupakan pedagang siomay di sekitaran Peceren, akibat
adanya kuliner wajik yang sudah menjadi ikonik di desa ini, membawa dampak yang baik bagi
masyarakat sekitar, karena kemunculan makanan wajik ini banyak menarik perhatian wisatawan
untuk berkunjung ke Desa Sempajaya. 10 Apa yang disampaikan oleh Pak Putri, juga dibenarkan
oleh keterangan Intan (28) yang berprofesi sebagai pedagang Ayam Penyet di Peceren 11.
9
Hasil wawancara dengan Rendy Suryawan pada tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 15.30 WIB, di Jalan Jamin Ginting
No. 38, Desa Sempajaya, Berastagi.
10
Hasil wawancara dengan Pak Putri pada tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 14.20, di Jalan Dusun V Teknol, Desa
Sempajaya, Berastagi.
11
Hasil wawancara dengan Intan pada tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 14.25, di Jalan Dusun V Teknol, Desa
Sempajaya, Berastagi.
7
B. Museum Pusaka Karo di Jalan Perwira, Gundaling I, Kecamatan Berastagi,
Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara. suku karo juga dijadikan
sebagai salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang menjadi tempat tinggal mereka
(dataran tinggi Karo), yaitu Kabupaten Kari. Suku ini memiliki bahasa tersendiri yang disebut
Masyarakat Karo umumnya memiliki unsur budaya yang menerapkan sistem religi,
organisasi masyarakat, mata pencaharian hidup, ekonomi, teknologi dan peralatan, bahasa dan
kesenian. Karena budaya masyarakat Karo berkembang menjadi masyarakat modern dan hampir
melupakan budaya tersebut. Maka dibentuklah Museum Pusaka Karo dengan harapan agar
tersebut.12
Museum Pusaka Karo merupakan museum khusus yang dibangun atas gagasan dari seorang
misionaris Belanda yang bernama Joosten Leonardus Edigius. Gedung dari Museum Pusaka Karo
itu sendiri merupakan bekas dari Gereja Katolik Santa Maria. Di resmikan pada tanggal 9 Februari
2013 oleh Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni Budaya, Ahman Sya dan Lisa Tirto,
museum ini terletak di Jalan Perwira, Gundaling I, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo,
Sumatera Utara.
Relief yang terdapat pada dinding di Museum Pusaka Karo menceritakan kehidupan sukun
Karo, budaya Karo, dan pekerjaan yang biasa dilakukan masyarakat akro. Relief yang
12
Rut Mandasari Purba, “Analisis Penerapan Ornamen Tradisional Karo Pada Museum Pusaka Karo di Berastagi
Ditinjau Menurut Bentuk, Warna, Teknik dan Penempatan”, Skripsi Universitas Negeri Medan, 2015, hal. 1-
2.
8
menggambarkan budaya ataau kehidupan suku Karo merupakan suatu simbol kebanggan bagi suku
tersebut. Terdapat dua golongan pada relief Museum Pusaka Karo, yakni golongan relief yang
mengisahkan kehidupan suku Karo yang keseluruhannya berwarna emas, dan relief ornamen Karo
Ketika mengunjungi Museum Pusaka Karo, Penulis menemukan banyak sekali benda-
benda dari hasil kebudayaan nenek moyang suku Karo. Beberapa benda-benda yang sempat dicatat
Menurut keterangan yang dibaca penulis dalam teks yang terletak di samping pameran
benda ini, Tembut-Tembut Seberaya diciptakan oleh Pirei Sembiring Depari yang lahir antara
tahun 1856 atau 1886 di keluarga yang sudah mempunyai jiwa seni. Pirei Sembiring Depari
menciptakan seni pertunjukan Tembut-Tembut14 dengan awal maksud hanyalah sebagai hiburan
masyarakat semata namun tetap dilatarbelakangi bekal petualangan Pirei ke beberapa pelosok desa.
Sedikit kisah dari Tembut-Tembut Seberaya dilatarbelakangi berdasarkan pengalaman dari Kakek
Pirei yang melintasi ladang padi ketika hendak berpetualang dan melihat bagaimana rukunnya
kehidupan suku di Seberaya yang terdiri dari keluarga-keluarga yang ingin agar ladang padinya
membuahkan hasil yang besar namun banyak burung-burung yang mengganggu proses pertanian
tersebut.
Pustaka Lak-Lak.
Pustaka Lak-Lak sering disebut juga sebagai buku lak-lak. Buku ini adalah salah satu
dimana isinya berisi aksara Batak. Buku Lak-Lak terbuat dari kulit kayu. Jika dilihat sekilas sangat
13
Ryan Andika Hasugianm “Tujuan Proposal, Bentuk, dan Warna Relief pada Museum Pusaka Karo Berastagi”,
Skripsi Universitas Negeri Medan, 2019, hal. 3.
14
Tembut-Tembut berasal dari kata “nembut-nembuti” yang artinya menakut-nakuti orang yang ingin berbuat jahat.
9
mirip seperti buku dengan ukuran yang agak besar namun disusun dengan rapi berupa lipatan-
lipatan kayu. Sampul dari buku ini digorga dan ditambahkan gambar-gambar ornamen yang
menggambarkan isi dari bukunya. Getah digunakan sebagai tintanya dan ujung pisau digunakan
Bilang-Bilang
Bilang-bilang yang berupa dendang duka, biasanya di dendangkan dengan ratapan oleh
orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ratapan terhadap ibu yang telah
meninggal dunia, meratapi kasih idaman hati yang telah direbut orag lain atau pergi mengembara
ke rantau orang. Contoh dari bunyi dendang ini adalah sebagai berikut:
“Entah nidarami pe jelma ibabo taneh mekapal enda ni teruh langit meganjang enda entah
di lalit nge bagi ajangku enda suina ngegeluh....” yang artinya adalah “walaupun dicari orang
diatas tanah yang tebal ini, barang kali tidak ada yang bernasib seperti saya, hidup penuh
derita....”
Petak terbuat dari kuningan. Petak berbentuk kotak dengan ukuran tinggi kira-kira 3 cm,
panjang 11 cm, lebar 5,5 cm. Benda ini digunakan untuk tempat tembakau, gambir, pinang. Petak
Ranto ini dipergunakan oleh wanita atau laki-laki pemakan sirih. Sedangkan Kalakati terbuat dari
besi, dengan panjang 15 cm, lebar 2,3 cm. Kalakati ini memiliki motif burung dan ada juga
bermotif kuda. Fungsi dari benda ini untuk membelah pinang yang kebanyak pengguna Kalakati ini
adalah wanita pemakan sirih. Kalau laki-laki biasanya menggunakan pisau untuk membelah
pinang, karena pada umumnya laki-laki pada masa itu sering membawa pisau.
Selain keempat barang pusaka yang disebutkan, sebenarnya masih banyak koleksi yang
berada di Museum Pusaka Karo. Koleksi barang pusaka yang tidak saya cantumkan seperti Keteng-
10
Keteng yang merupakan alat musik pukul yang terbuat dari bambu dan digunakan pada saat
upacara Erpangit ku lau (berlangit ke sungai), taleng tendi, dll. Terdapat pula Kulcapi alat musik
seperti gitar yang digunakan untuk menceritakan suatu cerita dengan nyanyian seperti Kuda
Sitajur, Sitrajile-jile. Selain alat musik juga terdapat Sertali Layang-Layang Kritik, Tabu-Tabu
Irawang, Uis Julu, dan yang terakhir terdapat batu yang menggambarkan huruf-huruf dari aksara
Karo.
C. Rumah Adat Gugung Tirto Meciho (Siwaluh Jabu), Desa Sempajaya, Kecamatan
Rumah Gugung Tirto Meciho atau disebut dengan Siwaluh Jabu diresmikan bersamaan
dengan Museum Pusaka Karo pada tanggan 9 Februari 2013 oleh Direktur Jenderal (Dirjen)
Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Prof. Dr. H. M. Ahman Syah (Kriswanto Ginting’s).
Rumah adat Siwaluh Jabu paling mudah ditemui, karena peninggalannya masih tersebar di
Rumah Gugung Tirto Meciho (Siwaluh Jabu) ini terletak di Desa Sempajayaa, Kecamatan
Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara dan letaknya juga berdekatan dengan Gereja St.
Fransiskus Asisi. Ciri-ciri dari rumah adat ini ini yaitu memiliki atap ijuk dan terdapat kepala
kerbau di ujung atap bangunan. Siwaluh Jabu ialah rumah adat yang masih memegang teguh aturan
dan tradisi dari adat Karo yaitu rumah adat tersebut di huni oleh delapan kepala keluarga dan
masing-masing keluarga memiliki peranan tersendiri di dalam rumah. Pembuatan rumah adat suku
Ornamen-ornamen yang dibuat sebagai fondasi dari rumah ini memiliki arti dan maknanya
tersendiri. Misalnya seperti ornamen kepala kerbau di ujung atap rumah dipercayai akan
15
Maunsyni Syafindra (Syafindra, 2019), Makna Semiotik Atap Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu, Jurnal Basa Taka,
Vol. 2 No.2, Desember 2019, hal. 34.
11
terlindungi dari hal mistin. Selain itu masyarakat Karo juga menganggap kerbau sebagai simbol
kemakmuran. Pada masa lampau, kebanyakan penilaian serta transaksi selalu diputuskan
berdasarkan pada nilai kerbau. Selain itu, dalam membedakan status sosial seseorang dapat dinilai
berdasarkan jumlah kerbau yang dimilikinya. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa kerbau
dikatakan sebagai hewan yang dihargai di Tanah Karo. Jadi, sangat wajar jika di rumah adat Karo,
akan selalu ditemui tanduk kerbau. Penggunaan ijuk pada atap rumah adalah hal yang sederhana,
masyarakat Karo terdahulu membangun rumah seutuhnya berbahan dari alam, termasuk juga
penggunaan ijuk tentunya masyarakat Karo memiliki tujuan tersendiri untuk hak tersebut.
Lukisan yang terdapat pada atap sebenarnya begitu alami jika dilihat dari segi warnanya.
Hal tersebut dikarenakan lukisan ini diberikan warna dari bahan-bahan alami. Warna yang terdapat
dalam lukisan tersebut ada lima yaitu merah, kuning, hitam, hijau, dan putih. Kelima warna
tersebut terbuat dari bahan-bahan yang alami seperti arang, sirih, dedaunan dan lainnya. Pengretret
artinya pengikat atau pengganti paku yang merupakan ornamen yang berbentuk binatang yaitu
cicak. Masyarakat Karo percaya bahwa cicak mampu menempel dimana saja serta hidup dimana
saja.
4. KRITIK SUMBER
Kritik Sumber merupakan tahapan menguji naskah sumber seperti dokumen, narasumber,
pidato, sidik jari, foto, pengamatan, atau apapun yang menjadi sumber pengetahuan. Kritik sumber
dimaksudkan untuk menentukan otentisitas dan kredibilitas dari bahan-bahan sumber tersebut.
Pada tahap penulisan laporan ini, penulis melakukan dua kritik yaitu kritik internal dan kritik
ekstenal.
a. Kritik Internal
1. Ibu Eva
12
Beliau merupakan seorang penjaga warung yang berusia 40 tahun dan juga
penduduk lama dari Desa Sempajaya (Peceren). Menurut penulis, Ibu Eva layak dikatakan
sebagai informan dikarenakan beliau merupakan salah satu pelaku yang merasakan dampak
dari adanya kuliner Wajik tersebut. Selain itu, beliau juga seseorang yang sangat paham akan
situasi di desa tersebut seperti apa, serta menjadi pelaku dalam kerukunan yang terjalin erta
2. Pak Putri
Beliau adalah pedagang siomay yang berusia 50 tahun dengan berjualan di sekitar Jalan
Dusun V Teknol, Desa Sempajaya. Menurut Pak Putri bahwa masyarakat di desa ini hidup
dalam toleransi yang tinggi dan dampak adanya warung wajik di desa ini banyak menarik
beliau selaku pedagang siomay di sekitaran desa yang sudah berjualan cukup lama sudah
pasti layak dikatakan sebagai informan dikarenakan selain berjualan disitu, beliau juga
merupakan warga sekitar yang tidak jauh tinggalnya dari desa. Jadi, beliau layak dikatakan
sebagai informan karena beliau sendiri juga mengalami hal yang demikian.
3. Intan
Intan adalah seorang pedagang ayam penyet dan berusia 28 tahun. Ketika penulis
melakukan wawancara terhadap beliau, masih ada sedikit keraguan bagi penulis apakah
beliau layak dikatakan sebagai informan. Meski beliau sudah berdagang sejak tahun 2012,
ketika ditanya terkait dampak dari usaha warung wajik yang sudah menjadi ikonik di desa ini
beserta dampak apa saja yang ditimbulkan dengan adanya dibuka warung-warung wajik,
beliau sangat kebingungan untuk menjawab. Tetapi beliau memastikan bahwa dampak yang
ditimbulkan dengan adanya warung wajik ini membuat wisatawan ramai berkunjung dan juga
13
tidak membawa dampak negatif ke pedagang-pedagang lain di desa ini.
b. Kritik Eksternal
1. Rendy Suryawan
Beliau merupakan seorang wiraswasta berusia 30 tahun yang sedang meneruskan usaha
warung wajik milik keluarga. Alasan informasi beliau dikategorikan ke dalam kritik eksternal
karena beliau merupakan anggota keluarga dari generasi kedua di keluarga Almh. Minaisem
yang merupakan pelaku utama yang mencetuskan ide untuk membuat wajik di daerah
tersebut. Karena sepengetahuan penulis bahwa kritik eksternal merupakan sebuah kritik yang
sudah di rekonstruksi ulang dalam artian sudah diceritakan dari generasi ke generasi. Oleh
karena itu, Rendy Suryawan dikategorikan ke dalam kritik eksternal. Meski begitu, Rendy
Suryawan layak dijadikan sebagai informan karena apa yang disampaikan beliau sesuai
dengan fakta yang ada ditambah lagi beliau pelaku dalam menjalankan usaha wajik di daerah
tersebut.
Informasi yang di dapat dari keterangan-keterangan teks yang berada di samping benda
merupakan hasil karya dari seseorang ysng dituangkan ke dalam teks tersebut. Selain itu,
barang-barang peninggalan yang berada di museum hanya sedikit yang dapat dikatakan asli,
sisanya merupakan hasil buatan yang sudah di rekonstruksi dan disumbangkan ke museum
tersebut.
14
LAMPIRAN
15
Gambar 3 : Rumah Adat Gugung Tirto Meciho
(Siwaluh Jabu)
16
DAFTAR PUSTAKA
Dormauli, S. (2009). Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Etnis Jawa di Berastagi (1968-1986). Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Ginting, N., & Wahid, J. (2018). The Role of Place Identity in Planning Heritage Tourisme. Jurnal IJPD,
17.
Hasugian, R. A. (2019). Tujuan Proposal, Bentuk, dan Warna Relief Pada Museum Pusaka Karo Berastagi.
Medan: Universitas Negeri Medan.
Lucas, D. (1990). Pengantar Kependudukan. Yogyakarta: UGM Press.
Patma, A. D. (2021). Nilai-Nilai Pendidikan Sosial Dalam Tradisi Merdang Merdem Pada Masyarakat
Karo Di Desa Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Purba, R. M. (2015). Analisis Penerapan Ornamen Tradisional Karo pada Museum Pusaka Karo di
Berastagi Ditinjau Menurut Bentuk, Warna, Teknik dan Penenpatan. Medan: Universitas Negeri
Medan.
Siyo, K. (2008). Wong Jawa di Sumatera Sejarah, Budaya, Filosofi & Interaksi Sosial. Medan: Pujakesuma.
Syafindra, M. (2019). Makna Semiotik Atap Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu. Jurnal Basa Taka, 34.
17