Anda di halaman 1dari 186

xi

POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER DALAM SOSIALISASI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT
(Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo)

MAS AYU AMBAYOEN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

xii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat: Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar yang sama pada Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2006

Mas Ayu Ambayoen Nrp. P054030091

xiii

ABSTRAK

MAS AYU AMBAYOEN. Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas , Praswala Gara, dan Pujan Kapat (Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur). Di bawah bimbingan: DJUARA P. LUBIS dan KRISHNARINI MATINDAS. Masyarakat Tengger memiliki budaya menarik dan unik yang tetap bertahan sampai sekarang. Meskipun pengaruh luar ( tingkat intensitas kunjungan wisata) cukup tinggi, namun berbagai tradisi tersebut masih tetap dijalankan, di antaranya adalah upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat. Bertahannya tradisi tersebut tidak lepas dari proses komunikasi, sehingga menarik untuk dikaji. Penelitian ini ingin menganalisis bagaimana tradisi tersebut dilaksanakan dan disosialisasikan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa upacara adat masyarakat Tengger terbagi menjadi upacara lingkup keluarga upacara lingkup desa. Pola kebudayaan dapat dilihat dari pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana kebendaan. Pola bersikap masyarakat Tengger adalah mau menerima segala apa yang bersangkut paut dengan adat. Pola kelakuan dapat dilihat dari berbagai ritual upacara yang masih selalu dilakukan. Pola sarana/kebendaan (wujud fisik) dapat dilihat dari benda-benda atau tempat sakral dan tanaman-tanaman khusus yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari yang berkaitan dengan ketiga upacara tersebut. Pola komunikasi yang terdapat dalam masyarakat Tengger berupa pola komunikasi yang bersifat vertikal, dimana pemimpin atau golongan yang dihormati mendapat posisi penting dan dipatuhi oleh masyarakatnya akibat pengaruh budaya paternalistik yang masih berkembang. Pola komunikasi ini dapat dilihat dari proses ajar didik yang dilakukan pada forum yang bersifat formal maupun non formal, dalam ritus kolektif, sanksi dan alokasi-alokasi posisi. Kata kunci: Masyarakat Tengger, Pola Komunikasi, Kebudayaan.

ABSTRACT

xiv

MAS AYU AMBAYOEN. Communication Pattern in Tengger Community in Socializing the tradition of Entas -Entas, Praswala Gara, and Pujan Kapat (A Case Study in Ngadisari Village, Sukapura Subdistrict, Probolinggo Regency, East Java). Under the guidance of DJUARA P. LUBIS and KRISHNARINI MATINDAS. Tengger community has an interesting and unique culture which is still well preserved. Despite strong influencing eksternal factors (high intensity of tourism activities) some traditions have still been preserved well, some of which are Entas-Entas, Praswala Gara, and Pujan Kapat. These traditions prevail along with communication process and this become an interesting aspect to study. The objective of the research was to analylize how the tradition were practiced and socialized. The result of the study indicates that traditional ceremonies in Tengger community are generally divided into those concerning family scope and village scope. The cultural patterns are reflected in their attitudes, behaviour, and material facilities. The people of Tengger have receptive attitude with regrad to their customs. The behavioural patterns are shown in various rituals that are still well preserved. The patterns of facilities are indicated by sacred objects or places as well as special plants that are still preserved by the community of Tengger Ngadisari in relation to the three ceremonies mentioned above. The communication pattern practiced among the people of Tengger is a vertical one, where the leader or the respectable group has an important position and is obeyed by his people/ subordinates, which is a reflection of paternalistic culture still practiced. This kind of communication pattern can be seen in some teaching-learning process conducted both in formal and nonformal forums and in rit uals concerning groups, sunctions, and position allocations.

Key words: Tengger Community, Communication Pattern, Cultural.

xv

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

xvi

POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER DALAM SOSIALISASI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT

MAS AYU AMBAYOEN

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

xvii Judul Tesis : Pola Komunikasi Masyarakat Tengger dalam Sosialisasi Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat (Studi Kasus di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo). : Mas Ayu Ambayoen : P054030091

Nama Nrp

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Ketua

Dra. Krishnarini Matindas, MS Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sumardjo, MS

Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 31 Juli 2006

Tanggal lulus:

xviii

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas Rahmat-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan apapun yang berarti. Tesis ini berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Tengger Dalam Sosialisasi Tradisi Entas -Entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat, merupakan penelitian yang dilakukan untuk menganalisis bagaimana Pola komunikasi yang dilakukan oleh Masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan tradisi mereka kepada masyarakat maupun generasi mudanya. Penulisan tesis ini untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penyusunan Tesis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, sehingga dalam ke sempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya kepada: 1. Komisi pembimbing Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Dra. Krishnarini Matindas, MS yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan wawasan yang berarti bagi penulis, sehingga mampu menyelesaikan tesis ini. 2. Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan pada penulis. 3. Bapak Ibu Dosen pengajar, khususnya di program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan yang tel ah banyak memberikan pengetahuannya kepada penulis selama masa studi. 4. Dr. Sumardjo selaku ketua program studi yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan studi. 5. Supoyo, SH, MM selaku Kepala Desa Ngadisari dan Bapak Sutomo sela ku Dukun Desa Ngadisari yang telah memberikan ijin penelitian dan selalu siap membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian. Bapak Sarto dan Ibu Suliati sekeluarga serta para kerabat Dukun, anggota Pramuka dan masyarakat Desa Ngadisari yang banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama di tempat penelitian. 6. Mami Ika, terima kasih atas waktu yang sangat berharga untuk menemani penulis di medan penelitian. Mas Arif (om tersayang) terima kasih atas semua perhatiannya pada keponakan. Mas Irfi, special thanks untuk semua dukungan, perhatian dan segalanya bagi penulis. Keyakinan akan membuat semuanya menjadi lebih mudah. 7. Palik Mul dan Bulik Emi beserta keluarga yang banyak memberikan perhatian selama masa studi penulis yang jauh dari keluarga.

xix 8. Bu Lili dan Bu Lela terima kasih untuk semua dukungannya. Mbak Pera, Mbak Sri, Bu Yus, Bu Yanti, Kak Is, teman-teman KMP lainnya angkatan 2003 dan 2004, teman-teman di Sabrina, Ema, Mayzar, Oty dan semuanya terima kasih atas kebersamaannya. Special my the best friend Wiwid, terima kasih atas segalanya yang tidak tergantikan. Mbak Nia, Mbak Syam, dan teman-teman TKL terima kasih atas semua cerita dan candanya. 9. Sebuah penghargaan terbesar serta tulus bagi Ayahanda tercinta yang selalu saya hormati dan saya patuhi (menurut cara saya sendiri), terima kasih telah merelakan hidupnya sebagai tempat bersandar paling kokoh dan selalu menanamkan prinsipnya sebagai landasan dalam hidup penulis hingga saat ini. Inilah sebuah karya terbesar ananda saat ini, semoga dapat mewujudkan harapan keluarga. Ibunda tersayang, yang pengorbanan dan doanya tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Adik-adikku semua yang telah memaku persaudaraan ini dengan kasih sayang yang tulus. Berbagai pihak yang juga telah banyak memberikan dukungan pada penulisan Tesis ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap penulisan Tesis ini dapat memberikan kontribusi yang sebesar -besarnya pada peneliti yang tertarik mempelajari kebudayaan dari sudut pandang komunikasi maupun pihak-pihak lain yang memiliki perhatian di bidang ini . Penulis sadar jika penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Agustus 2006

Mas Ayu Ambayoen

xx

RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Malang pada tanggal 16 Desember 1979 sebagai anak pertama dari pasangan Ayahanda M. Djamaali dan Ibunda Siti Muawanah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Dinoyo III Malang pada tahun 1992. Selanjutnya meneruskan pendidikan di MTsN Malang I lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di MAN 3 Malang dan lulus tahun 1998. Pada tahun itu pula penulis diterima di Fakultas Pertanian Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang melalui jalur PSB (Penjaringan Siswa Berprestasi) dan lulus tahun 2003. Selanjutnya pada tahun itu juga penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

xxi

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... PENDAHULUAN............................................................................................ Latar Belakang ....................................................................................... Rumusan Masalah.................................................................................. Tujuan Penelitian.................................................................................... Kegunaan Penelitian............................................................................... TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan............................................... Upacara Religi ........................................................................................ Masyarakat Tengger dan Berbagai Upacaranya..................................... Pola Komunikasi .................................................................................... Pengetahuan dan Sikap........................................................................... Pariwisata dan Kebijakan Pemerintah.................................................... KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS.................................................. Kerangka Berpikir .................................................................................. Hipotesis Pengarah................................................................................. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................. Jenis dan Metode Penelitian................................................................... Teknik Pengumpulan Data..................................................................... Teknik Analisis Data .............................................................................. Informan Penelitian................................................................................ Validitas dan Reliabilitas ....................................................................... GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN........................................... Keadaan Umum Kawasan Tengger ........................................................ Legenda dan Sejarah Masyarakat Tengger ............................................ xiii xiv xv 1 1 3 3 4 5 5 23 28 35 36 39 41 41 45 46 46 46 47 48 49 50 53 53 54

xxii Keadaan Umum Desa Ngadisari ............................................................ Masyarakat Tengger Desa Ngadisari..................................................... Ikhtisar .................................................................................................... DESKRIPSI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT.............................................................................................................. Tradisi Entas-Entas ................................................................................ Upacara Praswala Gara ......................................................................... Upacara Pujan Kapat ............................................................................. Ikhtisar .................................................................................................... POLA BERSIKAP, POLA KELAKUAN, DAN POLA SARANA/ KEBENDAAN................................................................................................. Pola Bersikap.......................................................................................... Pola Kelakuan (wujud aktivitas) ............................................................ Pola Sarana/ Kebendaan (wujud fisik) ................................................... Ikhtisar .................................................................................................... POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER .................................... Proses Komunikasi dalam Pewarisan Budaya ....................................... Forum-forum Komunikasi Lain Pada Masyarakat Desa Ngadisari....... Proses Komunikasi Secara Non Verbal................................................. Ikhtisar .................................................................................................... SIMPULAN .................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN..................................................................................................... 98 98 100 103 108 110 110 121 122 124 126 128 131 76 76 86 90 95 58 63 74

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 2 Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Desa Ngadisari................... Luas Areal dan Jumlah Produksi Beberapa Komoditi Pertanian di Desa Ngadisari. ............................................................................................... 3 4 5 6 Perbandingan kosakata Tengger dengan bahasa Jawa yang lain. ........... Proses Komunikasi Pada Forum Formal ................................................ Proses Komunikasi Pada Forum Non Formal ........................................ Proses Komunikasi dalam Pelaksanaan Ritus Kolektif .......................... 61 66 112 114 116 61

xxiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 2 3 Model Komunikasi Linear ...................................................................... Kelima Komponen Religi......................................................................... Alur Berpikir Pola Komunikasi Masyarakat Tengger Dalam Sosialisasi Tradisi Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat .......... 4 5 6 7 8 9 10 Lingkungan pegunungan (tana layu/ edelways) dan lingkungan hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru................................................ Gerbang Desa Ngadisari sebagai tempat penelit ian................................. Pekerjaan sehari-hari mayoritas Masyarakat Tengger Desa Ngadisari.... Lingkungan Masyarakat Tengger Ngadisari.......................................... Pakaian adat masyarakat Tengger............................................................ Petra digendhong dan dibakar di tempat pembakaran ............................. Salah satu prosesi dalam Upacara Praswala Gara .................................... 53 62 64 65 73 85 90 95 97 104 105 118 119 44 16 26

11 Prosesi Pujan Kapat.................................................................................. 12 Jalur pengajuan upacara lingkup keluarga ............................................... 13 Peralatan yang digunakan Dukun dalam upacara adat Tengger .............. 14 Tanaman Pembuat Petra........................................................................... 15 Bagan Sumber dan Arah Informasi Dukun dan Masyarakat Tengger ..... 16 Pola Komunikasi yang Te rbentuk di Desa Ngadisari .............................

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pedoman Observasi .................................................................................. Pedoman Wawancara Mendalam............................................................. Pedoman Catatan Harian.......................................................................... Pedoman Dokumentasi............................................................................. Sebaran Penduduk Desa Ngadisari Berdasarkan Golongan Umur .......... Sebaran Penduduk Desa Ngadisari Berdasarkan Tingkat Pendidikan..... Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Ngadisari ............................ Data Informan Penelitian ......................................................................... Daftar Pemateri Kegiatan Pramuka ........................................................... 132 133 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 150 159 160 161 162 163 164

10 Daftar Materi Dalam Kegiatan Pramuka .................................................... 11 Nama-Nama Anak Rara Anteng Dan Jaka Seger....................................... 12 Pasrah Pengantin ........................................................................................ 13 Mantra Pembaron (Mantra Entas-Entas ) ................................................... 14 Sebaran Masyarakat Tengger di Empat Kabupaten di Jawa Timur ........... 15 Nama-Nama Pejabat Kepala Desa Yang Memimpin Desa Ngadisari ....... 16 Jenis Dan Sumber Data Penelitian............................................................. 17 Peta Lokasi Penelitian................................................................................ 18 Kalender Tengger ....................................................................................... 19 Jadwal Kegiatan Pramuka ......................................................................... 20 Contoh Absensi Kegiatan Pramuka, Kegiatan Adat Dan PertemuanPertemuan Lain .......................................................................................... 21 Surat Ijin Penelitian.................................................................................... 22 Contoh Makalah Adat Dalam Kegiatan Pramuka......................................

168 170 171

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pegunungan Tengger, dengan kawah Bromonya yang terkenal, merupakan kawasan wisata yang memiliki daya tarik luar biasa dan merupakan tempat berdiam masyarakat dengan tradisi unik yang disebut masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger adalah sebuah komunitas yang masih memegang unsur-unsur tradisi1. Beberapa tradisi (seperti upacara sesayut, upacara cuplak puser atau kekerik, upacara tugel gombak dan kuncung, upacara perkawinan, upacara ruwat sangkala, upacara pujan, upacara kematian dan upacara Entas-Entas ) yang dilakukan oleh masyarakat adat Tengger menambah khasanah budaya lokal dan menarik wisatawan tinggal di kawasan wisata ini. Sebagai masyarakat2 yang berada di kawasan wisata Bromo-Tengger-Semeru, komunitas ini tidak dapat lepas dari pengaruh luar. Seiring dengan pembangunan, kawasan ini menjadi sebuah kawasan wisata budaya. Di samping itu kedatangan wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara juga ikut membawa masuk budaya-budaya luar yang berbeda dengan budaya mas yarakat setempat. Keberadaan masyarakat Tengger di kawasan pegunungan Tengger diyakini sudah sangat lama, bahkan sebelum kolonial. Seiring dengan berkembangnya waktu, ternyata komunitas ini masih tetap ada. Eksistensinya tetap diakui sebagai sebuah masyarakat tradisional yang teguh memegang adat tradisi nenek moyang. Dalam perkembangannya sampai saat ini masyarakat Tengger tersebar di empat Kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu: Lumajang, Pasuruan, Malang dan Probolinggo, dimana salah satunya terletak Kecamatan Sukapura.
1

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pudjiwati Sajogyo (1985) dalam buku Sosiologi Pembangunan, bahwa arti tradisi yang paling mendasar adalah traditum, yaitu sesuatu yang diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang: bisa berupa benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan dan cita-cita. Definisi masyarakat menurut Talcottt Parsons (1968) sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto Sunarto (2000) dalam buku Pengantar Sosiologi Edisi Kedua, bahwa masyarakat ialah suatu sistem sosial yang swasembada ( self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya.

Masyarakat Tengger yang berada di wilayah Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo berjumlah sekitar 13.565 jiwa yang terdiri dari 3.646 kepala keluarga yang tersebar di beberapa desa, di antaranya Desa Ngadisari. Sebagai salah satu desa yang didiami oleh masyarakat Tengger, Desa Ngadisari saat ini memiliki penduduk sekitar 1536 jiwa dengan mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani serta memiliki tata kehidupan masyarakat yang teguh memegang tradisi. Masyarakat desa ini sebagian besar beragama Hindu yang berbeda dengan Hindu Dharma Bali. Perbedaan ini antara lain adalah adanya tradisi Kasada yang merupakan pengungkapkan rasa syukur mereka dengan

membuang hasil pertanian dan peternakan ke dalam kawah Gunung Bromo di bulan Kasada. Seiring dengan berjalannya waktu maka kehidupan masyarakat Tengger juga mengalami perubahan, sebab tidak ada satupun dari masyarakat yang tidak berubah. Beberapa upacara yang masih sering dilakukan adalah upacara EntasEntas yang khusus dilakukan untuk menyucikan atman atau roh orang-orang yang telah meninggal dunia. Biasanya dilakukan pada hari keseribu, walaupun pelaksanaannya tidak harus tepat pada hari tersebut. Roh atau atman yang disucikan itu dengan harapan agar dapat masuk surga. Selain itu dalam memasuki kehidupan baru masyarakat Tengger juga masih teguh melakukan tradisi perkawinan yang dilakukan menurut adat budaya Tengger, yaitu upacara Praswala Gara yang bertujuan untuk menghilangkan sangkala dan memohon restu agar kehidupan pengantin baru selalu mendapat kebahagiaan. Selain itu juga ada upacara pujan yang dilakukan oleh masyarakat Tengger yang bertujuan untuk memohon keselamatan bagi seluruh desa, seperti acara Pujan Kapat yang dilakukan setiap bulan keempat penanggalan Tengger. Upacara Entas-Entas , Praswala Gara, dan Pujan Kapat merupakan contoh tradisi yang masih dilakukan masyarakat Tengger sampai saat ini, sehingga penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana tradisi tersebut dilaksanakan dan disosialisasikan.

Rumusan Masalah Entas-Entas , Praswala Gara, dan Pujan Kapat merupakan tradisi yang masih ditemui hingga saat ini, sebab selalu dilaksanakan. Pola komunikasi yang terjadi dalam hal pelestarian tradisi tersebut menarik untuk dikaji. Sebagai

masyarakat yang dalam kehidupannya selalu berhubungan dengan banyak ritus upacara, masyarakat Tengger memiliki pola-pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana kebendaan yang berkaitan dengan sosialisasi tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat tersebut. Sehingga masalah penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Bagaimana proses berlangsungnya upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat pada masyarakat Tengger? 2. Bagaimana pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana/kebendaan masyarakat Tengger dalam pelestarian tradisi Entas-entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat? 3. Bagaimana pola komunikasi masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat kepada warga masyarakat dan generasi muda pada Masyarakat Tengger?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk: 1. Mendeskripsikan proses berlangsungnya upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat pada masyarakat Tengger. 2. Menganalisis pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana/kebendaan masyarakat Tengger dalam pelestarian tradisi Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat. 3. Menganalisis pola komunikasi masyarakat Tengger dalam mensosialisasikan tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat kepada warga masyarakat dan generasi muda pada masyarakat Tengger.

Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian adalah berupa kegunaan akademis, yaitu diharapkan penelitian yang dilaksanakan ini mampu menyumbangkan kemajuan bagi khasanah keilmuwan di bidang komunikasi, khususnya komunikasi etnografi.

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Istilah culture atau budaya kembali pada kumpulan pengetahuan, bahasa, perilaku, ritual-ritual, adat kebiasaan, gaya hidup, sikap, kepercayaan dan adat istiadat yang berhubungan dan menunjukkan suatu identitas khusus dari suatu kelompok masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Ada beberapa definisi tentang kebudayaan menurut para ahli. Seorang antropolog E.B. Tylor yang dikutip oleh Soekanto (1990) memberikan definisi kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola -pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola -pola berfikir, merasakan atau bertindak. Soemardjan dan Soemardi yang dikutip oleh Soekanto (1990) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk misalnya saja agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat

yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua rasa, karya dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian atau dengan seluruh masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Geertz yang dikutip oleh Sobur (2004) mengatakan b ahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep -konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Rumusan kebudayaan Geertz ini lebih menitikberatkan pada simbol, yaitu bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai- nilai; dan di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi petunjuk bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, m edia sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial. Haviland (1985) yang dikutip oleh Endraswara (2003) bahwa ada empat ciri khas kebudayaan. Pertama , kebudayaan adalah milik bersama. Ciri semacam ini sering diteruskan sampai pemahaman bahwa kebudayaan adalah milik publik. Kedua, kebudayaan adalah hasil belajar. Semua kebudayaan adalah hasil belajar, bukan warisan biologis. Proses penerusan budaya dari generasi ke generasi berikutnya melalui proses enkulturasi. Ketiga, kebudayaan didasarkan pada lambang. Keempat, budaya merupakan kesatuan integratif. Kebudayaan tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebuah paket makna.

Menurut

Mulyana

(2001)

budaya

adalah

suatu

konsep

yang

membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara manusia hidup. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya memiliki beberapa karakteristik, yaitu: budaya itu kompleks dan bertahap, budaya itu subjektif, budaya berubah sepanjang waktu serta budaya sebagian besar tidak nyata dan abstrak. Semua unit sosial memba ngun sebuah budaya. Dalam suatu hubungan interpersonal antara dua orang, mereka memiliki sebuah kebiasaan bersama yang dikembangkan dalam suatu waktu. Mereka membangun sebuah adat kebiasaan, pola bahasa, ritual-ritual dan adat istiadat yang dikembangkan dalam pola hubungan yang memiliki sebuah karakter tersendiri. Kelompok membangun sebuah budaya sendiri, demikian juga organisasi juga memiliki budaya sendiri. Seringkali mereka punya pola-pola khusus, seperti dalam hal berpakaian, tata ruang, gaya pertemuan, pola pikir, gaya bicara, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Budaya yang lebih beragam dan kompleks biasa diasosiasikan dengan sebuah masyarakat atau negara. Sehingga istilah budaya lebih umum dipakai untuk menyebut berbagai karakteristik yang meliputi ba hasa, ritual, pola perilaku dan adat istiadat. Budaya yang dibangun dari masing-masing unit sosial tersebut sangat khas dan memiliki karakter yang spesifik. Budaya memiliki beberapa fungsi yang sangat penting khususnya dalam perspektif komunikasi, yaitu: m enghubungkan individu yang dan negosiasi diantara para anggota. Banyak pendapat para sarjana tentang unsur -unsur kebudayaan. Herskovits yang dikutip oleh Soekanto (1990) mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu: 1. Alat-alat teknologi. 2. Sistem ekonomi. 3. Keluarga. satu dengan yang lain;

melengkapi identitas umum yang mendasar dan menciptakan konteks interaksi

4. Kekuasaan politik. Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi, sebagaimana yang dikutip oleh Soek anto (1990) menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut: 1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya. 2. Organisasi ekonomi. 3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; dimana keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama. 4. Organisasi kekuatan. Antropolog C Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1994) menyimpulkan adanya tujuh unsur universal yang merupakan isi dari semua

kebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu: 1. Sistem religi dan upacara keagamaan. 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan. 3. Sistem pengetahuan. 4. Bahasa. 5. Kesenian. 6. Sistem mata pencaharian hidup. 7. Sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia dimanapun dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari

konsepnya. Setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud, yaitu: 1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan dan nilai - nilai. 2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisasi, terstruktrur) dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan), yaitu benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah idiil dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala -kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan

mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan idiil sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan. Kebudayaan idiil dapat disebut adat tata-kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tatakelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan idiil itu biasanya juga berfungsi sebagai tata -kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan terbatas. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, yaitu: (1) tingkat nilai-budaya; (2) tingkat normanorma; (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan khusus. Tingkat adat yang pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide -ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa biasanya bersifat kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Tingkat ini dapat disebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-budaya tingkat pertama dalam suatu kebudayaan bia sanya tidak banyak. Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tingkat adat yang ketiga dan yang lebih konkret a l gi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Selanjutnya tingkat adat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini amat konkret sifatnya dan banyak diantaranya terkait dalam sistem hukum. Contohnya adalah peraturan lalu lintas. Contoh dari aturan khusus yang tidak tersangkut ke dalam sistem hukum adalah aturan sopan-santun. Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitasaktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu sama lain,

10

yang dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata -kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret dan berupa benda -benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Misalnya adalah pabrik baja, benda -benda yang besar dan indah seperti bangunan candi atau pula benda-benda kecil seperti kain batik atau bahkan kancing baju. Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tersebut adalah: 1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia. 2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu gene rasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan. Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi bila seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu (Soekanto, 1990): 1. Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya. 2. Kebudayaan bersifat stabil disamping juga dinamis dan setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan-perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis.

11

3. Kebudayaan mengisi serta menentuka n jalannya kehidupan manusia, walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara singkat dapat diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur kebudayaannya. Kebudayaan dimaksudkan sebagai hadirnya seperangkat nilai - nilai dan norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Nilai secara umum berkaitan dengan segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. Nilai dalam kajian ilmu sosial (nilai sosial) dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek, gagasan atau orang (dikutip oleh Sulaeman, 1998 dari Bertrand). Norma merupakan standar-standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of reference). Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu-individu (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Cara yang demikian ini pada gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan interaksi dengan orangorang lain dalam suatu pola makna tertentu yang konstan. Kebudayaan semacam ini biasa disebut sebagai kebudayaan non-material. Kebudayaan juga dapat dilihat dari aspek material, dalam hal ini bendabenda fisik buatan manusia. Benda -benda e t rsebut dibuat dengan tujuan dan makna tertentu. Misalnya buku, artefak, pakaian, masjid, komputer dan sebagainya adalah sebutan-sebutan yang mempunyai makna khusus. Berdasarkan uraian di atas, kebudayaan dapat dipahami dalam beberapa rumusan. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua pola berpikir, merasakan dan bertindak. Kedua, kebudayaan adalah sesuatu yang superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan diturunkan dari generasi-generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian. Ketiga, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara mempelajarinya (Kolopaking, 2003).

12

Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan. Kingsley Davis yang dikutip oleh Soekanto (1990) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Dalam kehidupan sehari-hari acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebab tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu masyarakat. W alaupun secara teoritis dan analitis pemisahan antara pengertian -pengertian tersebut dapat dirumuskan, namun di dalam kehidupan nyata, garis pemisah tersebut sukar dapat dipertahankan. Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu kedua -duanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya

menyangkut hal-hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilai nilai sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga -lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sosial menunjukkan pada perubahan fenomena sosial di berbagai bidang tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual, masyarakat hingga tingkat dunia. Perubahan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu: a. Perubahan lambat dan perubahan cepat. Perubahanperubahan yang memerlukan waktu lama dan rentetanrentetan perubahan kecil ya ng saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar -dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat (yaitu lembaga -lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan revolusi.

13

Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi - sendi pokok kehidupan masyarakat. b. Perubahan kecil dan perubahan besar. Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas, karena batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. c. Perubahan yang dikehendaki ( intended-change) atau perubahan yang direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplannedchange). Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang direncanakan terlebih dahulu oleh fihak -fihak yang hendak mengadakan perubahan masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan, merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan dapat bersumber dari dalam atau dari luar masyarakat. Sumber yang berasal dari dalam masyarakat adalah: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan atau konflik masyarakat dan terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan sumber-sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat tersebut adalah: sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia (gempa, bencana alam, banjir dan lain-lain), peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Faktor-faktor yang lain (Soekanto, 1990): a. b. Kontak dengan kebudayaan lain. Sistem pendidikan formal yang maju. mendorong jalannya perubahan yang terjadi antara

14

c. d. e. f. g. h. i.

Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang bukan merupakan delik. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification ). Penduduk yang heterogen. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Orientasi ke masa depan. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah:

a. b. c. d.

Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. Sikap masya rakat yang sangat tradisional. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interests .

e. f. g. h. i.

Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. Adat atau kebiasaan. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki (Soekanto, 1990). Saluran-saluran perubahan kebudayaan (avenue or channel of change)

merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga -lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu masa yang tertentu. Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan. Hal ini disebabkan manusa mempunyai hasrat yang kuat dalam dirinya untuk menjadi bagian dari manusia lainnya. Dalam bergaul dengan manusia lainnya dikenal adanya komunikasi. Berbicara mengenai komunikasi, banyak paradigma yang bisa kita maknai. Secara harfiahnya komunikasi merupakan

15

jalinan yang terjadi dalam sistem sosial dengan berbagai pendukungnya seperti adanya media-media komunikasi yang berkembang saat ini (Soekartawi, 1988). Kata komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication berasal dari bahasa latin communis yang berarti sama, communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama (to make common ). Secara sederhana komunikasi didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Menurut Devito (1997) komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise ), terjadi dalam konteks tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik. Rogers dan Kinchaid (1981) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam. Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi. Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai definisi berorientasi komunikasi meyampaikan sumber sebagai (source kegiatan oriented yang definition) yang mengisyaratkan seseorang orang untuk lain. sengaja dilakukan

rangsangan

guna

membangkitkan

respons

Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif. Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada model ini komunikasi terjadi karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada

orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan intepretasi lebih lanjut. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain

berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dikutip oleh Mulyana (2003), seperti Gambar 1.

16

Sumber

Pesan

Saluran

Penerima

Gambar 1. Model Komunikasi Linear Gambar tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau indoktrinasi. Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis. Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga bentuk yaitu: (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada suatu saat sejumlah lingkaran tumpang tindih. Model heliks menurut Dance (1967) yang dikutip oleh Jahi (1993) menunjukkan kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan situasi konvergen. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikan bergerak menuju ke suatu arah dalam arti saling memahami pesan yang disampaikan, dan (2) seorang partisipan mungkin b ergerak menuju arah berbeda. Proses konvergen tidak selalu berarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan. komunikan atau ruang kehidupan yang

17

Model ziczac menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) menunjukkan situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui untuk meyakinkan diri bahwa

pertukaran tanda -tanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik. Dalam model ini diperlukan adanya waktu

komunikan sedikit banyak telah memahami apa yang dimaksud yang dimungkinkan oleh persoalan pemakaian iterasi. Dengan kata lain, peristiwa komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi. Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal. Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi. Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder (Effendy, 2003). 1. Proses Komunikasi Secara Primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. Komunikasi berlangs ung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan perkataan lain komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned ) bagi komunikator dan komunikan.

18

2. Proses Komunikasi Secara Sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Terdapat dua macam bentuk komunikasi secara umum, yaitu komunikasi verbal dan non verbal (Sobur, 2004): 1. Komunikasi Verbal Komunikasi verbal secara sederhana adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata -kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. Misalnya, kata rumah, kursi, mobil atau mahasiswa. Realitas apa yang diwakili oleh setiap kata itu? Begitu banyak ragam rumah. Ada rumah bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana.

2. Komunikasi Non Verbal Definisi harfiah komunikasi non verbal sebagai komunikasi tanpa kata, merupakan suatu penyederhanaan berlebihan (oversimplification ), karena kata yang berbentuk tulisan tetap dianggap verbal meskipun tidak memiliki unsur suara. Stewart dan DAngelo (1980) yang dikutip oleh Tubbs dan Moss (2001) berpendapat bahwa bila kita membedakan verbal dari non verbal dan vokal d ari non vokal, kita mempunyai empat kategori atau jenis komunikasi. Komunikasi verbal vokal merujuk pada komunikasi melalui kata yang diucapkan. Komunikasi verbal non vokal, yaitu kata-kata digunakan tapi tidak diucapkan. Komunikasi non verbal vokal be rupa vokalisasi, misalnya berupa gerutuan. Komunikasi yang terakhir adalah komunikasi non verbal non vokal, yaitu hanya mencakup sikap dan penampilan, komunikasi jenis ini membawa pesan-pesan

19

linguistik. Pesan-pesan tersebut dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kita dapat mengacungkan tangan untuk memilih ya pada suatu pertemuan atau untuk menghentikan taksi. Kita menyentuh dengan halus tangan seorang teman untuk menghiburnya. Komunikasi non verbal menurut Ekman (1965) dan Knapp (1978) yang dikutip oleh DeVito (1997) memiliki enam fungsi, yaitu: 1. Untuk menekankan. Komunikasi non verbal digunakan untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal. Misalnya, kita mungkin tersenyum untuk menekankan atau ungkapan tertentu, atau memukulkan tangan ke meja untuk menekankan suatu hal tertentu. 2. Untuk melengkapi ( complement ). Komunikasi non verbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, mungkin kita tersenyum ketika menceritakan kisah lucu atau menggel eng-gelengkan kepala ketika

menceritakan ketidak-jujuran. 3. Untuk menunjukkan kontradiksi. Kita dapat juga secara sengaja mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan non verbal. Sebagai contoh, menyilangkan jari atau mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang kita katakan adalah tidak benar. 4. Untuk mengatur. Gerak-gerik non verbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan untuk mengatur arus pesan verbal. Mengerutkan bibir,

mencondongkan badan ke depan atau membuat gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa kita ingin mengatakan sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Kita mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan jenak (pause ) kita (misalnya, dengan menggumamkan umm) untuk memperlihatkan bahwa kita belum selesai bicara. 5. Untuk mengulangi. Kita dapat mengulangi atau merumuskan ulang makna dari pesan verbal. Misalnya, kita dapat menyertai pernyataan verbal Apa benar? dengan

20

mengangkat alis mata atau dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi pesan verbal Ayo kita pergi. 6. Untuk Menggantikan. Komunikasi non verbal juga dapat menggantikan pesan verbal kita, misalnya, mengatakan oke dengan tangan tanpa berkata apa -apa. Kita dapat menganggukkan kepala untuk mengatakan ya atau menggelengkan kepala untuk mengatakan tid ak. Ada tiga tujuan komunikasi yang dikatakan oleh Berlo (1960) yaitu untuk memberi informasi ( informatif ), untuk membujuk ( persuasif) dan untuk tujuan menghibur (entertainment). Gorden sebagaimana yang dikutip oleh Mulyana (2001) menyatakan bahwa ada empat fungsi komunikasi yaitu komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental. 1. Komunikasi Sosial Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi adalah penting dalam membangun konsep diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan tegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain. 2. Komunikasi Ekspresif Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adal ah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun terutama lewat perilaku n onverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orangdapat menyalurkan kemarahan dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan memelototkan matanya. 3. Komunikasi Ritual

21

Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan, perkawinan hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (shalat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran juga merupakan komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka. Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam seseorang3. Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagai komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri, yang bersifat :abadi, dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok kita. Komunikasi ritual ini kadang-kadang bersifat mistik4.

4. Komunikasi Instrumental Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan,
3

Contoh komunikasi ritual yang bersifat ekspresif ini adalah ketika orang menziarahi makam Nabi Muhammad, bahkan menangis di dekatnya untuk menunjukkan kecintaan kepadanya. Selain itu para siswa anggota Paskibraka mencium bend era merah putih, untuk menunjukkan rasa cinta mereka kepada Nusa dan Bangsa, terlepas dari kita setuju terhadap perilaku mereka atau tidak. 4 Contohnya adalah Suku Aborigin (penduduk asli Australia) yang mata pencaharian tradisionalnya adalah berburu dan mengumpulkan makaanan, melakukan upacara tahunan untuk memperoleh peningkatan rezeki. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati tanaman dan hewan yang juga berbagi tanah air. Menurut kepercayaan mereka, upacara itu penting dilaksanakan untuk menjamin kelestarian tanaman dan hewan yang menentukan kelestarian hidup mereka.

22

mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur. Bila diringkas, maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasif). Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan. Hubungan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan erat. Budaya telah menciptakan sebuah komunikasi spesifik, artinya budaya dapat diartikan sebagai sebuah interaksi manusia yang cukup cermat dimana karakteristik-karakteristik budaya, apakah itu adat-istiadat, peranan, pola perilaku, ritual-ritual dan hukum diciptakan dan dipertukarkan. Dengan kata lain budaya adalah hasil dari sebuah komunikasi sosial. Tanpa komunikasi budaya tidak akan mungkin terpelihara dan bertahan dalam suatu tempat dan suatu waktu yang lain. Budaya telah tercipta, terbentuk, dipindahkan/ditransmisikan dan dipelajari melalui proses komunikasi. Implisit da lam komunikasi sosial adalah fungsi komunikasi kultural. Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya merupakan bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunik asipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Sesuai pendapat Hall yang dikutip oleh Mulyana (2001) bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horisontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk suatu kelompok tertentu, misalnya jangan melawan orang tua, bersikaplah ramah pada tamu, dan sebagainya. Budaya bahkan mempengaruhi manusia setelah manusia mati. Mengurus orang meninggal apakah mayatnya dikafani atau dalam

23

peti mati, setelah itu apakah mengadakan tahlilan atau tidak, juga bergantung pada norma-norma budaya yang berlaku pada komunitas kita (Mulyana, 2001).

Upacara Religi Durkheim dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mendefinisikan suatu religi sebagai suatu sistem yang berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacaraupacara yang keramat, artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut Umat. Banyak para ahli yang melahirkan teori-teori yang berorientasi kepada upacara religi, antara lain Smith dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) tentang upacara bersaji, dimana inti teorinya yang menganalisis azas-azas religi tidak berpangkal pada analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin dari religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Dia menemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang pertama , mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupa kan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan yang kedua, adalah bahwa upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersam a-sama mempunyai fungsi sosial. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguhsungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka mengangap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Sedangkan gagasan ketiga , adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya upacara seperti itu, dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, oleh Smith (1889) yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa.

24

Preusz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mengemukakan konsep-konsepnya mengenai azas-azas religi yang mendekati masalahnya dari sudut upacara. Anggapannya adalah bahwa rangkaian ritus yang paling penting dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian. Menurutnya ritus atau upacara religi aka n bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika. Namun secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut. Hertz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga mengemukakan analisanya tentang azas religi yang berorientasi kepada upacara dan khususnya upacara kematian. Dia menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif dalam masyarakat tadi. Di sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terd apat pada banyak suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain, yaitu kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Pada berbagai suku-bangsa di

Indonesia upacara kematian itu terdiri dari tiga tingkat, yaitu: (1) Sepulture privisoire, (2) Periode intermediare dan (3) Ceremonie finale. Mula -mula mayat diberi suatu sepulture privisoire , yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaer atau masa antara yang biasanya berlangsung tiga hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal itu hidup dalam keadaan keramat. Kedudukan yang baru untuk roh yang meninggal itu dicapai pada ceremonie finale , yaitu pada upacara di mana tulang belulang dan sisa-sisa jasmani orang yang meninggal itu digali lagi (dan kadangkadang setelah itu dibakar), lalu ditempatkan di pemakaman yang tetap. Sesudah analisa yang dalam tentang berbagai unsu r dalam upacara-upacara kematian pada

25

berbagai suku bangsa di Indonesia, yang memberi kesimpulan kepadanya bahwa upacara kematian itu tidak lain daripada suatu upacara inisiasi , Hertz menunjukkan bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara kematian manusia dengan unsur -unsur upacara kelahiran dan pernikahannya. Pada kelahiran, seorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup, pada kematian ia beralih dari alam hidup ke alam gaib. Seorang ahli folklor Van Gennep (1908) yang dikutip oleh secara

Koentjaraningrat (1987) berpendirian bahwa ritus dan upacara religi

universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Serupa dengan Hertz dalam kaitan dengan upacara kematian, Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) perpisahan atau separation , (2) peralihan atau merge dan (3) integrasi kembali atau agregation. Dalam bagian pertama dari ritus, yaitu bagian separation , manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan itu. Bagian kedua dari ritus, yaitu bagian merge , manusia dianggap mati atau tidak ada lagi dan dalam keadaan seperti tidak tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Sedangkan bagian ketiga dari upacara, yaitu bagian agregation , yaitu mereka diresmikan ke dalam tahap kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru. Dalam banyak kehidupan ritus peralihan sangat penting, misalnya dalam upacara hamil tua, upacara saat-saat anak-anak tumbuh (upacara memotong rambut yang pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si bayi dengan tanah untuk pertama kali dan sebagainya) dan dalam upacara inisiasi . Data etnografi Van Gennep menunjukkan bahwa ritus perpisahan itu sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan pengukuhan lebih sering berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut. Upacara religi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan, diistilahkan sebagai ritus dan (2) yang bersifat integrasi dan pengukuhan, distilahkan sebagai upacara. Religi menurut Koentjaraningrat (1987) memiliki lima komponen, yaitu:

26

emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, (5) umat agama (gambar 2). Pemecahan religi ke dalam lima komponen tersebut digunakan untuk memudahkan analisis. Kelimanya memiliki peranan sendiri - sendiri, tetapi tetap berkaitan satu sama lain. Emosi keagamaan menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Soderblom dalam Koentjaraningrat (1987) menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap takut bercampur percaya kepada hal yang gaib serta keramat, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat ( esykatologi), tentang wujud dan ciri ciri kekuatan sakti, roh, dewa dan makhluk halus lainnya. Selain itu sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Sistem keyakinan ini biasanya terkandung dalam kesusasteraan suci, baik yang sifatnya tertulis maupun lisan dari religi atau agama yang bersangkutan.

Sistem keyakinan

Umat agama

Emosi keagamaan

Sistem ritus dan upacara keagamaan

Peralatan ritus dan upacara

Gambar 2. Kelima Komponen Religi

Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan

27

tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa, roh atau makhluk halus lain dengan tujuan untuk berkomunikasi. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim atau kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti: berdoa, bersujud, be rsaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, bertapa dan bersamadi. Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan, payung dewa, alat bunyibunyian suci (orgel, genderang suci, gong, seruling suci, gamelan suci, lonceng dan lain-lain). Selain itu para pelaku upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci, seperti jubah pendeta, jubah biksu da n lain-lain). Komponen kelima dari sistem religi adalah umatnya atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu. Kesatuan sosial yang bersifat umat agama itu dapat berwujud sebagai: (1) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (2) kelompok kekerabatan yang lebih besar, seperti keluarga -luas, klen, gabungan klen, suku, marga dan lain-lain, (3) kesatuan komunitas seperti desa, gabungan desa dan lainlain, (4) organisasi atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama, organisasi sangha, organisasi gereja, partai politik yang berideologi agama, gerakan agama, orde -orde rahasia dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1987).

Masyarakat Tengger dan Berbagai Upacaranya

28

Masyarakat Te ngger dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai ritual upacara yang selalu dilakukan dalam rangka pemanjatan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan maupun sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki yang telah mereka terima. Ritual upacara mereka secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu 5: 1. Upacara Lingkup Keluarga. Upacara jenis ini terdiri dari upacara kelahiran, upacara perkawinan dan upacara kematian. Upacara ini biasanya dilakukan dalam lingkup keluarga, sehingga penanggung jawab pelaksanaan adalah keluarga yang punya hajat. Berbagai macam upacara yang berkaitan dengan jenis ini antara lain: a. Upacara sesayut/ upacara mitoni, yaitu upacara yang dilakukan saat bayi berumur tujuh bulan. Upacara ini menggunakan sarana berupa: tumpeng, panggang ayam, bunga di dalam air cepel/ kuwali, lawe. Tujuan mitoni ini adalah agar bayi tersebut mudah saat lahir dan selamat beserta ibunya. Pelaksanaan upacara ini yaitu: bunga di dalam kuwali dimandikan kepada ibunya, sedangkan la wenya disabukkan ke perut ibu. Mandi dengan bunga bermakna agar ibu dan bayinya dalam kandungan tetap harum dan suci. Sedangkan lawe yang disabukkan bermakna agar ibu dan bayi tetap menyatu dan lahir dengan selamat. b. Upacara kekerik / membersihkan, dilaksanakan setelah bayi dilahirkan dan cuplak pusernya. Maknanya adalah membersihkan ibu dan anak setelah melahirkan. Sebab sebelum upacara kekerik/ pembersihan dilaksanakan, masih ada saja gangguan-gangguan kepada ibu dan anak yang baru dilahirkan. c. Upacara among-among, dilakukan bersama upacara kekerik . Upacara ini ini dilakukan untuk mengamongi keluarga atau saudara-saudara tertua dan orang tua dari ibu dan bapak yang baru melahirkan. Tujuannya adalah agar nantinya orang tua dan saudara-saudaranya serta para sesepuh bisa ngemong/ memberi petunjuk yang baik kepada anak yang dilahirkan supaya setelah dewasa menjadi orang yang berguna. d. Upacara tanam ari-ari, dilakukan setelah ari - ari sudah keluar dan dilakukan oleh dukun bayi.
5

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koordinator Dukun Sekawasan Tengger (Bapak Mudjono) dan juga merupakan dokumentasi pribadi yang tidak dipublikasikan.

29

e. Upacara setelah bayi berumur 44 hari. Upacara ini dilakukan agar bayi dapat diajak keluar. Sebelum berumur 44 hari bayi tidak boleh dibawa keluar dari rumah atau halaman rumah termasuk ibunya. f. Upacara tugel gombak/ tugel kuncung. Upacara ini dilakukan dengan memotong sedikit rambut, tugel kuncung adalah sebutan untuk laki- laki, sedangkan tugel gombak adalah sebutan untuk perempuan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan sengkala. g. Upacara Ngruwat/ Ruwatan, dilaksanakan setelah anak menginjak dewasa. Dilakukan bagi anak-anak yang tidak punya saudara sama sekali. Tujuannya adalah untuk menjaga keselamatan agar tidak diganggu oleh butakala. h. Upacara pernikahan/ Praswala Gara, yaitu upacara pernikahan yang dilakukan menurut tradisi Tengger. Secara lengkap akan diterangkan pada bagian pembahasan Upacara Praswala Gara. i. Upacara Kematian, rangkaian upacara kematian ini dilakukan pada saat upacara penguburan di pemakaman, upacara yang dilakukan di rumah duka dan upacara Entas -Entas yang dilakukan minimal 44 hari setelah kematian. Upacara Entas -Entas ini diterangkan secara lebih lengkap pada pembahasan upacara tersebut.

2. Upacara Lingkup Desa. Upacara jenis ini biasanya memilik i cakupan yang luas karena dilakukan oleh seluruh warga desa bahkan juga seluruh warga masyarakat Tengger. Penanggung jawab pelaksana an biasanya adalah Petinggi (Kepala Desa) sebagai pemangku adat beserta para perangkatnya serta Dukun dan para kerabatnya (Legen dan Wong Sepuh) sebagai pelaksananya. Beberapa upacara jenis ini antara lain: a. Upacara Kasada , berupa ungkapan syukur yang dilakukan dengan membuang hasil pertanian ke kawah Gunung Bromo pada bulan ke- dua belas (bulan Kasada) waktu bulan purnama. Upacara ini diikuti oleh seluruh masyarakat Tengger yang berpusat di Pura Agung Poten di lautan pasir Gunung Bromo dan merupakan upacara terbesar dalam kehidupan masyarakat Tengger.

30

b.

Upacara Karo, dilakukan dengan mengadakan upacara di Pura dan di desa, merupakan upacara terbesar kedua setelah Kasada.Upacara ini dilakukan pada tanggal 15 bulan kedua penanggalan Tengger (bulan Karo).

c.

Upacara Unan-Unan , yaitu upacara bersih desa yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Tujuannya adalah untuk menjauhkan desa dari mara bahaya. Rangkaian upacaranya adalah: Banten Kayopan Agung, Yatnya Nguna Sasi / korban maesa (berupa kerbau yang dikorbankan dalam upacara tersebut) dan Yatnya Tandur Tuwuh.

d.

Upacara Pujan, yaitu tradisi pemujaan yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga masyarakat. Pujan ini macamnya adalah Pujan Kapat (bulan keempat), Pujan Kapitu (bulan ketujuh), Pujan Kawolu (bulan kedelapan), Pujan Kesanga (bulan ke sembilan) dan Pujan Kasada (bulan kedua belas). Sebagaimana hasil penelitian dari Soemanto dalam buku Agama

Tradisional menyatakan bahwa nilai budaya masyarakat Tengger terwujud dalam aturan-aturan adat yang benar-benar dipedomani oleh masyarakatnya dan hal ini didukung pula oleh pandangan agama dan kepercayaannya yang menjadi kesatuan dalam sikap kehidupan sehari-hari. Berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut, masyarakat adat Tengger selalu berusaha untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Agung. Banyak hal yang ikut menentukan kepatuhan warga Tengger terhadap keberadaan nilai- nilai sosial budaya. Selain hal di atas adalah melekatnya budaya paternalistik dalam masyarakat. Pemimpin atau tokoh adat merupakan panutan sentral bagi warga, sehingga kemungkinan kecil terdapat perilaku-perilaku sosial budaya masyarakat yang menyimpang dari kebiasaan yang ada. Hasil penelitian terdahulu yang terhimpun dalam buku yang berjudul Agama Tradisional menjelaskan dalam sistem sosial budaya Tengger selama ini, belum pernah terjadi peristiwa sosial baru atau bentuk-bentuk budaya baru, baik yang dilakukan oleh individu atau kelompok sosial dalam masyarakat. Masyarakat (terutama generasi baru) cenderung ingin mengetahui, memahami, melaksanakan dan menghargai terhadap sistem sosial budaya yang lama. Nilai-nilai sosial budaya Tengger sudah

31

melembaga

sedemikian

kuat

dalam

masyarakat

Tengger

sehingga

ketradisionalannya tetap terpelihara. Daerah Tengger adalah daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Para wisatawan sedikit banyak akan membawa perubahan sosial dalam kehidupan yang belum diketahui oleh masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Tengger yang banyak melakukan interaksi dengan wisatawan lambat laun juga akan mengalami perubahan karena pengaruh modernisasi yang dibawa oleh wisatawan. Dengan demikian, mereka banyak menyerap pengetahuan dan pengalaman dari orang luar Tengger. Memang dalam beberapa hal interaksi tersebut perlu untuk dilakukan, namun dalam kasus lain perlu adanya benteng dari masyarakat terhadap pengaruh budaya asing. Hal ini perlu dilakukan mengingat interaksi dengan orang asing, baik dalam negeri maupun luar negeri tidak selamanya membawa pengaruh yang positif (Anwar, 2003). Pada akhir abad 20-an kehadiran lembaga sekolah tidak diterima secara mulus oleh masyarakat Tengger. Oleh karena itu cara penanamannya melalui penyadaran, perintah, bahkan terkadang dengan cara memaksa. Seperti adanya aturan dari pemerintah desa tentang ijin menikah yang bisa diberikan jika pasangan calon pengantin sudah lulus sekolah menengah pertama. Penerimaan pembaruan dan inovasi untuk saat sekarang ini disamping dilakukan melalui pendidikan formal atau lembaga sekolah, juga dilakukan dengan cara menghimpun kelompok-kelompok masyarakat melalui jalur-jalur nonformal, seperti Pramuka. Selain itu penerimaan pembaruan dan inovasi juga banyak dipengaruhi oleh para pendatang yang berasal dari luar Tengger dan tamu wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Gunung Bromo. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran lembaga pendidikan, baik yang formal maupun nonformal di daerah Tengger, sedikit demi sedikit telah banyak membantu untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Tengger. Keterbukaan dalam hal pembaruan di daerah Tengger ini sedikit demi sedikit juga mengalami peningkatan, dalam artian masyarakat Tengger dapat menerima

32

pembaruan tersebut. Akibatnya, orang Tengger dapat dikatakan sudah mulai berubah dan telah mengalami kemajuan (Machmud, 2003). Pergeseran atau perubahan nilai yang terjadi pada masyarakat Tengger adalah pergeseran atau perubahan nilai - nilai yang bersifat instrumental dan bukan nilai-nilai hakikinya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa sampai sekarang kepatuhan dan ketaatan terhadap kepercayaan, rasa kekeluargaan yang masih cukup kental, rasa toleransi terhadap sesama dan orang lain masih sangat kuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir semua adat dan budaya warisan nenek moyang mereka masih tetap dilestarikan walaupun dalam bentuk yang lain, tetapi tetap memiliki makna yang sama (Hayat, 2003). Beberapa kondisi masyarakat Tengger menurut sejarah dapat dilihat dari beberapa dekade, yaitu (Hefner, 1985): (1) Tengger pada Zaman Majapahit Sejak awal kerajaan Hindu di Indonesia Pegunungan Tengger diakui sebagai tanah suci. Penghuninya dianggap sebagai abdi spiritual yang patuh dan disebut hulun (abdi) dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dipelajari dari Prasasti Tengger yang pertama ditemukan berasal dari abad ke-10. Prasasti itu berangka tahun 851 Saka (929 Masehi) dan menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger, adalah tempat suci karena dihuni oleh hulun (abdi Hyang Widhi) . Hal ini diperkuat pula dengan prasasti berangka tahun 1327 Saka (1405 M) yang ditemukan di daerah Penanjakan, termasuk Desa Wonokitri Pasuruan. Prasasti ini menyatakan bahwa desa Walandit dihuni oleh Hulun Hyang (abdi Tuhan) dan tanah di sekitarnya itu disebut hilahila (suci) (Hefner, 1985). Oleh sebab itu desa tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak. Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis dengan agama Hindu. Hal ini tampak pula dalam hubungan antara nama Bromo dengan Dewa Brahma dalam agama Hindu. Gunung Bromo dijadikan tempat pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma dan digunakan sebagai tempat penyucian para arwah untuk bisa naik ke kahyangan. Lautan pasir digambarkan sebagai jalan bagi arwah manusia dalam perjalanan penyucian sebelum bisa naik ke kahyangan.

33

Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis yang sangat erat dengan kerajaan Majapahit. Hal ini diperkuat pula dengan adanya berbagai alat upacara agama yang berasal dari zaman kera jaan Majapahit, yang sampai saat ini masih dipakai oleh para Dukun Tengger. Alat-alat itu antara lain adalah prasen yang merupakan tempat air suci terbuat dari kuningan bergambar patung dari dewa dan zodiak agama Hindu. Sebagian besar prasen yang digunakan di Tengger berangka tahun Saka antara 1243 dan 1352. Saat itu adalah masa kejayaan Majapahit. Alat-alat ritual lain yang berasal dari Majapahit adalah sampet , yaitu selendang berwarna kuning yang biasa dipakai oleh Dukun pada waktu memimpin berbagai upacara adat. Demikian pula menurut naskah yang berasal dari keraton Yogyakarta yang berangka tahun 1814 M (Nancy), konon daerah Tengger termasuk wilayah yang dihadiahkan kepada Gajah Mada karena jasa-jasanya kepada keraton Majapahit. (2) Tengger dari Abad ke -16 sampai ke -18 Keadaan daerah Tengger pada abad ke-16 sulit diketahui karena kurangnya informasi mengenai sejarah Tengger. Dalam Serat Kandha diberitakan adanya seorang guru agama yang ikut berjuang melawan musuh Majapahit. Namun karena kegagalannya keraton-keraton yang dulu terletak di bawah pegunungan Tengger dibongkar dan penghuninya diusir. Pada awal abad ke-17 situasi politik di Pulau Jawa berubah dengan adanya perpindahan pusat kekuasaan dari pesisir utara bergeser ke selatan. Sultan Agung memperluas kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang akhirnya sampai pula ke daerah Tengger. Pusat kerajaan pengikut agama Hindu yang masih di ujung timur tinggal di Blambangan, yang akhirnya dapat dikuasai oleh Sultan Agung. Sebagai akibatnya pada saat pasukan Mataram kembali dari Blambangan, mereka lewat pegunungan Tengger dan merusak keraton, serta membawa sebagian orang Tengger ke Mataram. Namun demikian rakyat daerah Tengger itu masih tetap mempertahankan identitasnya dan melawan kekuasaan Mataram. Pada tahun 1680 M sewaktu Trunajaya gagal memberontak melawan Mataram dan pasukan Belanda, ia lari ke arah timur dan kemudian dibantu oleh orang Tengger. Demikian pula pada waktu Surapati melawan Mataram dan pasukan Belanda, setelah terdesak ia juga lari ke ujung timur, ke Pasuruan dan

34

dibantu oleh orang-orang Tengger. Perlawanan rakyat Tengger ini baru dapat dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1764. (3) Tengger pada Abad ke-19 Pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 pejabat Belanda mulai memasuki daerah Te ngger untuk mengamati keadaan sosial ekonominya. Pada tahun 1875 didirikan sebuah pesanggrahan di Tosari dan di daerah ini mulai ditanam sayurmayur dari Eropa dan Amerika. Para pengamat Belanda itu memperhatikan tradisi Tengger dan memperoleh gambaran bahwa daerah Tengger bebas dari kejahatan, bebas dari candu serta masyarakat Tengger bersifat jujur dan lurus hati. Mereka pemeluk agama Hindu yang memuja Brahma, Siwa dan Wisnu. Situasi politik abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah Tengger dan sekitarnya menarik para pendatang dari daerah yang mulai padat. Para penghuni baru mulai berdatangan dan membuka pemukiman baru. Pada saat terjadi perlawanan Diponegoro terhadap pasukan Belanda, yang akhirnya dapat dipatahkan, sebagian sisa pasukan Diponegor o lari ke timur dan menghuni daerah sekitar pegunungan Tengger. Sebagai akibatnya daerah dataran sekitar Tengger dihuni oleh pendatang baru dan menjadi terpisah dengan masyarakat Tengger asli. (4) Tengger Sesudah Tahun 1945 Peran masyarakat Tengger pada waktu perang kemerdekaan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak jelas. Menjelang tahun 1945 rakyat Tengger mulai menggali lagi identitasnya dengan mempelajari sejarah nenek moyangnya yang berasal dari daerah Ma japahit. Agama yang dipeluk pada waktu itu tidak jelas meskipun menyatakan diri beragama Budha, namun ciri-cirinya tidak jelas. Kemudian sejak tahun 1973 mulai diadakan pembinaan keagamaan, yaitu dengan memeluk agama Hindhu Dharma. Alasannya, dalam peribadatan yang dipakai, banyak ritual yang bersumber dari kitab Weda. Begitupun dengan dewa-dewa yang mereka puja, sebagian merupakan dewa-dewa dari agama Hindu selain beberapa dewa lokal dari nenek moyang.

35

Pola Komunikasi Pola merupakan ciri khas bagi tiap kegiatan akibat pengaruh lingkungan dan tingkah laku orang yang melakukan kegiatan secara terus-menerus baik dalam pekerjaan, pergaulan dan aktifitas kehidupan lainnya. Pada umumnya pola komunikasi terdiri dari dua bagian, yaitu pola komunikasi intern vertikal horisontal dan pola komunikasi ekstern (Departemen Penerangan, 1979). Instruksi dan laporan yang dikirimkan dan diterima oleh manajemen merupakan komunikasi intern tegak lurus (vertikal). Instruksi diberikan ke bawah, sedangkan laporan disampaikan ke atas melalui garis hierarki yang ditentukan. Selain bersifat instruksi, komunikasi juga merupakan edukasi dan informasi. Setelah data dan bahan diolah lalu dikembalikan ke bawah berupa putusan. Komunikasi intern tegak lurus lisan melalui pembicaraan, pertemuan dan telpon. Sedangkan dengan tulisan dapat berupa instruksi, memorandum, surat edaran, pemberitahuan, laporan, surat keputusan dan berbagai penerbitan atau media. Pola pendekatan komunikasi yang lebih luas dapat dilakukan dengan media massa yang merupakan sumber informasi untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Menurut Pace (2002) analisis pola -pola komunikasi menyatakan bahwa pengaturan tertentu mengenai siapa berbicara kepada siapa dan mempunyai konsekuensi besar dalam berfungsinya organisasi. Ada beberapa macam pola komunikasi, antara lain pola roda, pola lingkaran. Dimana pola roda mengarahkan seluruh informasi kepada individu yang menduduki posisi sentral. Sedangkan pola lingkaran memungkinkan semua anggota berkomunikasi satu dengan yang lainnya hanya melalui sejenis sistem pengulangan pesan. Selain itu juga terdapat pola lain, yaitu rantai dan bintang (semua saluran). Menurut Devito (1997) bahwa pola (struktur) rantai sama dengan struktur lingkaran kecuali bahwa para anggota yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Keadaan terpusat juga terdapat di sini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai pemimpin daripada mereka yang berada di posisi lain. Sedangkan pola bintang hampir sama dengan struktur lingkaran dalam arti semua anggota adalah sama dan semuanya juga memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lain. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan setiap anggota lainnya. Pola ini memungkinkan adanya partisipasi anggota secara optimum.

36

Pada dasarnya, Patterns (Pola) adalah suatu konsep yang ditujukan untuk memudahkan komunikasi antara satu orang dengan orang lain. Patterns memungkinkan manusia untuk memikirkan suatu aspek permasalahan dan solusi untuk permasalahan tersebut. Permasalahan yang sangat spesifik, dan solusi yang juga sangat spesifik. Patterns mendeskripsikan/menjelaskan permasalahan dan solusinya, dan juga mengkomunikasikannya. Patterns memungkinkan kita menyampaikan informasi dari satu orang ke orang lainnya. Patterns memudahka n kita mengkomunikasikan suatu konsep desain. Pola komunikasi dapat diartikan sebagai struktur yang sistematis tentang tingkah laku penerimaan dan pengiriman pesan diantara anggota kelompok, siapa berbicara kepada siapa dan tingkat keseringan tertentu yang membentuk suatu kebiasaan (Larson, 1985).

Pengetahuan dan Sikap Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa pengetahuan adalah unsurunsur yang mengisi akal dan jiwa manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Artinya pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Nonaka dan Takeuchi yang dikutip oleh Rinasari (1998), terdapat dua dimensi pengetahuan, yaitu: (1) dimensi ontologi, dimana pengetahuan diciptakan melalui individu-individu yang kemudian ditransformasikan dalam kelompok, organisasi dan antar organisasi; (2) dimensi epistemologi, dibedakan atas: (a) tacit knowledge (implisit), bersifat personal yang berakal dari dalam diri dan dari pengalaman, termasuk insight, intuisi, firasat dan kepercayaan diri; (b) explisit knowledge bersifat rasional, metodologis, positif dan empiris. Soekanto (1990) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca indera. Ashari dalam Zahid (1997) menambahkan pengetahuan adalah paham subyek mengenai obyek yang dihadapai. Pengetahuan didapatkan individu baik melalui proses belajar, pengalaman atau media elektronik yang kemudian disimpan dalam memori individu.

37

Walgito (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah mengenal suatu obyek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengatahuan ini disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu obyek, itu berarti orang tersebut telah mengetahui tentang obyek tersebut. Sedangkan pengertian sikap menurut Koentjaraningrat (1990) adalah suatu predisposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seseorang untuk bereaksi terhadap lingkungan, baik lingkungan manusia maupun lingkungan fisiknya. Walaupun berada di dalam diri individu, sikap itu biasanya juga dipengaruhi oleh nilai budaya dan sering pula bersumber kepada sistem nilai budaya. Allport dalam Marat (1984) mendefinisikan sikap sebagai keadaan dan kesiapan mental yang terorganisasi melalui pengalaman yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua obyek atau situasi yang mempunyai hubungan dengan dirinya. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, setuju, tidak setuju dan sebagainya. Selain itu Marat juga membuat rangkuman mengenai pengertian sikap berdasarkan berbagai definisi yang dirumuskan Allport, yaitu: 1) Attitudes are learned , yang berarti sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis ataupun diturunkan, akan tetapi sikap sebagai hasil belajar diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan. 2) Attitudes have referent , yang berarti sikap selalui dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide. 3) Attitudes are social learning, yang berarti sikap diperoleh dalam interaksi dengan manusia lain. 4) Attitudes have readiness to respond , yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan cara tertentu terhadap obyek. 5) Attitudes are affective , yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dari sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negatif atau ragu.

38

6) Attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap terhadap obyek tertentu kuat atau juga lemah. 7) Attitude have a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut mungkin hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi belum tentu sesuai pada saat lainnya, karena itu sikap dapat berubah tergantung situasi. 8) Attitudes have a duration factor , yang berarti bahwa sikap dapat bersifat relatif konsisten dalam sejarah hidup individu. 9) Attitudes are complex , yang berarti bahwa sikap merupakan bagian dan konteks persepsi ataupun kognisi individu. 10) Attitudes are evaluations , yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan. 11) Attitudes are inferred, yang berarti bahwa sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau bahkan yang tidak memadai. Rakhmat (2001) merangkum pengertian sikap dari beberapa ahli seperti Sherif dan Sherif, Allport dan Bem sebagai berikut: (1) Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. (2) (3) (4) Sikap mempunyai daya dorong dan motivasi. Sikap relatif lebih menetap. Sikap mengandung aspek evaluatif.

(5) Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan
hasil belajar, sehingga sikap dapat diperteguh atau diubah.

39

Pariwisata Dan Kebijakan Pemerintah Pariwisata adalah salah satu dari industri gaya baru, yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan. Bentuk-bentuk pariwisata secara umum (Wahab, 2003): 1. Pariwisata rekreasi atau pariwisata santai, dimaksudkan untuk memulihkan kemampuan fisik dan mental setiap peserta wisata dan memberikan kesempatan rileks bagi mereka dari kebos anan dan keletihan kerja selama di tempat rekreasi. 2. Pariwisata budaya, maksudnya untuk memperkaya informasi dan pengetahuan tentang negara lain dan untuk memuaskan kebutuhan hiburan. Pola hidup masyarakat sudah menjadi salah satu khasanah wisata yang sangat penting. Cara hidup bangsa, sikap, makanan dan sikap pandangan hidup; kebisaannya, tradisinya, adat istiadatnya, dalam hal ini termasuk kunjungan ke pameranpameran, perayaan-perayaan adat, tempat-tempat cagar alam, cagar purbakala, dimana semua itu menjadi kekayaan budaya yang menarik wisatawan ke negara mereka. Hal ini berlaku khususnya bagi negara -negara sedang berkembang yang masyarakat tradisionalnya berbeda dari masyarakat tempat wisatawan itu berasal. 3. Pariwisata pulih sehat, yaitu memuaskan kebutuhan perawatan medis di tempat dengan fasilitas penyembuhan, misalnya: sumber air panas. 4. Pariwisata sport, yaitu memuaskan hobi, misalnya menyelam, mendaki gunung, berburu binatang liar, dan lain-lain. 5. Pariwisata temu wicara, pariwisata konvensi mencakup pertemuan-pertemuan ilmiah, seprofesi dan bahkan politik. Pariwisata memiliki manfaat bagi suatu negara, antara lain: mampu menggalang persatuan bangsa yang rakyatnya memiliki daerah, dialek dan adatistiadat yang berbeda; pariwisata mampu menjadi faktor penting dalam pengembangan ekonomi, dan lain-lain. Perhatian pemerintah dalam menggali dan mengembangkan potensi pariwisata daerah sangat penting artinya bagi peningkatan pendapatan asli daerah. Peran pemerintah ini menjadi salah satu

40

faktor penunjang pertumbuhan pariwisata, disamping faktor-faktor yang lain 6. Selain itu kebanyakan wisatawan dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara cenderung bepergian jarak jauh ke masyarakat tradisional di Afrika dan Asia untuk mencari pengalaman-pengalaman baru mengenai lingkungan alam dan ekologi atau mengenai pola hidup masyarakat, adat-istiadat mereka, kebiasaan kebiasaan sosial, perayaan-perayaannya, pola pakaian dan lain-lain (Wahab, 2003).

Menurut Salah Wahab (2003) fakt or-faktor yang menunjang pertumbuhan pariwisata internasional adalah pertambahan waktu luang; perkembangan teknologi dan urbanisasi; kemajuan alat angkut; kesejahteraan ekonomi; faktor-faktor budaya dan perhatian pemerintah yang meningkat.

41

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

Kerangka Berpikir Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentukbentuk simbolik melalui mana manusia be rkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Rumusan kebudayaan Geertz ini lebih menitikberatkan pada

simbol, yaitu bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai; dan di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi petunjuk bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Semua unit sosial membangun sebuah budaya. Dalam suatu hubungan interpersonal antara dua orang, mereka memiliki sebuah kebiasaan bersama yang dikembangkan dalam suatu waktu. Mereka membangun sebuah adat kebiasaan, pola bahasa, ritual-ritual dan adat istiadat yang dikembangkan dalam pola hubungan yang memiliki sebuah karakter tersendiri. Banyak hal yang ikut menentukan kepatuhan warga Tengger terhadap keberadaan nilai-nilai sosial budaya. Pemimpin atau tokoh adat merupakan panutan sentral bagi warga, sehingga kemungkinan kecil terdapat perilaku-perilaku sosial budaya masyarakat yang menyimpang dari kebiasaan yang ada. Ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga

42

masyarakat. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa, roh atau makhluk halus lain dengan tujuan untuk berkomunikasi. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim atau kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau u pacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti: berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, bertapa dan bersamadi. Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan, payung dewa, alat bunyibunyian suci (orgel, genderang suci, gong, seruling suci, gamelan suci, lonceng dan lain-lain). Selain itu para pelaku upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci, seperti jubah pendeta, jubah biksu dan lain-lain). Hubungan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan erat. Budaya telah menciptakan sebuah komunikasi spesifik, artinya budaya dapat diartikan sebagai sebuah interaksi manusia yang cukup cermat dimana karakteristik-karakteristik budaya, apakah itu adat-istiadat, peranan, pola perilaku, ritual-ritual dan hukum diciptakan dan dipertukarkan. Dengan kata lain budaya adalah hasil dari sebuah komunikasi sosial. Tanpa komunikasi budaya tidak akan mungkin terpelihara dan bertahan dalam suatu tempat dan suatu waktu yang lain. Budaya telah tercipta, terbentuk, dipindahkan atau ditransmisikan dan dipelajari melalui proses komunikasi. Nilai-nilai budaya masyarakat Tengger khususnya berkaitan erat dengan ritual upacara/ adat- istiadat masih dipegang teguh oleh masyarakatnya sampai saat ini. Hal ini terkait dengan adanya sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat Tengger berupa pewarisan atau transmisi budaya yang dilakukan oleh masyarakat Tengger. Pewarisan budaya Tengger berlangsung baik secara natural maupun secara indoktrinasi. Secara natural, yaitu melalui suatu proses komunikasi yang terjadi dalam masyarakat dengan keikutsertaan mereka dalam setiap upacara adat Tengger terjadi suatu proses pembelajaran secara natural. Secara indoktrinasi dapat melalui keluarga, dimana komunikasi yang intensif terjadi akibat adanya

43

homogenitas pendidikan, pekerjaan dan juga karena intensitas pertemuan yang tinggi diantara mereka. Kepatuhan yang tinggi kepada generasi tua ini menyebabkan lebih memudahkan proses komunikasi vertikal dari orang tua kepada anak atau dari generasi tua kepada generasi muda. Selain itu pola komunikasi yang berlangsung secara indoktrinasi vertikal juga terjadi dari pemimpin terhadap warga masyarakat, yang pada akhirnya ikut membentuk sikap penerimaan terhadap budaya Tengger. Pola sikap yang merupakan sebuah wujud idiil dari kebudayaan, sikap masyarakat yang terbentuk dapat berupa penerimaan maupun penolakan terhadap adat-istiadat yang mereka jalani. Terbentuknya sikap tersebut selain berasal dari pola komunikasi yang diterapkan juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat Tengger sendiri terhadap pendidikan maupun terhadap uang. Sikap masyarakat Tengger terhadap pendidikan menimbulkan inisiatif pada masyarakat untuk terus mempertahankan budaya Tengger. Inisiatif tersebut akan menghasilkan berbagai upaya untuk terus meningkatkan kecintaan kepada adat dan tradisi mereka. Sedangkan sikap masyarakat Tengger terhadap uang diasumsikan akan mendorong sikap penerimaan mereka terhadap proses komunikasi budaya tersebut, sebab sebagai kawasan wisata hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang pada akhirnya berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat dari sektor pariwisata. Disamping itu pelaksanaan upacara adat yang cukup besar dalam sebuah keluarga akan meningkatkan prestise tersendiri bagi keluarga yang bersangkutan. Pola kelakuan masyarakat Tengger dalam pelestarian tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat dapat dilihat dari pelaksanaan berbagai tradisi tersebut, yaitu berupa berbagai kegiatan yang masih sering dilakukan seperti melakukan pengkomunikasian terhadap seluruh warga sebelum pelaksanaan suatu upacara adat. Sedangkan pola sarana/ kebendaan masyarakat Tengger dalam

sosialisasi tradisi Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat merupakan wujud fisik dari kebudayaan tersebut. Pola sarana/kebendaan ini dapat berupa tanaman-tanaman khusus yang dilestarikan, bangunan-bangunan yang tujukan sebagai salah satu bagian ritual upacara yang mereka jalankan, khususnya ketiga

44

ritual tersebut, seperti alat-alat, sarana upacara atau tempat khusus yang dibangun untuk upacara. Bagan alur berpikir secara lengkap dapat dilihat pada gambar 3.

KEBIJAKAN
Kebijakan Pemerintah: sebagai kawasan desa wisata Pandangan Tokoh Adat dan Tokoh Agama: sebagai warisan budaya dan terkait dengan kepercayaan -

SIKAP
Sikap Masyarakat Terhadap Pendidikan Sikap Masyarakat Terhadap Uang Sikap Masyarakat Terhadap Pemimpin Sikap Masyarakat Terhadap Generasi Tua

POLA KOMUNIKASI
Sumber informasi Penerima informasi Proses Komunikasi: o Proses Ajar didik atau pewarisan o Sanksi o Ritus Kolektif o Alokasi Posisi Arah

RITUAL ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT


Pola bersikap (wujud idiil) o Menerima tradisi o Patuh pada pemimpin o Komerisialisasi budaya o Sikap dari pencampur an orang Tengger dengan luar Tengger Pola kelakuan (wujud akti v itas) o Frekuensi upacara o Pelaksana dan proses upacara Pola sarana/kebendaan (wujud fisik), yang berhubungan dengan upacara o Tempat sakral o Peralatan upacara o Tanaman

Gambar 3. Alur Berpikir Mengenai Pola Komunikasi Masyarakat Tengger Dalam Sosialisasi Tradisi Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat.

45

Hipotesis Pengarah

Hipotesis pengarah dalam penelitian kualitatif ditujukan untuk dapat memperjelas arah penelitian, dalam penelitian ini hipotesis pengarah yang disusun adalah: 1. 2. Tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat merupakan tradisi masyarakat Tengger yang diturunkan dari generasi ke generasi. Pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana/ kebendaan masyarakat Tengger dalam tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat menunjukkan adanya pelestarian dan eksistensi tradisi tersebut sampai saat ini. 3. Pola komunikasi masyarakat Tengger dalam sosialisasi tradisi Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat berpengaruh terhadap eksistensi tradisi tersebut sampai saat ini.

46

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, propinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi karena daerah tersebut merupakan daerah yang paling dekat dengan kawasan wisata Kawah Bromo dengan intensitas interaksi yang tinggi dengan pihak luar. Selain itu di desa ini berbagai macam upacara adat masyarakat Tengger tetap dilaksanakan sampai saat ini. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu pada bulan Desember 2005 sampai Januari 2006.

Jenis dan Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Faisal (2001) , penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Istilah kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur (jika sepenuhnya diukur) secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas ataupun frekuensi. Metode penelitian menggunakan pendekatan studi kasus pada upacara Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat pada masyarakat Tengger Desa Ngadisari, dimana penelaahannya kepada kasus tersebut dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif. Pemilihan ketiga tradisi tersebut dikarenakan ketiganya yang sedang dilaksanakan pada saat penelitian berlangsung. Sitorus (1995) memberikan penjelasan bahwa studi kasus adalah suatu strategi penelitian multi-metode, lazimnya menggunakan teknik

pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. Selain itu Yin (2002) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan bagaimana atau mengapa, bila hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki.

47

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Indepth Interview (wawancara mendalam), yaitu dengan mengadakan wawancara secara langsung dan mendalam kepada Kepala Desa Ngadisari, tokoh adat, pengurus dan anggota organisasi Pramuka serta warga masyarakat yang dianggap mengetahui hal-hal yang diperlukan oleh peneliti. Hal ini dengan pertimbangan bahwa mereka cukup memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal- hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Isi wawancara mendalam secara lengkap disajikan pada lampiran 1 tentang pedoman wawancara mendalam. 2. Observasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan secara langsung pada kehidupan masyarakat Tengger, khususnya pada upacara Entas-Entas, Praswala Gara, Pujan Kapat, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger Desa Ngadisari. Peneliti melakukan observasi dan merangkap sebagai partisipan, yaitu dengan mengikuti jalannya upacara Entas -Entas, Praswala Gara , dan Pujan Kapat. Pelaksanaan pengamatan dilakukan pada bulan Desember 2005 Januari 2006. Dalam penelitian ini peneliti mengikuti kegiatan secara penuh dua kali upacara Entas-Entas , yaitu pada tanggal 27 Desember 2005 dan 2 Januari 2006. Upacara Praswala Gara yang diikuti sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 20 dan 27 Desember 2005 serta tanggal 2 Januari 2006. Upacara Pujan Kapat diikuti pada tanggal 3 Januari 2006. Selain itu sebelum hari pelaksanaan peneliti juga mengikuti persiapan untuk mengetahui proses komunikasi yang berlangsung saat sebelum upacara. Persiapan yang diikuti peneliti dilakukan di rumah yang punya hajat dan di rumah Wong Sepuh (sebagai pembantu dukun) dalam mempersiapkan upacara. Di tempat Wong Sepuh inilah dapat dilihat sebuah proses komunikasi secara indoktrinasi yang dilakukan oleh Wong Sepuh kepada setiap orang yang ikut membantu, yakni dengan melakukan proses pengajaran pembuatan petra . Biasanya di rumah yang punya hajat proses komunikasi indoktrinasi berupa perintah-perintah dari para Dukun dan para kerabatnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara. Warga masyarakat yang punya hajat biasanya hanya sebagai pelaksana saja.

48

Observasi terhadap kehidupan sehari-hari juga dilakukan oleh peneliti dengan mengikuti kegiatan mereka saat sedang di rumah dan saat mereka bekerja di tegal atau aktifitas lain. Hal yang diamati adalah proses komunikasi yang berlangsung diantara mereka, lebih difokuskan pada pesan komunikasi budaya, khususnya yang berkaitan dengan Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat. 3. Dokumentasi, metode ini terbagi menjadi dua, yaitu dokumentasi tertulis dan visual. Dokumentasi tertulis yaitu pengumpulan data yang berhubungan dengan dokumen yang diperoleh dari kantor desa Ngadisari atau instansi serta lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Misalnya data-data tentang kependudukan, kondisi masyarakat berdasarkan pekerjaan, pendidikan maupun gambaran umum daerah penelitian diperoleh melalui kantor Desa Ngadisari. Data-data tentang berbagai catatan tentang upacara Tengger diperoleh melalui Dukun Desa Ngadisari serta Koordinator Dukun Sekawasan Tengger yang bertempat tinggal di Desa Ngadas. Dokumentasi visual yaitu dokumentasi berupa foto atau gambar-gambar visual. Foto diperoleh dengan pengambilan gambar pada suatu kejadian atau peristiwa tertentu. Selain itu juga akan digunakan alat perekam untuk penunjang pengumpulan data, seperti rekaman mantra upacara atau pesanpesan komunikasi yang dilakukan saat upacara dan tidak mungkin untuk dicatat saat itu.

Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif, secara umum berupa reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Semua langkah tersebut dilakukan secara bersamaan semenjak di tempat penelitian hingga proses akhir penyusunan laporan, dalam penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data secara manual diikuti pengecekan, dilakukan karena kemungkinan ada data yang tidak jelas pada jawaban.

49

2.

Menempatkan jawaban informan pada setiap kategori sesuai dengan jawaban mereka. Misalnya: kategori pendidikan, masing-masing jawaban informan dimasukkan ke dalam kategori.

3.

Penyusunan hasil temuan lapang secara deskriptif serta analisis dari berbagai temuan yang ada, seperti: uraian tentang proses upacara yang diikuti oleh peneliti, proses komunikasi yang berlangsung dan pola komunikasi yang terbentuk serta menganalisis mengapa terjadi secara demikian.

4.

Penyusunan dan analisis data melalui berbagai arsip, baik arsip formal maupun non formal tentang ritual Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat serta berbagai ritual lainnya. Kemudian dianalisis dengan mengadakan penilaian serta perbandingan dengan data yang diperoleh secara langsung di lapang.

Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Desa, tokoh adat, anggota Pramuka, tokoh masyarakat dan anggota masyarakat biasa. Penentuan informan pertama dilakukan secara purposive (sengaja), selanjutnya dilakukan dengan menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informasi berikutnya sampai mendapatkan data jenuh (tidak terdapat informasi baru lagi). Informan pertama dalam penelitian ini adalah Kepala Desa Ngadisari yang ditentukan secara sengaja (purposive). Penentuan secara purposive ini dilakukan karena pada awalnya peneliti belum mengetahui dan mengenal orangorang di daerah penelitian, sehingga diharapkan Kepala Desa dapat menjadi pemandu pertama untuk menentukan orang-orang yang dijadikan informan dalam penelitian ini. Setelah itu informan selanjutnya ditentukan dengan menggunakan teknik snowball yang terdiri dari: Dukun adat Tengger beserta kerabatnya (para pembantunya), P inandhita Desa Ngadisari, anggota Pramuka dan warga masyarakat yang secara lengkap data informan penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 8.

50

Validitas dan Reliabilitas Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) dalam penelitian kualitatif memiliki spesifikasi tersendiri. Menurut Lincoln dan Guba yang dikutip oleh Moleong (2002) paling sedikit ada empat standar atau kriteria utama untuk menjamin keabsahan hasil penelitian kualitatif, dimana dalam penelitian ini dapat diterangkan sebagai berikut: 1. Standar Kredibilitas. Standar ini identik dengan validitas internal dalam penelitian kuantitatif. Untuk mendapatkan hasil penelitian kualitatif dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, peneliti melakukan: Perpanjangan keikutsertaan, dimana peneliti tinggal di Desa Ngadisari selama dua bulan, sebab peneliti dalam penelitian kualitatif ini merupakan instrumen pokok dari penelitian. Peneliti tinggal di rumah salah seorang penduduk yang berada di dusun Cemoro Lawang, Desa Ngadisari, sehingga dalam keseharian peneliti ikut makan dan minum bersama mereka serta mengikuti kegiatan sehari-hari mereka, seperti pergi ke tegalan, mencari kayu bakar, mengikuti uwar 7 yang dilakukan oleh Legen dengan mengunjungi rumah-rumah penduduk sebelum pelaksanaan Pujan Kapat, mengikuti persiapan sebelum upacara Entas-Entas dan Praswala Gara serta berkumpul dengan keluarga dan anggota masyarakat lainnya. Penulis ikut melihat dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Selain itu penulis juga sering mengunjungi para tokoh masyarakat, seperti Kepala Desa, Dukun dan para kerabatnya untuk mendapatkan kejelasan informasi yang didapat. Dalam jangka waktu tersebut diharapkan timbul kedekatan ( rapport ) antara peneliti dengan tineliti (masyarakat yang diteliti), sehingga diharapkan akan mampu mendekatkan peneliti dengan fenomena di lapangan yang sesungguhnya. Ketekunan pengamatan, hal ini dilakukan dengan mengadakan observasi secara teliti pada kegiatan ritual masyarakat Tengger, khususnya pada

Uwar adalah istilah yang dipakai oleh masyarakat Tengger untuk memberitahukan pelaksanaan upacara pujan kepada setiap warga masyarakatnya, dengan mengunjungi rumah mereka satu persatu, biasanya dilakukan oleh Legen (pembantu/ kerabat Dukun) beberapa hari sebelum upacara berlangsung.

51

upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat. Selain itu juga diikuti dengan wawancara yang mendalam untuk mendapatkan kejelasan dan kelengkapan dari informasi yang diperoleh. Hal ini diharapkan akan mampu menggali berbagai fenomena yang mungkin tersembunyi jika hanya melalui observasi saja atau melalui wawancara saja. Melakukan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: triangulasi sumber, metode, penyidik dan teori. Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, metode dan teori. Triangulasi sumber dilakukan dengan menggali suatu informasi dari beberapa sumber, seperti dari perangkat desa dengan dan antara Dukun dengan warga masyarakat.

anggota masyarakat

Kemudian hasil tersebut dibandingkan satu sama lain, jika terjadi kesamaan maka data dianggap telah jenuh, sedangkan jika terjadi perbedaan maka akan dilakukan analisa lanjutan mengapa hal tersebut terjadi. Triangulasi metode dilakukan dengan penggunakan beberapa metode, seperti observasi pada upacara Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat disertai dengan observasi masyarakat dan lingkungan serta wawancara individu, kemudian hasilnya juga penulis bandingkan untuk mencari kesamaan ma upun perbedaannya serta dianalisa sebagaimana pada triangulasi sumber. Triangulasi teori dilakukan dengan menganalisis hasil penelitian dengan teori-teori yang sesuai untuk memperkuat hasil penelitian. 2. Standar Transferabilitas. Standar ini merupakan modifikasi dari validitas eksternal dalam penelitian kuantitatif. Hasil penelitian kualitatif memiliki standar transferabilitas yang tinggi jika para pembaca laporan penelitian ini memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang konteks dan fokus penelitian. Penulis berusaha menyajikan laporan hasil penelitian ini secara deskripsi dengan bahasa yang mudah dimengerti tanpa meninggalkan kaidah-

52

kaidah penulisan ilmiah. Penulis berusaha

memberikan penafsiran dalam

bentuk uraian yang rinci dengan segala macam pertanggungjawaban berdasarkan kejadian-kejadian nyata yang diamati dalam penelitian seperti berbagai data kuantitatif dalam tabel- tabel, data kualitatif berupa uraian secara jelas. Dalam penelitian ini untuk mencapai standar transferabilitas, maka setiap data yang diperoleh langsung ditabulasi dan dianalisis di lapangan. Dengan demikian data-data dan informasi yang kurang segera didapatkan di lapangan, sehingga penulisan dan penyusunan laporan dimulai sejak peneliti memasuki lapangan penelitian hingga akhir penelitian.

3.

Standar Dependabilitas. Standar ini dapat dikatakan mirip dengan standar reliabilitas. Adanya pengecekan atau penilaian ketepatan peneliti dalam mengkonseptualisasikan apa yang diteliti merupakan cerminan dari kemantapan dan ketepatan menurut standar reliabilitas penelitian. Makin konsisten peneliti dalam keseluruhan proses penelitian, baik dalam kegiatan pengumpulan data, interpretasi temuan maupun dalam melaporkan hasil penelitian, akan semakin memenuhi standar dependabilitas. Salah satu upaya untuk menilai dependabilitas adalah dengan melakukan audit (pemeriksaan) dependabilitas itu sendiri. Dalam penelitian ini audit dilakukan oleh auditor independen (dalam hal ini adalah

pembimbing penelitian) dengan melakukan review terhadap selur uh hasil penelitian dan memberikan berbagai masukan pada penulis. Masukan tersebut antara lain tentang penguatan teori yang berkaitan dengan masalah penelitian ini, sehingga analisis data dapat dilakukan secara lebih tepat. 4. Standar Konfirmabilitas. Standar ini lebih terfokus pada audit (pemeriksaan) kualitas dan kepastian hasil penelitian, apa benar berasal dari pengumpulan data di lapangan. Audit konfirmabilitas ini biasanya dilakukan bersamaan dengan audit dependabilitas (Bungin, 2003). Standar konfirmabilitas ini dilakukan oleh peneliti dengan menghubungi informan lagi jika dirasa ada hal -hal yang kurang.

53

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Keadaan Umum Kawasan Tengger Kawasan Tengger secara umum terdiri dari lembah-lembah dan lerenglereng perbukitan yang membentang di sekitar Gunung Bromo yang merupakan sebuah gunung berapi yang masih aktif dan sepanjang tahun masih mengeluarkan asap berbau belerang dari kepundannya. Di sekeliling kepundan terdapat lautan pasir dan di sebelah Gunung Bromo terdapat sebuah gunung kecil yang bernama gunung Batok. Kawasan Tengger berada di empat kabupaten di Jawa Timur, yaitu Malang, Probolinggo, Pasuruan dan Lumajang. Pada jaman penjajahan Belanda keempat wilayah yang masuk kawasan Tengger ini merupakan daerah terisolasi, yang seolah-olah terpisah dari daerah lainnya. Pada keempat kabupaten ini terdapat 34 desa yang termasuk dalam kawasan Tengger yang tersebar di sekitar pegunungan Bromo, Tengger Semeru. Secara lengkap desa-desa tersebut dapat dilihat pada lampiran 14. Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti pasir tapi cukup subur. Tanaman keras yang tumbuh terutama adalah agathis lorantifolia , pinus merkusii (cemara), tectona, grandis leucaena, anthocepalus cadamba dan anavalis sp (edelways/tanalayu /bunga abadi). Sedangkan hewan yang hidup di taman nasional antara lain: Cerveos timorenses (rusa), anjing hutan, Petaurista petaurista (tupai terbang), Manis para manis javanicus (pangolin) dan berbagai macam spesies burung.

A A B

Gambar 4 Lingkungan Pegunungan: A. Tanaman khas pegunungan ( metigi ); dan B. Lingkungan hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

54

Legenda dan Sejarah Singkat Masyarakat Tengger Masyarakat Tengger Menurut Legenda Ditinjau dari arti etimologis bahasa Jawa Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak. Apabila dikaitkan dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakatnya, tengger diartikan sebagai tengering budhi luhur (bahasa Jawa). Tengger berarti tanda atau ciri yang memberikan sifat khusus pada sesuatu. Dengan kata lain tengger dapat berarti sifat-sifat budi pekerti luhur. Arti yang kedua adalah daerah pegunungan, dimana masyarakat Tengger memang berada di lereng-lereng pegunungan Tengger dan Semeru. Ada banyak versi yang menceritakan tentang legenda Gunung Bromo dan masyarakat Tengger. Versi yang pertama ini yang sudah sangat terkenal dan banyak ditemukan di berbagai media elektronik maupun cetak. Dalam versi ini ada yang mengatakan masyarakat Tengger sebagai pelarian dari Kerajaan Majapahit saat terjadi perebutan kekuasaan oleh orang-orang Islam yang waktu itu ingin mengubah tatanan kehidupan masyarakat Hindu Budha yang disimbolkan dengan kekuasaan Majapahit dengan tatanan Islam yang terwakili oleh kekuasaan Demak. Pada versi ini dikatakan bahwa Rara Anteng sebagai salah satu nenek moyang masyarakat Tengger merupakan putri dari Prabu Brawijaya terakhir yang memerintah Kerajaan Majapahit waktu itu. Versi la innya mengatakan bahwa jauh sebelum Majapahit runtuh di kawasan Tengger sudah terdapat komunitas penduduk yang hidup secara teratur. Saat terjadi keruntuhan Majapahit banyak pelarian yang menetap di daerah tersebut, namun disana sudah ada kelompok masyarak at yang hidup secara teratur. Pada versi ini pelarian dari Majapahit tersebut terdiri dari dua golongan, yaitu golongan tua dan golongan muda. Sebenarnya tujuan pelarian mereka adalah Pulau Bali, namun karena jauhnya tujuan itu, menyebabkan kelompok tersebut terpecah menjadi dua golongan. Golongan tua tinggal menetap di kawasan Tengger dengan alasan kekuatan yang sudah terbatas, sedangkan golongan muda melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Pada kelompok golongan tua inilah Rara Anteng ikut dan menetap di k awasan Tengger. Sedangkan golongan muda terus ke arah timur di Pulau Bali dengan membawa semua perbekalan yang penting, seperti kitab-kitab suci agama mereka. Hal inilah yang diperkirakan menyebabkan

55

pemahaman agama hindu di kawasan Tengger agak berbeda de ngan agama Hindu Bali. Selain itu kurangnya pembinaan agama Hindu juga menyebabkan pemahaman mereka terhadap agama Hindu masih kurang. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh para peneliti dari Institut Hindu Dharma Denpasar (tahun 1982), penelitian ini pada awalnya untuk meneliti Upacara Kasada, yang pada akhirnya mereka menemukan bahwa berbagai ritual dan tradisi yang dilakukan masyarakat Tengger memiliki kesamaan dalam nilai hakikinya dengan ajaran Panca Sradha dalam ajaran Agama Hindu. Kedua versi cerita masyarakat Tengger di atas diteruskan secara turun temurun kepada anak-anak Tengger secara lisan dari orang tua kepada generasi muda. Saat ini banyak berkembang versi tentang masyarakat Tengger, dimana sampai saat ini belum ada bukti-bukti yang kuat tentang berbagai cerita tersebut. Prasasti-prasasti yang ditemukan di T engger justru menunjukkan angka tahun sebelum masa pelarian yang diyakini masyarakat umum, sehingga keberadaan Rara Anteng sebagai salah satu cikal bakal masyarakat Tengger sebagai keturunan Brawijaya juga sedikit diragukan. Sehingga dalam sebuah pertemuan antara seluruh dukun di kawasan Tengger, pernah terjadi suatu dialog yang pada akhirnya menghasilkan suatu keputusan tentang legenda masyarakat Tengger. Menurut hasil analisis para dukun Tengger tersebut didapat cerita bahwa Rara Anteng dan Jaka Seger keduanya sama-sama anak seorang Brahmana. Menurut Undang-Undang Manawa yang berlaku di India, karena mereka keturunan Brahmana, maka masyarakat Tengger termasuk dalam golongan masyarakat dengan pelapisan masyarakat yang paling atas. Jika mengikuti pola Hinduisme tersebut, maka masyarakat Tengger menurut urut-urutan piramidal masyarakat termasuk golongan pemimpin. Cerita menurut versi para dukun ini secara singkat adalah sebagai berikut: konon jaman dahulu kala di daerah pegunungan sekitar Pelabuhan Gunung Bromo berdiam seorang putri bernama Nyi Rara Anteng, putri dari keturunan Brahmana dan seorang putra bernama Jaka Seger juga keturunan Brahmana. Keduanya di tempat yang baru ini menjalin as mara dan ingin membentuk rumah tangga yang bahagia. Setelah perkawinannya diresmikan oleh Resi Dadap Putih, pegunungan ini dinamakan Tengger. Nama Tengger diambil

56

dari Nyi Rara Anteng dan Jaka Seger. Kemudian Jaka Seger diangkat sebagai penguasa bergelar Purbowiseso Mangkurat Ing Tengger. Beliau ingin supaya tahta tersebut ada yang meneruskannya, namun di dalam kebahagiaan itu timbul kegelisahan dan kesedihan, yaitu anak yang sampai saat ini belum juga didapatkan. Akhirnya beliau mengambil keputusan unt uk bersemedi yang bertempat di Watu Kuto8 memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa supaya dikaruniai keturunan. Di dalam semedinya mereka masing-masing menerima suara gaib yang intinya sama, yaitu akan diberi keturunan. Namun salah satu dari anak tersebut akan diambil kembali oleh Yang Gaib tersebut. Maka berselang beberapa tahun, Nyi Rara Anteng melahirkan anak pertama yang diberi nama Tumenggung Kliwung. Kemudian dari tahun ke tahun dikaruniailah anak sejumlah 25 orang. Setelah anak bungsu mereka yang berna ma Raden Kusuma berusia sekitar 10 tahun, beliau ingat suara gaib pada waktu semedi dulu. Maka anak-anak tersebut dipindahkan ke Gunung Penanjakan9. Waktu tepatnya adalah menjelang pagi di bulan purnama tanggal 14 bulan Kasada, anak-anak tersebut sedang be rmain-main, tiba-tiba meletuslah Pelabuhan Gunung Bromo dan menjilatkan apinya ke arah anak -anak yang sedang bermain tersebut. Setelah api hilang dari pandangan mata, anak-anak tersebut sangat bingung dan bersedih, karena saudara mereka yang bungsu bernama Raden Kusuma yang sangat dicintai itu tiba -tiba menghilang. Mereka mencari kemanamana tapi tidak ditemukan. Bersama dengan itu ada suara gaib dari arah Kawah Gunung Bromo, yaitu suara Raden Kusuma yang memberi pesan kepada saudarasaudaranya sebagai berikut: Dalam Bahasa Tengger: Dulur-dulur kabeh sing tak tinggal, reang aja digoleki nandinandi, reang wis luwih tentrem ning kene kanggo makili rika-rika kabeh ngadhep neng ngarsane Gusti Ingkang Moho Suci, lan dulurdulur kabeh sing tak tinggal kudu urip sing rukun welas asih karo sak pada-padane, mesti karo gusti ingkang Moho Agung bakale diwehi kemakmuran lan ketentreman. Lan saben wulane wis bunder, waktune
8

Watu Kuto (dalam Bahasa Indonesia berarti kota batu), yaitu suatu tempat di bawah kawah Gunung Bromo (dalam kawasan lautan pasir) yang terdiri dari banyak batu -batuan besar dan kecil. Tempat ini sampai sekarang masih disakralkan oleh masyarakat Tengger, sehingga sering dijadikan sebagai tempat untuk bersemadi/ bertapa jika memiliki hajat agar terkabul. Salah satu deretan gunung yang melingkupi kawasan lautan pasir, biasa dijadikan tujuan wisatawan yang ingin melihat matahari terbit.

57

tanggal 14 ulane Kasada, dulur-dulur kabeh kudu nglumpuken sebagian hasile tani, kanggo slametan nang Pelabuhan Kawah Gunung Bromo, kanggo reang. Dalam Bahasa Indonesia: Saudara-saudara yang saya tinggal, saya jangan dicari kemanamana. Saya sudah lebih bahagia di sini mewakili saudara-saudara semua menghadap Sang Hyang Widhi Wasa dan saudara-saudara yang saya tinggal supaya selalu hidup rukun, tentram dan bahagia dan oleh Sang Hyang Widhi selalu diberi kemakmuran. Dan setiap bulan purnama tanggal 14 bulan Kasada saudara-saudara supaya menyisihkan sebagian hasil pertaniannya untuk dipersembahkan ke Pelabuhan Kawah Gunung Bromo untuk saya. (Sumber: Wawancara dengan Kepala Dukun Tengger, 2006). Masyarakat Tengger Menurut Sejarah Menurut Dr.Ayu Sutarto, SS, MA seorang peneliti tradisi, folkloris,dan penulis sebagaimana yang dikutip dalam www.averroes./tengger.php/2006, menyatakan adanya keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit perlu dikaji ulang. Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger menemukan sebuah prasasti y ang disebut prasasti Walandhit terbuat dari kuningan berangka tahun 1327 saka atau.sekitar 1407 Masehi di daerah Penanjakan, desa Wonokitri, kabupaten Pasuruan, telah menguak misteri tentang latar belakang historis orang Tengger. Prasasti tersebut menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewata dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila atau suci. Warga desa Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar titileman , yakni pajak upacara kenegaraan karena mereka ber kewajiban melakukan pemujaan terhadap Gunung Bromo. Prasasti tersebut dihadiahkan oleh Bathara Hyang Wekas ing Sukha (Hayam Wuruk) pada bulan Asada (Pigead,l962). Dengan demikian prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Sem eru sudah berpenghuni sejak kerajaan Majapahit masih berjaya. Terdapat dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan untuk menemukan asal - usul orang Tengger. Pertama , meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit tetapi kegiatan beragama mereka tidak berbeda jauh atau mungkin sama dengan warga kerajaan Majapahit pada umumnya, yaitu mereka melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak Hindu-Budha. Kemungkinan kedua , karena merasa seiman dan senasib

58

sepenanggungan orang Majapahit menerima para pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi daerah Islam oleh tentara Demak pada abad ke 16 M. Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Sumber lain yang memberitakan tentang Masyarakat Tengger adalah berita dari Raffles. Tengger artinya heran atau keheranan, yaitu berasal dari kata ajeng ger. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Raffles dalam bukunya History Of Java (1978), sebagai berikut: The people of Tengger mountains say that they received that name from a person from Mataram of an in quisstive and traveling tunn (wong malana), who having ascended the highest of them and being struck with astonishment at the view all around, gawkay them the above mantioned name of Tengger, from the Javanesse word ajeng ger, with significs wonder of astonishment Keadaan Umum Desa Ngadisari Kondisi Geografis Desa Ngadisari Desa Ngadisari terletak pada ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata -rata 2.000 mm per tahun dan suhu rata-rata antara 10 sampai 20 derajat celcius. Suhu terendah biasanya terjadi di bulan Pebruari. Desa Ngadisari berjarak 19 km dari Ibu Kota Kecamatan Sukapura dengan waktu tempuh sekitar 70 menit, jarak ke Ibu Kota Kabupaten Probolinggo sekitar 40 km dengan waktu tempuh sekitar dua jam, sedangkan jarak ke Ibu Kota Propinsi Jawa Timur (Surabaya) sekitar 118 km dengan waktu tempuh 3,5 jam. Jalan menuju Desa Ngadisari sudah beraspal sehingga memudahkan kendaraan untuk melintasinya, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Desa Ngadisari ini merupakan desa terakhir yang berbatasan langsung dengan kawasan wisata Gunung Bromo dan Laut Pasir. Ada tiga jalur yang dapat dilalui oleh pengunjung menuju Gunung Bromo, yaitu: jalur Malang, Pasuruan dan

Probolinggo yang melalui desa Ngadisari. Jika dari Probolinggo dengan kendaraan umum pengunjung dapat naik di terminal Probolinggo Bayu Angga yang menuju Ngadisari, angkutan ini dapat berupa bus atau mobil yang biasa mereka sebut taksi (sekitar 1,5 jam perjalanan dengan tarif Rp 10.000- hingga Rp 15.000,-) sampai di terminal Cemoro Lawang yang masuk dalam wilayah Desa

59

Ngadisari. Setelah itu menuju Laut Pasir dan kawah Gunung Bromo dapat ditempuh dengan jalan kaki (sekitar1,5 jam sampai puncak), naik jeep yang biasa menunggu di terminal atau di pinggir-pinggir jalan dengan tarif Rp 200.000,/jeep PP atau dapat juga naik kuda dengan tarif Rp 40.000,- PP.

Sejarah Singkat Desa Ngadisari Ngadisari berasal dari kata Ngadi dan Sari. Ngadi berarti berguna atau bagus sedangkan sari berarti bunga atau inti yang penting. Dengan demikian Ngadisari dapat berarti bunga yang bagus, di sini dikandung maksud dengan nama Ngdisari ini adalah agar Desa Ngadisari betul-betul dapat menjadi desa yang bagus dan indah serta menjadi contoh bagi desa yang lain. Sebelum menjadi desa daerah ini dahulu merupakan hutan cemara. Pembukaan tanah tersebut untuk dijadikan tempat tinggal baru dilakukan oleh Lurah Wonosari dengan pengikutnya yang datang dari pedukuhan Pemahan/Pomahan yang berada di kaki Gunung Lingga 10. Oleh Pak Resji daerah baru tersebut digabung dengan desa Wonosari sehingga menjadi desa Ngadisari sekarang ini. Hal tersebut senada dengan yang diceritakan oleh dukun Desa Ngadisari yang bercerita tentang asal mula desa Ngadisari. Menurut beliau pada awalnya para penduduk desa Ngadisari berasal dari pedukuhan Pomahan di kaki gunung Lingga. Pada sekitar tahun 1700-an (tahun secara pasti tidak diketahui), penduduk Pomahan tinggal agak terpencil dari desa-desa lainnya sepe rti desa Wonotoro dan Jetak. Desa Wonosari merupakan desa tertinggi dalam barisan desa-desa yang menuju ke arah kawah Bromo. Pak Resji yang pada mulanya memiliki inisiatif untuk memindahkan warga Pomahan agar lebih dekat dengan desa lainnya. Kemudian bersama dengan warga Pomahan membuka hutan di atas daerah Wonosari untuk dijadikan pemukiman baru. Setelah itu Desa Wonosari yang telah ada waktu itu digabung dengan desa yang baru dibuka tersebut dan diberi nama Ngadisari yang memiliki arti seperti di atas. Oleh karena itulah di desa ini

10

Gunung Lingga merupakan salah satu barisan pegunungan yang melingkupi Desa Ngadisari, yang terletak di sebelah timur. Masyarakat Tengger meyakini bahwa Gunung Lingga merupakan salah satu Stana Siwa/ perwujudan Dewa Siwa (salah satu dewa dalam ajaran Tri Murt i dalam Agama Hindu yang terdiri dari Brahma, Wisnu dan Siwa).

60

memiliki dua danyang yang diyakini masyarakat sebagai penjaga (mbaurekso) desa mereka, yaitu danyangWonosari dan danyang Ngadisari. Dalam susunan pemerintahan, Desa Ngadisari terbagi menjadi tiga dusun, yaitu: Wonosari, Ngadisari dan Cemoro Lawang. Namun dalam berbagai upacara adat mereka mengenal adanya dua tempat danyang (yang disebut pedanyangan), yaitu Wonosari dan Ngadisari, sedangkan Cemoro Lawang dianggap menjadi satu di bawah danyang Ngadisari. Sejak pertama dibuka sampai sekarang terhitung ada 11 Kepala Desa yang pernah memerintah di Desa Ngadisari, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15.

Kependudukan Jumlah penduduk Desa Ngadisari berdasarkan data monografi desa sampai angka tahun 2004 berjumlah 1563 jiwa, terdiri dari 762 ( 48,75 persen) orang laki-laki dan 801 (51,25 persen) orang perempuan. Data sebaran penduduk menurut umur secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 5. Penduduk desa Ngadisari mayoritas beragama Hindu, yaitu sebanyak 1545 orang (sebesar 98,85 persen), hanya sebagian kecil yang beragama Islam yaitu 18 orang (sebesar 1,15%). Penduduk yang beragama Islam ini merupakan orang pendatang dari luar Desa Ngadisari, seperti guru dan ada juga yang masuk kesana karena menikah dengan orang dari Desa Ngadisari. Dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar masyarakatnya berpendidikan SD (sebesar 50.61persen). Tingkat pendidikan penduduk desa Ngadisari masih rendah. Hanya ada 0 persen saja yang berpendidikan tinggi setara perguruan tinggi, yaitu D3 sebesar 0.13 persen, S1 sebesar 0.45 persen dan S2 saat ini hanya ada satu orang atau sebesar 0.06 persen. Data sebaran penduduk desa Ngadisari berdasarkan pendidikan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 6. Dilihat dari pekerjaan mayoritas penduduk desa Ngadisari (sebesar 65,21 persen) sebagai petani yang menggarap tegalan/ gaga. Sedangkan yang lainnya bekerja di bidang jasa, seperti tukang kayu, tukang batu, berdagang, dll. Sedangkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya sebesar 0.49 persen. Data sebaran penduduk desa Ngadisari menurut pekerjaan ini secara lengkap terdapat dalam lampiran 7.

61

Kondisi Pertanian dan Perekonomian Penduduk desa Ngadisari mayoritas bermatapencaharian sebagai petani sayur mayur. Luas wilayah Desa Ngadisari adalah 775.3 Ha, seluas 456 Ha (58%) merupakan tegalan yang dipakai untuk menanam berbagai komoditas tanaman sayuran antara lain kubis, kentang, bawang prei (bawang daun). Luas wilayah dan persentase penggunaan lahan Desa Ngadisari dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 1. Tabel 1. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Desa Ngadisari
NO. 1. 2. 3. 4. 5. PENGGUNAAN LAHAN Pemukiman umum Ladang/ tegalan Hutan masyarakat Hutan Lindung Lain-lain Jumlah LUAS (Ha) 43.263 456 130 146 0.037 775.3 PERSENTASE (%) 5.58 58.84 16.77 18.83 0.005 100

Sumber: Monografi Desa Ngadisari, 2005.

Sedangkan jenis ternak yang dipelihara oleh penduduk adalah sapi pedaging, kuda dan domba. Kuda biasanya dipelihara untuk dimanfaatkan nundan dalam jasa angkutan ke daerah wisata laut pasir. Data p roduksi pertanian di desa Ngadisari dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Areal dan Jumlah Produksi Beberapa Komoditi Pertanian di Desa Ngadisari
No. KOMODITAS HASIL AREAL PANEN PERSENTASE (dari total luas tegalan pada tabel 1) 127 Ha 16.38 185 Ha 23.86 51 Ha 6.58

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kubis Kentang Bawang daun Ternak sapi pedaging Ternak kuda Ternak domba

1851,1 ton 2501 ton 1248 ton 119 175 98

Sumber: Monografi Desa Ngadisari, 2005

Kondisi Pemerintahan Desa Ngadisari Secara administratif Desa Ngadisari termasuk dalam Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Desa Ngadisari terbagi menjadi 3 dusun, 3 RW dan 13 RT. Ketiga dusun tersebut adalah: Wonosari, Ngadisari dan Cemoro Lawang. Pemerintahan desa Ngadisari dipimpin oleh seorang Kepala Desa atau Petinggi. Warga masyarakat biasa menyebut kepala desanya dengan sebutan Pak

62

Tinggi. Dalam melaksanakan tugasnya seorang Petinggi dibantu oleh pamong desa yang terdiri dari: Carik/ sekretaris desa, Kamituwo, Kepetengan, Kebayan dan Dukun (yang mer upakan staf non formal dari Kepala Desa dan bertanggung jawab pada semua kegiatan adat). Prioritas pembangunan Pemerintah Desa Ngadisari saat ini adalah: 1. Bidang ekonomi, saat ini telah ada koperasi simpan pinjam yang dapat dimanfaatkan warga masyarakatnya untuk memenuhi tambahan modal usaha ataupun keperluan lain. 2. Bidang kesehatan, saat ini upaya peningkatan derajat kesehatan penduduk desa Ngadisari terus dilakukan. Upaya yang telah tampak adalah dengan adanya Posyandu Remaja Putri Ibu Juanda dan diadakannya puskesmas keliling setiap satu bulan sekali agar dapat mendeteksi keluhan kesehatan penduduk sejak dini. 3. Bidang Pendidikan saat ini juga mendapat perhatian yang serius dari pemerintah desa Ngadisari khususnya Kepala Desanya. Kesadaran yang tinggi dari pimpinan desa ini mendorong diadakannya peningkatan pendidikan baik secara formal dengan upaya pembangunan gedung sekolah dan juga secara non formal. Secara non formal yaitu dengan adanya kegiatan Pramuka setiap hari Jumat yang diikuti oleh anak-anak muda yang telah lulus sekolah namun belum menikah. Selain itu untuk menunjang proses pendidikan di desa Ngadisari tersebut, maka pemerintah desa mengalokasikan dana sebesar satu juta rupiah yang dapat dipinjamkan kepada semua masyarakat yang membutuhkan dana belajar dan dikelola langsung oleh Kepala Desa. Dana ini dapat dipergunakan untuk pemenuhan sarana pendidikan bagi warga yang kurang mampu, seperti pembelian seragam maupun peralatan sekolah. Meskipun sampai sekarang tidak ada warga yang menggunakan dana ini, karena mereka merasa mampu membiayai sendiri.

Gambar 5 Gerbang Desa Ngadisari sebagai tempat penelitian

63

Masyarakat Tengger Desa Ngadisari Kehidupan Sehari-hari Kehidupan keseharian masyarakat Tengger Ngadisari tampak dinamis namun bersahaja. Mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dari pertanian sayur-mayur. Sedangkan pekerjaan di sektor wisata hanya merupakan

penghasilan tambahan, sebab hasil yang didapat bersifat musiman dan tidak dapat dipastikan tergantung ramai tidaknya pengunjung dan biasanya hanya pada hari hari libur dan hari-hari tertentu, seperti pada saat upacara Kasada, Karo, tahun baru dll. Penghasilan tambahan mereka didapatkan dari nundan11, sopir jeep dan persewaan penginapan. Meskipun sebagai tambahan penghasilan mereka tetap mengelola dengan baik. Buktinya banyak penginapan yang dibangun lebih bagus dari rumah yang mereka tempati, kuda -kuda juga dirawat dengan baik. Kesederhanaan mereka tampak dari cara berpikir dan cara hidup mereka. Mayoritas masyarakat Tengger Desa Ngadisari sudah merasa tenang saat kebutuhan hidup merek a seperti sandang, pangan dan papan tercukupi. Pekerjaan juga sudah mereka dapatkan di tempat kelahiran tersebut, sehingga sangat jarang ditemukan masyarakat yang merantau untuk bekerja di luar daerahnya. Jika merantau biasanya dilakukan oleh mereka yang meneruskan sekolah/ kuliah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini karena fasilitas pendidikan yang ada di desa Ngadisari hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bentuk pekerjaan yang umum dijumpai di daerah penelitian adalah bertani. Setiap hari penduduk desa sibuk mengurus tanaman di gaga (sebutan untuk tegalan). Biasanya mereka berangkat dari rumah antara pukul 06.00-08.00 WIB dan pulang ke rumah antara pukul 16.00-17.30 WIB. Semua anggota ikut ambil bagian dalam pekerjaan ini, sehingga tampak kebersamaan diantara mereka. Bahkan peneliti juga pernah menjumpai anak balita yang berusia 5 bulan diajak bekerja di gaga. Selain bekerja merawat tanaman mereka juga mencari rumput untuk makanan ternak dan mencari kayu sebagai bahan bakar, terlebih s etelah adanya kenaikan harga BBM menyebabkan peningkatan dalam penggunaan kayu bakar yang dianggap dapat lebih menghemat biaya pengeluaran kebutuhan sehari 11

Nundan adalah pekerjaan yang dilakukan masyarakat di kawasan wisata Bromo dengan melakukan persewaan kuda. Pengunjung dapat berjalan-jalan dengan naik kuda di kawasan wisata ini.

64

hari. Sedangkan rumput selain dipakai untuk makanan ternak pribadi juga dijual kepada tetangga yang membutuhkan dengan harga sekitar Rp 10.000,- per keranjang.

Gambar 6 Pekerjaan sehari-hari mayoritas Masyarakat Tengger Desa Ngadisari: A. Nundan di kawasan wisata Bromo dan B. Bertani sayur di tegal.

Kondisi Perumahan Rumah masyarakat Tengger di daerah penelitian mayoritas sudah permanen, rata -rata saling berdekatan antara satu dengan yang lain. Meskipun bukan saudara sering kali ditemui terdapat pintu penghubung antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar proses komunikasi dapat berjalan lebih lancar dan memudahkan untuk saling membantu saat membutuhkan, misalnya jika ada hajatan yang membutuhkan tempat luas maka rumah tetangga dapat dipakai juga. Selain itu dari observasi peneliti diketahui bahwa mayoritas rumah mereka tidak berpagar, hanya ada beberapa yang berpagar tapi tingginya tidak sampai satu meter. Bahan pagar tidak menggunakan pagar besi k arena mudah rusak, sebab zat belerang dari Gunung Bromo membuat pagar besi lebih mudah terkena korosi. Model perumahan tanpa pagar tersebut menunjukkan rasa kebersamaan diantara warga masyarakatnya. Selain itu hal tersebut juga menunjukkan sifat keterbukaan masyarakatnya serta adanya rasa saling mempercayai sesama warganya. Masyarakat Ngadisari merasa aman dalam lingkungan mereka dan tidak merasa khawatir akan hak milik mereka, oleh karena itu pembuatan pagar justru dianggap sebagai orang yang khawatir ha rta benda

65

atau miliknya tidak aman karena takut dicuri orang. Hal ini sesuai dengan kondisi daerah tersebut yang dalam tahun-tahun terakhir bebas pencurian dan perampokan. Jika terjadi pencurian, maka sangsi yang dikenakan cukup membuat jera warga, yaitu pencuri diarak keliling kampung dengan membawa hasil curiannya, setelah itu barang curian wajib dikembalikan kepada yang punya. Jika si pencuri tidak bersedia maka sebagai gantinya akan diserahkan ke kantor polisi. Sangsi moral seperti itu pada akhirnya mampu membuat pencuri tidak mengulangi perbuatannya dan keamanan lingkungan tetap terjamin.

A Gambar 7 Lingkungan masyarakat Tengger Ngadisari: A. Model rumah asli Masyarakat Tengger dan B. Lingkungan Desa Ngadisari.

Penggunaan Bahasa Masyarakat Tengger Ngadisari merupakan masyarakat yang letak perumahannya paling dekat dengan tempat wisata Kawah Bromo sehingga

interaksinya dengan pihak luar lebih intens dibanding masyarakat Tengger di desa lain. Dalam berkomunikasi mereka biasanya menyesuaikan diri dengan bahasa yang dipakai lawan bicaranya. Jika berbicara dengan orang luar mereka biasa menggunakan bahasa nasiona l (Bahasa Indonesia) atau jika yang ditemui orang Jawa mereka memakai bahasa Jawa seperti pada umumnya, yaitu bahasa Jawanya orang ngare (sebutan yang mereka berikan kepada masyarakat yang tinggal di bawah/ tidak di pegunungan Tengger). Namun jika berbicara dengan sesama warga Tengger daerah sekitar mereka akan menggunakan bahasa keseharian biasa yaitu bahasa Jawa Tengger. Ada sedikit perbedaan bahasa Jawa mereka dengan bahasa Jawa pada umumnya. Jika bahasa Jawa biasa menggunakan akhiran o,

66

maka mereka menggunakan akhiran a. Sekilas mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Jawa Timur sekitar Surabaya dan Malang. Namun setelah dicermati ternyata kosakata yang dipakai ada kemiripan dengan bahasa Jawa daerah Banyumas. Beberapa kosakata bahasa Jawa Tengger dapat dilihat pada tabel di bawah ini dengan kosakata Bahasa Banyumas dan Jawa umum sebagai pembanding. Tabel 3. Perbandingan kosakata Tengger dengan bahasa Jawa yang lain.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 9. 10. 11. 12. Bahasa Tengger Sira Rika Teka Ngapa Sega Paran Ana Nana Isun Reang Bahasa Jawa Siro Riko Teko Ngopo Sego Opo Ono Nono Kulo Kulo Jawa Banyumas Sira Rika Teka Ngapa Sega Paran Ana Nana Isun Reang Arti Kamu (bias a) Kamu (halus) Datang Ngapain Nasi Apa Ada Tidak ada Saya (perempuan) Saya (laki-laki)

Sumber: Wawancara dengan informan, 2005.

Penggunaan Bahasa Jawa Tengger di antara mereka tidak terdapat strata bahasa sebagaimana yang umum dipakai dalam Bahasa Jawa, yang terdapat Bahasa Jawa ngoko (kasar), krama madya (agak halus) dan krama inggil (halus). Bahasa halus yang dipakai biasanya berkaitan dengan penyebutan lawan bicara, seperti kalau dengan orang yang lebih tua atau dengan orang yang dihormati menggunakan kata rika, yang berarti kamu, sedangkan bila menyebut orang yang sebaya atau orang yang lebih muda mereka biasa memakai kata sira. Penyesuaian diri dalam pengunaan bahasa, yaitu bahasa dengan orang luar Tengger atau dengan orang dalam bukan dimaksudkan sebagai sebuah bahasa sandi, namun lebih ke arah adaptasi dan keinginan untuk menghormati lawan bicara. Mereka khawatir orang luar kurang memahami apa yang di maksudkan jika menggunakan Bahasa Jawa Tengger. Apabila ternyata orang luar sudah mengerti dan mampu menggunakan bahasa seperti bahasa mereka, maka akan menimbulkan kedekatan de ngan mereka. Hal ini sebagaimana yang pernah

67

dialami oleh peneliti ketika pertama kali datang, seperti ada rasa kikuk dan kurang adanya keterbukaan. Meskipun sama -sama orang Jawa ternyata pada awalnya sering terjadi miss understanding antara peneliti dengan informan, sehingga klarifikasi makna/ arti harus sering dilakukan agar tidak terjadi salah paham. Misalnya saat seorang informan mengatakan tiba , peneliti memahaminya sebagai kata datang. Ternyata yang dimaksud adalah tibo (dalam bahasa Jawa) yang berarti jatuh dalam Bahasa Indonesia. Selain itu juga saat mereka menunjuk arah dengan menyebut kata ika, awalnya peneliti memahami sebagai penyebutan nama orang. Ternyata yang mereka maksud adalah kata iko (dalam Bahasa Jawa), yang berarti kata penunjuk it u, dalam Bahasa Indonesia. Jika dicermati maka kesamaan bahasa masyarakat Tengger lebih dekat dekat masyarakat Jawa Tengah, khususnya di sekitar Banyumas. Kesamaan ini terjadi akibat kesamaan historis pada jaman dahulu. Menurut analisis penulis asal mula nenek moyang masyarakat Tengger selain berasal dari jaman Majapahit, jauh sebelumnya mereka justru berasal dari jaman Mataram kuno yang berpusat di sekitar Sleman, Banyumas (wilayah Jawa Tengah). Sebab bahasa mereka memiliki kesamaan yang lebih dekat dibanding dengan bahasa Jawa pada umumnya ataupun bahasa Jawa Timuran. Selain itu ditemukannya istilah Tengger pada buku History of Java yang merupakan sebuah ungkapan yang dikeluarkan oleh orang Mataram pada saat itu, menunjukkan adanya pengaruh Mataram kuno saat itu. Selain itu dilihat dari kamus Bahasa Jawa, bahasa yang digunakan dalam masyarakat Tengger merupakan rumpun bahasa Jawa kuno. Dimana

penyebarannya dianalisis penulis pada saat terjadi pemindahan kekuasaan Mataram kuno ke daerah Kanjuruhan, Malang Jawa Timur yang dilakukan oleh Empu Sendok. Menurut sejarah kepindahan Mataram kuno ini berkaitan dengan adanya bencana alam meletusnya gunung Merapi di Jawa Tengah dan juga adanya konflik da lam keraton. Adanya penyebaran Bahasa Jawa Tengger secara terbatas ini juga diakibatkan selama jaman penjajahan Belanda daerah Tengger terisolasi dengan daerah luar. Dalam perkembangan selanjutnya bahasa yang mereka pakai memiliki perbedaan dengan masyarakat di daerah ngare .

68

Kalender Tengger Masyarakat Tengger memiliki kalender sendiri menurut perhitungan mereka untuk menentukan berbagai hal yang berkaitan dengan upacara adat, seperti penentuan hari raya Karo, Kasada, maupun untuk menentukan suatu kegiatan seperti pembangunan rumah, pindah rumah, bepergian,dll. Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya mereka juga mengenal perhitungan Jawa, sebab perhitungan kalender Tengger berakar pada kalender Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari keraton Mataram. Dimana kalender Jawa memakai landasan tahun barunya sama dengan tahun baru Islam yaitu tahun baru Hijriah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perhitungan kalender Tengger juga memiliki persamaan dengan kalender Hijriah, disamping juga banyak persamaan dengan kalender Jawa, seperti dikenalnya istilah wuku yang sama dengan wuku pada kalender Jawa. Nama-nama bulan dalam satu tahun perhitungan kalender Tengger ada 12 bulan, yaitu: (1) Kasa; (2) Karo; (3) Katiga; (4) Kapat; (5) Kalima ; (6) Kanem; (7) Kapitu ; (8) Kawolu ; (9) Kesanga; (10) Kasepuluh ; (11) Kadesta dan (12)Kasada . Karena ada persamaan perhitungan antara kalender Hijriah, Jawa dan Tengger. Wuku-wuku yang ada pada kalender Tengger sama dengan wuku dalam kalender Jawa yang berjumlah 30, yaitu: Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Kelurut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Parangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Kulawu, Dukut, dan Watugunung. Sedangkan hari-hari dalam seminggu mereka memiliki istilah yang tidak berbeda dengan hari-hari dalam kalender Jawa, yaitu: Radite (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Budha (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jumat) dan Saniscara (Sabtu). Penggunaan kalender Tengger ini telah menyebar pada semua masyara kat Tengger yang berada di 4 kabupaten di Jawa Timur, yaitu: Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Meskipun tidak semua masyarakat Tengger mampu menghitung hari-hari baik dan buruk menurut kalender Tengger, namun mereka masih mempercayai kebenarannya dan takut jika melanggar. Oleh karena itu semua perhitungan hari baik buruk untuk memulai berbagai kegiatan

69

diserahkan pada orang yang dianggap mengerti, seperti Kepala Desa Ngadisari, Dukun maupun orang tua yang masih memahami, sebab pada generasi muda tata cara perhitungan seperti itu masih dianggap langka dan biasanya hanya orangorang yang sudah tua yang memahaminya. Penggunaan kalender Tengger ini telah meluas di semua kawasan masyarakat Tengger. Pemakaiannya mendapatkan pengawasan dari Dukun Tengger. Sebelum tahun 1945 pertemuan dukun hanya berlangsung satu kali dalam satu tahun di Poten yang membahas masalah persiapan upacara Kasada dan permasalahan yang terjadi di wilayah masing-masing dalam kurun waktu satu tahun. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi informasi menyebabkann semakin mudah untuk mengadakan komunikasi dengan semua dukun dalam waktu yang relatif singkat. Sehingga saat ini setidaknya tiga bulan sekali dukundukun di Tengger dapat mengadakan pertemuan yang biasanya bertempat di rumah Koordinator Dukun di Desa Ngadas , Kecamatan Sukapura , Kabupaten Probolinggo. Seringkali Koordinator Dukun berkeliling ke tempat dukun-dukun lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Mujono selaku Koordinator Dukun sekawasan Tengger yang tinggal di Desa Ngadas Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo, yaitu: Saat ini saya sering berkeliling mengunjungi dukun-dukun di kawasan Tengger, setidaknya tiga bulan sekali saya mendatangi mereka. Sehingga jika ada permasalahan dapat segera diselesaikan dan dibahas sampai tuntas. Selain itu di 4 kabupaten, yaitu: Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang masing-masing memiliki koordinator daerah untuk memudahkan komunikasi dengan semua Dukun.
Sumber: Wawancara dengan Koordinator Dukun Tengger, Januari 2006.

Komunikasi yang terjalin antar Dukun saat ini sudah cukup erat, sehingga segala permasalahan yang timbul dapat segera dibahas bersama. Dalam pertemuan tersebut setidaknya satu kali dalam satu tahun ada yang dipakai untuk membahas perhitungan hari-hari besar masyarakat Tengger menurut kalender Tengger. Jika terjadi perbedaan hasil perhitungan antar dukun akan dituntaskan dalam pertemuan tersebut. Saat ini Koordinator Dukun Tengger Bapak Mujono telah mampu menyelesaikan perhitungan dalam penentuan hari-hari besar masyarakat Tengger seperti Kasada, Karo, dll sampai dengan tahun 2020.

70

Meskipun demikian hasil tersebut harus tetap dicocokkan dan dibahas dalam pertemuan antar dukun agar diperoleh persamaan perhitungan. Jika sudah sesuai maka akan dikeluarkan (dicetak) dan disebarkan ke semua daerah yang masuk dalam kawasan Tengger.

Pakaian Masyarakat Tengger Secara umum pakaian masyarakat Tengger tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain. Pakaian masyarakat Tengger dapat digolongkan menjadi: 1. Pakaian Adat Pakaian adat ini biasa digunakan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan adat tradisi dan juga yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Pakaian adat ini baik laki - laki maupun perempuan dominan warna hitam, yaitu: Pakaian laki-laki yang terdiri dari: 1) 2) Atasan baju hitam lengan panjang. Udeng/ ikat kepala, jenis udeng yang dipakai tidak jauh berbeda dengan yang biasa dipakai oleh orang kebanyakan. Bentuknya berupa kain segi empat dengan motif warna biasanya gelap hitam/ biru tua dengan kombinasi warna krem/ putih. Dimana penggunaannya dipakai dengan melingkarkan dan mengikatnya di atas kepala. 3) 4) Bawahan berupa celana dengan warna terserah, biasanya berwarna gelap. Kain sarung motif batik yang dililitkan di atas celana sepanjang 10 cm di atas lutut. Pakaian perempuan yang terdiri dari: 1) 2) 3) Atasan berupa kebaya warna hitam. Bawahan berupa sarung atau kain jarit dengan motif dan warna terserah. Kempoh , yaitu selendang warna kuning yang dipakai sebagai ikat pinggang. Pakaian adat masyarakat Tengger ini dipakai oleh sem ua golongan masyarakat, mulai dari pimpinan sampai dengan masyarakat biasa. Hanya saja khusus untuk dukun saat memimpin upacara adat ada pakaian tersendiri. Namun jika pada upacara keagamaan dukun juga memakai pakaian adat yang umum seperti yang lain.

71

Makna dari pengggunaan pakaian adat tersebut, yaitu: 1) Warna hitam berarti ketenangan (dalam Bahasa Jawa dapat dimaknai anteng), yang berarti tenang dalam Bahasa Indonesia. Maksudnya adalah tidak neko-neko yang berarti dalam berpikir dan bertindak diharapkan masyarakat Tengger melakukannya dengan wajar/ tidak macam-macam. 2) Warna kuning dapat diartikan sebagai keagungan. Dalam bahasa Jawa , kuning berarti ning atau hening. Maksudnya pikiran masyarakat Tengger diharapkan hening yang tidak jauh berbeda dengan k etenangan. Sebab dalam keheningan hati akan didapatkan ketenangan pikiran. 3) Udeng, dalam Bahasa Jawa berarti mudeng atau paham dalam Bahasa Indonesia. Diharapkan masyarakat Tengger mampu memahami ajaran leluhur dengan baik. Pada mulanya dulu penggunaan pakaian adat ini tidak menjadi suatu keharusan bagi masyarakat Tengger dalam mengikuti kegiatan adat. Atas inisiatif Kepala Desa Ngadisari Bapak Supoyo yang memegang jabatan mulai tahun 1998 akhirnya mulai dirintis penggunaannya secara wajib bagi semua warga desanya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu kebersamaan diantara warganya. Selain itu upaya ini juga diharapkan mampu melestarikan adat tradisi mereka. Gagasan semacam ini selalu dikomunikasikan melalui berbagai forum pertemuan dengan warganya. Pa da akhirnya semua lapisan masyarakat dapat menerimanya dengan baik. Sehingga hasilnya dapat dilihat dalam dua sampai tiga tahun terakhir ini setiap upacara adat dan upacara keagamaan di Desa Ngadisari tampak seperti lautan hitam, hal ini lebih mudah dilihat pada hari besar agama Hindu atau upacara adat yang besar seperti Karo dan Kasada . Semua warga masyarakat dari yang tua, muda, besar, kecil, laki-laki dan perempuan, pejabat atau masyarakat biasa berpakaian sama. Jika upacara adat yang diadakan tersebut berupa upacara pribadi yang hanya melibatkan anggota keluarga, seperti upacara Praswala Gara (perkawinan), upacara khitan, upacara Entas-Entas, dll maka yang diwajibkan memakai pakaian adat adalah yang punya hajat. Sehingga jika kita mengikuti suatu hajatan akan lebih mudah mengenal tuan rumah meskipun berbaur dengan banyak tamu, sebab

72

pakaian yang digunakan adalah pakaian adat dan biasanya ditambah dengan kaweng dari selendang. 2. Pakaian Keseharian Pakaian keseharian masyarakat Tengger tidak jauh berbe da dengan

warga masyarakat lainnya. Namun ada suatu kebiasaan yang selalu dilakukan, yaitu memakai kaweng. Kaweng adalah sarung atau kain selendang yang dililitkan/ diikatkan dileher. Kaweng yang digunakan masyarakat Tengger ini lebih mirip pakaian luar, sehingga jika waktu keluar rumah belum memakai kaweng serasa memakai pakaian yang belum lengkap. Sebagaimana yang diungkapkan salah seorang informan penelitian sebagai berikut: Sampun kulina mbak, lekne mboten ndamel kaweng kaya diwasen bature (Sudah kebiasaan mbak, kalau tidak memakai kaweng rasanya seperti dilihat teman/orang lain). Pada mulanya penggunaan kaweng ini berfungsi sebagai penahan dingin karena kondisi lingkungan yang sangat dingin. Pemakaian kaweng dirasa cukup praktis sebagai pengganti jaket. Selain itu dalam beberapa kesempatan, kaweng dapat dipakai untuk pengganti tas dalam berbelanja, untuk menggendong anak bahkan juga untuk menggendong rumput maupun kayu bakar. Jika ada acara hajatan, kaweng dari selendang biasanya dipakai untuk nggendhong (membawa barang bawaan, seperti beras dan gula yang dibawa ke tempat orang yang punya hajat). Selain kaweng, bagi perempuan juga ada kebiasaan memakai penutup kepala yang disebut kethu , yaitu semacam kain persegi yang dilipat segitiga seperti scraft dan diikat untuk menutup kepala. Biasanya orang dewasa dan orangorang yang sudah tua selalu menggunakannya, sedangkan anak-anak muda agak jarang kecuali jika sedang bekerja di ladang. Kethu ini pada awalnya digunakan untuk melindungi kepala dari kotoran dan juga untuk penahan dingin. Kebiasaan seperti ini selalu diikuti dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah tradisi jika tidak memakainya terasa kurang pas dalam berpakaian.

73

3. Pakaian Khusus untuk Dukun Adat Seorang Dukun Tengger memiliki pakaian khusus yang selalu dipakai dalam setiap memimpin upacara adat. Pakaian Dukun ini terdiri dari: 1) Atasan baju lengan panjang berwarna putih. 2) Bawahan celana, warna terserah, biasanya gelap. 3) Sarung yang dililitkan di pinggang sepanjang sekitar 10 cm di atas lutut. 4) Udeng , dipakai di kepala dengan warna dan motif yang tidak ditentukan. 5) Sampet (selempang kuning), dipakai menyilang di depan dada. Sampet ini menjadi ciri khas seorang Dukun Tengger. 6) Cinde panca warna, berupa kain selendang dari sutera yang memilik i lima warna putih, merah, kuning, hitam dan hijau, biasanya hanya dipakai dalam memimpin upacara Entas-Entas . Makna dari pakaian Dukun Tengger ini tidak jauh berbeda dengan makna pakaian adat masyarakatnya. Sedangkan warna putih berarti kesucian dan panca warna menggambarkan empat kiblat lima pancer (empat arah mata angin ditambah satu di tengah tempat kita) dengan kelima dewa penguasanya 12.

Gambar 8 Pakaian adat masyarakat Tengger: A. Perempuan; B. Laki-laki; dan C. Dukun Adat

12

Timur adalah Bethara Iswara (dilambangkan dengan warna putih), Selatan adalah Bethara Brahma (dilambangkan dengan warna merah), Barat adalah Bethara Mahadewa (dilambangkan dengan warna kuning), Utara Bethara Wisnu (dilambangkan dengan warna hitam). Sedangkan di tengah adalah Bethara Siwa (merupakan pencampuran bermacam-macam warna), namun dalam upacara biasanya dilambangkan oleh salah satu tumpeng panca warna yang berwarna hijau.

74

Ikhtisar Masyarakat Tengger adalah masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan Tengger, termasuk ju ga Gunung Bromo dan Semeru. Banyak versi yang menceritakan tentang asal-usul masyarakat Tengger. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari Rara Anteng dan Jaka Seger, sehingga dari nama mereka didapatkan istilah Tengger bagi masyarakat ini. Versi lain mengatakan bahwa mereka berasal dari jaman Majapahit, meskipun bukti yang mengarah kesana masih terus diteliti. Selain itu dari analisis yang dilakukan penulis memprediksi bahwa mereka berhubungan dengan jaman Kerajaan Mataram Hindu di daerah Jawa Tengah, yang memindahkan pusat

pemerintahannya di Jawa Timur. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Tengger lebih banyak memiliki persamaan dengan bahasa Jawa Banyumas, Jawa Tengah dari pada dengan bahasa Jawa pada umumnya atau bahasa Jawa orang Ngare (masyarakat di luar pegunungan Tengger). Masyarakat ini agak berbeda dengan masyarakat sekitarnya karena sempat terisolasi pada jaman kolonial. Desa Ngadisari merupakan desa masyarakat Tengger yang secara administratif terletak di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Desa ini berbatasan langsung dengan kawasan wisata kawah Bromo. Penduduk desa ini berjumlah 1563 jiwa sampai angka tahun 2004, terdiri dari 51,25 persen laki-laki dan 48,75 persen perempuan. Mayoritas masyarakatnya beragama Hindu (sebesar 98,85 persen) dan sisanya beragama Islam. Tingkat pendidikan penduduk desa ini mayoritas masih rendah, namun saat ini mulai ada peningkatan di bidang pendidikan. Sebagian besar (65,21 persen) bermatapencaharian sebagai petani sayuran, seperti kubis , kentang dan bawang prei, sedangkan sisanya tersebar di bidang jasa, pedagang dan pegawai. Kondisi pemerintahan desa tidak jauh berbeda dengan pemerintah desa lainnya, yang berbeda adalah adanya Dukun Adat sebagai staf non formal dari Kepala Desa yang bertanggung jawab terhadap semua masalah adat. Masyarakat Tengger Ngadisari tampak dinamis namun bersahaja. Setiap hari sebagian besar waktu mereka digunakan untuk bekerja di tegalan, khususnya di musim tanam. Intensitas pertemuan antar anggota keluarga sangat tinggi, hal ini akibat homogenitas pekerjaan diantara mereka. Kondisi lingkungan masyarakat Tengger

75

Desa Ngadisari yang tampak begitu mencolok adalah bangunan rumahnya yang mayoritas tidak berpagar agar lebih dekat dengan tetangga, keamanan juga cukup terjamin karena tingkat kejahatan yang relatif nol persen. Pakaian keseharian mereka tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya, namun yang tampak khas adalah penggunaan kaweng yang pada awalnya berfungsi sebagai penahan dingin. Kebiasaan tersebut akhirnya menjadi sebuah ciri khas cara mereka berpakaian. Sedangkan dalam upacara adat mereka menggunakan pakaian adat yang didominasi warna hitam untuk masyarakat umum dan warna putih untuk Dukun Adat.

76

DESKRIPSI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT MASYARAKAT TENGGER NGADISARI

Tradisi Entas-Entas Deskripsi Tradisi Entas-Entas Entas-Entas adalah sebuah prosesi upacara adat kematian masyarakat Tengger. Dalam tradisi Jawa biasa disamakan dengan acara nyewu (upacara seribu hari setelah kematian) meskipun pelaksanaannya tidak tepat di hari keseribu setelah kematian. Jika dalam tradisi masyarakat Hindu Bali dinamakan Ngaben (upacara pembakaran mayat). Hanya saja jika dalam masyarakat Bali yang dibakar adalah kerangka orang yang sudah meninggal, maka dalam tradisi masyarakat Tengger yang dibakar adalah petra, sebuah boneka yang dibuat dari kumpulan daun-daunan, ilalang dan bunga. Petra ini menjadi tempat bagi roh orang-orang yang sudah meninggal yang akan dientas. Entas-Entas berasal dari kata entas (dalam Bahasa Jawa), yang berarti mengangkat dalam Bahasa Indonesia. Upacara ini dilakukan untuk menyucikan atman (roh orang yang sudah meninggal), sebab roh itu datang suci maka kembali suci (sukma sarira disucikan menurut istilah mereka). Sebagaimana yang diceritakan Dukun Adat Desa Ngadisari Bapak Sutomo bahwa atman disucikan agar lepas dari karma (perbuatan) yang sudah dilakukan. Setiap orang selalu mendapat karmapala (buah dari perbuatan), sehingga harus diadakan upacara untuk ngilangi rereged sukere (menghilangkan kotoran) dan menyempurnakan kematian orang yang sudah meninggal agar lebih cepat mencapai nirwana (surga). Masyarakat Tengger meyakini bahwa balasan yang diterima orang yang sudah meninggal sesuai dengan perbuata n yang dilakukannya selama hidup di dunia. Namun sebagai keluarga yang masih hidup memiliki kewajiban untuk membantu leluhurnya (keluarga yang sudah meninggal) agar dapat mempercepat jalannya mencapai nirwana. Istilah mereka adalah nyuwargaen (nyuwargakno dalam Bahasa Jawa atau membahagiakan dalam Bahasa Indonesia) orang yang sudah meninggal. Masyarakat Tengger memiliki kepercayaan bahwa atman sebelum

77

dientas akan berkumpul di suatu tempat yang bernama kutugan13, terletak di bawah dekat pintu masuk ke kawasan laut pasir yang disebut Lawang Sari 14. Atman akan terus menunggu sampai ada keluarga yang melakukan upacara EntasEntas . Setelah diadakan upacara Entas-Entas maka roh leluhur dipercaya akan mendapatkan tempat yang baru, keluar dari daerah kutugan. Perjalanan mencapai nirwana tersebut digambarkan juga akan melewati lautan pasir dan penggambaran nirwana bagi mereka adalah kawah Gunung Bromo, sehingga kawah Bromo yang diyakini sebagai manifestasi dari padmasana, yang mereka sebut sebagai pelinggih (singgasana) dari Hyang Widhi ini menjadi tempat yang paling sakral dan diagungkan bagi Masyarakat Tengger. Waktu untuk melaksanakan upacara Entas-Entas tidak harus pas seribu hari setelah kematian, tapi tergantung kemampuan dari pihak keluarga yang aka n melaksanakannya. Biasanya pelaksanaan upacara Entas -Entas ini dilakukan bersama -sama dengan upacara yang lain, seperti upacara Praswala Gara (perkawinan), khitanan, upacara ruwatan, dll. Upacara ini termasuk upacara hajatan keluarga sehingga segala macam persiapan dilakukan oleh pihak yang punya hajat dibantu dengan para bethek, dari keluarga dan tetangga dekat. Tempat pelaksanaan upacara Entas-Entas dapat dilakukan di mana saja, tidak ada ketentuan yang pasti, biasanya dilakukan sesuai dengan besar kecilnya acara yang digelar. Ada beberapa lingkup upacara Entas-Entas , yaitu: alit (kecil), sederhana dan radi ageng (agak besar), mereka tidak m enyebut besar meskipun pada prakteknya biasanya berlangsung secara besar-besaran dengan adanya hiburan berupa tayub atau ludruk. Sedangkan untuk hiburan wayang tidak pernah dilakukan karena mereka masih meyakini kesakralan kawasan Tengger yang melarang dia dakannya acara wayang dalam bentuk apapun. Sebab hal itu akan meyebabkan terjadinya bencana jika dilanggar, karena kawasan Tengger dianggap sebagai tempat tinggal (kayangan) bagi para dewa-dewa yang biasa diceritakan
13

yaitu orang-orang yang membantu

proses persiapan seperti sinoman dalam tradisi Jawa. Bethek ini biasanya terdiri

Masyarakat Tengger meyakini jika keluarga yang hidup belum melakukan upacara Entas-Entas, maka atman akan tetap menunggu di tempat tersebut. Jika Entas-Entas dilakukan lebih dari sekali, maka atman akan dapat berpindah ke beberapa tempat. 14 Lawang sari juga merupakan tempat sakral bagi masyarakat Tengger. Menurut keyakinan mereka tempat ini merupakan pintu masuk ke alam lain.

78

dalam dunia pewayangan. Upacara Entas-Entas dapat dilakukan di rumah sendiri atau menyewa Balai Desa jika membutuhkan tempat yang lebih luas. Prosesi Pelaksanaan Tradisi Entas-Entas Pelaksanaan upacara Entas-Entas secara umum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: resik , saat pelaksanaan dan wayon. Resik (dilakukan pada satu hari sebelum hari Pelaksanaan) Resik berasal dari bahasa Jawa yang berarti bersih, yaitu upacara yang dilakukan sebagai persiapan sebelum pelaksanaan upacara Entas -Entas . Tujuan dari resik adalah untuk menyucikan roh yang akan dientas dan semua yang terlibat dalam upacara, baik yang punya hajat, keluarga, tempat makanan, tempat memasak maupun semua bahan-bahan yang dipakai dalam upacara agar terhindar dari gangguan roh-roh jahat. Biasanya dilakukan pada satu hari sebelum pelaksanaan. Tempat pelaksanaan resik adalah di tempat yang akan dipakai untuk pelaksanaan upacara Entas-Entas. Jenis-jenis tamping (sesajen) yang dipakai dalam upacara resik ini adalah: 1. Gedang ayu. Berupa pisang dua tangkep (dua sisir) dengan jenis dan jumlah yang sama dan diberi jambe (pinang) dan kapur sirih. Jambe berwarna kuning, kapur berwarna putih dan gambir berwarna merah. Tiga warna ini melambangkan Tri Murti, sedangkan sirih melambangkan tempat. 2. 3. 4. Ajang malang. Dandanan resik . Dandanan banyu/ andhek -andhek. Tamping ini terdiri dari telur dan gedang ayu (pisang dua sisir yang diberi kapur sirih). 5. 6. Dandanan masu. Gubahan klakah. Tamping ini terdiri dari: beras satu tempeh (semacam loyang yang terbuat dari anyaman bambu) sebanyak tiga kg, pisang dua tangkep (dua sisir), gubahan (berisi bunga kenikir, bunga tanalayu/ edelways dan daun putihan ),

79

macam-macam kue (terdiri dari pipis, juadah, ketan dan wajik ), rokok, jambe ayu/ jambe suruh (pinang sirih), uang kertas sebanyak Rp 3.000,- dan kemenyan sebanyak dua bungkus. 7. Mbedhudhuk . Tamping ini berisi kelapa satu butir, gula satu kg, beras satu kg, tumpeng, pisang, jambe ayu (pinang yang diberi kapur sirih), ayam panggang setengah matang, penganggo (pakaian), ketan dan telur satu butir. Makna dari tamping ini adalah: 1) Ayam melambangkan kendaraan para dewa. 2) Tumpeng melambangkan ketinggian ilmu atau tempat suci. 3) Pisang melambangkan kemakmuran. 4) Pakaian merupakan lambang dari pakaian para roh yang dientas. 8. 9. Nyuruh agung. Tamping ini terdiri dari kelapa, daun pisang, gula, daun sirih dan pinang. Dandanan banyu masu . Tamping ini terdiri dari pisang satu tangkep , tumpeng, ayam panggang, kue yang terdiri dari pipis (seperti kue nagasari tapi terbuat dari tepung jagung putih), juadah (seperti kue tetel tapi terbuat dari tepung jagung putih dan ketan), wajik yang terbuat dari beras ketan. 10. Kulak , terdiri dari potongan bambu satu ruas (bumbung) yang berisi beras dan lawe (uang sebanyak Rp 1.000,- yang dibungkus daun lontar dan diikat pakai tali sumbu). Maknanya sebagai uang saku dan bekal makanan bagi roh yang akan dientas. Sedangkan pada malam hari sebelum pelaksanaan, di rumah Wong Sepuh biasanya dilakukan pembuatan petra . Petra adalah boneka yang dibuat dari kumpulan alang-alang, daun, bunga yang dirangkai dengan cara tertentu, diikat dengan menggunakan tali branding. Fungsinya dalam upacara-upacara adat masyarakat T engger adalah sebagai pelinggih atman / tempat yang digunakan untuk menempatkan arwah orang yang sudah meninggal yang diundang dalam acara tersebut. Dalam upacara Entas-Entas , petra digunakan sebagi pelinggih atman yang akan dientas.

80

Petra selalu digunakan dalam berbagai upacara adat yang mengundang roh para leluhur. Maksudnya adalah untuk menghormati mereka yang sudah meninggal sekaligus meminta doa restu agar keluarga yang masih hidup tetap dalam keadaan bahagia dan sejahtera. Bentuk petra dalam berbagai upacara sama, kecuali petra yang digunakan dalam upacara Entas -Entas. Perbedaannya adalah petra dalam upacara Entas-En tas menggunakan daun pampung yang digunakan sebagai simbol tubuh bagian bawah. Selain itu ada semacam kesakralan daun pampung, dimana daun ini pohonnya hanya boleh ditanam oleh Wong Sepuh, pada hari tertentu dan menggunakan mantra tertentu dalam menanamnya . Di daerah penelitian hanya dijumpai beberapa pohon saja di tempat tertentu, yaitu: 1. Daun pampung di daerah tegalan yang ditanam oleh Wong Sepuh Ngadisari Bapak Ponito (Pak Dul), berjumlah satu batang pohon. 2. 3. Daun pampung di daerah Guyangan, Cemoro La wang yang ditanam oleh Wong Sepuh pendahulu, berjumlah dua batang pohon. Daun pampung di dekat rumah penduduk (sebelah barat Hotel Cemara Indah), Dusun Cemoro Lawang yang ditanam oleh Wong Sepuh terdahulu, berjumlah satu batang pohon. Bahan-bahan dalam pembuatan petra, adalah: 1. 2. 3. 4. Daun Nyangkuh , maknanya adalah agar nyangkuh (cocok), untuk melengkapi. Janur, maknanya adalah nur. Bunga kenikir, maknanya kencenge pikir (lurusnya pikiran). Alang-alang, maknanya ngalang-alangi sambi kala, maksudnya sebagai penghalang terhadap segala bahaya. 5. Bambu petung, untuk sujen (mirip tusuk sate tapi ada pegangan di bagian bawah untuk menahan tusukan) , makna bambu petung adalah sebagai simbol dari tulang. 6. 7. 8. Bambu tali/ pring tali/ tutus (branding), maknanya sebagai kancing/ penutup. Daun pampung (khusus digunakan pada petra untuk upacara Entas-Entas). Makna daun pampung adalah sebagai simbol dari bagian tubuh bagian bawah. Tana layu (edelweys), maknanya adalah mandape wahyu (turunnya wahyu).

81

Proses Pembuatan Petra 1. Daun nyangkuh sebanyak dua lembar untuk membungkus batang alang-alang, dimana batang alang-alang ini berjumlah 20 batang yang masing-masing dipotong sepanjang 20 cm. 2. Setelah itu pada bagian bawah daun dilipat dan diikat dengan tali branding. 3. Janur yang sudah dilubangi empat buah dilekatkan di bagian bawah menutupi lipatan daun nyangkuh dengan posisi lubang berada di bagian atas. Kemudian janur bagian bawah diikat dengan tali branding. Ikatan tali berada di bagian belakang janur. 4. Bunga edelweys dan kenikir dirangkai (masing-masing satu potong edelweys dan satu potong kenikir) sebanyak lima buah diikatkan dengan tali branding di atas janur. Posisi ikatan yaitu: satu pasang rangkaian bunga di atas sebelah tengah, kemudian dua rangkaian di bawahnya dan dua rangkain lagi di bawahnya diatur agak menyebar. Sehingga posisi rangkaian bunga paling atas berada di tengah -tengah. 5. Membuat lipatan dari daun nyangkuh sekitar satu sampai dua lembar, lipatan berbentuk persegi panjang. Bentuk lipatan terbagi menjadi dua bagian yang disatukan, kemudian diikat dengan tali branding di tengahnya. 6. Lipatan daun nyangkuh tadi ditusuk dengan sujen . Sujen ini ditusukkan pada rangkaian di poin nomor 4 di atas. 7. Maka jadilah petra yang biasa digunakan untuk bebagai upacara yang mengundang arwah leluhur. 8. Sedangkan untuk petra pada upacara Entas-Entas menggunakan rangkaian daun pampung dan bunga tana layu. Rangkaian tersebut terdiri dari 12 tangkai daun pampung dan empat batang bunga tanalayu yang dirangkai membentuk segiempat dan diikat dengan tali branding. 9. Tidak menggunakan lipatan daun nyangkuh tapi menggunakan rangkaian daun pampung dengan edelweys atau tana layu . Rangkaian bunga tanalayu (edelweys) dan daun pampung ditusuk dari bagian dalam sehingga bagian luar rangkaian daun tersebut berada di atas.

82

Hari Pelaksanaan Pada hari pelaksanaan upacara Entas-Entas , sebelum acara dimulai ada beberapa persiapan dan tamping yang harus disediakan, yaitu: 1. Maron, berjumlah sebanyak roh yang akan dientas ditambah satu sebagai pekalan (tempat kala dari para roh yang dientas). Maron ini diisi dengan: rokok satu batang, uang sebanyak Rp 3.000,- atau besarnya tergantung keinginan yang punya hajat. Kemudian di dalam maron inilah petra dari roh yang akan dienta s didudukkan. 2. Layah/ cobek, sebanyak maron yang digunakan, diisi dengan lauk pauk dan kue sebanyak tujuh macam atau berjumlah ganjil. 3. Tumpeng berisi nasi, lauk ayam panggang setengah matang, pisang dan ketan satu pincuk (bungkusan daun pisang). 4. 5. 6. 7. Kebaseng, yaitu daun pisang yang berisi bunga merah dan putih. Kulak , berisi beras, lawe dan nama orang yang akan dientas. Gedang ayu. Tumpeng panca warna, berupa tumpeng kecil dari nasi yang diberi warna putih, merah, kuning, hijau dan hitam. 8. 9. Tumpeng pras . Ajang Malang.

10. Air prasen, air ini khusus diambil dari sumber Semanik, yaitu sumber air yang dianggap sebagai sumber air pertama di daerah tersebut. 11. Prapen, tempat untuk membakar kemenyan. 12. Genta, terbuat dari kuningan yang akan dibunyikan bersamaan saat membaca mantra Pangentas dalam prosesi upacara Entas-Entas . Tujuannya untuk mengusir roh jahat yang akan mengganggsu perjalanan roh yang dientas menuju nirwana. 13. Kotak alat, berisi gunting, benang dan jarum dua buah serta dupa. 14. Sayur satu kuali, dimaksudkan sebagai bekal dari roh yang akan dientas. 15. Jumput (cinde panca warna/ selendang), berasal dari sutra kuno yang memiliki lima warna dan dipakai oleh dukun saat pelaksanaan upacara EntasEntas.

83

16. Dandanan adang , yang ter diri dari: anglo, kuali satu buah dengan tutupnya (biasa disebut langkak ), maron dua buah, sendok sayur (eros), beras satu tompo (bakul nasi), sayur satu kuali, buah jarak kering yang telah dikupas dan ditusuk pakai bambu (seperti tusukan sate) jumlahnya tidak ditentukan, air sumber Semanik satu jurigen, kipas, sendok nasi (enthong ) dan kukusan kecil (tanggi). Prosesi pelaksanaan Entas-Entas adalah sebagai berikut: 1. Mekakat, yang menandai pembukaan upacara Entas -Entas . Merupakan pembacaan mantra pembuka yang dibaca oleh dukun. 2. Setelah itu prosesi inti upacara Entas-Entas , dalam hal ini Dukun membacakan mantra khusus Entas-Entas yang bernama mantra Pembaron berisi delapan bab, yaitu: 1) Setaben (asal kata tabe). Tujuannya adalah untuk menghormati para roh leluhur/ atman yang datang, dapat berarti juga sebagai ucapan selamat datang. 2) Pangentase, dapat berarti penyempurnaan/ mengembalikan asal-usul. Tujuannya adalah sebagai penyucian awal sebelum dientas. 3) Tatasing karayunan, artinya tuntas/ tidak ada yang ke tinggalan. Tujuannya adalah atman diangkat dari alam maya ke alam kasuwargan (alam surga). 4) Pujo limbang, berasal dari kata pujo yang berarti pinujo (memuji) dan limbang berarti keutamaan, sehingga dapat diartikan memuji keutamaan. Tujuannya adalah menyucikan sukma sarira dan raga sarira (sukma dan raga). Dalam istilah bahasa Jawa asal liro soko bumi baliko marang bumi (asal dari bumi/ tanah kembali ke tanah, dengan kata lain diharapkan dapat kembali ke asal). 5) Lukat alit, berarti ngruwat (menghilangkan sengkala) yang kecil.

Tujuannya adalah untuk menghilangkan tri molo (tiga sengkala), yaitu: lara raga (sakit badan), lara geng (sakit besar) dan lara wigeno (sakit batin). 6) Pujo susah, berarti memuji yang kesusahan. Tujuannya adalah saling mengikhlaskan antara yang meninggal dengan keluarga yang ditinggal,

84

agar yang meninggal dapat kembali ke asalnya. Menurut istilah dalam bahasa Jawa adalah sing mati lalio marang kang urip, sing urip lalio marang kang mati (yang mati melupakan yang hidup, yang hidup melupakan yang mati). 7) Pujo geni , berarti memuji Sang Hyang. Tujuannya adalah untuk melebur raga atman agar kembali ke asal-usulnya. Dimana unsur alam untuk penglebur adalah air dan api. 8) Pangruwatan, berarti meruwat (menghilangkan sengkala ). Tujuannya adalah ngruwat kala (suasana) dan ngruwat kama salah ( wiji/ benih yang salah) atau yang tidak berwujud, sedangkan yang berwujud sebagai manusia dinamakan kama sejati yang akan dientas. 3. Setelah pembacaan mantra selesai, Dukun membakar ujung rambut petra , pekalan dan para pemangku roh. Tujuannya adalah untuk menandai bahwa mereka telah dientas. 4. Dukun melubangi kain putih di atas para pemangku roh satu persatu, pekalan dan petra dengan jarum jahit, maksudnya adalah untuk mengeluarkan segala sengkala dari para leluhur yang dientas. 5. Bebek putih nucuk , itik putih ini memakan beras yang ada di atas kepala para pemangku roh. Maksudnya adalah untuk menghilangkan dan membersihkan segala sengkala yang masih menempel agar para leluhur kembali kepada kesucian. 6. Ayam putih nucuk , ayam putih ini memakan beras di atas kepala para pemangku roh. Tujuannya sama dengan bebek yaitu menghilangkan segala sengkala yang masih tersisa. 7. Mbedhol, yaitu mengangkat petra dari maron. Maksudnya adalah mengakhiri upacara dan meletakkan petra kembali ke tempat undangan roh sebelum dibakar. Mengangkat petra ini harus berhati-hati, tidak boleh menggunakan tangan saja namun memakai kukusan (alat untuk menanak nasi jaman dulu), sebab petra tersebut berisi roh yang suci. 8. Setelah itu Dukun membaca mantra di pintu masuk yang menandai berakhirnya upacara yang diikuti dengan pemecahan kelapa muda oleh Legen

85

(pembantu Dukun). Tujuannya adalah sebagai ungkapan syukur atas terlaksananya upacara Entas -Entas. 9. Petra yang sudah selesai dalam upacara Entas-Entas tersebut kemudian dibawa ke tempat pedanyangan untuk dilakukan pembakaran. Petra ini dibawa oleh para keluarga dengan digendhong memakai selendang, sebab petra ini sangat sakral dan merupakan manifestasi dari leluhur yang telah tiada. Setelah sampai di pedanyangan, pakaian petra yang merupakan pakaian leluhur selama masih hidup dilepas dan petra dibakar oleh Wong Sepuh (pembantu Dukun) sampai habis menjadi abu. Tujuan pembakaran adalah agar roh para leluhur dapat segera mendapatkan tempat yang lebih baik.

Gambar 9 A.Petra digendhong dibawa ke pedanyangan dengan selendang ; B. Pembakaran petra di pedanyangan oleh Wong Sepuh

Wayon (penutupan hajatan pada waktu malam hari) Merupakan upacara penutupan sebagai akhir dari semua upacara yang telah dilakukan. Tujuan dari wayon adalah sebagai ucapan rasa syukur atas terselenggaranya upacara Entas-Entas dan diharapkan para leluhur yang diundang kembali ke asalnya serta tidak mengganggu keluarga yang masih hidup. Wayon dilaksanakan pada malam hari di hari pelaksanaan sekitar pukul 19.00 sampai 20.00 WIB di tempat pelaksanaan upacara Entas-Entas. Acara ini dipimpin ole h Wong Sepuh yang didampingi oleh yang punya hajat dan disaksikan oleh dukun dan para perangkat desa. Pada acara ini hanya Wong Sepuh dan yang punya hajat saja yang diwajibkan menggunakan pakaian adat, sedangkan Dukun dan lainnya hanya berpakaian biasa. Pelaksanaannya dilakukan dengan pembacaan mantra wayon

86

oleh Wong Sepuh di depan beberapa tamping yang berupa gedang ayu, suruh ayu dan kue selama 15 menit yang didahului dengan pembakaran kemenyan. Semua yang hadir hanya menyaksikan dengan diam dan mengawasi sambil sesekali menerangkan maksudnya dengan suara yang dipelankan dan mempersilahkan penulis untuk mengambil gambarnya secara dekat. Hanya para laki-laki yang berada dalam ruangan tempat acara wayon dilakukan, sedangkan para perempuan biasanya hanya berkumpul di dapur atau di ruangan yang lain.

Upacara Praswala Gara (Perkawinan) Praswala Gara berasal dari kata pras ( mengepras/memangkas), wala (lare/anak) dan gara (rabi/kawin). Yaitu suatu upacara perkawinan menurut adat masyarakat Tengger yang juga bertujuan untuk menghilangkan sengkala/ kesialan. Upacara perkawinan ini memiliki rangkaian urutan sebagai berikut: 1. Upacara Temu Pengantin. Upacara temu pengantin ini memakai sarana/ pitrahan berupa: Pertama, berupa beras, gula dan pisang dijadikan satu tempat yang bernama pras sengkala yang intinya menghilangkan kala -kala dari mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua, berupa gandik , batu panjang, beras, uang kepeng, daun beringin, air suci dicampur bunga, kue tetel dan telor. Makna dari macam -macam pitrahan tersebut adalah; 1) Gandik melambangkan perempuan. 2) Batu panjang melambangkan laki-laki. 3) Beras merupakan lambang kebutuhan orang hidup. 4) Uang kepeng memiliki arti bahwa suami harus bertanggung jawab untuk mencari kebutuhan istri. 5) Daun beringin merupakan lambang pengayoman, jadi seorang suami harus mengayomi istri dan seorang istri harus mengayomi suami. 6) Air suci merupakan lambang dari mempelai berdua, jadi mempelai lakilaki dan perempuan masih suci. 7) Tetel melambangkan kekeluargaan (rukun damai). 8) Telor melambangkan agar mempunyai keturunan yang baik.

87

Jadi secara umum upacara temu pengantin adalah mempersatukan antara mempelai laki-laki dan perempuan. Prosesi temu pengantin yang pertama adalah ibu dari mempelai putra disambut oleh ibu dari mempelai putri yang memberikan daun sirih dan kapur (suruh ayu ). Setelah itu rombongan dipersilahkan masuk dan diadakan acara penerimaan berupa menginjak telor oleh mempelai putra dan pembersihan dengan air suci yang dilakukan oleh mempelai putri. Makna dari prosesi ini adalah bahwa kedua mempelai masih suci. Setelah itu semua rombongan dipersilahkan untuk duduk dan dilakukan acara pasrah pengantin. 2. Pasrah Pengantin. Pasrah Pengantin adalah salah satu rangkaian dari temu pengantin masyarakat Tengger yang berupa serah terima pengantin dari keluarga mempelai putra kepada keluarga mempelai putri. Pihak mempelai putra diwakili oleh Legen, sedangkan pihak mempelai putri diwakili oleh orang yang biasanya juga mantan Legen, karena dialog yang harus dihafal cukup panjang. Dalam serah terima pengantin ini terjadi sebuah dialog yang terjadi antara kedua wakil dari masing-masing pengantin dengan menggunakan bahasa Jawa. Keduanya duduk saling berhadapan dengan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai. Inti serah terima ini adalah menyerahkan pengantin putra kepada keluarga pengantin putri. Dialog yang terjadi dilakukan begitu cepat karena panjangnya dialog tersebut di beberapa daerah dialog tersebut dilagukan, sehingga membuat para hadirin lainnya tidak merasa jenuh dan menjadi daya tarik tersendiri. Dialog pasrah pengantin ini secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 12. 3. Upacara di Peturan Pengantin. Upacara ini dilakukan di peturan / kamar pengantin dengan sarana berupa tumpeng, ayam dan macam-macam kue. Maksud upacara ini adalah saat masuk kamar pengantin agar kedua mempelai tidak diganggu oleh buta kala. Istilah mereka kaki kolo ngintip/ kaki ketika mengintip disuruh makan sesaji agar tidak mengganggu kedua pengantin.

88

4.

Upacara Walagara (Penyaksian/ dulitan). Upacara ini dilaksanakan setelah upacara di peturan pengantin. Sarana yang dibutuhkan adalah: tumpeng kecil empat biji, ayam panggang dua buah, kue secukupnya, bunga, air suci, gedang ayu dan setel sirih pinang, gambir dan kapur (saruh ayu dan jambe ayu). Inti upacara walagara adalah penyaksian bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi suami istri dan memohon restu pada: angkasa, ibu pertiwi, pintu, soko guru (tiang rumah), dapur, orang tua kedua mempelai, saudara-saudara dan pada semua tamu yang hadir. Dulitan ini dilakukan dengan mendulitkan (menempelkan ujung daun sirih) yang telah dicelupkan pada air suci yang dicampur bunga ke tangan semua yang hadir, biasanya laki-laki didahulukan setelah itu yang perempuan. Air suci ini merupakan air dari sumber Semanik (sumber pertama, dimana waktu mengambilnya harus tanpa bicara sepatahpun di jalan, biasanya dilakukan pada waktu malam hari) oleh yang punya hajat. Selama proses dulitan ini dilakukan oleh mempelai putri, maka mempelai putra diharuskan memegang tempat air suci tanpa boleh melepaskan sedikitpun sampai dulitan ini selesai. Jika dilepas dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Perias pengantin biasanya yang memberi tahu dan mendampingi apapun yang harus dilakukan oleh kedua mempelai dala m prosesi acara tersebut.

5.

Banten Kayopan Agung . Banten Kayopan Agung merupakan salah satu rangkaian dari upacara perkawinan menurut adat masyarakat Tengger. Sarana yang dipakai secara lengkap dinamakan Dandanan Banten Kayopan Agung, yang terdiri dari: 1) 2) 3) 4) Tumpeng tujuh buah. Sirih dan jambe (pinang) secukupnya. Kue secukupnya. Tuwuhan, yang terdiri dari: pohon pisang dengan ontongnya (jantung pisang), daun beringin, tebu, bunga, pinang, janur, tangga janur dan kelapa muda (degan) yang semuanya dirangkai menjadi dandanan/ rangkaian yang disebut tuwuhan , yang melambangkan kemakmuran.

89

5)

Kelapa muda di luar janur bermakna jika manusia sudah makmur jangan lupa dengan yang masih ada di bawah.

6)

Kelapa muda yang dihias janur dan diberi lubang bulat bermakna kemakmuran itu harus dimulai dari nol.

7)

Anda buana (tangga dunia) melambangkan jalan menuju nirwana, jadi siapa pun bisa menuju nirwana dengan syarat betul - betul orang yang suci dan memiliki hati yang bening (ning ), baik perbuatannya, jujur, dll. Pelaksanaan Banten ini adalah dengan duduk bersama antara kedua

mempelai dengan seluruh kelurga dipimpin oleh dukun di hadapan dandanan/rangkaian Banten Kayopan Agung. Setelah pembacaan mantra, Dukun memberikan beras dan tali Banten kepada semua yang hadir, yaitu beras satu jumput (satu ujung tangan dari Dukun) digenggamkan di tangan kanan untuk dimakan dan mengikatkan tali Banten yang terbuat dari tali sumbu, di pergelangan tangan kanan kepada semua keluarga yang mengikuti Banten. Pertama kali yang diberi adalah mempelai putra kemudian mempelai putri, orang tua dan dilanjutkan semua keluarga. Pada acara ini penulis juga ikut diberi beras dan tali banten, yang berarti ikut memberi restu dan dianggap sebagai keluarga oleh mereka, meskipun bukan masyarakat Tengger namun mereka telah menganggap seperti saudara. Hal ini diakui oleh Dukun Tengger mirip dengan pengikatan tali raki pada masyarakat India yang mengikat persaudaraan. Beras tersebut melambangkan panga n (makanan) dan tali Banten melambangkan sandang (pakaian). Makna dari rangkaian Banten Kayopan Agung adalah doa dari orang tua kedua mempelai yang memohon kepada Tuhan YME atau pedanyangan tempat tinggal mempelai berdua agar mereka selalu diayomi dan dijauhkan dari mala petaka dan mohon diberi kemakmuran. Selanjutnya sesajen tersebut dihaturkan kepada Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan YME/ pedanyangan setempat.

90

Gambar 10. Salah satu prosesi dalam upacara Praswala Gara: A. Pengikatan Tali Banten (pada prosesi Banten Kayopan Agung); dan B. Bati (pada prosesi dulitan).

Upacara Pujan Kapat Pujan berasal dari kata pamujaan, maksudnya adalah memuja Sang Pencipta, dalam tradisi masyarakat Tengger berupa suatu upacara yang diselenggarakan sebagai upaya untuk membersihkan desa dari pengaruh roh-roh jahat dan menjauhkan dari segala mara bahaya. Dalam masyarakat Tengger, pujan dilakukan sebanyak lima kali dalam satu tahun pada bulan -bulan tertentu berdasarkan perhitungan kalender Tengger. Macam-macam pujan tersebut, yaitu: Pujan Karo, Pujan Kapat, Pujan Kapitu, Pujan Kawolu, Pujan Kesanga, dan Pujan Kasada. 1. Pujan Karo Pujan Karo dilaksanakan pada saat upacara Karo yang jatuh pada bulan kedua pada penanggalan Tengger. 2. Pujan Kapat Pujan ini jatuh pada tanggal tiga malam empat bulan Kapat yang dilaksanakan oleh semua masyarakat. Pelaksanaan pujan bertempat di rumah Petinggi/ Kepala Desa. Makna dari Pujan Kapat atau pamujaan pada bulan Kapat (ke -empat) adalah menghormati atau memberi upacara kepada: a. Dulur papat. b. Memberi upacara pada empat penjuru mata angin, yaitu: 1) Wetan/ timur lambang putih, dewanya Iswara. 2) Kidul/ selatan lambang merah, dewanya Brahma. 3) Kulon / barat lambang kuning, dewanya Mahadewa.

91

4) Lor / utara lambang hitam, dewanya Wisnu. 3. Pujan Kapitu Pujan Kapitu jatuh pada panglong 13 tanggal 28 bulan Kanem. Pujan ini mempunyai beberapa acara: a. Mapak sasi Kapitu (menyongsong bulan ketujuh). Acara ini diikuti oleh semua masyarakat yang bertempat di rumah Petinggi/ Kepala Desa yang dipimpin oleh seorang Dukun. Makna dari mapak sasi kapitu adalah memohon kepada Tuhan YME agar di dalam bulan Kapitu/ selama bulan ketujuh, desa selalu diberi keselamatan/ tidak ada orang yang meninggal dalam satu bulan, sebab seorang Dukun tidak bisa memimpin upacara/ selamatan apapun karena masih menjalani puasa mutih (hanya memakan sesuatu yang putih/ tawar) selama satu bulan. b. Kapitu/ mengker sasi Kapitu . Mengker sasi Kapitu jatuh pada panglong Kapitu tanggal 15 bulan Kanem. Makna mengker Kapitu atau ngemong Kapitu adalah melaksanakan pati geni selama satu hari satu malam yang diikuti oleh Dukun dan sesepuh desa. Setelah mutih dan pati geni satu hari satu malam, kemudian diteruskan mutih selama satu bulan dimulai tanggal satu bulan Kapitu sampai dengan panglong 15 Kapitu dan ditutup dengan pati geni lagi satu hari satu malam pada panglong 15 atau tanggal 30 Kapitu, maknanya adalah mengurangi hawa nafsu. 4. Pujan Kawolu Pujan Kawolu jatuh pada tanggal satu, bulan Kawolu (pelaksanaan pujan pada malam tanggal satu). Maksudnya adalah memberi yadnya (korban) kepada alam semesta atau sak lumahe bumi sak kurepe langit. Yang dimaksud lumahe bumi adalah: bumi, air, hawa (udara) dan geni (api). Sedangkan yang dimaksud kurepe langit adalah: matahari, rembulan, bintang dan angkasa (langit). Oleh karena itu masyarakat mengadakan yadnya pada bulan Kawolu , sebab semua itu (yang berjumlah delapan) bermanfaat bagi kehidupan manusia.

92

5. Pujan Kesanga Pujan Kesanga jatuh pada panglong sanga (9) atau tanggal 24 bulan Kesanga yang diikuti oleh semua masyarakat desa, bertempat di rumah Petinggi/ Kepala Desa. Sajen-sajen yang dibutuhkan pada waktu pujan Kesanga adalah: 1) Tombak dari bambu 9 biji, maknanya adalah untuk berjaga-jaga. Sedangkan yang dijaga adalah babagan hawa sanga (sembilan lubang pada diri manusia). 2) 3) Secara Sapu dan cangkul, maknanya adalah sebagai alat untuk membersihkan. Ayam brumbun , maknanya adalah tetolak / sebagai tolak balak. keseluruhan makna Pujan Kesanga adalah bersih desa, yaitu

membersihkan desa dari segala gangguan yang akan masuk ke desa/ manusia. 6. Pujan Kasada Pujan Kasada adalah pujan yang dilaksanakan pada akhir rangkaian upacara Kasada. Pujan ini jatuh pada tanggal 14 malam bulan Kasada yang diikuti oleh masyarakat desa masing-masing di kawasan Te ngger, bertempat di rumah Petinggi/ Kepala Desa. Maknanya adalah mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME atas terselenggaranya Yadnya Kasada dan memohon doa agar desa-desa di Kawasan Tengger dijauhkan dari bencana dan malapetaka. Pujan yang dilakukan pada waktu penelitian ini jatuh pada bulan keempat tanggal 3 malam 4 menurut penanggalan kalender Tengger, yang biasanya disebut Pujan Kapat. Tujuannya untuk memohon keselamatan bagi seluruh desa beserta isinya dari segala bencana. Pelaksanaan Pujan Kapat berada di rumah Petinggi (Kepala Desa) dan di rumah Carik (Sekretaris Desa) antara pukul 19.00-22.00 WIB. Upacara ini dipimpin oleh Dukun Adat15 dan diikuti oleh para kerabat dukun ( Legen16 dan Wong Sepuh 17) beserta Kepala Desa dan para perangkatnya.

15

Dukun Adat Tengger diangkat melalui proses seleksi yang dilakukan sebelum uapacara Kasada dengan menjalani berbagai rangkaian tes menghafal mantra-mantra. Sebelum mengikuti tes seorang calon Dukun harus dipilih dan d icalonkan oleh warga masyarakat desanya. Masa jabatannya seumur hidup atau sampai merasa tidak sanggup melaksanakan tugas dapat mengundurkan diri. Dukun ini dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Legen dan Wong Sepuh (biasa disebut kerabat Dukun) 16 Legen adalah salah pembantu Dukun yang biasanya bertanggung jawab dalam persiapan dan pelaksanaan upacara perkawinan. Pemilihannya dilakukan oleh tokoh masyarakat desa sendiri. Masa jabatannya akan berakhir jika dia memiliki hajatan, misalnya mengadakan upacara EntasEntas atau Praswala Gara.

93

Sebelum pelaksanaan pujan dilakukan kegiatan yang disebut uwar/ mupu sekitar dua sampai tiga hari sebelum hari pujan yang dilakukan oleh Legen. Uwar (pengumuman/pemberitahuan) adalah suatu kegiatan berupa pemberitahuan pelaksanaan pujan kepada masyarakat Tengger dalam satu desa dari pintu ke pintu (door to door). Kemudian masyarakat yang diberi tahu tersebut biasanya menyumbangkan beras sekitar satu mangkok, ada juga yang berupa telur, uang (atau apa saja yang mereka punya) dititipkan kepada Legen yang datang berkunjung tersebut yang biasa disebut mupu 18. Hal ini sebagai wujud keikutsertaan mereka dalam acara Pujan Kapat yang akan dilaksanakan. Mengunjungi rumah warga satu persatu maka biasanya memakan waktu dua sampai tiga hari, sebab jika ada yang terlewat maka warga akan menyesal karena merasa tidak ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut meskipun dalam pelaksanaan hanya diwakili para perangkat desa dan dukun beserta kerabatnya. Kunjungan pemberitahuan dari para Legen tersebut merupakan suatu kehormatan bagi mere ka karena mereka dianggap ikut punya hajatan desa dalam pujan, rasa memiliki mereka terhadap kegiatan tersebut masih sangat tinggi. Hal ini tampak dari sambutan dari tiap rumah yang penulis singgahi bersama Legen tersebut. Seringkali mereka memaksa akan membuat minum atau mengajak makan, namun karena yang harus kami kunjungi masih banyak maka kami menolaknya dengan halus. Hanya di beberapa rumah kami minum dan makan makanan kecil sambil menunggu hujan agak reda. Hal ini wajar karena pelaksanaan pujan pada tanggal empat Januari 2006 tersebut masuk dalam musim penghujan, namun kondisi ini tidak menyurutkan semangat para Legen mengunjungi rumah para warganya. Warga masyarakat yang dikunjungipun tampak antusias, ramah, memperhatikan apa yang disampaikan oleh Legen dan cepat-cepat mengambil beras atau uang seadanya untuk dititipkan sebagai sumbangan acara tersebut, meskipun sumbangan itu tidak diwajibkan. Namun jika ditolak mereka akan

17

Wong Sepuh biasanya bertanggung jawab pada persiapan dan pelaksanaan upacara kematian. Pemilihannya dilakukan oleh tokoh masyarakat desa sendiri. Masa jabatannya tidak terbatas, selama masih sanggup melaksanakan. Istilah mupu dan uwar seringkali disamakan maksudnya oleh masyarakat Tengger. Makna sebenarnya uwar adalah pemberitahuan pelaksanaan pujan oleh Legen, sedangkan mupu adalah pemberian bantuan masyarakat untuk pelaksanaan pujan, seperti: beras, telur, uang, dsb.

18

94

kecewa, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang Legen kepada penulis dengan bahasa campuran sebagai berikut: Warga masyarakat kene rumangsa melok nduwe gawe acara Pujan Kapat iki, dadi tiap keluarga biasane nitipno beras, endhog utawa picis saanane nang Legen sing ngandhani. Saumpama ora ditrima yo kecewa. Lekne pujan-pujan liyane malah ana sing menehi pitik barang mbak. Yo masio abot digowo wae. Masyarakat kabeh rumangsa ikut memiliki acara iki. (Warga masyarakat di sini merasa ikut punya hajatan dalam Pujan Kapat ini, jadi tiap keluarga biasanya menitipkan beras, telur atau uang seadanya kepada legen yang datang memberitahu. Seumpama tidak diterima ya merasa kecewa. Kalau pujan -pujan lainnya malah ada yang ngasih ayam juga mbak. Ya meskipun berat tetap dibawa. Masyarakat semua merasa ikut memiliki acara ini).
Sumber: Wawancara Desember, 2005.

Waktu berkunjung para Legen ini biasanya dilakukan pada sore hari sekitar pukul 15.30-19.30, sebab saat seperti itu para warga sudah tidak sibuk bekerja di ladang. Jika waktu berkunjung ada yang tidak ada di rumah biasanya akan diberitahu oleh tetangga terdekat. Sumbangan yang diberikan para warga tersebut dimasukkan dalam karung beras dan dibawa sendiri oleh Legen, jika sudah penuh segera diantar ke tempat Pak Petinggi (Kepala Desa) di krajan Ngadisari. Prosesi pelaksanaan Pujan Kapat pertama dilakukan di rumah Kepala Desa setelah itu di rumah Carik. Pujan dipimpin oleh Dukun yang diapit oleh Legen dan Wong Sepuh kemudian dibelakangnya adalah Kepala Desa dengan para perangkatnya. Pujan dilakukan di ruang tamu dengan duduk bersila di hadapan berbagai tamping yang telah disediakan dan menghadap ke arah selatan (arah Gunung Bromo). Pujan ini berlangsung dengan pembacaan mantra dari Dukun selama sekitar 30 menit. Kemudian setelah pembacaan mantra selesai dilanjutkan pembacaan mantra di dapur (tempat memasak) dan di tempat makanan. Setelah itu dilanjutkan pujan di rumah Carik dengan prosesi yang sama. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan sarasehan singkat secara informal untuk sekedar sharing informasi. Setelah selesai semuanya maka rangkaian Pujan Kapat selesai dan para peserta pujan tersebut dapat pulang ke rumah masing-masing.

95

Gambar 11 Prosesi Pujan Kapat: A. Di ruang tamu dan B. Di dapur

Ikhtisar Upacara Entas-Entas / upacara kematian dilakukan untuk menyucikan atman / roh orang yang sudah meninggal, dilakukan oleh keluarga orang yang meninggal. Pelaksanaannya dapat dilakukan di rumah atau di Balai Desa, tergantung besar kecilnya acara. Ada tiga lingkup upacara Entas -Entas , yaitu alit (kecil), sederhana dan radi agen g (agak besar). Waktu pelaksanaan upacara tergantung kemampuan dari keluarga, di samping juga harus mengikuti perhitungan hari baik. Pelaksanaan upacara Entas-Entas dimulai dengan resik yang dilakukan satu hari sebelumnya yang bertujuan untuk menyucikan keluarga dan berbagai hal yang akan digunakan dalam upacara. Pada saat hari pelaksanaan, upacara Entas-Entas terdiri dari berbagai proses pembacaan mantra yang diteruskan dengan pembakaran petra (tempat atman / merupakan manifestasi dari keluarga yang sudah meninggal) yang dilakukan di pedanyangan . Selanjutnya pada malam hari dilakukan upacara penutupan yang disebut wayon. Upacara Praswala Gara atau upacara perkawinan menurut adat masyarakat Tengger dilakukan untuk menyatukan kedua mempelai, menjauhkan dari sengkala/ mara bahaya. Upacara ini wajib dilakukan oleh masyarakat Tengger, biasanya berlangsung di rumah mempelai putri. Rangkaian upacara tersebut adalah temu pengantin, pasarah pengantin, upacara di kamar pengantin, upacara dulitan/ penyaksian dan Banten Kayopan Agung. Upacara yang dilakukan di rumah mempelai putra bi asanya agak berbeda, yaitu tanpa ada prosesi temu pengantin dan pasrah pengantin. Sedangkan untuk akad nikah yang berperan sebagai penghulu adalah Dukun Adat. Upacara Entas -Entas dan Praswala Gara

96

seringkali dilaksanakan jadi satu (dalam satu hari) dengan alasan efisiensi waktu, biaya dan tenaga. Upacara Pujan Kapat dilakukan untuk memohon keselamatan seluruh desa, dilakukan di rumah Kepala Desa dan Sekretaris Desa (Carik). Upacara dihadiri oleh Kepala Desa dan perangkat desa serta Dukun dan kerabat Dukun. Waktu pelaksanaan pada tanggal tiga malam empat, bulan Kapat (bulan ke-empat menurut perhitungan kalender Tengger), beberapa hari sebelumnya dilakukan uwar oleh Legen. Upacara dilakukan dengan pembacaan mantra yang dipimpin oleh Dukun menghadap ke selatan (Gunung Bromo) sebagai manifestasi dari padmasana. Setelah itu dilakukan sarasehan non formal secara singkat. Secara umun tradisi masyarakat Tengger dibagi menjadi dua, yaitu tradisi lingkup keluarga dan lingkup desa. Upacara Entas-Entas dan Praswala Gara merupakan tradisi lingkup keluarga, dimana pelaksananya adalah keluarga. Sedangkan Pujan Kapat merupakan tradisi lingkup desa yang pelaksananya adalah Kepala Desa beserta perangkatnya dan Dukun beserta kerabatnya. Upacara ini sudah ditentukan berdasarkan kalender Tengger dan harus dilaksanakan sesuai perhitungan yang telah ditetapkan. Pada upacara lingkup keluarga, jika ada orang yang akan punya hajat biasanya akan menghubungi Dukun atau Kepala Desa. Mereka yang akan berkoodinasi tentang acara tersebut. Ke pala Desa akan menentukan waktu pelaksanaan berdasarkan urutan warga yang mendaftar, disamping juga berdasarkan perhitungan hari baik. Perhitungan ini bisa dilakukan sendiri oleh yang punya hajat, minta bantuan Dukun, minta bantuan orang tua yang lebih mengerti atau langsung minta bantuan pada Kepala Desa. Sedangkan Dukun akan menjelaskan segala keperluan yang harus dipersiapkan. Jalur pengajuan tersebut dapat digambarkan seperti gambar 12.

97

Keluarga yang punya hajat

Penjelasan segala persiapan upacara

Pengajuan pelaksanaan

Penetapan waktu pelaksanaan

Dukun

Kepala Desa

Keterangan: : Garis pengajuan : Garis jawaban : Garis koordinasi Gambar 12. Jalur pengajuan upacara lingkup keluarga

98

POLA BERSIKAP, POLA KELAKUAN, DAN POLA SARANA KEBENDAAN

Pola bersikap (wujud idiil) Pola bersikap merupakan wujud idiil dari kebudayaan, dalam penelitian ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat terhadap adat dan tradisi Tengger. Hingga saat ini masyarakat Tengger Ngadisari masih memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap adat budaya mereka, seperti masih tetap dilaksanakannya upacara Entas -Entas , upacara perkawinan maupun pujan oleh semua warga desanya. Meskipun masyarakat Ngadisari ada yang non Hindu namun ketaatan dan rasa memiliki terhadap budaya masih tinggi. Menurut pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh penulis, budaya paternalistik dari masyarakatnya masih melekat kuat. Tidak semua masyarakat Ngadisari mengerti dan memahami makna hakiki dari berbaga i ritual adat mereka, namun karena rasa kecintaan dan kepatuhannya tinggi, sehingga apapun yang dikatakan oleh pemimpin mereka (Kepala Desa ataupun Dukun Adat) tentang hal-hal yang terkait dengan adat, mereka terima dengan lapang dada, seperti kewajiban da lam hal penggunaan pakaian adat. Kebanggaan mereka sebagai masyarakat Tengger sangat besar, demikian juga pada generasi mudanya. Hal ini agak berbeda dengan generasi muda masyarakat Samin yang sudah sedikit malu mengakui sebagai orang Samin. Peranan Kepala Desa dan Tokoh Adat cukup kuat dalam membentuk sikap penerimaan masyarakat Tengger Ngadisari terhadap tradisi mereka. Hal ini terkait juga dengan tingkat pendidikan masyarakat yang mayoritas masih rendah, sehingga inisiatif mereka juga masih rendah. Kecenderungan untuk patuh dan tergantung pada kebijakan pemimpin ini ada sisi positif maupun negatifnya. Sisi positifnya menimbulkan tingkat solidaritas sosial yang tinggi diantara warga masyarakat. Namun di sisi lain, jika Kepala Desa yang memimpin tidak memiliki jiwa-jiwa kecintaan pada budaya yang tinggi, akan menyebabkan tingkat kesadaran budaya yang rendah atau bahkan hilang. Kondisi ini diakui oleh Kepala Desa Ngadisari yang cukup prihatin dengan kondisi masyarakatnya. Pada dasarnya peran pemimpin yang me mberi pengaruh sikap penerimaan masyarakat

99

terhadap budaya lebih pada personal pemimpin. Sedangkan peranan kelembagaan (dalam hal ini pemerintah desa) hanya sebagai alat untuk menjalankan dan melegitimasi kebijakan atas inisiatif seorang Kepala Desa. Kondisi masyarakat Tengger di desa Ngadisari ini agak berbeda dengan yang terjadi di salah satu desa masyarakat Tengger yang lain. Menurut keterangan Dukun desa tersebut yang kebetulan merupakan Koordinator Dukun sekawasan Tengger yang sempat diwawancarai oleh penulis menyatakan bahwa kepatuhan terhadap pelaksanaan Entas-Entas di desanya sudah ada sedikit pergeseran. Hal ini terkait dengan kepercayaan warganya yang bermacam-macam, sehingga jika dalam suatu keluarga murni non Hindu semua, biasanya sudah tidak melaksanakan upacara Entas-Entas . Namun jika dalam suatu keluarga masih ada yang Hindu, biasanya Entas-Entas masih tetap dilakukan. Analisis dari penulis bahwa keyakinan masyarakat Tengger dalam suatu desa akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tradisi Entas -Entas . Namun untuk analisis yang lebih mendalam dibutuhkan suatu riset tersendiri yang lebih detail mengenai hal tersebut. Masyarakat Tengger Desa Ngadisari saat ini telah bercampur dengan masyarakat luar desa, baik yang sesama Tengger maupun dari lua r komunitas Tengger. Percampuran terjadi karena perkawinan maupun karena pekerjaan, sehingga komunikasi yang intensif terjalin diantara mereka. Warga yang berasal dari percampuran cenderung memiliki sikap yang homogen (sama dengan masyarakat asli) dalam penerimaannya terhadap tradisi mereka. Pada masyarakat pendatang memiliki kecenderungan sifat yang berbeda, hal ini lebih terkait dengan keyakinan yang mereka anut. Pendatang ini biasanya memiliki keyakinan yang berbeda sehingga memiliki sikap yang berbeda pula. Sikap mereka lebih karena menghargai lingkungan sekitarnya saja. Interaksi dengan wisatawan juga telah memberikan pengaruh perubahan pada pola sikap dari masyarakat Tengger. Adanya kontribusi secara ekonomi dari kehadiran wisatawan menumbuhkan sikap komersialisasi pada masyarakat Tengger. Mulai muncul sikap untuk menjadikan budaya bernilai profit, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dengan wisata budaya.

100

Pola kelakuan (wujud aktifitas) Sampai saat ini segala aktifitas yang berkaitan dengan adat dan budaya Tengger tetap dilaksanakan oleh masyarakat Tengger Desa Ngadisari. Hal-hal yang masih tampak adalah masih kentalnya ritual adat dalam tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat yang diikuti penulis selama melakukan penelitian di daerah tersebut. Namun dalam prosesi Entas -Entas ada hal-hal yang saat ini tidak dilaksanakan, yaitu penggunaan gamelan untuk mengiringi prosesi yang biasa disebut dengan gending ketawang pangentas . Gending ini memiliki fungsi yang sama dengan penggunaan genta, yaitu mengalihkan perhatian roh jahat agar tidak mengganggu pelaksanaan upacara. Dahulu gending ini masih dimainkan, namun saat ini di Desa Ngadisari tidak lagi dimainkan dengan alasan tidak adanya nayaga (penabuh gamelan) yang sesuai. Sebab menur ut Dukun Ngadisari seorang nayaga yang memainkan gending ketawang pangentas harus memiliki syarat-syarat tertentu dan melalui ritual tertentu, sehingga tidak semua orang dapat menjadi nayaga. Oleh karena itu saat ini setiap upacara Entas-Entas di Desa Ngadisari tanpa diiringi gending ini, namun menurut mereka tidak mengurangi makna hakiki acara untuk menyucikan atman , karena fungsinya sama dengan penggunaan genta. Sebagaimana yang diceritakan oleh Dukun Desa Ngadisari kepada penulis sebagai berikut: Gending sing ngiringi Entas-Entas iku diarani gending ketawang pangentas, nayagane yo wong khusus, gak sembarang wong iso nabuh gending iki. Saiki wong sing kaya ngono gak ono, tapi besok yen wis ono, yo ning Ngadisari iki dianakno. (Gending/gamelan yang mengiringi Entas-Entas itu dinamakan gending ketawang pangentas , nayaganya ya orang khusus, tidak semua orang bisa memainkan gending ini. Sekarang orang yang seperti itu tidak ada, tapi nanti kalau sudah ada, ya di Ngadisari ini diadakan).
Sumber: Wawancara Januari, 2006.

Hal yang masih tetap dilakukan dari dahulu sampai sekarang adalah kegiatan uwar/mupu setiap kali sebelum acara pujan masyarakat Tengger yang dilakukan oleh Legen dengan mengunjungi setiap rumah di Desa Ngadisari untuk memberitahukan acara pujan, baik itu Pujan Kapat, Pujan Kapitu, Pujan Kawolu,

101

Pujan Kesanga, maupun Pujan Kasada. Sebagaimana yang disampaikan salah satu Legen saat melakukan uwar Pujan Kapat sebagai berikut: Yo uwar iku mesti mbak, masio wis ana ning kalender Tengger tapi tetep dikandhani tiap umah. Lekne durung diparani trus dikandhani Legene langsung kurang sreg jarene. (Ya uwar itu selalu dilakukan mbak, meskipun di kalender Tengger sudah ada tapi tetap diberitahu tiap rumah. Kalau belum didatangi dan dikasih tahu sendiri oleh Legennya secara langsung kurang sreg/ pas katanya).
Sumber: Wawancara Desember, 2005.

Selain itu pada hari Kamis malam Jumat legi penulis juga menyaksikan dan mengikuti kegiatan nlasih yang dilakukan warga masyarakat di makam para keluarga mereka. Kemudian di rumah-rumah penduduk juga dapat ditemui berbagai tamping / sesajen berupa makanan yang menurut keyakinan mereka untuk menyambut roh leluhur yang datang untuk berkunjung. Dalam kehidupan masyarakat Tengger pemberian tamping tampaknya masih merupakan hal yang perlu dan wajib dilakukan. Hal ini tampak ketika pertama kali datang di tempat penelitian, penulis menempati sebuah kamar baru, maka pemilik rumah segera memberikan tamping di depan kamar dan di dalam kamar mandi. Beberapa hari kemudian saat ada orang yang memiliki kendaraan baru, maka tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat berhenti, yang kebetulan salah satunya di depan tempat penulis menginap juga diberi tamping untuk menghindari bencana. Masyarakat setempat ternyata masih meyakini b ahwa para penghuni alam lain yang berdampingan dengan manusia harus diberi makan agar tidak mengganggu manusia. Kemudian saat mengobservasi daerah sekitar, penulis juga menemukan tamping di pinggir jalan, saat berjalan di sekitar kawasan Bromo tampak seekor lalat hijau terbang di dekat kami, kemudian pemandu penulis segera memberikan sedikit makanan yang kami bawa untuk diletakkan di pinggir jalan. Alasannya agar yang mbaurekso (penjaga) daerah tersebut makan dan tidak mengganggu kami. Pemberian tamping juga disaksikan penulis di atap rumah penduduk saat musim hujan angin dengan alasan agar yang lewat tidak mengganggu dan tidak menyebabkan rusaknya rumah, seperti genting berjatuhan atau bahkan ambruk. Tamping tersebut sebenarnya sangat sederhana, yaitu berupa

102

makanan atau minuman apa saja yang mereka punya diniatkan untuk yang mbaurekso . Mantra-mantra dalam upacara masyarakat Tengger menggunakan bahasa Jawa, yaitu perpaduan Jawa kuno ( sansekerta ) dan Jawa baru. Pada mulanya mantra tersebut ditulis dengan huruf Jawa, sehingga tidak semua orang dapat membacanya. Sekitar sepuluh tahun terakhir mulai ditulis dengan tulisan latin agar lebih mudah untuk membaca dan menghafalnya, yang dipelopori oleh Dukun sebelumnya yang kebetulan adalah ayah dari Dukun sekarang. Masyarakat dan budayanya akan selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai sebuah dimensi perubahan, waktu memiliki peran yang cukup penting, sehingga budaya yang terjadi pada masa sekarang bisa berubah di masa yang akan datang ataupun berbeda d engan masa sebelumnya, begitu pula dengan masyarakat Tengger. Ada hal-hal terkait dengan upacara yang berbeda antara dahulu dengan sekarang. Pada upacara Entas-Entas pembakaran petra yang dilaksanakan di pedanyangan, dahulu selalu dibawa sendiri oleh keluarga yang dientas, dengan cara digendhong (memakai selendang). Seiring dengan meluasnya pemukiman penduduk, ada yang rumahnya jauh dari pedanyangan , sehingga petra dibawa secara kolektif oleh Wong Sepuh, sebagaimana yang dialami oleh penduduk yang tinggal di Dusun Cemoro Lawang. Hal ini dilakukan dengan alasan efisiensi waktu dan tenaga. Terdapat perubahan pemakaian tali banten dan memakan beras pada upacara Praswala Gara antara yang dulu dengan sekarang. Tali banten dahulu tidak boleh dipotong sebelum putus sendiri, namun sekarang setelah 44 hari sudah boleh diputus. Terkadang mereka melakukan aktifitas yang secara tidak langsung membuat tali cepat putus, seperti digosok-gosok saat mencuci, sebab tali ini bisa bertahan lama sampai lebih dari tujuh bulan, sebagaimana yang dibuktikan sendiri oleh penulis. Sedangkan beras yang dimakan saat upacara Banten Kayopan Agung, dahulu selalu dihabiskan, namun sekarang sudah ada masyarakat yang tidak memakannya sampai habis, karena mereka anggap biasa saja (hanya sebagai ritual). Upacara adat masyarakat Tengger dalam pelaksanaannya selalu membutuhkan banyak biaya, namun karena terkait dengan keyakinan masyarakat

103

Hindu Tengger, akan senantiasa dijalankan. Saat ini seringkali diadakan upacara yang dilakukan bersamaan (dijadikan dalam satu hari), khususnya untuk upacara lingkup keluarga. Upacara Entas-Entas biasa digabung dengan upacara Praswala Gara atau juga dengan upacara Khitanan dan lain sebagainya. Selain itu pengambilan air dari sumber Semanik juga ada sedikit perubahan. Dahulu air langsung diambil di sumbernya, sekarang dapat diambil dari air sumber Semanik yang telah dialirkan ke desa, sehingga memudahkan keluarga yang punya hajat.

Pola sarana/ kebendaan (wujud fisik) Dalam kehidupan sehari-hari banyak benda-benda atau tempat khusus yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari. Sarana -sarana kebendaan tersebut adalah: peralatan upacara, tanaman yang dipakai untuk upacara dan tempat-tempat yang disakralkan. Peralatan Upacara Peralatan upacara yang digunakan dalam upacara adat masyarakat Tengger, yaitu: 1. Jumput / Kain Cinde Panca Warna, merupakan kain cinde yang berasal dari sutra kuno dengan lima warna, yaitu: merah, putih, hijau, hitam dan kuning. Kain cinde ini hanya dipakai oleh Dukun setiap kali memimpin upacara Entas -Entas . Saat ini tidak semua Dukun Tengger memiliki kain cinde ini, sebab untuk memperolehnya sangat sulit. Meskipun demikian jika Dukun yang bersangkutan tidak memiliki kain cinde ini, masih diperbolehkan memimpin upacara Entas-Entas . 2. Prasen , merupakan tempat air suci yang dipakai setiap kali memimpin upacara adat Tengger. Prasen ini berasal dari jaman kerajaan Majapahit yang berangka tahun 1226 tahun saka. Di sekeliling prasen terdapat gambar yang merupakan lambang zodiak/ bintang pada masyarakat Hindu saat itu. Diperkirakan prasen ini berasal dari jaman Raja Hayam Wuruk, sebab tahun tersebut merupakan tahun berkuasanya raja tersebut dan ditengah-tengah gambar zodiak tersebut terdapat gambar ayam jago yang diyakini sebagai lambang dari Raja Hayam Wuruk. Tidak semua Dukun Tengger memiliki prasen yang berangka tahun saka, sebab barang tersebut biasanya diwariskan

104

secara turun-temurun dari suatu keluarga. Maka jika pendahulunya bukan seorang dukun maka dia tidak memiliki prasen berangka tahun saka tersebut. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Dukun yang memiliki prasen yang berangka tahun saka, maka pendahulunya juga merupakan Dukun Tengger di masanya. 3. Berbagai peralatan yang dipakai dalam upacara Entas-Entas, Praswala Gara, maupun Pujan Kapat. Dahulu dalam rangkaian dandanan mereka, seperti tuwuhan menggunakan tali rafia (dari bahan sintetik), kemudian tamping memakai wadah plastik dengan alasan lebih mudah mendapatkannya. Namun sekarang sudah mulai dirintis kembali untuk menge mbalikan berbagai alat dan bahan-bahan tersebut dari bahan alam, seperti penggunaan tali dari bambu (tali branding) dalam setiap hal yang membutuhkan tali . Penggunaan wadah dari anyaman bambu, saat ini terus diupayakan oleh salah seorang Legen yang kebetulan pandai menganyam untuk membuat sendiri semua wadah-wadah untuk upacara agar tidak sampai me nggunakan bahan dari plastik. Hal ini dirasa perlu dilakukan untuk menjaga keutuhan budaya Tengger, sebab jika dibiarkan saja maka semakin lama adat tradisi mereka akan berubah.

Gambar 13 Peralatan yang digunakan Dukun dalam upacara adat Tengger, berupa: A. Tempat sesaji dan B. Kain cinde panca warna (biasa dipakai dalam upacara Entas-Entas ).

Tanaman yang Berkaitan dengan Upacara

105

Penanaman tanaman tertentu yang berkaitan dengan upacara masyarakat Tengger, khususnya upacara Entas-Entas seperti daun nyangkuh, pohon jarak dan bunga kenikir terus dilakukan. Tanaman nyangkuh dapat kita temui di beberapa tegalan penduduk, begitu pula dengan pohon jarak, sedangkan bunga kenikir banyak ditanam sebagai tanaman hias. Bunga tanalayu (edelweys) karena merupakan tanaman hutan yang banyak tumbuh dan tahan lama, maka tidak membut uhkan penanaman khusus karena banyak terdapat di hutan, jika butuh tinggal memetik di hutan. Penulis pernah menjumpai padang alang-alang di sekitar gaga (tegalan) penduduk, ternyata alang-alang tersebut selain dipakai untuk makanan ternak juga digunakan da lam pembuatan petra . Untuk tanaman yang sulit tumbuh di daerah penelitian, namun digunakan dalam upacara masyarakat Tengger seperti beringin, pohon pisang, kelapa muda ( degan ) dan janur yang dipakai dalam upacara Praswala Gara biasanya didapatkan dari desa lain atau dipesan di pasar.

Gambar 14 Tanaman pembuat Petra, antara lain: A. Alang-alang; B. Bunga Tanalayu / edelweys ; C. Daun Pampung ; D. Bunga Kenikir; dan E. Daun Nyangkuh

Saat melakukan observasi secara partisipatif pada upacara Praswala Gara , penulis menanyakan kenapa tidak diganti saja bahan-bahan yang sulit

106

didapatkan dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh di daerah tersebut yang penting memiliki makna yang sama, seperti beringin yang diganti dengan pohon cemara. Namun menurut mereka hal itu sudah dari dulu dilakukan para pendahulunya sehingga mereka tidak berani dan tidak mau merubah, meskipun bahan yang dibutuhkan harus dicari di tempat yang jauh harus tetap dilaksanakan. Sebab nantinya akan mengurangi makna yang sebenarnya. Sehingga sudah menjadi tugas para Legen dan Wong Sepuh untuk selalu siap dengan berbagai ubo rampe tersebut. Dari sini penulis melihat adanya kepatuha n mereka terhadap apa yang diwariskan secara turun-temurun. Doktrinasi yang diberikan oleh para pendahulu mereka begitu kuat.

Tempat -tempat Sakral Masih banyak tempat-tempat keramat yang kesakralannya tetap diyakini sampai sekarang. Masyarakat masih ser ing meminta sesuatu ke tempat-tempat tersebut, seperti meminta lancar rejeki ataupun meminta agar dapat cepat memperoleh keturunan. Tempat- tempat yang disakralkan dan berhubungan dengan upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat antara lain: 1. Pedanyangan Pedanyangan dianggap sebagai tempat bagi danyang yang mbaurekso daerah tersebut. Di desa Ngadisari terdapat dua tempat pedanyangan , yaitu pedanyangan Ngadisari dan pedanyangan Wonosari. Danyang Wonosari menguasai dan menjaga dusun Wonosari, sedangkan danyang Ngadisari menguasai dan menjaga dusun krajan Ngadisari dan Cemoro Lawang. Masih sering ditemui tamping di kedua pedanyangan ini, terlebih lagi jika ada orang yang punya hajat atau sengaja meminta sesuatu di tempat tersebut biasanya membawa tamping. Pembakaran petra setelah upacara Entas -Entas atau upacara yang lain juga dilakukan di tempat tersebut. Pedanyangan sebagai tempat yang disakralkan cukup terawat dengan baik, bahkan mengalami perbaikan. Jika dahulu hanya berupa tempat yang kecil saja, sekarang sudah dibangun secara permanen berbentuk seperti rumah kecil dengan satu ruangan, ditambah dengan pagar masuk yang mudah dikenali. Bunga kenikir yang dipakai dalam upacara sebenarnya berwarna

107

merah, yang merupakan tanaman kenikir asli Tengger. Namun karena kesulitan seringkali digunakan bunga kenikir dengan warna seadanya (bisa merah, bisa juga kuning). Saat ini mulai dirintis kembali perbanyakan penanaman bunga kenikir merah untuk upacara adat. Bunga ini biasa ditanam di halaman rumah sebagai tanaman hias. 2. Kutugan Kutugan merupakan suatu tempat yang oleh masyarakat Tengger diyakini sebagai tempat berkumpulnya para roh sebelum dientas dalam upacara Entas -Entas . Letak kutugan ini termasuk dalam Dusun Cemoro Lawang dekat pintu masuk kawasan wisata Bromo dan Laut Pasir. Kutugan ini sampai sekarang masih tetap terawat. Sebagaimana tempat-tempat sakral pada umumnya, di tempat ini juga selalu terdapat tamping. Warga masyarakat yang berharap keinginannya terkabul ada juga yang berdoa di tempat ini. Sudah menjadi keyakinan dan kebiasaan masyarakat Tengger untuk pergi ke tempattempat sakral jika memiliki hajat agar cepat terkabul. 3. Sumber Semanik Sumber ini merupakan sumber air yang disucikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari dan sekitarnya. Sumber ini dianggap sumber pertama (sumber air yang pertama ada di daerah tersebut), sekaligus diyakini masyarakat Tengger sebagai tempat moksa anak Rara Anteng dan Jaka Seger yang bernama Ni Rawit. Biasanya jika ada suatu upacara, seperti Entas-Entas ataupun Praswala Gara, maka air suci yang dipakai dalam upacara diambil dari sumber ini. Bagi yang akan mengambil sumber air di sini dilarang berbicara dengan siapapun yang ditemui di sepanjang perjalanan, meskipun disapa tetap tidak boleh menyahut. Masyarakat masih meyakini jika menyahut dikhawatirkan apa yang ingin dicapai tidak berhasil/ mengalami kegagalan atau bisa juga terjadi musibah. Sebagian besar tempat-tempat sakral masyarakat Tengger yang berkaitan dengan cerita Rara Anteng dan Jaka Seger berada di wilayah Desa Ngadisari, sehingga banyak tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Tengger di daerah ini. Tempat-tempat tersebut rata-rata berhubungan dengan moksanya

108

anak-anak Rara Anteng dan Jaka Seger yang secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 11.

Ikhtisar Pola bersikap dari masyarakat Tengger Desa Ngadisari dalam pelestarian tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat dapat dilihat dari sikap patuh dan penerimaan mereka terhadap tradisi tersebut. Faktor penting yang mempengaruhi sikap patuh tersebut adalah masih kuatnya budaya paternalistik yang berkembang di masyarakat. Dimana peranan Kepala Desa dan Tokoh Adat cukup kuat dalam membentuk sikap penerimaan masyarakat Tengger Ngadisari terhadap tradisi mereka. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengikuti dan meneladani pemimpin mereka. Tingkat pendidikan yang masih rendah ikut menjadi faktor penyebab kepatuhan yang tinggi terhadap pemimpin. Selain itu pengaruh faktor keyakinan juga cukup dominan membentuk sikap mereka terhadap penerimaan pada tradisi tersebut. Seiring dengan interaksi yang cukup tinggi dengan wisatawan, mulai membentuk sikap komersialisasi pada warga masyarakat, dengan harapan akan menambah pendapatan dari perkembangan wisata budaya. Pola kelakuan dapat dilihat dari masih tingginya intensitas pelaksanaan upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan masih selalu dilaksanakannya upacara Pujan Kapat oleh masyarakat Tengger Ngadisari. Seiring dengan berjalannya waktu terdapat sedikit pergeseran pola kelakuan dalam pelaksanaan upacara tersebut antara yang dulu dengan sekarang. Pergeseran tersebut antara lain, pada upacara Entas-Entas adalah dibawanya petra secara kolektif ke tempat pedanyangan , pengambilan air sumber Semanik tidak langsung dari sumbernya, dan tidak digunakannya gamelan pengiring pada saat upacara. Pada upacara Praswala Gara adalah tidak dihabiskannya lagi beras dalam pelaksanaan Banten Kayopan Agung serta dapat diputuskannya tali banten setelah 44 hari. Pada upacara Pujan Kapat pelaksanaan uwar tidak harus diulangi jik a ada keluarga yang tidak ketemu. Setiap upacara penyajian makanan dan minuman pun juga terjadi pergeseran. Saat ini di setiap upacara selalu disuguhkan minuman ringan bersoda (soft drink). Pergeseran pola kelakuan ini juga tidak terlepas dari budaya

109

masyarakat yang paternalistik, dimana pemimpin masih dijadikan fokus sentral untuk dipatuhi dan dijadikan teladan dalam tingkah laku sehari-hari. Pola sarana/ kebendaan masyarakat Tengger dalam upaya sosialisasi ketiga tradisi di atas dapat dilihat dari berbaga i hal yang berkaitan peralatan, tempat-tempat sakral dan tanaman yang berhubungan dengan upacara serta masih dilestarikan sampai saat ini. Penggunaan peralatan saat ini mulai dilakukan penggunaan dan pembuatan dengan bahan-bahan yang berasl dari alam. Tanamantanaman yang digunakan untuk upacara masih terawat dengan baik, seperti bunga kenikir, nyangkuh, pampung , jarak, dll.Tempat- tempat yang berhubungan dengan upacara, seperti pedanyangan dan kutugan dalam upacara Entas-Entas masih dirawat dengan baik. Sumber Semanik juga dibuatkan saluran untuk memudahkan orang yang punya hajat mengambil airnya.

110

POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT TENGGER

Proses Komunikasi dalam Pewarisan Budaya Suatu nilai budaya diwariskan dari generasi ke generasi melalui suatu proses komunikasi. Van Doorn dan Lammers (1959) sebagaimana yang dikutip oleh Sajogyo (1983) menyatakan bahwa cara atau proses melakukan kontrol sosial dapat dilakukan dengan: proses ajar, didik atau pewarisan (adat/pola kebudayaan), dengan sa nksi pemberian hukuman atau pahala, dalam ritus kolektif dan dengan alokasi posisi-posisi. Proses pewarisan tradisi Tengger dapat diterangkan melalui: 1. Proses ajar, proses komunikasi ini terj adi melalui forum yang bersifat formal dan non formal. a. Formal (melalui lembaga pendidikan): materi budaya Tengger dalam mata pelajara n sekolah serta dalam kegiatan Pramuka. Proses Pengajaran di Sekolah Proses ajar materi tentang adat dan tradisi Tengger di sekolah dilakukan bersama -sama dengan pelajaran agama Hindu maupun PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Sosialisasi dan pengenalan tradisi Tengger ini mulai intensif dilakukan pada lima tahun terakhir. Dahulu hanya sesekali saja dimasukkan atau diselipkan. Saat ini bahkan di tingkat Sekolah Menengah Pertama sudah mulai dirintis untuk membuat mata pelajaran khusus yang mengajarkan tentang tradisi Tengger. Salah satu tim yang melaksanakannya adalah Dukun Desa Ngadisari dengan pertimbangan untuk lebih memudahkan pengenalan tradisi. Sebagai Source (sumber) da lam proses pengajaran ini adalah Guru. Proses pengajarannya sama dengan pengajaran mata pelajaran umumnya, yaitu secara ceramah dan tanya jawab. Guru sebagai pengajar berfungsi sebagai pemberi informasi, proses komunikasinya dilakukan secara tatap muka dan melalui media cetak, berupa: makalah yang dibuat sendiri oleh guru. Dalam saat-saat tertentu diadakan juga praktek pemujaan di sekolah sekolah. Siswa wajib menggunakan pakaian adat saat datang ke sekolah. Pakaian adat yang digunakan oleh siswa-siswi tersebut sama dengan

111

pakaian adat masyarakat Tengger pada umumnya. Selain itu jika ada pelajaran lain yang kemungkinan ada bersinggungan dengan kebudayaan, biasanya ikut diselipkan, misalnya sejarah dikaitan dengan sejarah Tengger.

Kegiatan Pramuka. Kegiatan Pramuka merupakan suatu wadah organisasi kepemudaan yang difasilitasi oleh pemerintah desa Ngadisari. Peserta dari kegiatan ini adalah semua warga masyarakat yang sudah lulus sekolah tapi belum menikah, baik laki- laki maupun perempuan. Mereka diwajibkan m engikuti kegiatan ini dan diberi surat keterangan lulus (sertifikat) yang harus ditunjukkan kepada Kepala Desa saat mengurus surat ijin menikah. Jika belum memiliki sertifikat maka ijin menikah tidak diberikan atau jika diberi ijin maka harus ada sangsi yang diterima, yaitu mengikuti kegiatan dalam jangka waktu tertentu setelah menikah. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Jumat di Sanggar Pramuka desa atau di Balai Desa Ngadisari pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB atau sampai semua kegiatan selesai. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melatih mental dan kedisiplinan generasi muda (laki-laki dan perempuan), menambah pengetahuan dan wawasan, baik tentang pengetahuan agama maupun adat budaya Tengger. Jenis-jenis pesan ( message) yang

disampaikan dalam kegiatan Pramuka ini jika ditabulasikan dalam kurun waktu kegiatan pada tahun 2004 sampai 2005 (sumber diambil dari catatan jadwal kegiatan Pramuka) adalah: kepramukaan, olah raga, agama dan adat, PBB (Persatuan Baris Berbaris), Etika dan kegiatan Bakti Sosial. Materi agama dan adat sebesar 9,09 persen (empat kali pertemuan) dari seluruh total pertemuan yang dilakukan. Jenis dan persentase materi dalam kegiatan ini dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 10. Pembina utama dalam kegiatan Pramuka ini adal ah Kepala Desa Ngadisari Bapak Supoyo. Source (sumber pemberi informasi) dalam kegiatan Pramuka disesuaikan dengan materi yang sedang diberikan, sedangkan receiver (penerima informasi) adalah anggota Pramuka yang hadir. Jika materi agama maka yang berperan sebagai sumber informasi

112

adalah Pinandhita , jika E tika yang bertindak sebagai source adalah Kepala Desa. Saat ini yang tercatat pernah mengisi materi (sebagai sumber informasi) dalam kegiatan ini adalah: Kepala Desa, Dukun Adat, Kepala Hansip, Pinandhita dan Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Desa. Dapat disimpulkan jika 100 persen pemberi materi adalah tokoh masyarakat, semua berjenis kelamin laki - laki. Sejak dulu belum pernah ditemui sumber informasi dalam kegiatan Pramuka seorang perempuan. Dulu jika waktu materi agama dan adat, pernah diwajibkan memakai pakaian adat, namun sekarang tidak lagi dilakukan karena alasan kepraktisan, sebab menyulitkan mereka yang rumahnya jauh dari sanggar Pramuka. Saluran komunikasi yang digunakan dalam proses pengajaran ini adalah saluran interpersonal dengan melakukan komunikasi tatap muka setiap kali pertemuan. Selain itu juga terdapat saluran komunikasi bermedia, yang ditunjukkan dengan adanya media cetak berupa makalah yang dipakai untuk memudahkan penyampaian informasi dari source (pemberi materi) kepada receiver (anggota Pramuka) yang hadir. Proses komunikasi tersebut dapat digambarkan seperti pada tabel 4. Tabel 4. Proses Komunikasi Pada Forum Formal Sumber Pesan Saluran SEKOLAH Guru/ pengajar Pengenalan - Tatap muka macam-macam - Media cetak: tradisi Tengger makalah Etika Tatap muka Agama dan - Tatap muka adat - Media cetak: makalah Penerima Murid SD dan SMP

PRAMUKA Kepala Desa Pinandhita

Anggota Pramuka Anggota Pramuka

b. Non formal melalui proses komunikasi antar pr ibadi (melalui proses belajar tata cara upacara kepada yang lebih mengerti). Proses pengajaran ini lebih bersifat non formal, sebab dilakukan pada saat persiapan upacara. Seperti pada waktu upacara Entas-Entas , malam hari sebelum pelaksanaan, di rumah Wong Sepuh membuat petra , biasanya banyak orang-orang yang ikut membantu atau sekedar melihat

pembuatannya. Di sinilah terjadi proses pengajaran secara non formal dengan adanya proses belajar dan transfer informasi. Sumber informasi

113

adalah Wong Sepuh, pesan (message)

yang disampaikan berupa

pengetahuan bahan-bahan pembuat petra, tata cara pembuatan petra, sedangkan penerima informasi (receiver ) adalah orang-orang yang hadir. Proses ajar dalam tradisi Praswala Gara , dapat dilihat dalam persiapan upacara. Sumber informasi (source) adalah Legen, pesan ( message ) yang disampaikan berupa persiapan dan pengetahuan tentang berbagai dandanan/ ubo rampe upacara, sedangkan receiver ada lah orang-orang yang bertanya. Proses komunikasi yang berlangsung biasanya secara interpersonal, melalui tatap muka. Selain itu juga ada forum pembelajaran lain secara non formal, yaitu proses belajar yang dilakukan oleh warga masyarakat secara aktif, dimana message berupa informasi tentang tradisi Tengger diperoleh dengan bertanya langsung kepada orang-orang yang dianggap lebih mengerti. Biasanya yang menjadi sumber informasi adalah Dukun, Legen/ mantan Legen dan Wong Sepuh/ mantan Wong Sepuh. Sedangkan yang menjadi receiver adalah orang-orang yang bertanya tersebut. Dukun-dukun yang berada di kawasan Tengger memiliki jaringan komunikasi yang cukup baik. Dukun-dukun tersebut dikoordinasi dengan baik oleh seorang Koordinator Dukun. Masing-masing kabupaten, yaitu Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang terdapat Koordinator Dukun. Jika ada permasalahan yang dihadapi atau sesuatu yang tidak dimengerti, biasanya Dukun Desa Ngadisari, menanyakan hal tersebut pada dukun lain yang lebih senior, biasanya kepada Koordinator Dukun sekawasan Tengger. Di sini juga terjadi suatu transfer informasi melalui proses pengajaran secara non formal. Source (sumber informasi) adalah Koordinator Dukun, sedangkan receiver adalah Dukun yang bertanya. Proses komunikasi yang terjadi melalui saluran interpersonal secara tatap muka dan juga melalui saluran bermedia, mel alui media cetak (makalah, catatan/ dokumentasi pribadi) dan media elektronik (telpon). Proses komunikasinya dapat dijelaskan pada tabel 5.

114

Tabel 5. Proses Komunikasi Pada Forum Non Formal Sumber Pesan Saluran Sebelum Wong Sepuh Pembuatan Petra Tatap muka Entas-Entas Sebelum Legen - Pembuatan Tatap muka Praswala macam-macam Gara dandanan/ ubo rampe dalam upacara - Pasrah pengantin - Waktu pelaksanaan dan persiapan Proses - Dukun - Hal-hal yang - Tatap muka belajar - Legen/ berkaitan dengan - Media cetak: secara aktif mantan tradisi makalah Legen - Wong Sepuh/ mantan Wong Sepuh Komunikasi antar dukun Koordinator Dukun - Pembahasan masalah adat yang dihadapi masing-masing Dukun di desa masing-masing. - Tatap muka - Media cetak: makalah, catatan/ dokumentasi pribadi - Media elektronik: telpon.

Penerima Orang-orang yang datang Orang-orang yang bertanya

Warga masyarakat

Dukun yang bertanya

2. Pemberian hukuman dan pahala (punishment dan reward), berupa: a. Hukuman: berupa sanksi moral, dikucilkan dari pergaulan. Tradisi Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat di Desa Ngadisari selalu dilaksanakan oleh masyarakat Desa Ngadisari. Selama ini belum ada yang meninggalkan upacara ini. b. Pahala: adanya penghargaan dan pengakuan masyarakat terhadap tingkat pengetahuan yang dimiliki (pemberian predikat sebagai orang yang paham budaya), pada tahap selanjutnya mereka dapat dicalonkan/ mencalonkan diri menjadi tokoh adat seperti Legen, Wong Sepuh atau bahkan dicalonkan sebagai Dukun.

115

3. Ritus Kolektif. Upacara Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat sebagai sebuah ritus kolektif sebenarnya memiliki makna sebagai penguat solidaritas sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang ahli folklor Van Gennep yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan

kembali semangat kehidupan sos ial antara warga masyarakat. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa, roh atau makhluk halus lain dengan tujuan untuk berkomunikasi. Pada Upacara Entas-Entas sebagai sebuah upacara kematian, sebagaimana pendapat Hertz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Ritus atau upacara religi akan bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika. Secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya. Hal inilah yang menjadi pendorong upacara seperti Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat masih sela lu dilakukan. Sebagai sebuah ritus kolektif berbagai upacara tersebut selalu sehingga melibatkan banyak orang (anggota keluarga dan para tetangga),

generasi muda dan warga masyarakat lainnya dapat mengikuti. Pada upacara Pujan Kapat semua warga masyaraka t desa merasa ikut memiliki hajat ini, sehingga setiap rumah memberikan bantuan untuk upacara. Proses

komunikasinya dapat dijelaskan sebagaimana Tabel 6.

116

Tabel 6. Proses Komunikasi dalam Ritus Kolektif Entas-Entas Sumber Dukun Pesan Persiapan EntasEntas Persiapan Praswala Gara Saluran Tatap muka Penerima Keluarga yang menyelenggarakan Entas-entas Keluarga yang menyelenggarakan Praswala Gara Masyarakat desa

Praswala Gara Pujan Kapat

Dukun

Tatap muka

Dukun

Waktu Tatap muka Pelaksanaan Pujan Media cetak: Kapat kalender

3. Alokasi Posisi, dimana ada peranan-peranan tertentu yang dilakukan sesuai dengan status yang dimilikinya. Alokasi posisi ini antara lain adalah: a. Kuatnya Peranan Kepala Desa, dengan kewenangan yang dimiliki serta inisiatif untuk melestarikan budaya Tengger, maka Kepala Desa mensosialisasikan berbagai ketentuan adat, seperti penggunaan pakaian adat di setiap upacara. b. Peran keluarga yang cukup besar dalam menjalin komunikasi dengan generasi muda. Dalam keluargalah pertama kali seorang anak mengetahui dan dilibatkan dalam berbagai upacara. Misalnya dalam Entas-Entas biasanya anak-anak ikut dalam upacara sebagai pemangku roh199. Pola komunikasi masyarakat Tengger tidak dapat terlepas dari pengaruh: 1. Kebijakan, yaitu adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak -pihak yang memiliki kewenangan, antara lain: a. Kebijakan pemerintah desa sebagai kawasan desa wisata budaya. Pemerintah Desa, dalam hal ini Kepala Desa Ngadisari telah mengupayakan untuk menjadikan Desa Ngadisari sebagai desa wisata budaya dengan mengajukannya kepada Dinas Pariwisata setempat sejak tahun 1997, sekarang tinggal menunggu Surat Keputusan tersebut. Berbagai upaya dilakukan sebagai sarana penunjang, seperti pembangunan infrastruktur yang lebih menunjang, misalnya jalan, gerbang desa, pedanyangan (tempat pembakaran petra ), kewajiban penggunaan pakaian adat di setiap upacara
199

Pemangku roh terdiri dari anak-anak atau orang dewasa laki laki dan perempuan sesuai jenis kelamin yang meninggal. Mereka duduk bersila tanpa memakai penutup tubuh bagian atas. Sekarang untuk perempuan diperkenankan memakai kain dengan alasan kesopanan.

117

adat Tengger, pengenalan tradisi Tengger kepada para generasi muda agar menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan terhadap budaya mereka. b. Pandangan tokoh adat dan tokoh agama. Sebagai sebuah budaya warisan leluhur dan terkait dengan keyakinan mereka, maka tradisi tersebut wajib dilakukan oleh masyarakat Tengger sebagai wujud bakti kepada Yang Maha Kuasa. Hal inilah yang menjadi pendorong bagi mereka untuk terus melestarikan tradisi yang ada. Seperti tradisi Entas -Entas yang dalam agama Hindu merupakan salah satu ajaran Panca Srada untuk mencapai nirwana. 2. Sikap masyarakat juga ikut mempengaruhi pola komunikasi dalam sosialisasi tradisi tersebut. Sikap masyarakat terhadap pendidikan dan terhadap uang ikut mempengaruhi pola komunikasi dalam sosialisasi tradisi tersebut. Saat ini masyarakat Tengger sudah mulai menyadari pentingnya pendidikan, meskipun hal ini masih terbatas pada kalangan tertentu, seperti perangkat desa dan tokoh masyarakat. Namun dengan kewenangannya telah mewajibkan masyarakatnya untuk memiliki pendidikan minimal sampai tingkat SMP. Selain itu adanya keinginan untuk menjadikan desa budaya dilatar belakangi juga oleh sikap terhadap uang, dimana nantinya diharapkan adanya perpaduan antara obyek wisata alam Bromo dengan obyek wisata budaya dari masyarakat Tengger mampu menambah pendapatan masyarakat. Masyarakat Tengger Desa Ngadisari merupakan masyarakat yang taat pada pemimpin, sehingga apa yang dikatakan pemimpin (dalam hal ini Kepala Desa) selalu dipatuhi. Inilah pula yang menyebabkan mereka jadi sering tergantung pada keputusan pimpinan, termasuk dalam menentukan pelaksanaan upacara Entas -Entas dan Praswala Gara . Selain itu rasa hormat pada generasi tua juga masih cukup kuat. Hal ini menyebabkan mereka patuh pada orang-orang yang lebih tua, biasanya tampak pada kehidupan keluarga, sehingga sosialisasi tradisi dalam keluarga dari generasi tua lebih mudah diterima oleh generasi muda. Secara umum sumber dan arah informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan budaya dapat dilihat pada gambar 15.

118

JALUR KOMUNIKASI DUKUN DAN MASYARAKAT TENGGER

KOORDINATOR DUKUN SEKAWASAN TENGGER

KOORD. DUKUN KAB. MALANG

KOORD. DUKUN KAB. PASURUAN

KOORD. DUKUN KAB. PROBOLINGGO

KOORD. DUKUN KAB. LUMAJANG

DUKUN- DUKUN DESA TENGGER

DUKUN- DUKUN DESA TENGGER

DUKUN- DUKUN DESA TENGGER

DUKUN-DUKUN DESA TENGGER

MASYARAKAT

TENGGER

DESA

MASING - MASING

Keterangan: : Jalur informasi : Jalur koordinasi antar Dukun sekawasan Tengger : Jalur koordinasi setingkat Kabupaten : Garis hubungan/ kerja sama

Gambar 15. Bagan sumbe r dan arah informasi Dukun dan masyarakat Tengger

119

POLA KOMUNIKASI YANG TERBENTUK DI DESA NGADISARI

DUKUN TENGGER DESA NGADISARI

KEPALA DESA

LEGEN

WONG SEPUH

MASYARAKAT TENGGER DESA NGADISARI

Keterangan: : Jalur Informasi : Kerabat Dukun

Gambar 16. Pola Komunikasi yang terbentuk di Desa Ngadisari

120

Tradisi masyarakat Tengger tidak dapat lepas dariperan Dukun adat yang menjadi penanggung jawab sekaligus sumber utama informasi tentang berbagai tradisi yang ada. Masing-masing desa di kawasan Tengger memiliki seorang Dukun yang bertanggung jawab terhadap kegiatan adat di desa mereka. Dukundukun ini dikoordinir oleh seorang Koordinator Dukun, kemudian masing-masing kabupaten yang merupakan kawasan Tengger juga terdapat koordinator untuk mempermudah koordinasi dan penyampaian informasi, hal ini disebabkan kawasan Tengger yang cukup luas. Jika ada pertemuan biasanya Koordinator Dukun sekawasan Tengger menghubungi koordinator Dukun kabupaten, kemudian diteruskan kepada Dukun desa. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, sekarang lebih memudahkan komunikasi, yaitu melalui media elektronik telpon. Dukun Desa Ngadisari berhubungan/ bekerja sama dengan pemimpin desa (Kepala Desa) dalam penyampaian informasi tentang budaya. Di desa ini Dukun merupakan staf khusus dari Kepala Desa yang menangani masalah adat. Kelembagaan dan struktur organisasinya secara non formal dan bertanggung jawab secara moral atas segala tugas yang diembannya. Dukun ini dibantu oleh Legen dan Wong Sepuh. Desa Ngadisari memiliki dua Legen dan dua Wong Sepuh. Merekalah yang bertanggung jawab terhadap segala persiapan upacara. Semua informasi tentang adat dan tradisi biasanya ditanyakan kepada Dukun dan para pembantunya (para kerabatnya). Dukun sendiri biasa mengkaji masalah yang dihadapi dengan me mbaca kembali kitab-kitab yang ada, biasa disebut Kitab Sangga Buwana yang bertuliskan Jawa, sehingga tidak semua orang dapat membacanya. Segala perintah tentang adat biasanya atas sepengetahuan dan persetujuan Dukun. Sebelum pelaksanaan upacara, khususnya upacara lingkup keluarga maka setiap yang punya hajat dapat menghubungi Kepala Desa atau Dukun, sebab keduanya saling berkoordinasi. Kepala Desa yang akan mengagendakan hari pelaksanaan upacara, disesuaikan dengan urutan warga masyarakat lain yang sudah mendaftar, selain juga berdasarkan perhitungan hari baik menurut keyakinan mereka. Setelah itu Dukun yang akan menginformasikan segala keperluan yang harus disiapkan kepada keluarga yang punya hajat.

121

Forum-forum Komunikasi Lain Pada Masyarakat Desa Ngadisari Forum-forum pertemuan antara warga masyarakat desa Ngadisari dapat diterangkan sebagai berikut: 1. Pertemuan Rukun Tetangga (RT). Pertemuan warga RT ini biasanya dilakukan setiap tiga bulan sekali di masing-masing RT yang dihadiri pula oleh Kepala Desa serta perangkatnya. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mengkomunikasikan semua program pembangunan desa. Disamping itu juga merupakan forum untuk sharing, dengar pendapat dengan masyarakat dan para perangkatnya. Diharapkan evaluasi program pembangunan desa dapat dilakukan oleh semua masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam memberikan saran dan masukan yang dapat dilakukan di sini. Pertemuan ini biasanya bertempat di rumah ketua RT atau juga menggunakan kantor dusun (dimana gedung ini di Dusun Cemoro Law ang saat ini difungsikan menjadi SD kecil) untuk mendekatkan anak-anak sekolah yang rumahnya jauh dari gedung pusat di Krajan Ngadisari. Desa Ngadisari memiliki 13 RT, sehingga dalam jangka waktu 13 hari Kepala Desa dan perangkatnya berkeliling pada perte muan warga RT tersebut. Biasanya yang hadir dalam pertemuan ini hanyalah kepala keluarga.

2. Pertemuan Ibu-ibu PKK. Pertemuan Ibu-ibu PKK dilaksanakan setiap bulan bertempat di panti PKK Balai Desa Ngadisari. Tujuan pertemuan ini adalah untuk menambah wawasan para Ibu-ibu tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga. Pertemuan dilaksanakan setiap tanggal 11 untuk PKK Dusun Ngadisari, tanggal 12 untuk PKK Dusun Wonosari dan tanggal 13 Cemoro Lawang. untuk PKK Dusun

3. Puskesmas keliling. Setiap tanggal 15 di balai dusun dikunjungi oleh dinas kesehatan yang bertujuan untuk memeriksa kesehatan warga masyarakat. Pemerikasaan kesehatan ini termasuk murah dan terjangkau oleh masyarakat, biasanya cukup dengan membayar Rp. 2000,- untuk seka li periksa. Disamping itu juga dilakukan

122

penimbangan balita dan para lansia yang bertujuan untuk melihat tingkat kesehatan mereka. Selain itu juga sebagai upaya deteksi awal terhadap penyakit yang mungkin menyerang.

4. Pertemuan yang bersifat insidental. Pertemuan ini diadakan secara insidental, jika ada suatu program pemerintah yang harus disosialisasikan, maka pemerintah desa segera

mengadakan pertemuan dengan warga di Balai Desa.

Proses Komunikasi Secara Non Verbal Berbagai upacara masyarakat Tengger dilakukan untuk memenuhi fungsi komunikasi yang berupa komunikasi ritual. Sesuai pendapat Gorden yang dikutip oleh Mulyana (2001) bahwa komunikasi ritual biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage , mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, per kawinan hingga upacara kematian, sebagaimana upacara Entas -Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat yang dilakukan masyarakat Tengger. Pada pelaksanaan acara-acara itu orang mengucapkan kata -kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik (biasa disebut komunikasi non verbal). Komunikasi non verbal sebagaimana yang dikatakan Sobur (2001) adalah komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata, maka tanda non verbal berarti tanda minus bahasa atau tanda minus kata. Secara sederhana, tanda non verbal dapat diartikan semua tanda yang bukan kata-kata. Tanda-tanda non verbal dalam upacara masyarakat Tengger termasuk tanda yang ditimbulkan oleh manusia, dapat bersifat verbal dan non verbal. Yang bersifat verbal adalah tandatanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara. Sedangkan yang bersifat non verbal dalam p enelitian ini berupa gerakan tubuh, benda -benda/ simbol-simbol/ atribut yang bemakna kultural dan ritual, yaitu: 1. Seorang laki-laki yang memakai baju putih, bawahan hitam, kain sarung dan udeng, dilengkapi dengan sampet (selendang berwarna kuning yang disilangkan di depan dada), mengkomunikasikan bahwa dia adalah seorang

123

Dukun yang akan memimpin upacara adat Tengger. Hal yang menjadi penanda utama dalam penyampaian pesan secara non verbal bahwa dia seorang Dukun adalah baju putih dan sampet berwarna kuning. 2. Seorang Dukun dengan pakaian lengkap seperti di atas ditambah dengan memakai kain cinde panca warna secara menyilang di depan dada (biasanya dipakai menumpuk dengan sampet), maka dapat diketahui secara pasti bahwa upacara yang dipimpin adalah upacara Entas-Entas. Penanda non verbal yang digunakan adalah kain cinde panca warna, sebab hanya dipakai khusus dalam pelaksanaan upacara Entas -Entas . 3. Upacara masyarakat Tengger selalu menghadap ke arah Gunung Bromo (arah selatan). Pesan yang disampaikan dari komunikasi non verbal ini adalah menginformasikan bahwa kiblat mereka adalah Gunung Bromo yang diyakini sebagai manifestasi dari Padmasana, yaitu sebagai pelinggih/ singgasana dari Sang Hyang Widi Wasa. 4. Orang perempuan berpakaian rapi membawa beras, gula atau baha n-bahan lain dengan cara digendhong (memakai selendang), maka dapat ditangkap sebuah pesan bahwa dia akan pergi ke tempat orang yang sedang punya hajat, seperti menghadiri upacara Entas-Entas, Praswala Gara atau upacara lingkup keluarga yang lain dalam tradisi masyarakat Tengger. Sebagai penanda dalam komunikasi non verbal ini adalah gendhongan (selendang) yang dibawa. 5. Dalam suatu upacara adat lingkup keluarga (Entas-Entas atau Praswala Gara ), terdapat orang laki-laki atau perempuan yang memakai pakaian ada t (baju hitam). Pakaian yang mereka gunakan merupakan pesan secara non verbal bahwa mereka adalah yang punya hajat. Semua orang biasanya akan langsung mengenali mereka dengan pesan tersebut. Penanda komunikasi non verbal yang tampak adalah penggunaan pakaian adat, sebab aturan dan kebiasaan dalam upacara lingkup keluarga di desa ini, bagi yang punya hajat wajib memakai pakaian adat agar mudah dikenali. 6. Laki-laki yang berkeliling dari rumah ke rumah untuk menginformasikan pelaksanaan upacara Pujan. Biasa ber jalan kaki dengan membawa karung beras yang dipanggul di atas pundak, waktunya biasanya pada sore hingga menjelang malam hari, mengkomunikasikan bahwa dia seorang Legen yang

124

sedang melakukan uwar/ mupu sebelum pelaksanaan upacara Pujan. Penanda non verba lnya berupa karung beras yang dibawa di atas pundak, sebab biasanya masyarakat jika berbelanja menggunakan kain sarung atau kawengnya sebagai tempat untuk membawa berbagai belanjaan termasuk beras. Saat melihat dari jauh, masyarakat sudah dapat menduga bahwa mereka sedang melakukan uwar , sehingga mereka dengan sengaja menunggu di rumah. 7. Saat Dukun duduk bersedekap di depan petra yang telah bersaji sambil berkomat-kamit (orang lain hanya melihat mulutnya bergerak-gerak seperti membaca sesuatu, namun tidak e t rdengar/ tidak jelas apa yang dibacanya), menunjukkan bahwa suatu upacara akan segera dimulai. Makna dari ritual yang dilakukan oleh Dukun tersebut adalah nglungguhen (mempersilahkan) para roh leluhur untuk masuk dan menempati petra yang sudah disediakan. Penanda komunikasi non verbalnya adalah duduk bersedekap menghadap petra . Pesan secara non verbal ini biasanya akan diikuti oleh para peserta upacara dengan segera mempersiapkan diri.

Ikhtisar Tradisi masyarakat Tengger, khususnya upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat disosialisasikan melalui proses komunikasi. Proses tersebut dapat melalui proses ajar didik atau pewarisan (adat/pola kebudayaan), dengan sanksi (pemberian hukuman atau pahala ), dalam ritus kolektif dan dengan alokasi posisi-posisi. Proses komunikasi yang dilakukan melalui proses ajar didik ini dilakukan pada forum-forum yang bersifat formal dan non formal. Pada forum formal proses komunikasi dalam sosialisasi tradisi tersebut berlangsung di sekolah-sekolah (Sekolah Dasar dan Se kolah Menengah Pertama) yang ada di desa tersebut. Proses komunikasinya berlangsung sebagaimana proses pengajaran mata pelajaran sekolah, dimana sebagai sumber informasinya adalah guru pengajar. Selain itu juga dilakukan dalam kegiatan Pramuka dengan sumber informasi tentang tradisi adalah Dukun dan Pinandhita. Pada forum non formal proses komunikasi dalam proses ajar didik terjadi saat persiapan pelaksanaan

125

upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat. Sumber informasinya adalah Dukun dan para kerab atnya serta para orang tua yang lebih mengerti. Selama ini belum pernah ditemui warga masyarakat yang meninggalkan upacara tersebut, namun jika ada sanksi yang diberikan lebih bersifat moral, yaitu dikucilkan dari pergaulan. Sebab homogenitas masih dijunjung tinggi oleh komunitas ini, yang bertujuan untuk memperkuat solidaritas sesama warga. Reward / penghargaan biasa diberikan kepada orang-orang yang lebih paham terhadap budaya. Biasanya mereka akan diangkat menjadi tokoh adat, seperti Legen, Wong Sepuh atau bahkan Dukun. Pelaksanaan ritus kolektif lebih bersifat untuk memperkuat solidaritas sosial, dimana sebagai tokoh sentral sumber informasi adat dan tradisi adalah Dukun, sedangkan tokoh sentral dalam pengambil kebijakan tentang tradisi adalah Kepala Desa yang berfungsi sebagai pemangku adat. Kuatnya budaya paternalistik menyebabkan jalur informasi lebih dominan bersifat vertikal, dengan sumber informasi terfokus pada tokoh sentral di masyarakat (Dukun dan Kepala Desa). Proses komunikasi tersebut membentuk suatu pola komunikasi vertikal yang lebih berorientasi kepada sumber informasi dan memiliki kecenderungan untuk selalu diterima dan dipatuhi oleh masyarakat sebagai penerima informasi. Pola komunikasi seperti ini juga terbawa pada kehidupan di keluarga, dimana peran keluarga (khususnya generasi tua) lebih dominan sebagai sumber informasi yang harus dipatuhi, khususnya tentang berbagai hal yang terkait dengan tradisi. Budaya paternalistik biasa terjadi pada kehidupan masyarakat desa, sebagaimana halnya dengan masyarakat Tengger Desa Ngadisari. Namun yang membedakan adalah adanya Dukun Adat sebagai staf non formal dari Kepala Desa yang khusus bertanggung jawab terhadap masalah adat. Dukun ini akan tetap menjabat (biasanya sampai meninggal) meskipun Kepala Desa sudah berganti berkali-kali.

126

SIMPULAN

Upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat merupakan tadisi masyarakat Tengger yang sampai sekarang masih selalu dilaksanakan, hal ini berkaitan dengan upaya mereka untuk terus melestarikan tradisi ini. Upacara Entas -Entas merupakan upacara yang dilakukan untuk menyempurnakan atman atau roh orang yang sudah meninggal agar cepat mencapai nirwana. Upacara Praswala Gara adalah upacara perkawinan yang dilakukan dengan memakai tradisi Tengger. Upacara Entas -Entas maupun Praswala Para merupakan jenis upacara adat lingkup keluarga, sehingga yang bertanggung jawab dalam persiapan dan pelaksanaan adalah pribadi keluarga yang memiliki hajat. Upacara Pujan Kapat merupakan jenis upacara adat dengan lingkup desa, sehingga menjadi tanggung jawab bersama seluruh desa yang diwakili oleh para perangkat desa dan dukun adat. Pola bersikap masyarakat Tengger Desa Ngadisari adalah mau menerima dengan patuh segala apa yang bersangkut paut dengan adat. Hal ini dapat dilihat dari pola kelakuan mereka dengan masih menjalankan upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat. Pola sarana/kebendaan (wujud fisik) dalam pelestarian ketiga tradisi tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, yaitu masih banyak kita lihat benda -benda atau tempat sakral seperti kutugan dan pedanyangan serta adanya tanaman-tanaman khusus yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari yang berkaitan dengan upacara tersebut, seperti alang-alang, pohon jarak, nyangkuh, pampung , dan bunga kenikir. Pola komunikasi yang terdapat dalam masyarakat Tengger berupa pola komunikasi yang bersifat vertikal, dimana pemimpin atau golongan yang

127

dihormati mendapat posisi penting dan dipatuhi oleh masyarakatnya akibat pengaruh budaya paternalistik yang masih berkembang. Pola komunikasi ini dapat dilihat dari proses ajar didik yang dilakukan pada forum yang bersifat formal maupun non formal, dalam ritus kolektif, sanksi dan alokasi-alokasi posisi. Dalam proses ajar didik peranan sumber inf ormasi lebih dominan dalam proses komunikasi yang berlangsung. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pola komunikasi seperti ini, yaitu: kuatnya peranan pemimpin (Kepala Desa), masih tingginya kepatuhan dan kepercayaan terhadap Dukun Adat, masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Tengger Desa Ngadisari dan adanya peran lembaga formal di bidang pendidikan. Pola komunikasi seperti ini terbawa juga dalam kehidupan keluarga, dimana peran keluarga cukup besar dalam menjalin komunikasi dengan generasi muda, y ang disebabkan oleh masih kuatnya sikap penghargaan atau penghormatan pada generasi yang lebih tua.

128

DAFTAR PUSTAKA

Anwar MK. 2003. Desa Ngadisari: Potret Pemberdayaan Masyarakat. Hasil Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Muhammadiyah. Malang. Berlo DK. 1960. The Process of Communication. New York: Holt, Rinehart and Winston. Bertrand AL. 1980. Sosiologi. Malang: PT Bina Ilmu. Bungin B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif . Jakarta: Raja Grafindo Persada. Devito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Suatu Pengantar. Jakarta: Proffesional Books. Effendy OU. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. ________________. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.. Endraswara S. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Faisal S. 2001. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Goldberg, Larson. 1985. Komunikasi Kelompok. Proses-proses Diskusi dan Penerapannya, diterjemahkan oleh Koesdarini Soemiati dan Gary R Jusup. Jakarta. UI Press. Hayat M. 2003. Bertahannya Tradisi Tengger Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah. Hasil Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Muhammadiyah. Malang. Hefner R. 1985. Geger Tengger. Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik . Yogyakarta: LkiS. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi Jilid I. Jakarta: Universitas Indonesia Press. ______________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

129

______________. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kolopaking LM, dkk. 2003 Sosiologi Umum. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Marat. 1984. Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya . Jakarta: Ghalia Indonesia. Masmuh A, dkk. 2003. Agama Tradisional . Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKis. Misjono. 1998. Potret Kehidupan Suku Tengger Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Probolinggo. Moleong LJ. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana D. 2001. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana D, Rakhmat J. 2001. Komunikasi Antar Budaya. Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pace RW, Faules DF. 2002. Komunikasi Organisasi. Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan . Bandung: Remaja Rosdakarya. Rakhmat J. 2001. Psikologi Komunikasi . Bandung: Remaja Rosdakarya. Rinasari R. 1998. Hubungan antara Pemahaman Faktor-faktor Budaya Organisasi dengan Kinerja Pembentukan Pengetahuan (Knowledge Creating) Karyawan di Kantor Daerah Telekomunikasi Jakarta Selatan [tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial, Program Studi Ilmu Komunikasi. Universitas Indonesia Rogers, EM. 1989. Komunikasi dan Pembangunan. Perspektif Kritis. Jakarta: LP3ES. Romadon ME. 2004. Kepemimpinan dan Lapisan Tengger di Daerah Bromo [tesis]. Surabaya: Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Sajogyo, Sajogyo P. 1983. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sajogyo P. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Pasca Sarjana IKIP Jakarta Bekerja Sama Dengan BKKBN.

130

Singa rimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif. Suatu Perkenalan . Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sobur A. 2004. Semiotika Komunikasi . Bandung: Remaja Rosdakarya. Soekanto S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugihen B. 1996. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sulaeman M. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aditama. Sumarti T, Sunito S. 2004. Modul Mata Kuliah Perubahan Sosial. Jurusan Ilmuilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sylvia I. 2002. Encyclopedia of Communication and Information. Volume 1. Macmillan Reference. USA. Tubbs SL, Moss S. 2001. Human Communication. Prinsip -Prinsip Dasar. Buku Pertama. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wahab, S. 2003. Manajemen Kepariwisataan . Jakarta: Pradnya Paramita. Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial. Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset. Widyaprakosa S. 1994. Masyarakat Tengger. Latar Belakang Taman Nasional Bromo. Penerbit Kanisius. Yin RK. 2002. Studi Kasus. Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Averroes. 2006. http://www.averroes.or.id/tengger.php/ [26 pebruari 2006]. Anonim. 2006. http://masyayax.blogspot.com/2005/07/sejarah-kota-malang.html [26 Pebruari 2006].

131

LAMPIRAN

132

Lampiran 1. Instrumentasi Penelitian

PEDOMAN OBSERVASI
Observasi dilakukan pada upacara Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat . Pelaksanaan pengamatan pada bulan Desember 2005 Januari 2006. Dalam penelitian ini peneliti mengikuti kegiatan secara penuh dua kali upacara Entas-entas, yaitu pada tanggal 27 Desember 2005 dan 2 Januari 2006. Upacara Praswala Gara yang diikuti sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 20 dan 27 Desember 2005 serta tanggal 2 Januari 2006. Sedangkan Upacara Pujan Kapat diikuti pada tanggal 3 Januari 2006. Dalam kegiatan yang diamati adalah: Bagaimana persiapan dan pelaksanaan upacara, siapa saja yang menjadi peserta upacara dan hal-hal yang terkait dengan upacara. Gaya komunikasi, terdiri dari komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi verbal yang diamati adalah: penggunaan bahasa apakah secara halus atau bahasa biasa, cara menyampaikan pesan apakah secara terang-terangan (eksplisit) atau secara tersamar (implisit). Komunikasi non verbal yang diamati adalah: gerak tangan, ekspresi wajah, intonasi suara,dll.

133

Lampiran 2.

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM


Wawancara mendalam (indepth interview ) dilakukan pada kepala desa, tokoh adat, beberapa guru, warga masyarakat da n beberapa pengurus organisasi Pramuka serta anggotanya. Pedoman indepth interview kepada kepala desa adalah: Bagaimana peranan Kepala Desa dalam melestarikan adat dan tradisi Tengger. Upaya apa saja yang telah dilakukan Pemerintah Desa Ngadisari dala m melestarikan budaya Tengger. Bagaimana peranan Kepala Desa dalam setiap pelaksanaan upacara adat.

Pedoman indepth interview kepada tokoh adat adalah: Apa dan bagaimana upacara Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat itu. Apa dan bagaimana tugas dan peranan Dukun dan para kerabatnya dalam masyarakat Tengger. Apakah ada pertemuan rutin dengan para dukun Tengger dan apakah ada pembinaan bagi para dukun baru. Bagaimana kaiatan anatara Parisada Hindu Dharma dan Dukun dalam tradisi Tengger. Apa yang menyebabkan kepatuhan masyarakat Tengger terhadap Dukun. Apa dan bagaimana upaya yang dilakukan oleh Dukun dalam ikut menjaga kelestarian budaya Tengger.

Pedoman indepth interview kepada beberapa guru adalah: Apakah ada mata pelajaran khusus (da lam muatan lokal) tentang pengenalan tradisi Tengger. Jika ada apakah dalam pelajaran tersebut terdapat buku panduan. Ataukah penyampaian hanya berupa ceramah.

134

Pelaksanaan penyampaian materi tentang adat Tengger apakah secara berkala/ kontinyu ataukah s aat ada kegiatan insidental saja. Apakah digabung dengan pelajaran agama.

Bagaimana jika ada upacara/ ritual tradisi Tengger, apakah sekolah diliburkan dan mengikuti seluruh rangkaian acara.

Pedoman indepth interview kepada warga masyarakat adalah: Apa dan bagaimana yang diketahui tentang upacara Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat. Sejak kapan mengetahui tentang upacara Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat. Dari mana mengetahui tentang berbagai ritual adat Tengger. Pertemuan apa saja yang biasa dilakukan oleh warga masyarakat desa Ngadisari. Apa saja materi pertemuan tersebut, siapa pembicaranya, kapan dan dimana pelaksanaannya. Apakah ada materi tentang pembinaan adat Tengger.

Pedoman indepth interview kepada pengurus dan anggota Pramuka adalah: Kapan dan dimana pelaksanaan kegiatan Pramuka Siapa saja yang menjadi anggotanya. Materi apa saja yang diberikan dalam kegiatan Pramuka dan siapa saja pematerinya. Apakah materi yang disajikan sudah direncanakan (semacam ada silabusnya untuk setiap kali pertemuan). Jenis materi yang berkaitan dengan budaya Tengger yang bagaimanakah yang disajikan: Tentang berbagai ritual upacara yang masih sering dilakukan. Bagaimana pemahaman makna ritual yang mereka jalankan.

Apakah ada buku panduan/ hanya disajikan secara lisan. Apakah terdapat sanksi yang diterapkan kepada masyarakat yang tidak mengikuti kegiatan tersebut.

135

Apakah terdapat sanksi yang diterapkan kepada masyarakat yang tidak mengikuti ritual upacara yang telah ditetapkan.

Bagaimana peranan pemerintahan desa dalam pelestarian adat-istiadat Tengger?

Bagaimana peranan pemerintah daerah (tk. I Jatim dan tk. II Probolinggo dalam pelestarian budaya Masyarakat Tengger? Apa makna dari berbagai upacara tersebut bagi masyarakat Tengger?

136

Lampiran 3.

PEDOMAN CATATAN HARIAN

Catatan harian merupakan kegiatan pribadi dari peneliti yang akan selalu dilaksanakan selama berada di daerah penelitian. Pencatatan ini akan dilakukan dengan menggunakan catatan kecil yang tidak mencolok/ note book, yang bertujuan untuk mencatat segala hal yang dialami, dilihat dan didengar oleh peneliti. Catatan harian ini digunakan untuk menyimpan berbagai keterangan/ data yang berkaitan dengan penelitian. Sehingga pada akhirnya dapat dig unakan sebagai panduan dalam penyusunan hasil penelitian. Adapun hal-hal pokok yang dijadikan panduan dalam catatan harian peneliti adalah: What, berkaitan dengan obyek apa yang diamati oleh peneliti. Who, berkaitan dengan siapa saja yang terlibat dalam ke giatan tersebut/ suatu kejadian yang sedang disaksikan. Why, berkaitan dengan mengapa suatu obyek yang diamati tersebut terjadi, apa yang menjadi penyebabnya. When, berkaitan dengan waktu kejadian (tanggal, hari, pukul berapa), merupakan sesuatu yang rutin dilakukan atau tidak. Where, berkaitan dengan tempat kejadian, termasuk di dalamnya setting peristiwa. How, berkaitan dengan proses kejadian yang dipaparkan dari awal hingga akhir. Tanda -tanda verbal yang diamati, seperti gaya bicara Selain itu berbagai tanda-tanda non verbal juga ikut dicatat, seperti pakaian, intonasi bicara, ekspresi wajah/ badan.

137

Lampiran 4.

PEDOMAN DOKUMENTASI

Gambaran Umum Lokasi Penelitian: data diambil dari kantor Desa Ngadisari. 1. Gambaran Desa Ngadisari. a. b. c. a. b. a. b. c. d. Letak Geografis. Letak Administratif. Sejarah lengkap masyarakat Tengger. Keadaan pendidikan. Keadaan pekerjaan. List berbagai upacara. Makna yang seharusnya. Makna yang ditangkap/ dipahami oleh masyarakat. Pandangan mereka tentang nilai ritual upacara tersebut.

2. Keadaan masyarakat.

3. Berbagai macam upacara yang masih sering dilakukan.

4. Berbagai forum pertemuan. a. b. c. List berbagai forum pertemuan warga. List message masing-masing forum. Telaah forum apa aja yang membahas tentang budaya.

138

Lampiran 5. SEBARAN PENDUDUK DESA NGADISARI BERDASARKAN GOLONGAN UMUR


NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. GOLONGAN UMUR 0 12 bulan 13 bulan 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 12 tahun 13 tahun 15 tahun 16 tahun 18 tahun 19 tahun 25 tahun 26 tahun 35 tahun 36 tahun 45 tahun 46 tahun - 50 tahun 51 tahun 60 tahun 61 tahun 75 tahun 75 tahun ke atas Jumlah JENIS KELAMIN LK PR 8 10 47 41 15 9 79 77 37 36 46 48 59 65 99 101 106 99 96 98 99 105 59 89 12 23 762 801 JUMLAH 18 88 24 156 73 94 124 200 205 194 204 148 35 1563

Sumber: Monografi Desa Ngadisari, 2005.

139

Lampiran 6.

SEBARAN PENDUDUK DESA NGADISARI BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN


NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. RT 1/I 2/I 3/I 4/1 1/II 2/II 3/II 4/II 1/III 2/III 3/III 4/III 5/III JML % TK 4 9 5 4 8 5 2 1 2 1 1 0 0 40 2,56 SD 68 53 29 45 63 71 51 29 82 37 71 97 95 791 50,61 SMP 43 18 25 8 22 7 8 7 17 18 13 0 2 188 12,03 SMU 9 7 5 4 5 3 5 0 3 1 0 0 0 42 2,69 D3 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0,13 S-1 2 2 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 7 0,45 S-2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0,06 DO

492 31,48

Keterangan: I : Dusun Wonosari II : Dusun Ngadisari III : Dusun Cemoro Lawang DO : Tidak lulus sekolah Sumber: Monografi Desa Ngadisari, 2005.

140

Lampiran 7.

STRUKTUR MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DESA NGADISARI


NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. STATUS Penggarap ladang/ tegalan Buruh tani Peternak sapi Peternak kuda Peternak babi Peternak kambing Peternak domba Peternak itik Peternak ayam Pengrajin PNS Pemilik warung Pemilik kios Pemilik toko Jasa pekerja losmen Pekerja hotel Pekerja angkutan bermotor Tukang kayu Tukang batu Tukang jahit Jasa lainnya JUMLAH 791 0 0 0 2 0 0 0 0 0 6 13 3 17 20 3 46 16 8 3 285 PROSENTASE (%) 62,21 0 0 0 0,16 0 0 0 0 0 0,49 1,07 0,27 1,40 1,65 0,27 3,79 1,32 0,66 0,27 23,49

Sumber: Monografi Desa Ngadisari, 2005.

141

Lampiran 8.

DATA INFORMAN PENELITIAN


NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. NAMA Supoyo Sutomo Ngastutik Ruslan Ikarlis Supri Purwoningsih Ponito Karyanto Mujono

JK
L L P L P L P L L L

UMUR 40 50 45 64 48 32 30 65 35 58

JABATAN Kepala Desa Ngadisari Dukun Desa Ngadisari Istri Dukun Desa Ngadisari Wong Sepuh Dusun Cemoro Lawang Istri Wong Sepuh Dusun Cemoro Lawang Legen Dusun Cemoro Lawang Istri Legen Dusun Cemoro Lawang Wong Sepuh Dusun Ngadisari Legen Dusun Ngadisari Koordinator/kepala Dukun sekawasan Tengger Guru SDN Jetak Guru SDN Ngadisari I Guru SDN Ngadisari I Guru SDN Ngadisari I Dukun sunat Desa Ngadisari Pinandita Desa Ngadisari Warga Dusun Cemoro Lawang Warga Dusun Cemoro Lawang Warga Dusun Wonosari Anggota Pramuka Anggota Pramuka Anggota Pramuka Anggota Pramuka Anggota Pramuka Warga Masyarakat

PEKERJAAN Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.

Misjono Atmo Mujiadi Supratiknyo Sumarlan Sugiono Sarto Suliati Karmoyo Agus Sujarwo Musoto Sutoyo Ngatiami Bambang. S

L L L L L L L P L L L L L P L

38 40 45 25 60 43 43 41 56 22 22 20 20 16 28

Pegawai Pegawai, tani Pegawai, tani Pegawai, tani Tani Tani Tukang Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Kondektur bis

142

Lampiran 9.

DAFTAR PEMBERI MATERI KEGIATAN PRAMUKA


NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. NAMA Supoyo, SH, MM. Sutomo Jumai Sugiono Nasution Matachis JK L L L L L L UMUR 38 48 40 38 35 36 JABATAN Kepala Desa Dukun Adat Kaur Pembangunan Pinandhita (pemimpin agama) Warga Masyarakat Kepala Hansip Etika Materi Adat Undang-undang Perkawinan Pengetahuan Agama Hindu Pembinaan Olahraga Kemampuan barisberbaris (PBB) MATERI

Sumber: Data Primer Diolah, 2006.

143

Lampiran 10.

DAFTAR MATERI DALAM KEGIATAN PRAMUKA


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Nama Kegiatan Jumlah Kegiatan (pertemuan) 23 5 4 4 3 5 44 Persentase (%) 52.27 11.36 9.09 9.09 6.81 11.36 100

Bakti Sosial (Baksos) Kepramukaan Olahraga Agama dan Adat PBB Etika Jumlah Sumber: Data Primer Diolah, 2006.

144

Lampiran 11. NAMA-NAMA ANAK RARA ANTENG DAN JAKA SEGER

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Ki, Tumenggung Kliwung, bersemayam di : Gunung Ringgit. Ni, Sinto Wiji Ki, Baru Klinting Ni, Rawit Ni, Jiting Jinah Ni, Ical Prabu siwah Ki, Cokro Aminoto Ki, Tumenggung Klinter bersemayam di : Midangan. bersemayam di : Siti Kuning. bersemayam di : Sumber Semanik. bersemayam di : Jinahan. bersemayam di : Gunung Pranten. bersemayam di : Gunung Lingga. bersemayam di : Gunung Gendera. bersemayam di : Gunung Penanjakan. bersemayam di : Gunung Cemoro Lawang. bersemayam di : Selo Balang. bersemayam di : Selo Wungkuk. bersemayam di : Poten. bersemayam di : Bajangan. bersemayam di : Gunung Tunggukan. bersemayam di : Gunung Batok. bersemayam di : Gunung Widodaren. bersemayam di : Gunung Guyangan. bersemayam di : Sumber Pakis. bersemayam di : Pusung Nglingker. bersemayam di : Wonongkoro. bersemayam di : Gunung Pundak Lembuk. bersemayam di : Gunung Rujak. bersemayam di : Gunung Semeru. bersemayam di : Gunung Bromo/ Brahma.

10. Ni, Tunggul Wulung 11. Ni, Bagus Waris 12. Ki, Dukun 13. Ki, Pernoto 14. Ni, Perniti 15. Ki, Tunggul Ametung 16. Ki, Masigit 17. Ni, Puspa Gentong Sari 18. Ni, Teku 19. Ki, Dadung Kawuk 20. Ki, Demeling 21. Ki, Sindu Jaya 22. Ni, Sapu Jagat 23. Ki, Jenggot 24. Ki, Demang Diningrat 25. Ki, Kusuma

Sumber: Dokumentasi Koordinator Dukun sekawasan Tengger.

145

Lampiran 12.

PASRAH PENGANTIN
Pasrah Pengantin adalah salah satu rangkaian dari temu pengantin masyarakat Tengger yang berupa serah terima pengantin dari mempelai putra kepada mempelai putri. Pihak mempelai putra diwakili oleh Legen, sedangkan pihak mempelai putri diwakili oleh orang yang biasanya juga mantan Legen. Dalam serah terima pengantin ini terjadi sebuah dialog yang terjadi antara kedua wakil dari masing-masing pengantin dengan menggunakan bahasa jawa. Keduanya duduk saling berhadapan dengan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai. Inti serah terima ini adalah menyerahkan pengantin putra kepada keluarga pengantin putri. Dialog yang terjadi dilakukan begitu cepat karena panjangnya dialo g tersebut. Di beberapa daerah dialog tersebut dilagukan, sehingga membuat para hadirin lainnya tidak merasa jenuh dan menjadi daya tarik sendiri. Dialog yang terjadi adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Wdk : Kok gatos langkah ndiko kang manten. Lng : Inggih gatos. Wdk : O, kang bagus punopo ndiko taksih baru dhateng langkah ndiko kang binagus. 4. 5. Lng : Adi inggih. Wdk : O, kang binagus kumolo kawulo ketingal ngangge rasukan ijem tan moro seblak-seblak nopo damele tiyang kekalihan runcang-runcung mawi gatos. 6. Lng : Adi inggih Adi gatos nglangkungi sasat saking gatos inggih kulo kang maes adi benjing kerto ayu ajeng kerto basuki inggih kulo kang maes adi dasat adi binagus. 7. Lng : Adi binagus malah wonten ajeng awit sari asto ndiko kang kiwo ndugegno bojo rejeki, asto ndiko kang tengen tampanono mas kumolo inten, gadhung anting-anting sak ngandapipun pandansari dasat adi binagus.

146

8.

Wdk : O, kang binagus kumolo kawulo, katuran poro bage tan mondro mondro tejo laksono tejane wong bagus anyar katon bambang lintirno wingking pundi ingkang minongko ajeng pundi ingkang sinedyo lampah ndiko kang binagus.

9.

Lng : Adi binagus malah kulo dipun kengken ngredi wongso melathi sekarsari ronggo jati sari jinggo cemoro dopo wungu mancik mangke dasat adi binagus.

10. Lng : Adi binagus malah kulo njuluki kang bagus joko riyo prabu intoro yen gunjingo yen titiro menebah melampah maras sak penggalihan ndiko dasat adi binagus. 11. Wdk : O, kang binagus kulo nggadahi putro taruno kepudak tan keporo ayu tan sami wonten basahan ndiko ngendereh kenging kiniset, wonten sabuk ndiko kendho kenging kinencengono, wonten dhuwung ndiko moglang mogleng kenging kiningsetono, wonten bebet ndiko landhung kenging kiningkis, wonten kringet ndiko serawehan kenging kinusap, gentap untap agung toyo beto bolo intoro jaler setri titir gunjing kumitir kamoran maras mlampah ndiko kang bagus. 12. Lng : Adi gatos adi binagusmalah kulo yumingal-tumingil nanging kulo ningali lintang kemukus damar kurung kemrencang sak lebetipun griyo malang megung mendhung ngrambyak dadoso layang lagu jarwo netesono sak pangestu ndiko dasat adi binagus. 13. Lng : Adi binagus malah kulo mirengaken penyandranipun adi klethak klethek kados prodo sinatrap, kretap-kretip kados genogo geneber, mbledak-mbleduk kados mendhung kebaratan, ronca-rance kados penjundukan kembang sekar melathi, cerajas -cerajas kados suwarane delen sewu mlebet kekembangan dasat adi binagus. 14. Wdk : O. kang binagus kumolo kawulo malah wonten ireng manis kuncung emas kusumane sekar dasar rasukan rembenan kasuruane kang adoh griyo tambesono lampah ndiko kang binagus. 15. Lng : Adi binagus malah kulo mirengaken suwarane gender sewu ngarumngarumo tiyang sebo dasat adi binagus.

147

16. Lng : Adi binagus malah wonten kondrang kinongo numang-naming aron sak kethem dasat adi binagus. 17. Wdk : O, kang binagus kumolo kawulo nggadahi kembang wasidro, wonten suwal ndiko landhung sinatrap celono, wonten bebet ndiko suwek ombo sinatrap kunco, wonten sabuk ndiko jinggo sinatrap prodo, wonten udheng ndiko bathik sinatrap kepolo, wonten klambi ndiko kolo menggiri sinatrap dhodho, wonten benik ndiko ngancing gang ngrembat ngremik lampah ndiko kang binagus. 18. Lng : Adi binagus malah kulo mireng sumeret retnong raino jenggeret medal sandikolo riyono kok sampun mapan dasat adi binagus. 19. Lng : Adi binagus malah kulo mirengaken wonten suwaranipun ardi Bromo sing sumiyang gemuruh gumblender medal wuku langkir sinantrak angling kombang dasat adi binagus. 20. Wdk : O, kang binagus ketinggalan ngangge rasukan pethak medal saking wetan nglumpuko sami pethak lirno kados kuntul mesi reraton, dene mangke ngangge rasukan abrit medal saking kidul nglumpuko sami abrit lirno kados kumbang kemloso ngedheng, dene mangke ngangge rasukan kuning medal saking kilen nglumpuko sami kuning lirni kados kepodhang midoro, dene mangke ngangge rasukan cemeng medal saking ler nglumpuko sami cemeng lirno kados gagak sinawuhan, megak metro nyleret sak ngandhapipun alis lampah ndiko kang binagus. 21. Lng : Adi binagus malah kulo mirengaken gendhing during sing angleng miring beji lelangonan padusane mbok sinantri adi sinorogane nogosari agung tampo lelawan dasat adi binagus. 22. Lng : Adi binagus malah kulo mirengaken suryonoto kusumo kepanglang gelang mendhak moro mantri anom saiki kulo nyarumeno rembag ndiko kalih kawulo dasat adi binagus. 23. Wdk : O, kang binagus kumolo kawulo nggadhahi udheng bathik losar-losir wedi weleko melak-melik kados sorotipun lintang, pencarangpencorong kados sorotipun bulan, kebyar-kebyar kados sorotipun

148

srengenge, murup muncar kados sorotipun ndaru, darso darbogo kepudhang kaluk ngepang badan lampah ndiko kang binagus. 24. Lng : Adi binagus malah kulo medal pundi medal sak pinggire ari - ari dasur punopo titihane kapal napas nopo penganggone kapal napas klathakan kayu empuh songgo w edhi ginampar ginawe sak larabe abang kendhah rangah cemethi jatos ketingal anjlojok sekedah dasat adi binagus. 25. Lng : Adi binagus malah kulo ngangge wedhak putih sekar gondo nguncari ngiras ngucap kados cracap dasat adi binagus. 26. Wdk : O, kang binagus kumolo kawulo nggadhahi bokor ndiko slulupi udheng abang isine who gratang ndiko tumbas limang kupang sinampurno sodo lanang, rokok danyang pet cupetono bako gambir suruh sari sinarekno tiyang kekalihan sumonggo kulo aturi nigo ndarwo kok kepucang arum lanyah ndiko kang binagus. 27. Lng : Adi binagus malah kulo tampeni asto kekalih sak lebete bokor ndiko modang sak derenge kulo wastani wonten who ndiko minongko dados sakwenange manah kawulo, wonten opo ndiko minongko dadoso sak sinumpekane ambekan kawulo, wonten sata sari kunjuk moro ngucap mbok sinantri adi pupopo sampen pepek sanak sae wong tuwo ndiko sedoyo. 28. Lng : Adi binagus sembah lampah wonten setundak melok dokori laitlinggih dalem melok kantus kengken ngesrahaken bektanane kang manten, kang manten taksih gandrang-gandrung runga-rungu lenggah-lenggeh, kang manten linggih amben gadhing antol santun lemeke kang manten kloso sinebet, kang manten kulo linggihaken sak lere margi alit, kang manten njaluk pengiringan tabuhan surobalen, mbok manten nja luk sinapakan tabuhan surobalen dadoso sak pengrum-pengarume kang manten, kang manten taksih sloso gene sloso ayu, kang manten kulo panggihaken mbok ranten, mbok ranten kepanggiho sari muti tamparono roso jengandiko di sampun. 29. Wdk : O, kang binagus kumolo kawulo nglebetaken patreman kinuntunan gantal udhar-udharan sinapit-apit sumur bandhung cumandungono

149

cepoko wakul wedi wringinono kindo tego kinawisono kasur gadhing kinayungan gendolo giri sinayudono dene tiyang sepuh tiyang lurah sedoyo sampun. 30. Lng : O, adi adi binagus punopo sampun uno miraosipun adi gentose raos sedyo lampah sedyo kulo kang setindak wonten ing raos kang sakecap melok dokoro lait linggih ajengan dalem melok kantus Pak.ngesrahaken bektanane kang manten taksih mbekto bolo intoro sedah luruso jengandiko di sampun. 31. Wdk : O, kang binagus kumolo kawulo wonten pasrahipun kang manten kulo tampeni asto kekalih kulo pundi kulo suwun kulo cesncang sakpucuke rekmo kambonono mustiko cahyo marcoyo dadoso ndiko mercoyo kalih kulo ndiko ana k kakung kulo anak estri dawek rekso rinekso dene dalu mangku dinten benjing sinayudono tiyang lurah tiyang sepuh sedoyo sampun.

Pasrah nang sing duwe gawe: Kang nggadhah damel. Kulo andhap pinarak ing ajengan dalem, sedyo kunjuk-kunjuk sungkem, serahipun kunjuk dumateng dalem. Kulo wahune nampeni bektanane kakang penganten dene sakniki sampun pasrah kang nggadhah damel.

Sumber: Dokumentasi Legen Cemoro Lawang, Desember 2005.

150

Lampiran 13.

MANTRA PEMBARON (MANTRA ENTAS-ENTAS)


1. SETABEN Hong pukulun pasang tabe nama siwaya, jumenenge ring mandya satingale ulun wetan temone ulun tengah aran Hyang Parameswara, lelayu papetra karsane kang durung mentas kang ana ring krayunan, hangubing waduri reges apa -apa dhukut, lamur mota atura neraka ya ta hing entosing ulun, Bapa anu Babu anu mentasa saking kepapan, ning waluya Hyang Pritanjala Amindha Sanghyang Siwah, muliya maring suwarga nika waluyaha, apaningrat Bapa Sanghyang ligane sunga, Ibu Sanghyang lugas jati, sakig terlayaning rat mulya yang awisudhiya waluya rupa sanghyang muwah sira sanghyang atma mentas saking kepapan, ana panebusing ulun caru kang sarwa pawitra, sira kang kasedahan sangana ngayah sira tenggung ring kadewatan, lawan sang hyang samantara, lawan bethara kerayungan, lawan bethara panganan lawan sanghyang gargara kuning, muwah sira yang kebayan lantakang kasedahan muwah sira sanghyang atma mentas saking kepapan, dhatenga kita ring mandya mapaka Hyang Pritanjala pengawale Bethara Siwah, pengawale nawa bayang nglukata nusa malang, wekasira sanghyang wisesa mudhi sanghyang darma muwah sanghyang jagat nata, lawan nawa dewa angkara junem babem, kadi sura nawi sukerta rong hawinena winarpahi nem sarwa wong tuwanira, budi para paramardha dedalan utama maring suwarga, pan sira guruning jagat prabu wening Bethari sorga angkara nama siwaya a-sa-ba-ta nama siwaya punika pukulun, ana kawah rupa tindhas, lebur muksa ilang kang kawah dimedhel dening bapa sanghyang kerti buwana, ana atma kagem Bethara Yamageni lan kawah pasang tabe nama siwaya punika pukulun.

2. PANGENTASE Hong pukulun ingsun nebus ana atma saking krayunan, punika panebusing ulun tumpeng putih kuning panggang sawung, beras sak kulak, perak sak buwana penganyar-anyaran, sega sak wakul jangan sak kuwali, sajeng sak

151

guci. Jumenenga kaki Bethara Pangawan sang Bethara Muwah kaki samantara, nini paduka Bethari Uma kaki rambutan-rambutan ro nini kasungeyan ibu pertiwi, sa tuwanmu haras satuan babohan, sang buta buti sang kala waringin, sang kulika jati mati, sing lebu jagat wisesa kisati ki ramajaya, ki samantara, ki brajabang sawandu balanira, nini kalisira mejaya kang kasedhahan, kang mungguh ring pamugeran, kang nunggu babutuhan, kang nungguh ring panyarikan, kang nungguh ring pasakalan, kang nungguh ring pamegahan kang kasedhahan pati, kang penggawan kaki pangluwar nini pangluar pangluwarana sing ana ring neraka, wis mangku luar sira kadhendha kapidana ring nguluh duduhan, pan ingsun nebus ana atma neraka, pan ingsun nebus satadhan sajinara punika pukulun. Hong pukulun sang cipta tama dura tama nutarata, sukma tanirata mapan atma amentas kabeh, muwah sira sanghyang catur pramana kita kabeh aja sira katungkul mangu kapirangu ring tegal kumalaka ring alas bana ring kayu ageng dedalan agung pereng agung, aja sira nadhah kabuyutan, aja sira sumurup salah rupa, aja rupa buta dhengen, aja rupa nganyabet nyarik maring anak putu buyute, aja sira aweh lara wigena ring sanak kadang warganira ring anak putu buyut ira, balikan sira muliya maring suwarga kayanganira ing jonggiri salaka meru pucak manik tumang sawelas pageha ring dharma tutur, mawaka kang sanghyang jagat permanawasesa kastranana dene Bremana dene parasih, saiwa sugata jaya jayanening dewata kabeh, karnenanen ing widadara widadari mangkana pangastutining ulun, muwah sira sanghyang panca atm a westu, teka ta muliya maring suwarga kayanganira, aja sira tetes ing ngindrawijayanira sun sangoni sira bubur kapirata kelawan jenang bang nguku maligi sangunira maring suwarga kayanganira aja sira tinggal tedha kekucahan, ninggala tedha lan sesebelan tan ana ya lara wigena, tan asung samantara kewuhan balikan sira tinggala tirta lemar angunsuhana bunyu kayuhanan mandelaning sri sedana, tinggala mas mirah kumala inten rawang guwan punika pukulun sira mentas ingsun nglepas, ingsun muleh menyang wesesaha Brahma, kang nglebur dene sanghyang wesesa guru, kang ngaruta ya kang lapasna hamuri yang ngelepas tanana punika pukulun.

152

3. TATASING KRAYUNAN Hong pukulun sira kang kasedhahan krayunan, kaki penggawan penyarikan, nini penggawan penyarikan, kaki penggawan citra gotra, nini penggawan citra gotra, kaki penggawan juru tulis, nini penggawan juru tulis sami sira amari imutna yen ingsun nebus ana atma saking krayunan, aja sira beda nyengkala, aja sira ngadhang nyamentara, pan ingsun nebus satadhah sajimara punik a pukulun, bjra dhupa dandha mungsala naga pasa angkus lan cakra padma titi candra ning pengaran, puncak manik maligi manik agok kapurancak sedana segara mendhung paes padmasari candran tumpeng wernan, mutiya sarine banten saluputing puja banten jumenenga sari suka pawitra punika pukulun.

4. PUJA LIMBANG Hong pukulun pangruwatan dewi surem ananing sanghyang gana sun papag sun arik-arik sun embaning sabuk putih, linggih ing parwa andeleng telaga jeg teka ing kinama Hyang ning lawangan gapura, cinawi ing selaka undhakundhak selaka, tinalangan wuluh gadhing tinandhuran tunjung putih cicibuke siwur selaka, tan ana mina kubang kubaka ulun nata dewata tunggal, ngadega ngeka padha kardi kakana dosa murud muruda, busana busananing lusir putih , ing kana pudusaning ulun limbang-limbangan salira, lulur-lulura asta, keti-ketika kunaka kirap-kirapa angaruna ngemu waja, ngawuk terta peksaning raup, punapa karyaning pangruwatan ngaruwata lara raga lara geng lara wigena tuju teluh taraknyana, ngaruwata sakehe mala mastaka huniweh dhesti lan pengerkot sucur lan supata, luputa supatane wong tuwo, supatane mara tuwa, supatane dulurtuwa, supatane sanak tuwa, supatane Hyang, supatane dewata, supatane guru, supatane awak dewe karuwata dening ulun, asas-esus katuta ring barat lesus ala ili katuta ring banyu mili keliya marang segara den teka sabrang, lumayu ing kana kahananira ing cempa, Jambudwipa, salot selandhong, Bugis Makasar yen sira arep Ngajawa balik salina rupa salina warna dadiya dadar sri sedana mas mirah kumala inten jumanten ratna widuri, mekasa tirta lan pandhita wuwusing ulun, binaseka dinadotan binebetan ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, ing kana nitiha ing padmasari, binaseka dinadotan binebetan, sinabukan kinerisan kinapihan apepek mesagi, anting-anting kelat bahu gelang gayur bagus cahyaning

153

ulun, widodara widodari anerun den sinungaken maring ulun saduweku sarwa putih , beja sampun samadi rineksa widodara dinulu ing widodari kawula nedha kanugrahan widenilaning widening sakti sri yantru yamu nama siwaya pukulun. Hong pukulun pangruwatan dewi surem ananing sanghyang gana sun papag sun arik-arik sun embaning sabuk abang , linggih ing daksina andeleng telaga jeg teka ing kinama Hyang ning lawangan gapura, cinawi ing tembaga undhak-undhak tembaga , tinalanga n wuluh gadhing tinandhuran tunjung abang cicibuke siwur tembaga , tan ana mina kubang kubaka ulun nata dewata tunggal, ngadega ngeka padha kardi kakana dosa murud muruda, busana busananing lusir abang , ing kana pudusaning ulun limbang-limbangan salira, lulur-lulura asta, ketiketika kunaka kirap-kirapa angaruna ngemu waja, ngawuk terta peksaning raup, punapa karyaning pangruwatan ngaruwata lara raga lara geng lara wigena tuju teluh taraknyana, ngaruwata sakehe mala mastaka huniweh dhesti lan pengerkot sucur lan supata, luputa supatane wong tuwo, supatane mara tuwa, supatane dulurtuwa, supatane sanak tuwa, supatane Hyang, supatane dewata, supatane guru, supatane awak dewe karuwata dening ulun, asas-esus katuta ring barat lesus ala ili katuta ring banyu mili k eliya marang segara den teka sabrang, lumayu ing kana kahananira ing cempa, Jambudwipa, salot selandhong, Bugis Makasar yen sira arep Ngajawa balik salina rupa salina warna dadiya dadar sri sedana mas mirah kumala inten jumanten ratna widuri, mekasa tirta lan pandhita wuwusing ulun, binaseka dinadotan binebetan ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, ing kana nitiha ing padmasari, binaseka dinadotan binebetan, sinabukan kinerisan kinapihan apepek mesagi, anting-anting kelat bahu gelang gayur bagus cahyaning ulun, widodara widodari anerun den sinungaken maring ulun saduweku sarwa abang , beja sampun samadi rineksa widodara dinulu ing widodari kawula nedha kanugrahan widenilaning widening sakti sri yantru yamu nama siwaya pukulun. Hong pukulun pangruwata n dewi surem ananing sanghyang gana sun papag sun arik -arik sun embaning sabuk kuning, linggih ing pracima andeleng telaga jeg teka ing kinama Hyang ning lawangan gapura, cinawi ing kencana undhak-undhak kencana, tinalangan wuluh gadhing tinandhuran tunjung kuning cicibuke siwur kencana , tan ana mina kubang kubaka ulun nata dewata tunggal, ngadega ngeka padha kardi kakana dosa murud muruda, busana busananing lusir

154

kuning, ing kana pudusaning ulun limbang-limbangan salira, lulur-lulura asta, keti-ketika kunaka kirap-kirapa angaruna ngemu waja, ngawuk terta peksaning raup, punapa karyaning pangruwatan ngaruwata lara raga lara geng lara wigena tuju teluh taraknyana, ngaruwata sakehe mala mastaka huniweh dhesti lan pengerkot sucur lan supata, luputa supatane wong tuwo, supatane mara tuwa, supatane dulurtuwa, supatane sanak tuwa, supatane Hyang, supatane dewata, supatane guru, supatane awak dewe karuwata dening ulun, asas -esus katuta ring barat lesus ala ili katuta ring banyu mili keliya marang segara den teka sabrang, lumayu ing kana kahananira ing cempa, Jambudwipa, salot selandhong, Bugis Makasar yen sira arep Ngajawa balik salina rupa salina warna dadiya dadar sri sedana mas mirah kumala inten jumanten ratna widuri, mekasa tirta lan pandhita wuwusing ulun, bin aseka dinadotan binebetan ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, ing kana nitiha ing padmasari, binaseka dinadotan binebetan, sinabukan kinerisan kinapihan apepek mesagi, anting-anting kelat bahu gelang gayur bagus cahyaning ulun, widodara widodari anerun den sinungaken maring ulun saduweku sarwa kuning, beja sampun samadi rineksa widodara dinulu ing widodari kawula nedha kanugrahan widenilaning widening sakti sri yantru yamu nama siwaya pukulun. Hong pukulun pangruwatan dewi surem ananing sanghyang gana sun papag sun arik-arik sun embaning sabuk ireng, linggih ing untara andeleng telaga jeg teka ing kinama Hyang ning lawangan gapura, cinawi ing wesi undhak undhak wesi, tinalangan wuluh gadhing tinandhuran tunjung ireng cicibuke siwur wesi, tan ana mina kubang kubaka ulun nata dewata tunggal, ngadega ngeka padha kardi kakana dosa murud muruda, busana busananing lusir ireng , ing kana pudusaning ulun limbang-limbangan salira, lulur -lulura asta, keti- ketika kunaka kirap-kirapa angaruna ngemu waja, ngawuk terta peksaning raup, punapa karyaning pangruwatan ngaruwata lara raga lara geng lara wigena tuju teluh taraknyana, ngaruwata sakehe mala mastaka huniweh dhesti lan pengerkot sucur lan supata, luputa supatane wong tuwo, supatane mara tuwa, supatane dulurtuwa, supatane sanak tuwa, supatane Hyang, supatane dewata, supatane guru, supatane awak dewe karuwata dening ulun, asas-esus katuta ring barat lesus ala ili katuta ring banyu mili keliya marang segara den teka sabrang, lumayu ing kana

155

kahananira ing cempa, Jambudwipa, salot selandhong, Bugis Makasar yen sira arep Ngajawa balik salina rupa salina warna dadiya dadar sri sedana mas mirah kumala inten jumanten ratna widuri, mekasa tirta lan pandhita wuwusing ulun, binaseka dinadotan binebetan ilanga kang rupa j uti kariya kang warna jati, ing kana nitiha ing padmasari, binaseka dinadotan binebetan, sinabukan kinerisan kinapihan apepek mesagi, anting-anting kelat bahu gelang gayur bagus cahyaning ulun, widodara widodari anerun den sinungaken maring ulun saduweku sarwa ireng , beja sampun samadi rineksa widodara dinulu ing widodari kawula nedha kanugrahan widenilaning widening sakti sri yantru yamu nama siwaya pukulun.

5. LUKAT ALIT Hong pukulun wonten lukat alit parwa dharma tutur -tutur, anane sanghyang puspa puja mangku pangruwatan, ngruwata lara raga, lara geng, lara wigena, ngruwata lara kabeh mangetan maraha sang Bethara Iswara anungganga lembu putih , pinayangan sing Kalacakra wala pembarep udan teja mangkuwung kuwung, tan kandhah ana buta dhengen wil tan kapanca resi, ana dewa kang amuja, ana dewa kang pinuja, ana guru kang amuja, ana guru kang pinuja, ana sira kang amuja, ana sira kang pinuja, anane pawitra lan pawitrem ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama siwaya punika pukulun. Hong pukulun wonten lukat alit parwa dharma tutur -tutur, anane sanghyang puspa puja mangku pangruwatan, ngruwata lara raga, lara geng, lara wigena, ngruwata lara kabeh mangidul maraha sang Bethara Brahma anungganga lembu abang , pinayangan sing Kalacakra wal a pembarep udan teja mangkuwung kuwung, tan kandhah ana buta dhengen wil tan kapanca resi, ana dewa kang amuja, ana dewa kang pinuja, ana guru kang amuja, ana guru kang pinuja, ana sira kang amuja, ana sira kang pinuja, anane pawitra lan pawitrem ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama siwaya punika pukulun. Hong pukulun wonten lukat alit parwa dharma tutur -tutur, anane sanghyang puspa puja mangku pangruwatan, ngruwata lara raga, lara geng, lara wigena, ngruwata lara kabeh mangulon maraha sang Bethara Mahadewa anungganga lembu kuning , pinayangan sing Kalacakra wala pembarep udan teja mangkuwung kuwung, tan kandhah ana buta dhengen wil tan kapanca resi, ana

156

dewa kang amuja, ana dewa kang pinuja, ana guru kang amuja, ana guru kang pinuja, ana sira kang amuja, ana sira kang pinuja, anane pawitra lan pawitrem ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama siwaya punika pukulun. Hong pukulun wonten lukat alit parwa dharma tutur -tutur, anane sanghyang puspa puja mangku pangruwatan, ngruwata lara raga, lara geng, lara wigena, ngruwata lara kabeh mangalor maraha sang Bethara Wisnu anungganga lembu ireng, pinayangan sing Kalacakra wala pembarep udan teja mangkuwung kuwung, tan kandhah ana buta dhengen wil tan kapanca resi, ana dewa kang amuja, ana dewa kang pinuja, ana guru kang amuja, ana guru kang pinuja, ana sira kang amuja, ana sira kang pinuja, anane pawitra lan pawitrem ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama siwaya punika pukulun.

6. PUJA SUSAH Hong pukulun ana puja susah wetan kita bali mangetan, dhesti teluh mangetan maraha sang Bethara Iswara, pan ingsun tinetesan gagang malela rinajegan rejeg wesi, ginedhongan gedhong wesi, kinancingan wesi kuning kinumpukan wesi sundhul langit, sri yantru yamu nama Siwaya punika pukulun. Hong pukulun ana puja susah kidul kita bali mangidul, dhesti teluh mangidul maraha sang Bethara Brahma, pan ingsun tinetesan gagang malela rinajegan rejeg wesi, ginedhongan gedhong wesi, kinancingan wesi kuning kinumpukan wesi sundhul langit, sri yantru yamu nama Siwaya punika pukulun. Hong pukulun ana puja susah kulon kita bali mangulon, dhesti teluh mangulon maraha sang Bethara Mahadewa, pan ingsun tinetesan gagang malela rinajegan rejeg wesi, ginedhongan gedhong wesi, kinancingan wesi kuning kinumpukan wesi sundhul langit, sri yantru yamu nama Siwaya punika pukulun. Hong pukulun ana puja susah elor kita bali mangalor, dhesti teluh mangalor maraha sang Bethara Wisnu, pan ingsun tinetesan gagang malela rinajegan rejeg wesi, ginedhongan gedhong wesi, kinancingan wesi kuning kinumpukan wesi sundhul langit, sri yantru yamu nama Siwaya punika pukulun. Hong pukulun ana puja susah tengah kita bali matengah, dhesti teluh matengah maraha sang Bethara Siwah, pan ingsun tinetesan gagang malela

157

rinajegan rejeg wesi, ginedhongan gedhong wesi, kinancingan wesi kuning kinumpukan wesi sundhul langit, sri yantru yamu nama Siwaya punika pukulun.

7. PUJA GENI Hong pukulun ana geni teka wetan putih rupane dudu geni derma manungsa genine sang Bethara Iswara , apa kadigdayane geni apa kasektene, ngalebura lara ragane..(nama yang dientas)....... lebur lulur dadi awu, ajur dadi banyu, asas esus katuta ing barat lesus, ala ili katuta ing banyu mili den teka sabrange segara, anane pawitra lan pawitrem, ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama Siwaya pukulun. Hong pukulun ana geni teka kidul abang rupane dudu geni derma manungsa genine sang Bethara Brahma , apa kadigdayane geni apa kasektene, ngalebura lara ragane..(nama yang dientas).......lebur lulur dadi awu, ajur dadi banyu, asas esus katuta ing barat lesus, ala ili katuta ing banyu mili den teka sabrange segara, anane pawitra lan pawitrem, ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama Siwaya pukulun. Hong pukulun ana geni teka kulon kuning rupane dudu geni derma manungsa genine sang Bethara Mahadewa , apa kadigdayane geni apa kasektene, ngalebura lara ragane..(nama yang dientas)....... lebur lulur dadi awu, ajur dadi banyu, asas esus katuta ing barat lesus, ala ili katuta ing banyu mili den teka sabrange segara, anane pawitra lan pawitrem, ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama Siwaya pukulun. Hong pukulun ana geni teka elor ireng rupane dudu geni derma manungsa genine sang Bethara Wisnu , apa kadigdayane geni apa kasektene, ngalebura lara ragane..(nama yang dientas)....... lebur lulur dadi awu, ajur dadi banyu, asas esus katuta ing barat lesus, ala ili katuta ing banyu mili den teka sabrange segara, anane pawitra lan pawitrem, ilanga kang rupa juti kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama Siwaya pukulun.

158

8. PANGRUWATAN Hong pukulun gangga manik tri mala ilang, puja pangleburan, puja pangruwatan, ngaruwata sakehe kama kang salah kariya kama kang sejati, ilang kang rupa juti, kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama Siwaya punika pukulun. Hong pukulun gangga manik tri mala ilang, puja pangleburan, puja pangruwatan, ngaruwata sakehe kala kang salah kariya kala kang sejati, ilang kang rupa juti, kariya kang warna jati, sri yantru yamu nama Siwaya punika pukulun.

Sumber: Dokumentasi Koordinator Dukun Sekawasan Tengger, Januari 2006.

159

Lampiran 14.

SEBARAN MASYARAKAT TENGGER DI EMPAT KABUPATEN DI JAWA TIMUR


KABUPATEN KECAMATAN Sukapura DESA Ngadisari Wonotoro Jetak Ngadas Wonokerto Ngadirejo Sapikerep Sukapura Pakel Kedasih Pandansari Ledok Ombo Wonomerto Sumber Gemoto Anom Pasur Sapih Ngadas Gubug Klakah Duwet Argosari Ranupari Sedaeng Tosari Wonokitri Mororejo Kandangan Ngadiwono Podokoyo Kalitejo Balidono Kayu Kebek Ngadirejo Kedawung

PROBOLINGGO Sumber

Lumbang Poncokusumo MALANG LUMAJANG Senduro Tosari

PASURUAN

Tutur Puspo Sumber: Data primer dan sekunder yang diolah, 2006.

160

Lampiran 15.

NAMA-NAMA PEJABAT KEPALA DESA YANG MEMIMPIN DESA NGADISARI


NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Rasji Kewer Gemblek Asmadi Sarjun Alip Sampur Kernadi Soekartjo Sapawi Supoyo, SH, MM NAMA TAHUN MEMERINTAH Tidak ada catatan Tidak ada catatan 1897 tidak diketahui pasti 1897 1932 1933 1948 1948 1949 1949 1965 1965 1966 1967 1988 1988 1998 1998 sekarang

Sumber: Monografi desa Ngadisari, 2005

161

Lampiran 16.

JENIS DAN SUMBER DATA PENELITIAN


NO. 1. JENIS DATA Gambaran umum kehidupan sehari-hari, kondisi geografis dan karakteristik penduduk Desa Ngadisari. Sejarah Masyarakat Tengger. SUMBER DATA - Data Monografi Desa. - Wawancara dengan Informan. - Observasi. - Wawancara dengan informan. - Data pribadi Koordinator Dukun Tengger. - Browsing internet. - Wawancara dengan Dukun Desa Ngadisari. - Analisis data sekunder (data pribadi Dukun). - Wawancara dengan masyarakat Tengger Desa Ngadisari. - Browsing internet. - Observasi partisipatif. - Wawancara mendalam dengan Dukun Desa Ngadisari dan Koordinator Dukun Tengger. - Wawancara mendalam dengan Legen dan Wong Sepuh. - Analisis dokumen. - Wawancara dengan informan (Kepala Desa dan masyarakat). - Observasi. - Wawancara dengan informan. (pemateri, anggota Pramuka dan masyarakat). - Analisis data sekunder (catatan anggota pramuka dan pemateri). - Wawancara dengan informan (guru sekolah, murid). - Analisis data sekunder, berupa makalah. - Wawancara. - Observasi.

2.

3.

Data berbagai upacara Masyarakat Tengger.

4.

Deskripsi Tradisi Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat.

5.

6.

Data forum-forum pertemuan (forum komunikasi) dalam masyarakat Tengger Desa Ngadisari. Proses komunikasi dalam kegiatan Pramuka.

7.

Proses pengajaran tradisi dan budaya di sekolah.

8.

Pola sarana kebendaan (tempattempat sakral dan peralatan yang berhubungan dengan tradisi Entas-entas, Praswala Gara dan Pujan Kapat).

162

Lampiran 17.

PETA LOKASI PENELITIAN

Keterangan: Tanda panah biru merupakan lokasi Masyarakat Tengger Desa Ngadisari tempat penelitian berlangsung.

163

Lampiran 18

KALENDER TENGGER

164

Lampiran 19

JADWAL KEGIATAN PRAMUKA

165

Lanjutan Jadwal kegiatan Pramuka

166

Lanjutan Jadwal kegiatan Pramuka

167

Lanjutan Jadwal kegiatan Pramuka

168

Lampiran 20

CONTOH ABSENSI KEGIATAN PRAMUKA, KEGIATAN ADAT DAN PERTEMUAN-PERTEMUAN LAIN

169

Lanjutan Contoh Absensi Kegiatan Pramuka, Kegiatan Adat Dan Pertemuan-Pertemuan Lain

170

Lampiran 21

SURAT IJIN PENELITIAN

Lampiran 19.

JADWAL KEGIATAN PRAMUKA


Lampiran 20.

CONTOH ABSENSI KEGIATAN PRAMUKA, KEGIATAN ADAT DAN PERTEMUAN-PERTEMUAN LAIN

Lampiran 22.

CONTOH MAKALAH MATERI ADAT DALAM KEGIATAN PRAMUKA


Lampiran 23.

CONTOH CATATAN MATERI DALAM KEGIATAN PRAMUKA

171

Lampiran 22 CONTOH MAKALAH ADAT DALAM KEGIATAN PRAMUKA

Anda mungkin juga menyukai