PROPOSAL SKRIPSI
Oleh :
SRI LELUNI
NIM.203020701024
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2024
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Only You Can Change Your Life. Nobody Else Can Do It For You
Orang lain gak akan bisa paham struggledan masa sulitnya kita, yang mereka ingin tahu
hanya bagian Succes Storiesnya. Berjuanglah untuk diri sendiri walaupun gak ada yang
tepuk tangan, kelak diri kita di masa depan akansangat bangga dengan apa yang kita
perjuangkan hari ini.
3
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah
melimpahkan rahmat, serta kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Makna Miwit Abeh di Desa
Dayu, Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur.”
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang sedalam dalamnya kepada:
1. Kedua Orang tua, yang tidak ada hentinya untuk mendoakan penulis, memberikan
motivasi, mendukung dan memberi segala fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi dengan baik.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Salampak, MS selaku Rektor Universitas Palangka Raya
3. Bapak Bhayu Rhama, ST., MBA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
4. BapakDr.Saputra Adiwijaya, S.Sos., M.Siselaku Ketua Jurusan sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik
5. Bapak Prof. Drs. Kumpiady Widen, M.A., Ph.D dan Ibu Windi Susetyo Ningrum,
S.Hum., M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu
dan telah sabar untuk memberikan bimbingan, pengarahan, serta perhatiannya kepada
penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Bapak Dr. Saputra Adiwijaya, S.Sos., M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah banyak memberi masukan, arahan dan kritik yang sangat membantu dalam
penyusunan skripsi ini.
7. Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya yang telah membekali
penulisan dengan berbagai ilmu yang diberikan selama perkuliahan.
8. Seluruh Staf Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya yang telah
membantu penulis selama perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.
9. Semua Kerabat Keluarga yang selalu memberi dukungan serta mendoakan keberhasilan
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat ku yang telah mendukung sama satu sama lain, membantu, memberi
semangat kepada penulis selama perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.
4
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis
menerima kritik dan saran yang membangun, dan penulis berharap Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
5
DAFTAR ISI:
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama. Oleh
sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, pakaian,
bangunan dan karya seni. Desa Dayu yang memiliki ciri khas upacara ritual yang dikenal
dengan Miwit Abeh. Tokoh Abeh ini adalah tokoh yang dianggap suci oleh masyarakat desa
Dayu.(Effrata,2020)
Dalam upacara sebuah ritual suku Dayak disebut Miwit abeh ini merupakan ritual
dimana masyarakat Dayak melakukan pememberian makan/memberi hidup. Upacara ini
merupakan upacara untuk menghormati pelindung desa Dayu tersebut.Tradisi ini hanya
dilakukan dilakukan oleh suku Dayak Maanyan Terkususnya di Desa Dayu kecamatan
Karusen Janang Kabupaten Barito Timur,Ritual ini Biasanya akan Di adakan pada tanggal 10
di bulan Juli dan Berlangsung selama 7 hari. Ritual Ini juga berlangsung sejak tahun 1957 dan
Sampai Sekarang.(Bartim,2019)
Sebelum Masuk Pada prosesi ritual adat akan di isi oleh beberapa ritus lokal
keharingan seperti ritual persiapan belian dengan kiat tertentu yang diiringi dengan musik
tradisional, seperti kenong, agung, dan beberapa alat musik perkusi tradisional, Pesta-pesta
yang bermakna untuk memberi nuansa kegembiraan menjelang penurunan Abeh pesta ini
seperti perjudian, tari tradisional,tarung ayam. Hingga pada muaranya akan diadakan upacara
kurban binatang ternak sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih akan bantuan
sosok adikodratif ini. Upacara Penurunan akan dilaksanakan pada hari yang ketujuh yang
akan dipusatkan pada Balai/tempat bersemayamnya patung Abeh ini, sosok yang dipercaya
untuk menurunkan Abeh dari kediamannya lalah seseorang yang memiliki garis keturunan
dengan Abeh itu sendiri, dan hal itu bisa dilihat secara Patrilineal maupun Matrilineal
sehingga tidak sembarang orang yang dipercaya untuk membawa Abeh, karena jika tidak
demikian konon katanya akan terjadi hal magis di area ritual.
Dalam budaya Dayak terdapat banyak makna simbolik yang bahkan bagi generasi
muda Dayak sendiri sebagai pemilik warisan budaya, belum tentu tahu dan paham akan
makna dan tujuan dari segala aktifitas yang terdapat pada ritual upacara-upacara adat yang
dilangsungKan.Ini yang menjadikan ritual Miwit Abeh Dalam Prosesi sangat layak untuk
diteliti Ritual yang sakral bagi suku Dayak dan juga karena budaya di Indonesia harusnya
dapat dinikmati dan dipahami oleh seluruh masyarakatnya. Oleh karena itu dengan
mengangkat tema sebuah kebudayaan pada suatu masyarakat yang jarang dieksplor oleh
media atau masyarakat pada umumnya. Diharapkan dapat membantu dengan memberi
7
gambaran seperti apa ritual ini dan makna serta pesan apa yang terkandung didalamnya
dengan menggunakan analisis semiotika pada proses Miwit Abeh. Diharapkan budaya-budaya
di daerah pedalam tidak mengalami pergeseran yang siknifikan hingga mengakibatkan
kepunahan suatu budaya atau tradisi.
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti
“tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili suatu yang lainnya. Istilah semion
tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokraktik atau askepliadik dengan perhatiannya pada
samtomatologi da diagnostik inferensial. Tanda pada masa itu masih bermakna. Pada suatu
hal yang menunjuk pada hal lain. Contohnya, asap menandai adannya api. Dan secara
terminologis, semiotika. Dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas
objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2006: 95).
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang ada yaitu
menjelaskan dan menganalisis Proses pelaksanaan upacara Miwit Abeh yang ada di Desa
Dayu. Serta menjelaskan dan menganalisis makna dari Miwit Abeh. Adapun manfaat yang
dapat diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memberi pemahaman mengenai ritual Miwit
Abeh yang ada di Desa Dayu, serta menambah wawasan mengenai ritual Miwit abeh yang
ada di Kalimantan Tengah. Penelitian ini juga diharapkan mampu untuk menambah referensi
terhadap kajian sosiologi terkait dengan Ritual Miwit Abeh yang ada di Kalimantan Tengah,
serta mampu menjadikan penelitian ini sebagai bahan acuan dan referensi pada penelitian
sejenis yang dilakukan dimasa yang akan datang.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud mengkaji lebih
mendalam bentuk skripsi dengan judul “KAJIAN TERHADAP MAKNA MIWIT ABEH DI
DESA DAYU, KECAMATAN KARUSEN JANANG, KABUPATEN BARITO TIMUR”
8
Dapat Menambah Ilmu Dan Wawasan, Serta Bahan Dalam Penerapan Ilmu
Pengetahuan Khususnya Tentang Kajian Terhadap Makna Miwit Abeh Didesa Dayu,
Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur.
2. Secara Praktis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DASAR TEORI
2.1.1. Teori Ideasional:
Budaya Sebagai Sistem Kognitif
Satu tema besar yang lain pada 15 tahun terakhir ini adalah kemunculan satu
antropologi kognitif yang eksplisit (juga disebut "etnogrqfi baru", "ethnoscience",
"ethnographic semantics"). Dalam prakteknya "etnografi baru" ini pada dasarnya
adalah satu pengkajian terhadap sistem klasifikasi penduduk setempat (folk
classification). Di luar metode "pengumpulan kupu-kupu" ini, juga telah muncul satu
pandangan baru dan penting terhadap budaya, yaitu budaya sebagai cognition
(pengetahuan).
Budaya dipandang sebagai sistem pengetahuan. Menurut Ward Goodenough:
Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau
dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh
anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu penomena material: dia
tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih
merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada
dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima,
menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas. Kebudayaan
terdiri atas pedoman-pedoman untuk menentukan apa . . . untuk menentukan apa yang
dapat menjadi . . . untuk menentukan apa yang dirasakan seseorang tentang hal itu . . .
untuk menentukan bagaimana berbuat terhadap hal itu, dan . . . untuk menentukan
bagaimana caranya menghadapi hal itu.
Goodenough mempertentangkan pandangan ideasionalnya tentang
kebudayaan dengan pandangan yang digunakan oleh orang orang adaptionist yang
telah didiskusikan dalam bagian terdahulu, yang melihat kebudayaan sebagai "pola
kehidupan dalam satu komuniti, yaitu: kegiatan yang terjadi berulan g kali secara ajeg
dan susunan materi dan sosial". Maka kcsimpulannya, Goodenough memandang
budaya secara epistemologi berada dalam alam yang sama dengan bahasa (langue dari
Sassure atau competence dari Chomsky), sebagai aturan-aturan ideasional yang
berada di luar bidang yang dapat diamati dan diraba. Dengan konsep yang seperti ini,
10
bahasa adalah satu subsistem dari budaya, dan peneliti antropologi kognitif berharap
atau menduga bahwa metode-metode dan model- model linguistik (seperti: yaitu
analisa komponential, emic lawan etic, kerangka eliciting, dan lain-lain) juga
memadai untuk digunakan terhadap bidang budaya yang lain. bahwa orang
antropologi kognitif telah membuat lompatan ini terlampau mudah dan telah
meminjam dari metode linguistik taksonomik yang pada masa sekarang telah
ketinggalan zaman). Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian
orang-orang antropologi kognitif ini telah mulai beralih dari keunikan sistem-sistem
kultural kepada satu usaha pencarian pola-pola universal.
Analisis budaya sebagai sistem kognitif tidak berkembang terlampau jauh di
luar usaha pemetaan terhadap daerah-daerah semantik yang terikat secara terbatas dan
ketat. Usaha-usaha penting untuk merumuskan pengetahuan kultural yang diperlukan
untuk peningkatan penampilan atau mengoperasikannya dalam situasi-situasi sosial
tertentu telah dilakukan oleh Frake, Metzger dan Williams, Wallace, Spradley, Agar
dan Iain-Iain. Namun demikian, adalah mengesankan untuk dilihat kembali bahwa
optimisme penyebaran antropologi kognitif pada mula-mula dulu ternyata pada
akhirnya hanya menghasilkan bebera pa kepingan karangan deskripsi kultural saja.
Lebih jauh, antropologi kognitif bahkan hanya menghasilkan beberapa sketsa tentatif
tentang struktur dan organisasi budaya sebagai sistem kognitif secara menyeluruh.
Pemikiran tentang "grammar kultural" telah terbukti tidak produktif dan tidak
memadai dalam menghadapi kekayaan dan kerumitan pengetahuan dan pengalaman
manusia. Bahkan lebih menyedihkan lagi, ahli "etnografi-baru" tersebut malahan
belum menyusun satu cetak biru tentang bagaimana caranya satu sistem kognitif yang
menyeluruh dapat diorganisasikan. Karena itu gambaran-gambaran rinci yang
disajikan dalam etnografi mereka tidak dapat disusun ke dalam satu kerangka yang
lebih luas. Pandangan yang kurang luas seperti ini, saya kira, telah menutupi
kenyataan tentang betapa luasnya bidang-bidang budaya yang tidak terjangkau oleh
penelitian dangkal etnografi-formal (antropologi kognitif). Saya telah menyatakan
bahwa linguistik transformasional baru memberikan beberapa pandangan yang
berguna tentang bagaimana caranya pengetahuan-kultural yang ada di belakang
struktur permukaan diorganisasikan. Di bawah ini nanti saya akan memperlihatkan
bahwa pengembangan penelitian yang terusmenerus terhadap pengetahuan-kultural
ini dapat menghasilkan penglihatan yang lebih dalam.
11
dipandang sebagai "Budaya", yaitu bersifat universal, daripada "sebuah budaya" yang
bersifat lokal.
Budaya Sebagai Sistem Simbolik
Jalan lain dalam membahas kebudayaan adalah dengan cara memandang
kebudayaan-kebudayaan sebagai sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama.
Pendekatan ini masih berhubungan, meskipun berbeda, dari pendekatan kognitif
Amerika dan strukturalis Eropa daratan yang telah dibicarakan diatas. Di daratan
Eropa jalan ini telah dirambah oleh Louis Dumont. Di AS pelopor yang paling
menonjol adalah dua ahli antropologi pewaris tradisi Parsons: Clifford Geertz dan
David Schneider.
Pandangan yang kuat dari Geertz terhadap budaya, yang ditunjang satu aliran
kemanusiaan yang luas, makin lama makin menjadi sistematis. Seperti Levi-Strauss,
Geertz berada pada puncak pemikirannya ketika dia menciptakan grand theory dalam
menafsirkan bahan-bahan etnografi yang khusus. Namun berbeda dari Levi-Strauss,
dia menemukan kekhususan tersebut dalam kekayaan kehidupan manusia yang
sesungguhnya: dalam satu persabungan ayam, dalam satu upacara kematian, dalam
satu peristiwa pencurian biri-biri. Bahan analisisnya bukanlah mitologi atau adat
istiadat yang tcrlepas dari konteks dan akar masyarakatnya. Bahan tersebut terikat
dengan manusia-manusia didalam tingkah laku simbolik mereka.
Geertz melihat pandangan kognitif Goodenough dan para ahli '"etnografi
baru" sebagai pandangan reduksionis dan formalistik yang kabur. Bagi Geertz, makna
tidak terletak di "dalam kepala orang". Simbol dan makna dimiliki bersama oleh
anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Simbol
dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (private). " Sistem kultural adalah
ideasional. Sama seperti ideasionalnya kwartet Beethoven. Sistem itu berada di luar
atau di antara manifestasinya dalam pikiran individu atau penampilan konkrit. Pola-
pola kultural, katanya, tidak reified atau metafisikal. Seperti batu dan mimpi, "mereka
adalah benda dalam dunia nyata".
Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik.
Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna yang dimiliki bersama.
Dengan meminjam satu arti "text" yang lebih luas dari Ricoeur, Geertz pada masa
akhir-akhir ini menganggap satu kebudayaan sebagai "satu kumpulan teks". Karena
itu antropologi merupakan satu usaha interpretation (penafsiran) bukan usaha
13
dan merapi-rapikan integrasi dan konsistensi internal nyadi mana nyatanya hanya
integrasi kecil dan seringkali yang ada hanyalah ketidakadaan hubungan dan
kontradiksi internal. Dia menciptakan perumpamaan menarik lain:"Masalah analisis
budaya adalah masalah menentukan saling ketergantungan sekaligus saling
keterkaitan, masalah menentukan jurang sekaligus jembatan. Citra yang tepat, kalau
seseorang harus punya citra, mengenai organisasi kultural, adalah bukan merupakan
jaringan laba-laba maupun onggokan pasir. Organisasi kultural lebih menyerupai
gurita yang tangan-tangannya sebagian besar terintegrasi secara terpisah, syaraf-
syarafnya kurang begitu baik berhubungan satu dengan lain dan dengan pusat kontrol
di otaknya. Namun demikian gurita tersebut mampu berputar dan melindungi dirinya,
meskipun untuk sekejap, sebagai satu gairah hidup . . ."
Satu arah yang masih berkaitan, meski sedikit berbeda, telah diambil oleh David
Schneider. Seperti Geertz, Schneider mulai dengan satu kerangka kerja aliran Parsons,
tetapi dia juga telah mengembangkannya dalam satu cara tersendiri (lebih banyak
mendekati pandangan Dumont). Pandangan Schneider tentang budaya sanngat jelas
dinyatakan dalam kata pendahuan pada bukunya American Kinship: A
CulturalAccount. Budaya menurut Schneider adalah satu sistem simbol dan makna.
Budaya merangkum kategori-kategori atau "unit-unit", dan "aturan-aturan" tentang
hubungan sosial dan perilaku. Kedudukan epistemologi unit-unit kultural atau
"things" tidak tergantung pada sifatnya yang dapat diobservasi. Baik hantu maupun
orang mati adalah kategori kultural. Aturan dan kategori tidak harus disimpulkan
secara langsung dari perilaku. Mereka berada, sedemikian rupa, pada satu bidang
yang terpisah. "Definisi unit dan aturan tidak berdasarkan atas, dibatasi oleh, ditarik
dari, dibangun sesuai dengan, atau dikembangkan dalam, bentuk observasi tingkah
laku dalam arti langsung dan sederhana.
Dan sebagaimana diperjelas oleh analisis kekerabatan Schneider, dia percaya
bahwa analisis tentang budaya sebagai sistem simbol dapat menguntungkan kalau
dilakukan secara bebas di luar "bentuk-bentuk peristiwa yang aktual" yang dapat
diamati oleh seseorang sebagai kejadian dan tingkah laku. Katanya ada pertanyaan-
pertanyaan penting yang harus diajukan tentang hubungan bidang simbol kultural dan
bidang kejadian yang dapat diamati sehingga seseorang dapat "menemukan
bagaimana bangunan-bangunan kultural muncul, hukum-hukum yang mengatur
perubahan mereka, dan dalam cara -cara apa saja mereka dihubungkan secara
15
dapat melacak dengan baik interaksi simbol, premis, dan prinsip susunan di mana saja
mereka muncul. Dan satu peta sistem kultural sebagai satu peringkat yang terpisah,
katanya, akan terlihat sangat berbeda daripada satu interpretasi tentang korelasi
kultural dari institusi sosial. Pada akhirnya dia mengusulkan satu analisis kultural
yang murni yang "tidak tercemar oleh kajian tentang sistem sosialnya". Dan hanyalah
setelah tugas awal yang logis ini (untuk pelacakan hubungan antar bidang-bidang
kultural, sosial, dan psikologi), dapat dikerjakan maka kehidupan sosial dari suatu
masyarakat atau tindakan-tindakan individu dapat dimengerti.
2.2.1 Teori Ritus
Dalam bukunya itu Robertson Smith memiliki tiga gagasan penting mengenai
asas-asas dari religi atau agama secara umum. Gagasan yang pertama, bahwa
kepercayaan dan dogma bagi pengetahuan religi penting daripada ritual, sistem
upacara merupakan suatu perwujudan religi atau agama yang memerlukan studi dan
analisa yang khusus. Gagasan yang kedua, mengenai makna sosial religi. Gagasan
yang ketiga, ialah tentang teori persembahan korban yaitu menurut smith adalah
bentuk persembahan korban tertua. dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor
binatang, terutama darahnya kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging
dan darahnya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ritus berarti tata cara dalam
upacara keagamaan. Upacara ritual Tiwah merupakan ritual para penganut
Kaharingan, kepercayaan suku Dayak. ritual ini merupakan bagian dari penyatuan
dalam bentuk religi yang kemudian religi yang dilakukan adalah bagian dari
kehidupannya yang tidak dipisahkan.
2.2.2 Teori Rekonstruksi
Suatu pendekatan dalam antropologi yang berfokus pada pemahaman makna
budaya melalui rekonstruksi kembali konsep-konsep dan praktik-praktik budaya yang
ada. Dalam konteks kajian terhadap makna Tradisi Ritual Miwit Abeh, Rekonstruksi
akan mencoba menggali serta mengartikan kembali aspek-aspek yang terkait dengan
ritual tersebut.
Penelitian akan merinci setiap elemen Tradisi Ritual Miwit Abeh, seperti tata
cara, simbol-simbol, dan tujuan dari ritual tersebut. Selanjutnya, Rekonstruksi akan
mencoba memahami konteks historis, sosial, dan budaya di mana ritual ini muncul.
Hal ini mencakup penyelidikan terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat
yang mungkin memengaruhi evolusi ritual tersebut.Dalam upaya untuk menggali
17
makna, teori Rekonstruksi akan melibatkan analisis mendalam terhadap narasi atau
mitos yang terkait dengan Tradisi Ritual Miwit Abeh. Ini melibatkan dekonstruksi
elemen-elemen mitos untuk memahami lapisan-lapisan makna yang mungkin
tersembunyi di dalamnya.
Penting untuk diingat bahwa pendekatan Rekonstruksi tidak hanya mencakup
dimensi sejarah dan tekstual, tetapi juga mencoba menggali pemahaman eksperiensial
dan simbolis yang terlibat dalam pelaksanaan ritual. Ini bisa melibatkan wawancara
dengan praktisi ritual, observasi langsung, dan analisis semiotik terhadap simbol-
simbol yang digunakan.
yang menarik perhatian kaum muda khususnya, sehingga mengurangi minat mereka
akan ritual-ritual tradisional yang mereka anggap kuno.
Dapat disimpulkan bahwa peran pemerintah khususnya pemerintah desa
sangat mempengaruhi dalam pelestarian budaya-budaya khususnya ritual Miwit Abah
yang sudah ada sejak turun temurun. Menjadi tantangan semua pihak baik pemerintah
amaupun masyarakat agar bisa menumbuhkan sikap peduli budaya kepada generasi
selanjutnya agar ritual seperti Miwit Abeh ini tidak musnah.
Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah:
Objek yang diteliti adalah sama-sama Ritual Miwit Abeh di Desa Dayu,
Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur.
Jenis dan metode pendekatan penelitian yang digunakan sama-sama
menggunakan metode deskriftif kualitatif.
Sandung Tulang yang ada di Desa bangkal, serta menambah wawasan mengenai ritual
Tiwah Sandung Runi dan Tiwah Sandung Tulang yang ada di Kalimantan Tengah.
Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah:
Jenis dan metode pendekatan penelitian yang digunakan sama-sama
menggunakan metode deskriftif kualitatif.
Dalam simbol dan makna sama-sama menujukan bahwa kajian akan berfokus
pada analisis budaya yang terkandung dalam suatu tradisi dan praktik
masyarakat.
Aneka Budaya
Indonesia
Kelompok Ritual
Tradisional
Miwit Abeh
menjadi patung sehingga masyarakat menamai patung tersebut dengan Patung Abeh.
Dalam upaya masyarakat tentu perlu dukungan karena tidak menutup kemungkinan
bahwa nilai-nilai lokal akan terkikis seiring perkembangan yang ada. Maka oleh sebab
itu, perlu kiranya tradisi ritual miwit abeh ini di ketahui oleh masyarakat luas tidak
hanya dikalangan Suku Dayak Ma’anyan. Selain itu, kecintaan terhadap nilai-nilai
budaya lokal semakin berkurang. Padahal niai-nilai lokal merupakan nilai yang
mengandung makna yang tinggi bagi penganutnya. Oleh sebab itu, pelestarian budaya
dipandang penting untuk tetap menjaga ciri khas suatu daerah sebagai sebuah
identitas dari pemerintah khususnya pemerintah desa dalam melestarikan ritual Miwit
Abeh ini agar tidak musnah di tengah perkembangan zaman. Untuk itu dilakukan
penelitian untuk menganalisis peran pemerintah desa dalam melestarikan ritual Miwit
Abeh di desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur dan apa
saja yang menjadi tantangan dan hambatan dalam melestarikan budaya tersebut
Di mulai pada tahun 1300 awal mulanya keramat patung abeh tersebut sampai
dengan tahun 1956 prosesi ritual miwit abeh dilaksanakan hanya tiga hari lamanya
karena sebelum prosesi ritual miwit abeh ini dimulai terlebih dahulu masyarakat
bersama mantir adat dan belian melakukan “Basagur Miwit Sarit Sampar” yaitu
prosesi ritual menjauhkan diri dari malapetaka,sakit penyakit,dan bahaya yang
mengancam masyarakat Desa Dayu, prosesi ini dilakukan di setiap batas Desa Dayu
dan desa lain yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali beriringan dengan prosesi
ritual miwit abeh tepatnya pada bulan juli setelah panen padi Setelah prosesi
barangsur selesai dilanjutkan dengan melakukan rapat bersama dengan Kepala Desa
dan Perangkat Desa lainnya terkait pelaksanaan ritual miwit abeh dimulai dengan
membahas pembersihan Balai Adat, memanggil wadian (Belian), keluarga keturunan
abeh dan mempersiapkan “Pendudukan” yaitu persyaratan sesajian mentah atau
bahan/simbol ritual miwit abeh yaitu berupa :
1. Manu biring 1
2. Ketupat pakinkin 9.
3. Gula merah bulat.
4. Niuy bulat.
5. Sangku dite longkong.
6. Tumpi kaluwit.
7. Bakam ilau tabingkar kalanis.
24
8. Weah kuning
Pada mulanya desa Dayu disebut dengan nama Mawuntu. Mawuntu berasal
dari kata Mawitu dalam bahasa Ma’anyan yang berarti lurus. Desa ini dibangun
setelah Kerajaan Nansarunai hancur dan rakyatnya terpencar ke beberapa tempat.
Beberapa di antaranya adalah para pendiri desa, yang bermimpi untuk berjalan lurus
menuju daerah yang memiliki 2 sungai dengan air berwarna merah dan jernih yang
berbatasan sebagai tempat kediaman mereka yang baru. Tempat yang mereka datangi
adalah wilayah yang sesuai harapan. Setelah beberapa lama mereka diserang
sekelompok semut merah dalam jumlah besar yang memaksa mereka untuk pindah.
Sebagian bersedia untuk pindah sebagian lagi keberatan. Sebagian berkata “Ada” atau
jangan. Sebagian lagi berkata “Hayu” atau ayo. Maka dari dua kata tersebut, Ada dan
Hayu, terbentuklah nama desa Dayu.
2. Riwayat Abeh
Dahulu kala desa Dayu hidup masih dirongrong oleh gangguan dari pihak lain
dari luar, sehingga desa mengutus Patis Burung dan Patis Layang untuk menemukan
pemimpin baru seperti ketika mereka hidup di kerajaan Nansarunai. Maka kedua
25
orang tersebut bertapa kepada Sang Hiang Madu Wasa untuk diberikan seorang pria
yang bisa melindungi desa. Ketika mereka berdoa di sebuah pohon tinggi tiba-tiba
mereka melihat seekor ayam jantan berwarna merah tua yang sangat sulit ditangkap.
Setelah mereka berdoa lagi, ayam itu mendekat dan dapat ditangkap dari atas pohon.
Setelah turun dari pohon, ayam jantan itu berubah menjadi bayi yang bernama
Damung Uluy Undru. Bayi itu kemudian tumbuh besar, menikah dan memiliki
banyak keturunan.
Suatu ketika, Damung Uluy Undru sudah tua dan anak-anak serta cucunya
pergi berladang, terjadilah hujan badai disertai guntur dan kilat. Damung Uluy Undru
yang sedang menenun, masuk ke dalam sebuah guci. Keluarganya yang pulang
berladang kebingungan mencari bapak tua itu, sampai mereka menemukan sebuah
patung seperti manusia di dalam guci tersebut. Mereka pun berkomentar: “Beh ina lah
hi Datu/ Kakah”. Dari situlah muncul gelar Abeh yang kita kenal sekarang. Malam
harinya semua warga berkumpul karena kejadian aneh tersebut. Mereka heran
mungkinkan manusia bisa berubah menjadi sebuah patung. Salah satunya tertidur dan
bermimpi. Di dalam mimpinya Damung Uluy Undru datang menjelaskan bahwa
memang ia sudah berubah menjadi patung dan berjanji akan menjaga desa selama
turun temurun. Ia berkata bila warga desa ingin menemuinya cukup dengan
mengadakan ritual tersendiri dan memanggilnya dengan sebutan Abeh tersebut. Dari
sanalah ritual Miwit Abeh dilaksanakan teratur setiap tahun.
Beberapa kisah kegaiban Keramat Abeh:
Pada Saat Jaman Belanda
Saat terjadi perang Banjar, pihak Kesultanan meminta bantuan kepada
penduduk di Daerah ini untuk melawan Belanda. Saat itu orang-orang yang terpilih
berperang meminta perlindungan kepada Abeh. Menurut cerita pasukan Dayak yang
dikirim tidak ada satupun yang mati terbunuh.
Pernah juga ketika terjadi peperangan di Tuja. Belanda berencana untuk
membumi hanguskan Desa Dayu dengan menembakkan meriam-meriam. Namun
anehnya tembakan itu berbelok arah ketempat yang tidak ada penduduknya.
Pada Saat Jaman Jepang
Pada saat jaman Jepang yang terkenal akan kekejamannya, masyarakat Dayu
tidak merasakannya karena Jepang tidak punya niat berbuat jahat disana.
Pada Saat Perjuangan Simbar
26
Adapun tujuan dan makna dilaksanakan prosesi ritual miwit abeh tidak hanya
memberi makan tetapi juga masyarakat dipersilahkan mengikuti upacara tersebut serta
bernazar ataupun menahur hajad atas apa yang diminta dan yang telah dipenuhi
kepada Patung Abeh tersebut.
28
Dan juga sebagai tangganya orang-orang untuk jalan berdoa dan meminta pertolongan
atas kelancaran hidup, pekerjaan, kesehatan, maupun kesuksesan serta meminta untuk
perlindungan menjaga desa tersebut dari pada malah petaka yang berbahaya.
5. Cara mempertahankan Miwit Abeh
BAB III
METODE PENELITIAN
2. Informan kunci (key informan), adalah mereka yang mengetahui dan memiliki
berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian.(Suyanto & Sutinah,
2005:172)
3. Informan tambahan, adalah mereka yang dapat memberikan informasi walaupun
tidak langsung terlibat dalam interaksi social yang diteliti. (Suyanto & Sutinah,
2005:172)
3.5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data kualitatif berupa kata dari pada angka yang
menghasilkan deskripsi terperinci, analisis dan interpretasi fenomena. Teknik
pengumpulan data merupakan cara yang sangat penting dalam penelitian ini. Dengan
Menggunakan teknik pengumpulan data, Peneliti dapat mengumpulkan data-data
sehingga dapat mendapatkan data yang valid atau data yang benar dan dapat
dipercaya. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini antara lain observasi,
wawancara, dokumentasi.
3.5.1. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan
pengataman
Peneliti terhadap kondisi masyarakat di lapangan.
a. Observasi Langsung (Direct Observation)
Dalam kegiatan observasi ini, Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk
melihat keadaan atau fenomena yang terjdi di lapangan. Peneliti dapat lebih mengenal
karekteristik lokas1 maupun subjek penelitian, Dalam melakukan observasi, Peneliti
mendatangi proses pembuatan lamang. Dalam proses observasi langsung ini, Peneliti
tidak memberi batasan seorang Peneliti yang hendak menggali data lapangan.
Keuntungan Dari observasi langsung ini yaitu, proses wawancaea atau pengamatan
terhadap hal-hal yang sifatnya penting sangat mudah untuk dilakukan, karena telah
terjadi pembauran dengan masyarakat setempat.
b. Observasi Tidak Langsung (Indirect Observation)
Dalam penelitian ini, observasi tidak langsung merupakan kegiatan pengamatan
yang tidak dilakukan secara langsung pada pada tempat atau lokasi yang telah
ditentukan oleh Peneliti Peneliti dapat mengguna media masa (koran, internet,
televisi), rekaman audio visual maupun hail penelitian sebelumnya yang memiliki
31
latar permasalahan yang sama dengan yang akan diteliti. Observasi tidak langsung
merupakan observasi yang digunakan atau dilakukan Peneliti dari luar masyarakat.
3.5.2. Wawancara
Wawancara sangat penting dalam penelitian kualitatif karena banyak hal yang
tidak muungkin dapat diobservasi langsung seperti motif, pikiran dan sebagainya.
Wawancara dalam penelitian ini merupakan metode pengumpulan data dengan
cara menggunakan komunikasi. Komunikasi terjadi antara dua pihak, yakni
pewawancara atau Peneliti dengan narasumber yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Sehingga terjadi pertukaran informasi melalui sesi tanya
jawab. Metode wawancara dilakukan karena Peneliti ingin mengetahui secara
mendalam permasalahan yang diteliti sehingga mendapatkan data yang aktual.
3.5.3. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini merupakan kegiatan pengumpulan data
yang didapat dari bahan yang tertulis maupun tidak tertulis. Data yang didapatkan
bisa berupa majalah, jurnal, berita dari media elektronik maupun pernyataan
masyarakat.
Miles dan Huburman, yang membagi langkah-langkah dalam kegiatan analisi data
dengan beberapa bagian yaitu pengumpulan data (data collection), reduksi data
(data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan
(conclutions).
1. Pengumpulan Data
Pada Analisis model pertama dilakukan pengumpulan data wawancara, hasil
observasi, dan berbagai dukumen berdasarkan kategorisasi yang sesuai dengan
masalah penelitian yang kemudian dikembangkan penajaman data melalui
pencarian data selanjuutnya.
2. Reduksi Data
Redukasi data merupakan proses merangkum data dan juga penyederhanaan
dengan memfokuskan data sesuai dengan topik maupun judul penelitian.
Meredukasi data menjadi sangat penting, data-data mentah yang didapat oleh
Peneliti disaring atau dipilih sehingga data yang tidak perlu akan dibuang. Data
yang ada bisa dianalisis kembali dan dihubungkan dengan Tori yang diambil
sehingga memberikan hail akhir dari penelitian yang dibuat dan mudah dalam
menarik kesimpulan.
3. Penyajian data
Penyajian data yaitu kumpulan informasi yang tersusun dan dapat memberikan
kemungkinan adanya pengambilan tindakan dan penarikan kesimpulan serta
membrikan tindakan (Miles dan Huberman, 2007). Penyajian data berupa narasi
kalimat, gambar/skema, jaringan kerja dan tabel sebagai narasinya.
4. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan proses akhir dalam menganalisis data.
Tahapan akhir yang dilakukan oleh peneliti setelah seluruhrangkaian pengolahan
data dilakukan secara runtut adalah penarikan kesimpulan.
33
DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2004), 262.
Bartim, V. 2019. Riwayat Desa Dayu dan Legenda Abeh, Bartim, Visit. Available at:
https://visitbartim.com/read/106/riwayat-desa-dayu-dan-legenda-abeh.html.
Geertz, C.1962.The Growth of Cultural and Evolution of Mind. Dalam Theories of the
mind,ed. J. Ssher, 713’0. Glencoe, III: Free press.
Ina Malania,2019. Ritual Tiwah Sandung Runi Dan Tiwah Sandung Tulang (studi
kasus keluarga Gi dan keluarga Ru didesa Bangkal kecamatan seruyan raya kabupaten
seruyan). Jurnal SOSIOLOGI Volume II Edisi 2,Desember 2019. Prodi Sosiologi
FISIP UPR.
Naomi Diah,2011. Budaya Lokal Di Era Global, Jurnal Ekspresi Seni, volume.20
No.02 Hlm.104
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2007),
Hal. 69
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2007),
hal. 74-75
Volume 8. Nomor 1. April 2017. Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang
Palangkaraya.
Wallace, A. F. C.1970. Culture and Personality. New York: Random House. 2nd ed.