Anda di halaman 1dari 35

KAJIAN TERHADAP MAKNA MIWIT ABEH DI DESA DAYU,

KECAMATAN KARUSEN JANANG KABUPATEN BARITO


TIMUR

PROPOSAL SKRIPSI

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana


Strata Satu (S1) Jurusan Ilmu Sosiologi Diajukan Kepada :

Oleh :

SRI LELUNI
NIM.203020701024

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2024
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Only You Can Change Your Life. Nobody Else Can Do It For You

Orang lain gak akan bisa paham struggledan masa sulitnya kita, yang mereka ingin tahu
hanya bagian Succes Storiesnya. Berjuanglah untuk diri sendiri walaupun gak ada yang
tepuk tangan, kelak diri kita di masa depan akansangat bangga dengan apa yang kita
perjuangkan hari ini.
3

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah
melimpahkan rahmat, serta kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Makna Miwit Abeh di Desa
Dayu, Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur.”
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang sedalam dalamnya kepada:

1. Kedua Orang tua, yang tidak ada hentinya untuk mendoakan penulis, memberikan
motivasi, mendukung dan memberi segala fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi dengan baik.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Salampak, MS selaku Rektor Universitas Palangka Raya
3. Bapak Bhayu Rhama, ST., MBA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
4. BapakDr.Saputra Adiwijaya, S.Sos., M.Siselaku Ketua Jurusan sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik
5. Bapak Prof. Drs. Kumpiady Widen, M.A., Ph.D dan Ibu Windi Susetyo Ningrum,
S.Hum., M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu
dan telah sabar untuk memberikan bimbingan, pengarahan, serta perhatiannya kepada
penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Bapak Dr. Saputra Adiwijaya, S.Sos., M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah banyak memberi masukan, arahan dan kritik yang sangat membantu dalam
penyusunan skripsi ini.
7. Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya yang telah membekali
penulisan dengan berbagai ilmu yang diberikan selama perkuliahan.
8. Seluruh Staf Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya yang telah
membantu penulis selama perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.
9. Semua Kerabat Keluarga yang selalu memberi dukungan serta mendoakan keberhasilan
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat ku yang telah mendukung sama satu sama lain, membantu, memberi
semangat kepada penulis selama perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.
4

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis
menerima kritik dan saran yang membangun, dan penulis berharap Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Palangka Raya, Oktober 2023

Penulis
5

DAFTAR ISI:
6

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama. Oleh
sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, pakaian,
bangunan dan karya seni. Desa Dayu yang memiliki ciri khas upacara ritual yang dikenal
dengan Miwit Abeh. Tokoh Abeh ini adalah tokoh yang dianggap suci oleh masyarakat desa
Dayu.(Effrata,2020)
Dalam upacara sebuah ritual suku Dayak disebut Miwit abeh ini merupakan ritual
dimana masyarakat Dayak melakukan pememberian makan/memberi hidup. Upacara ini
merupakan upacara untuk menghormati pelindung desa Dayu tersebut.Tradisi ini hanya
dilakukan dilakukan oleh suku Dayak Maanyan Terkususnya di Desa Dayu kecamatan
Karusen Janang Kabupaten Barito Timur,Ritual ini Biasanya akan Di adakan pada tanggal 10
di bulan Juli dan Berlangsung selama 7 hari. Ritual Ini juga berlangsung sejak tahun 1957 dan
Sampai Sekarang.(Bartim,2019)
Sebelum Masuk Pada prosesi ritual adat akan di isi oleh beberapa ritus lokal
keharingan seperti ritual persiapan belian dengan kiat tertentu yang diiringi dengan musik
tradisional, seperti kenong, agung, dan beberapa alat musik perkusi tradisional, Pesta-pesta
yang bermakna untuk memberi nuansa kegembiraan menjelang penurunan Abeh pesta ini
seperti perjudian, tari tradisional,tarung ayam. Hingga pada muaranya akan diadakan upacara
kurban binatang ternak sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih akan bantuan
sosok adikodratif ini. Upacara Penurunan akan dilaksanakan pada hari yang ketujuh yang
akan dipusatkan pada Balai/tempat bersemayamnya patung Abeh ini, sosok yang dipercaya
untuk menurunkan Abeh dari kediamannya lalah seseorang yang memiliki garis keturunan
dengan Abeh itu sendiri, dan hal itu bisa dilihat secara Patrilineal maupun Matrilineal
sehingga tidak sembarang orang yang dipercaya untuk membawa Abeh, karena jika tidak
demikian konon katanya akan terjadi hal magis di area ritual.
Dalam budaya Dayak terdapat banyak makna simbolik yang bahkan bagi generasi
muda Dayak sendiri sebagai pemilik warisan budaya, belum tentu tahu dan paham akan
makna dan tujuan dari segala aktifitas yang terdapat pada ritual upacara-upacara adat yang
dilangsungKan.Ini yang menjadikan ritual Miwit Abeh Dalam Prosesi sangat layak untuk
diteliti Ritual yang sakral bagi suku Dayak dan juga karena budaya di Indonesia harusnya
dapat dinikmati dan dipahami oleh seluruh masyarakatnya. Oleh karena itu dengan
mengangkat tema sebuah kebudayaan pada suatu masyarakat yang jarang dieksplor oleh
media atau masyarakat pada umumnya. Diharapkan dapat membantu dengan memberi
7

gambaran seperti apa ritual ini dan makna serta pesan apa yang terkandung didalamnya
dengan menggunakan analisis semiotika pada proses Miwit Abeh. Diharapkan budaya-budaya
di daerah pedalam tidak mengalami pergeseran yang siknifikan hingga mengakibatkan
kepunahan suatu budaya atau tradisi.
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti
“tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili suatu yang lainnya. Istilah semion
tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokraktik atau askepliadik dengan perhatiannya pada
samtomatologi da diagnostik inferensial. Tanda pada masa itu masih bermakna. Pada suatu
hal yang menunjuk pada hal lain. Contohnya, asap menandai adannya api. Dan secara
terminologis, semiotika. Dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas
objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2006: 95).
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang ada yaitu
menjelaskan dan menganalisis Proses pelaksanaan upacara Miwit Abeh yang ada di Desa
Dayu. Serta menjelaskan dan menganalisis makna dari Miwit Abeh. Adapun manfaat yang
dapat diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memberi pemahaman mengenai ritual Miwit
Abeh yang ada di Desa Dayu, serta menambah wawasan mengenai ritual Miwit abeh yang
ada di Kalimantan Tengah. Penelitian ini juga diharapkan mampu untuk menambah referensi
terhadap kajian sosiologi terkait dengan Ritual Miwit Abeh yang ada di Kalimantan Tengah,
serta mampu menjadikan penelitian ini sebagai bahan acuan dan referensi pada penelitian
sejenis yang dilakukan dimasa yang akan datang.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud mengkaji lebih
mendalam bentuk skripsi dengan judul “KAJIAN TERHADAP MAKNA MIWIT ABEH DI
DESA DAYU, KECAMATAN KARUSEN JANANG, KABUPATEN BARITO TIMUR”
8

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana Proses Pelaksanaan Miwit Abeh Di Desa Dayu, Kecamatan Karusen
Janang Kabupaten Barito Timur ?
2. Bagaimana Makna Miwit Abeh Di Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang
Kabupaten Barito Timur ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1. Mengkaji Dan Menganalisis Bagaimana Makna Miwit Abeh Didesa Dayu,
Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur.
2. Mengkaji Dan Menganalisis Baigaimana Cara Mempertahankan Simbol Miwit
Abeh Didesa Dayu, Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


1. Secara Teoritis

Dapat Menambah Ilmu Dan Wawasan, Serta Bahan Dalam Penerapan Ilmu
Pengetahuan Khususnya Tentang Kajian Terhadap Makna Miwit Abeh Didesa Dayu,
Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur.

2. Secara Praktis

Hasil Penelitian Ini Diharapkan Memberikan Manfaat Kepada Masyarakat Terutama


Pada Anak Muda Dalam Rangka Mengembangkan Studi Dan Memperluas
Wawasannya Mengenai Kajian Terhadap Makna Miwit Abeh Didesa Dayu,
Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DASAR TEORI
2.1.1. Teori Ideasional:
Budaya Sebagai Sistem Kognitif
Satu tema besar yang lain pada 15 tahun terakhir ini adalah kemunculan satu
antropologi kognitif yang eksplisit (juga disebut "etnogrqfi baru", "ethnoscience",
"ethnographic semantics"). Dalam prakteknya "etnografi baru" ini pada dasarnya
adalah satu pengkajian terhadap sistem klasifikasi penduduk setempat (folk
classification). Di luar metode "pengumpulan kupu-kupu" ini, juga telah muncul satu
pandangan baru dan penting terhadap budaya, yaitu budaya sebagai cognition
(pengetahuan).
Budaya dipandang sebagai sistem pengetahuan. Menurut Ward Goodenough:
Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau
dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh
anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu penomena material: dia
tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih
merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada
dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima,
menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas. Kebudayaan
terdiri atas pedoman-pedoman untuk menentukan apa . . . untuk menentukan apa yang
dapat menjadi . . . untuk menentukan apa yang dirasakan seseorang tentang hal itu . . .
untuk menentukan bagaimana berbuat terhadap hal itu, dan . . . untuk menentukan
bagaimana caranya menghadapi hal itu.
Goodenough mempertentangkan pandangan ideasionalnya tentang
kebudayaan dengan pandangan yang digunakan oleh orang orang adaptionist yang
telah didiskusikan dalam bagian terdahulu, yang melihat kebudayaan sebagai "pola
kehidupan dalam satu komuniti, yaitu: kegiatan yang terjadi berulan g kali secara ajeg
dan susunan materi dan sosial". Maka kcsimpulannya, Goodenough memandang
budaya secara epistemologi berada dalam alam yang sama dengan bahasa (langue dari
Sassure atau competence dari Chomsky), sebagai aturan-aturan ideasional yang
berada di luar bidang yang dapat diamati dan diraba. Dengan konsep yang seperti ini,
10

bahasa adalah satu subsistem dari budaya, dan peneliti antropologi kognitif berharap
atau menduga bahwa metode-metode dan model- model linguistik (seperti: yaitu
analisa komponential, emic lawan etic, kerangka eliciting, dan lain-lain) juga
memadai untuk digunakan terhadap bidang budaya yang lain. bahwa orang
antropologi kognitif telah membuat lompatan ini terlampau mudah dan telah
meminjam dari metode linguistik taksonomik yang pada masa sekarang telah
ketinggalan zaman). Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian
orang-orang antropologi kognitif ini telah mulai beralih dari keunikan sistem-sistem
kultural kepada satu usaha pencarian pola-pola universal.
Analisis budaya sebagai sistem kognitif tidak berkembang terlampau jauh di
luar usaha pemetaan terhadap daerah-daerah semantik yang terikat secara terbatas dan
ketat. Usaha-usaha penting untuk merumuskan pengetahuan kultural yang diperlukan
untuk peningkatan penampilan atau mengoperasikannya dalam situasi-situasi sosial
tertentu telah dilakukan oleh Frake, Metzger dan Williams, Wallace, Spradley, Agar
dan Iain-Iain. Namun demikian, adalah mengesankan untuk dilihat kembali bahwa
optimisme penyebaran antropologi kognitif pada mula-mula dulu ternyata pada
akhirnya hanya menghasilkan bebera pa kepingan karangan deskripsi kultural saja.
Lebih jauh, antropologi kognitif bahkan hanya menghasilkan beberapa sketsa tentatif
tentang struktur dan organisasi budaya sebagai sistem kognitif secara menyeluruh.
Pemikiran tentang "grammar kultural" telah terbukti tidak produktif dan tidak
memadai dalam menghadapi kekayaan dan kerumitan pengetahuan dan pengalaman
manusia. Bahkan lebih menyedihkan lagi, ahli "etnografi-baru" tersebut malahan
belum menyusun satu cetak biru tentang bagaimana caranya satu sistem kognitif yang
menyeluruh dapat diorganisasikan. Karena itu gambaran-gambaran rinci yang
disajikan dalam etnografi mereka tidak dapat disusun ke dalam satu kerangka yang
lebih luas. Pandangan yang kurang luas seperti ini, saya kira, telah menutupi
kenyataan tentang betapa luasnya bidang-bidang budaya yang tidak terjangkau oleh
penelitian dangkal etnografi-formal (antropologi kognitif). Saya telah menyatakan
bahwa linguistik transformasional baru memberikan beberapa pandangan yang
berguna tentang bagaimana caranya pengetahuan-kultural yang ada di belakang
struktur permukaan diorganisasikan. Di bawah ini nanti saya akan memperlihatkan
bahwa pengembangan penelitian yang terusmenerus terhadap pengetahuan-kultural
ini dapat menghasilkan penglihatan yang lebih dalam.
11

Budaya Sebagai Sistem Struktural


Di daratan Eropa, Levi-Strauss terus memperdalam pandangannya tentang
dunia simbolik manusia dan proses pikiran yang menghasilkan dunia simbolik ini.
Pada dasawarsa terakhir, pendekatan strukturalis ini telah memberi dampak yang kuat
terhadap banyak sarjana yang belajar dalam tradisi Anglo-Amerika
Tulisan-tulisan Levi-Strauss tentang budaya dan pikiran (mind) tidak hanya
makin menjalar pengaruhnya; bagaikan buku-buku suci, tulisan-tulisan tersebut telah
melahirkan buku-buku tafsiran yang terus makin besar jumlahnya. Saya tidak akan
menambahkan satu tafsiran lagi terhadap aliran ini. Di sini hanya akan diungkapkan
beberapa butir untuk menempatkan posisi pandangan Levi-Strauss dalam
hubungannya dengan hal-hal yang mendahului dan yang mengikutinya. Levi-Strauss
memandang budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama, dan merupakan
ciptaan pikiran (creation of mind) secara kumulatif. Dia berusaha menemukan dalam
penstrukturan bidang kultural (dalam mitologi, kesenian, kekerabatan, dan bahasa)
prinsip-prinsip dari pikiran (mind) yang menghasilkan budaya itu. Kondisi material
dari mata pencaharian hidup dan ekonomi memberi kendala (bukan menentukan)
bentuk dunia yang kita hidupi ini. Khususnya dalam mitologi, kondisi material
tersebut membiarkan pemikiran tentang dunia berkuasa secara bebas. Dunia fisik
tempat ma - nusia hidup memberikan bahan mentah yang diperdalam lebih jauh oleh
proses pemikiran yang universal ke dalam pola-pola yang jauh berbeda secara
substansif tetapi sama secara formal.
Pikiran (mind) memaksakan tatanan yang terpola secara kultural (satu tatanan
serba-dua yang kontras, satu tatanan hubungan dan transformasi) pada suatu dunia
yang terus-menerus berubah. Jarak antara ranah kultural (di mana manusia
memaksakan tatanan arbitrarinya) dan ranah alam, adalah satu pusat utama serbadua
yang simbolik. "Alam lawan budaya" adalah satu konsep yang paling mendasar dalam
cara melihat kontras dalam hampir semua waktu dan tempat. Khususnya dalam buku
Mythologiques, Levi-Strauss lebih memperhatikan "Budaya" daripada "sebuah
budaya"." Dia melihat struktur mitologi Indian Amerika sebagai sesuatu yang
tumpang-tindih. Struktur ini saling menghubungkan pola-pola organisasi kognitif
individu-individu Orang Baroro, atau Orang Winnebago atau Orang Mandan. Bahkan
lebih jauh struktur ini melintasi garis sempadan bahasa dan adat yang memisahkan
masyarakat yang berbeda tersebut. Karena itulah struktur pemikiran tersebut lebih
12

dipandang sebagai "Budaya", yaitu bersifat universal, daripada "sebuah budaya" yang
bersifat lokal.
Budaya Sebagai Sistem Simbolik
Jalan lain dalam membahas kebudayaan adalah dengan cara memandang
kebudayaan-kebudayaan sebagai sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama.
Pendekatan ini masih berhubungan, meskipun berbeda, dari pendekatan kognitif
Amerika dan strukturalis Eropa daratan yang telah dibicarakan diatas. Di daratan
Eropa jalan ini telah dirambah oleh Louis Dumont. Di AS pelopor yang paling
menonjol adalah dua ahli antropologi pewaris tradisi Parsons: Clifford Geertz dan
David Schneider.
Pandangan yang kuat dari Geertz terhadap budaya, yang ditunjang satu aliran
kemanusiaan yang luas, makin lama makin menjadi sistematis. Seperti Levi-Strauss,
Geertz berada pada puncak pemikirannya ketika dia menciptakan grand theory dalam
menafsirkan bahan-bahan etnografi yang khusus. Namun berbeda dari Levi-Strauss,
dia menemukan kekhususan tersebut dalam kekayaan kehidupan manusia yang
sesungguhnya: dalam satu persabungan ayam, dalam satu upacara kematian, dalam
satu peristiwa pencurian biri-biri. Bahan analisisnya bukanlah mitologi atau adat
istiadat yang tcrlepas dari konteks dan akar masyarakatnya. Bahan tersebut terikat
dengan manusia-manusia didalam tingkah laku simbolik mereka.
Geertz melihat pandangan kognitif Goodenough dan para ahli '"etnografi
baru" sebagai pandangan reduksionis dan formalistik yang kabur. Bagi Geertz, makna
tidak terletak di "dalam kepala orang". Simbol dan makna dimiliki bersama oleh
anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Simbol
dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (private). " Sistem kultural adalah
ideasional. Sama seperti ideasionalnya kwartet Beethoven. Sistem itu berada di luar
atau di antara manifestasinya dalam pikiran individu atau penampilan konkrit. Pola-
pola kultural, katanya, tidak reified atau metafisikal. Seperti batu dan mimpi, "mereka
adalah benda dalam dunia nyata".
Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik.
Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna yang dimiliki bersama.
Dengan meminjam satu arti "text" yang lebih luas dari Ricoeur, Geertz pada masa
akhir-akhir ini menganggap satu kebudayaan sebagai "satu kumpulan teks". Karena
itu antropologi merupakan satu usaha interpretation (penafsiran) bukan usaha
13

decipherment (menguraikan dengan cara memecah-mecah) (di sini Geertz


mempertentangkan pendekatannya terhadap Levi-Strauss) (lihat Geertz 28 dan 29,
him. 36; In. 38)." Dan penafsiran harus dikembangkan menjadi deskripsi mendalam
(thick description) yang harus diikatkan secara mendalam ke dalam kekayaan konteks
kehidupan sosial.
Geertz tidak punya optimisme ethnoscience bahwa aturan kultural dapat
diformalkan seperti sebuah tatabahasa, juga tidak punya ketangkasan dalam
menguraikan isi sandi seperti cara Levi-Strauss. Penafsiran teks kultural adalah
pekerjaan yang memerlukan waktu dan sulit. Bagaimana satu kebudayaan (sebagai
satu kumpulan teks) dapat dirangkum bersama, belum pernah dikerjakan dengan jelas.
Mungkin Geertz akan setuju bahwa kita masih pada tingkat awal dalam usaha
menemukan hal tersebut.
Ketika dia melangkah menggeneralisasikan agama, ideologi, dan pikiran sehat
sebagai sistem kultural, dan tentang konsep-konsep Orang Bali tentang waktu dan
manusia, suatu gambar tentang hubungan antara ranah-ranah kultural mulai muncul.
Pandangannya tentang pemulaan budaya muncul secara lebih hidup dalam satu
analogi yang dibuat oleh Wittgenstein antara bahasa kita dan sebuah kota: "satu
jaringan gang-gang dan lapangan-lapangan" yang merupakan lapisan endapan waktu,
dikelilingi oleh satu susunan pemisah gang dan lapangan yang rapi terhadap bagian-
bagian modern yang terencana adalah sama seperti bahasa formal matematika dan
sains.
Kata Geertz, budaya adalah seperti kota tua. Kota yang biasanya dikaji oleh
orang-orang antropologi. Tidak seperti kota modern, kota ini hanya punya sedikit
(itupun kalau ada) kota-kota satelit yang terencana dan itu kata Geertz, membuat
usaha orang antropologi untuk menemukan sektor-sektor yang sama dengan kota
satelit filsafat, hukum dan ilmu pengetahuan yang terencanadengan rapi di kota
ideasional tersebut menjadi sedikit semu. Analogi ini nampak hidup. Geertz telah
membuat sebuah usaha yang patut dicatat dalam menjelajahi beberapa sektor kota-
kota tua dan kacau, memperkenalkan jiwa yang subtil dari jalan-jalan dan peta kasar
mereka, dan menggeneralisasikan sektor-sektor yang sama pada kota-kota yang
berlainan. Rencana yang menyeluruh dari kota-kota budaya ini belum dapat dilihat
lagi. Di tempat lain Geertz mengingatkan mengenai bahaya dari penganalisa yang
membuat peta satu budaya dengan cara tertentu sedemikian rupa melebih-lebihkan
14

dan merapi-rapikan integrasi dan konsistensi internal nyadi mana nyatanya hanya
integrasi kecil dan seringkali yang ada hanyalah ketidakadaan hubungan dan
kontradiksi internal. Dia menciptakan perumpamaan menarik lain:"Masalah analisis
budaya adalah masalah menentukan saling ketergantungan sekaligus saling
keterkaitan, masalah menentukan jurang sekaligus jembatan. Citra yang tepat, kalau
seseorang harus punya citra, mengenai organisasi kultural, adalah bukan merupakan
jaringan laba-laba maupun onggokan pasir. Organisasi kultural lebih menyerupai
gurita yang tangan-tangannya sebagian besar terintegrasi secara terpisah, syaraf-
syarafnya kurang begitu baik berhubungan satu dengan lain dan dengan pusat kontrol
di otaknya. Namun demikian gurita tersebut mampu berputar dan melindungi dirinya,
meskipun untuk sekejap, sebagai satu gairah hidup . . ."
Satu arah yang masih berkaitan, meski sedikit berbeda, telah diambil oleh David
Schneider. Seperti Geertz, Schneider mulai dengan satu kerangka kerja aliran Parsons,
tetapi dia juga telah mengembangkannya dalam satu cara tersendiri (lebih banyak
mendekati pandangan Dumont). Pandangan Schneider tentang budaya sanngat jelas
dinyatakan dalam kata pendahuan pada bukunya American Kinship: A
CulturalAccount. Budaya menurut Schneider adalah satu sistem simbol dan makna.
Budaya merangkum kategori-kategori atau "unit-unit", dan "aturan-aturan" tentang
hubungan sosial dan perilaku. Kedudukan epistemologi unit-unit kultural atau
"things" tidak tergantung pada sifatnya yang dapat diobservasi. Baik hantu maupun
orang mati adalah kategori kultural. Aturan dan kategori tidak harus disimpulkan
secara langsung dari perilaku. Mereka berada, sedemikian rupa, pada satu bidang
yang terpisah. "Definisi unit dan aturan tidak berdasarkan atas, dibatasi oleh, ditarik
dari, dibangun sesuai dengan, atau dikembangkan dalam, bentuk observasi tingkah
laku dalam arti langsung dan sederhana.
Dan sebagaimana diperjelas oleh analisis kekerabatan Schneider, dia percaya
bahwa analisis tentang budaya sebagai sistem simbol dapat menguntungkan kalau
dilakukan secara bebas di luar "bentuk-bentuk peristiwa yang aktual" yang dapat
diamati oleh seseorang sebagai kejadian dan tingkah laku. Katanya ada pertanyaan-
pertanyaan penting yang harus diajukan tentang hubungan bidang simbol kultural dan
bidang kejadian yang dapat diamati sehingga seseorang dapat "menemukan
bagaimana bangunan-bangunan kultural muncul, hukum-hukum yang mengatur
perubahan mereka, dan dalam cara -cara apa saja mereka dihubungkan secara
15

sistematis dengan bentuk-bentuk peristiwa kehidupan yang aktual". Tetapi dalam


tulisannya akhir-akhir ini dia lelah me - milih untuk meninggalkan tugas itu kepada
orang lain.
Lebih baru lagi, Schneider telah mengembangkan dan memperjelas konsepsi
budayanya. Dia membedakan satu level aturan atau norma "bagaimana melakukan
ini" yang mengajarkan seseorang perilaku tentang bagaimana caranya berlayar dalam
dunia sosialnya. Namun dalam analisis kultural dia ingin mengambil satu langkah
yang lebih jauh, memisahkan "sistem simbol dan makna yang melekat dalam sistem
normatif, tetapi satu aspek yang khas darinya (yang) dapat dengan mudah
diabstraksikan darinya"
"Yang saya maksudkan dengan simbol dan makna adalah premis-premis dasar
yang disimpan oleh satu budaya untuk hidup; terdiri atas apakah unit-unitnya;
bagaimana unit-unit itu didefinisikan dan dibedakan dari yang lain; bagaimana unit-
unit itu membentuk satu tatanan atau klasifikasi yang terintegrasi; bagaimana dunia
disusun secara teratur; dalam bagian-bagian apa dia terdiri dan di atas premis-premis
apa dia diterima berada, kategori dan klasifikasi berbagai bidang dunia laki-laki dan
bagaimana mereka menghubungkan satu dengan yang lain, dan dunia yang dilihat
sebagai tempatnya hidup"
Karena kontras yang dibuat Schneider antara tingkat "normatif dan tingkat "kultural"
secara konseptual adalah penting, baik juga untuk mengutip penjelasannya agak lebih
panjang:"Kalau sistem normatif adalah sesuatu yang berpusat pada Ego dan
khususnya sesuai dengan model-model analisis interaksi atau perbuatan-keputusan,
maka kebudayaan adalah sesuatu yang berpusat pada sistem Budaya menempatkan
posisi manusia berhadapan dengan dunia ketimbang posisi seorang manusia dalam
caranya bergaul dengan dunia sebagaimana yang dibcrikannya Budaya berhubungan
dengan panggung, setting panggung, dan casting pemain; sistem normatif terletak
pada pengarahan panggung terhadap para pelaku dan bagaimana pelaku harus
memainkan bagian-bagiannya di atas panggung yang telah diatur sedemikian rupa.
Schneider selanjutnya mempertentangkan pendekatannya dalam analisis
kultural dengan pendekatan Geertz. Dia melihat Geertz lebih terikat kepada asumsi-
asumsi Weberian (sebagai yang dilakukan Parsons). Satu ranah dari sistem sosial
(kekerabatan, atau agama, atau ekonomi, atau politik) dikorek ke luar, dan ranah
kultural yang berhubungan dengan itu dianalisis. Satu analisis kultural yang murni
16

dapat melacak dengan baik interaksi simbol, premis, dan prinsip susunan di mana saja
mereka muncul. Dan satu peta sistem kultural sebagai satu peringkat yang terpisah,
katanya, akan terlihat sangat berbeda daripada satu interpretasi tentang korelasi
kultural dari institusi sosial. Pada akhirnya dia mengusulkan satu analisis kultural
yang murni yang "tidak tercemar oleh kajian tentang sistem sosialnya". Dan hanyalah
setelah tugas awal yang logis ini (untuk pelacakan hubungan antar bidang-bidang
kultural, sosial, dan psikologi), dapat dikerjakan maka kehidupan sosial dari suatu
masyarakat atau tindakan-tindakan individu dapat dimengerti.
2.2.1 Teori Ritus
Dalam bukunya itu Robertson Smith memiliki tiga gagasan penting mengenai
asas-asas dari religi atau agama secara umum. Gagasan yang pertama, bahwa
kepercayaan dan dogma bagi pengetahuan religi penting daripada ritual, sistem
upacara merupakan suatu perwujudan religi atau agama yang memerlukan studi dan
analisa yang khusus. Gagasan yang kedua, mengenai makna sosial religi. Gagasan
yang ketiga, ialah tentang teori persembahan korban yaitu menurut smith adalah
bentuk persembahan korban tertua. dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor
binatang, terutama darahnya kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging
dan darahnya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ritus berarti tata cara dalam
upacara keagamaan. Upacara ritual Tiwah merupakan ritual para penganut
Kaharingan, kepercayaan suku Dayak. ritual ini merupakan bagian dari penyatuan
dalam bentuk religi yang kemudian religi yang dilakukan adalah bagian dari
kehidupannya yang tidak dipisahkan.
2.2.2 Teori Rekonstruksi
Suatu pendekatan dalam antropologi yang berfokus pada pemahaman makna
budaya melalui rekonstruksi kembali konsep-konsep dan praktik-praktik budaya yang
ada. Dalam konteks kajian terhadap makna Tradisi Ritual Miwit Abeh, Rekonstruksi
akan mencoba menggali serta mengartikan kembali aspek-aspek yang terkait dengan
ritual tersebut.
Penelitian akan merinci setiap elemen Tradisi Ritual Miwit Abeh, seperti tata
cara, simbol-simbol, dan tujuan dari ritual tersebut. Selanjutnya, Rekonstruksi akan
mencoba memahami konteks historis, sosial, dan budaya di mana ritual ini muncul.
Hal ini mencakup penyelidikan terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat
yang mungkin memengaruhi evolusi ritual tersebut.Dalam upaya untuk menggali
17

makna, teori Rekonstruksi akan melibatkan analisis mendalam terhadap narasi atau
mitos yang terkait dengan Tradisi Ritual Miwit Abeh. Ini melibatkan dekonstruksi
elemen-elemen mitos untuk memahami lapisan-lapisan makna yang mungkin
tersembunyi di dalamnya.
Penting untuk diingat bahwa pendekatan Rekonstruksi tidak hanya mencakup
dimensi sejarah dan tekstual, tetapi juga mencoba menggali pemahaman eksperiensial
dan simbolis yang terlibat dalam pelaksanaan ritual. Ini bisa melibatkan wawancara
dengan praktisi ritual, observasi langsung, dan analisis semiotik terhadap simbol-
simbol yang digunakan.

2.2. HASIL RISET TERDAHULU


Agar penelitian ini tidak tumpang tindih dengan penelitian lainya, maka dalam
hal ini sangat dperlukan kajian penelitian terdahulu dari berbagai referensi. peneliti
menemukan beberapa hasil penelitian sebelumya yang memiliki kaitanya dengan
penelitian ini adapun kajian penelitian terdahulu yang dimaksud oleh peneliti sebagai
berikut:
Pertama, penelitian terdahulu yang di lakukan oleh E Effrata dalam penelitian
berjudul “Peran pemerintah dalam melestaraikan ritual miwit Abeh diDesa Dayu,
Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur".Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis peran pemerintah desa dalam melestarikan ritual Miwit
Abeh di desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur serta
mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambatnya. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu
menggunakan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa Salah satu
bentuk dari dukungan dari pemerintah Desa Dayu terhadap tradisi ritual Miwit Abeh
yaitu, menyediakan sarana dan prasarana berupa rumah adat dan ikut berpartisipasi
melibatkan diri dalam pelaksanaan tersebut. Faktor pendukung dalam melestarikan
ritual Miwit Abeh yaitu selain dari peran pemerintah khususnya pemerintah desa juga
dari masyarakat desa yang ikut mempromosikan melalui media masa. Faktor
penghambat internal yang menjadi penghambat yaitu sikap individu di dalam
masyarakat untuk lebih mencintai tradisi sendiri masih sangat rendah, adapun faktor
eksternalnya adalah munculnya acara-acara modern seiring perkembangan zaman
18

yang menarik perhatian kaum muda khususnya, sehingga mengurangi minat mereka
akan ritual-ritual tradisional yang mereka anggap kuno.
Dapat disimpulkan bahwa peran pemerintah khususnya pemerintah desa
sangat mempengaruhi dalam pelestarian budaya-budaya khususnya ritual Miwit Abah
yang sudah ada sejak turun temurun. Menjadi tantangan semua pihak baik pemerintah
amaupun masyarakat agar bisa menumbuhkan sikap peduli budaya kepada generasi
selanjutnya agar ritual seperti Miwit Abeh ini tidak musnah.
Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah:
 Objek yang diteliti adalah sama-sama Ritual Miwit Abeh di Desa Dayu,
Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur.
 Jenis dan metode pendekatan penelitian yang digunakan sama-sama
menggunakan metode deskriftif kualitatif.

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah:


 Teori yang digunakan dalam penelitian sebelumnya adalah teori peran
pemerintah dalam melestarikan miwit abeh, sedangkan teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori ideasional Kebudayaan.
 Fokus dalam penelitian sebelumnya adalah peran pemerintah dalam
melestarikan ritual miwit abeh, sedangkan pada penelitian ini fokusnya kajian
terhadap makna miwit abeh.

Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Suwito dalam penelitiannya Berjudul


“Upacara Mamapas Lewu Pada Masyarakat Hindu Kaharingan Di Desa Petak
Bahandang Kecamatan Tasik Payawan Kabupaten Katingan”. Jenis Penelitian ini
merupakan Analisis Deskriptif Kualitatif.Berdasarkan hasil Penelitian ini, fungsi dan
makna tentang upacara mamapas lewu akibat perzinahan pada masyarakat Hindu
Kaharingan di Desa Petak Bahandang Kecamatan Tasik Payawan Kabupaten
Katinganada beberapa hal penting yang dapat disimpulkan bahwa tatacara upacara
mamapas lewu akibat perzinahan pada masyarakat HinduKaharingan di Desa Petak
Bahandang Kecamatan Tasik Payawan Kabupaten Katingan adalah diawali dengan
mempersiapkan sarana dan prasarana upacara, setelah beberapa sarana tersebut telah
dipersiapkan, maka seluruh keluarga yang melaksanakan upacara tersebut bersama-
sama mendirikan pash pali tersebut di pinggir sungai, hal itu dilakukan secara
bergotong royong (habaring hurung) bersama masyarakat sekitarnya.Setelah itu baru
upacara mamapas lewu akibat perzinahan dilaksanakan mulai dari pisor
19

melaksanakan duduk menawur (Hataburan BulauUrai) menuju Ganan Pali dengan


mempersembahkan sesajen agar tidak mengganggu lagi.
Fungsi upacara mamapas lewu akibat perzinahan bagi masyarakat Hindu
Kaharingan di Desa Petak Bahandang Kecamatan Tasik Payawan Kabupaten
Katingan adalah mempunyai fungsi yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan,
keharmonisan dan keselamatan dunia. Fungsi upacara tersebut ditinjau dari dua arah
yaitu Fungsi Religius dan fungsi sosial, dari kedua fungsi tersebut mengarahkan ke
hal pelaksanaan upacara ritual sebagaimana menurut fungsi religius adalah untuk
memuja Tuhan dan sesama manusia. Dalam hal ini suatu persembahan yang
dilakukan rohaniawan (Pisor) telah banyak berkorban untuk membantu proses
pelaksanaan upacara mamapas akibat perzinahan dengan menggunakan berbagai
sarana bersifat sakral atau profan kaya akan simbol. Sedangkan fungsi sosial adalah
menciptakan ikatan bersama dalam mengambil keputusan di dalam mensucikan di
lingkungan keluarga, dilingkungan masyarakat dengan memenuhi kewajiban-
lewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka berdasarkan kesepakatan
bersama, sehingga upacara mamapas lewu akibat perzinahan ini dapat diwariskan
kepada generasi berikutnya sebagai ikatan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Makna
upacara mamapas lewu akibat perzinahan bagi masyarakat Hindu Kaharingan di Desa
Petak Bahandang Kecamatan Tasik Payawan Kabupaten Katingan, pada hakikatnya
adalah sebagai perwujudan simbol-simbol ketuhanan yang mempunyai makna yang
tinggi Lewu Dalam hal manusia memuja kebesaran Tuhan beserta semua
manifestasinya, karena segala yang akan terjadi dikarenakan atas kehendak Ranying
Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa). Makna tersebut dapat ditinjau dari makna sasajen
dan ritualnya.
Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah:
 Jenis dan metode pendekatan penelitian yang digunakan sama-sama
menggunakan metode deskriftif kualitatif.
 Dalam simbol dan makna sama-sama menujukan bahwa kajian akan berfokus
pada analisis budaya yang terkandung dalam suatu tradisi dan praktik
masyarakat.

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah:


 Lokasi dalam penelitian sebelumnya berada di Di Desa Petak Bahandang
Kecamatan Tasik Payawan Kabupaten Katingan sedangkan dalam penelitian
20

ini berlokasi di Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito


Timur.
 Objek dalam penelitian sebelumnya adalah Upacara Mamapas Lewu Pada
Masyarakat Hindu Kaharingan sedangkan dalam penelitian ini objeknya
Tradisi Masyarakat Miwit Abeh.
Ketiga, Penelitian yang dilakukan Oleh Ina Malania Dalam Penelitian Berjudul “
Ritual Tiwah Sandung Runi dan Tiwah Sandung Tulang ( Studi kasus keluarga Gi dan
keluarga Ru di Desa Bangkal Kecamatan Seruyan Raya Kabupaten Seruyan.
Penelitian ini mengunakan Jenis Penelitian Pendekatan Kualitatif dengan Metode
pengumpulan data melalui Obsevasi,Wawancara,dan Dokumentasi.
Hasil penelitian ini dianalisis dengan teori ritus bahwa masyarakat desa Bangkal
yang melaksanakan Ritual Tiwah ini tidak memandang agama, latar belakang.
Masyarakat desa Bangkal akan melaksanakan Tiwah ini bersama-sama ketika ada
keluarga mereka yang meninggal dan masih menganut agama Kaharingan. Dalam
kehidupan sehari- hari umat Kaharingan dituntut untuk selalu menjaga hubungan baik
dengan sesama manusia, dengan Tuhan (ilah), Roh Leluhur, dan dengan lingkungan
alam sekitar. Dalam upacara ini juga menggunakan simbol-simbol seperti alat-alat
yang sangat wajib dan sakral dalam upacara tersebut seperti agung, gandang,
kalenang, katambung, lunju, behas bahenda, Mandau dan hewan kurban seperti
bawui, manuk merupakan binatang yang utama untuk persembahan dan diikuti
berbagai macam alat dan bahan lainnya yang dibutuhkan dalam upacara tersebut.
Dianalisis dengan teori religi bahwa ritual Tiwah merupakan sebuah ritual religi yang
berkaitan dengan ritual pemeluk agama Kaharingan, dengan pelaksanaan Ritual
Tiwah ini masyarakat desa Bangkal khususnya mempercayai bahwa setelah
melakukan ritual Tiwah ini mereka meyakini bahwa tidak akan mendapatkan segala
sial, sakit-penyakit, mimpi buruk, tidak terganggu lagi ataupun tidak merasa ada
beban lagi.
Adapun tujuan penelitian ini yaitu menjelaskan dan menganalisis pelaksanaan
upacara Tiwah Sandung Runi dan Tiwah Sandung Tulang yang ada di Desa Bangkal.
serta menjelaskan dan menganalisis makna dari upacara Tiwah Sandung Runi dan
Sandung Tulang. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
untuk memberi pemahaman mengenai ritual Tiwah Sandung Runi dan Tiwah
21

Sandung Tulang yang ada di Desa bangkal, serta menambah wawasan mengenai ritual
Tiwah Sandung Runi dan Tiwah Sandung Tulang yang ada di Kalimantan Tengah.
Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah:
 Jenis dan metode pendekatan penelitian yang digunakan sama-sama
menggunakan metode deskriftif kualitatif.
 Dalam simbol dan makna sama-sama menujukan bahwa kajian akan berfokus
pada analisis budaya yang terkandung dalam suatu tradisi dan praktik
masyarakat.

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah:


 Fokus dalam penelitian sebelumnya adalahpelaksanaan upacara ritual Tiwah
Sandung Runi dan Tiwah Sandung Tulang di Desa Bangkal serta tujuan dari
pelaksanaan upacara Tiwah Sandung Runi dan Sandung Tulangsedangkan
pada penelitian ini fokusnya kajian terhadap makna miwit abeh.
 Lokasi dalam penelitian sebelumnya berada di Di DesaBangkal Kecamatan
Seruyan Raya Kabupaten Seruyan sedangkan dalam penelitian ini berlokasi di
Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur.

2.3. KERANGKA BERPIKIR

Aneka Budaya
Indonesia

Kelompok Ritual
Tradisional

Miwit Abeh

Sejarah dan Budaya Perencanaan hingga


Pelaksanaan

Tradisi khas Barito Pengangkatan Ekonomi


Timur Potensi Wisata Masyarakat Sekitar
22

2.4.1 Pengertian Ritual Miwit Abeh Menurut Masyarakat Desa Dayu


Ritus Keramat abeh “Miwit Abeh” Berasal dari kata tunggal Miwit yang
berarti memberi makan/memberi hidup. Ritual dilaksanakan secara berkala setiap
tahun tepatnya pada bulan Juli tanggal 10 , namun sebelum Ritual akan diadakan perta
adat serta kurban sebegai bentuk persiapan akan penyambutan penurunan Abeh.

2.4.2 Pelaksanaan upacara ritual miwit Abeh di Desa Dayu.


Dalam upacara tradisional terkhususnya tradisi ritual miwit abeh, menerima
perbedaan itu bukan suatu beban yang mengurangi hikmatnya upacara. Hal ini
menjelaskan bagaimana ritual miwit abeh secara fungsional berguna untuk
menyalurkan dan menjembatani emosi yang bersifat individual, untuk penyembahan,
kompromi dengan benda-benda gaib.
Selain itu media massa mempunyai peranan dalam hal pelestarian budaya.
Sebuah tradisi dapat berkembang dan tetap dilestarikan juga dikenal oleh banyak
orang salah satunya yaitu,tradisi ritual miwit abeh di Desa Dayu yang dulu hanya
diketahui oleh segelintir orang dan desa yang ada di sekitar Kabupaten Barito Timur
sekarang semakin berkembang dan dikenal oleh berbagai daerah bahkan sudah
banyak yang melakukan penelitian terkait upacara ritual miwit abeh karena sejarahnya
yang begitu menarik dan mengesankan.
Berkat adanya media massa yang menjadi sarana pemberitaan atau
publikasinya dalam aneka wujud postingan foto, video yang beredar di internet,
berita,artikel, tentang tradisi ritual miwit aneh yang ada di Desa Dayu sekarang
menjadi dikenal oleh banyak orang bahkan sudah diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Barito Timur pada tahun 2017 yang berjudul “Upacara
Ritual Miwit Abeh”.

2.4.3 Fungsi upacara ritual miwit abeh di Desa Dayu


Abeh adalah patung yang awalnya berbentuk manusia dan menyerupai
seorang kakek tua, dikeramatkan oleh masyarakat karena pada zaman dahulu di desa
Dayu terjadi malapetaka yang masyarakat sebut rume (kiamat). Kejadian tersebut
mengagetkan pihak keluarga ataupun masyarakat karena berubahnya seorang kakek
23

menjadi patung sehingga masyarakat menamai patung tersebut dengan Patung Abeh.
Dalam upaya masyarakat tentu perlu dukungan karena tidak menutup kemungkinan
bahwa nilai-nilai lokal akan terkikis seiring perkembangan yang ada. Maka oleh sebab
itu, perlu kiranya tradisi ritual miwit abeh ini di ketahui oleh masyarakat luas tidak
hanya dikalangan Suku Dayak Ma’anyan. Selain itu, kecintaan terhadap nilai-nilai
budaya lokal semakin berkurang. Padahal niai-nilai lokal merupakan nilai yang
mengandung makna yang tinggi bagi penganutnya. Oleh sebab itu, pelestarian budaya
dipandang penting untuk tetap menjaga ciri khas suatu daerah sebagai sebuah
identitas dari pemerintah khususnya pemerintah desa dalam melestarikan ritual Miwit
Abeh ini agar tidak musnah di tengah perkembangan zaman. Untuk itu dilakukan
penelitian untuk menganalisis peran pemerintah desa dalam melestarikan ritual Miwit
Abeh di desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur dan apa
saja yang menjadi tantangan dan hambatan dalam melestarikan budaya tersebut
Di mulai pada tahun 1300 awal mulanya keramat patung abeh tersebut sampai
dengan tahun 1956 prosesi ritual miwit abeh dilaksanakan hanya tiga hari lamanya
karena sebelum prosesi ritual miwit abeh ini dimulai terlebih dahulu masyarakat
bersama mantir adat dan belian melakukan “Basagur Miwit Sarit Sampar” yaitu
prosesi ritual menjauhkan diri dari malapetaka,sakit penyakit,dan bahaya yang
mengancam masyarakat Desa Dayu, prosesi ini dilakukan di setiap batas Desa Dayu
dan desa lain yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali beriringan dengan prosesi
ritual miwit abeh tepatnya pada bulan juli setelah panen padi Setelah prosesi
barangsur selesai dilanjutkan dengan melakukan rapat bersama dengan Kepala Desa
dan Perangkat Desa lainnya terkait pelaksanaan ritual miwit abeh dimulai dengan
membahas pembersihan Balai Adat, memanggil wadian (Belian), keluarga keturunan
abeh dan mempersiapkan “Pendudukan” yaitu persyaratan sesajian mentah atau
bahan/simbol ritual miwit abeh yaitu berupa :
1. Manu biring 1
2. Ketupat pakinkin 9.
3. Gula merah bulat.
4. Niuy bulat.
5. Sangku dite longkong.
6. Tumpi kaluwit.
7. Bakam ilau tabingkar kalanis.
24

8. Weah kuning

2.4.4 Makna Upacara ritual miwit abeh di Desa Dayu


Makna dilaksanakan prosesi ritual miwit abeh tidak hanya memberi makan tetapi juga
masyarakat dipersilahkan mengikuti upacara tersebut serta bernazar ataupun menahur
hajad atas apa yang adisi, maka masyarakat juga yang harus menjaga,
mempertahankan dan melestarikan tradisi tersebut. Salah satu ciri masyarakat yang
maju adalah kemampuan mereka dalam menjaga dan melestarikan tradisi yang ada di
Desa Dayu Kecamatan Karusen Janang.

Pengertian Desa Dayu dan Legenda Abeh


Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang memiliki tokoh legenda yang cukup
terkenal. Seorang tokoh pelindung kampung yang bernama Abeh. Tokoh Abeh ini
adalah tokoh yang dianggap suci oleh masyarakat desa Dayu. Dan setiap tahun pada
tanggal 10 di bulan Juli diadakan ritual “Miwit Abeh” yang berlangsung selama 7
hari. Ritual ini berlangsung sejak tahun 1957 untuk menghormati pelindung desa
Dayu tersebut.
1. Riwayat Desa Dayu

Pada mulanya desa Dayu disebut dengan nama Mawuntu. Mawuntu berasal
dari kata Mawitu dalam bahasa Ma’anyan yang berarti lurus. Desa ini dibangun
setelah Kerajaan Nansarunai hancur dan rakyatnya terpencar ke beberapa tempat.
Beberapa di antaranya adalah para pendiri desa, yang bermimpi untuk berjalan lurus
menuju daerah yang memiliki 2 sungai dengan air berwarna merah dan jernih yang
berbatasan sebagai tempat kediaman mereka yang baru. Tempat yang mereka datangi
adalah wilayah yang sesuai harapan. Setelah beberapa lama mereka diserang
sekelompok semut merah dalam jumlah besar yang memaksa mereka untuk pindah.
Sebagian bersedia untuk pindah sebagian lagi keberatan. Sebagian berkata “Ada” atau
jangan. Sebagian lagi berkata “Hayu” atau ayo. Maka dari dua kata tersebut, Ada dan
Hayu, terbentuklah nama desa Dayu.
2. Riwayat Abeh

Dahulu kala desa Dayu hidup masih dirongrong oleh gangguan dari pihak lain
dari luar, sehingga desa mengutus Patis Burung dan Patis Layang untuk menemukan
pemimpin baru seperti ketika mereka hidup di kerajaan Nansarunai. Maka kedua
25

orang tersebut bertapa kepada Sang Hiang Madu Wasa untuk diberikan seorang pria
yang bisa melindungi desa. Ketika mereka berdoa di sebuah pohon tinggi tiba-tiba
mereka melihat seekor ayam jantan berwarna merah tua yang sangat sulit ditangkap.
Setelah mereka berdoa lagi, ayam itu mendekat dan dapat ditangkap dari atas pohon.
Setelah turun dari pohon, ayam jantan itu berubah menjadi bayi yang bernama
Damung Uluy Undru. Bayi itu kemudian tumbuh besar, menikah dan memiliki
banyak keturunan.
Suatu ketika, Damung Uluy Undru sudah tua dan anak-anak serta cucunya
pergi berladang, terjadilah hujan badai disertai guntur dan kilat. Damung Uluy Undru
yang sedang menenun, masuk ke dalam sebuah guci. Keluarganya yang pulang
berladang kebingungan mencari bapak tua itu, sampai mereka menemukan sebuah
patung seperti manusia di dalam guci tersebut. Mereka pun berkomentar: “Beh ina lah
hi Datu/ Kakah”. Dari situlah muncul gelar Abeh yang kita kenal sekarang. Malam
harinya semua warga berkumpul karena kejadian aneh tersebut. Mereka heran
mungkinkan manusia bisa berubah menjadi sebuah patung. Salah satunya tertidur dan
bermimpi. Di dalam mimpinya Damung Uluy Undru datang menjelaskan bahwa
memang ia sudah berubah menjadi patung dan berjanji akan menjaga desa selama
turun temurun. Ia berkata bila warga desa ingin menemuinya cukup dengan
mengadakan ritual tersendiri dan memanggilnya dengan sebutan Abeh tersebut. Dari
sanalah ritual Miwit Abeh dilaksanakan teratur setiap tahun.
Beberapa kisah kegaiban Keramat Abeh:
Pada Saat Jaman Belanda
Saat terjadi perang Banjar, pihak Kesultanan meminta bantuan kepada
penduduk di Daerah ini untuk melawan Belanda. Saat itu orang-orang yang terpilih
berperang meminta perlindungan kepada Abeh. Menurut cerita pasukan Dayak yang
dikirim tidak ada satupun yang mati terbunuh.
Pernah juga ketika terjadi peperangan di Tuja. Belanda berencana untuk
membumi hanguskan Desa Dayu dengan menembakkan meriam-meriam. Namun
anehnya tembakan itu berbelok arah ketempat yang tidak ada penduduknya.
Pada Saat Jaman Jepang
Pada saat jaman Jepang yang terkenal akan kekejamannya, masyarakat Dayu
tidak merasakannya karena Jepang tidak punya niat berbuat jahat disana.
Pada Saat Perjuangan Simbar
26

Simbar adalah salah satu pejuang Dayak yang kontroversial, ia dianggap


pembangkang oleh Pemerintah Pusat RI saat itu karena keinginannya untuk
mendirikan Propinsi Kalimantan Tengah yang terpisah dari Kalimantan Selatan. Saat
itu keinginan Simbar adalah mendirikan Ibu Kota Propinsi di Buntok. Dalam
perjuangannya Simbar mengangkat senjata melawan Tentara Indonesia walau tidak
ada tujuan untuk mendirikan negara sendiri.
Saat itu militer tentara dikerahkan untuk mencari dan menangkap Simbar yang
kabarnya bersembunyi di Desa Dayu ini. Kala itu militer memotong Jembatan Lubuk
Wenu yang menghubungkan Desa Dayu dengan harapan mengisolasi Desa Dayu.
Para militer saat itu tinggal dan menginap disekitaran Pasar Dayu dan sebagian di
rumah warga. Entah kenapa tiba-tiba saja banyak kucing bermunculan di Desa Dayu,
entah dari mana datangnya. Hal ini dianggap sebagai kehadiran Abeh.
Pada Saat Kerusuhan Sampit
Pada saat konflik berdarah di Sampit tahun 2001 yang lalu, banyak warga
Dayu yang merantau kesana memohon perlindungan dari Abeh ceritanya mereka
semua keluar dari Sampit dengan aman.
Setiap tahunnya akan dilakukan acara Belian untuk memberi makan Abeh.
Biasanya acara ini dilakukan selama 3 hari. Malam pertama acara Malam Luput,
malam kedua disebut siawet manru, dan malam ke tiga disebut siawet puja dan
mendirikan bluntang.
Biasanya yang hadir dalam acara ini adalah warga Desa Dayu dan juga orang-
orang yang membayar niat hajat yang terkabul. Jika ada orang yang permohonannya
terkabul tetapi tidak menepati / melengkapi janji niatnya tadi konon katanya akan
terdengar suara petir kilat dan angin topan pada saat siang hari bolong.
Patung Abeh ini konon bisa berubah-ubah bentuk jika dalam kondisi damai
maka wujud patung ini menggunakan jas lengkap namun jika ada kondisi perang,
wujud Abeh ini maka akan terlihat ia menggunakan topi perang. Dipercaya juga
patung Abeh ini bisa menggaib dari tempat ia disemayamkan, namun pasti akan
kembali lagi. Baik itu karena dicuri atau dipindahkan. Dan hanya keturunan Abeh lah
yang bisa menurunkan patung Abeh ini. Jika bukan keturunanya konon patung ini
tidak akan mau dan melompat dari tangan orang itu, bahkan ada yang sampai
tangannya terbakar. Demikianlah kisah singkat tentang Keramat Abeh-Pantheon
(Dewa Pelindung masyarakat Desa Dayu).
27

3. Tradisi Upacara Ritual Miwit Abeh

Dalam upacara tradisional terkhususnya tradisi ritual miwit abeh, menerima


perbedaan itu bukan suatu beban yang mengurangi hikmatnnya upacara. Hal ini
menjelaskan bagaimana ritual miwit abeh secara fungsional berguna untuk
menyalurkan dan menjembatani emosi yang bersifat individual, untuk penyembahan,
kompromi dengan benda-benda gaib.
Di mulai pada tahun 1300 awal mulanya keramat patung abeh tersebut sampai
dengan tahun 1956prosesi ritual miwit abeh dilaksanakan hanya tiga hari lamanya
karena sebelum prosesi ritual miwit abeh ini dimulai terlebih dahulu masyarakat
bersama mantir adat dan belian melakukan “Basagur Miwit Sarit Sampar” yaitu
prosesi ritual menjauhkan diri dari malapetaka,sakit penyakit,dan bahaya
yangmengancam masyarakat Desa Dayu, prosesi ini di lakukan disetiap batas Desa
Dayu dan desa lain yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali beriringan dengan
prosesi ritual miwit abeh tepatnya pada bulan juli setelah panen padi. Setelah prosesi
basagur selesai dilanjutkan dengan melakukan rapat bersama dengan Kepala Desa dan
Perangkat Desa lainnyaterkait pelaksanaan ritual miwit abeh dimulai dengan
membahas pembersihan Balai Adat, memanggil wadian (Belian), keluarga keturunan
abeh dan mempersiapkan “Pidudukan” yaitu persyaratan sesajian mentah atau
bahan/simbol ritual miwit abeh yaitu berupa:
1. Manu biring 1
2. Ketupat pakinkin 9.
3. Gula merah bulat.
4. Niuy bulat.
5. Sangku dite longkong.
6. Tumpi kaluwit.
7. Bakam ilau tabingkar kalanis.
8. Weah kuning.
4. Tujun dan makna miwit Abeh

Adapun tujuan dan makna dilaksanakan prosesi ritual miwit abeh tidak hanya
memberi makan tetapi juga masyarakat dipersilahkan mengikuti upacara tersebut serta
bernazar ataupun menahur hajad atas apa yang diminta dan yang telah dipenuhi
kepada Patung Abeh tersebut.
28

Dan juga sebagai tangganya orang-orang untuk jalan berdoa dan meminta pertolongan
atas kelancaran hidup, pekerjaan, kesehatan, maupun kesuksesan serta meminta untuk
perlindungan menjaga desa tersebut dari pada malah petaka yang berbahaya.
5. Cara mempertahankan Miwit Abeh

Cara masyarakat mempertahankan tradisi ini secara turun-menurun adalah dengan


cara:
Mupakat antara masyarakat
Karena adanya tali persodaraan tentu harus mempererat tali silahturahmi
antara individu dengan individu, masyarakat dengan masyarakat maka dari itu
perlunya mupakat untuk tetap menjaga dan memelihara tradisi dalam suatu tempat
agar tetap ada yang meneruskannya.
Mendorong keterlibatan masyarakat
Bangun komunitas yang kuat dengan melibatkan semua anggota masyarakat
dalam upaya melestarikankan budaya miwit abeh. Adakan pertemuan reguler atau
forum untuk berbagi ide dan pemikiran.
Terlibat dalam kegiatan tradisional
Aktif berpartisipasi dalam kegiatan tradisional seperti upacara adat, tarian,
atau pertemuan komunitas untuk melestarikan dan meneruskan tradisi tersebut.
Pendidikan dan pengetahuan
Ajarkan generasi muda tentang sejarah dan makna budaya miwit abeh,
perlibatkan mereka dalam proses pembelajaran melalui diskusi, cerita atau praktik dan
pelatihan keterampilan tradisional.
Dokumentasikan warisan budaya
Catat cerita, tradisi, dan nilai-nilai budaya miwit abeh secara tertulis atau
audiovisual untuk menyimpan warisan budaya tersebut.
29

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. JENIS PENELITIAN


Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriftif di katakan deskriftif
karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar dan bukan berupa angka.
Yang menjadi tujuan dari penelitian deskriftif adalah mengupayakan suatu penelitian
dengan cara menggambarkan secara sistemmatis, faktual, dan akurat mengenai fakta
dari suatu peristiwa serta sifat-sifat dari individu dan keadaan masyarakat.
Data yang dikumpulkan merupakan data observasi dan wawancara yang
berupa informasi kenyataan yang terjadi dilapangan.Oleh sebab itu penelitian ini
dapat digolonglan sebagai penelitian kualitatif.
3.2. LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang,
Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Karena kabupaten Barito Timur
merupakan salah satu kabupaten yang mayoritas penduduknya adalah suku Dayak
Maanyan dan di Desa Dayu merupakan tempatnya miwit abeh.
3.3. FOKUS PENELITIAN
Fokus Penelitian Ini Adalah Mengenai Kajian Terhadap Makna Miwit Abeh
Yang Berada Di Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur.
3.4. PEMILIHAN INFORMAN
Informan merupakan subyek penelitian yang dapat memberikan informasi
mengenai fenomena/permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Informan yaitu
seorang yang memiliki banyak informasi mengenai objek penelitian, dan akan diminta
informasi mengenai objek penelitian tersebut. Informan dalam penelitian ini
dilakukan dengan wawancara langsung yang disebut sebagai narasumber. Narasumber
yaitu sumber informasi yang hidup, artinya yang memiliki keriteria tertentu dan
memiliki pengaruh yang positif dalam bidang ilmu tertentu. Adapun informan dalam
penelitian ini meliputi informan utama dan informan kunci.
1. Informan utama, adalah mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi
social yang diteliti. (Suyanto & Sutinah, 2005:172)
30

2. Informan kunci (key informan), adalah mereka yang mengetahui dan memiliki
berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian.(Suyanto & Sutinah,
2005:172)
3. Informan tambahan, adalah mereka yang dapat memberikan informasi walaupun
tidak langsung terlibat dalam interaksi social yang diteliti. (Suyanto & Sutinah,
2005:172)
3.5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data kualitatif berupa kata dari pada angka yang
menghasilkan deskripsi terperinci, analisis dan interpretasi fenomena. Teknik
pengumpulan data merupakan cara yang sangat penting dalam penelitian ini. Dengan
Menggunakan teknik pengumpulan data, Peneliti dapat mengumpulkan data-data
sehingga dapat mendapatkan data yang valid atau data yang benar dan dapat
dipercaya. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini antara lain observasi,
wawancara, dokumentasi.
3.5.1. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan
pengataman
Peneliti terhadap kondisi masyarakat di lapangan.
a. Observasi Langsung (Direct Observation)
Dalam kegiatan observasi ini, Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk
melihat keadaan atau fenomena yang terjdi di lapangan. Peneliti dapat lebih mengenal
karekteristik lokas1 maupun subjek penelitian, Dalam melakukan observasi, Peneliti
mendatangi proses pembuatan lamang. Dalam proses observasi langsung ini, Peneliti
tidak memberi batasan seorang Peneliti yang hendak menggali data lapangan.
Keuntungan Dari observasi langsung ini yaitu, proses wawancaea atau pengamatan
terhadap hal-hal yang sifatnya penting sangat mudah untuk dilakukan, karena telah
terjadi pembauran dengan masyarakat setempat.
b. Observasi Tidak Langsung (Indirect Observation)
Dalam penelitian ini, observasi tidak langsung merupakan kegiatan pengamatan
yang tidak dilakukan secara langsung pada pada tempat atau lokasi yang telah
ditentukan oleh Peneliti Peneliti dapat mengguna media masa (koran, internet,
televisi), rekaman audio visual maupun hail penelitian sebelumnya yang memiliki
31

latar permasalahan yang sama dengan yang akan diteliti. Observasi tidak langsung
merupakan observasi yang digunakan atau dilakukan Peneliti dari luar masyarakat.

3.5.2. Wawancara
Wawancara sangat penting dalam penelitian kualitatif karena banyak hal yang
tidak muungkin dapat diobservasi langsung seperti motif, pikiran dan sebagainya.
Wawancara dalam penelitian ini merupakan metode pengumpulan data dengan
cara menggunakan komunikasi. Komunikasi terjadi antara dua pihak, yakni
pewawancara atau Peneliti dengan narasumber yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Sehingga terjadi pertukaran informasi melalui sesi tanya
jawab. Metode wawancara dilakukan karena Peneliti ingin mengetahui secara
mendalam permasalahan yang diteliti sehingga mendapatkan data yang aktual.

3.5.3. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini merupakan kegiatan pengumpulan data
yang didapat dari bahan yang tertulis maupun tidak tertulis. Data yang didapatkan
bisa berupa majalah, jurnal, berita dari media elektronik maupun pernyataan
masyarakat.

3.6. ANALISIS DATA


Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan, selama memasuki lapangan dan setelah selesai dari lapangan. Nasution
dalam (Sugiyono 2008) menyatkan bahwa analisis data telah dimulai semenjak
merumuskan dan menjelaskan masalah sebelum terjun ke lapangan, dan
berlangsung sampai penulisan hail penelitian selesai. Aktivitas analisis dalam
pengolahan data penelitian kualitatif harus dilakukan secara terus-menerus sampai
tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Miles and Huberman dalam Sugiyono
2008).Analisi data dalam penelitian ini dilakukan pada saat pengumpulan data
dalam waktu tertentu. Pada saat wawancara, Peneliti sudah melakukan analisis
terhadap jawaban dari orang yang diwawancarai. Apabila jawaban yang diberikan
oleh narasumber atau informan dianggap kurang memuaskan, maka Peneliti akan
mengajukan pertanyaan lagi, sampai pada tahap tertentu sehingga diperoleh data
atau informasi yang lebih kredibel.
Untuk menyajikan data yang mudah dipahami, maka langkah- langkah analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analysis Interactive Model dari
32

Miles dan Huburman, yang membagi langkah-langkah dalam kegiatan analisi data
dengan beberapa bagian yaitu pengumpulan data (data collection), reduksi data
(data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan
(conclutions).
1. Pengumpulan Data
Pada Analisis model pertama dilakukan pengumpulan data wawancara, hasil
observasi, dan berbagai dukumen berdasarkan kategorisasi yang sesuai dengan
masalah penelitian yang kemudian dikembangkan penajaman data melalui
pencarian data selanjuutnya.
2. Reduksi Data
Redukasi data merupakan proses merangkum data dan juga penyederhanaan
dengan memfokuskan data sesuai dengan topik maupun judul penelitian.
Meredukasi data menjadi sangat penting, data-data mentah yang didapat oleh
Peneliti disaring atau dipilih sehingga data yang tidak perlu akan dibuang. Data
yang ada bisa dianalisis kembali dan dihubungkan dengan Tori yang diambil
sehingga memberikan hail akhir dari penelitian yang dibuat dan mudah dalam
menarik kesimpulan.
3. Penyajian data
Penyajian data yaitu kumpulan informasi yang tersusun dan dapat memberikan
kemungkinan adanya pengambilan tindakan dan penarikan kesimpulan serta
membrikan tindakan (Miles dan Huberman, 2007). Penyajian data berupa narasi
kalimat, gambar/skema, jaringan kerja dan tabel sebagai narasinya.
4. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan proses akhir dalam menganalisis data.
Tahapan akhir yang dilakukan oleh peneliti setelah seluruhrangkaian pengolahan
data dilakukan secara runtut adalah penarikan kesimpulan.
33

DAFTAR PUSTAKA

Agar, M.1973. Urban Heroin Addicts. New York: Seminar Press.

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2004), 262.

A rriyono dan Siregar, Aminuddi. Kamus Antropologi. (Jakarta: Akademik


Pressindo,1985)

Bagong, Suyanto. Sutinah.2005Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif


Pendekatan. Yogyakarta.; Pustaka

Bartim, V. 2019. Riwayat Desa Dayu dan Legenda Abeh, Bartim, Visit. Available at:
https://visitbartim.com/read/106/riwayat-desa-dayu-dan-legenda-abeh.html.

Diman, P. 2020.‘Nyanyian Adat Masyarakat Dayak Maanyan: Suatu Pendekatan


Hermeneutika’, Enggang: Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, Seni …, 1(1),
pp. 41–56. Available
at:https://ejournal.upr.ac.id/index.php/enggang/article/view/2461%0Ahttps://
ejournal.upr.ac.id/index.php/enggang/article/download/2461/2175.

Effrata, E., & Firdaus, F.2020.


Peran Pemerintah Dalam Melestarikan Ritual Miwit Abeh Didesa Dayu
Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur. Jurnal
Sociopolitico,2(2),83-88. Universitas PGRI Palangka raya, Indonesia.
https://doi.org/10.54683/sociopolitico.v2i2.28

Fatimah Djajasudarma, Semantic1 (Bandung: Pt Refika Aditama,2008)

Fatimah Djajasudarma, Semantic 2 (Bandung: Pt Refika Aditama,2009).

Frake, CO.1964. A Structural Description of Subanun ‘Religious Behavior’. Dalam


Explorations in Curtural Anthropology, ed.W.H. Goodenough. 111-29. New York:
McGraw-Hill

Geertz, C.1957. Ritual and Social Change: A Javanese Example. American


Anthropologist. 59: 991-1012.

Geertz, C.1962.The Growth of Cultural and Evolution of Mind. Dalam Theories of the
mind,ed. J. Ssher, 713’0. Glencoe, III: Free press.

Geertz, C.1967.The Cerebral Savage: on the world of claude Levi-Slrauss. Encounter


28:25-32.

Geertz, Clifford.1992. Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta: Kanisius.

Harimurti Krida Laksana, Kamus Linguistic (Jakarta: Gramedia:2003)


34

Ina Malania,2019. Ritual Tiwah Sandung Runi Dan Tiwah Sandung Tulang (studi
kasus keluarga Gi dan keluarga Ru didesa Bangkal kecamatan seruyan raya kabupaten
seruyan). Jurnal SOSIOLOGI Volume II Edisi 2,Desember 2019. Prodi Sosiologi
FISIP UPR.

Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. 20th edn. jakarta:


Djambatan.

Levi-Strauss, C.1971. Mythologiques, IV; L’homme Nu. Paris: Plon.

Mariasusai Davamony, Fenomenologi Agama, Terj. A Sudiarja, Et. Al. (Yogyakarta:


Kanisius, 1995) 174

Metzger, D., Williams, G.1963. A Formal Ethnographic Analysis of Tenejapa Ladino


Weddings. American Anthropologist. 65: 1072-1101.

Miles, Matthew B.and A. Michael Huberman, 2007, Qualitative Data Analysis


(Terjemahan), Jakarta: UI Press.

Naomi Diah,2011. Budaya Lokal Di Era Global, Jurnal Ekspresi Seni, volume.20
No.02 Hlm.104

Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2007),
Hal. 69

Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2007),
hal. 74-75

Saifur Rohman, Hermeneutik: Panduan Ke Arah Desain Penelitian Dan Analisis


(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 65.

Salam, S.2009. Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan


Tengah.Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.

Scheider, D.1968. American Kinship: A Cultural Account. Englewood Cliffs, New


York: Prentice-Hall.

Soekanto, Kamus Sosiologi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1993), hal. 459 3

Soekanto, Soejono, & Purnadi Purbacaraka.1993.sendi-sendi ilmu hukum dan tata


hukum, Bandung, Citra Aditya Bhakti.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.


Bandung:ALFABETA.

Suwito,2017.Upacara Mamapas Lewu Pada Masyarakat Hindu Kaharingan Di Desa


Petak Bahandang Kecamatan Tasik Payawan Kabupaten Katingan. Jurnal Bawi Ayah
35

Volume 8. Nomor 1. April 2017. Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang
Palangkaraya.

Wallace, A. F. C.1965.“Driving lo Wrok”. Dalam Context and Meaning in


CulturalAnthoropology, ed. M. E. Spiro. Glcncoc, 111.: Free Press.

Wallace, A. F. C.1970. Culture and Personality. New York: Random House. 2nd ed.

Walter, W. G.1969.“Neurocybernetics: Communication and Control in the Living


Brain’’. DalamSurvey of Cybernetics, ed. J. Rose. London: Gordon and Breach.

Anda mungkin juga menyukai