Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KULIAH LAPANGAN

METODE SEJARAH DAN SEJARAH ETNIK

“KEBERADAAN ETNIS JAWA DAN WAJIK DI DESA SEMPAJAYA (PECEREN),


MUSEUM PUSAKA KARO, DAN RUMAH ADAT GUGUNG TIRTO MECIHO
KECAMATAN BERASTAGI, KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA”

DISUSUN OLEH:
Ade Surya Akbar
220706008

DOSEN PENGAMPU:
Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
ILMU SEJARAH
MEI 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kuliah Lapangan yang berjudul “Keberadaan
Etnis Jawa dan Wajik di Desa Sempajaya (Peceren), Museum Pusaka Karo, dan Rumah Adat
Gugung Tirto Meciho, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara”. Laporan ini
disusun guna memenuhi tugas dari Ibu Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si, pada mata kuliah
Metode Sejarah dan Sejarah Etnik Program Studi S-1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada Ibu Dosen Pengampu,
teman-teman, dan terkhususnya informan yang sudah membantu penulis dalam mengumpulkan
berbagai informasi sehingga penulis dapat menuangkan ide-ide yang dimiliki ke dalam sebuah
laporan ini. Semoga laporan ini dapat menambah wawasan bagi pembaca serta menjadi ilmu
yang bermanfaaat.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
kedepannya bisa menjadi evaluasi bagi penulis. Demikian yang bisa saya sampaikan, saya
ucapkan terimakasih.

Medan, 20 Mei 2023

Ade Surya Akbar


220706008

i
1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mencakup lebih dari 17.000 pulau yang

dihuni oleh sekitar 273 juta penduduk, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara di urutan

keempat dalam jumlah populasi terbanyak di dunia. Hal ini pula yang menyebabkan Indonesia

memiliki banyak sekali keanekaragaman budaya, etnis, agama maupun bahasa yang dapat

ditemukan di negara ini. Selain itu, Indonesia juga memiliki banyak sekali sektor pariwisata yang

menjadi pusat ekonomi terpenting di Indonesia. Pariwisata merupakan sektor industri yang sangat

strategis, karena mampu membuka peluang-peluang bisnis yang dapat dikelola oleh masyarakat

untuk meningkatkan kualitas hidupnya. 1

Berastagi merupakan salah satu kota yang terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara yang

mengembangkan sektor perekonomian terbesar bagi Sumatera Utara melalui bidang pariwisatanya.

Beberapa potensi alam di Kota Berastagi yang dijadikan sebagai tempat wisata yang ramai

dikunjungi dan diminati oleh wisatawan lokal yaitu Gunung Sibayak, Gunung Sinabung, Bukit

Gundaling dan yang lainnya. Tidak hanya potensi alamnya, Berastagi juga memiliki wisata kuliner

yang sudah jadi ikonik di wilayah tersebut. Wisata kuliner yang dimaksud terletak di Desa

Sempajaya (Peceren), Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Desa ini terkenal

akan kuliner etnis Jawa seperti Wajik dan Cendol yang menjadi ikon di desa ini. Etnis Jawa juga

terkenal di desa ini karena etnis ini sudah menjalin kerja sama dalam hal perdagangan dan hidup

rukun dengan penduduk asli di desa ini yaitu Etnis Karo. Di desa ini juga terdapat bangunan rumah

adat Karo “Siwaluh Jabu” atau wisatawan menyebutnya dengan sebutan Rumah Adat Gugung

Tirto Meciho. Selain itu, terdapat pula museum yang menyimpan berbagai koleksi barang-barang

1
Nurlisa Ginting, Julaihi Wahid, The Role of Place Identity in Planning Heritage Tourisme, Jurnal IJPD, Vol. 3 No.2,
Oktober 2018, hal. 17.

1
pusaka masyarakat Karo yang terletak tidak jauh dari Desa Sempajaya.

2. HEURISTIK

Dalam Ilmu Sejarah, heuristik dikenal sebagai salah satu metode penelitian sejarah. Jadi,

dapat dikatakan bahwa heuristik adalah serangkaian tahapan dalam pengumpulan sumber-sumber

dari berbagai jenis data penelitian sejarah yang berkaitan dengan riset perihal adat istiadat, sosial

budaya, stratifikasi sosial, dan pergaulan keseharian melalui observasi, wawancara, dokumentasi,

dan sebagainya. Secara sederhana, heuristik merupakan aturan sederhana dan efisien yang umum

digunakan manusia untuk membentuk penilaian terhadap suatu hal dan biasa digunakan untuk

membuat keputusan.

Pada tahap mengumpulkan informasi-informasi yang akan dimuat dalam laporan penelitian

ini diperlukan yang namanya metode penelitian dengan pendekatan studi kualitatif yang pada tahap

ini penulis menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah informasi atau

kesaksian dari seseorang yang pernah melihat peristiwa atau terlibat langsung dalam peristiwa

sejarah. Informasi tersebut dapat berupa tulisan, lisan, ataupun audio visual. Sumber primer dibuat

selama periode waktu masa lampau menurut sudut pandang pelaku selaku pengamat langsung

peristiwa pada masa itu. Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak

terlibat secara langsung dalam peristiwa sejarah pada masa lampau. Sama seperti sumber primer,

sumber ini bisa berupa tulisan, lisan, dan audio visual. Sumber sekunder tidak memberikan bukti

secara langsung oleh pelaku, namun sumber sekunder ini memberikan informasi yang berasal dari

data primer yang sudah di rekonstruksi atau ditafsirkan. Dalam artian, sumber sekunder merupakan

sebuah informasi yang sudah disampaikan kepada orang lain secara turun-temurun.

Sumber primer yang digunakan oleh penulis adalah informasi lisan yang disampaikan oleh

informan yang merupakan penduduk asli atau sudah lama menetap di desa tersebut. Informasi-

2
informasi yang disampaikan informan kemudian di rekam dan di dokumentasikan oleh penulis

untuk dijadikan bukti atau bahan acuan dalam menulis laporan. Selain informasi lisan, penulis juga

menjadikan objek berupa benda-benda peninggalan dan juga penelitian sebelumnya seperti buku,

jurnal, skripsi dan arsip untuk dijadikan sebagai sumber sekunder dalam laporan penelitian ini.

3. STUDI PUSTAKA

Studi Pustaka atau studi kepustakaan merupakan proses membaca sejumlah referensi yang

rata-rata berupa tulisan baik dari buku, artikel, jurnal dan yang lainnya untuk dijadikan sebagai

sumber rujukan untuk tulisan yang disusun.

A. Keberadaan Etnis Jawa dan Wajik di Desa Sempajaya (Peceren), Kecamatan

Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Desa Sempajaya (Peceren) adalah sebuah nama suatu wilayah di Kecamatan Berastagi,

Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Desa ini merupakan salah satu dari 6 Desa dan 4 Kelurahan di

wilayah Kecamatan Berastagi yang terletak 2 km ke arah timur dari Kecamatan Berastagi dan 15

km dari Ibu Kabupaten. Desa Sempajaya mempunyai luas wilayah seluas ± 650 hektar. Luas

wilayah dari desa ini mencakup persawahan, pemukiman, perkebunan atau hutan rakyat, perikanan,

hutan milik negara, pendidikan, perkantoran, lapangan, pemakaman, tempat beribadah, dan hutan

rimba.2

Penduduk Desa Sempajaya setiap tahunnya bertambah 5% populasi penduduk. Mayoritas

penduduk Desa Sempajaya 15% bersuku Karo dan 85% pendatang. Saat ini Desa Sempajaya di

huni oleh berbagai macam suku yakni Karo, Mandailing, Nias, Tapanuli, Aceh, China, dan juga

Jawa. Dengan berbagai macam suku dan agama yang ada, hal ini membuat masyarakat lebih

2
Anggi Dwi Patma, “Nilai-Nilai Pendidikan Sosial Dalam Tradisi Merdang Merdem Pada Masyarakat Karo Di Desa
Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo”, Skripsi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2021,
hal. 45.

3
menjaga solidaritasnya walaupun adanya perbedaan dalam lingkungan mereka. Hal ini pula yang

membuat masyarakat akan menjaga kerukunan dan kesatuan agar terciptanya kepentingan

bersama. 3 Seperti informasi yang disampaikan oleh salah satu informan yang sudah lama mendiami

wilayah tersebut, Ibu Eva (40) mengatakan bahwa adanya berbagai etnis di desa ini tidak menjadi

penghalang bagi masyarakat untuk hidup berdampingan dan rukun. Sehingga, desa ini tidak pernah

terjadi konflik antara dari penduduk asli di desa ini dengan suku pendatang. 4

Etnis Jawa adalah etnis yang paling besar jumlahnya di Indonesia dan secara umum banyak

mendiami Pulau Jawa. Seiring berjalannya waktu adanya masalah-masalah kependudukan di pulau

tersebut yang ditambah dengan kedatangan etnis lain tentunya dapat menambah masalah

kependudukan atau biasanya disebut dengan kepadatan penduduk. Untuk menanggulangi masalah

tersebut pemerintah mengadakan program transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari daerah

yang padat ke daerah yang jarang penduduknya, yaitu ke luar Pulau Jawa dan salah satunya adalah

Pulau Sumatera. Migrasi ini juga bertujuan agar masyarakat di Pulau Jawa dapat memperbaiki taraf

kehidupannya yang sangat sulit dilakukan di Pulau Jawa tersebut.5

Orang-orang Jawa didatangkan ke Sumatera Utara pada masa Hindia-Belanda, tepatnya

pada masa tumbuh dan berkembangnya perkebunan-perkebunan milik Belanda dan orang Eropa

untuk dijadikan sebagai pekerja-pekerja perkebunan. Mereka didatangkan dari kampung-kampung

miskin di Jawa yang sedang mengalami paceklik, melalui agen pencari kuli dengan menggoda

mereka agar bekerja ke Sumatera.6

Sedikit gambaran bahwa Berastagi merupakan daerah yang sangat subur dan sejuk yang

3
Ibid, Hal. 46-48.
4
Hasil wawancara dengan Ibu Eva pada tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 14.45 WIB, di Jalan Dusun V Teknol, Desa
Sempajaya, Berastagi.
5
David Lucas, Pengantar Kependudukan, Yogyakarta: UGM Press, 1990, hal. 1.
6
Kasim Siyo, Wong Jawa di Sumatera Sejarah, Budaya, Filosofi & Interaksi Sosial, Medan: Pujakesuma, 2008, hal.
73.

4
disertai dengan kekayaan alamnya yang melimpah sehingga sangat memungkinkan untuk

melakukan berbagai aktivitas kehidupan seperti pertanian maupun pariwisata. Aktivitas tersebut

menjadi sektor perekonomian yang paling utama di daerah ini. Sektor pertanian umumnya banyak

dikelola oleh para penduduk asli yang beretnis Karo dan Batak Toba, demikian pula dengan sektor

pariwisata yang juga dikelola oleh penduduk asli sendiri di bawah naungan pemerintah daerah.

Makmurnya Berastagi sangat menggiurkan bagi banyak orang untuk merasakan

kemakmurannya tersebut sehingga banyak orang berusaha untuk datang ke Berastagi. Akibatnya,

menimbulkan kekhawatiran bagi penduduk asli, yakni orang-orang Karo bahwa suatu saat nanti

akan tergeser kedudukannya sebagai penduduk asli ataupun pemilik daerah tersebut.7

Ketika masa Kolonial Belanda di Tanah Karo terkhususnya di Berastagi, selain dijadikan

sebagai pekerja di perkebunan-perkebunan milik Belanda, orang-orang Jawa juga banyak bekerja

sebagai pesuruh di villa-villa yang dibangun dan dimiliki oleh penguasa-penguasa Belanda. Orang

Jawa juga banyak bekerja sebagai buruh baik itu buruh tani, buruh bangunan, dan buruh lainnya.

Alasan banyak dari mereka menjadi buruh dikarenakan kurangnya kemampuan mereka dalam

mengolah tanah pertanian serta kurangnya modal. Mereka juga menggantungkan hidupnya dalam

sektor perdagangan akan tetapi masih dalam ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan

perdagangan yang dilakukan oleh penduduk beretnis Tionghoa.

Perdagangan yang dijalankan oleh etnis Jawa biasanya dengan berjualan makan-makanan

baik dalam jumlah yang besar seperti rumah makan, toko kue atau makanan, warung pecal, warung

wajik, berjualan kue keliling, berjualan bakso dan sebagainya yang sangat berkaitan dengan usaha

makanan atau masakan. Hal ini dikarenakan adanya anggapan dari suku-suku lain seperti halnya

suku Batak Toba dan kenyataan yang menyatakan bahwa orang-orang Jawa merupakan orang yang

7
Seselia Dormauli, “Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Etnis Jawa di Berastagi (1968-1986)” Skripsi
Universitas Sumatera Utara, 2009, hal. 46.

5
pandai dalam hal masak-memasak atau membuat makanan. Sehingga mereka memanfaatkan

kepandaian atau bakat mereka tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 8

Wajik merupakan makanan tradisional khas pernikahan adat Jawa yang terbuat dari bahan

dasar beras ketan, santan kelapa, dan gula merah. Kudapan yang sudah ada sejak jaman Majapahit

ini, masuk dalam jajanan klasik khas Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wajik sendiri memiliki

sebutan yang berbeda-beda di setiap tempat. Nama wajik sendiri lebih terkenal di daerah Pulau

Jawa.

Berastagi khususnya di Desa Sempajaya (Peceren), hidangan wajik merupakan makanan

yang sudah menjadi ikonik di desa ini. Banyak masyarakat pendatang khususnya Etnis Jawa yang

menjadikan makanan ini sebagai ladang usaha seperti membuka warung-warung wajik dan

diselingi dengan hidangan lain khas jawa seperti pecal, cendol, dan lainnya.

Seperti keterangan Rendy Suryawan (30) seorang wiraswasta yang meneruskan usaha

Warung Wajik dan Cendol milik keluarga, beliau mengatakan bahwa usaha wajik yang

dikembangkan narasumber sebenarnya usaha milik keluarga yang sudah diturunkan secara turun

temurun dari Zaman Kolonial Belanda, Jepang, hingga sekarang. Usaha ini bermula ketika ibunya

dari nenek narasumber yang semulanya berjualan tauco keliling menggunakan tampah berkeliling

dari asrama polisi dan diminta oleh warga Jepang pada saat itu untuk membuat cemilan dan snack

basah maupun kering. Sehingga tercetuslah ide untuk membuat hidangan wajik dan juga kacang

hijau. Tidak hanya itu saja, warga Jepang juga meminta agar dibuatkan minuman yang segar

sehingga terpikir untuk membuat cendol yang pada akhirnya menarik minat warga tidak hanya

wiarga Jepang namun juga warga lokal pada masa itu. Hal inilah yang mendasari untuk membuka

usaha dengan menun utama wajik dsan cendol yang dikembangkan sampai tahun 1947, dan

8
Ibid, hal. 48-49.

6
diteruskan hingga sekarang dan sudah memasuki Generasi Ke-2.

Beliau juga memberikan keterangan hal yang memotivasi untuk mengembangkan usaha ini

sebenarnya iseng-iseng. Namun, setelah dipikir lebih lagi ada sesuatu hal yang unik dikarenakan

usaha yang dijual berupa hidangan khas Jawa (wajik dan cendol) tetapi mereka buka usaha di

wilayah yang penduduk aslinya suku Karo. Itu sebabnya keluarga informan mempertahankan usaha

ini sampai sekarang dikarenakan memiliki keunikan tersendiri. Namun, seiring berjalannya waktu

usaha beliau ini sudah menambahkan menu-menu terbaru untuk dijual seperti pecel, bandrek,

hingga merambah ke menu masakan minang seperti Sate Padang dan juga Salak Bulek (Salak

Lauak) yang didasari karena adanya pernikahan antara keluarga beliau dan juga masyarakat dari

suku Minang. Sehingga, dapat disimpulkan pula bahwa beliau ingin mengembangkan usaha ini

dengan cara mengenalkan suatu makanan yang tidak ada di Tanah Karo ini ke penduduk asli desa

ini agar dapat merasakan dan bisa mengenali makanan tradisional dari etnis Jawa yang merupakan

suku informan itu sendiri. 9

Menurut Pak Putri (50) yang merupakan pedagang siomay di sekitaran Peceren, akibat

adanya kuliner wajik yang sudah menjadi ikonik di desa ini, membawa dampak yang baik bagi

masyarakat sekitar, karena kemunculan makanan wajik ini banyak menarik perhatian wisatawan

untuk berkunjung ke Desa Sempajaya. 10 Apa yang disampaikan oleh Pak Putri, juga dibenarkan

oleh keterangan Intan (28) yang berprofesi sebagai pedagang Ayam Penyet di Peceren 11.

9
Hasil wawancara dengan Rendy Suryawan pada tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 15.30 WIB, di Jalan Jamin Ginting
No. 38, Desa Sempajaya, Berastagi.
10
Hasil wawancara dengan Pak Putri pada tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 14.20, di Jalan Dusun V Teknol, Desa
Sempajaya, Berastagi.
11
Hasil wawancara dengan Intan pada tanggal 12 Mei 2023 pada pukul 14.25, di Jalan Dusun V Teknol, Desa
Sempajaya, Berastagi.

7
B. Museum Pusaka Karo di Jalan Perwira, Gundaling I, Kecamatan Berastagi,

Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara. suku karo juga dijadikan

sebagai salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang menjadi tempat tinggal mereka

(dataran tinggi Karo), yaitu Kabupaten Kari. Suku ini memiliki bahasa tersendiri yang disebut

Bahasa Karo atau Cakap Karo.

Masyarakat Karo umumnya memiliki unsur budaya yang menerapkan sistem religi,

organisasi masyarakat, mata pencaharian hidup, ekonomi, teknologi dan peralatan, bahasa dan

kesenian. Karena budaya masyarakat Karo berkembang menjadi masyarakat modern dan hampir

melupakan budaya tersebut. Maka dibentuklah Museum Pusaka Karo dengan harapan agar

masyarakat dapat membudayakan pelestarian atau mencegah suatu kepunahan dengan

mengumpulkan peninggalan benda-benda zaman nenek moyang dan diletakkan di museum

tersebut.12

Museum Pusaka Karo merupakan museum khusus yang dibangun atas gagasan dari seorang

misionaris Belanda yang bernama Joosten Leonardus Edigius. Gedung dari Museum Pusaka Karo

itu sendiri merupakan bekas dari Gereja Katolik Santa Maria. Di resmikan pada tanggal 9 Februari

2013 oleh Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni Budaya, Ahman Sya dan Lisa Tirto,

museum ini terletak di Jalan Perwira, Gundaling I, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo,

Sumatera Utara.

Relief yang terdapat pada dinding di Museum Pusaka Karo menceritakan kehidupan sukun

Karo, budaya Karo, dan pekerjaan yang biasa dilakukan masyarakat akro. Relief yang

12
Rut Mandasari Purba, “Analisis Penerapan Ornamen Tradisional Karo Pada Museum Pusaka Karo di Berastagi
Ditinjau Menurut Bentuk, Warna, Teknik dan Penempatan”, Skripsi Universitas Negeri Medan, 2015, hal. 1-
2.

8
menggambarkan budaya ataau kehidupan suku Karo merupakan suatu simbol kebanggan bagi suku

tersebut. Terdapat dua golongan pada relief Museum Pusaka Karo, yakni golongan relief yang

mengisahkan kehidupan suku Karo yang keseluruhannya berwarna emas, dan relief ornamen Karo

yang berwarna merah, putih, dan hitam. 13

Ketika mengunjungi Museum Pusaka Karo, Penulis menemukan banyak sekali benda-

benda dari hasil kebudayaan nenek moyang suku Karo. Beberapa benda-benda yang sempat dicatat

oleh peneliti diantaranya sebagai berikut :

 Gundala-Gundala (Tembut-Tembut Seberaya).

Menurut keterangan yang dibaca penulis dalam teks yang terletak di samping pameran

benda ini, Tembut-Tembut Seberaya diciptakan oleh Pirei Sembiring Depari yang lahir antara

tahun 1856 atau 1886 di keluarga yang sudah mempunyai jiwa seni. Pirei Sembiring Depari

menciptakan seni pertunjukan Tembut-Tembut14 dengan awal maksud hanyalah sebagai hiburan

masyarakat semata namun tetap dilatarbelakangi bekal petualangan Pirei ke beberapa pelosok desa.

Sedikit kisah dari Tembut-Tembut Seberaya dilatarbelakangi berdasarkan pengalaman dari Kakek

Pirei yang melintasi ladang padi ketika hendak berpetualang dan melihat bagaimana rukunnya

kehidupan suku di Seberaya yang terdiri dari keluarga-keluarga yang ingin agar ladang padinya

membuahkan hasil yang besar namun banyak burung-burung yang mengganggu proses pertanian

tersebut.

 Pustaka Lak-Lak.

Pustaka Lak-Lak sering disebut juga sebagai buku lak-lak. Buku ini adalah salah satu

dimana isinya berisi aksara Batak. Buku Lak-Lak terbuat dari kulit kayu. Jika dilihat sekilas sangat

13
Ryan Andika Hasugianm “Tujuan Proposal, Bentuk, dan Warna Relief pada Museum Pusaka Karo Berastagi”,
Skripsi Universitas Negeri Medan, 2019, hal. 3.
14
Tembut-Tembut berasal dari kata “nembut-nembuti” yang artinya menakut-nakuti orang yang ingin berbuat jahat.

9
mirip seperti buku dengan ukuran yang agak besar namun disusun dengan rapi berupa lipatan-

lipatan kayu. Sampul dari buku ini digorga dan ditambahkan gambar-gambar ornamen yang

menggambarkan isi dari bukunya. Getah digunakan sebagai tintanya dan ujung pisau digunakan

untuk menuliskan aksara tersebut di kulit kayu.

 Bilang-Bilang

Bilang-bilang yang berupa dendang duka, biasanya di dendangkan dengan ratapan oleh

orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ratapan terhadap ibu yang telah

meninggal dunia, meratapi kasih idaman hati yang telah direbut orag lain atau pergi mengembara

ke rantau orang. Contoh dari bunyi dendang ini adalah sebagai berikut:

“Entah nidarami pe jelma ibabo taneh mekapal enda ni teruh langit meganjang enda entah

di lalit nge bagi ajangku enda suina ngegeluh....” yang artinya adalah “walaupun dicari orang

diatas tanah yang tebal ini, barang kali tidak ada yang bernasib seperti saya, hidup penuh

derita....”

 Petak dan Kalakati

Petak terbuat dari kuningan. Petak berbentuk kotak dengan ukuran tinggi kira-kira 3 cm,

panjang 11 cm, lebar 5,5 cm. Benda ini digunakan untuk tempat tembakau, gambir, pinang. Petak

Ranto ini dipergunakan oleh wanita atau laki-laki pemakan sirih. Sedangkan Kalakati terbuat dari

besi, dengan panjang 15 cm, lebar 2,3 cm. Kalakati ini memiliki motif burung dan ada juga

bermotif kuda. Fungsi dari benda ini untuk membelah pinang yang kebanyak pengguna Kalakati ini

adalah wanita pemakan sirih. Kalau laki-laki biasanya menggunakan pisau untuk membelah

pinang, karena pada umumnya laki-laki pada masa itu sering membawa pisau.

Selain keempat barang pusaka yang disebutkan, sebenarnya masih banyak koleksi yang

berada di Museum Pusaka Karo. Koleksi barang pusaka yang tidak saya cantumkan seperti Keteng-

10
Keteng yang merupakan alat musik pukul yang terbuat dari bambu dan digunakan pada saat

upacara Erpangit ku lau (berlangit ke sungai), taleng tendi, dll. Terdapat pula Kulcapi alat musik

seperti gitar yang digunakan untuk menceritakan suatu cerita dengan nyanyian seperti Kuda

Sitajur, Sitrajile-jile. Selain alat musik juga terdapat Sertali Layang-Layang Kritik, Tabu-Tabu

Irawang, Uis Julu, dan yang terakhir terdapat batu yang menggambarkan huruf-huruf dari aksara

Karo.

C. Rumah Adat Gugung Tirto Meciho (Siwaluh Jabu), Desa Sempajaya, Kecamatan

Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara

Rumah Gugung Tirto Meciho atau disebut dengan Siwaluh Jabu diresmikan bersamaan

dengan Museum Pusaka Karo pada tanggan 9 Februari 2013 oleh Direktur Jenderal (Dirjen)

Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Prof. Dr. H. M. Ahman Syah (Kriswanto Ginting’s).

Rumah adat Siwaluh Jabu paling mudah ditemui, karena peninggalannya masih tersebar di

beberapa wilayah tanah adat Karo.

Rumah Gugung Tirto Meciho (Siwaluh Jabu) ini terletak di Desa Sempajayaa, Kecamatan

Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara dan letaknya juga berdekatan dengan Gereja St.

Fransiskus Asisi. Ciri-ciri dari rumah adat ini ini yaitu memiliki atap ijuk dan terdapat kepala

kerbau di ujung atap bangunan. Siwaluh Jabu ialah rumah adat yang masih memegang teguh aturan

dan tradisi dari adat Karo yaitu rumah adat tersebut di huni oleh delapan kepala keluarga dan

masing-masing keluarga memiliki peranan tersendiri di dalam rumah. Pembuatan rumah adat suku

Karo dilakukan secara bergotong royong. 15

Ornamen-ornamen yang dibuat sebagai fondasi dari rumah ini memiliki arti dan maknanya

tersendiri. Misalnya seperti ornamen kepala kerbau di ujung atap rumah dipercayai akan

15
Maunsyni Syafindra (Syafindra, 2019), Makna Semiotik Atap Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu, Jurnal Basa Taka,
Vol. 2 No.2, Desember 2019, hal. 34.

11
terlindungi dari hal mistin. Selain itu masyarakat Karo juga menganggap kerbau sebagai simbol

kemakmuran. Pada masa lampau, kebanyakan penilaian serta transaksi selalu diputuskan

berdasarkan pada nilai kerbau. Selain itu, dalam membedakan status sosial seseorang dapat dinilai

berdasarkan jumlah kerbau yang dimilikinya. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa kerbau

dikatakan sebagai hewan yang dihargai di Tanah Karo. Jadi, sangat wajar jika di rumah adat Karo,

akan selalu ditemui tanduk kerbau. Penggunaan ijuk pada atap rumah adalah hal yang sederhana,

masyarakat Karo terdahulu membangun rumah seutuhnya berbahan dari alam, termasuk juga

penggunaan ijuk tentunya masyarakat Karo memiliki tujuan tersendiri untuk hak tersebut.

Lukisan yang terdapat pada atap sebenarnya begitu alami jika dilihat dari segi warnanya.

Hal tersebut dikarenakan lukisan ini diberikan warna dari bahan-bahan alami. Warna yang terdapat

dalam lukisan tersebut ada lima yaitu merah, kuning, hitam, hijau, dan putih. Kelima warna

tersebut terbuat dari bahan-bahan yang alami seperti arang, sirih, dedaunan dan lainnya. Pengretret

artinya pengikat atau pengganti paku yang merupakan ornamen yang berbentuk binatang yaitu

cicak. Masyarakat Karo percaya bahwa cicak mampu menempel dimana saja serta hidup dimana

saja.

4. KRITIK SUMBER

Kritik Sumber merupakan tahapan menguji naskah sumber seperti dokumen, narasumber,

pidato, sidik jari, foto, pengamatan, atau apapun yang menjadi sumber pengetahuan. Kritik sumber

dimaksudkan untuk menentukan otentisitas dan kredibilitas dari bahan-bahan sumber tersebut.

Pada tahap penulisan laporan ini, penulis melakukan dua kritik yaitu kritik internal dan kritik

ekstenal.

a. Kritik Internal

1. Ibu Eva

12
Beliau merupakan seorang penjaga warung yang berusia 40 tahun dan juga

penduduk lama dari Desa Sempajaya (Peceren). Menurut penulis, Ibu Eva layak dikatakan

sebagai informan dikarenakan beliau merupakan salah satu pelaku yang merasakan dampak

dari adanya kuliner Wajik tersebut. Selain itu, beliau juga seseorang yang sangat paham akan

situasi di desa tersebut seperti apa, serta menjadi pelaku dalam kerukunan yang terjalin erta

dengan masyarakat pendatang.

2. Pak Putri

Beliau adalah pedagang siomay yang berusia 50 tahun dengan berjualan di sekitar Jalan

Dusun V Teknol, Desa Sempajaya. Menurut Pak Putri bahwa masyarakat di desa ini hidup

dalam toleransi yang tinggi dan dampak adanya warung wajik di desa ini banyak menarik

perhatian wisatawa untuk berkunjung ke Desa Sempajaya. Penjelasan yang disampaikan

beliau selaku pedagang siomay di sekitaran desa yang sudah berjualan cukup lama sudah

pasti layak dikatakan sebagai informan dikarenakan selain berjualan disitu, beliau juga

merupakan warga sekitar yang tidak jauh tinggalnya dari desa. Jadi, beliau layak dikatakan

sebagai informan karena beliau sendiri juga mengalami hal yang demikian.

3. Intan

Intan adalah seorang pedagang ayam penyet dan berusia 28 tahun. Ketika penulis

melakukan wawancara terhadap beliau, masih ada sedikit keraguan bagi penulis apakah

beliau layak dikatakan sebagai informan. Meski beliau sudah berdagang sejak tahun 2012,

ketika ditanya terkait dampak dari usaha warung wajik yang sudah menjadi ikonik di desa ini

beserta dampak apa saja yang ditimbulkan dengan adanya dibuka warung-warung wajik,

beliau sangat kebingungan untuk menjawab. Tetapi beliau memastikan bahwa dampak yang

ditimbulkan dengan adanya warung wajik ini membuat wisatawan ramai berkunjung dan juga

13
tidak membawa dampak negatif ke pedagang-pedagang lain di desa ini.

b. Kritik Eksternal

1. Rendy Suryawan

Beliau merupakan seorang wiraswasta berusia 30 tahun yang sedang meneruskan usaha

warung wajik milik keluarga. Alasan informasi beliau dikategorikan ke dalam kritik eksternal

karena beliau merupakan anggota keluarga dari generasi kedua di keluarga Almh. Minaisem

yang merupakan pelaku utama yang mencetuskan ide untuk membuat wajik di daerah

tersebut. Karena sepengetahuan penulis bahwa kritik eksternal merupakan sebuah kritik yang

sudah di rekonstruksi ulang dalam artian sudah diceritakan dari generasi ke generasi. Oleh

karena itu, Rendy Suryawan dikategorikan ke dalam kritik eksternal. Meski begitu, Rendy

Suryawan layak dijadikan sebagai informan karena apa yang disampaikan beliau sesuai

dengan fakta yang ada ditambah lagi beliau pelaku dalam menjalankan usaha wajik di daerah

tersebut.

2. Benda-Benda Peninggalan Museum Pusaka Karo

Informasi yang di dapat dari keterangan-keterangan teks yang berada di samping benda

peninggalan dikategorikan ke dalam kritik eksternal. Karena infomasi yang disampaikan

merupakan hasil karya dari seseorang ysng dituangkan ke dalam teks tersebut. Selain itu,

barang-barang peninggalan yang berada di museum hanya sedikit yang dapat dikatakan asli,

sisanya merupakan hasil buatan yang sudah di rekonstruksi dan disumbangkan ke museum

tersebut.

14
LAMPIRAN

Gambar 1: Surat Pernyataan Informan

Gambar 2 : Wawancara dengan Pak Putri,


Bu Eva, Intan, dan Rendy Suryawan

Gambar 3 : Gambar Gundala-Gundala, Pustaka Lak-Lak,


Bilang-Bilang, Petak dan Kalakati

15
Gambar 3 : Rumah Adat Gugung Tirto Meciho
(Siwaluh Jabu)

16
DAFTAR PUSTAKA

Dormauli, S. (2009). Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Etnis Jawa di Berastagi (1968-1986). Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Ginting, N., & Wahid, J. (2018). The Role of Place Identity in Planning Heritage Tourisme. Jurnal IJPD,
17.
Hasugian, R. A. (2019). Tujuan Proposal, Bentuk, dan Warna Relief Pada Museum Pusaka Karo Berastagi.
Medan: Universitas Negeri Medan.
Lucas, D. (1990). Pengantar Kependudukan. Yogyakarta: UGM Press.
Patma, A. D. (2021). Nilai-Nilai Pendidikan Sosial Dalam Tradisi Merdang Merdem Pada Masyarakat
Karo Di Desa Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Purba, R. M. (2015). Analisis Penerapan Ornamen Tradisional Karo pada Museum Pusaka Karo di
Berastagi Ditinjau Menurut Bentuk, Warna, Teknik dan Penenpatan. Medan: Universitas Negeri
Medan.
Siyo, K. (2008). Wong Jawa di Sumatera Sejarah, Budaya, Filosofi & Interaksi Sosial. Medan: Pujakesuma.
Syafindra, M. (2019). Makna Semiotik Atap Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu. Jurnal Basa Taka, 34.

17

Anda mungkin juga menyukai