0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
176 tayangan6 halaman
Tradisi maddebbang merupakan rangkaian pelaksanaan aqiqah di Desa Turucinnae dimana dibuat pagar bambu persegi empat untuk mengitari tanah tempat menanam plasenta bayi. Tradisi ini membawa makna agar anak memiliki sifat yang sempurna dan kuat seperti bambu. Maddebbang dilakukan sebelum aqiqah dimulai dengan tujuan melestarikan nilai-nilai budaya leluhur.
Tradisi maddebbang merupakan rangkaian pelaksanaan aqiqah di Desa Turucinnae dimana dibuat pagar bambu persegi empat untuk mengitari tanah tempat menanam plasenta bayi. Tradisi ini membawa makna agar anak memiliki sifat yang sempurna dan kuat seperti bambu. Maddebbang dilakukan sebelum aqiqah dimulai dengan tujuan melestarikan nilai-nilai budaya leluhur.
Tradisi maddebbang merupakan rangkaian pelaksanaan aqiqah di Desa Turucinnae dimana dibuat pagar bambu persegi empat untuk mengitari tanah tempat menanam plasenta bayi. Tradisi ini membawa makna agar anak memiliki sifat yang sempurna dan kuat seperti bambu. Maddebbang dilakukan sebelum aqiqah dimulai dengan tujuan melestarikan nilai-nilai budaya leluhur.
Samsidar. S Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar ssamsidar47@gmail.com Abstract: This article discusses the understanding of maddebbang culture values in the implementation of aqiqah in the community of Turucinnae Village, Lamuru District. The aim of obtaining empirical data on the implementation of the maddebbang tradition and the cultural values contained in the implementation of the tradition by the Turucinnae Village. Using qualitative descriptive data in this article concluded that the maddebbang tradition was implemented before the aqiqah event began. Maddebbang is a fence made of rectangular bamboo that surrounds the ground where the placenta of a newborn baby is planted. All the components have a good meaning. Keywords: Tradition, Culture, Aqiqah Abstrak: Artikel ini membahas tentang pemahaman nilai-nilai budaya maddebbang dalam implementasi aqiqah di komunitas Desa Turucinnae, Kecamatan Lamuru. Tujuan memperoleh data empiris tentang pelaksanaan tradisi maddebbang dan nilai- nilai budaya yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi Desa Turucinnae. Menggunakan data deskriptif kualitatif, dalam artikel ini disimpulkan tentang tradisi maddebbang diimplementasikan sebelum acara aqiqah dimulai. Maddebbang merupakan tradisi pembuatan pagar yang terbuat dari bambu berbentuk persegi empat yang mengitari tanah tempat menanam ari-ari bayi yang baru saja lahir. Semua komponen yang ada memiliki makna yang baik. Kata Kunci: Tradisi, Budaya, Aqiqah Pendahuluan Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia(Munthoha, 1998). Setiap perilaku yang dilakukan oleh manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya. Manusia yang memiliki kebiasaan yang sulit untuk dirubah akan menimbulkan tradisi dalam kehidupannya. Tradisi merupakan bagian dari sebuah kebudayaan. Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian secara umum adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Hal yang paling mendasar dari tradisi adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Dalam kehidupan beragama tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki tradisi dari setiap perilaku beragama yang dilakukan. Salah satu hal yang wajib dilakukan dalam agama Islam ketika lahirnya seorang anak yaitu aqiqah. Aqiqah berasal dari kata aqiq yang berarti rambut bayi yang baru lahir. Karena itu aqiqah selalu diartikan mengadakan, selamatan lahirnya seorang bayi dengan menyembelih hewan sekurangnya seekor kambing(Hasbullah Bakry, 1988). Menurut istilah syara’ artinya menyembelih ternak pada hari ketujuh dari kelahiran anak, yang pada hari itu anak diberi nama dan rambutnya di potong(Idris dan Ahmadi, 1990). Hukum pentingnya pelaksanaan aqiqah adalah sunnah muakkad, yaitu sunnah yang amat dipentingkan. Dengan wujud kasih sayang, harapan dan do’a dari orang tua terhadap anaknya agar menjadi anak yang saleh atau salehah, agar selamat di dunia maupun di akhirat. Terdapat perbedaan yang ditemukan oleh penulis tentang pelaksanaan aqiqah yang dipahami selama ini dengan yang ada di Desa Turucinnae Kecamatan Lamuru Kabupaten Bone, yakni bukan hanya sekadar menyembelih binatang dan mencukur rambut bayi, tetapi banyak rangkaian tradisi, salah satunya adalah Maddebbang. Adat sebagai kearifan lokal yang dilaksanakan dalam aqiqah tersebut. Masyarakat hanya sekedar melaksanakan seluruh rangkaian aqiqah tanpa mengetahui nilai sosial budaya yang terkandung dalam aqiqah tersebut, dan mempercayai bahwa anak yang terlahir tanpa di aqiqah sesuai dengan rangkaian acara yang ada di Desa Turucinnae Kecamatan Lamuru Kabupaten Bone akan mengalami kelainan fisik maupun psikis tidak seperti anak normal pada umumnya. Penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang makna dari salah satu rangkaian acara yang terdapat dalam pelaksanaan aqiqah, yaitu maddebbang yang memuat nilai sosial budaya dengan harapan agar masyarakat yang melaksanakannya dapat memahami nilai sosial budaya yang dikandungnya. Metode Penelitian Artikel ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, yakni penelitian ini memberikan informasi dalam menggambarkan suatu gejala sosial yang terdapat pada lingkungan masyarakat. Pembahasan Pada sebagian masyarakat Desa Turucinnae Kecamatan Lamuru menambahkan tradisi “maddebbang” pada pelaksanaan aqiqah tersebut. Tradisi tersebut menjadi salah satu bentuk upaya masyarakat Turucinnae untuk tetap memegang erat nilai-nilai luhur nenek moyang. Tradisi ini melahirkan sistem-sistem. Tradisi dilaksanakan sesuai dengan tata kelakuan yang baku dengan urutan-urutan yang tidak boleh dibolak-balik. Pada umumnya tradisi mempunyai tujuan untuk menghormati, mamuja, mensyukuri, dan meminta keselamatan pada leluhur(Pujileksono, 2006). Nilai-nilai adalah perasaan-perasaan tentang apa yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, atau tentang apa yang boleh atau tidak boleh. Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat(Hakim, 2001). Ritual bugis ini merupakan tradisi yang wajib diabadikan oleh masyarakat bugis yang dalam pelaksanaannya mempunyai tata cara yang runtut. Pada tradisi maddebbang, diwajibkan untuk menyediakan rebbang/pagar sesajian. Dalam acara aqiqahan, harus dibuat rebbang atau pagar sesajian yang terbuat dari bambu. Bahan pokok pembuatan bala soji adalah bambu yang bermakna bahwa pohon bambu ketika awal pertumbuhannya atau sebelum memunculkan tunas dan daunnya terlebih dahulu menyempurnakan struktur akarnya. Akar yang menunjang ke dasar bumi membuat bambu menjadi sebatang pohon yang sangat kuat, lentur, dan tidak patah sekalipun ditiup angin kencang. Lebih jauh memahami filosofi pohon bambu tersebut, maka anak yang dilahirkan diharapkan memiliki kehidupan seperti filosofi bambu. Maddebbang adalah pembuatan rebbang atau pagar yang terbuat dari bambu berbentuk segi empat panjang mengitari tanah tempat menanam ari-ari bayi yang baru saja lahir. makna rebbang yang memiliki empat sisi bahwa hal tersebut sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah keberanian, kebangsawanan, kekayaan, dan ketampanan atau kecantikan. Kelak menjadi sebuah pengharapan bagi sang anak. Biasanya kegiatan maddebbang dilakukan pada pagi hari sekitar jam 08.00 WITA. Rebbang tersebut dibuat di halaman rumah pembuat hajatan. Apabila bayi berjenis kelamin perempuan, maka dibuat di depan rumah pembuat hajatan agar perempuan mudah dilihat sehingga kelak dewasa mudah dilamar orang. Itulah sebabnya dibedakan antara rebbang laki-laki dan rebbang perempuan. Kegiatan adat maddebbang dibuat oleh kaum laki-laki dengan gotong royong, sehingga terjalin kekerabatan dalam suatu kelompok masyarakat tersebut. Di dalam rebbang terdapat sebuah periuk tanah liat berisi plasenta bayi, selain itu rebbang juga diisi dengan berbagai macam makanan seperti: kelapa, pisang, ayam, songkolo patarrupa, kalosi, daun paru, daun sirih, telur, sawa’ dan ketupat. Semua makanan tersebut memiliki makna yang baik, yakni buah kelapa sebagai tempat penyimpanan rambut bayi juga menjadi sebuah tradisi dikalangan masyarakat, padahal para ulama Mesir terdahulu tidak menggunakan buah kelapa, melainkan menggunakan segelas air bersih agar rambut bayi tidak berhamburan, dalam hal ini pula rambut bayi ditimbang dan seberat itu pula akan dikeluarkan senilai harga emas untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Penggunaan buah kelapa dikalangan masyarakat dalam pelaksanaan aqiqah hanya sebuah tradisi yang dibudayakan, dan telah dilakukan secara turun temurun. Pisang yang digunakan dalam tradisi maddebbang sebanyak 1 sisir. Pisang tersebut melambangkan jari-jari tangan, di mana jari-jari tangan tersebut digunakan untuk mengumpulkan rezeki. Ayam yang digunakan dalam tradisi maddebbang sebanyak 1 ekor ayam jantan. Ayam yang digunakan sebagai lambang kebebasan untuk mencari rezeki. Sokko’ patarrupa adalah beras ketan yang dimasak dengan ditambahkan pewarna. Sokko’ terdiri dari 4 warna yaitu hitam, putih, merah dan kuning. Sokko’ warna hitam melambangkan tanah, sokko’ warna putih melambangkan air, sokko’ warna kuning melambangkan yang bernyawa atau angin, dan sokko’ warna merah melambangkan api. Kalosi adalah buah pinang, kalosi dalam bahasa bugis berarti pergi atau berjalan, penyajian buah kalosi memiliki makna agar anak dapat berjalan dijalan yang lurus. Daun Sirih diartikan dalam bahasa Bugis yakni malu, hal ini bermakna agar anak dapat memiliki sifat malu dalam kehidupannya. Daun Paru diartikan dalam bahasa bugis sebagai sesuatu yang baru, hal ini bermakna bahwa kehidupan anak telah dimulai. Sawa’ dan Ketupat diikat menjadi satu hal ini berarti agar anak kelak tidak pergi ke tempat yang salah atau terpisah-pisah. Adapun rebbang disiapkan dua buah yakni berada diatas rumah dan dibawah rumah, Perbedaan kedua rebbang tersebut yaitu terdapat pada telur yang disajikan, yakni telur masak yang berada di rebbang atas rumah yang memiliki arti bahwa siap untuk dimakan, sedangkan telur mentah yang berada dibawah rumah diartikan untuk pemilik tanah yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai nenek moyang terdahulu. Masyarakat setempat memahami adanya rebbang sebagai rumah ketika seseorang mati. Kemunculan rebbang tidak serta merta langsung ada, namun orang tua dahulu menjadikannya sebagai pelindung makanan. Dahulu daerah Turucinnae adalah daerah yang berupa hutan yang memiliki banyak binatang buasnya yang kapan saja bisa memakan makanan yang telah disajikan. Masyarakat menganggap dan mempercayai bahwa hal ini adalah tradisi turun temurun yang harus diikuti dari orang tua dulu, maka penyajiannya menjadi sesuatu yang harus ada dalam melaksanakan aqiqah. Banyak yang tidak melakukan akan tetapi banyak pula yang melakukan. Tergantung dari masing-masing individu apakah ingin melaksanakan atau tidak, akan tetapi apabila mereka tahu akan akibat dari tidak melakukan hal tersebut pasti mereka akan merasa takut karena akibat dari tidak melaksanakan tradisi maddebbang tersebut. Terkait dengan tradisi maddebbang, ada masyarakat yang setuju dan biasa melakukan tradisi tersebut, akan tetapi adapula sebagian besar masyarakat yang tidak melakukannya dengan alasan tidak diperintahkan dan diajarkan dalam agama. Simpulan Pelaksanaan aqiqah yang ada di Desa Turucinnae Kecamatan Lamuru Kabupaten Bone bukan hanya sekadar menyembelih binatang dan mencukur rambut bayi, tetapi banyak rangkaian tradisi, salah satunya adalah maddebbang. Maddebbang adalah pembuatan rebbang atau pagar yang terbuat dari bambu berbentuk segi empat panjang mengitari tanah tempat menanam ari-ari bayi yang baru saja lahir. Referensi Bakry, Hasbullah. 1988. Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: UI-Press. M. Arifin Hakim. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Pusaka Satya:Bandung. Munthoha. 1998. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: UI Press. Pujileksono, Sugeng. 2006. Pengantar Antropologi. Malang: UMM Press. Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi. 1990. Fiqih Islam Lengkap. Jakarta: Rineka Cipta.